• Tidak ada hasil yang ditemukan

Legalitas dan Masa Depan Pedagang Kaki L

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Legalitas dan Masa Depan Pedagang Kaki L"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

Legalitas dan Masa Depan Pedagang Kaki Lima (PKL) dalam

Kebijakan Perekonomian di Indonesia

Oleh Ahmad Ibrahim B.

Disampaikan pada Diskusi Publik mengenai “Pedagang Kaki Lima

(PKL) dan Penataan Kebersihan, Keindahan, dan Ketertiban Kota

Tasikmalaya”, tanggal 9 Oktober 2004

Sekolah Tinggi Hukum Galunggung

Tasikmalaya

(2)

Legalitas dan Masa Depan Pedagang Kaki Lima (PKL) dalam

Kebijakan Perekonomian di Indonesia

*)

Oleh Ahmad Ibrahim B.**)

Pendahuluan

Pada masa sekarang ini, pertumbuhan desa-desa menjadi kota-kota di Dunia

Ketiga semakin pesat, termasuk juga di Indonesia.1 Ini karena beberapa aspek sistem

perekonomian modern telah diserap dan dikembangkan dalam sistem perekonomian yang

berlangsung di daerah pedesaan. Penyebab lainnya adalah penyediaan jalur transportasi

yang baik, sehingga arus lalu lintas dan barang dari desa menuju ke kota utama menjadi

lancar. Daerah perindustrian yang dikembangkan di wilayah yang tadinya merupakan

daerah pedesaan turut memicu pertumbuhan perekonomian desa dengan menyerap tenaga

kerja di desa menjadi buruh. Selain itu, adanya modal yang diperoleh melalui jalur

investasi luar negeri—baik berupa pinjaman ataupun hibah—menjadi salah satu

penyokong pesatnya laju pembangunan pada skala nasional.

Hal-hal di atas inilah yang kemudian menjadi penyebab kenapa masalah urban

mulai merasuk dalam kehidupan modern masyarakat perkotaan di Indonesia pada

khususnya dan di Dunia Ketiga pada umumnya. Dengan berubahnya desa menjadi kota,

salah satu masalah yang cukup krusial adalah masalah pengangguran.2 Ini karena sektor

pertanian yang sudah lama ditekuni dalam kehidupan masyarakat pedesaan kini sudah

*)

Makalah ini disampaikan sebagai prasaran dalam Diskusi Publik tentang “Pedagang Kaki Lima (PKL) dan Penataan Kebersihan, Keindahan, dan Ketertiban Kota Tasikmalaya” di Sekolah Tinggi Hukum Galunggung, Tasikmalaya, pada tanggal 9 Oktober 2004.

**)

Staf pengajar pada Sekolah Tinggi Hukum Galunggung, Tasikmalaya.

1

Dalam kaitannya dengan pertumbuhan desa menjadi kota, hal ini telah disinggung oleh T.G. McGee ketika menyebut dua ciri umum yang menjadi gambaran untuk Dunia Ketiga dan diberi nama proses Urbanisasi Semu. Dua ciri ini adalah (1) “kota-kota di Dunia Ketiga telah berkembang secara besar-besaran” dan (2) “perkembangan kota itu ternyata tidak disertai tingkat pertumbuhan ekonomi yang cukup pesat untuk menyediakan kesempatan kerja bagi pertambahan penduduk kota yang makin meningkat”. T.G. McGee, 1971, “Perombakan Struktural dan Kota di Dunia Ketiga: Suatu Teori Involusi Kota”, dalam Chris Manning dan Tadjuddin Noer Effendi, 1996, Urbanisasi, Pengangguran dan Sektor Informal di Kota, cet. III, penerj. Al. Ghozi Usman dan Andre Bayo Ala, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, hal. 34.

2

(3)

mulai tergeser oleh sektor jasa dan industri. Selain itu, lahan-lahan pertanian yang luas

dan produktif telah beralih fungsi menjadi daerah perumahan, perdagangan, dan juga

industri. Sehingga, para pekerja yang menggantungkan penghasilannya dari sektor

pertanian mulai kehilangan lapangan pekerjaannya.

Di sisi lain, tingkat kebutuhan yang konsumtif dari masyarakat pedesaan atas

produk-produk industri modern ternyata semakin tinggi. Ini karena kebutuhan sehari-hari

masyarakat pedesaan sudah bergantung pada produk-produk industri modern. Mulai dari

kebutuhan rumah tangga, hingga kebutuhan usaha di bidang pertanian. Hal ini sekaligus

memiliki imbas yang nyata dalam kehidupan masyarakat pedesaan. Sebab, usaha di

sektor pertanian ternyata tidak dapat menghasilkan pendapatan yang lebih untuk sekadar

memenuhi kebutuhan sehari-hari. Oleh karena itu, sebagian masyarakat pedesaan saat ini

nampak enggan untuk menekuni sektor pertanian karena rendahnya penghasilan yang

diperoleh dan juga resiko usaha pertanian yang semakin besar. Mereka lebih memilih

bekerja di daerah perkotaan sebagai buruh atau berwirausaha kecil-kecilan.3

Salah satu jenis wirausaha yang banyak digeluti oleh masyarakat desa yang

bermigrasi ke kota di Indonesia adalah menjadi Pedagang Kaki Lima (PKL). Wirausaha

ini nampaknya menjadi satu-satunya alternatif untuk berusaha secara mudah dengan

minimnya modal yang dibutuhkan. Meskipun begitu, PKL pun bukanlah usaha yang

benar-benar mudah karena para pelakunya ternyata harus bermain kucing-kucingan

dengan aparat yang berwenang dari Pemerintah Daerah (Pemda) ataupun Pemerintah

Kota (Pemkot). Ini karena PKL secara umum dianggap melanggar peraturan yang

ditetapkan Pemda/Pemkot mengenai Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW), Rencana

3

Untuk hal yang sama, pendapat S.V. Sethuraman justru mengukuhkan argumentasi ini karena dia mencatat bahwa “… (m)eskipun sebagian kaum migran dalam sektor informal adalah penganggur atau tidak termasuk dalam angkatan kerja sebelum bermigrasi, tetapi beberapa bukti menunjukkan bahwa, kebanyakan kaum migran terdiri dari mereka yang berpindah dari sektor pertanian ke sektor

(4)

Tata Kota Wilayah (RTKW) Kecamatan, ataupun Peraturan Daerah (Perda) mengenai

Kerbersihan, Keindahan, dan Kelestarian Lingkungan.4

Dari persoalan inilah, seseorang kemudian dapat memunculkan

pertanyaan-pertanyaan penting: Apakah PKL adalah suatu usaha yang bersifal legal atau tidak?

Kalau tidak, apakah PKL benar-benar tidak memiliki masa depan sebagai salah satu

bentuk wirausaha masyarakat kecil atau masyarakat yang tidak mampu? Masalah ini

begitu krusial. Sebab, dalam banyak kota di Indonesia, PKL menjadi semacam wirausaha

tumpuan yang tidak bisa digantikan oleh model lain dalam usaha masyarakat untuk

mempertahankan hidupnya.

Dalam kaitannya dengan persoalan ini, penulis akan mencoba untuk mengulasnya

satu per satu dengan dimulai dari pertanyaan pertama. Walaupun mempunyai relasi

dengan bidang hukum, pembahasan atas masalah ini tetap akan menggarisbawahi sisi

pemikiran ekonominya. Setelah itu, pertanyaan kedua akan diulas dalam kaitannya

dengan format kebijakan perekonomian Indonesia secara umum. Berikut ini, ulasan atas

kedua persoalan tersebut akan dapat ditinjau secara seksama.

Legalitas Usaha PKL dalam Pertimbangan Ekonomi

Dalam tradisi pemikiran ekonomi, PKL dapat dimasukkan dalam suatu sektor

perekonomian yang disebut dengan sektor informal (informal sector). Analisis tentang

sektor informal ini pertama kali muncul dalam tulisan yang dibuat oleh Keith Hart

sebagai laporan penelitian yang dilakukannya atas kelompok miskin perkotaan di daerah

Ghana, Afrika. Dalam tulisannya ini, Hart menjelaskan berbagai analisis yang bersifat

4

Contoh untuk hal ini adalah kasus yang terjadi di daerah kabupaten Garut dan kota Tasikmalaya. Pemda Garut dan Pemkot Tasikmalaya tetap bersikeras bahwa PKL itu melanggar Perda yang telah dikeluarkan olehnya. Lihat beritanya dalam koran Radar, Kamis, 15 Juli 2004, untuk kasus PKL di kota Tasikmalaya; koran Radar, Jumat, 24 September 2004 dan koran Priangan, Rabu-Jumat, 29 September – 1 Oktober 2004 untuk kasus PKL di kabupaten Garut. Khusus untuk kasus PKL di kota Tasikmalaya, Keputusan Walikota No. 21 Tahun 2004 tentang Petunjuk Pelaksanaan Penerapan Sanksi Bagi Pelanggar Kebersihan, Keindahan, dan Ketertiban Lalu Lintas Kota Tasikmalaya menunjukkan secara jelas bahwa PKL telah melanggar aturan yang dituangkan dalam Perda No. 10 Tahun 2003 tentang Penyelenggaraan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan di Kota Tasikmalaya dan Perda No. 29 Tahun 2003 tentang Kebersihan, Keindahan, dan Kelestarian Lingkungan.

(5)

dasar untuk sektor perekonomian yang diberi nama sektor informal. Dimulai dari

pembahasan mengenai tipologi mengenai kesempatan untuk memperoleh kerja, hingga

penjelasan mengenai kegiatan-kegiatan perekonomian yang tidak sah.5

Sehubungan dengan masalah yang telah disampaikan di muka—yaitu tentang

sah/tidaknya PKL sebagai suatu usaha masyarakat, isi tulisan dari Hart nampaknya cukup

relevan untuk dikemukakan. Ini karena Hart telah menjelaskan usaha-usaha mana saja

dalam sektor informal yang bisa dikategorikan sah/tidak. Oleh karena itu, kita akan

meninjau seperti apakah analisis yang dibuat Hart untuk masalah sektor informal ini.

Dalam tulisan Hart, sektor informal dipertentangkan dengan sektor formal. Bila

dalam sektor informal ukuran yang dibuat untuk mencirikan kategori sektor ini adalah

soal “gaji yang tidak tetap dan teratur”, maka dalam sektor formal diberi suatu ukuran

yang berdasar atas soal “gaji yang tetap dan teratur”. Pada konteks ini, sektor formal

akan mencakup kegiatan memperoleh penghasilan yang dilakukan seseorang ketika

menjadi seorang pegawai, baik bekerja untuk Negara ataupun bekerja untuk Swasta.

Sementara itu, sektor informal akan mencakup kegiatan memperoleh penghasilan dengan

melakukan wirausaha di bidang Pertanian, Kerajinan, Konstruksi, Perniagaan, Jasa,

Transaksi, dan Distribusi Produk Industri secara kecil-kecilan untuk kegiatan

perekonomian yang dianggap sah. Sedangkan untuk kegiatan perekonomian yang

dianggap tidak sah, hal ini mencakup kegiatan memperoleh penghasilan dengan

melakukan pekerjaan di bidang Jasa (yang berhubungan dengan usaha ilegal) dan

Transaksi (yang menggunakan cara-cara kriminal).6

Bila menggunakan kriteria yang disampaikan oleh Hart di atas ini, PKL

dimasukkan oleh Hart dalam kategori kegiatan perekonomian yang dianggap sah.7

Walaupun begitu, dalam penjelasan yang diberikan Ray Bromley atas situasi PKL di kota

Cali, Kolumbia, PKL ternyata dibagi atas dua kelompok. Kelompok yang pertama adalah

kelompok PKL yang memiliki izin usaha serta dikoordinir oleh EMSIRVA8 dan para

(6)

berjualan di jalan-jalan umum perkotaan dan seringkali dirazia oleh pejabat setempat

dengan alasan: menyalahi aturan resmi atau tidak bersedia kerja sama dengan pejabat.9

Sehingga, kita dapat mengambil kesimpulan sementara bahwa kegiatan PKL sendiri

belum tentu dapat digolongkan sah atau tidak. Ini karena dibutuhkan suatu analisis

mengenai posisi PKL dalam sistem perekonomian secara lebih jauh.

Meskipun demikian, dengan mengacu pada keterangan ini, kita tetap dapat

mengatakan kasus PKL di Indonesia nampaknya hampir mirip dengan kasus PKL yang

terdapat di Kolumbia. Namun demikian, ada suatu hal penting yang membedakan PKL di

Kolumbia dengan PKL di Indonesia. Seperti yang diungkapkan oleh Sethuraman ketika

melakukan penelitian tentang sektor informal di Jakarta, ia menyatakan bahwa “banyak

kegiatan usaha informal di Jakarta adalah ilegal yakni para pedagang tidak mempunyai

izin usaha dari pemerintah”.10 Oleh karena itu, kini menjadi jelas bahwa kasus PKL di

Indonesia tidak bisa disamakan dengan kasus PKL yang berada pada kategori Hart atau

Bromley secara kategoris.

Meskipun tidak dapat dimasukkan ke dalam kategori Hart dan Bromley secara

tepat, kasus PKL di Indonesia memiliki tipe yang mirip dengan tipologi kedua dari jenis

PKL yang diungkap dalam pendapat Bromley. Ini karena kebanyakan PKL di Indonesia

memang tidak memperoleh izin resmi. Akan tetapi, persoalannya menjadi semakin

bertambah pelik manakala ada keterangan bahwa PKL di Indonesia ternyata dikenai

retribusi khusus oleh Pemerintah dipertimbangkan.11 Bila keterangan ini memang benar

adanya, maka retribusi terhadap PKL sebenarnya bisa dianggap sama dengan “pemberian

izin”—walaupun tidak resmi.

Dengan adanya faktor-faktor yang demikian, kasus PKL di Indonesia masih

belum jelas status hukumnya bila pertimbangan ekonomi yang dipergunakan. Akan

tetapi, bila pertimbangan yuridis yang dipakai, PKL di Indonesia pada dasarnya tidak

S.V. Sethuraman, 1974, Urbanization and Employment in Jakarta, ILO Employment Programme, Geneva, hal. 9. Dikutip via Graeme J. Hugo, 1978, “Partisipasi Kaum Migran dalam Ekonomi Kota di Jawa Barat”, dalam Manning dan Effendi, 1996, op.cit., hal. 322.

11

Lihat keterangan tentang PKL yang dipungut retribusi oleh Pemerintah dalam Sadhana, edisi Mei - Juni 1996, hal. 2. Selain itu, penulis juga mendapatkan informasi bahwa PKL yang berada di kota

(7)

dengan mengacu pada Perda yang dibuat oleh Pemda/Pemkot, status hukum dari PKL

sebagai salah satu jenis wirausaha yang diselenggarakan masyarakat kecil semakin tidak

mendapatkan tempat yang layak karena dianggap mengganggu “kerbersihan, keindahan,

dan kelestarian lingkungan” di kota kabupaten/kotamadya.

Masa Depan PKL dalam Rangka Penghidupan Masyarakat Kecil di

Indonesia

Setelah memahami status hukum PKL dalam pertimbangan ekonomi dan yuridis,

kita tentunya akan mengambil kesimpulan secara cepat bahwa nasib PKL di Indonesia

sudah ditentukan “kematian”-nya. Meskipun hampir dapat dikatakan serupa ini,

sebenarnya masa depan PKL di Indonesia masih terbuka lebar jalannya. Ibarat seseorang

yang sudah divonis kanker oleh dokter, orang ini dapat saja menempuh jalur pengobatan

alternatif untuk melepaskan diri dari jalan kematiannya. Analogi yang demikian ini dapat

kita terapkan dalam kasus PKL di Indonesia. Ini karena kebijakan perekonomian yang

diterapkan di Indonesia tidak memiliki format yang kapitalistik. Hal ini sesuai dengan

nilai dasar perekonomian yang disampaikan dalam UUD Dasar 1945, bab XIV tentang

Kesejahteraan Sosial, pasal 33 dan 34; juga dalam Amandemen UUD 1945, bab XIV

tentang Perekonomian Nasional dan Kesejahteraan Sosial, pasal 33 dan 34.12

Meskipun demikian, turunan dari nilai dasar perekonomian yang dianut Indonesia

dalam kebijakan perekonomian secara umum masih dipertanyakan. Ini karena sampai

saat ini tidak ada upaya Pemerintah yang benar-benar serius untuk menggarap persoalan

ekonomi masyarakat kecil—yang salah satunya berbentuk PKL. Pemerintah lebih suka

membiayai usaha konglomerasi swasta (atau perusahaan swasta besar) yang bisa

menghasilkan banyak pemasukan devisa walaupun bertumpu pada hutang luar negeri.

Sebab, Pemerintah punya pertimbangan bahwa sistem pembangunan dengan model

trickle-down effect (efek menetes-jatuh) yang diwujudkan melalui pembiayaan ekonomi

12

(8)

usaha konglomerasi swasta pada akhirnya akan membantu mengangkat perekonomian

masyarakat kecil. Akan tetapi, hal ini ternyata tidak pernah terjadi. Dalam masa krisis,

kita tahu bahwa wirausaha masyarakat kecil-lah yang mampu bertahan tanpa bantuan dari

Pemerintah dan bukannya usaha konglomerasi swasta yang justru “kalang-kabut dan

megap-megap” hanya untuk mempertahankan hidup usahanya.

Peristiwa krisis ekonomi yang dimulai dari tahun 1998 semestinya menjadi

cermin bagi Pemerintah untuk berefleksi bahwa perekonomian masyarakat tidak

semata-mata bertumpu pada usaha konglomerasi swasta dan berorientasi pada skala makro

ekonomi. Apa yang dimaksud dengan pembangunan ekonomi adalah seperti yang

diungkapkan Mohammad Hatta, bahwa: “…Dasar tiap perekonomian ialah mencapai

keperluan hidup rakyat. Mana yang tidak dapat dihasilkan sendiri, didatangkan dari luar

negeri, diimpor. Barulah datang ekspor untuk membiayai impor tadi.…”.13

Dalam visi Hatta ini, walaupun amat sederhana, pembangunan ekonomi menuntut

suatu keberimbangan yang terjadi di antara kegiatan ekonomi yang diusahakan oleh

masyarakat. Pada tingkat normatif, hal ini juga sesuai dengan yang diamanatkan oleh

UUD 1945. Oleh karena itu, PKL sebagai wirausaha masyarakat kecil sudah selayaknya

diperjuangkan keberadaannya dalam perumusan kebijakan perekonomian di Indonesia,

bukannya dianggap sebagai “pengganggu” dalam kegiatan perekonomian pada tingkat

kota kabupaten/kotamadya karena bertentangan dengan aturan yang telah ditetapkan

dalam Perda. Sebab, bila terus dianggap sebagai pengganggu, masalah PKL tidak akan

pernah selesai. Bila PKL yang satu direlokasi, maka akan ada PKL lain yang

menggantikan posisinya.

Secara lebih jauh, hal ini juga sudah seharusnya dimasukkan dalam pertimbangan

praksis yang dibuat ketika menyusun Rencana Strategis (Renstra) yang akan dijadikan

pedoman oleh Pemda/Pemkot dalam rangka penerapan kebijakan perekonomian di

tingkat lapangan.14 Sehingga, apa yang menjadi usaha masyarakat dalam rangka

13

Mohammad Hatta, 1946, “Ekonomi Indonesia di Masa Datang”, Prasaran pada Konferensi Ekonomi di Yogyakarta. Dikutip via Sritua Arief, 1982, “Ideologi Ekonomi, Teori Ekonomi dan Kolonialisme Ekonomi”, dalam Dari Prestasi Pembangunan sampai Ekonomi Politik: Kumpulan Karangan, 1990, UI-Press, Jakarta, hal. 141.

14

(9)

penghidupan ekonominya dapat diberikan perlindungan yang semestinya. Terlebih lagi,

kasus PKL sebagai salah bentuk wirausaha di sektor informal merupakan nafas yang

menyokong penghidupan ekonomi perkotaan yang termasuk dalam sektor formal. Tidak

ada pekerja di sektor formal yang tidak membutuhkan PKL dalam memenuhi kebutuhan

sehari-harinya.

Kalaupun Pemkab/Pemkot benar-benar bersikeras untuk mempertahankan

kebijakan yang cenderung mendiskreditkan PKL atau mempertahankan Perda yang sudah

dibuat, maka hal ini perlu disiasati bukan hanya dengan melakukan relokasi PKL.

Pemkab/Pemkot akan lebih terpuji bila membuat kebijakan populis yang mampu

menjembatani kepentingan masyarakat di satu sisi dengan kepentingan Pemerintah untuk

pembangunan ekonomi di sisi lain. Contoh konkrit yang dapat diupayakan untuk

merealisasikan kebijakan perekonomian yang serupa ini adalah dengan cara

memberdayakan masyarakat di sektor pertanian secara maksimal. Selain itu,

Pemkab/Pemkot memerlukan suatu keberanian tersendiri untuk menindas “oknum” yang

mengatasnamakan Pemerintah ataupun tidak ketika memungut retribusi pada PKL.

Sebab, banyak PKL yang tentu saja merasa keberatan karena mereka menganggap bahwa

Pemerintah tidak konsisten dengan retribusi yang diadakan tetapi juga sekaligus

merencanakan relokasi yang dialamatkan kepada mereka. Selebihnya, kebijakan

perekonomian yang berkaitan dengan PKL dan disusun oleh Pemerintah sebaiknya

dikonsultasikan bersama para ahli yang berkompeten atas hal tersebut. Sebab, suatu

kebijakan yang dikeluarkan akan sia-sia tanpa pertimbangan dan perencanaan yang

matang atas segala masalahnya.

Penutup

Dengan memperhatikan apa yang disampaikan di atas, persoalan PKL bukanlah

persoalan hukum semata. Ini karena PKL berhubungan dengan rangka penghidupan

masyarakat kecil, atau berciri ekonomi rakyat. Penanganan atas masalah ini pun tidak

bisa dilakukan secara sepihak karena kasus PKL memiliki kategori permasalahan yang

bersifat siklus. Artinya, persoalan ini akan selalu berulang karena PKL sendiri merupakan

(10)

wirausaha yang bersifat jaringan dan mudah untuk dilaksanakan. Walaupun resiko

penggusuran atau relokasi tetap menjadi hambatan, hal ini biasanya dapat disiasati oleh

PKL dengan jalan bermain kucing-kucingan.

Akan tetapi, jalan alternatif untuk solusi masalah PKL nampaknya harus

dipikirkan bukan saja oleh Pemerintah. Ini harus kita pikirkan bersama dengan

merancang hal-hal yang dianggap penting melalui perencanaan kebijakan perekonomian

yang partisipatif. Ada dialog yang perlu dibuat antara Pemerintah dan pelaku PKL yang

dijembatani oleh Dewan Perwakilan Rakyat. Sebab, persoalan PKL tidak akan pernah

tuntas bila kebijakan yang dibuat untuk masalah ini bersifat sepihak. Demikian, prasaran

ini dibuat bukan untuk menggurui, tetapi diberikan sebagai saran, masukan, dan

partisipasi penulis untuk kepentingan yang lebih baik dalam mengatasi salah satu

persoalan bangsa ini.

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan kebutuhan tersebut, Jean Watson memahami bahwa manusia adalah makhluk yang sempurna yang memiliki berbagai macam ragam perbedaan, sehingga dalam upaya

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala nikmat hidup dan kesempatan menggenggam ilmu, serta sholawat senantiasa tercurah kepada Rasulullah SAW sehingga penulis

Menggunakan jilid II untuk usia TK dan alat peraganya untuk belajar secara klasikal, sedangkan secara individu santri membaca materi sesuai dengan halaman yang dipelajarinya,

Kesimpulannya hipertensi adalah hanya salah satu gejala dari sebuah sindroma yang akan lebih sesuai bila disebut dengan sindroma hipertensi aterosklerotik (bukan merupakan

Tahapan kegiatan yang telah dilakukan dalam asuhan kebidanan berkelanjutan adalah mengambil kasus kehamilan normal pada usia kehamilan trimester III, memberikan

Dari hasil penelitian di atas terkesan bahwa efek gonadotropik dari LH maupun efek antigonadotropik dari PGF2 ǂ yang diberikan pada kelompok kontrol (tanpa pemberian kurkumin

Penelitian Wulan Asnuri 2013 yang berjudul “Pengaruh Instrumen Moneter Syariah dan Ekspor terhadap Pertumbuhan Ekonomi di Indonesia” dengan menggunakan ECM sebagai alat analisis

Perusahaan atau produsen penghasil green skincare yang menunjukkan dukungan pada kondisi lingkungan mempengaruhi penilaian individu dalam preferensi melakukan kegiatan