• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pola Penggunaan Obat Asma pada Pasien Asma Rawat Inap di Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Pirngadi Kota Medan Periode Juli 2014 - Juni 2015

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pola Penggunaan Obat Asma pada Pasien Asma Rawat Inap di Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Pirngadi Kota Medan Periode Juli 2014 - Juni 2015"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi asma

Asma adalah suatu kelainan berupa inflamasi (peradangan) kronik saluran

nafas yang menyebabkan hipereaktivitas bronkus terhadap berbagai rangsangan

yang ditandai dengan gejala episodik berulang berupa mengi, batuk, sesak nafas dan

rasa berat di dada terutama pada malam dan atau dini hari yang umumnya bersifat

reversible baik dengan atau tanpa pengobatan (Depkes, RI., 2009).

Global initiative for Asthma (2012) dengan spesifik mendefinisikan asma

menurut karakteristiknya secara klinis, fisiologis, dan patologis. Secara klinis,

adanya episodik sesak napas terutama pada malam hari, sering disertai dengan batuk

yang merupakan ciri utamanya. Karakteristik utama fisiologisnya yaitu, terdapat

obstruksi saluran napas dengan keterbatasan aliran udara ekspirasi. Berdasarkan

patologisnya terdapat inflamasi jalan napas yang berhubungan dengan perubahan

struktur jalan napas (GINA, 2012).

2.2 Epidemiologi asma

Sampai saat ini, penyakit asma masih menujukkan prevalensi yang tinggi.

Berdasarkan data dari WHO, di seluruh dunia diperkirakan terdapat 300 juta orang

menderita asma dan tahun 2025 diperkirakan jumlah pasien asma mencapai 400 juta.

Selain itu setiap 250 orang, ada satu orang meninggal karena asma setiap tahunnya

(GINA, 2004).

Prevalensi asma di dunia sangat bervariasi dan penelitian epidemiologi

menunjukkan bahwa kekerapan asma semakin meningkat terutama di negara maju.

(2)

antara 1-18% (GINA, 2015). Peningkatan prevalensi asma terutama meningkat pada

kelompok anak dan cenderung menurun pada kelompok dewasa (Ratnawati, 2011)

Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) 1986 mengajukan angka sebesar

7.6%. Pada hasil SKRT 1992, asma, bronkitis kronik dan emfisema dinyatakan

sebagai penyebab kematian ke 4 di Indonesia atau sebesar 5.6%. Tahun 1995,

prevalensi asma di seluruh Indonesia mencapai 13/1000 penduduk dibandingkan

bronkhitis kronik 11/1000 penduduk dan obstruksi paru 2/1000 penduduk (PDPI,

2003).

2.3 Patofisiologi asma

Pencetus serangan asma dapat disebabkan oleh sejumlah faktor, antara lain

alergen, virus, dan iritan yang dapat menginduksi respons inflamasi akut. Asma

dapat terjadi melalui 2 jalur, yaitu jalur imunologis dan saraf otonom. Jalur

imunologis didominasi oleh antibodi IgE, merupakan reaksi hipersensitivitas tipe I

(tipe alergi), terdiri dari fase cepat dan fase lambat. Reaksi alergi timbul pada orang

dengan kecenderungan untuk membentuk sejumlah antibodi IgE abnormal dalam

jumlah besar, golongan ini disebut atopi. Pada asma alergi, antibodi IgE terutama

melekat pada permukaan sel mast pada interstisial paru, yang berhubungan erat

dengan bronkiolus dan bronkus kecil. Bila seseorang menghirup alergen, terjadi fase

sensitisasi, antibodi IgE orang tersebut meningkat. Alergen kemudian berikatan

dengan antibodi IgE yang melekat pada sel mast dan menyebabkan sel ini

berdegranulasi mengeluarkan berbagai macam mediator. Beberapa mediator yang

dikeluarkan adalah histamin, leukotrien, eosinofil dan bradikinin. Hal itu akan

(3)

kental dalam lumen bronkiolus, dan spasme otot polos bronkiolus, sehingga

menyebabkan inflamasi saluran napas (Rengganis, 2008).

Pada jalur saraf otonom, inhalasi alergen akan mengaktifkan sel mast

intralumen, makrofag alveolar, nervus vagus dan mungkin juga epitel saluran napas.

Peregangan vagal menyebabkan refleks bronkus, sedangkan mediator inflamasi

yang dilepaskan oleh sel mast dan makrofag akan membuat epitel jalan napas lebih

permeabel dan memudahkan alergen masuk ke dalam submukosa, sehingga

meningkatkan reaksi yang terjadi. Kerusakan epitel bronkus oleh mediator yang

dilepaskan pada beberapa keadaan reaksi asma dapat terjadi tanpa melibatkan sel

mast misalnya pada hiperventilasi, inhalasi udara dingin, asap, kabut dan SO2. Pada

keadaan tersebut reaksi asma terjadi melalui refleks saraf. Ujung saraf eferen vagal

mukosa yang terangsang menyebabkan dilepasnya neuropeptida. Neuropeptida

itulah yang menyebabkan terjadinya bronkokonstriksi, edema bronkus, hipersekresi

lendir, dan aktivasi sel-sel inflamasi (Rengganis, 2008).

2.4 Faktor resiko

Secara umum faktor risiko asma menurut Pedoman Pengendalian Penyakit

Asma (2009) yaitu:

a. Faktor Pejamu

1. Hipereaktivitas

2. Atopi/alergi bronkus

3. Faktor yang memodifikasi penyakit genetik

4. Jenis kelamin

5. Ras/etnik

(4)

1. Alergen di dalam ruangan (tungau, debu rumah, kucing, jamur dll).

2. Alergen diluar ruangan (alternaria, tepung sari).

3. Makanan (bahan penyedap, pengawet, pewarna makanan, kacang, makanan

laut, susu sapi, telur).

4. Obat-obatan tertentu (misalnya golongan aspirin, NSAID, bloker dll)

5. Bahan yang mengiritasi (misalnya parfum, household spray dan lain-lain)

6. Ekspresi emosi berlebih

7. Asap rokok dari perokok aktif dan pasif

8. Polusi udara di luar dan di dalam ruangan

9. Exercised induced asthma

10. Perubahan cuaca

2.5 Gejala

Gejala asma bersifat episodik, seringkali reversibel dengan/atau tanpa

pengobatan. Gejala awal berupa :

a. Batuk terutama pada malam atau dini hari

b. Sesak napas

c. Napas berbunyi (mengi) yang terdengar jika pasien menghembuskan napasnya

d. Rasa berat di dada

e. Dahak sulit keluar

Gejala yang berat adalah keadaan gawat darurat yang mengancam jiwa. Yang

termasuk gejala yang berat adalah:

a. Serangan batuk yang hebat

b. Sesak napas yang berat dan tersengal-sengal

(5)

d. Sulit tidur dan posisi tidur yang nyaman adalah dalam keadaan duduk

e. Kesadaran menurun (Depkes, RI., 2007)

2.6 Diagnosis Asma

Diagnosis asma bisa ditegakkan dengan anamnesa, pemeriksaan fisik, dan

pemeriksaan penunjang. Anamnesa berupa keluhan utama, riwayat penyakit

keluarga, faktor yang memperberat atau memperingan gejala, bagaimana dan kapan

terjadinya keluhan. Karakteristik gejala asma yaitu lebih dari satu gejala berupa

mengi, sesak napas, batuk, dada terasa berat, yang semakin buruk saat malam atau

pagi hari dengan waktu dan intensitas yang bervariasi, bisa dipicu oleh infeksi virus,

olahraga, paparan allergen, perubahan cuaca, serta bahan iritan seperti asap (GINA,

2014).

2.6.1 Anamnesis

Ada beberapa hal yang harus ditanyakan dari pasien asma antara lain :

a. Apakah ada batuk yang berulang terutama pada malam menjelang dini hari?

b. Apakah pasien mengalami mengi atau dada terasa berat atau batuk setelah

terpajan alergen atau pencetus?

c. Apakah ada mengi atau rasa berat di dada atau batuk setelah melakukan aktifitas

atau olahraga?

d. Apakah ada batuk, mengi, sesak di dada jika terjadi perubahan musim atau

cuaca atau suhu yang ekstrim (perubahan yang tiba-tiba)?

e. Apakah gejala-gejala tersebut di atas berkurang atau hilang setelah pemberian

obat pelega (bronkodilator)?

f. Apakah dalam keluarga (kakek/nenek, orang tua, anak, saudara kandung,

(6)

2.6.2 Pemeriksaan fisik

Pasien yang mengalami serangan asma, pada pemeriksaan fisik dapat

ditemukan (sesuai derajat serangan) :

a. Inspeksi : pasien terlihat gelisah, sesak (nafas cuping hidung, nafas cepat),

sianosis.

b. Palpasi : biasanya tidak ada kelainan yang nyata (pada serangan berat dapat

terjadi pulsus paradoksus).

c. Perkusi : biasanya tidak ada kelainan yang nyata.

d. Auskultasi : ekspirasi memanjang, wheezing, suara lendir (Depkes, RI., 2009)

2.6.3 Pemeriksaan penunjang 2.6.3.1Pemeriksaan fungsi Paru

Umumnya penderita asma sulit menilai beratnya gejala dan persepsi

mengenai asmanya sehingga dibutuhkan pemeriksaan objektif yaitu faal paru.

Pemeriksaan fungsi paru sebagai paramater objektif yang standar dipakai yaitu

pemeriksaan spirometri dan peak expiratory flow (PEF) (PDPI, 2003).

Spirometer adalah alat pengukur faal paru yang penting dalam menegakkan

diagnosa untuk menilai beratnya obstruksi dan efek pengobatan (Rengganis, 2008).

Spirometer adalah mesin yang dapat mengukur kapasitas vital paksa (KVP) dan

volume ekspirasi paksa detik pertama (VEP1). Untuk mendapatkan nilai yang

akurat, diambil nilai tertinggi dari 2-3 nilai yang diperiksa (Depkes, RI., 2007).

Manfaat pemeriksaan spirometri dalam diagnosis asma :

a. Obstruksi jalan napas diketahui dari nilai rasio VEP 1 / KVP < 75% atau VEP 1

(7)

b. Reversibiliti, yaitu perbaikan VEP 1 > 15% secara spontan, atau setelah

inhalasi bronkodilator (uji bronkodilator), atau setelah pemberian

bronkodilator oral 10-14 hari, atau setelah pemberian kortikosteroid

(inhalasi/oral) 2 minggu. Reversibiliti ini dapat membantu diagnosis asma

c. Menilai derajat berat asma (PDPI, 2003).

Peak Expiratory Flow Meter (PEF meter) adalah alat yang paling sederhana

untuk memeriksa gangguan jalan napas, yang relatif sangat murah, mudah dibawa.

Dengan PEF meter fungsi paru yang dapat diukur adalah arus puncak ekspirasi

(APE) (Depkes, RI., 2007).

Manfaat APE dalam diagnosis asma

a. Reversibiliti, yaitu perbaikan nilai APE > 15% setelah inhalasi bronkodilator

(uji bronkodilator), atau bronkodilator oral 10-14 hari, atau respons terapi

kortikosteroid (inhalasi/ oral, 2 minggu).

b. Variabiliti, menilai variabiliti APE harian. Variabiliti juga dapat digunakan

menilai derajat berat penyakit (PDPI, 2003).

Cara pemeriksaan variabilitas APE (Depkes, RI., 2007).

Pada pagi hari diukur APE untuk mendapatkan nilai terendah dan malam hari

(8)

Pengukuran Arus Puncak Ekspirasi (APE) dengan Peak ekspiratory Flow

Meter ini dianjurkan pada :

a. Penanganan serangan akut di gawat darurat, klinik, praktek dokter dan oleh

pasien di rumah.

b. Pemantauan berkala di rawat jalan, klinik dan praktek dokter.

c. Pemantauan sehari-hari di rumah.

2.6.3.2Uji provokasi bronkus

Uji provokasi bronkus dilakukan untuk menunjukan adanya hiperreaktivitas

bronkus. Ada beberapa cara untuk melakukan uji provokasi bronkus seperti uji

dengan histamin, metakolin, kegiatan jasmani, udara dingin, larutan garam

hipertonik. Uji provokasi bronkus bermakna jika terjadi penurunan FEV1 sebesar 20

% atau lebih (Sundaru, 2001).

2.6.3.3Pemeriksaan sputum

Sputum eosinofil sangat karakteristik untuk asma, sedangkan neutrofil sangat

dominan pada bronkitis kronik (Sundaru, 2001).

2.6.3.4Pemeriksaan eosinofil total

Jumlah eosinofil total dalam darah sering meningkat pada pasien asma dan

hal ini dapat membantu dalam membedakan asma dari bronkitis kronik (Sundaru,

2001).

2.6.3.5Uji tusuk kulit (skin prick test)

Uji kulit dengan alergen dilakukan sebagai pemeriksaan diagnostik pada

asma ekstrinsik alergi. Keadaan alergi ini dihubungkan dengan adanya produksi

(9)

2.6.3.6Pemeriksaan radiologis

Gambaran radiologi pada asma pada umumnya normal. Pada waktu serangan

menunjukan gambaran hiperinflasi pada paru-paru (Tanjung, 2003).

2.7 Klasifikasi Asma

GINA membagi klasifikasi klinis asma menjadi 4, yaitu Asma intermiten,

Asma persisten ringan, Asma persisten sedang, dan Asma persisten berat. Dalam

klasifikasi GINA dipersyaratkan adanya nilai PEF atau FEV1 untuk penilaiannya.

Tabel 2.1. Klasifikasi derajat asma berdasarkan gambaran klinis secara umumpada orang dewasa

Sumber : Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, Asma Pedoman & Penatalaksanaan di Indonesia, 2003

Derajat Asma Gejala Gejala

Malam

Faal Paru

Intermitten Bulanan APE 80%

-Gejala < 1x/minggu

-Tanpa gejala diluar serangan.

-Serangan singkat

2 kali sebulan

- VEP1 80% nilai prediksi APE 80% nilai terbaik.

- Variabiliti APE<20%

Persisten ringan Mingguan APE>80%

-Gejala>1x/minggu tetapi<1x/hari. - Serangan dapat

mengganggu aktiviti dan tidur

>2 kali sebulan

- VEP1 80% nilai prediksi APE 80% nilai terbaik.

- Variabiliti APE 20-30%

Persisten sedang Harian APE 60-80%

- Gejala setiap hari - Serangan mengganggu

aktiviti dan tidur. - Membutuhkan 80% nilai terbaik. - Variabiliti

APE>30%.

Persisten berat Kontinyu APE

- Gejala terus menerus - Sering kambuh - Aktiviti fisik terbatas

(10)

Konsensus Internasional III juga membagi asma anak berdasarkan keadaan

klinis menjadi 3 yaitu asma episodik jarang (asma ringan) yang meliputi 75%

populasi anakasma, asma episodik sering (asma sedang) meliputi 20% populasi, dan

asma persisten (asma berat) meliputi 5% populasi (Warner, 1998). Konsensus

Nasional juga membagi asma anak menjadi 3 derajat penyakit seperti halnya

Konsensus Internasional, tapi dengan kriteria yang lebih lengkap

seperti dapat dilihat dalam tabel berikut ini.

Tabel 2.2. Pembagian derajat penyakit asma pada anak

Parameter klinis,

Lama serangan <1 minggu >1 minggu hampir sepanjang tahun

Intensitas serangan

biasanya ringan biasanya sedang biasanya berat

Di antara serangan

tanpa gejala sering ada gejala gejala siang dan malam

Tidur dan aktivitas

tidak terganggu sering terganggu sangat terganggu

Faal paru di luar

Faal paru pada saat

variabilitas >15% variabilitas >30% variabilitas >50%

Sumber : Konsensus Nasional Asma Anak (IDAI, 2000)

2.8 Penatalaksanaan asma

Tujuan penatalaksanaan asma adalah untuk mencapai asma terkontrol agar

memiliki kualitas hidup baik yang tidak mengganggu aktivitas dan mencegah

kematian saat serangan.Pada serangan asma, tujuan tatalaksananya adalah untuk:

(11)

b. Mengurangi hipoksemia

c. Mengembalikan fungsi paru ke keadaan normal secepatnya

d. Rencana tatalaksana untuk mencegah kekambuhan

Tabel 2.3 Pengobatan sesuai berat asma Berat

Asma

Medikasi pengontrol

harian

Alternatif / Pilihan lain Alternatif lain ug BD/hari atau ekivalennya)

• Teofilin lepas lambat

• Kromolin

• Leukotriene modifiers

---

Asma Persisten Sedang

Kombinasi inhalasi glukokortikosteroid (400-800 ug

BD/hari atau ekivalennya) dan agonis beta-2 kerja lama

• Glukokortikosteroid inhalasi (400-800 ug BD

atau ekivalennya) ditambah Teofilin lepas

lambat,atau

• Glukokortikosteroid inhalasi (400-800 ug BD

atau ekivalennya) ditambah agonis beta-2

kerja lama oral, atau

• Glukokortikosteroid inhalasi dosis tinggi (>800 ug BD atau ekivalennya) atau

• Glukokortikosteroid inhalasi (400-800 ug BD

atau ekivalennya)

(12)

Sumber : Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, Asma Pedoman & Penatalaksanaan di Indonesia, 2003

Penatalaksaan asma ini dikutip berdasarkan GINA (2012), yang

mengklasifikasikan pengobatan asma menjadi dua yaitu sebagai obat kontrol asma

(controllers) dan obat pelega asma (reliever).

Obat pengontrol adalah obat asma yang digunakan setiap hari dalam jangka

waktu panjang pada asma persisten untuk mencegah asma menjadi semakin parah

dan mempertahankan asma menjadi terkontrol melalui interaksi dengan proses

inflamasi. Sebagai berikut adalah jenis-jenis obat pengontrol :

a. Kortikosteroid inhalasi

Kortikosteroid inhalasi mempunyai efek anti-inflamasi terhadap sel dan

jaringan spesifik. Kortikosteroid yang masuk secara langsung dan diabsopsi di paru

akan berikatan dengan reseptornya, menghambat sintesis sitokin proinflamasi, dan

menurunkan jumlah sel T limfosit, sel dendrit, eosinofil juga sel mast. Penggunaan

kortikosteroid inhalasi menunjukkan perbaikan fungsi paru, menurunkan

hiperesponsif bronkus, menurunkan eksaserbasi asma dalam kunjungan gawat

darurat (Raissy, et al., 2013). Kepatuhan menggunakan obat ini menurunkan angka

kesakitan dan kematian akibat asma dengan perkiraan 21% penurunan resiko

kematian akibat serangan asma (Sloan, et al., 2013).

Efek samping yang mungkin pada penggunaan kortikosteroid inhalasi lebih

minimal daripada kortikosteroid sistemik. Hal ini bergantung pada dosis, potensi

bioavailabiliti, metabolisme hati, dan waktu paruhnya. Obat inhalasi kortikosteroid

dosis tinggi yang digunakan jangka panjang bisa menimbulkan efek sistemik seperti

purpura, supresi adrenal dan penurunan densitas tulang. Namun, dengan

(13)

bioavailabiliti. Selain itu, spacer juga membantu untuk mengurangi efek samping

lokal seperti kandidiasis orofaring, disfonia, dan batuk akibat iritasi saluran napas

atas.

b. Kortikosteroid sistemik

Penggunaan kortikosteroid jangka lama lebih direkomendasikan secara

inhalasi daripada sistemik akibat efek samping pemberian sistemik lebih serius.

Namun, pemberian sistemik dapat diberikan pada penderita asma persisten berat

yang tidak terkontrol. Penggunaan sistemik secara oral lebih dianjurkan dari

parenteral (intramuskular, intravena, subkutan) karena pertimbangan waktu paruh

oral lebih singkat dan efek samping yang muncul lebih sedikit.

c. Agonis beta-2 kerja lama (Long-acting β2-agonist)

Mekanisme kerja obat beta-2 agonis yaitu melalui reseptor β2 yang

mengakibatkan relaksasi otot polos bronkus. Formoterol dan salmeterol termasuk

dalam golongan LABA ini, kedua obat itu memiliki lama kerja obat >12 jam.

Namun, obat golongan LABA sebaiknya tidak digunakan sebagai monoterapi jangka

panjang karena tidak mempengaruhi respon inflamasinya justru meningkatkan angka

kesakitan dan kematian. LABA dikombinasi dengan kortikosteroid inhalasi telah

terbukti sangat efektif dalam mengurangi gejala asma dan eksaserbasi dengan

menunjukkan hasil fungsi paru yang lebih baik. Kombinasi LABA dan

kortikosteroid inlamasi hanya direkomendasikan untuk pasien yang gagal mencapai

asma terkontrol dengan kortikosteroid dosis rendah medium.

d. Kromolin: sodium kromoglikat dan sodium nedokromil

Kromolin dan nedokromil merupakan obat alternatif dalam pengobatan asma

(14)

obat anti-inflamasi. Obat ini memblok kanal klorida dan modulasi pelepasan

mediator sel mast dan eosinofil (NHLBI, 2007). Kromolin juga bisa menghambat

reaksi asma fase cepat dan fase lambat, meskipun permulaan percobaan obat ini

hanya berperan pada sel mast untuk mensupresi pengeluaran histamin, ternyata

dapat menghambat generasi sitokin juga (Yazid, et al., 2013).

e. Metilxantin

Teofilin merupakan derivat xantin. Efek terpenting xantin ialah relaksasi otot

polos bronkus, terutama bila otot bronkus dalam keadaan konstriksi. Efek

bronkodilatasi teofilin disebabkan oleh antagonisme terhadap reseptor adenosin

maupun inhibisi PDE (fosfodiesterase). Adenosin dapat menyebabkan

bronkokonstriksi pada pasien asma dan memperkuat penglepasan mediator dari sel

mast. Oleh karena teofilin merupakan antagonis kompetitif reseptor adenosin, maka

hal ini yang mengatasi bronkokonstriksi pasien asma. Selain itu, penghambatan PDE

mencegah pemecahan cAMP dan cGMP sampai terjadi akumulasi cAMP dan cGMP

dalam sel yang mengakibatkan relaksasi otot polos termasuk otot polos bronkus

(Louisa, 2011).

Telah dilakukan berbagai penelitian bahwa teofilin efektif sebagai kontrol

gejala dan perbaikan terhadap fungsi paru, sehingga teofilin atau aminofilin lepas

lambat dapat digunakan sebagai pengontrol. Kombinasi kortikosteroid dengan

teofilin sebagai alternatif menunjukkan perbaikan fungsi paru namun teofilin tidak

lebih efektif dari inhalasi beta-2 agonis.

f. Leukotriene modifiers

Mekanisme kerja obat ini adalah menghambat reseptor cysteinyl-leukotriene

(15)

arakidonat. Asam arakidonat dipecah fosfolipase A2 menjadi arakidonat bebas.

Enzim 5-lipoksigenase ini selanjutnya mengkonversi asam arakidonat bebas menjadi

leukotrin A4 dan akhirnya akan diubah menjadi leukotrin C4, D4, E4. Leukotrin

yang sudah terbentuk berikatan dengan reseptornya yaitu CysLT1 yang ditemukan

pada eosinofil, monosit, sel-sel otot polos saluran napas, neutrofil, sel B, sel plasma,

dan makrofag jaringan. Dari mekanisme di atas, terlihat bahwa leukotrin dianggap

sebagai mediator inflamasi yang mampu mengaktivasi eosinofil, meningkatkan

permeabilitas mikrovaskuler, sekresi mukus, proliferasi dan penyempitan otot polos,

serta diduga efek bronkokonstriksi yang disebabkan oleh leukotrin lebih besar

daripada efek oleh histamin (Scichilone, 2013).

Prinsip kerja obat pelega (relievers) adalah sebagai bronkodilator untuk

membantu mengatasi bronkokonstriksi jalan napas dan gelaja yang menyertainya

seperti sesak, mengi, batuk, dan dada terasa berat.

a. Short-acting β2 agonis (SABA)

SABA merupakan obat yang paling efektif mengatasi bronkospasme saat

eksaserbasi asma akut dan juga dapat mencegah exercice-induced asthma. Golongan

SABA dapat diberikan secara inhalasi, oral, atau parenteral. Namun pemberian yang

lebih direkomendasikan adalah dengan inhalasi karena mempertimbangkan kerja

obat yang cepat juga efek samping yang minimal. SABA memiliki mekanisme sama

seperti obat β2 agonis lain yaitu dengan merelaksasi jalan napas, meningkatkan

pembersihan mukosilier, menurunkan permiabilitas vaskuler, dan memodulasi

penglepasan mediator dari sel mast dan eosinofil. Yang termasuk obat golongan

SABA adalah salbutamol, levalbuterol, biltolterol, pirbuterol, isoproterol,

(16)

b. Antikolinergik

Obat golongan ini berupa ipatropium dan oxitropium bromida. Mekanisme

kerja obat golongan ini adalah sebagai bronkodilatasi dengan kompetitif

menghambat reseptor muskarinik kolinergik, menurunkan tonus intrinsik vagus,

blokade reflex bronkokonstriksi akibat zat iritan atau reflux esofagus, dan

menurunkan sekresi mukus. Pemberian secara inhalasi bronkodilator antikolinergik

ini kurang efektif jika dibandingkan dengan SABA. Namun, Obat ini dapat

diberikan pada pasien yang tidak respon terhadap SABA atau sebagai alternatif pada

penderita yang memilik efek samping seperti takikardi, aritmia, tremor dengan

pemakaian SABA.

c. Metilxantin

Pemberian teofilin dapat dipertimbangkan karena efek bronkodilatasinya

akibat inhibisi aktivitas PDE untuk mengatasi gejala asma. Tetapi efek

bronkodilatasinya lebih lemah dari short-acting beta-2 agonis. Penambahan teofilin

kerja singkat dengan obat golongan SABA tidak memperkuat respon bronkodilatasi

namun dapat bermanfaat untuk respiratory drive. Pemberian teofilin kerja singkat

tidak dianjurkan pada pasien yang sudah mendapat terapi teofilin lepas lambat

Gambar

Tabel 2.1. Klasifikasi derajat asma berdasarkan gambaran klinis secara umumpada orang dewasa
Tabel 2.2. Pembagian derajat penyakit asma pada anak
Tabel 2.3 Pengobatan sesuai berat asma

Referensi

Dokumen terkait

[r]

Dengan menggunakan rumusan pada indeks kesukaran aitem, indeks daya diskriminasi aitem, dan membandingkan hasilnya dengan kategori evaluasi indeks oleh Ebel kita dapat

[r]

[r]

Qur’an Hadits Kelas IV-B MINU Berbek Sidoarjo. Pelaksanaan pembelajaran al-Qur’an Hadits di kelas IV-B MINU Berbek Sidoarjo menunjukkan bahwa kemampuan menghafal surat

Dalam konteks penilaian hasil belajar, depdiknas ( 2003 ) mengemukakan prinsip-prinsip umum penilaian adalah mengukur hasil-hasil belajar yang telah ditentukan dengan jelas dan

Inflasi tahun kalender ibukota provinsi di Pulau Jawa tertinggi terjadi di Kota Serang sebesar 0,73 persen, diikuti Kota Surabaya sebesar 0,62 persen, Kota

Dari nilai critical ratio skewness value hanya indikator ukuran perusahaan, umur perusahaan dan pengungkapan pelaporan yang menunjukkan distribusi normal dengan nilai