• Tidak ada hasil yang ditemukan

6 kepmen kp 2014 ttg rencana pengelolaan dan zonasi taman nasional perairan laut sawu dan sekitarnya

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "6 kepmen kp 2014 ttg rencana pengelolaan dan zonasi taman nasional perairan laut sawu dan sekitarnya"

Copied!
427
0
0

Teks penuh

(1)

1

KEPUTUSAN

MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6/KEPMEN-KP/2014

TENTANG

RENCANA PENGELOLAAN DAN ZONASI TAMAN NASIONAL PERAIRAN LAUT SAWU DAN SEKITARNYA DI PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR

TAHUN 2014 - 2034

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : a. bahwa dalam rangka pelaksanaan pengelolaan Taman Nasional Perairan Laut Sawu dan sekitarnya di Provinsi Nusa Tenggara Timur, perlu menetapkan Rencana Pengelolaan dan Zonasi Taman Nasional Perairan Laut Sawu dan sekitarnya di Provinsi Nusa Tenggara Timur;

b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, perlu menetapkan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan tentang Rencana Pengelolaan dan Zonasi Taman Nasional Perairan Laut Sawu dan sekitarnya di Provinsi Nusa Tenggara Timur Tahun 2014 - 2034;

Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 118, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4433) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 154, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5073);

2. Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2007 tentang Konservasi Sumber Daya Ikan (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor Tahun 2007 Nomor 134, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4779);

3. Peraturan Presiden Nomor 47 Tahun 2009 tentang Pembentukan dan Organisasi Kementerian Negara, sebagaimana telah diubah, terakhir dengan Peraturan Presiden Nomor 55 Tahun 2013 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 125);

(2)

2

4. Peraturan Presiden Nomor 24 Tahun 2010 tentang Kedudukan, Tugas, dan Fungsi, Kementerian Negara serta Susunan Organisasi, Tugas, dan Fungsi Eselon I Kementerian Negara, sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Peraturan Presiden Nomor 56 Tahun 2013 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 126);

5. Keputusan Presiden Nomor 84/P Tahun 2009, sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Presiden Nomor 60/P Tahun 2013;

6. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.02/MEN/2009 tentang Tata Cara Penetapan Kawasan Konservasi Perairan;

7. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.15/MEN/2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Kelautan dan Perikanan;

8. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.30/MEN/2010 tentang Rencana Pengelolaan dan Zonasi Kawasan Konservasi Perairan;

MEMUTUSKAN:

Menetapkan : KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN TENTANG RENCANA PENGELOLAAN DAN ZONASI TAMAN NASIONAL PERAIRAN LAUT SAWU DAN SEKITARNYA DI PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR TAHUN 2014 - 2034.

KESATU : Menetapkan Rencana Pengelolaan dan Zonasi Taman Nasional Perairan Laut Sawu dan Sekitarnya Di Provinsi Nusa Tenggara Timur Tahun 2014 - 2034, sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Keputusan Menteri ini.

KEDUA : Rencana Pengelolaan dan Zonasi sebagaimana dimaksud diktum KESATU merupakan panduan operasional pengelolaan Taman Nasional Perairan Laut Sawu dan Sekitarnya Di Provinsi Nusa Tenggara Timur.

KETIGA : Rencana Pengelolaan dan Zonasi sebagaimana dimaksud diktum KESATU dapat ditinjau sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun sekali.

(3)

3

KEEMPAT : Keputusan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di Jakarta

Pada tanggal 27 Januari 2014

MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

SHARIF C. SUTARDJO

Disalin sesuai dengan aslinya Kepala Biro Hukum dan Organisasi

(4)

1 BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Indonesia merupakan negara dengan tingkat keanekaragaman terumbu karang yang tinggi dengan ekosistem yang menyediakan kehidupan bagi masyarakat pesisir dan sekitarnya. Sebagai bagian dari Segitiga Terumbu Karang (Coral Triangle), wilayah Indonesia Timur, mempunyai keanekaragaman terumbu karang paling kaya di Bumi. Untuk itu Pemerintah Republik Indonesia berkomitmen penuh mendukung Regional Plan of Action Coral Triangle Initiative on Coral Reefs, Fisheries and Food Security, utamanya terkait dengan upaya

pengelolaan kawasan konservasi perairan yang efektif (Marine Protected Areas (MPAs) Established and Effectively Managed and therefore

(CTMPAS) in place and fully functional). Kementerian Kelautan dan Perikanan juga telah memiliki Rencana Aksi Nasional Coral Triangle Initiative (CTI) agar kawasan konservasi perairan dapat terkelola dan berfungsi dengan baik.

Pengelolaan kawasan konservasi perairan bertujuan untuk melindungi dan melestarikan sumberdaya alam dalam rangka pembangunan perikanan yang berkelanjutan. Upaya ini dilakukan antara lain dengan membentuk dan menguatkan ketahanan jejaring Kawasan Konservasi Perairan/Taman Nasional Perairan dengan prioritas pada eko-wilayah dari sebuah bentang wilayah luas. Pemerintah Indonesia pada Tahun 2013 telah memiliki kawasan konservasi laut seluas 15,7 juta ha dan berkomitmen untuk meningkatkan kawasan konservasi laut menjadi 20 juta hektar pada Tahun 2020.

Perairan Laut Sawu terletak di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) yang berbatasan langsung dengan dengan wilayah pesisir barat Timor Leste. Perairan Laut Sawu terletak di wilayah lintasan arus lintas Indonesia (Arlindo), yang merupakan pertemuan dua massa arus dari Samudera Pasifik dan Samudera Hindia. Perairan Laut Sawu

LAMPIRAN

KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA

NOMOR /KEPMEN-KP/2014

(5)

2

memanjang dari barat ke timur sepanjang 600 km dan dari utara ke Selatan sepanjang 250 km. Perairan Laut Sawu bagi pembangunan di Provinsi NTT bermakna strategis, karena hampir sebagian Kabupaten/Kota di Provinsi NTT sangat tergantung kepada Laut Sawu yang menyumbang lebih dari 65 % potensi lestari sumberdaya ikan di Provinsi NTT .

Perairan Laut Sawu memiliki sebaran tutupan terumbu karang dengan keragaman hayati spesies sangat tinggi di dunia yang merupakan habitat kritis sebagai wilayah perlintasan 21 (dua puluh satu) jenis setasea, termasuk 2 (dua) spesies paus langka, yaitu paus biru dan paus sperma. Perairan Laut Sawu juga merupakan habitat yang penting bagi duyung, ikan pari manta, dan penyu. Disamping itu, perairan Laut Sawu merupakan daerah utama jalur pelayaran di Indonesia. Wilayah ini juga merupakan salah satu instrumen penting dalam rangka mengatasi dampak perubahan iklim (climate change), ketahanan pangan (food security) dan pengelolaan laut dalam (deep sea).

Wilayah perairan Laut Sawu mempunyai berbagai permasalahan antara lain perusakan terumbu karang, penurunan populasi biota laut penting, kegiatan penangkapan ikan yang tidak ramah lingkungan. Berdasarkan hal tersebut, sebagaian perairan Laut Sawu dicadangkan sebagai Taman Nasional Perairan melalui Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor KEP.38/MEN/2009 tentang Pencadangan Kawasan Konservasi Perairan Nasional Laut Sawu dan Sekitarnya di Provinsi Nusa Tenggara Timur. Taman Nasional Perairan Laut Sawu dan sekitarnya di Provinsi Nusa Tenggara Timur, yang selanjutnya disebut TNP Laut Sawu meliputi perairan seluas 3.521.130,01 hektar, yang terdiri dari 2 bagian yaitu Wilayah Perairan Selat Sumba dan Sekitarnya seluas 567.165,64 hektar dan Wilayah Perairan Pulau Sabu-Rote-Timor-Batek dan Sekitarnya seluas 2.953.964,37 hektar.

(6)

3

pemanfaatan sumber daya ikan dan ekosistemnya serta jasa lingkungannya secara berkelanjutan, melestarikan kearifan lokal dalam pengelolaan sumber daya ikan di dalam dan/atau di sekitar kawasan konservasi perairan, dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat di sekitar kawasan konservasi perairan. Secara khusus tujuan pencadangan TNP Laut Sawu adalah mewujudkan kelestarian sumberdaya ikan dan ekosistemnya sebagai bagian wilayah ekologi perairan laut Sunda Kecil (Lesser Sunda Marine Eco-Region), melindungi dan mengelola ekosistem perairan Laut Sawu dan sekitarnya, sebagai kerangka acuan pembangunan daerah di bidang perikanan, pariwisata, masyarakat pesisir, pelayaran, ilmu pengetahuan dan konservasi, serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui mata pencaharian yang berkelanjutan (sustainable livelihood).

(7)

4

Penyusunan dokumen ini berdasarkan pada Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor PER.30/MEN/2010 tentang Rencana Pengelolaan dan Zonasi Kawasan Konservasi Perairan dilakukan melalui berbagai hasil studi dan analisis yang mendalam, penelusuran lapang (ground-truthing) dan konsultasi publik dengan pemangku kepentingan terkait di tingkat pusat, provinsi dan kabupaten, yang melibatkan masyarakat di 10 kabupaten di dalam TNP Laut Sawu.

Berdasarkan hal tersebut, dengan mempertimbangkan hasil konsultasi publik yang dilakukan, luas kawasan TNP Laut Sawu yang semula 3.521.130,01 hektar berubah menjadi 3.355.352,82 hektar yang terdiri dari 2 bagian yaitu Wilayah Perairan Selat Sumba dan Sekitarnya seluas 557.837,40 hektar dan Wilayah Perairan Pulau Sabu-Rote-Timor-Batek dan Sekitarnya seluas 2.797.515,42 hektar.

B. Tujuan

1. Tujuan Umum

Penyusunan dokumen Rencana Pengelolaan dan Zonasi TNP Laut Sawu bertujuan untuk memberikan pedoman dan arahan bagi pengelolaan kawasan dan seluruh potensinya secara komprehensif dan indikatif untuk keperluan jangka panjang, yang menjadi acuan bagi penyusunan rencana pengelolaan jangka menengah, dan rencana kerja tahunan, serta rencana-rencana teknis.

2. Tujuan Pengelolaan

Tujuan Rencana Pengelolaan dan Zonasi TNP Laut Sawu yaitu:

a. melindungi dan melestarikan sumberdaya ikan serta tipe-tipe ekosistem penting di perairan untuk menjamin keberlanjutan fungsi ekologisnya;

b. mewujudkan pemanfaatan sumberdaya ikan dan ekosistemnya serta jasa lingkungannya secara berkelanjutan;

c. melestarikan kearifan lokal dalam pengelolaan sumberdaya ikan di dalam dan/atau disekitar kawasan konservasi perairan; dan

(8)

5 C. Ruang Lingkup

1. Lingkup Wilayah

Lingkup wilayah Rencana Pengelolaan dan Zonasi TNP Laut Sawu yaitu wilayah perairan seluas 3.355.352,82 hektar yang meliputi Wilayah Perairan Selat Sumba dan Sekitarnya seluas 557.837,40 hektar dan Wilayah Perairan Pulau Sabu-Rote-Timor-Batek dan Sekitarnya seluas 2.797.515,42 hektar.

2. Lingkup Materi

Lingkup materi Rencana Pengelolaan dan Zonasi TNP Laut Sawu ini memuat pembahasan substansi mengenai:

a. isu dan permasalahan

Menjelaskan tentang berbagai isu dan masalah yang terkait dengan hubungan antara masyarakat dan sumberdaya kawasan, pola-pola pemanfaatan sumberdaya kawasan dan dampaknya terhadap keberadaan sumber daya, serta potensi ancaman baik secara alami maupun akibat intervensi.

b. kebijakan dan strategi pengelolaan kawasan

Menguraikan tentang visi dan misi pengelolaan, opsi-opsi pengelolaan yang dapat diterima semua pihak.

c. arahan rencana pengelolaan kawasan.

Menguraikan inti dari dokumen rencana pengelolaan, antara lain berisi program-program pengelolaan pada setiap zona, penyelenggara pengelolaan kawasan, dan pembiayaan pengelolaan kawasan.

3. Lingkup Jangka Waktu

Lingkup waktu Rencana Pengelolaan dan Zonasi TNP Laut Sawu terdiri dari:

(9)

6 BAB II

POTENSI DAN PERMASALAHAN PENGELOLAAN

A. Potensi

1. Potensi Fisik Kawasan a. Lokasi Kawasan

TNP Laut Sawu terletak di bentang laut Paparan Sunda Kecil (Ecoregion Lesser Sunda), yang meliputi wilayah perairan Selat Sumba dan perairan Timur Rote-Sabu-Batek, sebagaimana terdapat pada Gambar 1.

Gambar 1. Peta Batas Kawasan Pencadangan TNP laut Sawu

Wilayah perairan TNP Laut Sawu dikelilingi oleh rangkaian kepulauan yaitu Pulau Timor, Sabu, Sumba, dan Flores. Secara administratif, TNP Laut Sawu terletak di Kabupaten Kupang, Kabupaten Rote Ndao, Kabupaten Timor Tengah Selatan, Kabupaten Sabu Rajua, Kabupaten Manggarai, Kabupaten Manggarai Barat, Kabupaten Sumba Timur, Kabupaten Sumba Tengah, Kabupaten Sumba Barat dan Kabupaten Sumba Barat Daya.

Berdasarkan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan

Nomor KEP.38/MEN/2009 tentang Pencadangan Kawasan

(10)

7

Tabel 1. Titik batas koordinat pencadangan Kawasan Konservasi Perairan Nasional Laut Sawu dan sekitarnya di Provinsi Nusa Tenggara Timur

ID X Y Keterangan

1 119ᵒ 46᾽29,4῝BT 9ᵒ10᾽24,9῝ LS Selat Sumba 2 118ᵒ 55᾽36,1῝BT 9ᵒ10᾽22,8῝ LS Selat Sumba 3 118ᵒ 55᾽34,7῝BT 9ᵒ33᾽35,8῝ LS Selat Sumba 4 119ᵒ 53᾽0,0῝ BT 8ᵒ49᾽42,9῝ LS Selat Sumba 5 120ᵒ 22᾽22,8῝BT 8ᵒ49᾽5,6῝ LS Selat Sumba 6 120ᵒ 11᾽28,6῝BT 9ᵒ28᾽20,4῝ LS Selat Sumba 7 120ᵒ 08᾽49,8῝BT 10ᵒ13᾽18,4῝ LS Pulau Sumba 8 120ᵒ 03᾽49,3῝BT 10ᵒ19᾽10,4῝ LS Pulau Sumba 9 121ᵒ 14᾽11,8῝BT 11ᵒ0᾽11,7῝ LS Pulau Dana B 10 121ᵒ 50᾽5,4῝BT 10ᵒ50᾽27,1῝ LS Pulau Sabu 11 122ᵒ 52᾽46,7῝BT 11ᵒ09᾽22,3῝ LS Pulau Dana A 12 124ᵒ 23᾽38.9῝BT 10ᵒ10᾽12,5῝ LS Tanjung Kolbano 13 124ᵒ 02᾽47,6῝BT 9ᵒ20᾽9,9῝ LS Perbatasan Timur Leste 14 123ᵒ 59᾽52,2῝BT 9ᵒ14᾽35,1῝ LS Pulau Batek

15 122ᵒ 34᾽4,3῝BT 10ᵒ26᾽38,6῝ LS Pulau Rote

16 122ᵒ 4᾽8,8῝BT 10ᵒ24᾽32,0῝ LS Tanjung Niuwudu (Pulau Sabu)

17 120ᵒ 38᾽58,8῝BT 9ᵒ51᾽7,0῝ LS Tanjung Tuak (Melolo) 18 124ᵒ 1’9,4῝BT 9ᵒ14᾽53,2῝ LS Pulau Batek

Luas kawasan TNP Laut Sawu sesuai Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor KEP.38/MEN/2009 tersebut di atas telah mengalami perubahan dengan mempertimbangkan beberapa aturan perundangan yang berlaku dan kondisi existing serta berdasarkan hasil konsultasi publik yang dilakukan. Luas total TNP Laut Sawu setelah perubahan yaitu 3.355.352,82 hektar yang meliputi 2 (dua) bagian yaitu Wilayah Perairan Selat Sumba dan Sekitarnya seluas 557.837,40 hektar dan Wilayah Perairan Pulau Sabu-Rote-Timor-Batek dan Sekitarnya seluas 2.797.515,42 hektar. Lingkup wilayah perencanaan ini mengacu pada perubahan batas kawasan konservasi TNP Laut Sawu, dengan perubahan kawasan sebagai berikut:

a. Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) yang melintas kawasan Konservasi yaitu ALKI III (perairan antara Pulau Rote dan Pulau Sabu serta antara Pulau Sabu dan Pulau Sumba) dikeluarkan dari TNP Laut Sawu;

b. sebagian perairan Kabupaten Rote Ndao di bagian selatan dikeluarkan dari TNP Laut Sawu;

(11)

8

d. sebagian perairan di sebelah utara perairan Timor, Rote, dan Sabu dimasukkan ke dalam TNP Laut Sawu.

Berdasarkan perubahan tersebut di atas, TNP Laut Sawu memiliki 34 (tiga puluh empat) titik koordinat batas kawasan sebagaimana terdapat pada Gambar 2 dan Tabel 2.

Gambar 2. Peta Batas TNP Laut Sawu

Tabel 2.Titik batas koordinat TNP Laut Sawu dan sekitarnya di Provinsi Nusa Tenggara Timur

ID X Y Keterangan

1 118° 55' 40.39''BT 9° 32' 54.15''LS Tanjung Karoso 2 118° 55' 36.10'' BT 9° 10' 22.80'' LS Utara Tanjung

Karoso 3 119° 46' 29.40'' BT 9° 10' 24.90'' LS Selat Sumba 4 119° 52' 58.32'' BT 8° 49' 45.57'' LS Tanjung

Karitamese 5 120° 22' 23.11'' BT 8° 49' 4.28'' LS Terong

6 120° 11' 28.93'' BT 9° 28' 20.15'' LS Hambapraing 7 120° 38' 57.86'' BT 9° 51' 7.21'' LS Lumbukore 8 120° 8' 50.49'' BT 10° 13' 16.61'' LS Praimadita

9 120° 3' 48.60'' BT 10° 19' 9.85'' LS Barat Pulau Mengudu

10 120° 45' 49.11'' BT 10° 43' 30.92'' LS Selat Raijua-Sumba Timur 11 120° 53' 36.62'' BT 10° 48' 5.71'' LS Selat

Raijua-Sumba Timur 12 121° 14' 11.41'' BT 11° 0' 11.82'' LS Selatan Pulau

Dana Sabu

13 121° 50' 11.01'' BT 10° 47' 5.26'' LS Selatan Pulau Sabu

14 122° 10' 17.18'' BT 10° 54' 14.36'' LS Selat Sabu-Ndao 15 122° 18' 30.54'' BT 10° 57' 9.94'' LS Selat Sabu-Ndao

16 122° 52' 46.77'' BT 11° 9' 21.94'' LS

(12)

9

ID X Y Keterangan

17 123° 4' 53.31'' BT 11° 1' 28.35'' LS Selatan Pulau Rote

18 123° 4' 53.35'' BT 10° 51' 21.52'' LS Kuli

19 123° 25' 30.56'' BT 10° 28' 19.78'' LS Daiama/cek 20 123° 26' 26.62'' BT 10° 29' 35.97'' LS Tanjung Usu/cek 21 123° 43' 10.81'' BT 10° 36' 32.07'' LS Selatan Pulau

Timor 22 124° 23' 40.72'' BT 10° 10' 11.71'' LS Tuafanu 23 124° 0' 28.66'' BT 9° 20' 35.29'' LS Netemnanu

Selatan

24 124° 0' 58.41'' BT 9° 15' 52.67'' LS Timur Pulau Batek

25 123° 58' 59.58'' BT 9° 14' 21.14'' LS Utara Pulau Batek

26 122° 46' 52.75'' BT 9° 57' 12.33'' LS Utara Pulau Rote 27 122° 33' 23.56'' BT 10° 5' 13.77'' LS Utara Pulau Ndao 28 121° 57' 45.92'' BT 10° 26' 26.79'' LS Jiwuwu

29 121° 48' 44.63'' BT 10° 30' 28.63'' LS Ledeana

30 121° 38' 45.85'' BT 10° 14' 32.57'' LS Selat Raijua-Sumba Timur 31 121° 33' 39.39'' BT 10° 12' 32.46'' LS Selat

Raijua-Sumba Timur 32 121° 23' 19.09'' BT 10° 17' 42.94'' LS Selat

Raijua-Sumba Timur 33 121° 18' 21.37'' BT 10° 10' 22.06'' LS Selat

Raijua-Sumba Timur 34 121° 22' 37.10'' BT 10° 8' 12.96'' LS Selat

Raijua-Sumba Timur

TNP Laut Sawu dapat dijangkau melalui jalur darat, laut, dan udara. Seluruh jalur tersebut berpusat di Kupang sebagai ibukota Provinsi NTT dan terhubung secara langsung dengan 10 (sepuluh) kabupaten di kawasan TNP Laut Sawu. Jalur darat di kawasan TNP Laut Sawu diklasifikasi dalam jalan negara, provinsi dan kabupaten. Kondisi jalan negara umumnya baik namun jalan provinsi dan kabupaten sebagian dalam kondisi rusak dan ada juga yang tidak beraspal. Transportasi darat merupakan fasilitas yang dominan dipergunakan masyarakat di kawasan TNP Laut Sawu.

b. Kondisi Fisik Kawasan 1) Iklim

(13)

10

yang rendah. Rata-rata suhu minimum 240C dan maksimum

320C, dengan curahan matahari rata-rata ±12 jam. Pola umum

iklim wilayah ini adalah pola musim hujan dan musim kemarau. Musim hujan berlangsung antara bulan November sampai dengan bulan Maret, sedangkan musim kemarau antara bulan April sampai dengan bulan Oktober. Pola iklim demikian dikendalikan oleh pola Angin Muson dari Tenggara yang relatif kering dan dari arah Barat Laut, yang membawa banyak uap air. Konfigurasi kepulauan dan topografi wilayah juga merupakan pengendali iklim lokal yang berpengaruh terhadap karakteristik iklim lokal. Kecenderungan angin pada Bulan Juni – September, arah angin berasal dari Australia dan tidak banyak mengandung uap air sehingga mengakibatkan musim kemarau. Sebaliknya pada bulan Desember – Maret arah angin berasal dari Asia dan Samudera Pasifik yang banyak mengandung uap air sehingga terjadi musim hujan. Keadaan seperti ini berganti setiap setengah tahun setelah melewati masa peralihan pada bulan April – Mei dan Oktober – Nopember. Namun demikian, mengingat wilayah TNP Laut Sawu dekat dengan Australia, arah angin yang banyak mengandung uap air dari Asia dan Samudera Pasifik sampai pada kawasan TNP Laut Sawu, kandungan uap airnya sudah berkurang yang mengakibatkan hari hujan di wilayah ini berkurang. Hal inilah yang menjadikan wilayah ini sebagai wilayah yang tergolong kering, yaitu 8 (delapan) bulan relatif kering (bulan April sampai dengan bulan November), dan 4 (empat) bulan keadaannya relatif basah (bulan Desember sampai dengan bulan Maret).

(14)

11

dikatakan sangat cocok untuk pengembangan kawasan pertanian dan perkebunan yang berumur pendek. Salah satu unsur penting pembentuk iklim di atas adalah curah hujan. Akibatnya, keragaman iklim antar wilayah di daerah ini juga sangat besar, misalnya rata-rata curah hujan tahunan sekitar 850 mm/tahun dapat terjadi di wilayah Pulau Sabu. Secara umum, iklim wilayah NTT termasuk ke dalam kategori iklim semi-arid, dengan periode hujan yang hanya berlangsung 3-4

bulan, dan periode kering 8-9 bulan. Kondisi iklim demikian mendeterminasi pola pertanian tradisional di wilayah TNP Laut Sawu yang hanya mengusahakan tanaman semusim, yang ditanam dalam periode musim hujan. Keadaan demikian juga mempengaruhi produktivitas tenaga kerja pertanian, yang tergolong sangat rendah (jumlah jam kerja <5 jam/minggu), akibat dari waktu kerja bertani yang hanya berlangsung 3-4 bulan dalam setahun.

Persoalan curah hujan pada kawasan TNP Laut Sawu juga diperparah oleh pengaruh iklim global, terutama fenomena elnino dan lanina, serta fenomena perubahan iklim global yang

kurang menguntungkan. Dampak dari pengaruh iklim global dimaksud antara lain adalah waktu onset dan offset musim hujan yang sulit diprediksi, dan fenomena kondisi musim kemarau dan musim hujan yang ekstrim. Akibatnya adalah antara lain kekeringan, gagal tanam, gagal panen, banjir, dan gangguan hama dan penyakit tanaman yang serius.

(15)

12

laut dan sumber daya ikan yang produktif diantara perubahan iklim global. (BMG NTT, 2010).

2) Topografi, Kemiringan Lereng, dan Geologi

Ditinjau berdasarkan ketinggiannya, 48,78 % dari luas wilayah Provinsi NTT atau sekitar 2.309.747 hektar berada pada rentang ketinggian 100 – 500 meter di atas permukaan air laut. Sedangkan wilayah dengan ketinggian di atas 1000 m hanya sebagian kecilnya saja, yaitu sebesar 3,65%. Berdasarkan kemiringan tanahnya, wilayah Provinsi NTT didominasi oleh tanah dengan kemiringan lereng 15% – 40%. Bagian terbesar lainnya adalah tanah dengan kemiringan lebih dari 40%, yaitu sebesar 1.678.948 Ha atau 35,46% dari luas wilayah Provinsi NTT. Besar kecilnya kemiringan lereng menentukan kemudahan penggarapan tanah dan dapat tidaknya alat mekanis digunakan dalam pengelolaan tanah. Selain itu kemiringan lereng ini juga mempengaruhi tingkat erosi.

(16)

13

Gipsum, Batu Marmer, Batu Gamping, Granit, Andesit, Balsitis, Pasir Batu (Pa), Batu apung, Tanah Diatomea dan Lempung/Clay.

Sebaran struktur batuan geologi yang ada di wilayah provinsi ini, adalah :

1. Batuan Silicic Acid Rock (batuan beku asam silikaan), terdapat di Kabupaten Manggarai, Sebagian besar Manggarai Barat dan sebagian kecil Kabupaten Kupang; 2. Batuan Mafic Basic Rocks (batuan beku basa);

3. Batuan Intermediate Basic (batuan beku basa menengah); 4. Batuan Pre Tertiare Undivideo (pra tersier tak dibedakan); 5. Batuan Paleagene (pleogen);

6. Alluvial Terrace Deposit and Coral Reefs (alluvium undak dan terumbu koral);

7. Batuan Neogene (neogen);

8. Batuan Kekneno Series (deret kekneno); 9. Batuan Sonebait Series (deret sonebait);

10.Batuan Sonebait and Ofu Series Terefolde (deret sonebait dan deret terlipat bersama);

11.Batuan Ofu Series (deret ofu);

12.Batuan Silicic Efusives (efusiva berasam kersik); 13.Batuan Triassic (trias);

14.Batuan Crystalline Schist (sekis hablur).

Peta struktur geologi sebagaimana terdapat pada Gambar 3.

Gambar 3. Peta Struktur Geologi Provinsi NTT

(17)

14 3) Hidrologi

Secara umum keadaan hidrologi di dalam kawasan TNP Laut Sawu, terutama air permukaan, agak kurang. Hal ini disebabkan karena musim hujan dalam satu tahun hanya berlangsung paling lama 4 bulan. Kondisi ini mengakibatkan sulitnya eksploitasi sumber air permukaan oleh penduduk. Daerah Aliran Sungai (DAS) dibentuk dari beberapa sungai dan danau. Di wilayah Provinsi NTT terdapat 27 DAS dengan luas keseluruhan 1.527.900 hektar. Sungai yang terpanjang di wilayah Provinsi NTT adalah Sungai Benanain dengan panjang 100 Km, yang terdapat di Kabupaten Belu. DAS terluas adalah DAS Benain, seluas 329.841 hektar (21,58%), dan DAS terkecil adalah DAS Oka, seluas 4.125,33 hektar (0,27%).

4) Kondisi Oseanografi Perairan

Perairan Laut Sawu sangat dinamis, merupakan pertemuan 2 (dua) massa arus besar, massa air dari Samudera Hindia dan Laut Banda. Fenomena upwelling atau pengadukan massa air laut dalam yang dingin dan air permukaan yang hangat menjadikan daerah ini merupakan daerah dengan produktifitas perairan yang sangat tinggi. Kedalaman perairan yang mencapai 4.000 (empat ribu) meter dan tebing tebing curam merupakan ciri dominan bentang laut di Laut Sawu.

a) Bathimetri

(18)

15

Gambar 4. Bathimetri Laut Sawu

(19)

16 b) Pola Pasang Surut

Perairan Laut Sawu memiliki tipe pasang surut campuran condong ke harian ganda, dimana dalam satu hari terjadi dua kali pasang dan dua kali surut, dengan amplitude yang jauh berbeda antara pasang dan surut pertama dengan pasang dan surut kedua.

Kondisi pasang surut perairan Laut Sawu mengacu kepada hasil pengukuran dan analisis pasang surut yang telah dilakukan oleh Dinas Hidro-oseanografi TNI-AL untuk daerah Kota Kupang dan kajian Detail Engineering Design (DED) Pelabuhan Perikanan Kabupaten Rote Ndao pada Tahun 2010. Adapun hasil analisis data konstanta harmonis amplitudo dan phase pasang surut Kabupaten Kupang sebagaimana terdapat pada Tabel 3 dan Kabupaten Rote Ndao sebagaimana terdapat pada Tabel 4.

Tabel 3. Hasil Analisis Konstanta Pasut Kabupaten Kupang So M2 S2 N2 K1 O1 M4 MS4 K2 P1

Amplitudo (cm) - 46 26 - 16 10 0 0 7 5

Phase 57 348 - 49 43 0 0 66 328

Tabel 4. Hasil Analisis Konstanta Pasut Kabupaten Rote Ndao So M 2 S2 N2 K1 O1 M4 MS4 K2 P1

Amplitudo (cm) - 83 43 14 29 15 1 0 12 9

Phase 32

7 2 31

1 29

3 29

9 18

8 328 2 293

Berdasarkan konstanta harmonik pasang surut di atas, dapat diketahui karakteristik pasang surut baik tipe maupun tunggang pasang surut dan elevasi muka air laut maksimum, rata-rata saat pasang purnama dan rata-rata saat pasang perbani.

Pada umumnya sifat pasut di suatu perairan ditentukan dengan menggunakan rumus Formzahl, yang berbentuk:

) 2 2 /( ) 1 1

(K O M S

(20)

17 dimana :

F = Nilai Formzahl

Ki dan 01 = konstanta pasut harian utama M2 dan S2 = konstanta pasut ganda utama

Klasifikasi sifat pasut di lokasi tersebut adalah: 1. Pasang ganda jika F  ¼

2. Pasang campuran (ganda dominan) jika ¼  F  1 ½ 3. Pasang campuran (tunggal dominan) jika 1 ½  F  3 4. Pasang tunggal jika F  3

Hasil analisa formzahl tersebut di atas, diperoleh nilai F dari pasang surut Pantai Kabupaten Kupang adalah 0,361, sedangkan untuk Kabupaten Rote Ndao adalah 0,349. Nilai tersebut berarti tipe pasang surutnya adalah campuran cenderung ke harian ganda (mixed, prevailing semidiurnal), yaitu dalam sehari terjadi dua kali pasang

dan dua kali surut tetapi dengan tinggi dan waktu yang berbeda.

Untuk Kabupaten Kupang, tunggang pasang surut (tidal range) terbesar adalah sekitar 1,96 meter, tunggang pasang surut rata-rata saat pasang purnama adalah 1,70 meter, dan saat pasang perbani adalah 1,18 meter. Sedang Kabupaten Rote Ndao, tunggang pasang surut (tidal range) terbesar adalah sekitar 3,40 meter, tunggang pasang surut rata-rata saat pasang purnama adalah 2,96 meter, dan saat pasang perbani adalah 2,10 meter.

c) Pola Arus

(21)

18

Pola Arus Pasang Pola Arus Surut

Gambar 6. Pola Arus Laut Sawu (Sumber: Analisis model arus, 2011)

Pada saat pasang naik, massa air permukaan bergerak menuju ke utara memasuki perairan Laut Sawu dan melewati pulau-pulau di bagian selatan Laut Sawu. Sebaliknya arah arus saat menuju surut, di daerah laut terbuka (laut dalam) memperlihatkan arus menuju ke selatan. Sedangkan di daerah pesisir cenderung meninggalkan pantai menuju ke tenggara.

d) Gelombang Laut

(22)

19

Gambar 7. Kondisi Gelombang Musim Barat (Sumber: Analisis model gelombang, 2011)

Kondisi Gelombang pada musim timur merupakan gelombang dari Selatan yakni Samudera Hindia memasuki perairan Laut Sawu dan menerpa langsung daerah pesisir yang berhadapan dengan Samudera Hindia yakni di Selatan dan Timur Pulau Timor, Pulau Rote, Pulau Sabu, dan Pulau Sumba. Adanya angin selatan Samudera Hindia yang mengalami pembelokan ketika memasuki kawasan Laut Sawu dan pulau-pulau menuju ke barat dan barat laut. Kondisi angin demikian menyebabkan pembangkitan gelombang timur dan tenggara menuju ke arah Pulau Flores dan Sumba.

Gambar 8. Kondisi Gelombang Musim Timur (Sumber: Analisis model gelombang, 2011)

e) Pola Angin

(23)

20

barat yang bertiup paling kuat pada Bulan Desember (>11 meter/detik) yang kemudian melemah pada bulan Januari dan makin lemah di Bulan Februari seiring masuknya periode peralihan satu.

Sebagaimana dengan wilayah Indonesia lainnya, kondisi angin di perairan Laut Sawu juga dipengaruhi oleh angin muson, terkait dengan letaknya yang berada di antara benua Asia dan Australia. Saat Bulan Desember, Januari hingga Maret terjadi angin muson barat dari benua Asia ke Benua Australia sebagai akibat dari tekanan udara di atas Benua Australia yang rendah. Pola angin tersebut menyebabkan, kondisi angin di perairan Laut Sawu umumnya adalah angin Barat hingga angin utara. Sementara saat memasuki bulan Juni hingga Oktober terjadi angin muson timur dari Benua Australia ke Benua Asia sebagai akibat dari tekanan udara di atas Benua Asia yang rendah dan menyebabkan kondisi angin di perairan Laut Sawu umumnya adalah angin Timur hingga angin Barat Daya. Kondisi tersebut diperlihatkan pada hasil analisis windrose (mawar angin) Laut Sawu dari empat stasiun meteorologi di Provinsi Nusa Tenggara Timur yang berada di Kota Kupang, Waingapu, Pulau Rote, dan Pulau Sabu sebagaimana terdapat pada Gambar 9.

(24)

21

Gambar 9. Mawar Angin di Beberapa Station Meteorologi NTT (Sumber: Analisis model angin, 2011)

5) Kualitas Perairan

Kualitas air laut di setiap lokasi rencana pengelolaan diukur berdasarkan parameter pH, salinitas, suhu dan DO dapat dilihat pada Tabel 2.4. Kondisi kualitas air menunjukkan kisaran normal air laut dan belum mengindikasikan terjadinya pencemaran. pH rata-rata perairan laut berkisar antara 7,56 sampai 8,10, salinitas berada pada kisaran 34 - 37 o/oo, Sedangkan suhu permukaan air laut

berkisar 29,0 °C sampai 34,8 °C. Selain itu juga diketahui bahwa kandungan oksigen terlarut di perairan berkisar antara 4,01 s/d 8,8 mg/l.

Tabel 5. Kondisi Kualitas Air Perairan Laut Sawu

No Parameter

Kabupaten

Kisaran Baku Mutu*) Rote Ndao Sabu Raijua Sumba

Timur

1 pH 7,56 – 8,10 7,64 – 7,87 7,64 – 7,70 7,56 – 8,10 7 – 8,5

2 Suhu (oC) 29 - 33 29,2 30,2 29,3 34,3 29,0 34,3 Alami

3 Salinitas

(o/oo) 34 - 36 33 - 37 34,3 - 35 33 – 37

33 –

34

4 DO (mg/l) 4,01 – 8,80 4,62 – 8,11 4,42 – 7,89 4,01 – 8,80 >5

*) Kepmen. LH Nomor 51 Tahun 2004 Sumber : Hasil Survey, 2011

Secara keseluruhan, hasil pengukuran kualitas air laut di lapangan berdasarkan parameter kualitas air laut tersebut dapat disimpulkan bahwa kondisi dan karakteristik lingkungan laut di lokasi studi masih dalam batas kisaran yang cukup baik atau masih dibawah standar baku mutu yang ditetapkan sehingga bisa dipergunakan untuk pengembangan kegiatan budidaya perikanan laut, pariwisata bahari, dan kegiatan lainnya.

(25)

22

pH sangat penting sebagai parameter kualitas air karena mengontrol tipe dan laju kecepatan reaksi beberapa bahan dalam air. Selain itu, ikan dan makhluk-makhluk lainnya hidup pada selang pH tertentu, sehingga dengan diketahuinya nilai pH, kita dapat mengetahui apakah air tersebut sesuai atau tidak untuk menunjang kehidupan mahluk hidup didalamnya. Nilai derajat keasaman di perairan lokasi cenderung homogen yaitu 7,56–8,10, dengan pola sebaran pH hampir merata di perairan. Indikasi tersebut menunjukkan pH perairan cenderung masih sesuai dengan baku mutu yang ditentukan.

Hasil pengukuran suhu pada tiap stasiun pengamatan menunjukkan bahwa suhu di perairan berkisar antara 29,0 °C – 34,3 oC menggambarkan suhu normal perairan laut tropis

yang secara umum.

Nybakken (1992) menjelaskan bahwa suhu merupakan salah satu faktor yang sangat penting dalam mengatur proses kehidupan dan penyebaran organisme. Suhu yang sesuai merupakan faktor pendukung peningkatan proses metabolisme atau pertukaran zat dari makhluk-makhluk hidup.

Salinitas merupakan gambaran jumlah garam dalam suatu perairan. Sebaran salinitas di air laut dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti pola sirkulasi air, penguapan, curah hujan dan aliran sungai. Kisaran nilai salinitas berdasarkan pengukuran 33 o/oo - 37 o/oo.

Oksigen terlarut merupakan parameter kimia yang paling kritis dalam budidaya ikan. Ketidakstabilan oksigen dalam suatu perairan dapat mengakibatkan kegagalan dalam usaha budidaya (Anonymous 1996 dalam Mayunar dkk., 1995). Oksigen terlarut dalam jumlah yang sangat banyak dapat juga mengakibatkan terjadinya kematian pada ikan, sebab di dalam pembuluh-pembuluh darah terjadi emboli gas yang dapat mengakibatkan tertutupnya pembuluh-pembuluh rambut dalam daun-daun insang ikan.

(26)

23

dengan kriteria pencemaran yang ditetapkan oleh Schmitz (1972) dalam Haryanto (2001) dengan menetapkan lima kriteria pencemaran melalui indikasi oksigen terlarut (DO), nilai-nilai tersebut termasuk pencemaran dengan kriteria kritis jika nilainya 4 mg/l dan kriteria baik jika nilainya 6 mg/l. Selanjutnya kriteria tersebut di modifikasi menjadi kriteria sedikit tercemar jika nilainya 4 mg/l dan tidak tercemar jika nilainya 6 mg/l.

Kandungan kimia perairan Laut Sawu untuk parameter Klorofill-a, BOD, Phosphat, Nitrat, Nitrit, COD terdapat pada Tabel 6.

Tabel 6. Kandungan Kimia Perairan Laut Sawu

No Parameter

Kabupaten Kisaran Baku

Mutu*) Rote Ndao Sabu

Raijua

Sumba Timur

Manggarai Barat

1 BOD (mg/l) 0,7 - 1,9 0,8 - 1,7 0,8 -1,8 0,7 -1,9 0,7 – 1,9 20 2 Phospat (mg/l) 0,27 - 0,45 0,24 - 0,80 0,307 - 0,380 0,24 - 0,80 0,24 – 0,8 0,15 3 Nitrat (mg/l) 0,079 - 0,673 0,086 - 0,259 0,143 - 0,243 0,079 - 0,673 0,079 - 0,673

4 Nitrit (mg/l) 0,001 - 0,021 0,001 - 0,003 0,001 - 0,002 0,001 - 0,021 0,001 - 0,003 0,008 5 COD (mg/l) 102 – 144 120 – 316 113 - 139 120 - 316 102 - 316

*) Kepmen. LH Nomor 51 Tahun 2004 Sumber : Hasil Survey, 2011

Klorofil-a merupakan suatu pigmen yang didapatkan dalam fitoplankton. Ada kecenderungan bahwa kadar klorofil-a berkorelasi positif dan kuat dengan kelimpahan fitoplankton dan kadar nutrient perairan, sehingga perairan yang produktif yang memiliki kelimpahan fitoplankton yang tinggi juga memiliki kandungan klorofil-a yang tinggi.

(27)

24 November 2010

Klorofil a (mg/m3)

0 1.0

April 2011

Klorofil a (mg/m3)

0 1.0

Gambar 10. Kandungan Klorofil di Laut Sawu pada Bulan November 2010 dan April 2011

Kandungan phospat perairan di lokasi didapatkan antara 0,24 - 0,80 mg/l, yang merupakan kisaran untuk pertumbuhan fitoplankton. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Wardoyo (1974) bahwa kandungan phospat yang optimum untuk pertumbuhan fitoplankton berkisar antara 0,09 - 1,80 mg/l. Dengan demikian berdasarkan kadar phospat-nya maka sebagian besar perairan masih berada pada kondisi optimum untuk pertumbuhan fitoplankton.

Pencemaran dengan indikasi kandungan DO (oksigen terlarut) dapat mendeteksi jenis pencemaran yang disebabkan oleh unsur hara seperti nitrat (NO3-N) dan phospat (PO4). Pada

(28)

25

dalam air yang berujung pada kematian ikan yang dibudidayakan.

Nitrat merupakan bentuk nitrogen yang berperan sebagai nutrient utama bagi pertumbuhan tanaman dan alga. Nitrat dan nitrogen sangat mudah larut dalam air dan memiliki sifat yang relatif stabil. Senyawa ini dihasilkan dari proses oksidasi yang sempurna di perairan. Pada dasarnya, nitrat merupakan sumber utama nitrogen diperairan, akan tetapi, tumbuhan lebih menyukai amonium untuk digunakan dalam proses pertumbuhan. Sumber utama nitrat dalam perairan selain berasal dari suplai nutrien dari darat berupa bahan organik yang selanjutnya diuraikan oleh mikroba, juga dapat berasal dari udara dan hasil fiksasi oleh bakteri-bakteri nitrat. Penyebab rendahnya konsentrasi nitrat dalam perairan selain dimanfaatkan oleh plankton atau tumbuhan air lainnya untuk pertumbuhannya juga dapat disebabkan oleh suplai nitrat ke dalam perairan tersebut yang memang rendah.

Berbeda dengan phospat, kadar nitrat yang diperoleh di perairan tergolong rendah yaitu berkisar antara 0,079 – 0,673 mg/l. Berdasarkan nilai kandungan tersebut maka perairan secara umum dapat dikatakan sebagai perairan yang memiliki kandungan zat hara rendah (Oligotrofik). Wetzel (1975) mengelompokan perairan berdasarkan kandungan nitratnya yaitu oligotrofik bila kadar nitrat perairan berkisar antara 0-1 mg/l. Kadar nitrat lebih dr 5 mg/l. menggambarkan keadaan suatu perairan yang telah tercemar akibat aktivitas manusia dan tinja hewan. Kadar nitrogen yang lebih dari 0,2 mg/l menggambarkan terjadinya eutrofikasi perairan. Pengukuran di stasiun yang berdekatan dengan muara sungai menunjukkan kandungan nitrat yang rendah. Dengan demikian rendahnya kadar nitrat dalam perairan Laut Sawu diduga disebabkan oleh suplai nutrien dari darat berupa bahan organik maupun fiksasi dari udara oleh bakteri-bakteri nitrat memang sangat rendah.

Nitrit (NO3) merupakan bentuk peralihan antara amonia

(29)

26

(denitrifikasi) yg terbentuk dalam kondisi anaerob. Sumber nitrit dapat berupa limbah industri dan limbah domestik. Kadar nitrit pada perairan relatif stabil karena segera dioksidasi menjadi nitrat. Perairan alami mengandung nitrit sekitar 0,001 mg/l. Sementara itu, kadar nitrit yang diperbolehkan tidak lebih dari 0,5 ppm. Kandungan Nitrit di perairan berada dalam kisara 0,001 - 0,021 mg/l. Kandungan tersebut menunjukkan bahwa nitrit telah melebihi kandungan daripada perairan alami, akan tetapi tidak melebihi daripada kandungan diperbolehkan.

COD merupakan ukuran akan banyaknya zat-zat organik yang terdapat dalam suatu perairan. Zat-zat organik yang terdapat dalam air laut berasal dari alam atau buangan domestik, industri dan pertanian. Ada yang mudah diuraikan dan ada yang sukar diuraikan oleh mikroorganisme umumnya bersifat toxic, sehingga membahayakan kehidupan organisme perairan. Kandungan COD di perairan berkisar pada 120 – 316 mg/l. Kandungan COD tersebut merupakan kadar COD yang rendah dan menandakan bahwa kondisi perairan belumlah tercemar oleh zat organik maupun zat anorganik, sebagaimana diutarakan Suhadi (dalam Sutamihardja 1978) bahwa perairan dengan kandungan COD berkisar 10 – 30 ppm dikategorikan perairan tercemar ringan.

2. Potensi Ekologis

a. Ekosistem Pesisir dan Laut 1) Terumbu Karang

Ekosistem terumbu karang merupakan struktur di dasar laut berupa endapan kalsium karbonat (CaCO3) yang

dihasilkan terutama hewan karang. Karang adalah hewan yang tidak bertulang belakang yang termasuk dalam phylum Coelenterata (hewan berongga) atau Cnidaria yang dapat

mengeluarkan CaCO3. Jika CaCO3 terkena air laut maka akan

(30)

27

autotrof lainnya seringkali memanfaatkan nitrogen dan fosfor

yang tersedia. Cahaya merupakan salah satu faktor yang penting bagi karang hermatypic (kelompok karang yang mampu membentuk terumbu). Cahaya dibutuhkan oleh simbion karang zooxanthellae yang hidup di dalam jaringan tubuh karang hermatypic yang merupakan penyuplai utama kebutuhan hidup karang.

Terumbu karang memiliki nilai penting sebagai sumber makanan, habitat bagi berbagai biota laut yang memiliki nilai ekonomis yang cukup tinggi, sebagai penyedia jasa alam dalam kegiatan wisata bahari, sebagai tempat perlindungan bagi satwa laut lainnya dari hewan pemangsa, tempat mencari makan dan berkembang biak bagi ikan-ikan terumbu dan sebagai penghalang bagi daerah pantai dari terjangan gelombang.

Laut Sawu merupakan salah satu kawasan yang memiliki potensi terumbu karang dengan keanekaragaman yang sangat tinggi. TNP Laut Sawu yang merupakan bagian dari Eko-region Sunda Kecil, tercatat memiliki jumlah spesies karang sebanyak 532 spesies dan terdapat 11 spesies endemik dan sub endemik dan merupakan tempat hidup bagi sekitar 350 jenis ikan karang. Terumbu karang di TNP Laut Sawu ditemukan tersebar di perairan pesisir di seluruh kabupaten yang masuk dalam kawasan TNP Laut Sawu dengan luasan total 63.339,32 ha (TNC Savu Sea, 2011).

(31)

28

Gambar 11. Sebaran Ekosistem Terumbu Karang di Wilayah TNP Laut Sawu dan Sekitarnya

Sumber : Savu Sea Project, TNC (2011)

(32)

29

Terumbu karang di TNP Laut Sawu ditemukan tersebar di perairan desa-desa pesisir di Kabupaten Kupang, Kabupaten Rote Ndao, Kabupaten Sabu Raijua, Kabupaten Sumba Timur, Kabupaten Sumba Tengah, Kabupaten Sumba Barat Daya, Kabupaten Manggarai, dan Kabupaten Manggarai Barat, dan sebarannya terkonsentrasi terutama di Kabupaten Rote Ndao. Kondisi terumbu karang bervariasi dari keadaan baik sekali hingga buruk sekali yang ditunjukkan oleh persentase tutupan karang hidupnya. Hasil pengamatan lintasan survey sepanjang 413,63 km yang meliputi 8 kabupaten di kawasan TNP Laut Sawu menunjukkan bahwa kondisi terumbu karang dalam kategori baik sekali adalah 0,4%, kondisi baik 4,6%, kondisi sedang 39,2%, kondisi buruk 28,4%, dan kondisi buruk sekali 27,4%. Hasil ini mengindikasikan hampir sebagian dari total lintasan survey terumbu karang di TNP Laut Sawu dalam keadan buruk (persentase tutupan karang hidup ≤ 25%). Untuk mengetahui kondisi eksisting dan sebaran terumbu karang di kawasan TNP Laut Sawu dan tingkat kerusakannya serta sebaran biota laut lainnya akan dijelaskan pada setiap Kabupaten berikut ini.

a) Kabupaten Kupang

(33)

30

Desa Kuanheum, Desa Oematnunu, Desa Tesabela, Desa Lifuleo, dan Desa Akle. Bentuk pertumbuhan karang hidup di Kabupaten Kupang umumnya tersusun atas karang massive dan encrusting terutama lintasan survey dari Desa

Soliu hingga Desa Naikliu selanjutnya bentuk pertumbuhan bervariasi dengan adanya karang tabulate, branching, sub massive dan foliose di desa-desa seperti di Desa Kuanheum, Desa Oematnunu, Desa Tesabela, Desa Lifuleo dan Desa Uitiuhana. Kondisi terumbu karang di Kabupaten Kupang sebagaimana terdapat pada Gambar 12.

Gambar 12. Peta kondisi terumbu karang di Kabupaten Kupang (Munasik, dkk, 2011)

(34)

31

b) Kabupaten Manggarai dan Kabupaten Manggarai Barat Terumbu karang di Kabupaten Manggarai dan Kabupaten Manggarai Barat tersebar di pesisir Desa Sataruwuk, Desa Cekaluju yang terletak di Kabupaten Manggarai dan Desa Nangabere yang terletak di Kabupaten Manggarai Barat serta di Desa Nuca Molas yang terletak di Kabupaten Manggarai. Kondisi terumbu karang di dua kabupaten tersebut bervariasi dari sedang hingga buruk sekali ditunjukkan dari persen tutupan karang hidup 10-50%. Kondisi terumbu karang di Kabupaten Manggarai dan Kabupaten Manggarai Barat sebagaimana terdapat pada Gambar 13.

Gambar 13. Peta kondisi terumbu karang di Kabupaten Manggarai dan Manggarai Barat (Munasik, dkk, 2011).

Terumbu karang di desa-desa pesisir tersebut umumnya dalam kategori buruk hingga buruk sekali dengan persentase tutupan karang ≤ 25%. Adapun kondisi terumbu di Desa Nuca Molas bervariasi dari sedang hingga buruk sekali. Bentuk pertumbuhan karang hidup umumnya di Kabupaten Manggarai dan Kabupaten Manggarai Barat berupa karang massive dan encrusting.

(35)

32

tutupan karang hidup di Desa Cekaluju karena substrat dasar umumnya tersusun dari pasir dan batu sehingga karang tidak dapat tumbuh dengan baik sedangkan di Desa Sataruwuk, selain tertutup pasir dan batu substrat tersusun oleh karang lunak. Kondisi yang berbeda terjadi di Desa Nuca Molas, meskipun tutupan karang hidup di Desa Nuca Molas mencapai 50% akan tetapi rata-rata persentase tutupan karang hidup hanya 15%. Hal tersebut terjadi karena umumnya substrat dasar di pulau tersebut tersusun oleh pecahan karang dan karang lunak. Hal tersebut mengindikasikan bahwa di Desa Nuca Molas telah terjadi kerusakan tingkat sedang oleh aktivitas penangkapan ikan dengan bom.

c. Kabupaten Rote Ndao

(36)

33

Tingkat kerusakan terumbu karang di perairan Kabupaten Rote Ndao tergolong sedang hingga tinggi. Secara umum penyebabnya adalah aktivitas penangkapan ikan merusak dengan menggunakan bom dan racun ikan seperti yang ditemukan di Kecamatan Rote Timur. Beberapa kerusakan juga terjadi di dataran terumbu akibat aktivitas makameting, seperti yang terjadi di Desa Londalusi, Teluk Papela. Rendahnya tutupan karang hidup di Desa Daiama, Mulut Seribu Kecamatan Rote Timur selain akibat penggunaan bom juga dikarenakan kekeruhan dan aktivitas budidaya rumput laut. Penyakit karang (coral disease) umumnya ditemukan di perairan yang mengalami kekeruhan. Meskipun ancaman kerusakan dari sedang hingga tinggi, Kabupaten Rote Ndao adalah lokasi yang memiliki banyak ragam jenis large fauna yang ditemukan. Terdapat lima jenis large fauna yang ditemukan yaitu Bumphead parrotfish, Snapper, Sweetlips, Hiu, Giant Trevally dan Platax. Lokasi ditemukan large fauna tersebar di beberapa lokasi di Rote Timur, Onatali, Bo’a, Mbueain, Pulau Ndo’o dan Pulau Ndana. Kondisi terumbu karang di Kabupaten Rote Ndao sebagaimana terdapat pada Gambar 14.

(37)

34 d. Kabupaten Sabu Raijua

Kondisi terumbu karang di Kabupaten Sabu Raijua bervariasi dari baik hingga buruk sekali yang ditunjukkan oleh persentase tutupan karang hidup 10%-60%. Kategori baik hanya ditemukan pada lintasan yang pendek di Desa Menia, Kecamatan Sabu Barat dan Desa Molie, Kecamatan

Hawu Mehara, sedangkan kategori sedang umum

ditemukan di Kabupaten Sabu Raijua. Kondisi terumbu karang sedang dijumpai di Desa Molie dan di desa-desa di Kecamatan yang sama seperti Desa Lobohede, Desa Daeiko, Desa Raedewa. Selain itu kondisi terumbu karang sedang juga dijumpai di Desa Mebba dan Desa Menia, Kecamatan Sabu Barat, Desa Ledeke, Desa Ledeunu, Desa Ballu dan Desa Kolorae, Kecamatan Raijua.

Bentuk pertumbuhan karang hidup di Kabupaten Sabu Raijua meliputi massive, sub-massive, tabulate, branching, encrusting dan foliose. Meskipun kondisi

terumbu karang buruk sekali ditemukan dalam lintasan survey cukup panjang utamanya di Desa Menia namun

(38)

35

Gambar 15. Peta kondisi terumbu karang di Kabupaten Sabu Raijua (Munasik, dkk, 2011)

e. Kabupaten Sumba Timur

Kondisi terumbu karang di Kabupaten Sumba Timur menunjukkan kondisi bervariasi dari kategori baik hingga buruk sekali. Hal tersebut ditunjukkan oleh persentase tutupan karang hidup yang berkisar antara 5%-70%. Kondisi terumbu karang dengan kategori baik hingga sedang (40%-70%) ditemukan di Desa Napu, Kecamatan Haharu. Kondisi terumbu karang dengan kategori sedang hingga buruk (20%-40%) ditemukan di Desa Kayuri, Kecamatan Rindi. Adapun kondisi terumbu karang dengan kategori sedang hingga buruk sekali (10%-50%) terdapat di Desa Heikatapu dan Desa Rindi, Kecamatan Rindi. Bentuk pertumbuhan karang hidup di Kabupaten Sumba Timur meliputi massive, submassive, tabulate, branching, encrusting dan foliose.

(39)

36

(Carangidae), dan Pari (Eagle ray). Namun demikian ekosistem terumbu karang di Kecamatan Rindi memiliki tingkat kerusakan yang tinggi akibat aktivitas penangkapan ikan yang merusak dengan menggunakan racun ikan. Ancaman penangkapan ikan merusak dengan menggunakan bom juga terjadi di Desa Napu, Kecamatan Haharu serta aktivitas nelayan berupa pembuangan jangkar di Desa Rindi. Kondisi terumbu karang di Kabupaten Sumba Timur sebagaimana terdapat pada Gambar 16.

Gambar 16. Peta kondisi terumbu karang di Kabupaten Sumba Timur (Munasik, dkk, 2011)

f. Kabupaten Sumba Tengah

(40)

37

karang dengan kategori buruk dan buruk sekali ditemukan dalam lintasan yang pendek di semua desa. Bentuk pertumbuhan karang hidup umumnya massive, branching, foliose, tabulate dan encrusting. Bentuk pertumbuhan karang di Desa Lenang umumnya didominasi oleh karang branching. Tingkat kerusakan terumbu karang di

Kabupaten Sumba Tengah tergolong tinggi kecuali Desa Tanambanas Kecamatan Katikutana dengan tingkat kerusakan rendah hingga sedang. Secara umum, ancaman kerusakan terumbu karang adalah penangkapan ikan merusak dengan menggunakan bom dan racun ikan. Kondisi terumbu karang di Kabupaten Sumba Tengah sebagaimana terdapat pada Gambar 17.

Gambar 17. Peta kondisi terumbu karang di

KabupatenSumba Tengah (Munasik, dkk, 2011)

g. Kabupaten Sumba Barat Daya

(41)

38

adalah kategori sedang (26%-50%) berpadu dengan kondisi buruk (10%-25%) yang ditemukan di desa-desa pesisir Kabupaten Sumba Barat Daya, yaitu Desa Bukambero, Desa Waelonda, Desa Kori, Desa Weepangali, Desa Karuni, dan Desa Letekonda. Bentuk pertumbuhan karang umumnya massive, submassive, branching, foliose, tabulate dan encrusting. Tingkat kerusakan terumbu karang di Kabupaten Sumba Barat Daya bervariasi dari rendah hingga tinggi. Penyebab kerusakan umumnya adalah akibat badai yang mengakibatkan karang tabulate terbalik serta aktivitas nelayan membuang jangkar. Kondisi terumbu karang di Kabupaten Sumba Barat Daya sebagaimana terdapat pada Gambar 18.

Gambar 18. Peta kondisi terumbu karang di Kabupaten Sumba Barat Daya (Munasik, dkk., 2011)

2) Mangrove

(42)

39

dimanfaatkan sebagai kayu bakar, alat tangkap ikan, dan bahan membuat rumah. Jenis kerapatan dan lingkar batang mangrove terdapat pada Tabel 7.

Tabel 7. Jenis Kerapatan dan Lingkar Batang Mangrove

St Kabupaten mt mu Lokasi Spesies Dominan Kerapatan (ind/10 m2)

Lingkar Batang

1 Rote Ndao 541999 8828401 Daiama Rhizophora stylosa 8 80

2 531454 8828331 Oen

Rhizophora

apiculata 12 50

Sonneratia Alba 4 100

3 523921 8827578 Oenggae Rhizophora apiculata 14 60

4 508176 8800261 Dombo Sonneratia alba 4 180

5 508222 8800118 Dombo Sonneratia alba 4 140

Rhizophora stylosa 3 60

Aegiceras floridum 2 120

6 488216 8793572 Oeseli Bruguiera spp 7 80

7 Sabu Raijua 372407 8839098 Osbornia octodonta 3 100

Ceriops tagal 9 50

Rhizophora spp 1 30

8 373184 8839727 Seba Osbornia octodonta 3 100

Ceriops tagal 9 50

9 Sumba Timur 258918 8897861 Heikatapu Aegialitis annulata 56 40

Sumber : Hasil Survey, 2011

Hutan mangrove di Provinsi NTT terdiri atas kurang lebih 9 (sembilan) famili yang terbagi dalam 15 (lima belas) spesies antara lain Bakau Genjah (Rizhophora mucronata), Bakau Kecil (Rizhophora apiculata), Bakau Tancang (Bruguiera spp), Bakau Api-api (Avicennia spp), Bakau Jambok (Xylocorpus spp), Bakau Bintaro (Cerbera manghas), dan Bakau Wande (Hibiscus tiliaceus). Hasil analisis citra satelit resolusi tinggi Tahun 2011

mencatat luas mangrove di dalam kawasan TNP Laut Sawu yaitu 5019,53 hektar dengan daerah yang mempunyai luasan mangrove paling besar yaitu di Kabupaten Sumba Timur dan di Kabupaten Rote Ndao (TNC Savu Sea, 2011).

3) Padang Lamun

Ekosistem padang lamun mempunyai peran yang sangat

penting. Apabila ditinjau dari beberapa aspek

keanekaragaman hayati, padang lamun memiliki

(43)

40

laut, antara lain ikan, moluska, krustasea, ekinodermata, penyu, dan dugong. Lamun dapat juga mengurangi dampak

gelombang pada pantai sehingga dapat membantu

menstabilkan garis pantai. Secara ekonomi, padang lamun menyediakan berbagai sumberdaya yang dapat digunakan untuk menyokong kehidupan masyarakat antara lain untuk makanan, perikanan, bahan baku obat, dan pariwisata. Ancaman terhadap ekosistem padang lamun ada beberapa faktor antara lain perubahan fisik dasar laut, seperti erosi, sedimentasi, dan pelumpuran yang mengurangi wilayah dan kepadatan tutupan padang lamun, kekeruhan yang mempengaruhi kapasitas fotosintesis dan pertumbuhan pada lamun, serta metode penangkapan ikan yang tidak ramah lingkungan.

Hasil analisa citra satelit resolusi tinggi, lamun paling banyak ditemukan di semua perairan Kabupaten Sumba Timur, Kabupaten Sabu Raijua, dan Kabupaten Rote Ndao. Total luasan daerah lamun di TNP Laut Sawu yaitu 5320,62 hektar. Sedikitnya terdapat 10 (sepuluh jenis) lamun dalam 2 famili di TNP Laut Sawu (TNC Savu Sea, 2011).

4) Habitat Perairan Dalam

(44)

41

TNP Laut Sawu merupakan pulau satelit, yang diidentifikasi sebagai habitat dengan keanekaragaman hayati yang termasuk komponen pesisir dan kelautan yang penting.

Upwelling musiman yang kuat di TNP Laut Sawu terjadi di

perairan Kupang sebelah barat, Rote sebelah barat, Sumba Timur dan Manggarai serta Manggarai Barat pada bulan Mei sampai dengan Oktober. Fenomena upwelling yang membawa massa air laut bersuhu dingin dari dasar perairan yang kaya akan nutrient ke perairan di atasnya menjadikan variasi suhu yang tinggi di daerah perairan tersebut sehingga perairan tersebut mempunyai produktivitas primer yang tinggi sehingga ikan banyak berkumpul mencari makan di daerah ini dan juga menjadikan daerah ini tahan terhadap dampak dari pemanasan global sehingga menjadikan habitat vital seperti terumbu karang lebih tahan terhadap fenomena pemutihan (bleaching). Habitat perairan dalam dan oseanografi di TNP Laut Sawu sebagaimana terdapat pada Gambar 19.

Gambar 19. Peta habitat perairan dalam dan oseanografi di TNP Laut Sawu (TNC Savu Sea Project, 2011)

b. Sebaran Biota Laut 1) Mamalia Laut

(45)

42

perairan Laut Sawu khususnya TNP Laut Sawu mempunyai koridor-koridor penting perlintasan mamalia laut. Perlintasan-perlintasan tersebut penting artinya terkait dengan upaya pengelolaan wilayah TNP Laut Sawu itu sendiri, sehingga perlu mendapatkan perhatian. Di perairan TNP Laut Sawu ditemukan mamalia laut sebanyak 22 spesies yang terdiri dari 14 spesies paus, 7 spesies lumba-lumba, dan 1 spesies dugong (Ped-Soede, 2002; dan Kahn, 2005). Mamalia laut yang ditemukan di TNP Laut Sawu sebagaimana terdapat pada Tabel 8.

Tabel 8. Mamalia Laut yang ditemukan di TNP Laut Sawu

No Nama Spesies

macrocephalus Paus sperma

Kote

whale Kogia breviceps

Paus sperma

pembunuh Seguni

6 False killer whale Pseudorca crassidens

Paus pembunuh palsu

Temu bela

7 Pygmy killer whale Feresa attenuata

Paus

whale Peponocephala electra

Paus kepala semangka

Temu kebong

9 Beaked whale Mesoplodon spp. Ika mea

10 Cuvier’s beaked

whale Ziphius cavirostris

Paus paruh

cuvier Ika mea

11 Bryde’s whale Balaenoptera brydei Paus bryde n/a

12 Pygmy Bryde’s

whale Balaenoptera edeni

Paus bryde

kecil n/a

13 Blue whale Balaenoptera

musculus Paus biru

Lelangga ji

14 Humpback whale Megaptera

novaeangliae Paus bongkok n/a

15 Spinner dholpin Stenella longirostris Lumba-lumba

paruh panjang

Temu kira

16 Pan-tropical

spotted dolphin Stenella attenuate

Lumba-lumba totol

Temu kira

17 Rough-toothed

dolphin Steno bredanensis

Lumba-lumba

gigi kasar n/a

18 Risso’s dolphin Grampus griseus Lumba-lumba

abu-abu

Temu bura

19 Bottlenose dolphin Tursiops truncates Lumba-lumba

hidung botol n/a

20 Fraser’s dolphin Lagenodelphis hosei Lumba-lumba

fraser

Temu notong

21 Indo-Pacific

bottlenose dolphin Tursiops aduncus n/a

(46)

43

Secara khusus, Kahn (2005) melakukan pengamatan di Laut Sawu dan menemukan beberapa jenis paus di Laut Sawu, antara lain paus sperma (sperm whale), paus pembunuh kerdil (pigmy killer whale), paus kepala semangka (melon headed whale), paus bryde (Bryde’s whale), lumba-lumba paruh panjang (spinner dolphin), lumba-lumba totol (pan-tropical spotted dolphin), lumba-lumba gigi kasar (rough-toothed dolphin),

lumba-lumba abu-abu (risso’s dolphin), dan lumba-lumba Fraser (Fraser’s dolphin). Adapun pola gerakan paus yang melintasi TNP Laut Sawu sebagaimana terdapat pada Gambar 20.

Gambar 20. Pola gerakan paus di Laut Sawu (Kahn, 2005).

Selain itu, Kahn juga mengamati gerakan/migrasi paus dengan satelit tagging. Hasil pengamatannya menunjukkan pola pergerakan paus biru dan paus sperma dari Solor dan Alor. Paus Biru bergerak dari Selat Ombay ke Perairan Arafura, sementara Paus Sperma bergerak dari Samudera Hindia ke Laut Sawu. Selain itu juga direkam kegiatan Paus Biru di waktu malam dan siang. Pada saat siang, paus tersebut berenang hingga kedalaman 250 meter, sedangkan pada malam hari paus tersebut berada di permukaan.

(47)

44

Lumba–lumba Paruh Panjang (Stenella longirostris), Lumba– lumba Abu-abu (Grampus griseus), dan 1 jenis paus tidak teridentifikasi karena jauhnya jarak pengamatan. Paus Biru (Balaenoptera musculus) yang ditemukan sebanyak 1 ekor. Hasil monitoring yang dilakukan oleh TNC terhadap keberadaan Paus di perairan Laut Sawu pada tanggal 23 Mei 2011 di perairan Desa Uitiuhana, Kecamatan Semau Selatan, Kabupaten Kupang sebagaimana terdapat pada Tabel 9.

Tabel 9. Monitoring Keberadaan Paus di Perairan Laut Sawu Waktu /jam Posisi Jenis paus dan arah pergerakan

11.44–11.47 WITA

S-10.28287204°; E123.42552764°

Paus Biru berenang ke arah Utara menuju Pulau Kambing, Kecamatan Semau.

S-10.28176085°; E123.42478945

Arah pergerakan berenang ke arah barat menuju Selat Tablolong S-10.28169388°;

E123.42490420°

Arah pergerakannya menuju ke Utara menuju Tanjung Akle

8.00 WITA S-10.32491173°; E123.41491867°

Arah pergerakan hanya berputar – putar di Tanjung Akle dari selatan ke timur (jenis paus tidak teridentifikasi)

Sumber : Savu Sea Project - TNC, 2011

Lumba–lumba Paruh Panjang (Stenella longirostris) ditemukan di Tanjung Kurus sebanyak 2 ekor pada pukul 16.49 WITA, tanggal 21 Mei 2011 dengan arah pergerakan dari utara ke selatan pada titik koordinat S-9.814188° E123.626892°. Sementara pada tanggal 23 Mei 2011 pada pukul 8.19 WITA, Lumba–lumba Paruh Panjang ditemukan sebanyak 20 ekor di Desa Soliu. Pada koordinat S-9.547476° E123.7595° dengan arah pergerakan dari perairan dalam di bagian barat ke arah timur dengan aktivitas mencari makan. Di perairan Desa Batutua, Kecamatan Rote Barat Daya, Kabupaten Rote Ndao ditemukan Lumba–lumba Abu-abu (Grampus griseus) sebanyak 2 (dua) ekor pada koordinat S-10.87288° E123.00011° dengan arah pergerakan dari timur (Desa Dolasi) ke arah barat (Desa Oebou).

(48)

45

Gambar 21. Peta Sebaran Mamalia Laut di TNP Laut Sawu (TNC Savu Sea Project, 2011)

2) Penyu

Penyu adalah reptilia laut yang banyak ditemukan di perairan Laut Sawu. Berdasar hasil survey yang dilakukan, kawasan TNP Laut Sawu merupakan habitat bagi minimal 6 spesies penyu yaitu :

1. Penyu hijau (Chelonia mydas) ditemukan di perairan Kabupaten Kupang, Kabupaten Rote Ndao, Kabupaten Sabu, Kabupaten Manggarai, Kabupaten Sumba, dan Kabupaten Timur Tengah Selatan;

2. Penyu sisik (Eretmochelys imbricata) ditemukan di perairan Kabupaten Kupang, Kabupaten Rote Ndao, Kabupaten Sabu, Kabupaten Manggarai, Kabupaten Sumba, dan Kabupaten Timur Tengah Selatan;

3. Penyu lekang (Lepidochelys olivacea) ditemukan di perairan Kabupaten Timur Tengah Selatan;

4. Penyu belimbing (Dermochelys coriacea) ditemukan di perairan Kabupaten Kupang, Kabupaten Sumba, dan Kabupaten Timur Tengah Selatan;

5. Penyu pipih (Natator depressus) ditemukan di perairan Kabupaten Rote Ndao dan Kabupaten Sabu;

(49)

46

Monitoring manta tow juga berhasil menemukan keberadaan penyu dalam ekosistem terumbu karang. Lokasi keberadaan penyu terdapat di Desa Nuca Molas di Kabupaten Manggarai, dan di Desa Bolatena, Desa Rotedale, serta Desa Bo’a di Kabupaten Rote Ndao dengan jenis Penyu Hijau (Chelonia mydas), Penyu Sisik (Eretmochelys imbricata), dan Penyu Lekang (Lepydochelys olivachea). Jenis Penyu Hijau adalah jenis yang paling banyak ditemukan yaitu 9 (sembilan) ekor, dengan lokasi di Desa Nuca Molas, Kabupaten Manggarai sebanyak 8 (delapan) ekor dan Desa Bolatena, Kabupaten Rote Ndao sebanyak 1 (satu) ekor.

Pada jalur manta tow ditemukan Penyu Sisik (Eretmochelys imbricata) yang sedang melintas di Desa Nuca Molas, Kabupaten Manggarai dan Desa Rotedale, Kabupaten Rote Ndao sebanyak 2 (dua) ekor, sementara di Tanjung Bo’a, Kabupaten Rote Ndao ditemukan Penyu Lekang yang sedang melakukan perkawinan di permukaan air dengan kondisi gelombang yang besar. Peta sebaran reptil di TNP Laut Sawu sebagaimana terdapat pada Gambar 22.

Gambar 22. Peta Sebaran Reptil di TNP Laut Sawu (TNC Savu SeaProject, 2011)

3) Large Fauna

Large Fauna merupakan biota target dalam monitoring

(50)

47

serta memiliki peranan penting baik dalam sisi ekologis maupun ekonomis di area terumbu karang. Biota yang menjadi target

pengamatan antara lain jenis Kerapu (Grouper),

Humphead/Napoleon (Cheilinus undulatus), Hiu (Charcanidae),

Bumphead parrotfish (Bolbometopon muricatum), Pari Manta

(Manta byrostris), Tuna Sirip Kuning (Thunus albacores). Monitoring Manta Tow yang dilakukan di 4 (empat) kabupaten yaitu Kabupaten Kupang, Kabupaten Rote Ndao, Kabupaten Manggarai, dan Kabupaten Manggarai Barat menemukan 4 (empat) jenis Large Fauna. Jenis yang ditemukan adalah Bumphead parrotfish (Bolbometopon muricatum), Humphead

(Cheilinus undulatus), Grouper (Ephinephelus. spp) dan Hiu (Negaprion acuntides). Bumphead parrotfish (Bolbometopon muricatum) merupakan jenis yang paling banyak ditemukan,

baik lokasi maupun persebarannya. Jenis tersebut paling banyak ditemukan di Kabupaten Rote Ndao. Schooling Bumphead parrotfish (Bolbometopon muricatum) di Kecamatan

Rote Barat Laut ditemukan di Desa Nembrala sebanyak 20 (dua puluh) ekor, Pulau Ndo’o 4 (empat) ekor, Pulau Ndao 10 (sepuluh) ekor, Pulau Nuse 25 (dua puluh lima) ekor. Di Kecamatan Rote Timur, jenis tersebut ditemukan di Desa Sotimori sebanyak 20 (dua puluh) ekor. Humphead (Cheilinus undulatus) ditemukan secara individual. Jenis tersebut ditemukan di Kabupaten Manggarai, Kabupaten Kupang, dan Kabupaten Rote Ndao. Adapun persebaran paling banyak ditemukan di Desa Nuca Molas, Kecamatan Satarmese Barat, Kabupaten Manggarai yaitu sebanyak 2 (dua) ekor dalam towing yang berbeda. Di Kabupaten Kupang jenis tersebut ditemukan sebanyak 1 (satu) ekor, yaitu di Desa Soliu, Kecamatan Amfoang Barat Laut. Grouper (Ephinephelus. spp) ditemukan di Desa Bo’a, Kecamatan Rote Barat Daya, Kabupaten Rote Ndao sebanyak 1 (satu) ekor. Estimasi ukuran tubuhnya lebih dari 40 (empat puluh) cm. Selain Grouper (Kerapu), di Pulau Ndana ditemukan pula ikan karang Sweetlips (Plectorincus chaetodontoides) dengan ukuran lebih dari 40 (empat puluh) cm.

(51)

48

kecil dari Sweetlips. Hiu (Negaprion acuntides) ditemukan di Desa Sotimori, Kecamatan Rote Timur, Kabupaten Rote Ndao sebanyak 1 (satu) ekor. Berdasarkan informasi dari nelayan, hiu yang ditemukan tidak temasuk dalam ikan target penangkapan karena nilai ekonomisnya rendah. Selain itu, berdasarkan informasi yang diperoleh, Desa Sotimori dan Desa Bo’a merupakan lokasi – lokasi penangkapan ikan bernilai ekonomis tinggi di Kabupaten Rote Ndao, ketika musim angin barat. Daerah tempat ditemukannya large fauna yaitu di area terumbu karang. Bumphead parrotfish banyak terdapat di Pulau Ndo’o dengan kondisi terumbu karang baik (sedang dan tinggi). Bumphead parrotfish adalah ikan herbivora. Ketersediaan

makanan menjadi faktor utama, sebab pada area terumbu karang juga banyak ditemukan alga. Alga biasanya menempel pada karang hidup, batu, dan pecahan karang. Kecuali di Pulau Ndo’o, lokasi ditemukannya large fauna tidak semuanya memiliki tutupan terumbu karang yang baik (kategori; sedang, tinggi, sangat tinggi). Large fauna ditemukan di lokasi tersebut karena pada lokasi itu tersedia tempat berlindung. Grouper dan Sweetlips menggunakan celah pada substrat batu sebagai habitat. Berbeda dengan Tanjung Bo’a dan Pulau Ndana, Hiu di Mulut Seribu menyamarkan keberadaanya pada substrat pasir.

3. Potensi Ekonomi

(52)

49

cenderung melemah, tetap memegang peranan penting dalam perekonomian di wilayah ini.

Sektor perdagangan, hotel dan restoran menunjukkan prospek yang cukup menggembirakan. Peranan sektor ini sebesar 17,55% terhadap perekonomian Provinsi NTT. Kemudian pada tahun berikutnya, peranan sektor ini sedikit menurun menjadi sebesar 17,51%. Akan tetapi kembali meningkat pada tahun-tahun berikutnya, hingga akhirnya mencapai 17,93% pada tahun 2009. Demikian halnya peranan sektor jasa dalam perekonomian Provinsi NTT, juga terlihat semakin meningkat pada kurun waktu tahun 2007– 2009. Meskipun pada tahun 2007 sektor ini hanya mampu menyumbang 16,47% terhadap PDRB Provinsi NTT, bahkan kedudukannya lebih rendah dan tergeser oleh sektor perdagangan, hotel dan restoran sebagai penyumbang kedua terbesar setelah sektor pertanian, namun sejak diberlakukannya otonomi daerah sampai dengan tahun 2008 dan berlanjut hingga tahun 2009 sumbangan sektor ini terhadap PDRB Nusa Tenggara Timur kembali menduduki urutan kedua terbesar dengan sumbangan sebesar 18,51% hingga 21,17 %.

Uraian singkat tersebut memperlihatkan bahwa peran dominan sektor pertanian dalam perekonomian Provinsi NTT, tetap tidak bergeser pada kurun waktu tahun 2000–2003. Sedangkan untuk sektor dominan lain telah terjadi pergeseran posisi. Dominasi ketiga sektor tersebut secara gabungan terhadap perekonomian Provinsi NTT cenderung menguat. Hal ini ditunjukkan oleh semakin kecilnya peranan sektor lain terhadap pembentukan PDRB Provinsi NTT dalam kurun waktu tahun 2000–2002, meskipun peranan sektor lain ini mengalami sedikit kenaikan pada tahun 2003 menjadi 21,66%.

Gambar

Tabel 2.Titik batas koordinat TNP Laut Sawu dan sekitarnya di Provinsi Nusa Tenggara Timur
Gambar 5. Profil Kedalaman Laut Sawu
Gambar 10. Kandungan Klorofil di Laut Sawu pada Bulan November 2010 dan April 2011
Gambar 11.
+7

Referensi

Dokumen terkait