• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pemikiran Politik Islam Pascasarjana Ilm

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Pemikiran Politik Islam Pascasarjana Ilm"

Copied!
27
0
0

Teks penuh

(1)

1

PEMIKIRAN POLITIK WAHABI-SALAFI:

MEMAHAMI ORIENTASI POLITIK GERAKAN

WAHABIYAH DAN AKAR TERORISME

Oleh:

Mouliza Kristhopher Donna S

Nofia Fitri

I. Latar Belakang Masalah

Sejarah Islam mencatat bahwa abad ke-13M merupakan awal dari abad kegelapan dunia

Islam. Hal ini dapat dilihat dari jatuhnya Baghdad pada pertengahan abad ke-13M ke tangan

Khulagu Khan yang mana kejatuhan peradaban Islam di Baghdad ini sekaligus menandai

berakhirnya riwayat dinasti Abbasiyah.1 Lebih kurang lima abad kemudian, yaitu pada abad

ke-18M, dunia Islam mencapai kemundurannya sampai titik terendah. Kemunduran dunia

Islam ini ditengarai dengan menurunnya kekuasaan tiga kerajaan Islam yang muncul

pasca-keruntuhan Abbasiyah, yaitu Dinasti Utsmani di Turki, Kerajaan Safawi di Persia, dan

Kerajaan Mughal di India.

Terdapat beberapa faktor yang menyebabkan kemunduran dunia Islam pada masa

ini. Beberapa di antaranya bahkan merupakan konsekuensi dari perkembangan pemikiran

pada masa kejayaan Islam yang sayangnya membuat beberapa pihak justru tidak

menyelaraskannya dengan fondasi ajaran Islam yang baik dan benar. Kemajuan ilmu

pengetahuan dan keterbukaan dalam dunia Islam telah menyeret kaum muslimin untuk ikut

(2)

2

pula memasyarakatkan ajaran filsafat yunani dan romawi. Selain itu, pengaruh mistik

platonik dari budaya Rusia ikut menimbulkan pengaruh negatif pada ajaran Islam.

Puncaknya adalah berbagai macam kebatilan dan takhyul mulai diikuti orang-orang Islam.

Wilayah Arab, sebagai tempat kelahiran Islam pun tidak luput dari pengaruh buruk tersebut.

Dampak lebih jauh dari penyimpanga ini adalah orang-orang Arab menjadi terpecah belah

karena perselisihan dan persaingan di antara suku serta mengalami kemunduran di berbagai

aspek kehidupan.2

Adanya kemunduran Islam yang dapat dilihat dari beberapa faktor di atas,

menyebabkan dunia Islam tidak hanya mengalami kemunduran dalam beberapa aspek

kehidupan sosial, politik dan ekonomi namun juga telah menciderai ajaran agama Islam itu

sendiri. Ajaran agama Islam sudah tidak murni karena tercemar oleh unsur-unsur yang

berasal dari luar Islam. Umat Islam pun semakin kehilangan arah dan identitas keislamannya

setelah konsep tarekat diperkenalkan dalam dunia Islam. Dengan adanya konsep tarekat,

umat Islam justru lebih mempercayai “perantara” daripada memohon langsung kepada Allah

SWT. Misalnya, pada masa itu syekh atau wali yang telah meninggal dunia itu dipandang

sebagai orang yang berkuasa untuk menyelesaikan segala persoalan yang dihadapi manusia

di alam ini. Karena pengaruh tarekat, permohonan dan do’a tidak lagi dipanjatkan langsung

kepada Tuhan tetapi melalui syafaat syekh atau wali tarekat sebagai orang yang bisa

mendekati Tuhan, dan bisa memperoleh rahmat-Nya. Keyakinan ini disebabkan karena

mereka menganggap dirinya sebagai orang yang kotor, dan tidak akan bisa mendekati Tuhan

kecuali dengan perantara.3

2 Diakses pada 16 November 2016 dari laman

https://www.arrahmah.com/read/2011/11/22/16492-syekh-muhammad-bin-abdul-wahhab-pejuang-tauhid-yang-memurnikan-islam.html#sthash.AXeFGfkn.dpuf

3 Salma, Abu Khasna. 2012. Sejarah Munculnya Gerakan Wahabi. Diakses pada 16 November 2016 dari

(3)

3

Melihat adanya berbagai penyimpangan dalam dunia Islam yang demikian, beberapa

reformis menyadari bahwa untuk meraih kembali kejayaan yang pernah dicapai oleh Islam

pada masa lalu, umat Islam harus memulihkan vitalitas mereka dengan kembali pada ajaran

Islam yang murni, yaitu ajaran Islam yang bersumber dari Al-Qur’an dan As-Sunnah

Rasulullah. Semangat mengembalikan Islam sesuai dengan apa yang diajarkan dalam

Al-Qur’an dan As-Sunnah inilah yang mendorong gerakan-gerakan “pembaharuan” yang

bertujuan untu melakukan pemurnian kembali ajaran agama Islam di berbagai belahan dunia

Islam sesuai dnegan teks-teks Islam. Kelompok-kelompok “pembaharu” ini berkeyakonan

bahwa hanya dengan kembali pada ajaran agama yang sesuai dengan apa yang tertulis dalam

teks-teks Islam (Al-Qur’an dan Sunnah) maka permasalahan dunia juga dapat diatasi. Salah

satu gerakan pemurnian ajaran Islam yang muncul di Timur Tengah tepatnya di Saudi

Arabia, adalah yang dipelopori oleh Ahmad Ibnu Abdul Wahab pada abad ke-18 yang

terkenal dengan gerakan Wahabi.

II.Permasalahan

Wahhabisme atau ajaran Wahabi adalah gerakan pembaharuan dan pemurnian Islam yang

muncul pada pertengahan abad 18 di Dir’iyyah sebuah dusun terpencil di Jazirah Arab, di

daerah Najd. Kata Wahabi sendiri diambil dari nama pendirinya, Muhammad Ibn

Abdul-Wahhab dari Najd, Semenanjung Arabia Menurut Hanafi (2003/198), Muhammad bin

Abdul Wahab merupakan seorang ulama pembaharuan dan ahli teologi agama Islam yang

mengetuai gerakan salafiah4. Wahabi dianggap sebagai ultra-konservatif berbanding salafi.

Ia dianggap sebagai gerakan pembaharuan, bukan suatu mazhab. Beliau sangat dipengaruhi

oleh Ahmad ibn Hanbal dan Ibn Taimiah. Selama beberapa bulan beliau merenung dan

(4)

4

mengadakan orientasi, untuk kemudian mengajarkan paham-pahamnya. Meskipun tidak

sedikit orang yang menentangnya, antara lain dari kalangan keluarganya sendiri, namun ia

mendapat pengikut yang banyak.

Kaum Wahabi mengklaim sebagai muslim yang berkiblat pada ajaran Islam yang

pure, murni. Menurut Nasir, akidah-akidah yang pokok dari aliran wahabi pada hakikatnya

memang tidak berbeda dengan apa yang dikemukakan oleh Ibnu Taimiyah. Perbedaan yang

ada hanya dalam cara melaksanakan dan menafsirkan beberapa persoalan tertentu.

Akidah-akidahnya dapat disimpulkan dalam dua bidang, yaitu bidang tauhid (pengesaan) dan bidang

bid’ah5. Inilah yang kemudian membuat mereka sering juga menamakan diri sebagai

muwahiddun, yang berarti pendukung ajaran yang memurnikan keesaan Allah (tauhid).

Sekalipun terinspirasi dari beberapa ajaran Ibn Taimiyah, akan tetapi sangat

disayangkan, Abdul Wahhab hanya mengambil sebagian apa yang menjadi panutannya dan

meninggalkan sebagian ajaran dari Ibnu Taimiyyah. Gerakan ini justru lebih contoh pada

semangat pemurnian ajaran agama Islam secara tekstual dengan merujuk pada Al-Qur’an

dan Sunnah tanpa adanya suatu upaya untuk mengaitkannya dengan konteks kekinian.

Asumsi yang dibangun oleh gerakan ini adalah dengan semangat puritan, Abdul Wahhab

hendak membebaskan Islam dari semua kerusakan yang diyakininya telah menggerogoti

agama Islam.6 Oleh karena itu, dapat dikatakan pula visi dari gerakan ini adalah untuk

mengimplementasikan ajaran Islam yang (paling) benar yang mereka asumsikan sesuai

dengan teks dalam Al-Qur’an dan Hadist secara literal.

5 Nasir, Sahilun, Pemikiran Kalam Teologi Islam, Jakarta: Rajawali Pers, 2010.

(5)

5

Dalam menjalankan gerakannya, wahabi dimotori oleh juru dakwah yang radikal,

keras, kaku, dan ekstrem. Mereka tidak segan untuk menebarkan kebencian, permusuhan,

bahkan menuduh golongan seseorang sebagai kafir, syirik dan ahli bid’ah ketika orang atau

pihak tersebut dinilai tidak menjalankan ajaran agama Islam sesuai dengan ukuran dan apa

yang dilakukan oleh kelompok ini. Oleh karena itu, perlu ditekankan di sini bahwa

pemberian label kafir, syirik, dan bid’ah pada muslim lainnya oleh kelompok ini semata

-mata hanya didasarkan pada asumsi keislaman menurut kelompok ini saja.

Mudahnya menilai pihak lain sebagai seorang kafir dan menilai ajaran agama Islam

hanya berdasarkan pada teks Al-Quran dan Sunnah secara literal, membuat beberapa ahli

mensejajarkan aliran ini dengan aliran Khawarij pada masa Ali bin Ibn Thalib. Kelompok

ini adalah kelompok yang sangat berpegang teguh pada Al-Quran secara harfiah. Kelompok

ini juga sangat mudah menganggap orang lain sebagai seorang kafir dan tidak mau

menerima segala macam bentuk nilai-nilai di luar Al-Quran.7 Bahkan kelompok ini dapat

saja membubuh siapa saja yang sudah dianggap sebagai kafir. Sekalipun beberapa tabiat

buruk Khawarij dapat saja sama dengan apa yang dilakukan oleh Wahabi, namun Wahabi

tidak bisa secara serta merta dikatakan sebagai penerus Khawarij. Bahkan menurut Hamid

Algar, Wahabi merupakan sebuah fenomena yang sama sekali baru dan tidak memiliki

pendahulu sebelumnya dalam sejarah Islam.8

Sebagai sebuah sekte yang ekstreem, kaku, dan keras yang berdasarkan pada

Al-Quran dan Sunnah secara literal, membuat aliran ini menolak adanya rasionalisme tradisi,

dan beragam khazanah intelektual Islam. Literalisme tertutup yang dipraktikkan oleh aliran

ini membuat teks-teks suci dan akhirnya Islam sendiri tidak lagi komunikatif dengan konteks

7 Azra, Azzyumardi. 1996. Fundamentalisme Islam, Survey Historis dan Doktrinal, Pergolakan Politik Islam dari Fundamentalisme, Modernisme, hingga Post Modernisme. Jakarta: Paramadina

(6)

6

para penganutnya. Islam yang semua sangat apresiatif dan penuh perasaan dalam perespon

masalah umat, di tangan Ibn Abdul Wahab berubah menjadi tidak peduli, keras, dan tidak

berperasaan. Bahkan dalam perkembangan lebih jauh, pengambilan konklusi yang tidak

sehat oleh Wahabi dalam menilai pihak lain maupun menafsirkan teks-teks suci Islam yang

demikian, menyebabkan aksi-aksi yang tidak sehat pula. Aksi-aksi ini lebih lanjut mengarah

pada distorsi dan reduksi terhadap nilai-nilai luhur Islam yang berujung pada aksi-aksi

destruktif terhadap tradisi spiritual dan intelektual islam sendiri. Terlebih tidak jarang

aksi-aksi yang dilakukan oleh aliran ini justru menunjukkan sebuah kekejaman sosial dan budaya

masyarakat Islam dalam melihat siapa saja yang berseberangan dengannya (dengan

keyakinan Wahabi). Aksi-aksi desktruktif yag dilakukan oleh kelompok ini tidak lain

mereka anggap sebagai jalan paling efektif dalam melakukan perubahan dan

mengembalikan kemurnian ajaran Islam manakala proses dialog sudah terbukti lamban

dalam melakukan perubahan.

Gerakan wahabi semakin massif manakala terjadi perjanjian Ibn Abdul Wahab

dengan Ibn Saud yang bersedia mengakomodasi penyebaran dokrin ini. Lebih lanjut, pada

tahun 1746 Wahabi-Saud secara resmi memproklamasikan jihad terhadap siapa saja yang

memiliki pemahaman tauhid yang berbeda dengan mereka. Tuduhan syirik, murtad, dan

kafir serta kekerasan pun menjadi semakin massif, karenanya, sekitar lima belas tahun dari

proklamasi tersebut, hampir seluruh jazirah Arab sudah berhasil dikuasai oleh wahabi.

Pengaruh wahabi pun makin meluas tidak hanya sebagai ideologi utama Kerajaan Arab

Saudi, namun juga hingga ke berbagai penjuru dunia termasuk Indonesia dengan dukungan

dana dan cara-cara sistematis, temasuk kekerasan dalam bentuk terror.9

9 Wahid, Abdurrahman. 2009. Ilusi Negara Islam. Ekspansi gerakan Islam Tradisional di Indonesia. Jakarta:

(7)

7

Beberapa bentuk terror yang belakang ada dan mengatasnamakan Islam, salah

satunya dapat diasosiasikan dengan ekspansi paham wahabi yang didukung oleh Pemerintah

Kerajaan Arab Saudi. Menurut KH. Abdurrahman Wahid, berbagai bentuk kekerasan yang

dilakukan oleh Wahabi dapat dianalisis dengan menggunakan dua perspektif, pertama dari

sisi Ibn Abdul Wahab, kedua dari sisi Ibn Saud. Dari sisi Ibn Abdul Wahab, bentuk

kekerasan dalam wahhabisasi global ini tidak lain memiliki tujuan yang sama dengan apa

yang ia lakukan di jazirah Arab sebelumnya, yaitu untuk memurnikan ajaran agama Islam

secara literal. Oleh karena itu, dari sisi Ibn Abdul Wahab, yang diperjuangkan dari berbagai

aksi terror adalah untuk pemahaman tertentu atas Islam yang sangat keras dan ekstrem.

Sementara itu, dilihat dari sudut pandang Ibn Saud, pandangan keagamaan yang keras dan

ekstrem dari Ibn Abdul Wahab dan para pengikutnya jelas merupakan suatu alat politik yang

ampuh dan strategis untuk melumpuhkan dan menaklukkan pihak lain yang lemah dan tidak

berdaya dalam klaim tuduhan teologis, termasuk di Indonesia yang mana kehadiran aliran

ini tidak dapat lepas dari peran Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) yang kerap kali

mengirimkan mahasiswa untuk belajar ke Timur Tengah dan kembali ke Indonesia untuk

menjadi agen-agen penyebaran ideology Wahabi Ikhwanul Muslimin di Indonesia.

Lantas, ketika gerakan Wahabi dijadikan sebagai alat politik Kejaraan Arab Saudi,

apakah aliran ini juga memiliki orientasi politik yang sejalan dengan visi kerajaan Arab

Saudi? Benarkan upaya wahabisasi global dari sudut pandang tokoh Wahabi sendiri murni

untuk memurnikan ajaran agama Islam di berbagai penjuru dunia termasuk di Indonesia?

Bagaimana aliran ini selajutnya diidentikan dengan aksi terorisme ISIS dan aksi terorisme

yang kerap terjadi di Indonesia? Pertanyaan tersebut akan penulis analisis lebih jauh dengan

(8)

8

1. Bagaimanakah doktrin dasar ajaran Wahabi yang kemudian

mempengaruhi orientasi politiknya sebagai kelompok idologis?

2. Apakah dan bagaimanakah orientasi politik tersebut mempengaruhi

gerakan wahabisasi global melalui aksi terrorisme, khususnya yang terjadi

di Indonesia?

Keseluruhan pertanyaan penelitian di atas, akan penulis uraikan dengan melakukan

studi kepustakaan dengan menggunakan literatur-literatur yang relevan dengan topik

pembahasan serta didukung oleh pisau analisis yang berkaitan dengan teori-teori tentang

Wahabisme dan Terorism.

III. Perspektif Teori

II.1 Doktrin Aliran Wahabi dan/atau Salafi

Sebagai sebuah gerakan yang bertujuan untuk melakukan pemurnian ajaran-ajaran agama

Islam sesuai dengan teks-teks suci Islam, Wahabi telah berhasil mengonstruksi standarnya

tersendiri berkaitan dengan tingkat keislaman seseorang. Standardisasi yang demikian

selanjutnya dimanifestasikan dalam beberapa doktrin utama wahabi. Secara umum tujuan

gerakan wahabi adalah mengikis habis segala bentuk takhayul, bid’ah, khurafat dan bentuk

-bentuk penyimpangan pemikiran dan praktik keagamaan umat Islam yang dinilainya telah

keluar dari ajaran Islam yang sebenarnya.

Diantara larangan-larangan Wahabi yang kami rangkum dari berbagai sumber:

1. Yang boleh dan harus disembah adalah Tuhan, dan orang yang menyembah selain

(9)

9

2. Kebanyakan orang Islam bukan lagi penganut paham tauhid yang sebenarnya

karena meminta pertolongan bukan lagi dari Tuhan, malainkan dari syekh atau wali

dan dari kekuatan ghaib, dan orang Islam yang demikian juga telah menjadi

musyrik;

3. Menyebut nama nabi, malaikat atau syekh sebagai perantara dalam do’a juga

merupakan syirik;

4. Meminta syafaat selain kepada Tuhan adalah juga syirik;

5. Bernazar selain kepada Tuhan juga merupakan syirik;

6. Memperoleh pengetahuan selain dari Al-Qur’an dan Hadist merupakan kekufuran;

7. Tidak percaya kepada qada dan qadar Tuhan juga merupakan kekufuran;

8. Menafsirkan Al-Qur’an dengan takwil adalah kafir.

Dalam memahami Wahabi, penting untuk membedakan antara Wahabi dengan

Salafi, meskipun diantara keduanya memiliki keterikatan yang kuat. Istilah Salafi lahir

sebagai pengidentifikasian dari sebuah begarak memurnikan Islam sesuai ajaran Nabi

Muhammad dan para sahabat. Salafi yang berasal dari kata “Salaf” berarti “yang terdahulu”

adalah mereka yang termasuk sahabat nabi, tabiin, dan tabiut tabiin.10 Salafi ini dimasukan

sebagai golongan ahlul sunah karena rujukannya kepada ajaran Islam murni sebagaimana

diwariskan oleh Nabi Muhammad SAW sebagai sunahnya. Sementara yang menyamakan

Salafi dengan Wahabi yang pengikut ajaran Wahab adalah sama-sama gerakan permunian

Islam.

10

(10)

10 II.2 Teori Radikalisme dan Terorisme

Ideologi yang mendasari aksi Terorisme, tumbuh dan berkembang dari akar radikalisme.

Dalam perkambangannya, radikalisme mendapat tempat di Indonesia karena radikalisasi

yang terjadi disegala lini kehidupan. Radikalisme kemudian dianggap sebagai akar ideologi

terorisme dan menjadi persoalan pelik bangsa.

Radikalisme memang berbeda dengan terorisme, namun radikalisme dianggap

sebagai akar tumbuh dan berkembangnya prilaku militant yang berujung kepada terorisme

itu sendiri. Menurut Syafii Mufid, diantara indikator tingkat radikalisme adalah:

1. Benci kepada Pemerintah kaarena tidak menjalankan syariat Islam

2. Menolak menyanyikan lagu kebangsaan dan pernghormatan kepada bendera

3. Ikatan emosional kelompok lebih kuat daripada ikatan emosional keluarga

4. Kaderisasi yang tertutup

5. Memiliki model penebusan dosa

6. Mencolok dalam berpenampilan yang menunjukan relijiusitas

7. Menganggap oaring-orang diluar mereka fasik atau kafir

8. Menutup diri dari wawasan diluar kelompoknya11

Jika mengacu kepada situasional politik, definisi terorisme oleh Schmid dan

Jongman idealnya jauh lebih mengena, dimana mereka menyebut terorisme sebagai “suatu

metode yang terinspirasi dari kegelisahan atas tindakan kejam yang dilakukan

berulang-ulang, yang digunakan oleh seseorang, kelompok atau pelaku yang memiliki kekuatan yang

sifatnya (semi rahasia), karena alasan tabiat, kriminal atau politik, dimana –berlawanan

(11)

11

dengan pembunuhan- sasaran langsung kekerasan bukanlah sasaran utama.”12 Sementara

itu, definisi Paul Jhonson kerap dipakai beberapa negara dalam merumuskan kebijakan

negara dalam mengatasi terorisme, dimana ia mendefinisikan terorisme sebagai:

“...pembunuhan dengan sengaja yang direncanakan secara sistematik, sehingga mengakibatkan cacat dan merenggut atau mengancam jiwa orang yang tidak bersalah, sehingga menimbulkan ketakutan umum, semata-mata demi mencapai tujuan politik, terorisme adalah suatu kejahatan politik, yang dari segi apapun merupakan kejahatan dan dalam artian secara keseluruhan adalah merupakan

kejahatan.”13

Dalam merespon cepat aksi terorisme di Indonesia pada awal kemunculannya,

Pemerintah ketika itu mempertimbangkan bahwa:14

“Terorisme merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan dan peradaban serta merupakan salahsatu ancaman serius terhadap kedaulatan setiap negara karena terorisme sudah merupakan kejahatan yang bersifat internasional yang menimbulkan bahaya terhadap keamanan, perdamaian dunia serta merugikan kesejahteraan masyarakat sehingga perlu dilakukan pemberantasan secara berencana dan berkesinambungan sehingga hak asasi orang banyak dapat dilindungi dan dijunjung tinggi.”

IV. Hasil dan Pembahasan

IV.1 Doktrin-doktrin Wahabi dan Radikalisme

Diantara doktrin Wahabi yang dapat menjadi akar justifikasi betapa terorisme

melekat erat dengan paham ini adalah keyakinan sebagai ajaran Islam yang paling benar,

menuduh pihak lain yang tidak sejalan dengan mereka sebagai bid’ah, murtad, musrik dan

kafir. Mereka meyakini bahwa kaum yang bersebrangan adalah musuh Sunnah dan tauhid.

12 Schmid dan Jongman dalam Petrus Reinhard Golose, Deradikalisasi Terorisme (cetakan ke-1), Jakarta:

Penerbit Yayasan Pengembangan Kajian Ilmu Kepolisian, 2009. Hlm. 3

13 Paul Johnson dalam A.M. Hendropriyono, Terorisme, Jakarta: Penerbit Buku Kompas (cetakan ke-1), 2009.,

hlm. 26

14 R. Wiyono, Pembahasan Undang Undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, Jakarta: Sinar Grafika,

(12)

12

Doktrin ini disinyalir sebagai bibit-bibit terorisme, apalagi dengan anggapan bahwa ketika

ada orang yang tidak sepaham dianggap sebagai musuh Islam dan halal darahnya.

Terorisme bagi banyak kalangan, muncul akibat pemahaman atas agama yang

ekslusif dan kitab suci yang skriptualis, atau yang disebut dengan fundamentalisme agama.

Sulit memang untuk kemudian menegaskan ketidakkaburan ajaran Wahabi yang juga

mentafsirkan Al-Quran secara fundamental tanpa melihat kepada konteks kekinian. Diera

wahabi berkembang, gerakan-gerakan dakwah yang radikal dan didukung oleh penguasa

memang menggunakan kekerasan dalam upaya mereka menyebar paham, termasuk merusak

desa, merampok sampai membunuh kaum yang menurut mereka Muslim namun tidak

mengacu kepada Al-Quran dan Sunnah.

Radikalisme ketika menjelma menjadi sebuah gerakan, maka akan menjadi semacam

pendekatan non-kompromis terhadap persoalan sosial, politik dan ekonomi yang ditandai

oleh ketidakpuasan terhadap status quo dan keinginan akan adanya perubahan yang cepat,

dengan cara yang ekstrim. Apa yang kemudian mendekatkan istilah radikalisme dengan

Wahabiyaah, adalah akar sejarah dari gerakan kaum Khawarij yang dilandasi oleh semangat

nilai dan pemahaman keagamaan yang ultra-konservatif. 15 Kaum Khawarij menegaskan

bahwa segala sesuatu yang tidak sesuai dengan ketentuan Allah adalah dosa besar, masuk

ke dalam golongan fasik, dhalim dan kafir.16

IV.2 Radikalisme dan Terorisme

Terorisme adalah sebuah bahaya laten, paling tidak inilah anggapan dari banyak

pihak, bahwa meluasnya perngaruh paham-paham radikal yang diimpor dari luar cukup

15 Achmad Jainuri, Radikalisme dan Terorisme: Akar Ideologi dan Tuntutan Aksi. Malang: Intrans

Publishingm 2016., hal. 7

(13)

13

memberi nuansa tersendiri bagi kehidupan beragama di Indonesia. Terorisme dianggap

sebagai bagian dari gerakan radikalisme yang paling mutakhir di abad ini, telah mencapai

puncak ancaman peradaban. Hal ini natara lain dapat dijelaskan dari pemetaan kelompok

Islam radikal di Indonesia seperti apa yang dikemukakan oleh Al Chaidar. Menurutnya, di

luar dari adanya dua kelompok Islam besar di Indonesia, yaitu NU dan Muhammadiyah,

kedua kelompok ini yang tidak terpaku pada ajaran tradisional maupun modern terdapat

kelompok Islam Sempalan yang antara lain terdiri dari kelompok fundamentalis, radikal,

dan teroris. Hubungan di antara ketiga kelompok ini ia jelaskan tidak terpisak satu sama lain

terutama dalam menciptakan kelompok Islam teroris. Menurutnya, kaum teroris bukanlah

kelompok baru dalam dunia pergerakan radikal dan fundamentalis Indonesia. Kaum teroris

adalah gabungan dari inti ajaran fundamentalis dan radikal yang bertemu dalam satu titik

perencanaan perang melawan kezaliman.17 Kaitannya dengan ajaran Wahabi, gerakan ini

adalah bagian dari gerakan islam fundamentalis dan islam radikal yang mulai disebarkan di

seluruh dunia yang mana banyak ajaran dari aliran ini menjadi ideology dasar bagi para

pelaku terror di berbagai dunia. Dillon dalam hasil penelitiannya bahkan menjelaskan bahwa

wahabi adalah fasilitator dari berbagai tindakan Islam yang ekstrim sekalipun ia juga

menyatakan bahwa sayangnya belum terdapat bukti-bukti yang kuat yang menyatakan

bahwa wahabi adalah contributor langsung dari berbagai tindakan ekstrim di dunia.18

Persoalan selanjutnya adalah, ketika wahabi adalah bagian dari Islam, lalu apakah

terorisme adalah Islam? Ya, bahwa mereka pelaku teroris memang beridentitas sebagai

penganut ajaran Islam, namun apakah Islam adalah teroris, jelas harus ditolak. Persoalan

17

Al-Chaidar. (n.d). Pemetaan Kelompok Islam Radikal Dan Islam Fundamentalis Di Indonesia. Laporan Penelitian. Aceh: Universitas Malikusaleh.

18 Dillon, Michael. 2009. Wahabism. Is it a factor in The Spread of Global Terrorism?. United States Naval

(14)

14

menjustifikasi Islam sebagai teroris telah membawa para muslim itu sendiri untuk

mengkritisi apa yang terjadi pada tubuh Islam rupanya. Upaya mencari titik persoalan itu

pun bermuara kepada beberapa doktrin-doktrin keagamaan dalam sebuah aliran di Islam

yang mengarah kepada radikalisme, yaitu Wahabi-Salafi yang Takfiri atau mengkafirkan

orang lain.

Bagi beberapa kalangan, kemunculan teroris dianggap sebagai kebangkitan kaum

Khawarij. Mereka yang muncul di abad modern dengan bentuk serangan baru terhadap

Islam. Apa yang disebut sebagai neo-khawarij ini menjelma menjadi gerakan berbahaya

yang mengancam umat Islam dan akidah Islam.19 Dalam dakwahnya, gerakan wahabiyah

yang memiliki tabiat hampir sama dengan khawarij ini mengkafirkan setiap orang yang

menantang dakwah mereka, mengkafirkan setiap orang yang bertawassul kepada Allah

dengan kemuliaan para nabi, para wali, orang-orang shalil dan lainnya. Mufti Mekah Syekh

Ahmad Zaini Dahlan menyebut bahwa kaum Wahabiyah adalah fitnah bagi Islam dimana

mereka telah melakukan serangkaian kejahatan yang sadis, tidak seorangpun yang selamat

dari kejahatan mereka, baik orang tua, perempuan, anak kecil yang baru dilahirkan dalam

sebuah peristiwa penyerangan al Haramain, dimana mereka bukannya menegakkan tanah

yang mulia. Mereka kala itu justru merampok harta penduduk, memperkosa perempuan,

membunuh ulama.20

“Ketika orang-orang Wahabi masuk Thaif, mereka benar-benar membunuh manusia secara massal dan membantai yang tua, kecil, rakyat dan gubernur, yang berpangkat dan yang hina, bahkan mereka menyembelih bayi yang masih menyusu di hadapan ibunya. Mereka masuk ke rumah-rumah, mengeluarkan penghuni rumah dan membunuhnya. Kemudian mereka mendapatkan sekelompok orang yang sedang

belajar Qur’an maka mereka membunuh seluruhnya dan mereka menyisir setiap kedai dan masjid, dan membunuh setiap orang didalamnya. Mereka juga membunuh

19 Syekh Fathi Al Mishri Al Azhari, Radikalisme Sekte Wahabiyah, Mengurai Sejarah dan Pemikiran

Wahabiyah. Tangerang: Pustaka Asy’ari, 2010., hal. 9

(15)

15

seorang laki-laki yang sedang rukuk atau sujud dalam masjid sehingga mereka

semua binasa.”21

Perilaku-perilaku tersebut diatas dapat kita kaitkan dengan apa yang “dijiplak” oleh

kelompok teroris ISIS saat ini. Kebobrokan dimasa lalu yang dihidupkan kembali melalui

klaim “jihad Islam” untuk membentuk negara Islam sebagaimana aksi yang dihidupkan

ISIS.

IV.3 Doktrin Wahabi-Salafi dan Teroris ISIS

Ketika membahas ISIS atau Islamic State in Iraq and Syria, kita kerap mendapatkan

bagaimana kelompok garis keras nan radikal yang dilabel teroris oleh dunia internasional

ini dikaitkan dengan ajaran Salafi-Wahabi Takfiri. ISIS yang mengklaim berada dibelakang

berbagai aksi pengeboman di banyak negara ini menyebut diri sebagai Muslim yang

bertujuan untuk mendirikan sebuah negara Islam. Dibawah pimpinan Abu Bakar

Al-Baghdadi, ISIS mendeklarasikan berdirinya sebuah “negara baru” dengan nama “Islamic

State” atau “Daulah Islamiyah” pada Juni 2014. Menurut beberapa kalangan, ISIS yang

dianggap sebagai produk salafi dan beridologi Wahabi sebetulnya menuai berbagai

dukungan ekonomi, baik dari barat maupun negara Islam sendiri, yaitu Saudi Arabia dan

Amerika sekutunya.

Beberapa sumber menyebut bahwa ISIS berdasarkan lokasi dan asal pelakunya,

kemungkinan besar adalah anak turunan sekte Khawarij.22 Khawarij akan menggunakan

wacana keagamanaan serta slogan Islam, untuk tujuan mereka yang tidak lain adalah

21 Ibid.

22 Reno Muhammad, ISIS: Mengungkap Fakta Terorisme Berlabel Islam, Jakarta: Noura Books, 2014., hal.

(16)

16

kejahatan. Keidentikan yang kuat antara kaum khawarij dan wahabi kemudian mengantar

analisis ini kepada pertanyaan apakah ISIS adalah Wahabi?

Pada bulan Juli 2013, parlemen Eropa dan Mufti Arab Saudi mengeluarkan

statement bahwa Wahabi adalah sumber dari fenomena terorisme global. 23 Model dakwah

dengan kekerasan yang dilakukan pengikut abdul Wahab tersebut dianggap telah

menginspirasi model perjuangan ISIS dalam mendirikan sebuah negara islam. Kesamaan

dalam mengkafirkan orang lain, bahkan sesama muslim sendiri adalah karakter yang sangat

melekat. Sheikh Aadel Al-Kalbani, iman Masjid Besar Mekah mengumumkan bahwa ISIS

adalah hasil dari Salafi, karenanya Salafi harus melakukan perubahan dalam doktrin

internalnya.24 Ditegaskan Al-Kalbani bahwa segala bentuk cacian yang harus diterima

kaum Muslim, pengidentikan Islam pada Teroris serta berbagai macam tekanan yang

dirasakan oleh anak cucu kita karena tuduhan terorisme yang dialamatkan kepada Islam

adalah karena paham Salafi. 25

Shukla dalam Wahhabism and Global Terrorism menyebut bahwa paham Wahabi

sebagai Ideologi berkontribusi besar kepada pembentukan geopolitik yang nyata tentang

kepentingan akan minyak, karena itu dibentuklah ISIS. Bahwa untuk penguasaan akan

minyak di tanah arab, sebuah ideologi extreme diperlukan untuk menjadi legitimasi

kekerasan dalam perebutan wilayah kekuasaan minyak. Karenanya ideologi wahabi

dikembangkan dengan modal besar untuk diberdayakan di negara-negara yang belum

didominasi Saudi seperti Irak, Syria dan Libanon. Kelompok teroris ISIS dari perluasan

23

http://www.newstatesman.com/world-affairs/2014/11/wahhabism-isis-how-saudi-arabia-exported-main-source-global-terrorism diakses pada 16 November 2016.

24 http://islam.hilmi.eu/senior-saudi-salafi-cleric-isis-is-a-true-product-of-salafism/ diakses pada 16

November 2016.

25 August 24, Al-Kalbani, “Is Terrorism A Salafi Product? Al-Riyadh Magazine. diakses pada 16 November

(17)

17

paham wahabi di tiga negara tersebut dibentuk untuk menjadi pemberontak yang nantinya

bertugas melawan rezim berkuasa.26

IV.4 Wahabi dan Terorisme di Indonesia

Tidak sedikit sumber-sumber sejarah yang menyebut bahwa akar persoalan

dikalangan umat Islam sehingga diidentikan dengan teroris adalah tumbuh kembangnya

paham-paham radikal di antara aliran-aliran dalam Islam itu sendiri. Hal in menjadi

persoalan yang sangat krusial untuk diselesaikan para pemimpin dalam Islam. Karena

persoalan inilah, kelompok Wahabi kemudian kerap diidentikan sebagai kelompok teroris.

Memang dinegara-negara muslim, bukan hal yang mudah bagi pengikut Salafi untuk bisa

memperoleh tempat dalam membangun keyakinannya, dikarenakan sifat fundamentalistik

yang sangat kuat dalam ajaran mereka.

Dengan pisau psikologi analitik, Yudian Wahyudi mengetengahkan sebentuk corak

ketidaksadaran kolektif kaum Wahabis yang tersembunyi di balik ideologi mereka yang

kaku dan naif, yakni “rasa kalah” (sense of loseness) terhadap modernisme dan peradaban

Barat yang mereka lihat sebagai biang keladi tenggelamnya peradaban Islam. Modernisme

telah membawakan perbenturan nilai yang teramat keras dalam segala level kehidupan, dan

efek psikologisnya pun bisa sangat besar. Kalau merasa kalah, biasanya manusia akan

merasa frustrasi. Selanjutnya akan muncul agresivitas yang menjadi urat akar paham

oposisionalisme dalam gerakan mereka.27 Analisis yang demikianlah yang menjadi salah

satu hal menguatkan adanya kedekatan antara Wahabi dan gerakan Terorisme. Bahkan di

26 Anshumali Shukla, Wahhabism and Global Terrorism, Internasional Journal of Innovation and Applied

Studies, vo. 9, No. 4 Dec 2014, pp 1521-1530.

(18)

18

Indonesia, menurut banyak ulama, para pelaku teroris dicetak oleh pesantren-pesantren

Salafi.

Blanchard dalam menelitiannya, menemukan kecurigaan bahwa pesantren-pesantren

ini didanai oleh Pemerintah Arab Saudi sebagai bentuk penyebaran paham wahabi ke

seluruh dunia.28 Tentu saja, dalam sebuah penelitian yang komprehensif, kita tidak dapat

menutup mata dari sebuah fakta sejarah bahwa wahabiisme terbentuk berkat support

Pemerintah Inggris yang kala itu memiliki misi terhadap kebangkitan Islam.

“next to Al-Shaykiyyah, the colonizer created another extreme sunni group called al-wahabiyyah. The British found in Muhammad Abd Al Wahab many attirbutes such as the love of glory, immorality, and extreme views so; they came to realisze that he is the right persons to establish the group they wanted. Thus, they started following him step until they found the right opportunity; hence they pointed out to him, the birth of the new faith. Afterwards, they ordered him to concur with another well-known agent of the seasoned British colonizer that is Suud bin Abdul Aziz, and they provided them with the required means to attract follower.”

Fakta bahwa radikalisme adalah akar teroris sepertinya sesuatu yang tidak dapat

ditolak. Kenyataan bahwa membiarkan radikalisme berkembang dapat menyebabkan

meluasnya pengaruh kelompok-kelompok teroris dalam merekrut dukungan sudah tidak

dapat ditampik. Menurut ketua PB NU, Said Agil Siradj, gerakan wahabi di Indonesia adalah

gerakan yang rapih, jika dibandingkan dengan gerakan wahabi diluar negeri yang kentara.

Model gerakan yang tersistem, massif dan terstruktur, dimana jiwa dan harta dikorbankan

agar ajaran wahabi dapat berkembang dan besar.

Dilihat dari akar sejarah penetrasi aliran Wahabi di Indonesia, pemikirian puritanisme

Wahabiyyah mulai menjamur sejak akhir abad ke-18. Yang kali pertama terpengaruhi adalah

kaum Paderi di Sumatera. Ini berawal pada 1803, saat tiga haji, yaitu Hadji Miskin dari

28 Christoper M. Blancard, The Islamic Traditions of Wahabism and Salafiyya, CRS Report for Congress,

(19)

19

Pandai Sikat (Luhak Agam), Hadji Sumanik dari Luhak Tanah Datar, dan Hadji Piabang

berangkat ke Makkah dan mengalami pencerapan diskursif dengan karakter kota Makkah

yang saat itu mengalami perubahan politik yang amat hebat karena serangan kaum Wahabi.

Kemungkinan besar saat itu Wahabisme tengah menguasai Makkah dengan telak.

Karenanya tiga haji tersebut terpukau dengan ajaran-ajarannya yang tampak menjanjikan

kemurnian absolut dalam beragama Islam. Hal inilah yang kemudian menjadikan mereka

kerap kali di identikan sebagai agen-agen Wahabi di Indonesia. Pola yang demikian, yaitu

mengirim pemuda untuk belajar di Arab Saudi melalui DDII kemudian kembali ke Indonesia

(dimungkinkan) sebagai agen-agen Wahabi terus berlanjut hingga saat ini.

Aliran garis keras wahabi di berbaga negara termasuk di Indonesia, tidak lepas dari

adanya perkawinan antara Wahabi dan Ikhwanul Muslimin. Pada dekade 60-an, perkawinan

antara Wahabi-Ikhwanul Muslimin terjadi dan melahirkan keturunan gerakan garis keras

yang banyak di seluruh dunia termasuk di Indonesia dengan komposisi tunjangan dana yang

besar (wahabi) dan kelompok intelektual (ikhwanul muslimin). Dedake 80-an wahabisasi

global ini semakin bergerak jauh lebih cepat. Hal ini dilaksanakan melalui yayasan-yayasan

wahabi seperti salah satunya Al-Haramain yang menjadi terkenal saat PBB menyebutnya

sebagai terrorist-funding entity yang membiayai banyak aksi terror di dunia termasuk

Indonesia yang diwakili oleh gerakan Jamaah Islamiyah (JI), salah satu aliran Islam garis

keras di Indonesia yang didirikan oleh Abdullah Sungkar dan Abi Bakar Baasyir yang

memiliki kaitan erat dengan Al-Qaeda, salah satu bentuk lain dari perwakinan

Wahabi-Ikhwanul Muslimin.

Sebagai salah satu bentuk aliran garis keras Islam, JI berjuang untuk melenyapkan

NKRI dan menggantinya dengan khalifah internasional. JI juga dikabarkan bertanggung

(20)

20

Bali, Bom Bandara Soeta, Bom di berbagai gereja, usaha pembunuhan Duta Besar Filipina,

serta Bom di Masjid Istiqlal berskala kecil. Bahkan hingga saat ini infiltrasi aliran Islam

garis keras di Indonesia masih berjalan secara massif, sistematis, dan terencana dengan

dukungan dana yang luar biasa. Pola-pola penetrasi mereka dilakukan dengan beragam cara,

baik melalui dialog intelektual di kampus-kampus, penerbitan literature-literatur tentang

ideology wahabi, melalui proyek-proyek LSM, bahkan hingga cara-cara ringan yang tidak

pernah terpikirkan, yaitu layanan kebersihan.29 Oleh karena semakin massifnya penetrasi

aliran ini di Indonesia, maka hal inipun menjadi Pekerjaan Rumah bagi para pemuka agama

di Indonesia pada khususnya dan pemerintah pada umumnya. Bahkan tidak jarang ideology

yang dibawa aliran ini dapat dikatakan sebagai ideology perusak yang dapat menyebabkan

perpecahan umat dimana ideologi ini melegitimasi pengeboman, dan aksi terror lain.

“Aksi teroris di Hotel JW Marriott dan Hotel Ritz Carlton menoreh luka berat di hati Umat Islam, karena terbukti para pelakunya adalah para aktifis masjid, lulusan

pesantren, juru da’wah dan di masyarakat dikenal orang sopan santun, lemah lembut,

pendiam dan tidak banyak tingkah, ternyata mereka adalah orang yang sadis, yang tidak mengenal kemanusiaan membunuh manusia dengan bom bunuh diri, hal ini benar-benar mencoreng nama baik Umat dan merusak indahnya syariat Islam.”30

Lebih lanjut melihat pergerakan wahabi di Indonesia yang demikian dalam satu

pernyataan, ketua PBNU Said Agil Siadj mengatakan tentang kondisi Indonesia dan darurat

wahabi:

“Ada dua puluh pesantren, semuaya Wahabi. Wahabi memang bukan teroris, tapi ajarannya ekstreem. Kita ini semuanya dianggap bida’ah dan musyrik karena

menurut mereka Maulid Nabi itu bid’ah, ziarah kubur musyrik, haul musrik, dan semuanya masuk neraka. Kami khawatir murid mereka memahami begitu boleh

dibunuh orang ini karena kerjaannya musrik semua.”31

29 Wahid. Op Cit. Hlm. 91-97

30 https://muslim.or.id/1276-wahabisme-versus-terorisme.html diakses pada 16 November 2016.

31 https://manhajsalafi.com/teroris-pasti-berakidah-wahabi-termasuk-teroris-bom-thamrin/ diakses pada 16

(21)

21

Bagi kaum pendukung wahabi, mengkaitkan terorisme dengan kelompok wahabi

dianggap sebagai bola api liar yang sangat berbahaya dan bisa mengenai siapa saja yang

memperjuangkan pemurnian Islam. Dalam pandangan ini, doktrin wahabi sengaja

diciptakan buruk untuk memecahbelah persatuan dan kesatuan umat Islam, bahwa

perpecahan diperlukan untuk menjamin mudahnya kaum Imperialis dalam melemahkan

musuh-musuh atau saingan terbesarnya, sebagaimana diungkapkan:

“Untuk menciptakan permusuhan di tengah Umat Islam, kaum Imperialisme dan kaum munafikun memancing di air keruh dengan menyematkan baju lama (Wahabi) dengan berbagai atribut penyimpangan dan kesesatannya untuk menghantam dakwah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab atau setiap dakwah mana saja yang mengajak untuk memurnikan Islam. Karena dakwah beliau sanggup merontokkan kebatilan, menghancurkan angan-angan kaum durjana dan melumatkan tahta agen-agen asing, maka dakwah beliau dianggap sebagai penghalang yang mengancam eksistensi mereka di negeri-negeri Islam.”32

Bagi kaum pendukung ini, beberapa prinsip utama Salafi selama ini telah diartikan

menyimpang dari apa yang diajarkan Abdul Wahab. Karena pada prinsipnya, Abdul Wahab

mengajarkan empat prinsip utama dalam aliran ini, antara lain:

1. Berpegang teguh pada kitab Allah;

2. Berpegang teguh pada sunnar Rasulullah

3. Berjalan pada garis ajaran Rasul dan garis ajaran khulafaur rasyidin, serta para

tabiin

4. Meniti jejak ulama al-Salaf, para Imam terkemuka dalam Islam, yaitu ahli fiqih

dan takwa. 33

32 http://www.islam-institute.com/teroris-wahabi-mulai-jadi-bumerang-bagi-arab-saudi/ diakses pada 16

November 2016.

(22)

22

Lebih lanjut, para sarjana pun banyak yang masih memperdebatkan keterkaitan

antara aliran wahabi dengan akar terorisme. Kebanyakan diantara mereka, mengaitkannya

dengan bagaimana sesungguhnya Al-Qaeda di klasifikasikan, apakah benar Al-Qaeda yang

menjadi cikal bakal JI ini dapat dikategorikan sebagai aliran wahabi atau tidak. Beberapa

pendapat yang menyatakan bahawa Al-Qaeda bukanlah bentuk dari aliran wahabi sehingga

dengan demikian JI juga tidak memiliki keterkaitan dengan Wahabi dapat dilihat dari apa

yang dikemukakan oleh Natana DeLong Bass dan David Commins. DeLong Bass mendasari

argumennya pada perbedaan antara aliran Wahabi, Salafi, dan Jihadi yang menurutnya

sekalipun ketiganya menunjukkan fenomena yang sama, sesungguhnya pendekatan

ideology yang mereka terapkan berbeda. Menurutnya, Wahabi mencerminkan ideologi

dengan keyakinan iman yang difokuskan mutlak pada monotheism. Sementara Salafisme

mencerminkan ideologi yang berfokus pada aspek-aspek politik tauhid (konsep tauhid

dalam Islam). Dia berpendapat bahwa tidak ada lintasan linear antara Wahhabisme dan

Salafisme berdasarkan tauhid. Hal ini karena Wahhabisme ingin menyatukan kembali umat

Islam di bawah konsep keyakinan monoteistik, di mana sebagai Salafisme justru

menekankan pada posisi politik untuk mendirikan kekhalifahan, tanpa terlebih dahulu

mencapai tauhid. Sedangkan Jihadi menurutnya senada dengan Salafi yaitu

memperjuangkan kepentingan politik. Namun, yang membuat aliran ketiga ini berbeda

adalah Jihadi lebih menekankan pada tindakan kekerasan dalam mencapai tujuannya.

Dengan demikian, Jihadi adalah cabang dari Salafi bukan Wahabi. Inilah yang kemudian ia

jadikan dasar bahwa dengan melihat ciri-ciri Al-Qaeda dalam menyebarkan terornya, ia

lebih tepat untuk disebut sebagi aliran jihadi bukan Wahabi.34

34

(23)

23

Apa yang dikemukakan oleh DeLong Bass di atas, disepakati oleh David Commins.

Ia percaya bahwa "ideologi Osama bin Laden dan al-Qaeda bukan Wahhabi. Ini bukan

bagian dari kecenderungan jihad kontemporer yang berkembang dari ajaran Sayyid Qutb ...

dengan kata lain; Al-Qaeda adalah cabang dari ideologi revivalis Muslim abad dua puluh

satu, tidak Wahhabisme."35 Dua pendapat yang berseberangan dengan pendapat umum

tentang Wahabi dan terorisme inilah yang membuat Dillon menyatakan bahwa masih ada

perdebatan mengenai apakah wahabi secara langsung dapat dikaitkan dengan terorisme atau

tidak.

V.Kesimpulan

Sejarah Wahabi dalam pemikiran politik Islam, memang menjadi salahsatu sejarah

rumit nan sukar dimengerti, karena konotasi “negative” yang begitu erat melekat. Bagi

kalangan pendukung Wahabi itu sendiri, tuduhan-tuduhan “kesesatan” yang dilayangkan

kepada wahabi serta menjustifikasi Wahabi sebagai aliran keagamaan yang menggunakan

kekerasan dilakukan oleh para Pembenci Wahabi yang terdapat “bidah” dalam dirinya,

termasuk Syiah. Dalam sejarahnya, Syiah menjadi musuh utama Wahabi baik dalam hal

doktrin yang bersebrangan, hingga gerakan-gerakan politik yang berlawanan. Wahabi yang

dianggap sebagai bentukan Inggris untuk memecahbelah Islam pun menjadia argument yang

cukup relevan jika dihubungkan dengan sejarahnya.

Upaya menemukan kaitan antara doktrin-doktrin Wahabi dengan aksi terorisme yang

menjadi isu kemanusiaan global ini kami lakukan didasari oleh berbagai macam sumber

yang menyebut bahwa akar terorisme adalah radikalisme, sementara radikalisme itu sendiri

35

(24)

24

tidak lain adalah bagian penting dari dakwah-dakwah Wahabi yang menjiplak betul aksi

kaum khawarij -yang dianggap sebagai asal-muasala wahabi- di sejarah masa

sahabat-sahabat Nabi memimpin. Apakah wahabi teroris, tentu jawabannya bukan, namun

pertanyaan apakah teroris adalah wahabi? Sementara jawabannya “iya”.

Apa yang kemudian dapat kami simpulkan dalam makalah ini sebetulnya bukanlah

sebuah kesimpulan yang final karena sumber-sumber akurat karena kami tidak melakukan

analisis terhadap hal-hal yang berkaitan dengan referensi Al-Quran, sementara perdebatan

antara Wahabi dan penolaknya terus menggunakan referensi-referensi Quran dan Sunnah

sebagai acuan mereka. Hal yang lakukan adalah menelisik asal-muasal dari bagaimana

Wahabi lahir dan berkembang, hingga bagaimana klaim kelomok-kelompok yang identic

(25)

Buku/Jurnal

Achmad Jainuri, Radikalisme dan Terorisme: Akar Ideologi dan Tuntutan Aksi. Malang:

Intrans Publishingm 2016.

Algar, Hamid. 2002. Wahabism: A Critical Essay. New York: Islamic Publication

International.

Al-Chaidar. (n.d). Pemetaan Kelompok Islam Radikal Dan Islam Fundamentalis Di

Indonesia. Laporan Penelitian. Aceh: Universitas Malikusaleh.

Anshumali Shukla, Wahhabism and Global Terrorism, Internasional Journal of Innovation

and Applied Studies, vo. 9, No. 4 Dec 2014, pp 1521-1530.

August 24, Al-Kalbani, “Is Terrorism A Salafi Product? Al-Riyadh Magazine

Azra, Azzyumardi. 1996. Fundamentalisme Islam, Survey Historis dan Doktrinal,

Pergolakan Politik Islam dari Fundamentalisme, Modernisme, hingga Post

Modernisme. Jakarta: Paramadina

Christoper M. Blancard, The Islamic Traditions of Wahabism and Salafiyya, CRS Report

for Congress, Conressional Research Service, The Library of confress, update Januari

2008.

David Commins, The Wahhabi Mission and Saudi Arabia (New York: I. B. Tauris & Co.

Ltd., 2006), 185.

Dillon, Michael. 2009. Wahabism. Is it a factor in The Spread of Global Terrorism?. United

States Naval Academy.

Khalid Abd el-Fadl, Selamatkan Islam dari Muslim Puritan, (Jakarta: Serambi Ilmu

Semesta, 2005).

(26)

Oxford University Press, Inc., 2004), 292.

Paul Johnson dalam A.M. Hendropriyono, Terorisme, Jakarta: Penerbit Buku Kompas

(cetakan ke-1), 2009.

R. Wiyono, Pembahasan Undang Undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, Jakarta:

Sinar Grafika, 2014.

Reno Muhammad, ISIS: Mengungkap Fakta Terorisme Berlabel Islam, Jakarta: Noura

Books, 2016.

Samran, Imran. 1999. Sejarah dan Peradaban Islam. Banjarmasin: Institute Agama Islam

Negeri Antasari.

Schmid dan Jongman dalam Petrus Reinhard Golose, Deradikalisasi Terorisme (cetakan

ke-1), Jakarta: Penerbit Yayasan Pengembangan Kajian Ilmu Kepolisian, 2009.

Syekh Fathi Al Mishri Al Azhari, Radikalisme Sekte Wahabiyah, Mengurai Sejarah dan

Pemikiran Wahabiyah. Tangerang: Pustaka Asy’ari, 2010.

Wahid, Abdurrahman. 2009. Ilusi Negara Islam. Ekspansi gerakan Islam Tradisional di

Indonesia. Jakarta: The Wahid Institute.

Wahyudi, Yudian. 2009. Gerakan Wahabi di Indonesia. Yogyakarta:Nawesea

Internet

https://www.arrahmah.com/read/2011/11/22/16492-syekh-muhammad-bin-abdul-wahhab-pejuang-tauhid-yang-memurnikan-islam.html#sthash.AXeFGfkn.dpuf

http://islam.hilmi.eu/senior-saudi-salafi-cleric-isis-is-a-true-product-of-salafism/

(27)

https://www.arrahmah.com/read/2011/12/10/16742-ternyata-banyak-umat-islam-yang-belum-tahu-soal-salafi-dan-wahabi.html

http://saudi-tauhid-sunnah.blogspot.co.id/2012/07/sejarah-munculnya-gerakan-wahabi.html

http://mondoweiss.net/2015/11/isis-wahhabi-doctrine/

Referensi

Dokumen terkait

Dari keseluruhan desain diatas dapat di tarik kesimpulan bahwa ornamen, elemen disain dan typografi yang di gunakan adalah untuk mendukung visual yang ditampilkan

Berdasarkan potensi, prospek, serta masalah/ isu daya saing dan nilai tambah yang ada di industri berbasis kelapa sawit tersebut, maka perlu untuk menyusun penguatan dan

Manajemen berkeyakinan bahwa tidak terdapat perubahan signifikan atas nilai wajar properti investasi selama periode sejak tanggal laporan penilai independen sampai dengan tanggal

• Jika pengalamannya serupa, NB tumbuh lebih cepat, karena: transfer teknologi (meniru; Makin terlambat makin cepat menggandakan output); Akumulasi faktor produksi (MPK makin

3. Melakukan pengumpulan Data. Data- data dikumpulkan melalui mesin pencarian dengan menggunakan kata kunci “sistem administrasi perpajakan modern”, “kepatuhan perpajakan”,

Peralatan hanyalah penunjang bila ada dapat membantu pemeriksaan bila tidak semua tersedia, pemeriksaan kehamilan dapat dilakukan membantu pemeriksaan bila tidak

Skripsi yang berjudul “Pengaruh Pengetahuan dan Perilaku Konsumen terhadap Keputusan Nasabah Open Account Produk Tabungan Simpanan Pelajar iB di Bank Syariah Bukopin KC

Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 48, Tambahan Lembaran Negara