• Tidak ada hasil yang ditemukan

[Munadi] PENGANTAR ILMU USUL FIQH 2017

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "[Munadi] PENGANTAR ILMU USUL FIQH 2017"

Copied!
104
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

PENGANTAR

(3)
(4)

Dr. Munadi, MA

(5)

Judul: PENGANTAR ILMU USUL FIQIH vi + 96 hal., 15 cm x 23 cm

Cetakan Pertama: Oktober, 2017

Hak Cipta © dilindungi Undang-undang. All Rights Reserved

Penulis: Dr. Munadi, MA

Perancang Sampul dan Penata Letak: Eriyanto

Pracetak dan Produksi: Unimal Press

Penerbit:

Unimal Press Jl. Sulawesi No.1-2

Kampus Bukit Indah Lhokseumawe 24351 PO.Box. 141. Telp. 0645-41373. Fax. 0645-44450 Laman: www.unimal.ac.id/unimalpress.

Email: unimalpress@gmail.com

(6)

Kata Pengantar

Segala puji bagi Allah Swt yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis telah dapat menyelesaikan penyusunan buku ini. Rahmat dan sejahtera senantiasa kita kirimkan keharibaan Nabi Besar Muhammad Saw yang telah menunjuki umat manusia ke jalan kebenaran.

Buku dihadapan pembaca ini berawal dari buku daras yang penulis susun sebagai pedoman bagi mahasiswa dalam mempelajari mata kuliah usul fiqh, lalu dilakukan beberapa penambahan dan penyempurnaan sebagaimana saat ini saat akan diterbitkan dan diedar secara luas. Hadirnya buku ini merupakan keniscayaan dari keterlibatan berbagai pihak, terutama para akademisi di IAIN Lhokseumawe. Dan juga dukungan moril dari keluarga saat buku ini disusun dan akhirnya diterbitkan.

Penulis mengakui bahwa buku ini memiliki banyak kekurangan di sana sini. Untuk itu masukan yang kontruktif dari para pembaca sangat diharapkan untuk penyempurnaan ke depan. Hanya kepada Allah segenap ikhtiar dan amalan diserahkan, semoga buku ini dapat bermanfaat bagi masyarakat dan menjadi amal jariyah bagi akhirat kelak. Amin..

Lhokseumawe, 10 Oktober 2017 Penulis

(7)

Daftar Isi

Kata Pengantar ...v

Daftar Isi... vi

BAB IPENDAHULUAN... 1

BAB IIUSUL FIQH DAN SEJARAHPERKEMBANGANNYA... 5

A. Pengertian Usul Fiqh ... 5

B. Sejarah Perkembangan Usul Fiqh ... 6

BAB IIIUSUL FIQH DAN ISTINBATHHUKUM ISLAM...11

A. Definisi Istinbath dan Dasar Hukumnya ...14

BAB IVCORAK ISTINBATHHUKUM ULAMA...25

BAB VMACAM-MACAMKAIDAH USUL FIQH...39

A. Ijma’...40

B. Qiyas...44

C. Maslahah Mursalah ...47

D. Urf/Adat ...58

E. Sadd Zara’i...66

F. Istihsan ...70

G. Istishab...71

H. Siyasah Al-Syar’iyah ...74

I. Syar’u Man Qablana...81

J. Qaul Sahabi (Pendapat Para Sahabat) ...86

BAB VIPENUTUP...89

DAFTAR PUSTAKA...91

RIWAYAT PENULIS...95

(8)

BAB I

Pendahuluan

Munculnya berbagai persoalan dalam masyarakat setiap waktu tanpa henti dengan bentuk dan modus yang beraneka ragam telah menuntut ahli hukum untuk berijtihad, guna menjawab persoalan tersebut dengan ketentuan hukum yang jelas. Setiap persoalan harus segera diberikan ketetapan hukum untuk menghindari kekosongan dan kegamangan hukum dalam masyarakat. Sesuai fungsinya hukum adalah untuk mengendalikan perilaku masyarakat supaya terarah sesuai dengan prinsip keadilan dan kesejahteraan. Di sisi yang lain hukum merupakan alat untuk merubah dan merekayasa struktur sosial masyarakat dari suatu bentuk kepada bentuk lainnya yang lebih baik dan terarah.

Tanpa adanya hukum sulit untuk mewujudkan kehidupan masyarakat yang ideal, bahkan sebaliknya kehidupan masyarakat akan semakin kacau balau tidak terkendali. Ketiadaan hukum atau lemahnya sistem hukum masyarakat merupakan masalah yang krusial, semua aspek kehidupan masyarakat akan mengalami kekacauan, karena terjadinya penyalahgunaan hak dan wewenang secara bebas oleh individu dan kelompok dalam masyarakat.

Agama Islam merupakan solusi bagi kehidupan dengan menghadirkan jawaban-jawaban hukum untuk setiap persoalan lewat petunjuk Alquran dan Hadist. Manusia dapat mengakses berbagai informasi hukum yang berkaitan dengan persoalan hidupnya yang berkaitan dengan masalah ibadah, muamalah, munakahat, jinayat dan lain sebagainya. Setidaknya kedua sumber hukum tersebut telah memberikan isyarat tentang ihwal kehidupan manusia, serta berbagai ketentuan yang mengaturnya. Tugas manusia adalah mengelaborasi lebih jauh kandungan nash untuk menetapkan hukum yang kongkrit bagi penyelesaian persoalan yang muncul.

(9)

Mujtahid tidak boleh secara begitu saja memutuskan hukum tanpa melalui proses analisis dan pertimbangan usul fiqh yang matang. Hukum yang ditetapkan berdasarkan pertimbangan logika semata tidak dapat diterima sebagai hukum Islam, karena pembentukan hukum Islam harus melalui mekanisme atau langkah tersendiri.

Setidaknya ada tiga langkah dalam penetapan hukum Islam, yaitu: Pertama, mencari nash yang berkaitan dengan permasalahan; Kedua, menentukan metode istinbath yang relevan dan Ketiga, memperhatikan implikasi atau akibat dari hukum yang dibuat. Dalam mencari jawaban hukum bagi suatu permasalahan, seorang mujtahid terlebih dahulu mencari nash yang berkaitan dengan permasalahan tersebut, baik nash khusus maupun umum. Jika nash ditemukan, maka petunjuknya harus diikuti oleh mujtahid.

Setelah menemukan nash, mujtahid melakukan analisis usul fiqh dengan menggunakan salah satu kaidah yang relevan. Biasanya kaidah yang digunakan sesuai dengan permasalahan. Jika permasalahan tersebut mengandung manfaat yang tidak disentuh langsung oleh nash, maka mujtahid dapat menggunakan kaidah istislahiah untuk menguji manfaat tersebut apakah sesuai dengan prinsip syara’ atau tidak.

Jika suatu permasalahan berkaitan dengan kebiasaan atau tradisi masyarakat, maka untuk menganalisisnya dapat menggunakan kaidah ‘urf guna menguji apakah kebiasaan tersebut dapat dianggap sebagai ‘urf sahih sehingga dapat dijadikan pertimbangan dalam pembentukan hukum ataupun termasuk ‘urf fasid yang harus ditolak. Demikianlah seterusnya dalam menyelesaikan berbagai permasalahan hukum lainnya, mujtahid dapat menganalisisnya dengan kaidah usul fiqh yang relevan.

Hukum yang ditetapkan juga harus diperhatikan implikasinya terhadap keberlangsungan hidup masyarakat. Setiap hukum harus berdampak positif bagi masyarakat dalam rangka menanggulangi berbagai permasalahan. Keberadaan hukum harus menjadi solusi bagi masalah masyarakat, bukan malah sebaliknya menjadi bomerang dalam masyarakat.

Setelah melalui tiga proses di atas, suatu hukum telah dapat ditetapkan dan diformalkan untuk dijadikan ketetapan hukum masyarakat. Banyak ketentuan hukum ternyata harus ditolak, direvisi bahkan direkonstruksi ulang karena tidak memenuhi syarat.

(10)

berupa kaidah usul fiqh. Kaidah-kaidah tersebut dikembangkan oleh ulama lewat perenungan terhadap nilai-nilai yang terkandung dalam nash, seperti keadilan, kasih sayang, keselamatan, kewajiban, larangan dan lain sebagainya. Nilai-nilai tersebut lalu diaktualisasikan dalam bentuk kaidah usul fiqh yang bersifat praktis. Kaidah itu kemudian digunakan oleh mujtahid untuk menetapkan hukum.

Kaidah usul fiqh secara umum dibagi kepada dua macam, yaitu kaidah yang disepakati ulama (muttafaqun alaih) dan kaidah yang tidak disepakati ulama (mukhtalafun alaih). Kaidah yang disepakati ulama terdiri dari ijma dan qiyas, sedangkan yang tidak disepakati terdiri dari istihsan, maslahah al-mursalah, ‘urf, syar’u man qablana, istishab, qaul sahabi dan seterusnya. Kaidah yang disepakati di sini berarti kaidah yang telah diterima dan digunakan oleh kalangan mujtahid dari semua mazhab. Sedangkan kaidah yang tidak disepakati berarti kaidah tersebut hanya diakui oleh sebahagian mujtahid dan menggunakannya dalam kegiatan ijtihad mereka. Sedangkan mujtahid yang lain menolaknya, karena menganggapnya salah.

Perbedaan pendapat ulama tentang kaidah usul fiqh disebabkan perbedaan cara pandang mereka terhadap maksud nash dan realitas kehidupan tempat tinggal mereka. Misalnya Abu Hanifah yang terkenal rasional dalam penetapan hukum, di samping mempunyai landasan dari dalil, realitas kehidupan masyarakat di Kufah yang rasional dan berkembangnya aliran Mu’tazilah di tempat itu turut mempengaruhi metode penelaran beliau.

Demikian pula Imam Malik yang terkenal literal dan cukup teguh berpegang kepada hadis dalam penalaran hukum, dapat dikaitkan dengan domisili beliau di kota Madinah. Wilayah tersebut cukup banyak ditemukan hadis, karena Rasulullah dan sahabatnya mayoritas berdomisili di situ. Maka dalam penalaran hukum, Imam Malik lebih mengutamakan nash dibandingkan akal. Saat menghadapi suatu persoalan beliau mencari penyelesaiannya dari Al-Quran dan hadist, kemudian pendapat para sahabat dan amalan masyarakat Madinah. Dalam anggapan beliau, amalan masyarakat Madinah dapat menjadi acuan hukum, karena identik dengan pengamalan Rasulullah Saw.

(11)

hadis kepada Imam Malik serta metode penalaran hukum yang dikembangkannya. Setelah itu beliau berangkat ke Kufah untuk belajar kepada dua murid senior Abu Hanifah, yaitu Abu Yusuf dan Al-Syaibani. Di sini beliau juga bersentuhan dengan metode penalaran yang dikembangkan oleh Abu Hanifah yang cenderung rasional.

Imam Syafei mengembangkan metode penalaran hukumnya sendiri yang bercorak moderat. Metode yang dikembangkannya merupakan kombinasi dari metode yang dikembangkan oleh Abu Hanifah dan Imam Malik. Maka dalam penalaran hukum yang dikembangkan oleh Imam Syafei, pengunaan nash dan rasional bersifat proporsional (adil), namun di saat kesimpulan nash dan rasio saling bertentangan, dalam hal ini beliau lebih mengutamakan nash.

Beliau merumuskan beberapa kaidah usul fiqh seperti qiyas, istishab dan ‘urf. Kaidah-kaidah tersebut merupakan bentuk penalaran yang menggunakan nash dan rasio secara sekaligus dalam menetapkan hukum. Imam Syafei menjadi orang pertama yang merumuskan ilmu usul fiqh secara sistematis dengan mengarang sebuah kitab yang bernama Al-Risalah.

Setelah Imam Syafei, diskusi mengenai usul fiqh semakin giat dilakukan oleh para ulama. Di antara mereka ada yang berusaha mengembangkan ilmu usul fiqh yang telah disusun oleh Imam al-Syafei, namun ada juga yang membahasnya secara analisis dan memberikan berbagai kritikan. Perkembangan usul fiqh ditandai dengan banyak bermunculan buku-buku yang ditulis para ulama mengenai masalah ini. Masing-masing mereka menguatkan metode yang dikembangkan oleh imam mazhabnya dan mengkritik metode dari mazhab lain.

Sampai sekarang, buku-buku usul fiqh senantiasa bertambah dengan corak yang beragam. Sebahagiannya merupakan ulangan dari literatur lama, namun sebahagiannya merupakan hasil modifikasi, revisi bahkan rekonstruksi dari usul fiqh lama. Perubahan ini dilatarbelakangi oleh perkembangan ilmu pengetahuan dan perubahan masyarakat zaman modern.

(12)

BAB II

USUL FIQH DAN SEJARAH

PERKEMBANGANNYA

A. Pengertian Usul Fiqh

Secara bahasa usul berarti pokok, dalil dan dasar. Sedangkan fiqih berarti pemahaman yang mendalam tentang suatu ilmu dan membutuhkan potensi akal. Usul fiqh secara istilah adalah ilmu tentang metode penetapan hukum Islam dari dalil yang terperinci.

Ulama Syafi’iyah mendefinisikan usul fiqh sebagai ilmu tentang dalil-dalil hukum syara’ secara umum, metode penetapan hukum dari dalil dan kriteria seorang mujtahid. Sedangkan ulama Hanafiyah, Malikiyyah dan Hanabilah mendefinisikan usul fiqh adalah kaidah-kaidah yang digunakan untuk mengistinbatkan hukum dari dalil tafsili (terperinci), dengan kata lain usul fiqh adalah ilmu tentang kaidah-kaidah tersebut.

Dari definisi di atas dapat dipahami bahwa usul fiqh merupakan seperangkat ilmu yang membahas secara komprehensif berkaitan dengan penetapan hukum Islam, baik berkaitan dengan dalil, metode istinbath maupun persyaratan seorang mujtahid. Pemahaman terhadap usul fiqh akan membawaki seseorang mampu memahami dalil-dalil hukum syara’ yang bersifat asl (primer) maupun furu’ (sekunder). Dalil primer hukum Islam adalah berupa Alquran dan Hadis, sedangkan dalil sekunder adalah ijma’, qiyas, istihsan, maslahah mursalah dan lain sebagainya.

Tidak sebatas itu, seseorang juga akan memahami pengertian dari dalil maupun sumber hukum, serta hubungan antara dalil, seperti hubungan Alquran dengan Hadis, hubungan ijma’ dengan nash, hubungan qiyas dengan nash dan seterusnya. Berkaitan dengan hubungan dalil cukup penting diketahui, guna memahami hirarkis dalil dan dalil mana yang harus lebih diutamakan saat dalil saling bertentangan.

(13)

adillah al-syar’iyyah. Metode istinbath hukum adalah kumpulan kaidah-kaidah usul fiqh bersifat operasional yang dirumuskan ulama untuk memecahkan berbagai permasalahan hukum. Dengan kaidah tersebut, seorang mujtahid dapat memutuskan hukum secara tepat sesuai dengan prinsip nash dan akal sehat.

Kaidah usul fiqh telah dirumuskan oleh para ulama dalam bentuk yang beragam, yang berasal dari hasil interprestasi mereka terhadap nash. Para ulama dengan cukup hati-hati meramu kaidah-kaidah tersebut supaya tetap sejalan dengan prinsip nash, dan menghindari segala bentuk kekeliruan dan pengaruh hawa nafsu.

Kaidah-kaidah usul fiqh yang telah dirumuskan oleh para ulama antara lain adalah ijma’, qiyas, istihsan, maslahah al-mursalah, sadd zara’i, syar’u man qablana, qaul sahabi, istishab, dan ‘urf. Belakangan juga muncul beberapa qaidah lainnya seperti maqashid al-syari’ah yang dirumuskan oleh al-Syathibi dan metode Insyai -Intiqai yang dirumuskan oleh Yusuf Al-Qaradhawi. Dari waktu ke waktu kaidah usul fiqh senantiasa bertambah berdasarkan perkembangan masalah dan kemajuan berfikir para ulama.

Masalah yang terakhir dibahas dalam ilmu usul fiqh adalah mengenai persyaratan seorang mujtahid. Penetapan hukum dalam Islam tidak dapat dilakukan oleh siapa saja, akan tetapi semestinya dilakukan oleh orang-orang yang berkompeten dalam masalah ijtihad. Penetapan hukum Islam merupakan suatu pekerjaan yang sangat hati-hati lewat penelitian akademis yang matang. Hal itu hanya dapat dilakukan oleh orang-orang yang memiliki kapasitas keilmuan yang mumpuni.

Dalam ilmu usul fiqh, mengenai mujtahid dan persyaratannya menjadi perhatian tersendiri dan dibahas secara terperinci. Dengan demikian kita dapat mengetahui kapasitas mujtahid dan siapa saja yang telah sampai kepada derajat tersebut.

B. Sejarah Perkembangan Usul Fiqh

(14)

membutuhkan perangkat teori (kaidah) untuk berijtihad, meskipun prinsip-prinsip dari kaidah tersebut telah mereka kuasai dan dapat digunakan saat memerlukannya.

Setelah meluasnya wilayah Islam hasil dari penaklukan, umat Islam Arab banyak berinteraksi dengan bangsa-bangsa lain yang berbeda bahasa dan latar belakang sosial-budaya (peradaban), hal ini menyebabkan melemahnya kemampuan berbahasa Arab di kalangan sebagian umat, terutama di Irak. Di sisi lain kebutuhan akan ijtihad begitu mendesak, karena banyaknya masalah-masalah baru yang belum pernah terjadi dan memerlukan kejelasan hukum fiqhnya. Dalam situasi ini, muncullah dua madrasah besar yang mencerminkan metode dalam berijtihad. Pertama; Madrasah ahl ar-ra’yi di Irak dengan pusatnya di Bashrah dan Kufah. Kedua; Madrasah ahl al-hadits di Hijaz dan berpusat di Mekkah dan Madinah. Perbedaan dua madrasah ini terletak pada kuantitas (banyaknya) penggunaan hadits atau qiyas dalam berijtihad.

Madrasah ahl al-ra’yi lebih banyak menggunakan qiyas (analogi) dalam berijtihad, disebabkan oleh sedikitnya jumlah hadits yang sampai ke ulama Irak dan ketatnya seleksi hadits yang mereka lakukan, hal ini karena banyaknya hadits-hadits palsu yang beredar di kalangan mereka sehingga mereka tidak mudah menerima riwayat seseorang kecuali melalui proses seleksi yang ketat. Di sisi lain masalah baru yang mereka hadapi dan memerlukan ijtihad begitu banyak, maka tidak ada pilihan lain kecuali mengandalkan qiyas (analogi) dalam menetapkan hukum. Masalah-masalah baru ini muncul akibat peradaban dan kehidupan masyarakat Irak yang sangat kompleks dan berbeda dengan situasi di Mekkah maupun Madinah. Dalam berijtihad mereka mengikuti metode yang digunakan guru mereka Abdullah bin Mas’ud yang banyak menggunakan qiyas dalam berijtihad untuk menyelesaikan berbagai masalah.

(15)

senantiasa dikaitkan dengan nash. Perbedaan metode istinbath dari kedua madrasah ini melahirkan perdebatan sengit, dan amat sering terjadi pertentangan pendapat. Realitas ini menurut para ulama waktu itu sangat perlu menyusun kaidah-kaidah istinbath yang dirumuskan dalam bentuk perundang-undangan untuk menyatukan dua madrasah ini.

Di antara ulama yang mempunyai perhatian terhadap hal ini adalah Abdurrahman al-Mahdi (135-198 H) yang meminta kepada Imam Al-Syafi’i (150-204 H) untuk menulis sebuah buku tentang prinsip-prinsip ijtihad yang dapat digunakan sebagai pedoman. Maka lahirlah kitab al-Risalah karya Imam al-Syafi’i sebagai kitab pertama dalam bidang ushul fiqh. Hal ini tidak berarti bahwa sebelum lahirnya kitab al-Risalah prinsip prinsip ushul fiqh tidak ada sama sekali, tetapi hal itu sudah ada sejak masa sahabat dan ulama-ulama sebelum Imam al-Syafi’i, hanya saja kaidah-kaidah tersebut belum tersusun rapi dalam sebuah buku atau disiplin ilmu tersendiri secara sistematis dan masih berserakan pada kitab-kitab fiqh para ‘ulama. Imam al-Syafi’i adalah ulama pemakarsa penulisan ilmu ushul fiqh dengan judul bukunya al-Risalah yang menjadi rujukan bagi para ulama sesudahnya untuk mengembangkan dan menyempurnakan ilmu ini. Beliau merupakan ilmuwan yang mumpuni yang dilahirkan oleh dua madrasah yang berkembang waktu itu, yaitu madrasah ahl al-hadits dan madrasah ahl al-ra’yi.

(16)

yang menulis buku dalam ilmu ushul fiqh. Selain al-Risalah, Imam Syafi’i juga memiliki beberapa karya tulis lainnya dalam ilmu ushul, yaitu kitab Jima’ul-ilmi, Ibthalul-istihsan, dan Ikhtilaful-hadits.

Setelah Imam al-Syafi’i, penulisan kitab ushul fiqh mulai giat dilakukan oleh ulama-ulama yang lain, sehingga melahirkan banyak karya tulis dalam bidang ini dengan berbagai pengembangan di dalamnya. Berikut penulis sebutkan beberapa buah kitab ushul fiqh yang pernah ditulis oleh para ulama dari lintas mazhab dan generasi, antara lain adalah Kitab Khabar Al-Wahid, Itsbat Al-Qiyas, dan Ijtihad Ar-Ra’y, ketiganya karya Isa bin Aban bin Shadaqah Al-Hanafi, An-Nasikh Wal-Mansukh karya Imam Ahmad bin Hambal (164-241 H), Al-Ijma’, Ibthal At-Taqlid, Ibthal Al-Qiyas, dan buku lain karya Dawud bin Ali Az-Zhahiri, Al-Mu’tamad karya Abul-Husain Muhammad bin Ali Al-Bashri Al-Mu’taziliy Asy-Syafi’i (wafat th 436H), Al-Burhan karya Abul Ma’ali Abdul Malik bin Abdullah Al-Juwaini Al-Haramain, Al-Mustashfa karya Imam Al-Ghazali Muhammad bin Muhammad, Al-Mahshul karya Fakhruddin Muhammad bin Umar Ar-Razy, Al-Ihkam fi Ushulil-Ahkam karya Saifuddin Ali bin Abi Ali Al-Amidi, Ushul Al-Karkhi karya Ubaidullah bin Al-Husain Al-Karkhi, Ushul Al-Jashash karya Abu Bakar Al-Jashash, Ushul as-Sarakhisi karya Muhammad bin Ahmad As-Sarakhsi, Kanz Al-Wushul Ila ma’rifat Al-Ushul karya Ali bin Muhammad Al-Bazdawi, Badi’un-Nizham karya Muzhaffaruddin Ahmad bin Ali As-Sa’ati Al-Hanafi, al-Tahrir karya Kamaluddin Muhammad bin Abdul Wahid, Jam’ul-jawami’ karya Abdul Wahab bin Ali As Subki, Al-Muwafaqat karya Abu Ishaq Asy-Syathibi, Irsyadul-fuhul Ila Tahqiq ‘Ilm Al-Ushul karya Muhammad bin Ali bin Muhammad Asy-Syaukani dan karya-karya tulis lainnya yang tidak disebutkan di sini.

(17)
(18)

BAB III

USUL FIQH DAN ISTINBATH

HUKUM ISLAM

Kehidupan manusia senantiasa menghadirkan permasalahan yang muncul dari waktu ke waktu tanpa dapat dihambat seiring mobilasi dan perkembangan masyarakat itu sendiri. Setiap permasalahan yang muncul merupakan tantangan yang harus dihadapi terutama oleh hukum supaya masyarakat tidak terjebak dalam kegamangan, kegalauan karena tidak ada kepastian hukum tentang suatu permasalahan.

Untuk menjawab setiap permasalahan yang muncul diperlukan upaya pembentukan atau penemuan hukum, dalam hukum Islam biasa disebut dengan istinbath atau ijtihad. Sedangkan dalam hukum Barat disebut rechtsvinding (penemuan hukum), tujuannya adalah untuk memberikan jawaban hukum dan mengontrol segala kemungkinan dan permasalahan yang muncul akibat dari perubahan sosial yang terjadi pada masyarakat. Perubahan sosial terjadi disebabkan munculnya suatu fenomena sosial yang baru ataupun juga permasalahan lampau yang belum ada penyelesaian hukumnya, di sinilah pembentukan dan penemuan hukum (istinbath) dilakukan untuk memberikan jawaban hukum dan mengontrol perubahan sosial supaya tetap sejalan dengan ketentuan syara’.

Menurut Gillin, perubahan sosial adalah suatu variasi dan cara-cara hidup yang telah diterima baik karena perubahan kondisi geografis, kebudayaan material, komposisi penduduk, ideologi maupun karena adanya difusi (penggabungan) ataupun penemuan-penemuan baru dalam masyarakat. Menurut Samuel Koeng, perubahan sosial menunjuk pada modifikasi-modifikasi yang terjadi dalam pola-pola kehidupan manusia, modifikasi-modifikasi tersebut terjadi karena sebab-sebab internal maupun sebab-sebab eksternal.1

Menurut Selo Soemardjan yang dikutip oleh Soerjono Soekanto merumuskan bahwasanya perubahan sosial adalah segala perubahan-perubahan pada lembaga-lembaga kemasyarakatan di

(19)

dalam suatu masyarakat yang mempengaruhi sistem sosialnya, termasuk di dalamnya nilai-nilai, sikap dan pola perilaku di antara kelompok-kelompok dalam masyarakat.2

definisi di atas menunjukkan bahwa perubahan sosial adalah perubahan cara hidup suatu masyarakat tentang sistem sosialnya, termasuk nilai-nilai serta sikap, yang disebabkan perubahan kondisi geografis, kebudayaan, ideologi, ataupun penemuan-penemuan baru dalam masyarakat. Sehingga menimbulkan sikap dan pola perilaku di antara kelompok-kelompok masyarakat.

Masyarakat dengan berbagai dinamika yang ada menuntut adanya perubahan sosial, dan setiap perubahan sosial pada umumnya meniscayakan adanya perubahan sistem nilai dan hukum. Marx Weber dan Emile Durkheim menyatakan bahwa hukum merupakan refleksi dari solidaritas yang ada dalam masyarakat. Senada dengan itu, Arnold M. Rose mengemukakan teori umum tentang perubahan sosial dan hubungannya dengan perubahan hukum. Menurutnya, perubahan hukum dipengaruhi oleh tiga faktor, yaitu: pertama, adanya komulasi progresif dari penemuan-penemuan di bidang teknologi; kedua, adanya kontak atau konflik antar kehidupan masyarakat; dan ketiga, adanya gerakan sosial (social movement).3 Ibnu Qayyim al-Jauziyah, seorang sarjana Islam juga mengemukakan hal yang sama, bahwa perubahan fatwa adalah dikarenakan perubahan zaman, tempat, keadaan, dan kebiasaan.4

Pengaruh atau unsur perubahan di atas dapat menimbulkan perubahan-perubahan sosial yang berakhir kepada perubahan dalam khazanah pemikiran dan sistem hukum yang ada, tanpa terkecuali pada khazanah pemikiran dan hukum Islam. Menghadapi perubahan sosial tersebut hukum Islam harus mampu menjawab dan memberikan solusi hukum melalui pembaruan hukum. Pada dasarnya pembaruan hukum Islam hanya mengangkat dan berkaitan dengan aspek lokalitas dan temporalitas ajaran Islam yang bersentuhan dengan perubahan sosial, tanpa mengabaikan aspek universalitas dan keabadian hukum Islam itu sendiri. Dengan adanya pembaruan hukum Islam maka terhindarlah kesulitan-kesulitan

2Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar (Cet. XII,Jakarta: Rajawali Press: 1995), h. 337.

3 Soerjono Soekanto, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1994), h. 96.

(20)

dalam memasyarakatkan hukum Islam dalam kehidupan masyarakat, khususnya saat terjadi perubahan sosial.5

Sebagai salah satu sistem hukum yang berlaku dalam masyarakat, hukum Islam harus menunjukkan eksistensi dan fungsinya sebagai problem solving bagi setiap permasalahan yang dihadapi masyarakat dan membuktikan relevansi dan fleksibelitasnya untuk setiap tempat dan zaman (salih li kulli makan wa zaman).6 Hukum Islam akan berperan secara nyata dan fungsional jika istinbath konsisten dilakukan dan ditempatkan secara proporsional dalam mengantisipasi dinamika sosial dengan berbagai kompleksitas persoalan yang ditimbulkan.

Untuk mengawal supaya hukum Islam tetap dinamis, responsif dan punya adaptabilitas yang tinggi terhadap tuntutan perubahan dapat ditempuh dengan cara menghidupkan dan menggairahkan kembali semangat berijtihad di kalangan umat Islam. Pada posisi ini, ijtihad merupakan inner dynamic bagi lahirnya perubahan untuk mengawal cita-cita universalitas Islam sebagai sistem ajaran yang relevan untuk setiap tempat dan zaman.

Umat Islam menyadari sepenuhnya bahwa sumber-sumber hukum normatif–tekstual sangatlah terbatas jumlahnya, sementara kasus-kasus baru di bidang hukum tidak terbatas jumlahnya, dan semakin bertambah saja dari waktu ke waktu tanpa dapat dihambat. Ibnu Rusyd mengomentari realitas tersebut dalam kitabnya Bidayah al-Mujtahid bahwasanya persoalan-persoalan kehidupan masyarakat tidak terbatas jumlahnya, sementara jumlah naṣ, Qur’an dan al-ḥadīs, jumlahnya terbatas. Sesuatu yang terbatas jumlahnya mustahil dapat menghadapi sesuatu yang tidak terbatas.7

Terbatasnya jumlah naṣ meniscayakan kepada adanya istinbath untuk menjawab permasalahan-permasalahan yang tidak secara ekplisit tersebut dalam naṣ, istinbath merupakan satu-satunya jalan untuk mendinamisir ajaran Islam sesuai dengan tuntutan perubahan zaman dengan berbagai kompleksitas persoalannya yang memasuki seluruh dimensi kehidupan manusia.

5Muhammad Azhar, Fiqh Kontemporer Dalam Pandangan Neomodernisme

Islam (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), h. 59-60.

6Murtadha Mutahhari, Inn al-Din ‘inda Allah al-Islam, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1996), 164; lihat juga Daud Rasyid, Islam dalam Berbagai Dimensi (Jakarta: Gema Insani Press, 1998), h. 176.

(21)

A. Definisi Istinbath dan Dasar Hukumnya

Kata istinbath berasal dari kata nabth, yang berarti air yang mula-mula memancar keluar dari sumur yang digali. Maka menurut bahasa istinbath dapat dipahami sebagai perbuatan mengeluarkan sesuatu dari persembunyiannya.8 Setelah dipakai menjadi istilah dalam studi hukum Islam, arti istinbath menjadi upaya atau usaha untuk mengeluarkan hukum dari sumbernya. Makna istilah ini hampir sama dengan ijtihad. Adapun fokus atau objek istinbath adalah teks suci ayat-ayat al-Qur`an dan ḥadīs-ḥadīs Nabi Saw. Karena itu, pemahaman, penggalian, dan perumusan hukum dari kedua sumber tersebut disebut istinbath.

Abdul Wahab Khalaf mengartikan istinbath adalah suatu upaya berpikir serius secara optimal dan maksimal dalam menggali hukum Islam dari sumbernya untuk memperoleh kepastian jawaban terhadap permasalahan hukum yang muncul dalam masyarakat.9 Istinbath merupakan upaya untuk mengantisipasi berbagai tantangan dan permasalahan hukum baru yang senantiasa muncul sebagai akibat dari evolusi, mobilisasi dan perubahan perilaku dan realitas kehidupan masyarakat. Manusia sebagai khalifah Tuhan di muka bumi dituntut untuk senantiasa berpikir, dan menggali berbagai kemungkinan hukum bagi setiap permasalahan yang muncul, tetapi berpikir di sini bukan berarti yang bebas begitu saja tanpa kontrol dan batas. Dalam berfikir manusia harus menjaga batas-batas yang telah digariskan syara’, yakni selalu berlandaskan al-Qur’an dan ḥadis.

Istinbath memiliki landasan hukum yang jelas, sehingga legalitasnya tidak perlu diragukan. Adapun dalil mengenai istinbath antara lain adalah firman Allah Swt QS al-Nisa ayat 83 yang berbunyi:

(22)

Dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan ataupun ketakutan, mereka lalu menyiarkannya. dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan ulil Amri di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan ulil Amri). kalau tidaklah karena karunia dan rahmat Allah kepada kamu, tentulah kamu mengikut syaitan, kecuali sebahagian kecil saja (di antaramu). (QS. Al-Nisa: 83)

Ulama tafsir menjelaskan bahwasanya ayat ini membicarakan tentang pengambilan kesimpulan dari suatu berita tentang keamanan dan ketakutan yang disampaikan/diadukan kepada rasul dan ulil amri (pemerintah), lalu keduanya menetapkan (ber-istinbath) mengenai kesimpulan atau keputusan dari berita itu. Ibnu Zaid dan Muqatil meriwayatkan bahwa ulil amri adalah panglima perang, sedangkan Al-Syaukani meriwayatkan bahwa ulil amri artinya para ulama dan orang-orang yang memiliki wawasan yang luas, yang kepada mereka urusan kaum muslimin dikembalikan (ditanyakan).

Dalam ayat di atas jelas tersebut kata “yastanbithu” dalam bentuk mudhari’ dari kata masdar“istinbath” yang artinya menggali dan menyimpulkan suatu kesimpulan atau jawaban atas suatu berita yang disampaikan. Ini menunjukkan bahwa makna dari istinbath adalah upaya sungguh-sungguh dari orang yang mempunyai kapasitas keilmuan yang mapan dalam menyimpulkan atau menetapkan suatu kesimpulan dan ketentuan mengenai suatu permasalahan yang muncul.

Dalam ayat yang lain Allah Swt juga berfirman berkenaan dengan anjuran istinbath yaitu QS al-Syura ayat 38 yang berbunyi:

ﻦﻳﺬﻟﺍﻭ

َ ْ ِ ﱠ َ

Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezki yang Kami berikan kepada mereka. (QS. Al-Syura: 38)

(23)

tiba waktunya, dan ketika menghadapi suatu persoalan, mereka menyelesaikannya dengan jalan musyawarah.10 Ayat ini menerangkan tentang kedudukan syura yaitu musyawarah sebagai mekanisme untuk menyelesaikan permasalahan yang muncul dikalangan umat Islam. dengan musyawarah ini suatu permasalahan dipecahkan bersama-sama dengan saling menawarkan opsi terbaik untuk persoalan tersebut, lalu memutuskan bersama keputusan yang tepat.

Yusuf al-Qaradhawi mengartikan kata syura yaitu mencari kebenaran terhadap setiap persoalan yang muncul sesuai dengan dalil syara’, baik permasalahan tersebut dijelaskan naṣ secara langsung atau tidak langsung. Khususnya mengenai permasalahan yang tidak memperoleh penjelasan memadai dari naṣ, menjadi tempat ijtihad atau istinbath dari bagi para mujtahid, dan mereka akan saling berbeda pendapat dalam hal ini tergantung sudut pandang masing-masing.11

Selain al-Quran juga terdapat beberapa ḥadīs yang berkenaan dengan istinbath, salah satunya yang paling populer adalah ḥadīs yang berkenaan dengan dialog Rasulullah dengan sahabat Muadz bin Jabal ketika diutus menjadi Gubernur Yaman. Rasulullah bertanya kepadanya: Dengan apa kamu nanti akan memutuskan hukum?, Muadz menjawab: Dengan kitabullah. Rasulullah bertanya lagi: Jika kamu tidak menemukan di dalamnya (kitabullah)?, Muadz menjawab: Dengan Sunnah Rasulullah Saw. Rasulullah Saw bertanya lagi: Jika kamu tidak menemukan di dalamnya (sunnah)? Muadz menjawab: Aku akan berijtihad. Lalu Rasulullah menepuk bahu Muadz seraya berkata: Segala puji bagi Allah yang telah memberikan kemampuan terhadap utusan rasul-Nya sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh Allah dan rasul-Nya.12

Hadīs ini telah umum diketahui dan telah diterima oleh umat Islam sebagai dalil istinbath dan juga telah diperkuat oleh Ibnu Abdul Barr, Ibnu Taimiyah, Ibnu Qayyim, Az-Zhahabi, Ibnu Katsir dan lainnya. Al-Syaukani berkata: ḥadīs ini secara umum dianggap Hasan oleh para ulama. Dengan ḥadīs ini para ulama memahami bahwasanya ijtihad merupakan suatu yang dibolehkan, ketika

10 Al-Thabari, Tafsir al-Thabari, Jami’ al-Bayan ‘An Ta’wili Ay al-Qur`an, Jilid. 10, (Kairo: Markaz al-Buhus wa al-Dirasah al-‘Arabiyah wa al-Islamiyah, 2001), Cet. I, h. 522.

11 Yusuf al-Qaradhawi, Al Ijtihad fi al-Syari’ah al-Islamiyyah Ma’a

(24)

menghadapi suatu permasalahan yang tidak mendapatkan penjelasan yang memadai dari naṣ. Setiap permasalahan harus dicarikan solusinya, pertama dari al-Qur`an, kemudian Sunnah dan terakhir yaitu ijtihad/istinbath.

Kebolehan dan anjuran mengenai istinbath juga dilandasi oleh ijma’ ulama, di mana semua ulama dari semua mazhab mengakui keberadaan istinbath dan harus senantiasa dilakukan. Rasio menghendaki bahwa istinbath mesti dilakukan, karena dalil syara’ menerima untuk berbagai penafsiran, untuk itu diperlukan istinbath untuk menentukan yang mana penafsiran yang paling kuat dan juga sebaliknya. Demikian pula permasalahan yang tidak terdapat naṣ, juga tidak boleh dibiarkan begitu saja tanpa melakukan istinbath bagaimana ketentuan hukumnya, ini tentu saja dengan menggunakan suatu metode istinbath hukum yang berkembang. Syariat Islam mengatur semua perbuatan manusia dengan ketentuan hukum masing-masing, namun hal itu dapat ditemukan dengan jalan istinbath.13

Jadi legalitas istinbath tidak diragukan lagi, karena memiliki landasan hukum yang jelas berupa naṣ, al-Quran dan ḥadis maupun logika, istinbath merupakan suatu upaya yang dapat digunakan oleh para ulama untuk menggali dan menemukan hukum Islam dari sumbernya yaitu al-Quran dan Sunnah, dan setiap permasalahan yang tidak diatur di dalam keduanya. Melalui istinbath para ulama mampu menjawab berbagai tantangan dan permasalahan yang muncul akibat dari perubahan sosial masyarakat.

Istinbath dan tuntutan perubahan sosial terdapat hubungan atau interaksi yang tidak bisa dipisahkan, sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa istinbath baik langsung maupun tidak langsung dipengaruhi dan berkaitan dengan perubahan sosial yang diakibatkan oleh perkembangan masyarakat dan kemajuan ilmu pengetahuan serta teknologi. Perubahan-perubahan sosial tersebut harus senantiasa diberi arah oleh hukum, sehingga realitas masyarakat dan perubahan sosial tersebut mampu mewujudkan atau menjadi suatu yang maslahat bagi umat manusia.

Perubahan masyarakat atau perubahan sosial terbagi dua macam, ada yang mempunyai efek menguntungkan dan membawa pengaruh positif bagi masyarakat, artinya membawa kemajuan dan perkembangan (progress), tetapi ada juga perubahan sosial yang mempunyai akibat merugikan dan membawa pengaruh negatif bagi

(25)

masyarakat, artinya membawa kemunduran dan kepayahan (regress).14 Banyak perubahan sosial yang muncul, lalu menjadikan masyarakat tenggelam dan terjebak dalam persoalan-persoalan yang dihadapinya dan tanpa dapat mengambil suatu sikap yang tepat terhadap keadaan yang baru itu. Padahal seharusnya masyarakat mampu mengendalikannya dengan memberikan ketentuan hukum yang pasti buatnya, atau menjadikan perubahan tersebut sebagai wujud kemaslahatan bagi kehidupan mereka.

Perkembangan dan perubahan masyarakat dari waktu ke waktu senantiasa terjadi dan menimbulkan permasalahan baru, perubahan tersebut pada dasarnya merupakan upaya masyarakat dalam mengembangkan diri dan lingkungan melalui ilmu pengetahuan dan teknologi. Seharusnya masyarakat mampu mengimbangi perubahan tersebut dengan suatu ketentuan hukum sehingga tidak menimbulkan kegamangan dan kekosongan hukum.

Dalam kajian sosiologi hukum dalam menghadapi realitas di atas, hukum dituntut untuk dapat memainkan peranan ganda yang sangat penting. Pertama, hukum dapat dijadikan sebagai alat kontrol sosial (social control) terhadap perubahan-perubahan yang terjadi dalam kehidupan manusia. Kedua, hukum dapat dijadikan sebagai alat rekayasa sosial (social enginering), dalam rangka mewujudkan kemaslahatan umat manusia sebagai tujuan hakiki hukum itu sendiri.15

Tujuan dan fungsi hukum yang demikian, terdapat pada semua sistem hukum yang berlaku di dunia, tanpa terkecuali hukum Islam. Bahkan hukum Islam yang notabenenya berdasarkan kepada wahyu bukan akal belaka melalui istinbath harus mampu menampakkan perbedaan dan keistimewaan tersendiri dibandingkan dengan sistem hukum yang lainnya16 Sehingga tidak menutup kemungkinan hukum Islam itu akan dijadikan sebagai pertimbangan dan rujukan dalam memecahkan masalah dan menetapkan hukum atas suatu masalah oleh masyarakat dunia, tidak hanya oleh mereka yang beragama Islam saja.

Sebagai suatu sistem hukum yang berdasarkan wahyu, hukum Islam mempunyai tujuan yang jelas, yaitu mewujudkan

14 Muhammad Tholhah Hasan, Prospek Islam dalam Menghadapi

Tantangan Zaman, (Jakarta: Bangun Prakarya, 1986), h. 19.

15 Soerjono Soekanto, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001), h. 99-107.

(26)

kemaslahatan hidup manusia di dunia maupun di akhirat, melalui harmonisasi hubungan manusia dengan objek di luar mereka secara vertikal (hablum min Allah) dan horizontal (hablum min al-nass).17 Untuk terwujudnya harmonisasi hubungan-hubungan tersebut di atas, Allah Swt memberikan pedoman berupa aturan-aturan hukum yang mengatur hubungan manusia secara vertikal dalam bentuk aturan-aturan dalam bentuk akidah dan ibadah melalui naṣ yang relatif rinci, memiliki daya ikat dan validitas yang kuat bersifat qath‘i (pasti).18 Dalam menghadapi permasalahan yang qath’i ini manusia tidak diperbolehkan melakukan perubahan-perubahan dan pengembangan serta interpretasi lain selain yang dimaksud oleh naṣ syara’. Dalam hal ini adalah bidang akidah, ibadah wajib (mahdah) serta bidang yang berkaitan dengan kehidupan sosial kemasyarakatan yang telah diatur secara rinci oleh naṣ. Dalam bidang-bidang ini tidak boleh ada campur tangan manusia, yang dengan sendirinya bidang-bidang tersebut bukanlah merupakan lapangan istinbath.

Lain halnya permasalahan mu’amalah atau sosial kemasyarakatan dalam arti yang lebih luas, aturan-aturan hukum mengenai hal ini dinyatakan oleh Allah dalam bentuk garis-garis besarnya saja (global) dan bersifat zanni (dugaan). Dari garis-garis besar tersebut, manusia dengan potensi akal yang dianugerahkan Allah kepadanya, diberi kebebasan atau keleluasaan untuk mencari alternatif-alternatif pemecahan terhadap permasalahan-permasalahan kehidupan yang dihadapinya selama tidak bertentangan dengan prinsip dan jiwa Islam itu sendiri.19

Tujuan diberikan kebebasan kepada manusia dalam mencari alternatif pemecahan terhadap permasalahan-permasalahan kehidupan sosial kemasyarakatan adalah untuk merealisasikan kemaslahatan manusia itu sendiri, karena kemaslahatan dan kebutuhan manusia tidaklah tetap, melainkan senantiasa mengalami

17Muhammad Muslehuddin, Islamic Jurisprudence and The Rule of

Necessity and Need, (Islamabad: Islamic Research Institute, International Islamic University, 2011), h. 140.

18 Asafri Jaya Bakri, Konsep Maqasid al-Shari‘ah menurut al-Shatibi, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996), h. 2.

(27)

perubahan setiap saat, sehingga manusia dapat mencari alternatif yang terbaik buat dirinya.20

Pengaturan sebagian besar masalah sosial kemasyarakatan dalam kehidupan manusia melalui naṣ-naṣ dalam bentuk yang global saja, maka masalah sosial kemasyarakatan macam ini menjadi objek dan lapangan istinbath bagi manusia.21 Dalam bidang ini terlihat bagaimana prinsip dan dinamika hukum Islam dalam mengantisipasi dan mengatasi perkembangan dan perubahan yang terjadi dalam masyarakat dalam berbagai bidang, ini bukan berarti bahwa masalah sosial kemasyarakatan (mu’amalah) tidak mengandung dimensi ibadah sama sekali. Akan tetapi, pembagian tersebut lebih ditujukan untuk memberikan penekanan terhadap masalah-masalah yang menerima perubahan dan pengembangan dengan berbagai metode istinbath dan pertimbangan yang diterapkan.22

Jiwa dan prinsip hukum Islam bersifat konstan, permanen, dan stabil, tidak berubah sepanjang masa seiring dengan kemajuan peradaban manusia yaitu menerima dan terbuka untuk pembaruan dan perubahan, mengingat peristiwa hukum, teknis, dan cabang-cabangnya mengalami perubahan setiap saat, berkembang sejalan dengan perkembangan zaman. Sehingga dengan tetap teguhnya jiwa dan prinsip hukum, dibarengi dengan terbuka lebarnya perubahan dan perkembangan cabang-cabangnya, terjaminlah modernisasi dan kemajuan hukum Islam secara leluasa, dengan tetap dilandasi oleh prinsip, norma hukum yang ketat dan kuat. Dengan adanya perubahan dan perkembangan masyarakat, cabang-cabang hukum Islam di bidang sosial kemasyarakatan semakin bertambah materi hukumnya, semakin banyak perbendaharaannya dan semakin sempurna pembahasannya.23

Jadi obyek dan ranah istinbath adalah segala sesuatu yang tidak diatur secara tegas dalam naṣ al-Qur’an dan Sunnah serta masalah-masalah yang sama sekali tidak mempunyai landasan naṣ. Pada permasalahan tersebut oleh para ulama dapat menerapkan

20 Musthafa Muhammad az-Zarqa, Hukum Islam dan Perubahan Sosial

(Studi Komparatif Delapan Mazhab) Terj. Ade Dedi Rohayana (Jakarta: Rineka Cipta, 2000), hal. 45.

21Abdul Wahab Khallaf, Masadir, …h. 7-9. Lihat juga Rachmat Syafe’i,

Ilmu Ushul Fiqih (Bandung: Pustaka Setia, 1999), h. 107.

22Khutbuddin Aibak, Penalaran Ta’lalily Dalam Hukum Islam; Telaah Corak

Penalaran Hukum Islam dalam Upaya Penerapan Maqashid Syari’ah, (STAIN Tulungagung: Jurnal Islamica, Volume 1, Nomor 1, Tahun 2006), h. 58.

(28)

berbagai metode istinbath untuk menggali kemungkinan hukum yang dapat diterapkan, dan merekayasa sedemikian rupa agar perubahan masyarakat dapat menjadi suatu yang maslahat buat mereka bukan sebaliknya menjadi permasalahan yang mengganjal keharmonisan hidup mereka. Metode-metode yang diterapkan ulama dalam menggali hukum tentu banyak sekali dan metode tersebut juga terbuka peluang untuk berubah dan bertambah, di antaranya adalah qiyas, istislah, istishab, ‘urf dan lain-lain.24

Metode-metode tersebut akan bekerja pada setiap permasalahan yang tidak ada penjelasan dalam Qur’an dan al-ḥadīs secara jelas. Menurut Amir Syarifudin permasalahan yang tidak diatur naṣ dapat dilihat dari dua segi, yaitu:25

a. Al-Qur’an dan al-ḥadīs secara jelas dan langsung tidak menetapkannya, tidak secara keseluruhan dan tidak pula sebagiannya. Contoh pada kasus ini adalah gerakan kodifikasi al-Qur’an dalam satu mushaf.

b. Secara jelas, al-Qur’an dan al-ḥadīs memang tidak menyinggung hukum suatu kasus, namun secara tidak langsung atau bagiannya ada penjelasannya. Contoh hukum memukul orang tua tidak ada aturan secara eksplisit dalam al-Qur’an, tetapi ada larangan mengucapkan kata-kata kasar (uff) terhadap kedua orang tua. Hukum memindahkan organ tubuh orang mati kepada orang yang masih hidup (tranplantasi) tidak ada ketentuan naṣ-nya yang secara spesifik merujuk pada hal itu, namun ada larangan merusak jasad orang mati. Karena tidak jelas dan tidak langsungnya penjelasan al-Qur’an dan al-ḥadīs, maka diperlukan upaya istinbath.

Menurut Muhammad Musa al-Tiwana, objek istinbath dibagi menjadi tiga macam, yaitu: pertama, istinbath dalam rangka memberi penjelasan dan penafsiran terhadap naṣ; kedua, istinbath dalam melakukan qiyas terhadap hukum-hukum yang telah ada dan telah disepakati; ketiga, istinbath dalam arti penggunaan ra’yu. Pandangan al-Tiwana tersebut mengacu pada dua pemeliharaan objek istinbath yang luas. Pertama, adalah persoalan-persoalan yang sudah ada ketentuan naṣ-nya, namun masih bersifat dzanny (dugaan). Terhadap objek yang seperti ini, cara yang ditempuh adalah penelitian dalam

24 Saiful Muzani (ed.), Islam Rasional: Gagasan dan Pemikiran Prof. Dr.

Harun Nasution, (Bandung: Mizan, 1998), h. 196.

(29)

menentukan makna yang umum atau yang khusus, yang mutlak dan makna yang dibatasi (al-muqayyad). Kedua, persoalan-persoalan yang sama sekali belum ada naṣ-nya, pada permasalahan semacam ini, pemecahannya dilakukan melalui istinbath dengan menggunakan qiyas, istihsan, istihlah dan dalil-dalil hukum lainnya.

Objek istinbath turut mempengaruhi pendekatan dan penalaran yang digunakan, dalam melihat suatu metode istinbath dan apa yang harus dikembangkan dan kemungkinan peranan maqasid al-shari‘ah yang lebih besar dalam metode tersebut, penelaahan yang dilakukan harus bertitik tolak dari obyek istinbath itu sendiri. Penelaahan terhadap objek dan metode istinbath ditemukan adanya dua macam corak penalaran yang perlu dikembangkan dalam upaya penerapan maqasid al-syari‘ah yaitucorak penalaran ta‘lili, dan corak penalaran istislahi.26

Kata ta’lili berasal dari kata ‘illat yang berarti sesuatu yang menjadi sebab hukum atau suatu ketetapan hukum yang berdasar pada maksud syar’i yang memiliki ‘illat tertentu sebagai sesuatu yang menjadi sebab atau yang melatarbelakanginya.27 Adapun kata istislahi dalam pandangan sebagian ahli ushul diistilahkan dengan maslahat dan pada pandangan lain mengistilahkan dengan maṣlahah mursalah yang berarti menetapkan suatu hukum bagi masalah yang tidak ada naṣ-nya dan tidak ada ijma’ ulama yang berdasarkan kemaslahatan murni atau maslahat yang tidak dijelaskan syariat serta tidak dibatalkan oleh syariat.28

Kedua model penalaran atau pendekatan di atas bertumpu pada penggunaan al-ra’yu, sehingga terdapat tiga karakter yang melekat pada keduanya. Pertama, pendekatan ini mencoba memahami ketentuan naṣ tanpa terikat secara kaku dengan bunyi teks dan mengalihkan perhatiannya pada upaya mencari semangat moral yang terkandung dalam naṣ. Kedua, upaya mengganti pendekatan ta’abudi kepada pendekatan ta’aquli. Ketiga, upaya merumuskan ‘illat hukum dan pesan moral naṣ dengan melihat setting sosial dan konteks zamannya.

Dalam kaitan dengan dinamika masyarakat yang selalu berubah diiringi dengan munculnya masalah yang kompleks, maka dua corak/pendekatan penalaran di atas tampak lebih responsif dan

26 Asafri Jaya Bakri, Konsep Maqasid al-Shari‘ah menurut al-Shatibi,…h. 132-133.

27 Abd al-Wahhab Khallaf, Mashadir al-Tasyri al-Islami fî Ma La Nas Fih, (Kuwait: Dar al-Qalam li al-Nasyr wa al-Tawzi, 1993), Cet. VI, h. 49.

(30)

solutif dalam menjawab masalah hukum. Tawaran teoritik dua pendekatan ini adalah kerja ilmiah melalui deduksi analogis dengan dasar pijakannya kemaslahatan.

Islam meyakini perubahan sebagai suatu realitas yang tidak bisa diingkari. Islam juga memberi posisi yang paling tepat demi memudahkan semua hal untuk berubah secara shahih dan aman. Agama berjalan bersama beriringan dengan lajunya kehidupan, tugas agama adalah mengawal perubahan secara benar untuk kemaslahatan hidup manusia.29

Di sinilah sesungguhnya tugas seorang cendekiawan muslim untuk merumuskan pendekatan dan metodologi yang tepat sesuai dengan konteks yang melingkupinya agar agama menjadi fungsional dan membumi. Dalam hukum Islam, perubahan sosial budaya dan letak geografis menjadi variabel penting yang ikut mempengaruhi adanya perubahan hukum. Ibnu Qayyim al-Jauziyah menyatakan bahwa perubahan fatwa adalah dikarenakan perubahan zaman, tempat, keadaan, dan kebiasaan.30 Dalam kaidah fiqh lainnya disebutkan “hukum itu berputar bersama ‘illat-nya (alasan hukum) dalam mewujudkan dan meniadakan hukum.31

Salah satu bukti konkrit betapa faktor lingkungan sosial budaya berpengaruh terhadap hukum Islam adalah munculnya dua pendapat al-Syafi’i yang dikenal dengan qaul qadim dan qaul jadid. Pendapat lama (qaul qadim) adalah pendapat hukum ketika beliau berada di Mesir.32 Perbedaan pendapat hukum dalam masalah yang sama dari seorang al-Syafi’i jelas disebabkan faktor struktur sosial, budaya, letak geografis yang berada antara daerah Iraq (Baghdad) dan Mesir.

Dalam konteks historis, pemikiran bidang hukum Islam sesungguhnya memperlihatkan kekuatan yang dinamis dan kreatif dalam mengantisipasi setiap perubahan dan persoalan-persoalan baru. Hal ini dapat dilihat dari munculnya sejumlah madzhab hukum

29Abdul Halim Uways, Fiqh Statis Dinamis, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1998), h. 221.

30 Ibn Qayyim al-Jauziyah, I’lam al-Muawaqi’in ‘an Rabbi al-‘Alamin (Beirut: Dar al-Fikr, tt), hal. 14. Lihat pula, Hasbi ash-Shiddiqie, Falsafah Hukum Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1993), h. 444.

31 Mukhtar Yahya dan Fathurrahman, Dasar-Dasar Pembinaan Hukum

Fiqh Islam (Bandung: Al-Ma’arif, 1996), h. 550.

32M. Atho’ Muzdhar, Membaca Gelombang Ijtihad antara Tradisi dan

(31)

yang memiliki corak sendiri-sendiri sesuai dengan latar belakang sisio-kultural dan politik di mana madzhab itu tumbuh dan berkembang. Warisan monumental yang sampai sekarang masih memperlihatkan akurasi dan relevansinya adalah kerangka metodologi penggalian hukum yang mereka ciptakan. Dengan perangkat metodologi tersebut, segala permasalahan bisa didekati dan dicari legalitas hukumnya dengan metode qiyas, maṣlahah al-mursalah, istihsan, istishab, dan ‘urf.33 Dalam posisi demikian, hukum Islam akan berfungsi sebagai rekayasa sosial (social engineering) untuk melakukan perubahan dalam masyarakat.

Untuk menempatkan hukum pada posisi yang betul-betul fungsional dalam menghadapi setiap perubahan sosial, diperlukan terobosan metodologis disertai kemampuan membaca fenomena zaman. Banyak perangkat ilmu bantu yang bisa menopang perumusan hukum menjadi aplikatif, seperti ilmu-ilmu tafsir, tarikh, dan ilmu tata bahasa Arab. Diharapkan melalui pendekatan konvergensi antara ilmu ushul fiqh dan ilmu-ilmu lainnya akan dapat mengurangi formalisme hukum Islam.

Dalam konteks ini, pemaknaan hukum Islam tidak harus dilihat dari perspektif nilai saja, tetapi perlu dicari keterkaitan secara organik dan struktural dalam kehidupan sosial. Di sinilah letak pentingnya fenomena transformasi pemikiran hukum Islam, tidak hanya dilihat sebagai fenomena keagamaan saja. Transformasi pemikiran hukum Islam di Indonesia merupakan suatu pergumulan kreatif antara Islam dengan masyarakat Indonesia, antara nilai-nilai Islam dengan kenyataan struktural masyarakat. Oleh karena itu, maka program pembaruan pemikiran hukum Islam adalah suatu bagian yang tidak terpisahkan dari proses kehidupan masyarakat yang selalu berubah.

Akan tetapi, untuk melakukan upaya pembaruan pemikiran hukum Islam (fiqh) diperlukan beberapa syarat: Pertama, adanya tingkat pendidikan yang tinggi dan keterbukaan dari masyarakat muslim; Kedua, hukum Islam (fiqh) harus dipandang sebagai variasi suatu keragaman yang bersifat partikular yang selalu dibatasi oleh dimensi ruang dan waktu; Ketiga, memahami faktor sosio–kultural dan setting politik yang melatarbelakangi lahirnya suatu produk hukum agar dapat memahami partikularisme dari pemikiran hukum tersebut; Keempat, mengorientasikan istinbath hukum dari aspek qaulan (materi hukum) kepada aspek manhajan (kerangka metodologis).⍝

(32)

BAB IV

CORAK ISTINBATH

HUKUM ULAMA

Hukum Islam sangat dinamis yang selalu terbuka bagi pembaruan yang ditempuh melalui berbagai metode istinbath. Para ulama dalam menghadapi berbagai persoalan hukum baru di mana naṣ tidak mengaturnya secara ekplisit, maka upaya mereka adalah menggali atau menempuh berbagai langkah penemuan hukum yang disebut dengan metode istinbath, antara lain melalui metode maṣlahah-mursalah atau istislah yang dikembangkan Imam Malik, istihsan oleh Imam Hanafi, qiyas oleh Imam Syafi’i, istishab oleh Imam Ahmad bin Hambal, maqashid al-syari’ah oleh al-Syatibi dan lain sebagainya.

Di antara metode-metode yang telah dikemukakan di atas, metode qiyas mendapat tempat di hati sebagian besar ulama dan umat Islam karena dianggap lebih dekat kepada naṣ tertentu. Mayoritas ulama menerima qiyas sebagai sumber hukum Islam yang keempat setelah al-Qur’an, Sunnah dan ijma’ para sahabat.34 Sedangkan metode istinbath hukum yang lain seperti maṣlahah-mursalah atau istislah yang diperkenalkan oleh Imam Malik statusnya diperdebatkan, bahkan mayoritas penganut mazhab Syafi’i menolak metode ini.35

Seiiring perjalanan waktu, metode istinbath hukum Islam terus saja berkembang dan bertambah, sekalipun metode itu tidak terasing dan terlepas dari metode yang telah ada. Beberapa tokoh dengan pandangan dan pemikiran tersendiri dalam melakukan pembaruan hukum Islam menawarkan metode-metode baru, misalnya Yusuf al-Qaradhawi seorang ulama terkemuka masa kini menegaskan bahwa pembaruan hukum Islam tidak boleh berhenti dan harus tetap dilakukan dengan berbagai metode dan pendekatan, dalam batas tertentu ada sebahagian metode perlu disempurnakan,

34Abdul Wahaf Khallaf, Sejarah Pembentukan dan Perkembangan Hukum

Islam, (Jakarta: Rajawali Press, 2003), h. 1.

35Ahmad Munif Suratmaputra, Fisafat Hukum Islam al-Ghazali; Ma

(33)

bahkan dibuat baru berdasarkan perkembangan yang paling mutakhir.

Beliau mengatakan bahwa istinbath senantiasa diperlukan, bahkan untuk zaman sekarang istinbath lebih-lebih lagi diperlukan mengingat perkembangan dan perubahan sosial yang terjadi dalam masyarakat yang semakin tidak terkendalikan dan melahirkan permasalahan yang semakin komplek saja. Adapun model istinbath pada masa sekarang ini mesti dilakukan melalui istinbath kelompok (jama’i) yang melibatkan para pakar dimasing-masing bidang.36

Beliau membantah anggapan dan pernyataan dari sebahagian orang yang mengatakan bahwa peluang ijtihad pada masa sekarang telah tertutup, sementara permasalahan hukum muncul silih berganti tanpa henti. Dalam kondisi seperti ini sangat tidak logis jika peluang untuk ijtihad ditutup, sama dengan membiarkan manusia terperangkap dalam kegamangan dan ketidakpastian hukum. Sedangkan syariat Islam menegaskan Allah Swt selalu membuka peluang dan akses kepada kebutuhan manusia yang bersifat positif yang dapat menimbulkan kepayahan dan kesukaran bagi manusia bila saja itu tidak ada. Dengan demikian jika istinbath masih dibutuhkan tentu saja dibolehkan dan senantiasa terbuka peluang untuk dilakukan.

Istinbath hukumnya fardhu kifayah atas umat Islam seluruhnya, sama halnya mengurus kepentingan agama dan dunia yang lainnya. Jika ada sebahagian dari umat ini yang melakukan, maka terbebaslah yang lain. Sebaliknya jika tidak ada yang melakukan, maka semua umat Islam menanggung dosa, terutama para penguasa, karena mereka bertanggungjawab untuk menyelesaikan berbagai persoalan umat termasuk menjamin kepastian hukum dalam masyarakat. Ulama mazhab Hanbali mengemukakan bahwa di setiap zaman tidak boleh kosong dari mujtahid yang menjadi tempat rujukan masyarakat untuk bertanya tentang hukum bagi berbagai permasalahan baru yang muncul. Mujtahid tersebut harus memberikan fatwa terhadap permasalahan tersebut berdasarkan hasil istinbath-nya dari naṣ yang tafsiliy.37

Adapun metode yang ditawarkan Yusuf al-Qaradhawi untuk menjawab berbagai persoalan yang muncul sekarang ini adalah:

(34)

a. Metode al-Intiqa’i

Al-Intiqa’i berarti memilih satu dari beberapa pendapat terkuat di antara pendapat-pendapat yang ada dalam berbagai literatur fiqh, yang berisi fatwa atau keputusan hukum. Istinbath yang dimaksud adalah mengadakan studi komparatif (perbandingan) di antara pendapat-pendapat para ulama, meneliti kembali dalil-dalil naṣ atau dalil-dalil ijtihad yang dijadikan sandaran pendapat tersebut, yang pada akhirnya bisa memilih pendapat yang dinilai paling kuat dalil dan hujjahnya sesuai dengan alat pengukur yang digunakan untuk mengukurnya.

Untuk mengukur pendapat yang kuat dapat ditempuh dengan cara mengamati dan mengoreksi kelengkapan indikator pendapat kuat padanya. Yusuf al-Qaradhawi menetapkan beberapa indikator pendapat yang kuat, yaitu:

a) Hendaknya pendapat itu lebih cocok dengan zaman dan tempat

b) Hendaknya pendapat itu lebih banyak mencerminkan kemaslahatan bagi manusia

c) Hendaknya pendapat itu lebih dekat dengan kemudahan yang diberikan oleh syara’.

d) Hendaknya pendapat itu lebih utama dalam merealisir maksud-maksud syara, maslahat makhluk dan usaha untuk menghindari kerusakan dari manusia.38

Jika suatu pendapat memiliki empat indikator di atas secara lengkap dapat dipastikan pendapat tersebut paling kuat di antara pendapat-pendapat yang ada. Dalam prakteknya metode ini dilakukan dengan cara memilih pendapat yang kuat dalam madzhab empat, baik itu pendapat yang dijadikan fatwa dalam madzhab atau yang tidak dijadikan fatwa, sebab pendapat yang dijadikan fatwa pada situasi, dan kondisi tertentu terkadang tidak cocok untuk dijadikan fatwa lagi bila telah terjadi perubahan situasi dan kondisi. Atas dasar ini tasẖiẖat (perbaikan pendapat) dan tarjiẖat (pencarian pendapat yang terkuat) dalam satu madzhab telah berbeda dari satu masa ke masa yang lain. Banyak pendapat dalam suatu mazhab yang dulu ditinggalkan tidak terpakai sama sekali, lalu datang orang kemudian menampilkan dan mempopulerkannya. Banyak pula pendapat yang dulu dianggap tidak kuat, kemudian timbul kejadian dan hal-hal baru yang mendorong sebagian ulama untuk

(35)

menguatkannya sehingga menjadi pendapat yang benar dan dijadikan fatwa.39

Pada masa ini tidak diragukan lagi bahwa telah terjadi perubahan dan pergeseran diberbagai aspek kehidupan masyarakat seperti politik, sosial, ekonomi dan lainnya. Perubahan ini turut berpengaruh kepada nilai dan hukum dalam masyarakat, karena itu para ahli hukum dituntut untuk mengoreksi kembali hukum dari setiap persoalan, jika ditemukan hukum yang sudah kurang relevan dengan kondisi masyarakat, maka harus dicarikan hukum lain bagi persoalan tersebut, dengan cara mengambil dari pendapat lama yang dulu dianggap lemah, lalu di-tarjih-kan, mungkin telah relevan untuk kondisi sekarang atau menambahkan pendapat baru di luar pendapat yang telah ada.

1)

Metode Ibda’ial-Insya’i

Metode Al-Ibda’i al-Insya’i yaitu mengambil konklusi hukum baru dalam suatu permasalahan, di mana permasalahan tersebut belum pernah ditemukan pendapat dari ulama terdahulu, baik permasalahan itu sifatnya baru atau lama. Dengan kata lain, ijtihad ini mencakup sebagian masalah kuno yaitu dengan cara seorang mujtahid masa kini membuat ketentuan hukum baru yang belum pernah dikemukakan oleh ulama terdahulu mengenai permasalahan itu.40

Menurut pendapat yang sahih bahwasanya pada permasalahan ijtihadiyah perbedaan pendapat ulama terdiri dari dua pendapat, maka bagi ulama kemudian dapat membuat pendapat yang ketiga, jika perbedaan pendapat terdiri atas tiga buah, maka ulama kemudian dibolehkan membuat pendapat yang keempat dan seterusnya. Realitas ini menunjukkan bahwa pada suatu masalah sangat mungkin muncul banyak pendapat, bahkan juga pendapat yang telah ada sangat mungkin ditinjau ulang, sehingga menimbulkan konklusi hukum baru yang berbeda dari pendapat-pendapat yang telah ada.

Pendapat atau pandangan ulama tentang suatu masalah tidak mungkin dibatasi dengan jumlah yang ada, tetapi terbuka peluang untuk bertambah dari ulama yang lain sesudahnya jika ditemukan dalil dan ‘illat hukum yang baru. Dikarenakan perubahan sosial dan perkembangan masyarakat terus berjalan merubah tatanan yang telah ada tanpa kompromi, sehingga hukum juga mesti

(36)

membarenginya, bahkan jika mungkin mendahuluinya dengan menjadikan hukum prediksi (fiqh taqdiriyah).

2)

Metode gabungan antara al-Intiqa’i dan dan al-Insya’i Gabungan antara metode al-intiqa’i dengan al-insya’i, yaitu ijtihad dengan cara menyeleksi pendapat-pendapat ulama terdahulu yang dipandang lebih cocok dan lebih kuat, kemudian menambahkan dalam pendapat tersebut unsur-unsur ijtihad baru. Sehingga ketentuan hukum yang ditetapkan pada suatu permasalahan merupakan gabungan dari pendapat lama dan pendapat baru. Secara sederhana metode ini bertujuan menyempurnakan pendapat lama dengan beberapa perubahan di dalamnya, sesuai dengan perubahan sosial masyarakat.41

Contoh gabungan antara metode Intiqa’i dan Ibda’i al-Insya’i adalah aturan wasiat wajibah untuk cucu yang diberlakukan di Mesir semenjak tahun 1960. Aturan ini memuat ketentuan bahwa seorang kakek wajib mewasiatkan harta untuk cucunya dari anak laki-laki yang duluan meninggal darinya, atau mati bersamaan dengannya. Jumlah yang diwasiatkan sama dengan kadar atau bagian warisan yang diterima anak laki-laki jika ia hidup dan mewarisi. Wasiat tersebut diwajibkan atas kakek jika sebelumnya tidak pernah mewasiatkan harta sedikitpun untuk cucu tersebut, atau memberikan harta kepadanya dengan cara lain. Jika telah pernah memberikan harta kepada cucu tersebut melalui wasiat atau hibah dan lain sebagainya, namun jumlahnya tidak mencapai sepertiga, wajib diwasiatkan untuk menyempurnakan sepertiga. Wasiat wajibah ini diperuntukkan bagi golongan tingkat pertama dari anak laki-laki, dari anak perempuan, dan kepada anak laki-laki dari anak laki-laki dari garis laki-laki dan seterusnya ke bawah dengan syarat setiap orang tua menghijab anaknya.

Aturan wasiat wajibah ini didasarkan kepada pendapat sebahagian ulama salaf yang mengatakan bahwa wasiat wajib bagi selain ahli waris dan kerabat yang dipahami dari kandungan QS al-Baqarah ayat 180 mengenai wasiat. Pendapat ini kemudian dipegang dan dikuatkan oleh Ibnu Hazm, ia berkata: Wasiat wajib atas setiap orang yang memiliki harta, berdasarkan ḥadīs Ibnu Umar yang diriwayatkan Malik dan Nafi’. Kemudian ia juga meriwayatkan tentang kewajiban wasiat dari Talhah dan Zubair, keduanya sangat menekankan berwasiat, demikian pula Abdullah bin Abi Aufa, Talhah

(37)

bin Mathraf, Thawus, Sya’bi dan lainnya. Pendapat ini juga dipegang oleh Daud dan pengikut Zhahiriyah.

Ibnu Hazm berpendapat bahwa seorang yang mati dalam keadaan tidak berwasiat, maka wajib disedekahkan sebahagian kecil hartanya, dikarenakan wasiat adalah kewajiban atas setiap orang, dan sah dikeluarkan setelah meninggal bagi orang-orang yang tidak sempat berwasiat ketika masih hidup. Jika telah dilaksanakan maka kewajiban seseorang atas hartanya telah terpenuhi. Namun Ibnu Hazm tidak membuat batasan mengenai jumlah harta yang harus dikeluarkan, berdasarkan pendapat dari ulama salaf mengenai jumlah harta yang diwasiatkan sepenuhnya dipulangkan kepada ahli waris, mereka berhak menentukan jumlahnya yang mereka senangi dan tidak memberatkan mereka.

Selain tidak menyebutkan jumlah harta wasiat para ulama salaf dan mazhab Zhahiri juga tidak menentukan siapa yang berhak menerima wasiat tersebut dari kalangan yang bukan ahli waris. Ibnu Hazm menjelaskan bahwasanya wasiat wajib dikeluarkan untuk melepaskan tanggungjawab orang yang mati, namun jumlahnya itu terserah kepada ahli waris dan orang yang diserahi amanah wasiat.

Qanun wasiat wajibah Mesir sekalipun mengacu kepada pendapat ulama salaf dan Ibnu Hazm tentang kewajiban wasiat di atas, namun dalam qanun ini memuat beberapa aturan tambahan berupa jumlah harta yang harus diwasiatkan yaitu sepertiga, sedangkan penerima wasiat wajibah adalah cucu pada lapisan pertama dari anak yang duluan meninggal dari pada pewaris, atau kedua mati secara bersamaan. Kedua ketentuan ini tidak didapati dalam fiqh ulama salaf dan Ibnu Hazm dan merupakan tambahan atas ketentuan wasiat wajib yang telah ada.

(38)

digambarkan tadi mengakibatkan rasa kepedulian ini semakin longgar, masing-masing anggota keluarga cendrung melepaskan tanggungjawab dan lebih mengutamakan nasib keluarga dibawah rumah tangganya sendiri.

Kondisi seperti ini mengakibatkan anak yatim akan terlantar atau barang kali tidak mendapat perhatian yang penuh dari keluarganya sendiri, padahal mereka sangat membutuhkan perhatian dan bantuan dari kerabatnya. Untuk mensiasati permasalahan ini maka pemerintah Negara Mesir membuat aturan baru berupa wasiat wajibah yang merupakan kombinasi dari pendapat ulama salaf dan ulama kemudian, sehingga melahirkan suatu konklusi hukum yang mampu menjawab persoalan yang dihadapi masyarakat akibat dari perubahan sosial yang terjadi dikalangan mereka.

Wasiat wajibah bagi cucu merupakan salah satu bentuk hasil ijtihad dari kombinasi metode al-intiqai dan al-insya’i dengan pendekatan maṣlahah mursalah, yaitu salah satu metode yang berusaha menemukan hukum baru yang belum pernah ada sebelumnya dengan cara mencari kemaslahatan. Ketentuan ini merupakan kolaborasi antara pendapat ulama salaf dan Ibnu Hazm dengan pendapat baru yang muncul kemudian.42

Sedangkan dalam melakukan istinbath tehadap permasalahan yang muncul dewasa ini, Yusuf al-Qaradhawi bertumpu pada beberapa pedoman, yaitu:

a)

Tidak fanatik dan tidak taqlid, yaitu melepaskan diri dari fanatik madzhab dan taqlid terhadap satu ulama, baik dari kalangan ulama terdahulu maupun ulama belakangan. Meskipun demikian tetap menghormati sepenuhnya kepada para imam mazhab dan fuqaha.

b)

Memberikan kemudahan dan tidak mempesulit, hal ini didasarkan pada dua alasan:

- Bahwa syariat dibangun atas dasar mempermudah dan menghilangkan kesukaran bagi hamba. Hal ini dinyatakan secara jelas dan tegas oleh al Qur’an serta Sunnah, yakni bahwa Allah tidak tidak membebani kepada manusia sesuatu yang tidak mampu dipikulnya.

- Karakteristik zaman yang terus berubah, di mana zaman sekarang ini sikap hidup materialisme lebih dominan daripada spritualisme, individualisme lebih dominan

Referensi

Dokumen terkait