Legalitas dan Masa Depan Pedagang Kaki Lima (PKL) dalam
Kebijakan Perekonomian di Indonesia
Oleh Ahmad Ibrahim B.
Disampaikan pada Diskusi Publik mengenai “Pedagang Kaki Lima
(PKL) dan Penataan Kebersihan, Keindahan, dan Ketertiban Kota
Tasikmalaya”, tanggal 9 Oktober 2004
Sekolah Tinggi Hukum Galunggung
Tasikmalaya
Legalitas dan Masa Depan Pedagang Kaki Lima (PKL) dalam
Kebijakan Perekonomian di Indonesia
*)Oleh Ahmad Ibrahim B.**)
Pendahuluan
Pada masa sekarang ini, pertumbuhan desa-desa menjadi kota-kota di Dunia
Ketiga semakin pesat, termasuk juga di Indonesia.1 Ini karena beberapa aspek sistem
perekonomian modern telah diserap dan dikembangkan dalam sistem perekonomian yang
berlangsung di daerah pedesaan. Penyebab lainnya adalah penyediaan jalur transportasi
yang baik, sehingga arus lalu lintas dan barang dari desa menuju ke kota utama menjadi
lancar. Daerah perindustrian yang dikembangkan di wilayah yang tadinya merupakan
daerah pedesaan turut memicu pertumbuhan perekonomian desa dengan menyerap tenaga
kerja di desa menjadi buruh. Selain itu, adanya modal yang diperoleh melalui jalur
investasi luar negeri—baik berupa pinjaman ataupun hibah—menjadi salah satu
penyokong pesatnya laju pembangunan pada skala nasional.
Hal-hal di atas inilah yang kemudian menjadi penyebab kenapa masalah urban
mulai merasuk dalam kehidupan modern masyarakat perkotaan di Indonesia pada
khususnya dan di Dunia Ketiga pada umumnya. Dengan berubahnya desa menjadi kota,
salah satu masalah yang cukup krusial adalah masalah pengangguran.2 Ini karena sektor
pertanian yang sudah lama ditekuni dalam kehidupan masyarakat pedesaan kini sudah
*)
Makalah ini disampaikan sebagai prasaran dalam Diskusi Publik tentang “Pedagang Kaki Lima (PKL) dan Penataan Kebersihan, Keindahan, dan Ketertiban Kota Tasikmalaya” di Sekolah Tinggi Hukum Galunggung, Tasikmalaya, pada tanggal 9 Oktober 2004.
**)
Staf pengajar pada Sekolah Tinggi Hukum Galunggung, Tasikmalaya.
1
Dalam kaitannya dengan pertumbuhan desa menjadi kota, hal ini telah disinggung oleh T.G. McGee ketika menyebut dua ciri umum yang menjadi gambaran untuk Dunia Ketiga dan diberi nama proses Urbanisasi Semu. Dua ciri ini adalah (1) “kota-kota di Dunia Ketiga telah berkembang secara besar-besaran” dan (2) “perkembangan kota itu ternyata tidak disertai tingkat pertumbuhan ekonomi yang cukup pesat untuk menyediakan kesempatan kerja bagi pertambahan penduduk kota yang makin meningkat”. T.G. McGee, 1971, “Perombakan Struktural dan Kota di Dunia Ketiga: Suatu Teori Involusi Kota”, dalam Chris Manning dan Tadjuddin Noer Effendi, 1996, Urbanisasi, Pengangguran dan Sektor Informal di Kota, cet. III, penerj. Al. Ghozi Usman dan Andre Bayo Ala, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, hal. 34.
2
mulai tergeser oleh sektor jasa dan industri. Selain itu, lahan-lahan pertanian yang luas
dan produktif telah beralih fungsi menjadi daerah perumahan, perdagangan, dan juga
industri. Sehingga, para pekerja yang menggantungkan penghasilannya dari sektor
pertanian mulai kehilangan lapangan pekerjaannya.
Di sisi lain, tingkat kebutuhan yang konsumtif dari masyarakat pedesaan atas
produk-produk industri modern ternyata semakin tinggi. Ini karena kebutuhan sehari-hari
masyarakat pedesaan sudah bergantung pada produk-produk industri modern. Mulai dari
kebutuhan rumah tangga, hingga kebutuhan usaha di bidang pertanian. Hal ini sekaligus
memiliki imbas yang nyata dalam kehidupan masyarakat pedesaan. Sebab, usaha di
sektor pertanian ternyata tidak dapat menghasilkan pendapatan yang lebih untuk sekadar
memenuhi kebutuhan sehari-hari. Oleh karena itu, sebagian masyarakat pedesaan saat ini
nampak enggan untuk menekuni sektor pertanian karena rendahnya penghasilan yang
diperoleh dan juga resiko usaha pertanian yang semakin besar. Mereka lebih memilih
bekerja di daerah perkotaan sebagai buruh atau berwirausaha kecil-kecilan.3
Salah satu jenis wirausaha yang banyak digeluti oleh masyarakat desa yang
bermigrasi ke kota di Indonesia adalah menjadi Pedagang Kaki Lima (PKL). Wirausaha
ini nampaknya menjadi satu-satunya alternatif untuk berusaha secara mudah dengan
minimnya modal yang dibutuhkan. Meskipun begitu, PKL pun bukanlah usaha yang
benar-benar mudah karena para pelakunya ternyata harus bermain kucing-kucingan
dengan aparat yang berwenang dari Pemerintah Daerah (Pemda) ataupun Pemerintah
Kota (Pemkot). Ini karena PKL secara umum dianggap melanggar peraturan yang
ditetapkan Pemda/Pemkot mengenai Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW), Rencana
3
Untuk hal yang sama, pendapat S.V. Sethuraman justru mengukuhkan argumentasi ini karena dia mencatat bahwa “… (m)eskipun sebagian kaum migran dalam sektor informal adalah penganggur atau tidak termasuk dalam angkatan kerja sebelum bermigrasi, tetapi beberapa bukti menunjukkan bahwa, kebanyakan kaum migran terdiri dari mereka yang berpindah dari sektor pertanian ke sektor
Tata Kota Wilayah (RTKW) Kecamatan, ataupun Peraturan Daerah (Perda) mengenai
Kerbersihan, Keindahan, dan Kelestarian Lingkungan.4
Dari persoalan inilah, seseorang kemudian dapat memunculkan
pertanyaan-pertanyaan penting: Apakah PKL adalah suatu usaha yang bersifal legal atau tidak?
Kalau tidak, apakah PKL benar-benar tidak memiliki masa depan sebagai salah satu
bentuk wirausaha masyarakat kecil atau masyarakat yang tidak mampu? Masalah ini
begitu krusial. Sebab, dalam banyak kota di Indonesia, PKL menjadi semacam wirausaha
tumpuan yang tidak bisa digantikan oleh model lain dalam usaha masyarakat untuk
mempertahankan hidupnya.
Dalam kaitannya dengan persoalan ini, penulis akan mencoba untuk mengulasnya
satu per satu dengan dimulai dari pertanyaan pertama. Walaupun mempunyai relasi
dengan bidang hukum, pembahasan atas masalah ini tetap akan menggarisbawahi sisi
pemikiran ekonominya. Setelah itu, pertanyaan kedua akan diulas dalam kaitannya
dengan format kebijakan perekonomian Indonesia secara umum. Berikut ini, ulasan atas
kedua persoalan tersebut akan dapat ditinjau secara seksama.
Legalitas Usaha PKL dalam Pertimbangan Ekonomi
Dalam tradisi pemikiran ekonomi, PKL dapat dimasukkan dalam suatu sektor
perekonomian yang disebut dengan sektor informal (informal sector). Analisis tentang
sektor informal ini pertama kali muncul dalam tulisan yang dibuat oleh Keith Hart
sebagai laporan penelitian yang dilakukannya atas kelompok miskin perkotaan di daerah
Ghana, Afrika. Dalam tulisannya ini, Hart menjelaskan berbagai analisis yang bersifat
4
Contoh untuk hal ini adalah kasus yang terjadi di daerah kabupaten Garut dan kota Tasikmalaya. Pemda Garut dan Pemkot Tasikmalaya tetap bersikeras bahwa PKL itu melanggar Perda yang telah dikeluarkan olehnya. Lihat beritanya dalam koran Radar, Kamis, 15 Juli 2004, untuk kasus PKL di kota Tasikmalaya; koran Radar, Jumat, 24 September 2004 dan koran Priangan, Rabu-Jumat, 29 September – 1 Oktober 2004 untuk kasus PKL di kabupaten Garut. Khusus untuk kasus PKL di kota Tasikmalaya, Keputusan Walikota No. 21 Tahun 2004 tentang Petunjuk Pelaksanaan Penerapan Sanksi Bagi Pelanggar Kebersihan, Keindahan, dan Ketertiban Lalu Lintas Kota Tasikmalaya menunjukkan secara jelas bahwa PKL telah melanggar aturan yang dituangkan dalam Perda No. 10 Tahun 2003 tentang Penyelenggaraan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan di Kota Tasikmalaya dan Perda No. 29 Tahun 2003 tentang Kebersihan, Keindahan, dan Kelestarian Lingkungan.
dasar untuk sektor perekonomian yang diberi nama sektor informal. Dimulai dari
pembahasan mengenai tipologi mengenai kesempatan untuk memperoleh kerja, hingga
penjelasan mengenai kegiatan-kegiatan perekonomian yang tidak sah.5
Sehubungan dengan masalah yang telah disampaikan di muka—yaitu tentang
sah/tidaknya PKL sebagai suatu usaha masyarakat, isi tulisan dari Hart nampaknya cukup
relevan untuk dikemukakan. Ini karena Hart telah menjelaskan usaha-usaha mana saja
dalam sektor informal yang bisa dikategorikan sah/tidak. Oleh karena itu, kita akan
meninjau seperti apakah analisis yang dibuat Hart untuk masalah sektor informal ini.
Dalam tulisan Hart, sektor informal dipertentangkan dengan sektor formal. Bila
dalam sektor informal ukuran yang dibuat untuk mencirikan kategori sektor ini adalah
soal “gaji yang tidak tetap dan teratur”, maka dalam sektor formal diberi suatu ukuran
yang berdasar atas soal “gaji yang tetap dan teratur”. Pada konteks ini, sektor formal
akan mencakup kegiatan memperoleh penghasilan yang dilakukan seseorang ketika
menjadi seorang pegawai, baik bekerja untuk Negara ataupun bekerja untuk Swasta.
Sementara itu, sektor informal akan mencakup kegiatan memperoleh penghasilan dengan
melakukan wirausaha di bidang Pertanian, Kerajinan, Konstruksi, Perniagaan, Jasa,
Transaksi, dan Distribusi Produk Industri secara kecil-kecilan untuk kegiatan
perekonomian yang dianggap sah. Sedangkan untuk kegiatan perekonomian yang
dianggap tidak sah, hal ini mencakup kegiatan memperoleh penghasilan dengan
melakukan pekerjaan di bidang Jasa (yang berhubungan dengan usaha ilegal) dan
Transaksi (yang menggunakan cara-cara kriminal).6
Bila menggunakan kriteria yang disampaikan oleh Hart di atas ini, PKL
dimasukkan oleh Hart dalam kategori kegiatan perekonomian yang dianggap sah.7
Walaupun begitu, dalam penjelasan yang diberikan Ray Bromley atas situasi PKL di kota
Cali, Kolumbia, PKL ternyata dibagi atas dua kelompok. Kelompok yang pertama adalah
kelompok PKL yang memiliki izin usaha serta dikoordinir oleh EMSIRVA8 dan para
berjualan di jalan-jalan umum perkotaan dan seringkali dirazia oleh pejabat setempat
dengan alasan: menyalahi aturan resmi atau tidak bersedia kerja sama dengan pejabat.9
Sehingga, kita dapat mengambil kesimpulan sementara bahwa kegiatan PKL sendiri
belum tentu dapat digolongkan sah atau tidak. Ini karena dibutuhkan suatu analisis
mengenai posisi PKL dalam sistem perekonomian secara lebih jauh.
Meskipun demikian, dengan mengacu pada keterangan ini, kita tetap dapat
mengatakan kasus PKL di Indonesia nampaknya hampir mirip dengan kasus PKL yang
terdapat di Kolumbia. Namun demikian, ada suatu hal penting yang membedakan PKL di
Kolumbia dengan PKL di Indonesia. Seperti yang diungkapkan oleh Sethuraman ketika
melakukan penelitian tentang sektor informal di Jakarta, ia menyatakan bahwa “banyak
kegiatan usaha informal di Jakarta adalah ilegal yakni para pedagang tidak mempunyai
izin usaha dari pemerintah”.10 Oleh karena itu, kini menjadi jelas bahwa kasus PKL di
Indonesia tidak bisa disamakan dengan kasus PKL yang berada pada kategori Hart atau
Bromley secara kategoris.
Meskipun tidak dapat dimasukkan ke dalam kategori Hart dan Bromley secara
tepat, kasus PKL di Indonesia memiliki tipe yang mirip dengan tipologi kedua dari jenis
PKL yang diungkap dalam pendapat Bromley. Ini karena kebanyakan PKL di Indonesia
memang tidak memperoleh izin resmi. Akan tetapi, persoalannya menjadi semakin
bertambah pelik manakala ada keterangan bahwa PKL di Indonesia ternyata dikenai
retribusi khusus oleh Pemerintah dipertimbangkan.11 Bila keterangan ini memang benar
adanya, maka retribusi terhadap PKL sebenarnya bisa dianggap sama dengan “pemberian
izin”—walaupun tidak resmi.
Dengan adanya faktor-faktor yang demikian, kasus PKL di Indonesia masih
belum jelas status hukumnya bila pertimbangan ekonomi yang dipergunakan. Akan
tetapi, bila pertimbangan yuridis yang dipakai, PKL di Indonesia pada dasarnya tidak
S.V. Sethuraman, 1974, Urbanization and Employment in Jakarta, ILO Employment Programme, Geneva, hal. 9. Dikutip via Graeme J. Hugo, 1978, “Partisipasi Kaum Migran dalam Ekonomi Kota di Jawa Barat”, dalam Manning dan Effendi, 1996, op.cit., hal. 322.
11
Lihat keterangan tentang PKL yang dipungut retribusi oleh Pemerintah dalam Sadhana, edisi Mei - Juni 1996, hal. 2. Selain itu, penulis juga mendapatkan informasi bahwa PKL yang berada di kota
dengan mengacu pada Perda yang dibuat oleh Pemda/Pemkot, status hukum dari PKL
sebagai salah satu jenis wirausaha yang diselenggarakan masyarakat kecil semakin tidak
mendapatkan tempat yang layak karena dianggap mengganggu “kerbersihan, keindahan,
dan kelestarian lingkungan” di kota kabupaten/kotamadya.
Masa Depan PKL dalam Rangka Penghidupan Masyarakat Kecil di
Indonesia
Setelah memahami status hukum PKL dalam pertimbangan ekonomi dan yuridis,
kita tentunya akan mengambil kesimpulan secara cepat bahwa nasib PKL di Indonesia
sudah ditentukan “kematian”-nya. Meskipun hampir dapat dikatakan serupa ini,
sebenarnya masa depan PKL di Indonesia masih terbuka lebar jalannya. Ibarat seseorang
yang sudah divonis kanker oleh dokter, orang ini dapat saja menempuh jalur pengobatan
alternatif untuk melepaskan diri dari jalan kematiannya. Analogi yang demikian ini dapat
kita terapkan dalam kasus PKL di Indonesia. Ini karena kebijakan perekonomian yang
diterapkan di Indonesia tidak memiliki format yang kapitalistik. Hal ini sesuai dengan
nilai dasar perekonomian yang disampaikan dalam UUD Dasar 1945, bab XIV tentang
Kesejahteraan Sosial, pasal 33 dan 34; juga dalam Amandemen UUD 1945, bab XIV
tentang Perekonomian Nasional dan Kesejahteraan Sosial, pasal 33 dan 34.12
Meskipun demikian, turunan dari nilai dasar perekonomian yang dianut Indonesia
dalam kebijakan perekonomian secara umum masih dipertanyakan. Ini karena sampai
saat ini tidak ada upaya Pemerintah yang benar-benar serius untuk menggarap persoalan
ekonomi masyarakat kecil—yang salah satunya berbentuk PKL. Pemerintah lebih suka
membiayai usaha konglomerasi swasta (atau perusahaan swasta besar) yang bisa
menghasilkan banyak pemasukan devisa walaupun bertumpu pada hutang luar negeri.
Sebab, Pemerintah punya pertimbangan bahwa sistem pembangunan dengan model
trickle-down effect (efek menetes-jatuh) yang diwujudkan melalui pembiayaan ekonomi
12
usaha konglomerasi swasta pada akhirnya akan membantu mengangkat perekonomian
masyarakat kecil. Akan tetapi, hal ini ternyata tidak pernah terjadi. Dalam masa krisis,
kita tahu bahwa wirausaha masyarakat kecil-lah yang mampu bertahan tanpa bantuan dari
Pemerintah dan bukannya usaha konglomerasi swasta yang justru “kalang-kabut dan
megap-megap” hanya untuk mempertahankan hidup usahanya.
Peristiwa krisis ekonomi yang dimulai dari tahun 1998 semestinya menjadi
cermin bagi Pemerintah untuk berefleksi bahwa perekonomian masyarakat tidak
semata-mata bertumpu pada usaha konglomerasi swasta dan berorientasi pada skala makro
ekonomi. Apa yang dimaksud dengan pembangunan ekonomi adalah seperti yang
diungkapkan Mohammad Hatta, bahwa: “…Dasar tiap perekonomian ialah mencapai
keperluan hidup rakyat. Mana yang tidak dapat dihasilkan sendiri, didatangkan dari luar
negeri, diimpor. Barulah datang ekspor untuk membiayai impor tadi.…”.13
Dalam visi Hatta ini, walaupun amat sederhana, pembangunan ekonomi menuntut
suatu keberimbangan yang terjadi di antara kegiatan ekonomi yang diusahakan oleh
masyarakat. Pada tingkat normatif, hal ini juga sesuai dengan yang diamanatkan oleh
UUD 1945. Oleh karena itu, PKL sebagai wirausaha masyarakat kecil sudah selayaknya
diperjuangkan keberadaannya dalam perumusan kebijakan perekonomian di Indonesia,
bukannya dianggap sebagai “pengganggu” dalam kegiatan perekonomian pada tingkat
kota kabupaten/kotamadya karena bertentangan dengan aturan yang telah ditetapkan
dalam Perda. Sebab, bila terus dianggap sebagai pengganggu, masalah PKL tidak akan
pernah selesai. Bila PKL yang satu direlokasi, maka akan ada PKL lain yang
menggantikan posisinya.
Secara lebih jauh, hal ini juga sudah seharusnya dimasukkan dalam pertimbangan
praksis yang dibuat ketika menyusun Rencana Strategis (Renstra) yang akan dijadikan
pedoman oleh Pemda/Pemkot dalam rangka penerapan kebijakan perekonomian di
tingkat lapangan.14 Sehingga, apa yang menjadi usaha masyarakat dalam rangka
13
Mohammad Hatta, 1946, “Ekonomi Indonesia di Masa Datang”, Prasaran pada Konferensi Ekonomi di Yogyakarta. Dikutip via Sritua Arief, 1982, “Ideologi Ekonomi, Teori Ekonomi dan Kolonialisme Ekonomi”, dalam Dari Prestasi Pembangunan sampai Ekonomi Politik: Kumpulan Karangan, 1990, UI-Press, Jakarta, hal. 141.
14
penghidupan ekonominya dapat diberikan perlindungan yang semestinya. Terlebih lagi,
kasus PKL sebagai salah bentuk wirausaha di sektor informal merupakan nafas yang
menyokong penghidupan ekonomi perkotaan yang termasuk dalam sektor formal. Tidak
ada pekerja di sektor formal yang tidak membutuhkan PKL dalam memenuhi kebutuhan
sehari-harinya.
Kalaupun Pemkab/Pemkot benar-benar bersikeras untuk mempertahankan
kebijakan yang cenderung mendiskreditkan PKL atau mempertahankan Perda yang sudah
dibuat, maka hal ini perlu disiasati bukan hanya dengan melakukan relokasi PKL.
Pemkab/Pemkot akan lebih terpuji bila membuat kebijakan populis yang mampu
menjembatani kepentingan masyarakat di satu sisi dengan kepentingan Pemerintah untuk
pembangunan ekonomi di sisi lain. Contoh konkrit yang dapat diupayakan untuk
merealisasikan kebijakan perekonomian yang serupa ini adalah dengan cara
memberdayakan masyarakat di sektor pertanian secara maksimal. Selain itu,
Pemkab/Pemkot memerlukan suatu keberanian tersendiri untuk menindas “oknum” yang
mengatasnamakan Pemerintah ataupun tidak ketika memungut retribusi pada PKL.
Sebab, banyak PKL yang tentu saja merasa keberatan karena mereka menganggap bahwa
Pemerintah tidak konsisten dengan retribusi yang diadakan tetapi juga sekaligus
merencanakan relokasi yang dialamatkan kepada mereka. Selebihnya, kebijakan
perekonomian yang berkaitan dengan PKL dan disusun oleh Pemerintah sebaiknya
dikonsultasikan bersama para ahli yang berkompeten atas hal tersebut. Sebab, suatu
kebijakan yang dikeluarkan akan sia-sia tanpa pertimbangan dan perencanaan yang
matang atas segala masalahnya.
Penutup
Dengan memperhatikan apa yang disampaikan di atas, persoalan PKL bukanlah
persoalan hukum semata. Ini karena PKL berhubungan dengan rangka penghidupan
masyarakat kecil, atau berciri ekonomi rakyat. Penanganan atas masalah ini pun tidak
bisa dilakukan secara sepihak karena kasus PKL memiliki kategori permasalahan yang
bersifat siklus. Artinya, persoalan ini akan selalu berulang karena PKL sendiri merupakan
wirausaha yang bersifat jaringan dan mudah untuk dilaksanakan. Walaupun resiko
penggusuran atau relokasi tetap menjadi hambatan, hal ini biasanya dapat disiasati oleh
PKL dengan jalan bermain kucing-kucingan.
Akan tetapi, jalan alternatif untuk solusi masalah PKL nampaknya harus
dipikirkan bukan saja oleh Pemerintah. Ini harus kita pikirkan bersama dengan
merancang hal-hal yang dianggap penting melalui perencanaan kebijakan perekonomian
yang partisipatif. Ada dialog yang perlu dibuat antara Pemerintah dan pelaku PKL yang
dijembatani oleh Dewan Perwakilan Rakyat. Sebab, persoalan PKL tidak akan pernah
tuntas bila kebijakan yang dibuat untuk masalah ini bersifat sepihak. Demikian, prasaran
ini dibuat bukan untuk menggurui, tetapi diberikan sebagai saran, masukan, dan
partisipasi penulis untuk kepentingan yang lebih baik dalam mengatasi salah satu
persoalan bangsa ini.