• Tidak ada hasil yang ditemukan

Studi Regulasi Tegangan Menggunakan Step Voltage Regulator pada Jaringan Distribusi 20 kV yang Terhubung dengan Distributed Generation

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Studi Regulasi Tegangan Menggunakan Step Voltage Regulator pada Jaringan Distribusi 20 kV yang Terhubung dengan Distributed Generation"

Copied!
41
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Distributed Generation

Distributed Generation adalah semua jenis pembangkit skala kecil yang menghasilkan daya listrik di atau sekitar lokasi beban, baik terhubung langsung kepada sistem distribusi, terhubung langsung kepada pelanggan, atau keduanya [2]. CIGRE juga mendefinisikan bahwa kata Distributed Generation merujuk kepada semua pembangkit dengan kapasitas maksimum 50 MW hingga 100 MW yang umunya dihubungkan ke jaringan distribusi. IEEE mendefinisikan Distributed Generation sebagai pembangkitan listrik oleh fasilitas pembangkit yang lebih kecil dari pembangkit utama sehingga memungkinkan interkoneksi pada setiap titik di sistem kelistrikan [3]. Adapun pembagian jenis Distributed Generation berdasarkan ukuran pembangkitan dapat dibedakan menjadi 4, yaitu [4]:

a. Micro yaitu Distributed Generation dengan ukuran ~ 1 Watt < 5 KW b. Small yaitu Distributed Generation dengan ukuran 5 KW < 5 MW c. Medium yaitu Distributed Generation dengan ukuran ~ 5 MW < 50 MW d. Large yaitu Distributed Generation dengan ukuran ~ 50 MW < ~300

MW

2.1.1 Pengaruh Interkoneksi Distributed Generation Terhadap Jaringan Distribusi

(2)

dihubungkan dengan jaringan distribusi telah mengalami peningkatan. Sumber energi yang ramah lingkungan, kebebasan dalam menghasilkan energi listrik, kebutuhan yang tinggi akan daya listrik, dan pengurangan dalam pemakaian bahan bakar fosil, merupakan beberapa keuntungan yang diperoleh dari penggunaan Distributed Generation.

Struktur sistem kelistrikan konvensional dan sistem kelistrikan dengan Distributed Generation ditunjukkan pada Gambar 2.1. Kehadiran pembangkit lokal dapat berakibat pada sistem distribusi. Sebagai contoh, Distributed Generation akan merubah aliran daya pada sistem distribusi. Hal ini menyebabkan sistem distribusi tidak dapat lagi ditinjau dengan sistem yang hanya menggunakan satu arah aliran daya [5].

(3)

(a) (b) Gambar 2.1 (a) Sistem Kelistrikan Tradisional dan (b) Sistem Kelistrikan dengan

Distributed Generation

2.2 Studi Aliran Daya

Studi aliran daya merupakan suatu bagian yang penting dalam analisis sistem tenaga. Studi Aliran Daya diperlukan untuk tahap perencanaan, pengaturan biaya, dan dapat menjadi peramalan untuk perencanaan pengembangan jaringan di masa depan. Beberapa parameter yang perlu diperhatikan dalam aliran daya adalah menentukan besar dan sudut fasa dari tegangan pada masing – masing bus, serta daya aktif dan reaktif yang mengalir pada setiap penyulang.

(4)

Setiap bus dalam sistem tenaga listrik dikelompokkan menjadi 3 tipe bus, yaitu :

1. Bus beban.

Bus beban adalah bus yang tidak memiliki unsur pembangkitan tenaga listrik / generator, dan terhubung secara langsung dengan beban (konsumen). Bus beban biasa disebut dengan P-Q bus, karena pada bus ini, yang dapat diatur adalah kapasitas daya yang terpasang. P merupakan daya aktif terpasang dalam satuan Watt (W), sedangkan Q merupakan daya reaktif terpasang dalam satuan Volt Ampere Reaktif (VAR). Hubungan antara daya aktif dan daya reaktif terhubung dengan nilai cos phi (cos φ).

2. Bus generator

Bus generator atau biasa disebut bus voltage controlled. Disebut demikian, karena tegangan pada bus ini biasanya dijaga konstan. Bus generator dihubungkan dengan generator yang dapat dikontrol daya aktif dan tegangannya. Pengaturan daya aktif pada bus ini diatur dengan mengontrol penggerak mula (prime mover), sedangkan pengaturan tegangan pada bus ini diatur dengan mengontrol arus eksitasi pada generator. Oleh karena daya aktif (P) dan tegangan (V) yang dapat dikontrol, maka bus ini sering disebut sebagai P-V bus.

3. Bus referensi

(5)

Dalam sistem pemrograman, tipe bus identik dengan kode angka. Dimana kode untuk bus referensi adalah angka 1, kode untuk bus generator adalah angka 2, dan kode untuk bus beban adalah angka 3. Untuk lebih jelasnya dari pembagian tipe dan kode bus, dapat dilihat pada Tabel 2.1 berikut ini :

Tabel 2.1 Tipe Bus Dalam Sistem Tenaga Listrik

Tipe bus Kode Bus Nilai yang diketahui

Nilai yang dihitung

Bus beban 3 P, Q V, δ

Bus generator 2 P, V Q, δ

Bus referensi 1 V, δ P, Q

Diagram satu garis beberapa bus dari suatu sistem tenaga diperlihatkan pada Gambar 2.2

(6)

Arus pada bus I dapat ditulis:

Dalam bentuk matriks admitansi dapat dinyatakan menjadi:

= [

Sehingga Ii pada Persamaan (2.1) dapat ditulis menjadi:

= � + � + � + … + (2.3) Atau dapat ditulis:

= � + ∑��=

�≠ (2.4)

Persamaan daya pada bus I adalah:

− = �∗ ; dimana adalah conjugate pada bus i

(7)

Dengan melakukan substitusi Persamaan 2.5 ke Persamaan 2.4 maka diperoleh:

�∗ = � + ∑��=�≠ � �� (2.6)

Dari Persamaan 2.6 terlihat bahwa persamaan aliran daya bersifat tidak linier dan harus diselesaikan dengan metode numerik.

2.2.1 Metode Newton Raphson

Kecepatan relatif dari bermacam-macam metode analisis aliran beban sukar dipastikan. Salah satu metoda untuk menghitung aliran daya adalah metode Newton-Raphson. Metode ini memiliki perhitungan lebih baik untuk sistem tenaga yang lebih besar dan tidak linier. Metode ini juga memiliki keuntungan dalam hal konvergensi yang jauh lebih cepat dan persamaan aluran daya yang dirumuskan dalam bentuk polar. Dimana penurunan rumus nya dapat dilihat sebagai berikut [4]

Pada suatu bus dimana besarnya tegangan dan daya reaktif yang tidak diketahui, nilai real dan imajiner tegangan untuk setiap iterasi didapatkan dengan menghitung nilai daya reaktif terlebih dahulu. Dari Persamaan 2.5 diperoleh:

�∗ = � + ∑��=�≠ � �� (2.7)

Dimana i = n, sehingga diperoleh:

(8)

� = |� | ∠�

�� = |��| ∠��;

� = | �| ∠��

Sehingga didapatkan:

− = ∑��= | � �� �| ∠�� + ��− � (2.9)

= ∑��= | � �� �| cos ��+ ��− � (2.10)

= − ∑��= | � �� �| sin �� + ��− � (2.11) Persamaan 2.10 dan Persamaan 2.11 merupakan langkah awal perhitungan aliran daya dengan metode Newton-Raphson. Penyelesaian aliran menggunakan proses iterasi (k+1). Untuk iterasi pertama menggunakan nilai k = 0 merupakan nilai perkiraan awal yang diterapkan sebelum dimulai perhitungan aliran daya.

Hasil perhitungan daya menggunakan Persamaan 2.10 dan Persamaan 2.11 akan diperoleh nilai dan . Hasil ini digunakan untuk menghitung nilai

∆ dan ∆ menggunakan persamaan berikut:

∆ = � − (2.12)

∆ = � − (2.13)

(9)

[

Secara umum Persamaan 2.14 dapat disederhanakan ke dalam bentuk:

[∆∆ ] = [ ][∆|�| ]∆� (2.15)

Unsur Jacobian diperoleh dengan membuat turunan parsial dari Persamaan 2.10 dan Persamaan 2.11 dan memasukkan nilai tegangan perkiraan pada iterasi pertama. Dimana dalam menentukan matriks Jacobian adalah sebagai berikut:

Jumlah baris dan kolom matriks dibuat berdasarkan dengan [2-m) x (2n-2-m)] dan jumlah baris dan kolom J1 dibuat berdasarkan [(n-1) x (n-1)], jumlah baris dan kolom J2 dibuat berdasarkan [(n-1) x (n-1-m)], jumlah baris dan kolom j3 dibuat berdasarkan [(n-1-m) x (n-1)], lalu jumlah baris dan kolom j4 dibuat berdasarkan [(n-1-m) x (n-1-m)].

Komponen diagonal dan off diagonal dari J1 adalah : �

�� = ∑��≠ | � �� �| cos �� + ��− � (2.16)

�� = −| � �� �| cos ��+ ��− � j ≠ 1 (2.17) Komponen diagonal dan off diagonal dari J2 adalah :

�� = |� cos � + ∑��≠ | � | cos �� + ��− � (2.18)

�� = −| � �| cos �� + ��− � j ≠ 1 (2.19)

(10)

�� = ∑��≠ | � �� �| cos �� − ��+ � (2.20)

�� = −| � �� �| cos ��− ��+ � j ≠ 1 (2.21) Komponen diagonal dan off diagonal dari J4 adalah :

�� = − |� sin � − ∑��≠ | � | sin ��+ �� + � (2.22) �

�� = −| � �| sin ��+ ��− � j ≠ 1 (2.23)

Setelah mendapatkan nilai matriks Jacobian selanjutnya dilakukan perhitungan pada nilai ∆� dan ∆|�| dengan cara melakukan inverse matriks Jacobian, sehingga diperoleh bentuk sebagai berikut:

[ ∆�∆|�| ] = [ ]− [∆∆ ] (2.24)

Setelah nilai ∆� dan ∆|�| didapat, kita dapat menghitung nilai tersebut untuk iterasi berikutnya, yaitu dengan menambahkan nilai ∆� dan ∆|�| , sehingga diperoleh persamaan berikut:

� + = � + ∆� (2.25)

|�| + = |�| + ∆|�| (2.26)

Hasil perhitungan Persamaan 2.19 dan Persamaan 2.20 digunakan lagi dalam proses iterasi selanjutnya, yaitu dengan memasukkan nilai hasil ke dalam Persamaan 2.10 dan Persamaan 2.11 sebagai langkah awal perhitungan aliran daya. Proses ini dilakukan secara terus menerus sampai diperoleh nilai yang konvergen.

(11)

1. Tentukan nilai-nilai dan yang mengalir ke dalam sistem pada setiap bus untuk nilai yang diperkirakan dari besar tegangan (V) dan sudut fasanya (δ) untuk iterasi pertama atau nilai tegangan yang ditentukan paling akhir untuk iterasi berikutnya

2. Hitung � pada setiap rel

3. Hitung nilai-nilai untuk Jacobian dengan menggunakan nilai-nilai perkiraan atau yang ditentukan dari besar dan sudut fasa tegangan dalam persamaan untuk turunan parsial yang ditentukan dengan persamaan diferensial Persamaan 2.10 dan Persamaan 2.11

4. Inverse matriks Jacobian dan hitung koreksi-koreksi tegangan ∆� dan

∆|� | pada setiap rel

5. Hitung nilai yang baru dari |� | dan � dengan menambahkan nilai ∆� dan ∆|� | pada setiap rel

6. Kembali ke langkah 1 dan ulangi proses tersebut dengan menggunakan nilai besar dan sudut fasa tegangan yang ditentukan oleh nilai hasil terakhir sehingga semua nilai yang diperoleh lebih kecil dari indeks ketepatan yang dipilih.

2.2.2 Contoh Perhitungan Aliran Daya

(12)

Gambar 2.3 Single Line Diagram dengan 3 Bus

Didapatkan nilai matriks Y dari jaringan distribusi tersebut sebagai berikut:

=

[

]

= [− +− − +± − +− +

− + − + − ]

Dengan menggunakan Persamaan 2.9, diperoleh:

= |� ||� || | cos � − � + � + |� | |� | cos � − � + �

+ |� | | | cos �

= −|� ||� || | sin � − � + � − |� | |� | sin � − � + �

− |� | | | sin �

= |� ||� || | cos � − � + � + |� | |� | cos � − � + �

(13)

Setelah didapatkan nilai P2 dan nilai Q2, dilakukan perhitungan untuk mendapatkan nilai ∆ dan ∆ sesuai Persamaan 2.12 dan Persamaan 2.13 sebagai berikut:

∆ = ℎ − ℎ �

∆ = ℎ − ℎ �

Dimana matriks jacobian dibentuk dengan persamaan :

(14)

= = 2 pu

∆ = ℎ = -4 - (-1,14) = -2,86

∆ = ℎ= -2,5-(-2,28) = -0,22

∆ = ℎ = 2 0,5616 = 1,4384 Lalu masukan semua nilai pada element matriks jacobian.

[− ,,

Dimana, hasil perhitungan dari atas akan didapatkan :

∆� = − ,

∆� = ,

∆� = − ,

Lalu hasil selisih di atas ditambahkan dengan nilai awal

� = 0 + (-0,045263) = 0,045263

� = + − , = ,

� = + − , = ,

Lalu nilai yang didapatkan di atas, dimasukan lagi ke dalam matriks jacobian untuk dilakukan perhitungan pada interasi ke 2, lalu dilanjutkan sampai nilai menjadi konvergen. Lalu nilai ahkir yang akan didapatkan adalah sebagai berikut :

� = 0,047058 + (-0,0000038) = 0,04706

� = , + − , = ,

(15)

Lalu nilai di atas dimasukan ke dalam Persamaan 2.9 untuk mencari besar

Maka hasil yang didapatkan adalah sebagai berikut = 1,4085 pu

= 2,1842 pu = 1,4617 pu

Hasil perhitungan tersebut masih belum akurat sepenuhnya dan dibutuhkan iterasi lanjutan untuk menghasilkan data yang konvergen. Perhitungan iterasi yang terlalu banyak menjadi alasan digunakan simulasi menggunakan program komputer dalam melihat aliran daya pada suatu sistem kelistrikan.

2.3 Pengaturan Tegangan

(16)

Berbeda dengan frekuensi yang sama dalam semua bagian sistem, tegangan tidak sama dalam setiap bagian sistem sehingga pengaturan tegangan menjadi lebih sulit dibandingkan dengan pengaturan frekuensi. Jika frekuensi hanya dipengaruhi oleh daya nyata MW dalam sistem, di lain pihak tegangan dipengaruhi oleh [6]:

a. Arus penguat generator b. Daya reaktif beban

c. Daya reaktif yang didapat dalam sistem, misalnya dari kondensator dan dari reaktor

d. Posisi tap transformator

(17)

2.4 Profil Tegangan Pada Sistem Distribusi Tanpa Adanya Distributed Generation

Pada suatu saluran kelistrikan selalu terdapat jatuh tegangan. Gambar 2.4 menunjukkan one line diagram distribusi tenaga listrik yang mempunyai jatuh tegangan di sepanjang saluran tersebut. Arus I sebagai fungsi dari beban daya nyata kompleks S = PL + jQL dan tegangan beban U2, sehingga:

(18)

Untuk aliran daya yang kecil, sudut tegangan � diantara V2 dan V1 juga bernilai kecil, dan drop tegangan ∆� = |� − � | bisa dilakukan pendekatan dengan:

2 V

Q X P R

VLN LLN L

 (2.29)

Dengan semakin bertambahnya jarak dari sebuah jaringan listrik maka semakin tinggi juga jatuh tegangan yang dihasilkan sehingga mengakibatkan tegangan pada ujung kirim menjadi sangat rendah dan tidak sesuai dengan standar kelistrikan. Pada Gambar 2.5 ditunjukkan profil tegangan pada awal pengirman dan pada akhir pengiriman jaringan listrik.

Gambar 2.5 Profil Tegangan

(19)

2.5 Profil Tegangan Pada Sistem Distribusi Dengan Adanya Distributed Generation

Distributed Generation bisa dihubungkan kepada jaringan secara langsung menggunakan generator induksi atau melalui suatu interface elektronik.

Untuk sebuah sistem yang memiliki beban dan Distributed Generation seperti yang ditunjukkan Gambar 2.6, drop tegangan pada feeder dapat dihitung

(20)

GRID PL ,Q L

Gambar 2.6 One Line Diagram untuk mengilustrasikan drop tegangan di sistem distribusi yang terdapat Distributed Generation

2.6 Standar yang Harus Dipenuhi Dalam Pemasangan Distributed Generation ke Jaringan Distribusi

(21)

Beberapa peraturan telah dibuat mengenai interkoneksi Dsitributed Generator ke dalam sistem, yaitu [7]:

- Profil tegangan sepanjang feeder distribusi harus dijaga tidak melewati kisaran ±5% dari tegangan nominal

- Power Faktor pada Distributed Generation harus dijaga pada kisaran 0,85 lagging dan 0,95 leading

(22)

2.7 Pengaturan Tegangan Dengan Distributed Generation

(23)

2.8 Step Voltage Regulator (SVR)

Jaringan distribusi harus didesain agar memiliki persen tegangan yang sesuai dengan standar PLN yaitu 90%-105% dari tegangan nominal yang ditetapkan. Untuk memenuhi standar tersebut maka dilakukan berbagai upaya untuk memperbaiki tegangan yang tidak sesuai dengan standar tersebut salah satunya adalah dengan memasang SVR pada jaringan distribusi primer.

Step Voltage Regulator (SVR) adalah sebuah peralatan listrik yang memiliki fungsi yang sama dengan auto-transformator dan terdapat pada jaringan distribusi primer. Step Voltage Regulator terbagi atas 2 yaitu : Step Voltage Regulator Tiga Phasa dan Step Voltage Regulator Satu Phasa. Seperti Gambar 2.7 dapat dilihat contoh pemasangan Step Voltage Regulator pada jaringan distribusi primer.

Gambar 2.7 Pemasangan SVR Pada Jaringan Distribusi Primer

(24)

tersebut. Terutama untuk mengatasi rugi-rugi jaringan akibat terlalu panjangnya konduktor untuk menyalurkan energi listrik. SVR sering sekali disebut-sebut sebagai peralatan induksi yang memiliki belitan seri pada Pengatur Tegangannya dan memiliki belitan shunt diantara sisi primer dengan sisi yang akan diperbaiki. SVR yang paling banyak diproduksi dan sering digunakan di berbagai negara adalah SVR yang memiliki 32 voltage step ataupun 5/8% tegangan yang diperbaiki di setiap stepnya dimana SVR ini dapat memperbaiki tegangan sebesar ±10%. Beberapa SVR juga memiliki batas untuk memperbaiki tegangan yang diakibatkan karena besarnya rating dari SVR sehingga dapat mengurangi kemampuan SVR untuk memperbaiki tegangan [12].

Step Voltage Regulator biasanya disebut sebagai autotransformator yang memiliki tap. Untuk dapat memahami bagaimana SVR bekerja maka kita dapat membayangkannya seperti transformator dengan 2 beltan.

(25)

Gambar 2.8 Transformator dengan perbandingan belitan 10 : 1

(26)

Pada Voltage Regulator, belitan tegangan tinggi dari kedua belitan transformator terhubung shunt(paralel), dan belitan tegangan rendah terhubung seri. Belitan seri dihubungkan dengan belitan paralel dengan tujuan untuk meningkatkan dan menurunkan tegangan primer sebesar 10%. Polaritas pada koneksi belitan paralel ini dipasang sebuah motor pengatur tap yang dimana motor ini berguna untuk dapat mengganti tap dari belitan paralel ini secara otomatis. Delapan tap ditambahkan pada belitan seri untuk memperbaiki tegangan dalam skala kecil. Untuk skala yang lebih baik maka tap pada belitan seri ini menjadi 16 step tap sehingga terdapat 33 posisi termasuk netral, 16 posisi untuk menurunkan tegangan dan 16 posisi untuk menaikkan tegangan. Dan posisi tap itu ditampilkan pada indikator posisi yang terdapat pada SVR seperti Gambar 2.11

(27)

Pergerakan dari satu kontak menuju kontak yang lainnya akan menentukan jumlah tap yang akan dihasilkannya, tap changer ini akan berpindah pindah dari satu tap penghubung menuju kedelepan tap sesuai dengan tagangan yang akan diregulasikan. Terdapat 3 tipe dari tap changer yaitu dua kontak bergerak pada tap yang sama, satu kontak bergerak pada berbagai tap, dua kontak bergerak pada tap yang berdekatan.

Untuk tipe dua kontak bergerak pada tap yang sama maka kedua kontak ini akan bergerak secara bersamaan menuju tap yang sama. Keadaan ini sering disebut sebagai kondisi yang simetris karena kedua kontak ini akan membentuk posisi yang semetris. Keadaan ini dapat kita lihat pada Gambar 2.12

Gambar 2.12 Dua Kontak Bergerak pada Tap yang Sama

(28)

Gambar 2.13 Satu Kontak Bergerak pada Berbagai Tap

Untuk dua kontak bergerak pada tap yang berdekatan adalah kondisi dimana kedua tap akan bergerak bersama tetapi jarak antar satu kontak dan kontak lainnya bergerak dalam tap yang berdekatan. Keadaan ini sering disebut sebagai posisi penjembatan. Kondisi ini ditunjukkan pada Gambar 2.14

(29)

2.9 Step Voltage Regulator Tiga Phasa

Step Voltage Regulator tidak hanya memiliki regulator satu phasa tetapi juga memiliki Regulator yang bekerja secara tiga phasa. Pemilihan antara regulator 3 phasa ataupun satu phasa dapat dipengaruhi dari berbagai aspek seperti aspek ekonomi. Untuk keadaan seimbang lebih diutamakan untuk memakai regulator tiga phasa karena regulator tiga phasa akan bekerja lebih baik dibangkan regulator satu phasa apabila dalam keadaan seimbang. Dalam keadaan tak seimbang regulator tiga phasa tidak dianjurkan untuk digunakan karena regulator tiga phasa tidak memiliki kemampuan untuk mengkoreksi tegangan yang tidak seimbang. Keseluruhan phasa pada regulator tiga phasa hanya dikontrol oleh satu panel. Untuk tegangan yang besar yaitu diatas tegangan 20 kV disarankan untuk memakai regulator tiga phasa dikarenakan apabila memakai regulator satu phasa maka rugi rugi yang dihasilkan oleh regulator satu phasa akan sangat besar dibandingkan dengan regulator tiga phasa.

Untuk pemasangan SVR tiga phasa ditunjukkan pada Gambar 2.15

(30)

2.10 Pengaturan Tegangan dengan Step Voltage Regulator Transformer

Step Voltage Regulator yang diaplikasikan pada sistem distribusi biasanya merupakan sebuah automatic voltage regulator yang bekerja secara mekanis dan berfungsi untuk mengatasi adanya tegangan kurang (under voltage) maupun tegangan lebih (under voltage) [10]. Pada umumnya AVR pada jaringan distribusi adalah sebuah trafo yang mempunyai kumparan tegangan tinggi dan mempunyai kumparan tegangan rendah yang terhubung pada tap yang dapat dipindahkan untuk menghasilkan tegangan yang diinginkan. Skematik diagram Step Voltage Regulator ditunjukkan pada Gambar 2.16.

Gambar 2.16 Skematik Diagram Step Voltage Regulator

Step Voltage Regulator biasanya dipasang pada beberapa tempat, yaitu: - Pada penyulang (Diletakkan sebelum titik yang mengalami drop

tegangan)

(31)

Step Voltage Regulator biasanya hanya mengijinkan maksimal perbaikan tegangan pada kisaran ± 10% dari tegangan primer dalam 32 step. Dimana 16 step masing-masing buat menaikkan tegangan dan menurunkan tegangan. AVR dapat dipasang pada penyulang ataupun pada gardu induk [7].

Pada Gambar 2.17 dapat dilihat bahwa Step Voltage Regulator dapat dipasang lebih dari satu dalam sebuah jaringan untuk meperbaiki tegangan pada jaringan distrbusi [11].

(32)

2.11 Aplikasi SVR Pada Sistem Tenaga

Beberapa tipe jaringan distribusi yang dapat diperbaii dengan SVR antara lain adalah:

1. Jaringan Satu Phasa

2. Jaringan Tiga Phasa 4 Kawat 3. Jaringan Tiga Phasa 3 Kawat

2.11.1 Jaringan Satu Phasa

(33)

Gambar 2.18 Pemasangan SVR Pada Sirkuit 1 Phasa

Gambar 2.19 Diagram Phasor SVR pada sirkuit 1 Phasa

2.11.2 Jaringan Tiga Phasa 4 Kawat

(34)

distribusi tersebut sehingga belitan primer pada ketiga SVR ini dikonfigurasikan dengan belitan wye. Pada Gambar 2.20 dan Gambar 2.21 dapat dilihat pemasangan SVR pada jaringan distribusi tiga phasa empat kawat dan gambar digaram phasornya.

Gambar 2.20 Pemasangan SVR pada Jaringan 3 Phasa 4 Kawat

(35)

2.11.3 Jaringan 3 Phasa 3 Kawat

Jaringan 3 phasa 3 kawat terbagi atas dua jenis yaitu

1) Dengan menggunakan 2 SVR 2) Dengan menggunakan 3 SVR

Apabila jaringan 3 phasa 3 kawat dipasang 2 buah SVR satu phasa maka kedua SVR ini akan dikoneksikan hanya kepada kedua phasanya saja. Kedua phasa ini akan diperbaiki tegangannya masing-masing, dimana phasa ketiga berfungsi untuk membaca rata-rata dari kedua phasa tersebut. Kedua regulator ini akan memiliki perbedaan phasa sebesar 30º. Jika dilihat dari rotasi phasanya pada Gambar 2.23 maka salah satu SVR akan memiliki tegangan yang arusnya lagging dari tegangannya, dan SVR lainnya akan memiliki arus leading dari tegangan. Untuk pemasangan dari 2 SVR pada jaringan 3 phasa 3 kawat dapat dilihat dari Gambar 2.22

(36)

Gambar 2.23 Digaram Phasor 2 SVR pada Jaringan 3 Phasa 3 Kawat

(37)

Gambar 2.24 Pemasangan 3 SVR pada Jaringan 3 Phasa 3 Kawat

Gambar 2.25 Diagram Phasor 3 SVR pada Jaringan 3 Phasa 3 Kawat

2.11.4 Penentuan Rating SVR

Penentuan rating arus pada SVR ditunjukkan pada Persamaan 2.31:

= � ∅

� − ×√ (2.31)

(38)

�� = � × / (2.32)

Apabila SVR dipasang pada jaringan 3 phasa 4 kawat maka VRated yang digunakan adalah VL-L/√ , jika dipasang pada jaringan 3 phasa 3 kawat maka VRated yang digunakan adalah VL-L.

Apabila SVR yang dipasang adalah SVR tiga phasa maka penentuann rating dari SVR dapat ditunjukkan pada persamaan 2.33

�� = � × × √ / (2.33)

2.12 Penentuan Titik Optimasi Penempatan SVR

Langkah yang diambil dalam penempatan SVR diprioritaskan dengan menggunakann perhitungan aliran daya sebelum dan sesudah terpasangnya SVR dan juga dapat ditentukan dengan menggunakan metode “percentual factor” dalam menghitung setiap konfigurasi untuk menentukan kandidat bus yang terbaik apabila terpasang SVR dengan mempertimbangkan segala faktor. Percentual Factor menggunakan prinsip dasar dari simpangan baku ataupun deviasi standar. Salah satu faktor yang harus dipertimbangkan untuk pemasangan SVR ini adalah faktor tegangan yang kurang ataupun melebihi tegangan nominal. Percentual Factor yang mempertimbangkan keseluruhan tegangan bus disimbolkan dengan “Fatv%” didefenisikan sebagai Persamaan 2.34 [13].

� � % =∑= � − �

= � − ∙ (2.34)

Dimana :

(39)

Vnom = Tegangan Nominal

= Tegangan pada setiap bus sebelum terpasang SVR

= Tegangan pada setiap bus setelah terpasang SVR

Jika Fatv% adalah faktor yang menghitung deviasi standar dari seluruh bus yang ada, maka faktor lain yang diperhitungkan adalah dengan menghitung deviasi standar dari setiap bus yang hanya mengalami tegangan kritis yaitu bus yang memiliki tegangan diluar dari tegangan nominal jaringan distribusi PLN 20 kV. Perhitungan menggunakan standart deviasi ini dapat menentukan peletakan SVR terbaik untuk mencapai tegangan nominal jaringan distribusi. Semakin kecil nilai stanndar deviasinya maka semakin baik tegangan yang dapat dihasilkan

Faktor kedua yang dapat mempengaruhi peletakkan SVR adalah faktor rugi-rugi daya (Power Loss). Faktor rugi-rugi ini dapat dirumuskan pada Persamaan 2.35

� ��% = ∑ �

� =

= ��∙ (2.35)

Dari kedua faktor tersebut maka untuk mempertimbangkan kandidat bus yang terbaik dapat dilakukan dengan 3 cara, dan 3 faktor ini akan dipertimbangkan dengan menggunakan rumus “Technical Factor” yang dapat dilihat pada Persamaan 2.36, 2.37, 2.38

� = × � � % + × � ��% (2.36)

� = × � � % + × � ��% (2.37)

� = . × � � % + , × � ��% (2.38)

(40)

Adapun langkah-langkah yang dilakukan dalam penempatan SVR adalah sebagai berikut:

1) Jalankan aliran daya dan tentukan kandidat-kandidat bus yang akan dipasang SVR

2) Letakkan SVR pada kandidat bus dimulai dari titik awal yang berada didalam range 96-99%

3) Jalankan perhitungan aliran daya, setting tap position untuk mendapatkan keseluruhan tegangan pada titik kandidat bus tersebut 4) Hitung nilai dari FT untuk konfigurasi ini

5) Ulangi langkah kedua sampai pada kandidat bus terakhir 6) Prosedur selesai sampai akhir dari titik didalam range 96-99% 7) Konfigurasi dengan nilai FT terkecil adalah konfigurasi terbaik

2.13 Peletakan dan Pengaturan Tap Pada Step Voltage Regulation

Step Voltage Regulator dapat diletakkan pada awal jaringan distribusi yang mengalami tegangan ±5% dari standar tegangan. Step Voltage Regulator diletakkan pada awal jaringan distribusi dikarenakan untuk mengatasi tegangan jatuh pada akhir penyulang sehingga tegangan jatuh pada akhir penyulang tidak menjadi terlalu tinggi.

(41)

Gambar 2.26 Contoh Peletakan SVR pada jaringan distribusi di Thailand Step Voltage Regulator mempunyai 10 tap yang berguna untuk menaikkan maupun menurunkan tegangan. Pada saat jaringan distribusi memiliki tegangan diatas dari tegangan standar yang telah ditetapkan maka SVR berfungsi sama seperti sebuah trafo step-down. Apabila jaringan distribusi memiliki tegangan dibawah dari tegangan standar yang telah ditetapkan maka SVR berfungsi sama seperti sebuah trafo step-up. Pengaturan Tap untuk SVR tidak dibahas didalam tugas akhir ini dikarenakan Tap pada SVR bekerja secara otomatis.

Tap-Tap pada SVR dapat digunakan untuk menghasilkan meanaikkan ataupun menurunkan tegangan sebesar ±5% dari tegangan masukkan, Tap pada SVR dapat kita lihat pada Tabel 2.2

Tabel 2.2 Pengaturan Tap pada Step Voltage Regulator Tap

Position 0 1 2 3 4 5 6 7 8

Tap

Gambar

Gambar 2.1 (a) Sistem Kelistrikan Tradisional dan (b) Sistem Kelistrikan dengan Distributed Generation
Gambar 2.2
Gambar 2.3 Single Line Diagram dengan 3 Bus
Gambar 2.4 One Line Diagram dan phasor diagram dari sebuah sistem distribusi
+7

Referensi

Dokumen terkait

Paket 3 ini cocok bagi anda yang ingin merayakan kelahiran sang buah hati dengan cara yang syar'i dan biasanya bagi anda yang sudah terbiasa melaksanakan ibadah aqiqah.. Dengan

Problems in Speaking English of Introvert Students and Strategies to Solve the Problems at English Education Department of Universitas.

Pada hari ini RABU tanggal SATU bulan MARET tahun DUA RIBU TUJUH BELAS, kami Kelompok Kerja Perencanaan Pembangunan Balai Nikah KUA dan Manasik Haji Kecamatan Tamban Catur Tahun

Hasil dan pembahasan dari penelitan adalah (1) perangkat pembelajaran RPP Matematika yang telah diterapkan masih menggunakan RPP Matematika sekolah pada umumnya, pada kegiatan

[r]

Hal ini menunjukkan bahwa usaha ternak sapi potong memberikan kontribusi pendapatan yang jauh lebih besar dibandingkan kontribusi yang diperoleh dari usaha non ternak

12.Daerah yang dekat dengan laut atau pantai adalah dataran

Ia berpendapat bahwa fungsi bank adalah murni sebagai lembaga intermediasi ( al-wasit ) keuangan yang menfasilitasi penyaluran dana dari penyimpan dana sebagai