BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Desain Penelitian
Desain penelitian ini dilakukan dengan Cara potong lintang bersifat analitik yang menilai hubungan pemberian regimen ARV yang mengandung tenofovir dengan tanpa mengandung tenofovir selama 6 bulan.
3.2 Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian dimulai pada bulan Maret 2016 sampai bulan Februari 2017 di Poli Pusat Pelayanan Khusus (Pusyansus) RSUP H.Adam Malik Medan.
3.3 Populasi dan Sampel
ODHA yang rawat jalan di Poli Pusyansus RSUP H.Adam Malik Medan pada bulan Maret 2016 yang telah mendapat terapi ARV selama 6 bulan.
3.4 Kriteria yang Diikutsertakan dalam Penelitian
- Pasien HIV/AIDS berusia diatas 16 tahun.
- Telah konfirmasi diagnosis infeksi HIV sesuai prosedur dari Kemenkes RI.
- Telah mengkonsumsi HAART 6 bulan. - Bersedia ikut dalam penelitian.
3.5 Kriteria yang Dikeluarkan dalam Penelitian
- Pasien yang sebelum mendapat terapi ARV dijumpai GFR < 60 dan atau proteinurin 1(+) dengan eritrosit dan leukosit di urin
- Albuminuria > 300 mg/dL - Pasien dengan Hepatitis C - Pasien dengan hepatitis B
- Pasien dengan Penyakit Jantung Kongestif - Pasien dengan Hipertensi
- Ibu hamil.
3.6 Besar Sampel
Perkiraan besar sampel menggunakan rumus uji hipotesis beda proporsi dua populasi
n1= n2 = ~ Jumlah sampel minimal: pasien untuk tiap kelompok n1=n2 = Zα √ + Z √ 2
p1 - p2 Dimana:
Zα = deviat baku alpha utk = 0, 05 maka nilai baku normalnya 1, 96.
Z = deviat baku alpha utk = 0, 20 maka nilai baku normalnya 0, 842.
p1 = proporsi albuminuria pada os HIV = 30% = 0, 3. 15
p2 = proporsi albuminuria pada os HIV dengan tenofovir = 6, 2% = 0, 06. 15
p = p1+p2 =0, 18 2
q1 = 1-p1 = 1- 0, 3 = 0, 7 q2 = 1-p2 = 1- 0, 06 = 0, 94
Maka sampel minimal untuk penelitian ini sebanyak n1 = n2 = 39 penderita HIV.
3.7 Cara Kerja
b. Dilakukan pengambilan data pribadi dan klinis melalui rekam medik untuk mengetahui subyek yang telah mendapat terapi ARV selama 6 bulan.
c. Data meliputi : umur, jenis kelamin, berat badan, tinggi badan serta data laboratorium saat akan memulai terapi ARV yang terdiri dari haemoglobin, ureum, kretatinin, CD4, dan menghitung GFR dengan rumus Cockcroft Gault :
(140-umur) x Berat badan (kg) x 1(laki-laki) atau 0,85(perempuan) 72 x kreatinin serum
GFR dihitung dengan satuan mL/min/1,73m2
d. Pemeriksaan mikroalbuminuria dimana subyek diminta untuk menampung urin dalam pot urin sebanyak ± 50 mL dan dilakukan pemeriksaan mikroalbuminuria kuantitatif dengan memakai metode turbidimetric immunoassay dengan perangkat Architecs dari Abbot. Prinsip kerjanya adalah albumin dalam urin bereaksi dengan antibodi spesifik (regensia) yang dengan adanya polietilen glikol, maka akan cepat terbentuk presipitat komplek imun timbul kekeruhan kekeruhan ini diukur secara fotometris dimana hasilnya sebanding dengan kadar albumin dalam urin.
3.8Definisi Operasional
a. Subyek penelitian adalah seseorang yang didiagnosa dengan HIV/AIDS yang telah dikonfirmasi positif dengan pemeriksaan antibodi terhadap HIV menggunakan rapid test dengan tiga metode yang berbeda dan telah mendapat terapi HAART selama 6 bulan. b. Usia diperoleh berdasarkan data yang tertera pada kartu tanda
penduduk yang dinyatakan dalam satuan tahun.
c. Jenis kelamin diperoleh berdasarkan data yang tertera pada kartu tanda penduduk yang dinyatakan sebagai pria atau wanita.
e. Status gizi adalah indeks massa tubuh subjek penelitian yang dinyatakan dalam kg/m2. Di hitung dengan rumus
IMT = BB (kg) TB2 (meter)
f. Kadar CD4 merupakan jumlah absolut CD4 yang diperoleh dari hasil pemeriksaan dengan menggunakan metode flowcytometry dengan prinsip kerjanya reagen dilarutkan ke dalam sampel darah interaksi dengan CD3, CD4 dan CD45 membentuk antibodi
monoklonal spesifik masing-masing dan dengan pewarna fluorescent yang berbeda dan dibaca oleh alat. Hasil pemeriksaan akan keluar dalam bentuk angka. Pemeriksaan menggunakan alat
FACSCalibur (Becton Dickinson Immunocytometry System, San
Jose, CA) dan hasil dinyatakan dalam sel/mm3.
g. Obat antiretroviral (ARV) merupakan obat bekerja, dipakai, atau efektif menghambat replikasi HIV. Terdapat 5 jenis obat :
i. Reverse Transcriptase Inhibitors , terdiri dari :
- Nucleoside/Nucleotide Reverse Transcriptase Inhibotors
- Non Nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitors
ii. Protease Inhibitor (PI) iii. Fusion Inhibitor (FI) iv. Co reseptor Antagonist v. Integrase Inhibitor
Berdasarkan Pedoman Nasional Tatalaksana HIV 2014 di Indonesia, pemerintah menganjurkan pengobatan antiretroviral lini pertama adalah 2 NRTI + 1 NNRTI, dengan salah satu dari paduan dibawah ini:
Paduan Pilihan
TDF+3TC (atau FTC) + EFV dalam betuk kombinasi dosis tetap
Paduan Alternatif
h. Mikroalbuminuria merupakan suatu keadaan dimana kadar albumin pada urin antara 20-200 µg/dL (urin sewaktu) atau 30-300 µg/dL (urin 24 jam).
3.9 Analisa Statistik
Pengolahan dan Analisa data statistik :
1. Untuk melihat gambaran karakteristik subyek penelitian ODHA yang mendapat ARV disajikan dalam bentuk tabulasi dan di deskripsikan.
2. Untuk melihat perbedaan mikroalbuminuria pada kelompok ODHA yang mendapat ARV mengandung tenofovir dan mikroalbuminuria pada kelompok ODHA yang mendapat ARV tanpa mengandung tenofovir digunakan Uji-T tidak berpasangan bila distribusi normal dan bila tidak berdistribusi normal akan digunakan Uji Mann-Whitney U. Uji statistik dengan nilai p<0,05 dianggap bermakna secara statistik
3. Analisa data dilakukan dengan menggunakan program SPSS 19
3.10 Etika Penelitian
3.11 Kerangka Operasional
Gambar 3.1 Kerangka Operasional Ekslusi :
-Penderita sebelum terapi ARV 6 bulan dijumpai GFR < 60 dan atau Proteinuria +1 tanpa eritrosit dan leukosit di urin.
-Albuminuria ≥ γ00 mg/dl -Penderita Hepatitis C -Penderita Hepatitis B -Penderita DM
-Penderita Hipertensi -Ibu Hamil
STATISTIK Penderita HIV/AIDS
ARV Tenofofir (+)
ARV Tenofovir (-) Telah mendapat obat ARV selama
> 6 bulan
BAB IV
HASIL PENELITIAN
4.1 Karakteristik Subyek Penelitian
Penelitian ini diikuti oleh 82 ODHA yang mendapat terapi ARV dengan kisaran umur 21-61 tahun. Subyek penelitian dibagi menjadi dua kelompok yang terdiri dari 41 ODHA yang mendapat terapi ARV mengandung tenofovir dan 41 ODHA dengan terapi ARV tanpa mengandung tenofovir. Pada penelitian ini sebagian besar subjek penelitian adalah laki – laki sebanyak 54 orang, dibandingkan perempuan sebanyak 28 orang. (tabel 4.1)
Tabel 4.1. Karakteristik dasar subyek
juga tidak terdapat pebedaan pada jenis kelamin antara ODHA yang mendapat terapi ARV yang mengandung tenofovir dan ODHA yang mendapat terapi ARV tanpa mengandung tenofovir (p=0, 643).(tabel 4.2)
Pada penelitian ini, rerata berat badan ODHA yang mendapat terapi ARV yang tidak mengandung tenofovir adalah 62, 63±10,66 kg sedangkan ODHA yang mendapat terapi ARV yang mengandung tenofovir adalah 55, 34 ± 9, 65 kg, terdapat perbedaan yang signifikan secara statistik (p = 0, 002).(tabel 4.2)
Pada penelitian ini, median tinggi badan ODHA yang mendapat terapi ARV tanpa mengandung tenofovir adalah 164 cm sedangkan ODHA yang mendapat terapi ARV yang mengandung tenofovir adalah 165 cm, namun tidak terdapat perbedaan yang signifikan secara statistik (p=0,411).(tabel 4.2)
Tabel 4.2. Hubungan karakteristik dasar subyek non laboratorium dengan pemberian ARV
Karakteristik Satuan ODHA diterapi ARV Tanpa
62,63±10,66 55,34±9,65 0,002* Tinggi Badan
23,32±2,81 20,99±2,95 <0,00* Perbedaan bermakna bila p < 0,05, uji perbedaan menggunakan
^= Uji Mann-Whitney U *= Uji T tidak berpasangan
sedangkan ODHA yang mendapat terapi ARV yang mengandung tenofovir adalah 20,99±2,95 kg/m2, terdapat perbedaan yang signifikan secara statistik
(p <0,001).(tabel 4.2)
Pada penelitian ini, rerata kadar hemoglobin pada kelompok ODHA yang mendapat terapi ARV yang tidak mengandung tenofovir adalah 11,89±1,92 gr/dL lebih tinggi daripada kelompok ODHA yang mendapat terapi ARV yang mengandung tenofovir adalah 11,29±1,65 gr/dL, dan hasil uji statistik tidak terdapat perbedaan yang signifikan kadar hemoglobin pada kelompok ODHA yang mendapat terapi ARV yang mengandung tenofovir dengan ODHA yang mendapat terapi ARV yang tidak mengandung tenofovir dengan nilai (p=0,131).(tabel 4.3)
Pada penelitian ini, median kadar ureum pada kelompok ODHA yang mendapat terapi ARV yang tidak mengandung tenofovir adalah 16 mg/dL sedangkan ODHA yang mendapat terapi ARV yang mengandung tenofovir adalah 18,8 mg/dL dan hasil uji statistik tidak terdapat perbedaan yang signifikan kadar ureum pada kelompok ODHA yang mendapat terapi ARV yang mengandung tenofovir dengan ODHA yang mendapat terapi ARV yang tidak mengandung tenofovir (p=0,264).(tabel 4.3)
Pada penelitian ini, rerata kadar kreatinin pada kelompok ODHA yang mendapat terapi ARV yang tidak mengandung tenofovir adalah 0,83±0,18 mg/dL lebih tinggi daripada kelompok ODHA yang mendapat terapi ARV yang mengandung tenofovir adalah 0,79±0,19 mg/dL, dan hasil uji statistik tidak terdapat perbedaan yang signifikan kadar kreatinin pada kelompok ODHA yang mendapat terapi ARV yang mengandung tenofovir dengan ODHA yang mendapat terapi ARV yang tidak mengandung tenofovir dengan nilai (p=0,379). (tabel 4.3)
Pada penelitian ini, rerata kadar CD4 Absolut pada kelompok ODHA yang mendapat terapi ARV yang tidak mengandung tenofovir adalah 44,88 sel/µL lebih tinggi daripada kelompok ODHA yang mendapat terapi ARV yang mengandung tenofovir adalah 38,12 sel/µL, dan hasil uji statistik tidak terdapat perbedaan yang signifikan kadar CD4 Absolut pada kelompok ODHA yang mendapat terapi ARV yang mengandung tenofovir dengan ODHA yang mendapat terapi ARV yang tidak mengandung tenofovir dengan nilai (p=0,199).(tabel 4.3).
Tabel 4.3. Hubungan karakteristik dasar subyek berdasarkan hasil pemeriksaan laboratorium dengan pemberian ARV
Karakteristik Satuan ODHA diterapi ARV Tanpa Perbedaan bermakna bila p < 0,05, uji perbedaan menggunakan
^= Uji Mann-Whitney U *= Uji T tidak berpasangan
4.2 Perbedaan Kadar Mikroalbuminuria
mendapat terapi ARV mengandung tenofovir adalah 16 mg/µL (5–210).(gambar 4.1)
BAB V
PEMBAHASAN
Dari hasil penelitian ini didapati 82 ODHA yang mendapat terapi ARV dengan kisaran umur 21-61 tahun, subjek penelitian terdiri dari 41 ODHA yang mendapat terapi ARV yang mengandung tenofovir dan 41 ODHA yang mendapat terapi ARV yang tanpa mengandung tenofovir. Sebagian besar subjek adalah laki– laki sebanyak 54 orang dan perempuan sebanyak 28 orang.
Laporan Ditjen P2P Kemenkes Republik Indonesia (2016) yang ditulis dalam Profil Kesehatan Indonesia 2015 terdapat kasus baru HIV/AIDS laki-laki sebesar 55% lebih banyak dari perempuan 32%. Sementara usia terbanyak untuk kasus baru pada usia 20-29 tahun (31,8%) diikuti usia 30-39 tahun (29,9%).32
Pada penelitian ini, tidak terdapat perbedaan pada umur, jenis kelamin dan tinggi badan antara ODHA dengan terapi ARV yang mengandung tenofovir dan ODHA dengan terapi ARV tanpa mengandung tenofovir, namun terdapat perbedaan pada berat badan dan Indeks Massa Tubuh (IMT) antara ODHA yang mendapat terapi ARV mengandung tenofovir dan ODHA yang mendapat terapi ARV tanpa mengandung tenofovir.
Hadigan C, dkk (2013) dan Tongma Chawat, dkk (2013) mengungkapkan tidak terdapat perbedaan bermakna antara IMT dengan kejadian mikroalbuminuria (p=0,70 dan p=0,86) pada pasien yang mendapat ARV Tenofovir.17,33
Pada penelitian ini didapati kadar mikroalbuminuria pada kelompok ODHA yang mendapat terapi ARV yang dengan tenofovir dengan mediannya 16 µg/mL, lebih tinggi daripada kelompok ODHA yang mendapat terapi ARV tanpa mengandung tenofovir dengan median 10 µg/mL. Hasil dari uji statistik didapati perbedaan yang signifikan kadar mikroalbuminuria pada kelompok ODHA yang mendapat terapi ARV yang mengandung tenofovir dengan ODHA yang mendapat terapi ARV tanpa mengandung tenofovir(p=0,023).
Proteinuria dapat disebut juga albuminuria sebagai pertanda awal kerusakan ginjal dan kardiovaskular dan meningkatkan resiko kematian, dimana fenomena ini telah diakui selama lebih dari 200 tahun yang lalu, dan hubungannya dengan penyakit ginjal sejak zaman Richard Bright (1827).35
Tongma Chawat,dkk (2013) mengadakan penelitian tentang albuminuria sebagai pertanda dari resiko kardiovaskular pada individu yang mendapat terapi ARV stabil dimana 75% pasien mendapat regimen terapi ARV dengan tenofovir sebagai regimen dasarnya. Tidak terdapat perbedaan bermakna antara pasien dengan albuminuria dan pasien tanpa albuminuria (p=0,39).33
Scherzer, dkk (2012) yang menilai hubungan kumulatif dan lama paparan dengan tenofovir terhadap outcome fungsi ginjal terhadap 10.841 pasien HIV. Pada studi mereka didapatkan median follow up 3,9 tahun terjadi proteinuria dan 5,5 tahun menjadi penyakit ginjal kronis (PGK). Dari 3400 pasein dengan proteinuria, 3078 mengalami penurunan fungsi ginjal yang cepat dan 533 mengalami gagal ginjal kronik. Setiap tahun paparan tenofovir dihubungkan dengan 34% resiko proteinuria (95% CI 25-45%, p<0,0001), 11% resiko penurunan fungsi ginjal yang cepat (3-18%, p=0,0033) dan 33% resiko PGK (18-51%, p<0,0001). Dari penelitian ini disimpulkan paparan tenofovir secara independen berhubungan dengan resiko proteinuria, penurunan cepat fungsi ginjal dan gagal ginjal kronik dan tidak bersifat reversibel.12
Hadigan, dkk (2013) menilai mikroalbuminuria pada penderita HIV, didapatkan prevalensi mikroalbuminuria 14% dan subyek dengan mikroalbuminuria lebih sering dengan komorbiditas hipetensi (p=0,02) dan sindroma metabolik (p=0,003), CD4 < 200 sel/µL (p=0,0003) dan paparan dengan ritanovir (p=0,04). Paparan dengan tenofovir juga menunjukkan kejadian mikroalbuminuria yang lebih tinggi namun tidak bermakna (p=0,34).17
Purswani M,dkk (2012) menemukan pada anak-anak dan dewasa muda dengan rerata usia 11,5±2,5 tahun yang terinfeksi HIV sejak lahir dimana prevalensi proteinuria pada data yang masuk selama 3 tahun, berkisar dari 10,3% menjadi 13,7%. Prevalensi kumulatif kejadian proteinuria adalah 22% (94/434, 95% CI: 18% -26%) dan PGK 4,5% (20/448, 95% CI: 2,7% -6,8%).
Bickel M dkk (2013) melakukan penelitian dengan pemberian diklofenak pada pasien HIV yang mendapat terapi ARV mengandung tenofovir (61 pasien, 68,5%) dan tanpa tenofovir (28 pasien, 31,5%). Tiga belas pasien (14,6%) mendapat gangguan ginjal akut (Acute Kidney Injury (AKI)) tak lama setelah memulai pengobatan diklofenak. AKI terjadi secara eksklusif pada pasien yang mendapat pengobatan ARV mengandung tenofovir dengan diklofenak, meskipun semua pasien memiliki fungsi ginjal yang normal sebelumnya. Tenofovir terkait nefrotoksisitas ditunjukkan oleh biopsi ginjal pada empat kasus. Sebaliknya, diklofenak tidak mempengaruhi fungsi ginjal pada pasien dengan mendapat pengobatan ARV tanpa mengandung tenofovir. Dalam analisis univariat, faktor risiko untuk AKI pada ARV mengandung tenofovir (p=0,0076). Obat diklofenak bisa memperburuk nefrotoksisitas terkait tenofovir. Diklofenak harus digunakan dengan hati-hati pada pasien dengan terapi ARV mengandung tenofovir.41
Penelitian lain yang menyangkut penilaian penurunan fungsi ginjal terkait tenofovir dilakukan oleh Ivanovna R, dkk (2014). Mereka melakukan penelitian tentang kadar kreatinin serum sebelum dan setelah terapi tenofovir pada ODHA di RS Dr.M.Djamil Padang Priode 2012-2013. Didapatkan perbedaan bermakna rata-rata kadar kreatinin serum sebelum dan setelah terapi tenofovir (p<0,05) dimana kadar serum kreatinin sebelum dan setelah terapi tenofovir sebesar 0,7±0,2 mg/dL dan 0,9±0,5 mg/dL.36
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan
Dari hasil penelitian ini dapat diambil kesimpulan :
1. Pada penelitian ini didapati kejadian mikroalbuminuria pada kelompok ODHA yang mendapat terapi ARV yang mengandung tenofovir lebih tinggi daripada kelompok ODHA yang mendapat terapi ARV tanpa mengandung tenofovir.
2. Pemberian rejimen ARV yang mengandung tenofovir mempengaruhi kadar mikroalbuminuria secara bermakna.
6.2 Saran