• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS PSIKOLOGI KARAKTER GEORGE VI DA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "ANALISIS PSIKOLOGI KARAKTER GEORGE VI DA"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

LIONEL LOGUE

DALAM FILM ‘THE KING’S SPEECH’ (2010)

UJIAN TENGAH SEMESTER

MATA KULIAH PSIKOLOGI SENI

WARIDAH MUTHI’AH

NIM. 27110047

JURUSAN MAGISTER DESAIN

FAKULTAS SENI RUPA DAN DESAIN

(2)

1. PENDAHULUAN

Pendekatan psikologi dalam menganalisa sebuah film sering dilakukan tidak hanya untuk memahami suatu karakter dan latar belakang sifatnya sebagaimana digambarkan dalam film tersebut, tetapi juga untuk memahami interaksi antartokoh dan latar belakang perilakunya yang mempengaruhi alur cerita. Seringkali pendekatan psikologi diterapkan pada film ber-genre thriller, roman psikologis, atau biografi.

Salah satu film biografi dengan pendekatan psikologi adalah The King’s Speech (2010). Film yang diangkat dari kisah nyata mengenai Raja George VI, raja Inggris pada 1936 hingga akhir hayatnya, ini memiliki tema yang tidak biasa dalam memotret kehidupan seorang raja. Berbeda dengan film kebanyakan mengenai dunia kerajaan, yang biasanya terfokus pada keberanian, kisah heroik, percintaan, bahkan kekejaman seorang penguasa, film ini berkisah mengenai hal yang sederhana dan manusiawi, bahkan mungkin aneh karena bukan merupakan suatu hal yang lazim pada seorang raja, yakni mengenai kegagapan. Kegagapan, atau kesulitan bicara, bagi seorang rakyat jelata atau bahkan pelawak akan menjadi sesuatu yang lucu, tetapi bagi seorang raja, apalagi raja dari emporium sebesar Inggris, kegagapan adalah petaka. Apalagi jika dengan kondisi gagapnya itu, sang raja, yang memerintah pada masa perang, diharuskan melakukan siaran radio kenegaraan dan mengumumkan pernyataan perang. Justru dari tema kecil ini, dengan melibatkan kondisi mental raja dan upayanya mengatasi kegagapannya itu, film ini menjadi menarik.

Keunikan tema film ini, pembangunan alur cerita, dan kompleksitas karakter tokoh dalam film karya sutradara Tom Hooper dan penulis naskah David Seidler ini membuahkan tujuh nominasi Golden Globe dan menang untuk kategori Film Terbaik, serta masuk dalam duabelas nominasi Academy Award dan berhasil menyabet empat Oscar. Karakter dua tokoh utama dalam film ini, yakni tokoh George VI dan Lionel Logue, dan interaksi keduanya yang menjadi jantung film ini memberikan suatu impresi dan wacana yang menarik mengenai kompleksitas antara sifat dasar seorang raja dan beban dari jabatan itu sendiri, yang membuat kedua karakter tersebut layak dikaji.

2. OBJEK KAJIAN

(3)

Film The King’s Speech bercerita tentang kehidupan Pangeran Albert Frederick Arthur George alias Bertie, putra kedua Raja George IX dari Inggris, sejak masih bertitel Duke of York hingga menjadi Raja Inggris. Ia sebenarnya adalah seorang perwira Angkatan Laut, dan sebagai pangeran, ia dituntut aktif dalam berbagai urusan kenegaraan. Akan tetapi, ia memiliki masalah kepercayaan diri, akibat kondisi berbahasanya yang gagap.

Poster film The King’s Speech (2011) Sumber: blog.beliefnet.com

(4)

Demi menanggulangi kegagapannya, Duke of York meminta bantuan dokter, tetapi tidak berhasil. Hingga suatu hari istrinya, Elizabeth, Duchess of York, membujuknya menemui seorang ahli terapi bicara. Terapis Australia bernama Lionel Logue ini memiliki klinik yang agak kumuh di Harley Street dan metode yang tidak biasa. Pada awalnya, Bertie tidak suka dengan prinsip kesejajaran sang terapis yang menurutnya tidak sopan dan metodenya yang tak berguna. Namun, setelah mendengar kaset rekaman yang membuktikan dirinya dapat membaca dengan lancar pada pertemuan pertama mereka, Bertie memutuskan untuk mengikuti sesi terapi tersebut. Sang terapis ternyata tidak hanya melatih bahasa, tetapi juga melakukan pendekatan psikologi.

Walau seringkali sikap Lionel seakan kurang sopan, sang pangeran yang merasa mendapat teman yang dipercaya memaafkan saja kekasaran itu. Hingga pada satu titik, sang terapis menyudutkan Bertie dengan mempertanyakan hasratnya untuk menjadi raja menggantikan sang kakak. Pada saat itu, David telah diangkat sebagai Raja Edward VII menggantikan ayahnya yang meninggal pada 20 Januari 1936 karena sakit, tetapi ia dianggap mencemarkan nama baik keluarga kerajaan dengan bersikeras menikahi kekasihnya, Willis Simpsons. Bertie, dalam kondisi psikologinya yang kompleks, antara rasa inferior, perasaan sedih akibat kehilangan ayah, dan tak mau mengkhianati sang kakak di satu sisi, dan kenyataan mengenai skandal sang kakak membuatnya terpojok. Ditambah lagi bahwa ialah yang diharapkan untuk menggantikan sang ayah menjelang kematiannya. Dalam kekalutannya, Bertie menimpakan amarahnya pada Lionel, yang dianggapnya mempengaruhi untuk melakukan makar, dengan mencemooh latar belakangnya sebagai orang biasa dan meninggalkannya.

Rupanya, pihak penasihat kerajaan pun menganggap skandal sang raja dapat memancing krisis konstitusional. Karena tak mau menjadikan kekasihnya sebagai selir (mistress), David rela melepaskan takhtanya kepada sang adik. Menyadari bahwa ia butuh ketegasan berbicara, terutama sehubungan dengan perkembangan teknologi yang menjadikan siaran radio sebagai alat propaganda perang dan penyambung lidah raja dengan rakyatnya, Bertie kembali menghubungi Lionel.

(5)

sang raja sebelum gladi resik penobatannya. Bertie merasa ditipu karena ternyata Lionel bukan dokter sungguhan bersertifikat, dan hampir menolak gladi resik. Namun Lionel menyatakan bahwa ia tak pernah menyatakan dirinya dokter, serta bahwa kemampuannya lahir dari pengalamannya mengatasi trauma para pemuda veteran perang yang membuat mereka tak mampu bicara. Ketika Bertie melontarkan kekecewaannya, Lionel malah melakukan hal yang paling tabu dengan duduk di singgasana St. Edward’s Chair yang hanya boleh diduduki raja pada upacara penobatan. Justru dengan ini, Lionel memancing Bertie melontarkan protesnya dan membuat Bertie sadar akan niat baik Lionel untuk menolongnya.

Akhirnya, Lionel kembali menjadi terapis kerajaan. Tidak hanya berhenti pada upacara penobatan, ia juga menjadi pelatih dan pendamping sang raja pada semua pidato kenegaraan. Khususnya ketika sang raja diharuskan memberi siaran radio yang mendeklarasikan perang dengan Jerman. Kesulitan George VI dalam berbicara bahkan menjadi gaya pribadi yang menambah kesan suram dan kesyahduan isi pidato dalam masa perang, yang menjadikannya lambang resistansi Inggris.

2.2. KARAKTER TOKOH DALAM FILM

2.2.1. Albert, Duke of York/George VI

Foto asli George VI (1940-an, kiri) dan representasinya oleh aktor Colin Firth dalam The King’s Speech (2011, kanan)

(6)

Ahli waris kedua takhta Inggris yang akhirnya diangkat sebagai raja setelah kakaknya, David alias Edward, mengundurkan diri. Sebagai pangeran, ia seringkali terlibat dalam urusan dalam negeri, dan merupakan pejabat angkatan laut yang berani. Kehidupan pribadinya terlihat harmonis dengan sang istri, Duchess of York, dan dua putri yang masih kanak-kanak. Namun, ia digambarkan sebagai seorang pria yang kikuk, tidak percaya diri, dan lemah dalam menghadapi orang lain, yang hadir dari kondisi bicaranya yang gagap. Kendati ia mudah marah, namun sifat gagap dan rendah dirinya membuatnya tidak dapat menyampaikan argumen dan amarahnya dengan mudah.

2.2.2. Lionel Logue

Foto asli L. Logue (1930-an, kiri) dan representasinya oleh aktor Geoffrey Rush dalam The King’s Speech (2011, kanan) Sumber: www.wikipedia.com, www.guardian.co.uk

Seorang ahli terapi bicara asal Australia yang membuka praktik di Harley Sreet. Ia menjadi terapis bagi Pangeran Albert setelah direkomendasikan oleh ketua perkumpulan ahli terapi bicara. Logue digambarkan sebagai seorang pria berumur yang kalem, santai, tetapi seringkali mengagetkan orang dengan sifatnya yang tidak konvensional dan seringkali tidak sopan. Di samping bakatnya dalam bicara, ia juga mencintai drama dan digambarkan memiliki ambisi sebagai aktor panggung, namun selalu gagal dalam audisi. Dalam terapinya, ia melakukan metode penyembuhan yang menggabungkan antara latihan fisik dan terapi psikologi. Awalnya ia dianggap sebagai dokter, tetapi ternyata ia merupakan terapis otodidak yang mendapatkan semua metodenya dari pengalaman.

(7)

3.1. TINJAUAN HISTORIS TOKOH

3.1.1. George VI

Raja George VI, atau dengan nama lengkap Albert Frederick Arthur George, lahir pada 14 Desember 1895. Sebelum diangkat sebagai raja, ia bergelar Duke of York dan pernah bertugas di Angkatan Laut Kerajaan Inggris (Royal Navy) selama Perang Dunia I. Setelah perang, ia sering menangani urusan dalam negeri kerajaan. Ia menikahi Lady Elizabeth Bower-Lyons pada 1923 dan memiliki dua orang putri, yakni Elizabeth yang kemudian menggantikannya sebagai ratu Inggris, dan Margaret.

Pangeran Albert naik takhta menggantikan kakaknya, Edward VIII, pada 11 Desember 1936 dan memerintah hingga kematiannya pada 6 February 1952. Pada pemerintahannya, Inggris terlibat dalam perang dengan Nazi Jerman, kemudian dengan Italia dan Jepang, yang membawa Inggris dan hampir seluruh negara jajahannya, kecuali Irlandia, dalam Perang Dunia II. Walaupun aliansi Inggris menang, terjadi perubahan peta kekuatan dunia dengan Amerika Serikat dan Uni Soviet sebagai negara adidaya. Mengikuti turunnya kekuatan Inggris, India dan Pakistan memerdekakan diri pada 1947, demikian pula Irlandia yang sebelumnya sempat membentuk pemerintahan otonomi Irish Free State, memisahkan diri pada 1949. Perubahan bentuk pemerintahan daerah jajahan Inggris menjadi Commonwealth of Nation menjadikan Raja George VI sebagai Kepala Commonwealth yang pertama.

3.1.2. Lionel Logue

Lionel Logue lahir pada 26 Februari 1880 di Adelaide, Australia, sebagai anak sulung dari empat bersaudara dan cucu dari pendiri perusahaan yang cukup ternama di Australia. Sejak remaja, ia tertarik pada olah vokal, bahkan sempat mengikuti pementasan drama dan musik, serta mengajar Ia menikahi Myrtle Gruenert pada 1907, yang memberinya tiga orang anak.

(8)

Order dan kemudian Commander of The Victorian Order pada 1944, sebelum akhirnya meninggal pada 12 April 1953.

3.2. PENDEKATAN PSIKOANALISIS

Pendekatan psikoanalisis akan dilakukan untuk memahami latar belakang salah satu karakter, yakni Pangeran Albert, khususnya mengenai faktor yang membentuk perilaku dan sifatnya.

Pendekatan psikoanalisis berfokus pada aspek unconsciousness dalam diri seseorang yang mempengaruhi persepsi, tindakan, perilaku, dan karya seseorang. Aspek ketidaksadaran ini merupakan bagian dari kondisi psikologisnya. Kondisi psikologis yang menentukan kepribadian seseorang saat dewasa sangat erat kaitannya dengan perkembangan anak pada tahap usia

Golden Age,yakni usia 0-5 tahun.

Prinsip pendekatan psikoanalisis adalah dengan melihat bahwa terjadinya suatu perilaku, atau pengambilan keputusan untuk melakukan suatu tindakan, merupakan hasil dari konflik antara Inctinctual Drive (id), ego, dan superego. Id atau insting adalah naluri dasar kebinatangan dalam diri manusia, hasrat dasar dan dorongan yang membuat manusia dapat survive seperti naluri agresi, dorongan biologis, dan trauma. Sifat id adalah mengutamakan azas pleasure,

tidak mengindahkan rasio, dan impulsif. Sedangkan superego adalah sisi dalam pikiran manusia yang mengutamakan nilai-nilai yang dianut, seperti norma dan kontrol sosial, yang berperan sebagai kontra dari dorongan-dorongan id. Adapun ego adalah bagian dari pikiran yang bersifat rasional, berperan sebagai pengambil keputusan yang bersifat kompromistis dari konflik antara id dan superego.

3.3. TEORI KREATIVITAS ATHYPICAL THINKING

3.3.1. Divergen Thinking

(9)

memiliki kosakata/perbendaharaan bahan yang siap dipakai (affluency), memiliki fleksibilitas dalam pemikiran (flexibility), tidak konvensional, dan memiliki pemikiran yang asli (originality).

Ciri pertama dengan sendirinya mengungkap ciri yang lain, yakni kemauannya untuk mencari atau membekali diri dengan bahan tersebut dan kemampuan untuk menerapkannya saat dihadapkan pada situasi tertentu. Orang kreatif biasanya selalu ingin tahu dan giat mencari tahu hal-hal yang membangkitkan minatnya.

3.3.2. Remote Associates Thinking

Konsep ini dikemukakan oleh Sarnoff Mednick pada 1960, yang berfokus pada kemampuan seseorang menghasilkan hubungan-hubungan (asosiasi). Individu yang kreatif ditandai oleh kemampuannya menghasilkan asosiasi-asosiasi yang tidak biasa atau tidak terpikirkan sebelumnya, dalam waktu singkat secara spontan.

3.3.3. Janusian Thinking

Konsep Janusian Thinking dimunculkan oleh Albert Rottenberg pada 1971. Nama ini berasal dari nama dewa Romawi, Janus, dewa penjaga pintu dan gerbang surga yang memiliki dua wajah. Konsep Janusian Thinking

berfokus pada antonimi, yakni perbandingan kata atau dua benda/hal yang memiliki sifat-sifat yang berbeda. Dalam konsep ini, individu yang kreatif dapat menemukan persamaan dari elemen-elemen yang tampaknya berbeda (Irma Damajanti, perkuliahan 7 Maret 2011)

4. ANALISA KARAKTER TOKOH

(10)

Lionel Logue akan terfokus pada karakter dan cara berpikir yang mendasari metode penangannya sebagai terapis, tanpa menghubungkannya dengan hal-hal yang mendasari terbentuknya karakter tersebut, karena hal tersebut tidak disampaikan dalam film.

4.1. GEORGE VI

Sang pangeran digambarkan sebagai seorang laki-laki yang pemalu, mudah gugup, dan jarang berbicara karena menyadari kegagapannya. Pada pembukaan film ini, diperlihatkan adegan sang pangeran membuka acara pameran di Wembley Stadium mewakili ayahnya. Ia begitu gugup saat membacakan teks tertulis, sehingga muncul keheningan yang panjang sebelum ia memulai kata pertama. Saat membacakan teks, sang pangeran begitu terbata-bata sehingga muncul banyak jeda dalam pidatonya. Ketidakmampuannya bicara lancar menjadi rahasia publik kian diperparah oleh tekanan ayahnya, yang memang mampu menyajikan pidato dengan baik, dan cemoohan kakaknya.

Dalam film, diceritakan Lionel menganggap kegagapan sang pangeran bukan suatu kelainan fisiologis, tetapi dipicu oleh kondisi psikologisnya. Lionel terus berusaha memancing Sang Pangeran mengeluarkan perasaannya. Akhirnya, pada salah satu sesi terapi, sang pangeran menyebutkan beberapa latar belakang kehidupannya yang turut membentuk karakternya, antara lain sikap keras sang ayah, penanganan atas perbedaan fisiknya di masa kecil, rasa rendah dirinya, dan rasa kesedihan atas kematian adiknya, Pangeran John. Di sini akan dibahas tiga alasan di antaranya:

a) Sikap keras ayah

(11)

dianggap sebagai kelemahan yang bisa menurunkan martabatnya sebagai calon raja.

Sikap keras ini membuat Albert memiliki kepribadian yang tidak percaya diri, karena selalu merasa tidak sempurna melakukan segala sesuatunya. Ia menjadi sensitif, mudah tersinggung dan marah, tetapi ragu untuk mengutarakan amarah tersebut. Ketidakmampuannya mengungkapkan perasaan secara verbal ini menjadi dasar dari kegugupannya.

Jika melihat teori bahwa karakter seseorang saat dewasa ditentukan oleh perkembangan psikologisnya saat masih kanak-kanak, tampak bahwa tekanan dari sang ayah yang terus menerus membentuk rasa permusuhan di dalam diri Albert, namun hal ini tidak bisa dikemukakan ke luar. Sesuai dengan teori Will and Guilty Concept, kepribadian pada saat dewasa ditentukan oleh kemampuan anak mengatasi konflik antara keinginannya dan keinginan orangtua. Anak yang menolak langsung cenderung menjadi anak yang berkeinginan kuat dan mandiri, sedangkan anak yang menyesuaikan dengan kehendak orangtua dengan ikhlas cenderung menjadi orang dewasa yang taat aturan dan menghindari konflik. Masalah muncul pada anak yang setengah menolak dan menerima dengan terpaksa. Beban antara id yang tidak terpenuhi secara mutlak dan superego yang merasa bersalah karena tidak melakukan aturan dengan sepenuh hati membuat anak dihantui rasa bersalah. Anak seperti ini cenderung menjadi anak yang tidak sepenuhnya mandiri, rendah diri, serta menderita konflik dan gangguan emosi (Irma Damajanti, perkuliahan 14 Februari 2011). Hal inilah yang rupanya melatarbelakangi karakter Albert yang mudah gugup dan rendah diri.

b) Perbedaan fisik

Secara alamiah, ia kidal, tetapi etika yang mengharuskannya menggunakan tangan kanan membuatnya harus mengubah kebiasaannya. Ia juga menderita genu valgum alias knock-knees, kelainan fisik pada tungkai kaki yang membuat lutut berputar ke dalam dan bertemu saat kaki diluruskan, sehingga kaki tampak bengkok membentuk huruf X. Hal ini dianggap sebagai kelainan yang kurang baik, sehingga untuk menyembuhkannya, dipasang

(12)

Albert, sebagai anggota keluarga kerajaan, dipaksa untuk selalu tampil sempurna, baik dalam penampilan maupun etika. Hal ini membuat Albert yang saat itu masih anak-anak merasa bahwa dirinya yang ‘alamiah’, yang ‘asli’, yang ‘bergerak sebagaimana dikendalikan oleh hasratnya’, adalah sesuatu yang buruk dan tidak dapat diterima. Tubuhnya yang ‘alamiah’ harus diubah supaya bersesuaian dengan norma yang ada, dan proses perubahan itu sendiri adalah hukuman, karena harus dilalui dengan rasa sakit dan tersiksa. Hal ini menanamkan perasaan bahwa dirinya yang sesungguhnya bukanlah diri yang dapat dengan normal diterima oleh lingkungan. Alasan orang menjadi kidal sendiri tidak diketahui, tetapi orang kidal biasanya

cenderung lebih kreatif dan mampu berpikir cepat

(maulananusantara.wordpress.com). Namun, sedari kecil Albert diajari untuk menolak insting ini, yang berarti menolak tubuhnya sendiri

Dorongan lingkungan untuk terus menekan instingnya sendiri membuat Albert tumbuh menjadi orang yang rendah diri, mudah gugup, dan mudah gemetar, yang turut berperan pada pembentukan sifat gagapnya. Sifat gagap sendiri dapat dikaitkan dengan kegugupan dan rasa gemetar, karena biasanya orang menjadi gugup saat berada dalam tekanan, yang mengakibatkannya sulit mengeluarkan suara. Rasa gemetar sendiri muncul saat seseorang merasa takut, atau menderita kecemasan berlebihan yang disebut kecemasan neurosis (neurotic anxiety). Neurosis lahir sebagai reaksi dari alam bawah sadar, ketika dihadapkan pada situasi tertentu yang secara instingtif dikaitkan dengan suatu pengalaman traumatis di masa lalu (www.scribd.com). Di sini, tubuh bereaksi sebagai akibat terungkapnya memori masa lalu yang mengendap di alam bawah sadar, yang terpicu oleh situasi masa kini yang dianggap memiliki kondisi atau kemiripan dengan pengalaman traumatis terdahulu.

c) Inferiority feeling

Sebagai anak kedua yang bukan putra mahkota, Bertie merasakan inferioritas dibandingkan dengan kakaknya, apalagi didukung oleh sikap inangnya

(nanny) semasa kecil yang lebih menyukai kakaknya ketimbang dirinya.

(13)

orangtua dilakukan dalam acara harian yang disebut daily presentation.

Namun, sang inang, yang tidak menyukai situasi itu, biasa mencubit perut sang pangeran kecil sehingga ia menangis dan dikembalikan kepada sang inang. Ini membuat hubungan sang pangeran dengan orangtuanya tidak terlalu dekat, bahkan ia sianggap sebagai anak yang lemah dan cengeng. Hal yang berlangsung terus-menerus selama tiga tahun ini membuat sang pangeran menderita sakit perut akut, yang berujung pada duodenal ulcer

yang mengganggu pekerjaannya saat menjabat sebagai perwira Angkatan Laut.

Teori Inferiority Feeling pertama kali dikemukakan oleh Alfred Adler pad 1907. Menurut Adler dalam Durbin (www.infinityinst.com) rasa inferior merupakan perasaan yang lumrah pada diri manusia, tetapi biasanya karena dianggap sebagai kelemahan, perasaan ini cenderung ditekan. Rasa inferior secara natural membuat orang ingin mencapai suatu target untuk menunjukkan dirinya, disebut striving for popularity. Namun, pada beberapa orang, penolakan pada perasaan ini cenderung membawa pada keinginan untuk menunjukkan kekuasaan yang berlebihan, menunjukkan keegoisan dan keinginan untuk selalu mendominasi, yang disebut superiority complex.

Sedangkan pada sebagian orang lain, ketidakmampuan untuk menangani rasa inferiornya dan kegagalan yang terus menerus membawa pada hilangnya rasa kepercayaan terhadap diri sendiri, yang membentuk citra diri negatif yang disebut inferiority complex.

Sifat yang berkembang dalam diri Albert adalah inferiority complex, yang muncul sebagai akumulasi dari perlakuan yang diterimanya pada masa kecil. Harapan yang terlalu tinggi padanya sebagai putra raja, kondisi fisiknya pada masa kecil yang dianggap tidak memenuhi ekspektasi lingkungan, tuntutan lingkungan agar ia menolak ‘fitrah fisiknya’, serta tuntutan dari ayahnya yang selalu menginginkan ia tampil sempurna menjadi beban pada diri Albert, apalagi dengan kenyataan bahwa ia tidak dapat memenuhi tuntutan tersebut. Hal ini ditambah dengan ejekan dari sang kakak yang selalu menghina kegagapannya dan sang ayah yang terus mendorongnya tetapi tidak mempedulikan perasaan dan ketakutannya, membuat kondisi ini semakin akut.

(14)

Ketika pada pertemuan pertama, sang pangeran ternyata dapat membaca dengan jelas dan tanpa gugup ketika diharuskan bicara di depan mikrofon sembari diperdengarkan lagu yang keras, Logue menyadari bahwa sebenarnya Pangeran tidak menderita penyakit fisik yang membuatnya tak bisa bicara lancar. Setelah ia mengajari latihan fisik dan hampir tak ada perubahan pada kondisi bicara pasiennya, Lionel pun berasumsi bahwa kegagapan Albert berasal dari kondisi psikologisnya. Ia sering memancing Albert mengeluarkan beban pikiran dan mengutarakan pengalaman atau beban masa lalunya untuk mengetahui latar belakang psikologisnya, tetapi hal ini tidak mudah karena sifat sang pangeran yang cenderung menutup diri. Namun, Lionel tidak putus asa. Ia kadang mengajukan pertanyaan dan pernyataan yang sekilas tampak tidak penting dan membuat pasiennya bingung atau marah, tetapi kemudian diketahui bahwa hal itu merupakan pancingan yang mengungkap kepribadian pasiennya.

Lionel seringkali menggunakan metode yang tidak biasa dalam dunia akademis dan kedokteran, maupun terkesan kurang sopan jika dihubungkan dengan latar belakang pasien yang termasuk anggota keluarga kerajaan. Sifat tidak konvensionalnya sudah terlihat pada pertemuan pertama Lionel dengan Duchess of York. Walaupun mengetahui bahwa orang yang akan menjadi pasiennya adalah keluarga kerajaan, Lionel tetap berkeras pasiennya harus datang menemuinya. Di sini terlihat kekuatan ego (ego strength) Lionel, yang sebenarnya berdasar pada keyakinan bahwa untuk dapat sembuh, pasien membutuhkan kepercayaan bahwa terapisnya dapat menyembuhkan, dan menumbuhkan ketergantungan pada terapis. Kepercayaan ini berusaha dibangun dengan menunjukkan bahwa pasien dan terapis berada pada kedudukan yang setara dan tidak berjarak. Dengan menolak mendatangi pasien, Lionel menyatakan bahwa dirinya tidak berada pada kedudukan di bawah pasien. Lionel berusaha menjadi teman, bukan abdi sang pangeran. Tetapi, justru kenyamanan ini yang membuat Albert kembali dan menaruh kepercayaan bahwa Lionel dapat menyembuhkannya. Sebagai pangeran, ia terbiasa dipandang dengan berjarak. Hal ini menimbulkan tekanan pada dirinya untuk tampil sempurna. Dengan menempatkan dirinya di posisi yang sama dengan Lionel yang orang kebanyakan, ia dapat menurunkan ketegangan dalam dirinya dan dapat dengan nyaman mengeluarkan bebannya.

(15)

Lionel setelah mendapat laporan bahwa Lionel bukan dokter. Lionel tidak menyanggah hal yang memang benar ini, tapi juga menegaskan bahwa ia tidak menipu, karena memang tak pernah mengatakan bahwa ia dokter, tetapi ahli terapi bicara. Ia menyatakan bahwa kompetensinya bukan lahir dari teori, tetapi dari pengalamannya mengatasi kondisi traumatis dalam diri para prajurit yang membuat mereka tak dapat bicara. Lionel memberikan contoh ini dengan menekankan kesamaan yang dimiliki sang pangeran dalam hal ini, sekaligus penekanan bahwa ia dapat menolong menanggulanginya berdasarkan bukti pengalaman. Di sini tampak Lionel memanfaatkan hal yang sudah ia ketahui dan mengemukakannya pada saat yang tepat, dengan menyatakan hubungan analogi dari dua hal yang berbeda untuk menuntun kesimpulan orang pada arah yang ia kehendaki.

Ketika sang raja masih meragukan kemampuan Lionel dan menyatakan kekecewaannya, Lionel justru melanggar adat dengan duduk di singgasana sakral yang hanya boleh diduduki raja pada upacara penobatan. Ia memancing amarah sang raja dengan sengaja. Ia terus memotong argumen Albert dan mempertanyakan semua dasar larangan itu, seakan mengejek bahwa sang raja tidak berhak memerintahnya dan melarangnya karena ia tak punya ketegasan dan tak bisa bersuara. Justru ketika sang pangeran berteriak marah dan menyatakan "I have a voice", pernyataan inilah yang ditunggu Lionel. Ia melunak tiba-tiba dan turun dari singgasana dengan wajah puas, yang membuat sang raja sadar bahwa Lionel sengaja memancingnya untuk menyadarkannya bahwa kekuatan raja yang dapat membuat orang menurut adalah pada ketegasannya mengeluarkan perintah, bahwa sesungguhnya ia memiliki potensi tersebut, dan bahwa Lionel dapat membantunya.

Di sini tampak bahwa Lionel memenuhi tiga konsep athypical thinking yang dimiliki individu kreatif. Pertama adalah konsep pola berpikir menyebar (divergen) dari Guilford. Ketika memberikan contoh mengenai pengalamannya mengatasi trauma para tentara, Lionel yang sudah memiliki data yang bisa digunakan untuk mengatasi suatu persoalan (affluency), memanfaatkan data tersebut untuk kepentingannya. Di sini terlihat juga fleksibilitasnya dalam berpikir (flexibility).

(16)

tidak sopan atau menunjukkan pemberontakan, atau justru dilatarbelakangi ketidaktahuan. Lionel yang sudah tahu sifat Albert, kedudukannya, dan harga dirinya, sudah memprediksi reaksi sang raja, yang pada dasarnya adalah orang yang cenderung menghindari konflik karena tidak percaya dengan dirinya sendiri. Ia tahu sang raja akan tersinggung dan marah, tetapi takkan memanggil penjaga dan menyeretnya turun. Ia tahu sang raja akan mengemukakan alasan demi alasan dengan suara gagap, yang menunjukkan keengganannya untuk berdebat dengan orang yang selama ini ia percaya. Lionel menunjukkan kekeraskepalaannya dengan mendebat setiap perkataan raja untuk memancing amarahnya, agar sang raja bertindak sesuai dorongan id dari alam bawah sadarnya dengan mengabaikan superegonya. Lionel sudah terlebih dahulu tahu bahwa kegagapan sang raja berasal dari kondisi psikologisnya. Dengan melepaskan dorongan naluriahnya, tanpa dibatasi nilai-nilai etika yang dipelajarinya sebagai anggota keluarga kerajaan dan mengendap sebagai superego dalam alam pikiran bawah sadarnya, sesungguhnya sang raja dapat mengeluarkan potensi yang tidak ia sadari.

Kedua adalah konsep Janusian Thinking yang menyatakan bahwa individu yang kreatif dapat menemukan persamaan dari hal-hal yang berbeda. Hal ini tampak ketika Lionel menganalogikan kondisi mental raja yang mengalami kondisi traumatis yang membuatnya bicara gagap dengan para prajurit perang. Bahkan perbandingan ini bersifat lebih besar, karena kondisi traumatis yang dialami korban perang tentunya lebih berat, yang bahkan membuat mereka tak dapat bicara. Dengan mengemukakan contoh ini, Lionel menyatakan bahwa ia pernah mengatasi kasus yang lebih berat demi mendapatkan kembali kepercayaan sang raja.

(17)

Setiap perkataan Lionel yang diucapkan saat mendebat raja tampak spontan dan tidak sopan, tetapi sesungguhnya hal ini dilakukan dengan pertimbangan yang matang, dengan tujuan akhir yang jelas yakni tersadarnya raja akan potensi yang ia miliki. Konsep berpikir Janusian juga tampak di sini, karena pada dasarnya upaya membersihkan diri dari tuduhan dan melakukan tindakan yang melanggar etika adalah hal yang sepenuhnya bertentangan, tetapi Lionel dapat melihat bahwa ekstremnya kondisi tersebut dapat dimanfaatkan untuk kepentingannya.

Contoh lain dari penerapan Janusian Thinking adalah ketika Lionel dengan sengaja memancing Albert mengeluarkan hasrat terdalamnya sehubungan dengan naiknya sang kakak sebagai raja. Lionel menyudutkan sang pangeran untuk menyatakan keinginannya menjadi raja menggantikan kakaknya, karena ia memang menganggap sang kakak sudah melakukan hal yang tidak pantas dengan ingin menikahi janda yang sudah dua kali bercerai, dan bahwa ayahnya pun menginginkan hal yang sama. Tetapi dorongan id ini selalu berusaha ditekan dengan menonjolkan superegonya, yakni dengan pertimbangan moral bahwa ia sebagai adik tidak pantas merebut takhta milik sang kakak. Pertimbangan lain, bahwa ia tidak memiliki kemampuan bicara seperti sang kakak, yang lahir dari rasa inferiornya, juga menekan hasrat itu.

Seharusnya, sebagai teman, sangat tidak pantas bagi Lionel untuk melakukan hal yang bisa dianggap sebagai penghasutan dan pemberontakan. Namun, tindakan Lionel ini sesungguhnya bukan untuk mempropagandai sang pangeran demi menempatkan dirinya di tempat terhormat sebagai mentor raja, tetapi murni karena kebutuhan mengatasi konflik batin pada diri sang pasien. Lionel melihat bahwa tekanan id dan superego yang sangat kuat pada alam bawah sadar Albert menimbulkan keraguan dan rasa beban dalam hatinya, yang berpengaruh pada kegugupan dan kegagapannya dalam bicara. Dengan membiarkan dirinya melontarkan hasrat id-nya, sesungguhnya sang pangeran dapat mengurangi beban dalam dirinya.

(18)

‘menyanyikan’ dan ‘menarikan’ isi pidato yang akan dibawakannya pada siaran radio di akhir film.

Dengan proyeksi pola berpikir divergen dan Janusian Thinking, Lionel dapat memperbaiki sifat gagap sang raja. Ia memang tidak mengobati seluruhnya, tetapi ia justru dapat melatih agar kegagapan itu dialihkan dalam bentuk jeda yang berhenti pada saat yang tepat dalam pidato. Saat sang raja membacakan pidato pada masa perang, ia dapat mengubah kelemahan raja menjadi kekuatan, yakni aset untuk membuat pidato tampak agung, khidmat, dan meningkatkan ketegangan justru dengan mengatur jeda waktu pidato tersebut. Pidato George VI yang syahdu dan tegang menjadi kontradiktif dengan pidato Hitler yang berapi-api, yang justru menjadikan George VI sebagai lambang resistansi Inggris terhadap supremasi dan agresi Jerman terhadap negara-negara Eropa lain pada masanya.

5. KESIMPULAN

Teori-teori psikoanalisa dapat dipakai untuk menjelaskan karakter dan tindakan para tokoh yang membangun alur cerita dalam sebuah film. Dalam pembahasan mengenai karakter George VI dan Lionel Logue dalam The King’s Speech, dapat digunakan dua pendekatan yang berbeda, yakni pendekatan psikoanalisa untuk melihat landasan terbentuknya karakter George VI dan pendekatan kreativitas

athypical thinking untuk melihat tindakan Lionel Logue.

Teori psikoanalisa mengenai dorongan naluri, pembentukan kepribadian pada masa

golden ages, dan teori inferiority feeling dapat dipakai untuk menjelaskan karakter dan sifat Raja George VI yang cenderung mudah gugup dan gaya bicaranya yang gagap. Kegagapannya merupakan refleksi dari perasaan rendah diri akibat akumulasi perlakuan-perlakuan negative sejak ia kecil, yang tidak menemukan jalan pelampiasan. Setelah melakukan latihan yang memberi jalan untuk mengeluarkan hasrat id-nya, sang raja dapat memperbaiki citra diri dan tercermin dalam gaya bicaranya yang membaik.

(19)

individu kreatif yang memenuhi setidaknya cirri-ciri dari tiga teori cara berpikir tidak biasa, yakni Divergen Thinking, Remote Associate Test, dan Janusian Thinking.

REFERENSI

Dhublin, Chaplain Paul G. n.d. Alfred Adler's Understanding of Inferiority. Dalam Infinity Institute. Diambil dari http://www.infinityinst.com/articles/alfred_adler.htm

Damajanti, Irma. 2011. Materi Perkuliahan Psikologi Seni Januari-Maret 2011.

King George VI of England. n.d. Dalam Wikipedia. Diambil dari http://en.wikipedia.org/

wiki/File:King_George_VI_of_England,_formal_photo_portrait,_circa_1940-1946.jpg

Lionel Logue. n.d. Dalam Wikipedia. Diambil dari http://en.wikipedia.org/wiki/Lionel_Logue. George VI of the United Kingdom. n.d. Dalam Wikipedia. Diambil dari

http://en.wikipedia.org/wiki/ George_VI_of_the_United_Kingdom

Review. n.d. Dalam The King’s Speech. Diambil dari www.kingsspeech.com

The King’s Speech. n.d. Dalam Movie’s Review. Diambil dari http://www.imdb.com/title/tt1504320/

Fakta Orang yang Kidal. n.d. dalam Maulana Nusantara. Diambil dari

http://maulanusantara.wordpress.com/ 2010/ 08/ 23/fakta-orang-yang-kidal/

Referensi

Dokumen terkait

Pekerja di PT Bengkalis Kuda Laut memiliki keterbatasan pengetahuan dalam melaporkan kejadian yang telah mereka alami, sehingga ini menjadi hambatan merek dalam

1) Leksem [sapu]V, [tati]V, dan [maladaɁ]Adj dibentuk di PPK melalui proses reduplikasi dan menurunkan kata ulang penuh, yaitu [sapu-sapu]V, [tati-tati]V, dan

Menu soal latihan dan pembahasan menyajikan paket-paket soal yang mempunyai tingkat kesulitan berbeda dalam bentuk pilihan ganda, dan masing-masing paket soal dilengkapi

Tes ini memberikan gambaran adanya infeksi saluran kemih, batu ginjal atau saluran kemih, nefritis, keganasan atau penyakit hati. Tidak ada tipe urin cast tertentu yang

Sesuai dengan hasil penelitian dan pengolahan data yang dilakukan, diperoleh besarnya pengaruh gaya kepemimpinan, komitmen, kepuasan kerja secara bersama-sama terhadap

Pendapat tersebut sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Denis et al., (2015) menyatakan bahwa model pembelajaran perubahan konseptual merupakan suatu model

Novel atau cerita pendek sebagai bagian bentuk sastra, merupakan jagad realita yang didalamnya terjadi peristiwa dan perilaku yang dialami dan diperbuat

Pengujian pada tampilan input data mahasiswa menjelaskan pengujian yang dilakukan untuk input data mahasiswa yang terdapat pada aplikasi agar ketika aplikasi