1 BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Bangsa Indonesia dikenal dengan keberagaman suku dan etnisnya, setiap
suku dan etnis tentunya memiliki kekhasan ada istiadat dan budaya
masing-masing. Dalam setiap warisan budaya nenek moyang yang sudah ada sejak dahulu
dan salah satunya kesenian yang turun-temurun diwariskan kepada generasinya
walaupun pada setiap perkembangannya tidak bisa dijaga keutuhannya, ada seni
tari, seni ukir, seni tekstil, seni patung, serta seni musik.
Batak Toba adalah salah satu etnis yang terdapat di Sumatera Utara. Etnis
Batak Toba termasuk dalam sub etnis Batak, dan sub etnis Batak lainnya ialah
Karo, Simalungun, Pakpak, Mandailing, dan Angkola. Bagi etnis Batak Toba
musik menjadi sebuah kebutuhan yang banyak digunakan untuk tujuan hiburan,
ritual, serta upacara adat, maka terdapatlah dua buah ensambel1. Ensambel
tersebut antara lain , ensambelgondang sabangunan2, dan gondang hasapi.
Disamping ensambel gondang sabangunan dan gondang hasapi3 atau
yang disebut juga uning-uningan masih terdapat alat-alat musik yang berupa solo
1
Ensambel atau Ansambel (Kamus Musik M. Soeharto, 1992:4) dalam bahasa Prancis adalah kelompok kegiatan seni musik, dengan jenis kegiatan seperti tercantum dalam sebutannya. Biasanya tampil sebagai kerjasama pesertanya dibawah pimpinan seorang pelatih.
2
Gondang Sabangunan merupakan sekelompok alat musik atau ensambel Batak Toba yang digunakan ataupun berfungsi atau berperan untuk mengiringi upacara adat, ritual keagamaan, dan hiburan.
3
2
instrument4 yang lebih bersifat pribadi serta menghibur diri dan biasanya
dimainkan pada saat waktu luang, seperti:
a. Sulim, alat musik yang terbuat dari bambu, memiliki enam lubang
nada dan memiliki satu lubang tiupan. Dimainkan dengan cara meniup
dari samping yang dilakukan dengan meletakkan bibir secara horizontal
pada pinggiran lubang tiup. Klasifikasi instrument ini masuk ke dalam
kelompok aerophone5.
b. Saga-saga, terbuat dari pelepah pohon Aren yang dimainkan
dengan cara menggetarkan lidah yang terbentuk dari badannya sendiri
dan rongga mulut yang berperan sebagai resonator.
c. Jeggong, instrument ini terbuat dari logam dan memiliki konsep
yang sama dengan saga-saga.
d. Talatoit, alat musik yang terbuat dari bambu, sering disebut juga
salohat atau tulila, dimainkan dengan cara ditiup dari samping.
Mempunyai lubang penjarian yakni dua di sisi kiri dan dua di sisi kanan,
sedangkan lubang tiup berada di tengah. Instrument ini biasanya
memainkan lagu-lagu yang bersifat melodis dan bersifat ritmik.
Klasifikasi Instrument ini termasuk ke dalam kelompok aerophone.
e. Sordam, terbuat dari bambu yang dimainkan dengan cara meniup
dari ujungnya dengan meletakkan bibir pada ujung bambu secara
diagonal. Memiliki enam lubang nada, yakni di bagian atas dan satu di
4
Instrument (Kamus Musik M. Soeharto, 1992:54) dalam bahasa Inggris, yaitu alat musik yang digolongkan berdasarkan cara memakainya.
5
3
bagian bawah, sedangkan lubang tiupnya merupakan ujung dari bambu
tersebut.
f. Tanggetang, terbuat dari rotan dan peti kayu sebagai resonator.
Permainan instrument ini bersifat ritmik atau mirip dengan permainan
gaya mengmung. Instrument ini termasuk dalam klasifikasi kordophone6.
Pada tulisan ini penulis ingin membahas saga-saga Batak Toba.
Saga-saga termasuk dalam klasifikasi idiophone7 yang terbuat dari bagot8 atau disebut
juga pelepah pohon Enau. Terbentuk dari dua badan dan benang sebagai
penyambungnya yang memiliki bentuk dan fungsi yang berbeda. satu bentuknya
tipis, tengahnya dibentuk sehingga membentuk lidah yang bergetar dan memiliki
fungsi sebagai penghasil bunyi, dua bentuknya bulat kosong yang fungsinya
sebagai pegangan tangan untuk menarik tali.
Saga-saga dapat dimainkan dalam posisi berdiri maupun duduk dengan
cara tangan kiri menggenggam kain yang sudah menyatu dengan badan saga-saga
tersebut guna menahan dan menempelkannya ke bibir lalu tangan kanan
menggenggam tangkai bambu yang dihubungkan dengan tali benang pada ujung
bilah sebelah kanan. Untuk membunyikannya maka benang itu ditarik -tarik atau
dihentakkan ke arah samping kanan agak menyudut ke depan.
Instrument musik ini dapat digolongkan ke dalam instrument ritmis
sangat berbeda dengan instrument pembawa melodi yang biasa dimainkan pada
alat musik Batak Toba lainnya seperti sulim, sarune etek, sarune bolon, hasapi,
taganing, talatoit maupun saga-saga. Perbedaannya terletak dari hasil bunyi yang
6
Kordophone penggetar utama bunyinya adalah senar atau dawai. 7
Idiophone penggetar utama bunyinya adalah badan dari alat musik itu sendiri. 8
4
dihasilkan saga-saga, terdengar seperti suara angin menderu-deru serta diiringi
bunyi menghentak-hentak berirama teratur. Suara deru angin itu muncul dari
udara yang terdapat pada rongga mulut si pemain sedangkan bunyi
menghentak-hentak dari tarikan tangan kanan. Perubahan bunyi atau karakter pada saga-saga
dilakukan dengan mengolah posisi atau merubah rongga mulut yang berfungsi
sebagai resonator.
Di Indonesia sendiri cukup banyak instrument yang memiliki organologi
hampir serupa dengan saga-saga seperti, genggong (Bali), kuriding (Kalimantan
Selatan), pikonane (Papua), karinding (Sunda), hodong-hodong pada etnis
Simalungun (Sumatera Utara) dan lain sebagainya. Instrument yang serupa tidak
hanya tersebar di Indonesia saja, misalnya di Vietnam ada hmong, di China ada
kouqin, bahkan di wilayah Eropa juga ada Instrument yang serupa dan dikenal
dengan nama Jew’s harp.
“The Jew's harp, also known as the jaw harp, mouth harp, Ozark harp,
trump, or juice harp, is a lamellophone instrument, which is in the category of plucked idiophones: it consists of a flexible metal or bamboo tongue or reed attached to a frame. The tongue/reed is placed in the performer's mouth and plucked with the finger to produce a note. The instrument is known in various cultures under different names.”
(http://en.wikipedia.org/wiki/Jew%27s_harp)
Dalam hasil wawancara dengan bapak Guntur Sitohang pada tanggal 14
November 2014, saga-saga ini dahulunya digunakan oleh para pemuda yang ingin
martandang9 kerumah seorang wanita yang disukainya, si pemuda memainkan
saga dari depan rumah dan si wanita membalas dengan memainkan
saga-saga dari dalam rumahnya. Mereka meyakini bahwa suara yang dihasilkan dari
saga-saga itu memiliki pesan-pesan yang disampaikan. Selain itu saga-saga juga
9
5
digunakan untuk mengisi waktu luang berfungsi untuk menghibur diri dimainkan
selepas pulang dari ladang maupun pada waktu santai dimalam hari untuk pribadi.
Dengan melihat perkembangannya saat ini keberadaan saga-saga sudah
jarang ditemui baik di setiap daerah Sumatera Utara, terbukti dari hasil
pembicaraan dengan salah satu Dosen praktik musik Batak Toba Universitas
Sumatra Utara pada bulan November 2014 lalu, yaitu Marsius Sitohang yang juga
masih aktif bermusik tradisi Batak Toba baik di daerah Sumatra Utara maupun
luar Sumatra bahkan sampai ke luar negeri serta hasil dari wawancara dengan
Bapak Guntur Sitohang pada 13 November 2014 mengatakan saat ini sudah jarang
orang yang bisa memainkan instrument saga-saga dengan baik.
Sekitar tahun 1976 Guntur Sitohang sudah membuat alat musik Batak
Toba. Instrument pertama yang menjadi karyanya yaitu sarune etek, dikarenakan
dahulu pada setiap penampilannya Guntur Sitohang lebih sering memainkan
instrument sarune etek dibandingkan instrument Batak Toba lainnya. Proses
belajar membuat alat musik Guntur Sitohang tidak memiliki guru sebagai tempat
belajar melainkan dengan memperhatikan alat musik yang ada kemudian beliau
mencoba membuat alat musik sendiri. Setelah itu beliau mencoba membuat
instrument lain seperti sulim, hasapi, saga-saga, taganing, sampai saga-saga. Pada
tahun 1978 alat musik yang dihasilkan Guntur Sitohang sudah semakin banyak
mendapatkan pesanan untuk dipakai para pemusik. Dengan banyaknya pesanan
tersebut beliau semakin sulit untuk memenuhi permintaan yang ada, karena dari
awal proses pembuatannya dilakukan seorang diri tanpa pernah memiliki anggota
6
dibutuhkan ketelitian dan pemilihan bahan baku yang terbaik untuk sebuah alat
musik yang dibuat oleh beliau.
Menurut bapak Guntur Sitohang semakin jarang orang yang memiliki
maupun yang mahir memainkan saga-saga saat ini. Bapak Guntur Sitohang
memiliki prinsip untuk memprioritaskan kualitas dari setiap alat musik buatanya
maka penulis tertarik untuk lebih dalam lagi membahas bagaimana kajian
organologis atau kebudayaan material musik dalam Etnomusikologi seperti yang
telah dikemukakan oleh Merriam (1964), maka penulis akan mencoba meneliti,
mengkaji, dan menuliskannya dalam bentuk karya tulisan ilmiah dengan judul
“Kajian Organologis Saga-saga Batak Toba Buatan Bapak Guntur Sitohang
Di Desa Turpuk Limbong Kecamatan Harian Boho, Kabupaten Samosir”.
1.2 Pokok Permasalahan
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah penulis kemukakan
sebelumnya, maka pokok permasalahan yang menjadi topik bahasan dalam tulisan
ini, yaitu:
1. Bagaimana Proses dan Teknik Pembuatan Saga-saga oleh bapak Guntur
Sitohang.
2. Fungsi Saga-saga pada Masyarakat Batak Toba.
7 1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian
1.3.1 Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui proses dan teknik pembuatan saga-saga buatan bapak
Guntur Sitohang baik dari segi struktur bagian saga-saga maupun
fungsional atau fungsi dari setiap bagian yang terdapat pada Saga-saga.
2. Untuk mengetahui fungsi saga-saga pada masyarakat Batak Toba.
3. Untuk mengetahui teknik permainan saga-saga Batak Toba.
1.3.2 Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini adalah:
1. Sebagai bahan dokumentasi untuk menambah referensi mengenai
saga-saga Batak Toba di Departemen Etnomusikologi, Fakultas Ilmu Budaya,
Universitas Sumatra Utara.
2. Sebagai bahan masukan dan perbandingan bagi penelitian yang berkaitan
selanjutnya.
3. Sebagai suatu proses pengaplikasian ilmu yang diperoleh penulis selama
perkuliahan di Departemen Etnomusikologi, Fakultas Ilmu Budaya,
Universitas Sumatra Utara.
4. Suatu upaya untuk melestarikan salah satu instrument musik tradisional
8
5. Untuk memenuhi syarat ujian untuk mendapatkan gelar Sarjana di
Departemen Etnomusikologi, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatra
Utara.
1.4 Konsep dan Teori
1.4.1 Konsep
Kajian merupakan kata jadian dari kata ”kaji” yang berarti mengkaji,
mempelajari, memeriksa, mempertimbangkan secara matang, dan mendalami.
Dari keterangan di atas dapat diketahui bahwa pengertian kata ”Kajian” dalam hal
ini adalah suatu penelitian atas pemeriksaan yang dilakukan dengan teliti.
(Badudu. 1982:132).
Sedangkan organologi merupakan ilmu tentang instrument musik (alat
musik) yang seharusnya tidak hanya mencakup sejarah dan deskripsi instrument
saja, tetapi juga sama pentingnya, walaupun sebagai aspek yang terabaikan dalam
”Ilmu” instrument musik, seperi teknik-teknik tertentu dalam memainkan, fungsi
secara musik, hiasan (yang dibedakan dari konstruksi) dan berbagai pendekatan
tentang sosial budaya (Hood, 1982:124).
Istilah idiophone adalah klasifikasi alat musik yang ditinjau berdasarkan
penggetar utamanya sebagai penghasil bunyi yaitu badan dari alat musik itu
sendiri (Klasifikasi alat musik oleh Curt Sach dan Hornbostel, 1961).
Saga-saga Batak Toba termasuk dalam klasifikasi idiophone, dan
saga-saga termasuk ke dalam solo instrument yang dimainkan lebih bersifat pribadi
9
yang dihasilkan. Saga-saga memiliki suara yang khas, dengan hentakan berirama
yang membuat kita mudah mengetahui bahwa suara yang dihasilkan berasal dari
saga-saga.
Dari konsep-konsep yang telah penulis sebutkan, dapat disimpulkan
bahwa kajian organologis saga-saga Batak Toba buatan bapak Guntur Sitohang di
Desa Turpuk Limbong, Kecamatan Harian Boho, Kabupaten Samosir, adalah
penelitian secara mendalam mengenai sejarah dan deskripsi instrument, juga
mengenai teknik-teknik pembuatan, cara memainkan, dan fungsi dari instrument
saga-saga buatan bapak Guntur Sitohang tersebut.
1.4.2 Teori
Etnomusikologi bukan hanya studi musik dari aspek oralnya, akan tetapi
juga dari aspek sosial, kultural, psikologi, dan estetika. Ada setidaknnya enam
wilayah penyelidikan yang menjadi perhatian dan salah satunya adalah mengenai
budaya material musik. Penulis mengacu pada teori yang dikemukakan oleh
Khasima Shusumu yaitu Measuring and Ilustrating Musical Instrument
(Pendekatan yang mendasar untuk membahas mengenai budaya material
instrument musik yaitu pendekatan secara struktural serta fungsional) dalam
laporan Asia Performing Traditional Art (AFTA), 1978:174.
Struktural berkaitan dengan pengamatan (observasi), pengukuran,
perekaman atau pencatatan bentuk, ukuran besar kecil konstruksi, serta
10
memperhatikan fungsi dari alat-alat atau kompenen yang memproduksi
(menghasilkan suara) antara lain membuat pengukuran dan pencatatan terhadap
metode memainkan alat musik tersebut, metode pelarasan dan keras lembutnya
suara bunyi, nada, warna nada, serta kualitas suara yang dihasilkan. Dalam tulisan
ini mengenai proses dan teknik pembuatan saga-saga akan memakai pendekatan
secara struktural serta fungsional.
Untuk membahas teknik permainan saga-saga Batak Toba penulis
menggunakan pendekatan yang dikemukakan oleh Nettl (1963:98) “Kita dapat
menganalisis dan mendeskripsikan musik dari apa yang kita dengar, dan kita
dapat menuliskan musik tersebut di atas kertas dan mendeskripsikan apa yang kita
lihat”.
Menurut teori yang dikemukakan oleh Curt Sach dan Hornbostel (1961)
sistem pengklasifikasian alat musik berdasarkan sumber penggetar utama
bunyinya. Sistem klasifikasi ini terbagi menjadi empat bagian yaitu: idiophone
penggetar utama bunyinya adalah badan dari alat musik itu sendiri, aerophone,
penggetar utama bunyinya adalah udara, membranophone, penggetar utama
bunyiyna adalah kulit atau membran, kordophone, penggetar utama bunyinnya
adalah senar atau dawai.
Mengacu pada teori tersebut, maka saga-saga Batak Toba termasuk
kedalam kelompok idiophone, sumber bunyinya berasal dari getaran lidah yang
terbentuk dari badannya sendiri dan rongga mulut yang berperan sebagai
11
Dalam mengkaji fungsi saga-saga pada masyarakat Batak Toba maka
penulis juga melakukan pendekatan dengan sepuluh fungsi musik yang
dikemukakan oleh Alan P. Merriam (1964:219-226) yaitu:
1. Fungsi Pengungkapan Emosional
2. Fungsi Pengungkapan Estetika
3. Fungsi Hiburan
4. Fungsi Komunikasi
5. Fungsi Perlambangan
6. Fungsi Reaksi Jasmani
7. Fungsi yang berkaitan dengan Norma Sosial
8. Fungsi Pengesahan Lembaga Sosial
9. Fungsi Kesinambungan Kebudayaan
10. Fungsi Pengintegrasian Masyarakat
1.5 Metode Penelitian
Dalam penelitian ini penulis menggunakan metode penelitian kualitatif
(Kirk dan Miller dalam Moleong, 1990:3) yang mengatakan bahwa penelitian
kualitatif adalah tradisi tertentu dalam ilmu pengetahuan sosial yang secara
fundamental bergantung pada pengamatan manusia dalam kawasannya sendiri
serta berhubungan dengan orang-orang dalam bahasa dan dalam peristilahannya.
Untuk mendukung metode penelitian yang dikemukakan oleh Moleong, penulis
12
dan kerja laboratorium (laboratory work). Hasil dari kedua disiplin ini kemudian
digabungkan menjadi satu hasil akhir (a final study) (Merriam, 1964 :37).
Untuk memperoleh data dan keterangan yang dibutuhkan dalam
penulisan ini, penulis menggunakan metode pengumpulan data, umumnya ada dua
macam, menggunakan metode pertanyaan (questionnaires) dan menggunakan
wawancara (interview).
1.5.1 Studi Kepustakaan
Studi pustaka ini diperlukan untuk mendapatkan konsep-konsep dan teori
serta informasi yang dapat digunakan sebagai pendukung penelitian pada saat
melakukan penelitian dan penulisan skripsi.
Pada tahap sebelum ke lapangan dan sebelum melakukan penelitian,
penulis terlebih dahulu mencari dan membaca tulisan-tulisan ilmiah, literatur,
situs internet, buku dan catatan-catatan yang berkaitan dengan objek penelitian.
1.5.2 Kerja Lapangan
Penulis juga melakukan kerja lapangan dengan observasi langsung ke
lokasi penelitian serta melakukan wawancara bebas dan juga wawancara
mendalam antara penulis dengan informan, dengan mengajukan pertanyaan yang
13
hal-hal baru yang menjadi bahan pertanyaan. Hal ini dilakukan agar memperoleh
data-data yang benar untuk mendukung hasil penelitian.
1.5.3 Wawancara
Wawancara berfokus (focused Interview), wawancara bebas (free
Interview), wawancara sambil lalu (casual Interview), metode yang dikemukakan
oleh Koentjaraningrat (1985:139). Dan penulis terlebih dahulu menyiapkan daftar
pertanyaan yang akan ditanyakan saat wawancara, pertanyaan dapat berkembang
pada saat melakukan penelitian tetapi tetap sesuai dengan topik penelitian.
Sebagai alat perekam pada saat penelitian penulis menggunakan
handphone android bermerk Samsung. Sedangkan untuk pengambilan gambar
(foto) digunakan kamera digital bermerk Canon Eos 1100d, dan alat tulis seperti
pena serta buku tulis untuk mencatat hasil wawancara.
1.5.4 Kerja Laboratorium
Sebagai kerja laboratorium maka data-data yang diperoleh dari hasil
kerja lapangan selanjutya diproses dalam kerja laboratorium. Data-data yang
bersifat analisi nantinya akan disusun dengan sistematika penulisan ilmiah.
Data-data yang berupa gambar dan rekaman diteliti kembali sesuai ukuran yang telah
ditentukan kemudian dianalisis seperlunya. Semua hasil pengolahan data tersebut
14 1.5.5 Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian yang penulis pilih adalah lokasi yang merupakan
tempat tinggal narasumber, bapak Guntur Sitohang yang berada di Kabupaten
Samosir, Kecamatan Harian Boho dan desa Turpuk Limbong, disinilah beliau
tinggal dan bertepatan disini juga lah beliau biasa melakukan proses pembuatan