• Tidak ada hasil yang ditemukan

T1__BAB IV Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Persepsi Ibu dan Tenaga Kesehatan Mengenai Tradisi Se’i dan Tatobi di Daerah Binaan Puskesmas Nulleec. Amanuban Baratabupaten TTS T1 BAB IV

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "T1__BAB IV Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Persepsi Ibu dan Tenaga Kesehatan Mengenai Tradisi Se’i dan Tatobi di Daerah Binaan Puskesmas Nulleec. Amanuban Baratabupaten TTS T1 BAB IV"

Copied!
45
0
0

Teks penuh

(1)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Setting Penelitian

4.1.1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian

Penelitian ini berlangsung pada tanggal 28 April 2016 sampai dengan 28 Mei 2016 disesuaikan dengan waktu luang partisipan yang sebelumnya peneliti sudah melakukan kontrak waktu. Penelitian ini dilaksanakan di Puskesmas Nulle, Kecamatan Amanuban Barat, Kabupaten TTS dan 8 Desa di bawah binaan Puskesmas Nulle, yaitu Desa Nulle, Desa Tublopo, Desa Nusa, Desa Mnelalete, Desa Pusu, Desa Tubuhue, Desa Haumenbaki, dan Desa Nifukani. Luas wilayah Kecamatan Amanuban Barat adalah 114.30 Km2, dengan rincian luas perdesa sebagai berikut : Desa Nulle 33.68 Km2, Tublopo 14.85 Km2, Nusa 13.94 Km2, Mnelalete 14.74 Km2, Pusu 6.57 Km2, Tubuhue 11.13 Km2, Haumenbaki 11.51 Km2, dan Nifukani 7.88 Km2. Secara keseluruhan dikecamatan Amanuban Barat mayoritas penduduknya bermatapencaharian sebagai petani dan beragama Kristen.

(2)

4 orang tenaga kesehatan yang masih berstatus magang, 4 pegawai tata usaha (administrasi dan keuangan). Puskesmas ini melayani 8 desa, seperti yang telah disebutkan sebelumnya. Selain itu, Puskesmas Nulle memiliki 1 Postu yang terletak diantara Desa Tublopo dan Desa Nifukani. Pelayanan kesehatan puskesmas Nulle sendiri dibantu oleh kader posyandu yang sudah dilatih sebelumnya, masing – masing desa memiliki 4 sampai 5 kader posyandu.

4.1.2. Proses Penelitian

(3)

kesehatan, dan peneliti melakukan wawancara pada tanggal 9 dan 11 Mei 2016. Untuk partisipan ibu-ibu postpartum, pada tanggal 15 Mei peneliti mengajukan surat penelitian dari fakultas kepada tiap-tiap kepala desa dan melakukan kontrak waktu dengan kader posyandu dari desa-desa tersebut. Kemudian pada tanggal 16 Mei sampai 17 Mei 2016 peneliti ditemani oleh kader posyandu menemui tiap-tiap partisipan untuk membina hubungan saling percaya, melakukan kontrak waktu dan menjelaskan hal-hal yang berkaitan dengan wawancara peneliti, dengan maksud agar partisipan mengetahui tujuan peneliti melakukan penelitian. Peneliti melakukan wawancara pada tanggal 19 dan 21 Mei 2016.

Pada saat wawancara berlangsung, peneliti menggunakan alat perekam untuk merekam proses wawancara. Wawancara yang peneliti lakukan disesuaikan dengan aktivitas, kesediaan dan kesiapan partisipan sendiri, sehingga proses penelitian ini tidak menganggu aktivitas partisipan dan guna melancarkan jalannya proses wawancara.

(4)

mereka mengira peneliti adalah petugas kesehatan yang akan menegur mereka karena melakukan tradisi se‟i dan tatobi.

4.2. Hasil Penelitian

4.2.1. Gambaran Partisipan

(5)

Tenaga kesehatan yang dilibatkan dalam penelitian ini adalah perawat dan bidan karena kedua tenaga kesehatan tersebut yang memenuhi kriteria partisipan yang dibuat oleh peneliti yaitu tenaga kesehatan yang terlibat dalam pengkajian dan penanganan masalah kesehatan terkait postpartum di masyarakat.

4.2.2. Karakteristik Partisipan Penelitian

Tabel 1. Karakteristik Partisipan Tenaga Kesehatan Puskesmas Nulle

Parti-Tabel 2. Karakteristik Partisipan Ibu Postpartum

(6)

Parti-P4 Ny. J. S 26 3 Hari 1 Timor Nulle Perpustaka-D2

Setelah peneliti mengumpulkan data dengan cara wawancara dan observasi, kemudian peneliti menyusunnya dalam bentuk verbatim. Lalu peneliti membuat garis bawah pada pernyataan yang penting dan menentukan kategori. Dari penelitian dan analisa data yang peneliti lakukan diperoleh 3 tema besar dari segi ibu postpartum dan 5 tema besar dari segi tenaga kesehatan.

4.3.1. Tema Pada Ibu Postpartum

Dari hasil analisa data pada Ibu Postpartum, diperoleh tema besar sebagai berikut :

1. Ibu-ibu postpartum merasa bahwa tradisi yang berlangsung

(7)

Keywords Sub Tema Tema

Dari hasil wawancara dan proses analisa yang dilakukan peneliti menunjukkan bahwa ibu postpartum merasa bahwa tradisi yang dilakukan sangat membantu dalam proses pemulihan tubuh pasca melahirkan. Mereka mengatakan bahwa setelah melakukan se‟i dan tatobi badan terasa lebih kuat dan segar, luka jahitan di perineum juga cepat sembuh dan dapat kembali beraktifitas normal dengan segera. Ibu postpartum juga mempercayai bahwa melakukan se‟i dan tatobi dapat mengeluarkan darah kotor dari dalam rahim sehingga terhindar dari berbagai macam penyakit, hal ini dibuktikan dari:

(8)

karena itu nanti bawa penyakit, bisa mempengaruhi untuk jadi tumor kalau darah kotor masih tersisa didalam.”(P1) “Kita se’i dengan tatobi supaya darah kotor keluar, terus enak. Se’iitu untuk kasi kuat badan.”(P6)

2. Ibu-Ibu postpartum merasa berkewajiban melakukan tradisi

se’i dan tatobi.

Keywords Sub Tema Tema

(9)

harus dilakukan. Partisipan tetap memegang teguh adat istiadat yang telah dianut selama ini, dan melakukannya walaupun ada larangan dari pemerintah. Ibu postpartum mengakui bahwa jika tidak melakukan tradisi tersebut partisipan merasa ada yang kurang, selain itu bisa menimbulkan penyakit. Seperti pernyataan dari partisipan berikut:

“Ia, kita orang Timor ini harus begitu, biar ada larangan dari puskesmas bilang jangan se’i dan tatobi, tapi kita harus tetap se’i dengan tatobi, kalau tidak kayak ada yang kurang begitu. Tapi sekarang se’i hanya pake bara api secukupnya saja, hanya untuk kasi hangat badan saja jadi tidak baasap kayak dulu lagi.”(P2)

“Kalau kita namanya orang Timor itu harus. Su dari orang tua dulu juga begitu jadi kita anak-anak ini ikut sa. Kadang ada bidan dong yang tegur, ma tetap. Kita harus se’i, karena tradisi.”(P3)

“Kalau sonde se’i dengan tatobi kayak ada yang kurang, apa lagi kalau ini tradisi su turun temurun dari keluarga dong. Itu kan manfaatnya untuk menyegarkan badan to, jadi kalau selesai tatobi badan jadi segar.”(P4)

“Ia, kan kalau rumah sakit dan tradisi kan beda to, karena kita kan ikut tradisi to. Tradisi timur kan harus tatobi dengan se’i, karena kan dari kedokteran kan hanya kasi obat antibiotik, tapi kan tradisional, tatobi dengan se’i kan untuk kasi keluar darah-darah kotor to, membersihkan jadi darah kotor keluar. Biar tidak ada penyakit di dalam.”(P5)

(10)

3. Orang tua sebagai key person dalam pengambilan

keputusan.

Keywords Sub Tema Tema

Dari proses wawancara, peneliti melihat bahwa ke 8 partisipan yang melakukan tradisi se‟i dan tatobi mengikuti saran yang diberikan orang tua dan mertua. Para partisipan juga menganggap bahwa kebiasaan yang diturunkan dari orang tua harus di ikuti oleh anak-anaknya. Mereka memiliki pemikiran bahwa apa yang disarankan oleh orang tua itu adalah sesuatu yang baik, tidak akan membahayakan tubuhnya. Dengan pemahaman yang seperti itu, ibu postpartum akan melakukan

se‟i dan tatobi tanpa memikirkan dampak kedepannya. Seperti

pernyataan partisipan berikut:

“Karena manfaatnya itu tadi. Bisa bantu ibu melahirkan kayak kami ini biar cepat sembuh. Apa lagi karena saran untuk tatobi dan se’i ini dari bapa mantu sama mama mantu, jadi saya ikut saja. Enggak mungkin keluarga dong kasitau yang tidak baik to.”(P5)

“Saran untuk se’i dengan tatobi ini dari orang tua. Baru ini su tradisi lama jadi ikuti saja.”(P6)

Mengikuti jejak

(11)

“Karena memang di kami punya keluarga itu sudah biasa. Semua yang melahirkan harus panggang jadi beta juga harus panggang. Apa lagi beta melahirkan pertama waktu masih tinggal dengan mertua to, jadi mertua su siap semua, beta tinggal lakukan sa.”(P7)

4.3.2. Tema Pada Tenaga Kesehatan

Dari hasil analisa data pada tenaga kesehatan, diperoleh tema besar sebagai berikut :

1. Tenaga kesehatan menyetujui sebagian tradisi yang tidak

membahayakan kesehatan.

Keywords Sub Tema Tema

Dari hasil wawancara dan proses analisa data yang berlangsung, menunjukkan bahwa tenaga kesehatan menyetujui sebagian tradisi yang berlangsung di masyarakat yaitu tatobi, karena dinilai tidak membahayakan kesehatan, Kurang setuju

dengan se‟i Pelaksanaan se‟i

(12)

dan kurang setuju dengan tradisi se‟i karena bisa membawa dampak negatif bagi kesehatan ibu dan bayi. Dalam praktek pelaksanaannya, tatobi dan se‟i berlangsung sebagai satu kesatuan atau seperangkat tradisi yang berlangsung secara bersamaan dan tidak dapat dipisahkan. Berikut adalah beberapa pernyataan partisipan mengenai se‟i dan tatobi: “Menurut masyarakat sini itu bisa membantu mengeluarkan darah kotor pasca melahirkan. untuk se’i saya sendiri kurang setuju, karena sudah ada larangan dari pemerintah, selain itu bisa mengganggu kesehatan juga. Kalau tatobi menurut saya tidak masalah, itu kan seperti mandi, membersihkan badan dengan air hangat.” (P1)

“Kalau untuk tatobi saja saya setuju, itu kan hanya untuk kompres ibu punya badan supaya lebih bersih dan segar, tidak berdampak ke bayi juga, tidak seperti se’i.” (P2)

“Kalau se’i kurang setuju, karena bisa ganggu pernapasan bayi dan ibu tapi kalau tatobi saya setuju, itu kan hanya kompres badan ibu dengan air hangat jadi tidak masalah.” (P6)

Mereka menganggap bahwa se‟i yang berlangsung sekarang walaupun hanya menggunakan arang secukupnya tetap bisa membahayakan kesehatan ibu maupun bayi, karena partikel debu dari arang itu sendiri. Seperti yang disampaikan oleh partisipan berikut:

(13)

Sedangkan tatobi disetujui pelaksanaannya karena tradisi tersebut sekarang hanya menggunakan air hangat saja, bukan air panas lagi seperti dulu. Selain itu, dengan cuaca didaerah tersebut yang sangat dingin, tatobi bisa membantu membersihkan badan ibu tanpa merasa kedinginan. Seperti pernyataan berikut :

“Kalau untuk se’i saya kurang setuju, biar hanya pakai bara api tetap saja abu dari arang tadi bisa terbang – terbang kalau angin tiup, bisa mengganggu pernapasan bayi juga. Kalau tatobi sekarang hanya pakai air hangat jadi itu tidak masalah.” (P3)

“Sebenarnya juga tidak boleh walaupun di dalam rumah besar, karena tetap saja itu ada partikel-partikel debu to, bisa terbang kalau angin tiup.” (P4)

2. Sebagian besar tenaga kesehatan yang sudah menikah

pernah melakukan tradisi se’i dan tatobi.

Keywords Sub Tema Tema

terhadap se‟i Sebagian tenaga kesehatan besar

(14)

Sebagian tenaga kesehatan dalam penelitian ini ternyata pernah melakukan tradisi se‟i dan tatobi saat melahirkan. Menurut pengakuan mereka yang sudah menikah dan memiliki anak, tradisi tersebut mereka lakukan sebelum ada peraturan pemerintah yang melarang pelaksanaan se‟i dan tatobi, seperti pernyataan berikut ini : “Saya pernah se’i waktu melahirkan anak pertama, tapi hanya satu kali itu saja. Seterusnya tidak lagi.” (P4)

“Kalau pengalaman, saya pernah se’i dan tatobi. Waktu melahirkan saya punya anak pertama kan masih tinggal dengan mertua, peraturan yang larang itu juga belum ada, jadi saya masih se’i dan tatobi. Tapi setelah itu tidak lagi.”(P5)

“Saya melahirkan anak pertama dengan kedua masih sempat se’i dan tatobi. Waktu itu belum ada larangan dari pemerintah untuk tidak boleh se’i dan tatobi, tapi sekarang sudah ada to jadi sudah mulai berkurang.”(P6)

(15)

kemungkinan masyarakat akan berhenti melakukan tradisi tersebut, seperti pernyataan partisipan berikut:

“Tapi kalau keluarga, saudara tua dong se’i dengan tatobi juga kalau selesai melahirkan.” (P2)

3. Sebagian besar program puskesmas yang berjalan efektif

berupa penyuluhan dan sosialisi.

Keywords Sub Tema Tema

(16)

Hal ini memudahkan tenaga kesehatan melakukan sosialisasi dan menghemat waktu. Pelaksanaan penyuluhan dan sosialisasi ini sesuai dengan pernyataan dari partisipan berikut:

“Kalau dipuskesmas ini, biasanya kami melakukan penyuluhan kepada ibu melahirkan dan keluarga tentang se’i dan tatobi sebelum mereka pulang kerumah, sosialisasi di posyandu juga, 1 bulan 1 kali.” (P1)

“Biasanya sosialisasi di posyandu ibu hamil dan ibu postpartum. Selain itu juga kadang – kadang bagi brosur, penyuluhan waktu ibu melahirkan mau pulang kerumah.”(P4)

“Biasanya itu di adakan penyuluhan pas melahirkan. Setelah ibu melahirkan dan mau pulang, itu nanti nakes di puskesmas, khususnya bidan yang nanti beri penyuluhan mengenai se’idan tatobi.”(P5)

(17)

menjalankan program ini. Seperti pengakuan dari partisipan berikut:

“Ada juga kunjungan kerumah, tapi itu kurang efisien, kurang dijalankan soalnya banyak ibu melahirkan sedangkan nakes terbatas, seperti itu.”(P3)

“Oh ada lagi, kunjungan kerumah ibu postpartum tapi yang ini kadang tidak berjalan lancar karena jumlah ibu melahirkan dengan jumlah nakes terbatas. Ditambah jarak rumah yang berjauhan, kami setengah mati. Jadi kalau sempat kami biasanya berkunjung, tetapi kalau tidak kami lakukan sosialisasi di posyandu saja.”(P6)

4. Hambatan terbesar tenaga kesehatan adalah tradisi dan

pemikiran masyarakat yang sulit dirubah.

Keywords Sub Tema Tema

(18)

dihadapi oleh tenaga kesehatan adalah tradisi dan pemikiran masyarakat yang sulit dirubah. Berdasarkan pernyataan partisipan, masyarakat Kecamatan Amanuban Barat masih memegang teguh tradisi yang diwariskan dari nenek moyang mereka secara turun temurun. Meskipun sudah ada peraturan dari pemerintah yang melarang ibu postpartum melakukan se‟i, tetapi mereka bersikeras melakukannya, mereka merasa mempunyai kewajiban untuk melakukannya. Pernyataan ini diungkapkan oleh partisipan berikut:

“Itu tadi seperti yang saya bilang. Tradisi orang sini, jadi susah untuk kita rubah. Tidak segampang apa yang kita rencanakan. Pemerintah kasi larangan tapi tetap saja masih ada yang berani lakukan.” (P2)

“Tradisi, itu tantangan yang berat. Karena se’i itu tradisi jadi susah diubah. Selan itu, hampir semua ibu postpartum disini masih memegang teguh tradisi sei dan tatobi, jadi agak susah.”(P3)

“Ini kan tradisi to, yang namanya tradisi itu susah untuk diubah. Meskipun ada larangan dari pemerintah supaya jangan se’i dengan tatobi lagi tapi tetap, masih banyak yang lakukan dengan diam – diam. Di puskesmas kita kasi tahu mereka ia saja, tapi setelah sampai rumah mereka tetap lakukan. Biasanya sembunyi – sembunyi supaya nakes jangan tahu.”(P5)

(19)

menyebabkan pola pikir mereka yang sulit dirubah dan karakteristik tiap ibu yang berbeda membuat para tenaga kesehatan mengalami kesulitan menghadapi mereka. Tidak semua ibu yang diingatkan oleh tenaga kesehatan menerima dengan baik apa yang disampaikan, itulah

penyebab pelaksanaan se‟i sulit dirubah apalagi

dihilangkan. Walaupun para tenaga kesehatan mengaku

kurang setuju dengan tradisi se‟i yang dijalankan, tetapi

tidak mudah untuk merubah cara pandang masyarakat. Seperti pernyataan yang diungkapkan partisipan berikut: “Kita tidak mungkin memaksa mereka mengubah, meninggalkan tradisi dari nenek moyang mereka begitu saja. Kami sebagai nakes akan mencoba merubah cara pandang mereka mengenai kesehatan, terutama tentang tradisi ini secara perlahan.”(P1)

“Hambatannya itu susah merubah pemikiran masyarakat di sini mengenai se’i dan tatobi, masalahnya ini menyangkut tradisi turun – temurun jadi agak repot. Apa lagi ini di kampung, tingkat pendidikan mereka juga terbatas, agak susah kasi pengertian ke mereka untuk andalkan obat dari dokter, karena dalam otak mereka itu seperti sudah ditanamkan kalau se’i dan tatobi itu kewajiban ibu melahirkan.”(P4)

(20)

5. Tenaga kesehatan berusaha mengubah pemikiran

masyarakat terhadap tradisi secara perlahan.

Keywords Sub Tema Tema

Dalam analisa penelitian tentang pandangan ibu-ibu postpartum terkait usaha yang dilakukan oleh tenaga kesehatan

terhadap pelaksanaan se‟i dan tatobi, ibu postpartum

mengemukakan bahwa tenaga kesehatan akan menegur dan mengingatkan dampak se‟i dan tatobi kepada partisipan. Walaupun demikian para tenaga kesehatan tidak melarang mereka melakukan se‟i dan tatobi, tetapi dengan ketentuan se‟i hanya menggunakan arang secukupnya dan tatobi menggunakan air hangat bukan air panas, selain itu partisipan diperingatkan agar tatobi jangan mengenai luka jahitan di

(21)

perineum, agar luka tersebut bisa cepat pulih. Ibu postpartum juga dilarang untuk melakukan tradisi tersebut di dapur, dikarenakan sebagian besar dapur masyarakat setempat masih berbentuk rumah bulat, sehingga jika melakukan se‟i di tempat tersebut maka pertukaran udara menjadi tidak efisien, hal ini bisa membahayakan pernapasan ibu maupun bayi. Hal ini berdasarkan pernyataan dari partisipan berikut:

“Kalau orang puskesmas tahu nanti dong tegur. Boleh panggang tapi arang jangan talalu banyak ko baasap, tatobi juga air jangan talalu panas atau mendidih, harus hangat sa.”(P1)

“Dari puskesmas dong hanya kasi tahu kalau se’i jangan pakai arang talalu banyak, baru sonde boleh se’i di dapur, harus dirumah besar supaya jangan baasap. Begitu ju dengan tatobi, sonde pakai air mendidih lagi kayak dulu, hanya pakai air hangat sa. Terus tatobi itu jangan sampai kena luka jahitan abis melahirkan, bidan dong bilang itu nanti bisa busuk, tatobi di badan sa.”(P2)

“Tapi kan dari dokter kita ikut, jalani. Tradisi juga kita ikuti jalani, jadi seimbang. Selama saya se’i dan tatobi tidak ada tenaga kesehatan yang datang melihat. Waktu di rumah sakit pas melahirkan dikasi tahu kalau tatobi tidak boleh kena jahitan.”(P5)

4.4. Pembahasan

(22)

dan tatobi. Interpretasi hasil penelitian ini dilakukan dengan cara membandingkan dengan hasil penelitian sebelumnya.

4.4.1. Tema pada Ibu Postpartum

1. Ibu-ibu postpartum merasa bahwa tradisi yang dilakukan

sangat membantu dalam proses pemulihan.

(23)
(24)

menimbulkan perilaku positif dari masyarakat terhadap program tersebut dan terhadap kesehatan pada umumnya. 2. Ibu-Ibu postpartum merasa berkewajiban melakukan tradisi

se’i dan tatobi.

Dari hasil analisa yang dilakukan peneliti terungkap bahwa dalam pelaksanaan tradisi se‟i dan tatobi yang dilakukan para ibu postpartum ada beberapa faktor yang mempengaruhinya. Hal ini dilengkapi dengan ungkapan partisipan yang menyatakan bahwa faktor yang membuat ibu postpartum mau melakukan tradisi tersebut adalah kewajiban sebagai orang Timor, adat istiadat turun temurun dan kebiasaan orang tua terdahulu yang harus diikuti. Hal ini didukung oleh hasil penelitian yang diungkapkan Raven, dkk. (2007) bahwa responden menyatakan bahwa alasan utama untuk mengikuti praktek-praktek tradisional ini adalah menghormati tradisi dan mengikuti saran tetua.

(25)

menyebabkan terciptanya persepsi tentang pelaksanaan se‟i dan tatobi sebagai sebuah kewajiban. Seperti yang dijelaskan oleh Sunaryo (2004) bahwa persepsi merupakan proses akhir dari pengamatan yang diawali oleh proses pengindraan, dengan persepsi individu dapat mengerti tentang keadaan lingkungan yang ada disekitarnya maupun tentang hal yang ada dalam diri individu yang bersangkutan. Pernyataan yang sama juga disampaikan oleh Hardjana (2007) yang mengatakan bahwa persepsi merupakan proses yang kompleks yang dilakukan orang untuk memilih, mengatur, dan memberi makna pada kenyataan yang dijumpai disekelilingnya. Hal tersebut menjelaskan bahwa lingkungan sekitar menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi perilaku seseorang, seperti penjelasan Glanz (2015) yang mengatakan bahwa teridentifikasi lima sumber pengaruh pada perilaku kesehatan yaitu faktor intrapersonal, interpersonal dan kelompok utama, faktor institusi, faktor masyarakat dan faktor kebijakan publik.

(26)

dari dalam individu. Penjelasan tersebut mendukung pernyataan salah satu partisipan yang mengatakan bahwa keputusannya melakukan tradisi ini bukan semata-mata karena saran dari orang tua dan tradisi turun temurun tetapi karena dalam dirinya sendiri ingin melakukannya. Persepsi setiap orang berbeda, bergantung pada pengalaman masa lalu, latar belakang, pengetahuan, dan status emosinya. Karenanya, persepsi dapat memengaruhi semua perilaku atau konsep lain yang berhubungan, seperti yang dijelaskan oleh Asmadi (2008).

Ibu postpartum mengakui bahwa jika tidak melakukan tradisi tersebut mereka merasa ada yang kurang. Selain itu mereka meyakini bahwa tidak melakukan se‟i dan tatobi bisa menimbulkan penyakit karena darah kotor dari tubuh mereka tidak keluar semua, badan terasa sakit dan luka jahitan diperineum akan lebih lama kering. Hal sebaliknya terjadi jika mereka patuh melakukan se‟i dan tatobi. Pernyataan partisipan ini didukung oleh hasil penelitian Barennes (2009) bahwa ‘hot bed’ membantu untuk mengeringkan dan menyembuhkan vagina dan rahim, dan untuk mengendurkan otot dan mengurangi rasa sakit.

(27)

berpengaruh pada cara berpikir masyarakat di Kecamatan Amanuban Barat, bukan saja ibu postpartum tetapi suami serta keluarga. Cara berpikir masyarakat yang umumnya berpendidikan rendah juga berdampak pada pemilihan penolong dan tempat persalinan, serta pengobatan yang akan dilakukan setelah persalinan. Hal ini juga di didukung oleh hasil penelitian Ayaz (2008) yang mengatakan bahwa pelaksanaan praktek-praktek tradisional biasanya dipengaruhi oleh usia muda, status pendidikan, usia saat menikah dan tempat persalinan.

(28)

lama dibanding wanita buta huruf. Hal serupa juga disampaikan oleh Soerachman (2013) bahwa pemahaman masyarakat diwilayah penelitian secara menyeluruh mendukung sikap yang sesuai dengan kebudayaan masyarakat NTT.

3. Orang tua sebagai key person dalam pengambilan

keputusan.

Hasil analisa data yang diperoleh peneliti ini juga merupakan salah satu faktor penyebab ibu melakukan tradisi se‟i dan tatobi. Dari ke 8 ibu postpartum yang diwawancarai oleh peneliti semuanya melakukan tradisi ini atas saran dari orang tua dan mertua. Mereka mengakui bahwa saran yang diberikan oleh orang tua dan mertua adalah untuk kebaikan dan kesehatan mereka, selain itu suami mendukung penuh pelaksanaan se‟i dan tatobi tersebut. Oleh karena itu ibu postpartum mengikuti tanpa memikirkan dampak tradisi itu kedepannya. Hal ini dijelaskan oleh Raven (2007) dalam penelitiannya, bahwa ibu dan ibu mertua yang paling berpengaruh dalam merekomendasikan perilaku ini.

(29)

mertua mereka sampai proses melahirkan serta tradisi se‟i dan tatobi selesai dilakukan. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Dennis, dkk. (2007) pada penelitiannya bahwa dukungan yang biasanya dilakukan dalam bentuk anggota keluarga merawat ibu baru dan bayinya untuk jangka waktu tertentu, hampir secara universal dilakukan pada periode postpartum awal dilakukan oleh ibu, ibu mertua, saudara perempuan dan suami. Ini juga membuktikan bahwa ibu postpartum membutuhkan dukungan dari keluarga atau kerabat selama menjalani kehamilan hingga periode postpartum.

Berdasarkan hal tersebut, dapat dikatakan bahwa perilaku individu (ibu-ibu postpartum) dipengaruhi oleh faktor interpersonal, dalam hal ini keluarga sebagai kelompok utama. Dibuktikan dengan pengambilan keputusan yang dilakukan oleh orang yang dianggap paling tua didalam keluarga. Hal ini dijelaskan oleh Glanz (2015) bahwa salah satu faktor yang mempengaruhi perilaku individu adalah faktor interpersonal dan kelompok utama.

4.4.2. Tema Pada Tenaga Kesehatan

1. Tenaga kesehatan menyetujui sebagian tradisi yang tidak

(30)

Berdasarkan hasil penelitian terhadap 6 partisipan, ditemukan bahwa tidak semua tradisi dilarang oleh tenaga kesehatan, ada sebagian tradisi yang disetujui karena dianggap tidak membahayakan kesehatan. Tenaga kesehatan mengakui bahwa mereka tidak mempermasalahkan pelaksanaan tradisi tatobi asalkan dilakukan menggunakan air hangat saja bukan menggunakan air panas karena air panas dapat mengiritasi kulit tubuh ibu. Kompres air hangat bermanfaat menyegarkan tubuh ibu karena mengurangi ketegangan otot dan memperlancar peredaran darah, hal tersebut didukung oleh Sinclair (2008) dan Berman (2015) yang mengatakan bahwa efek panas terhadap tubuh yaitu mengurangi kejang otot, memperlancar aliran darah, mengurangi rasa sakit, dan mengurangi kekakuan sendi.

(31)

Selain itu tatobi tidak dilakukan dirumah bulat tanpa jendela lagi melainkan dirumah modern (rumah tembok) dengan jendela yang bisa dibuka.

(32)

dapat menimbulkan efek karsinogenetik, terutama di paru-paru manusia.

Oleh karena itu para tenaga kesehatan melarang para ibu postpartum untuk melakukan se‟i didalam dapur, karena biasanya tradisi ini dilakukan oleh masyarakat didalam dapur (dapur masyarakat Amanuban Barat sebagian besar masih berbentuk rumah bulat/Ume Kbubu tanpa jendela). Selain itu pelaksanaan se‟i di rumah bulat yang tidak berjendela membuat kualitas udara lebih buruk seperti yang disampaikan pada hasil penelitian Anwar (2014), kondisi rumah bulat tidak memenuhi standar dan nilai kelembaban udara melampaui batas normal. Karena menyadari hal itu, para tenaga kesehatan berupaya mengubah tradisi ini. 2. Sebagian besar tenaga kesehatan yang sudah menikah

pernah melakukan tradisi se’i dan tatobi.

Peraturan yang melarang pelaksanaan se‟i adalah Peraturan Daerah Kabupaten Timor Tengah Selatan no 6 tahun 2013, Tentang Pelayanan Kesehatan Ibu, Bayi Baru Lahir, Bayi, dan Anak Bawah Lima Tahun. Didalam PERDA tersebut pada Bab IV pasal 18 mengenai Pelayanan Kesehatan Ibu Nifas tertulis bahwa “Ibu nifas dilarang

melakukan se‟i setelah melahirkan”. Pada penelitian ini,

(33)

tenaga kesehatan yang sudah menikah sebagian besar pernah melakukan se‟i dan tatobi. Ada yang melakukannya 1 kali, tetapi ada juga yang berulang kali. Mereka mengakui bahwa saat itu belum ada peraturan pemerintah yang melarang pelaksanaan se‟i. Walaupun tingkat pendidikan mereka cukup tinggi, tidak menjamin bahwa mereka akan meninggalkan tradisi mereka sendiri, seperti yang diungkapkan Maunati (2008) bahwa pendidikan yang tinggi belum tentu dapat merubah tradisi yang sudah berakar didalam masyarakat dengan mudah jika hanya dilakukan secara individu.

Mereka juga mengatakan bahwa se‟i bisa memberikan waktu istirahat yang cukup bagi mereka. Pernyataan ini didukung oleh hasil penelitian Berennes, dkk. (2009) di Viantiane, Laos, bahwa wanita dengan pendidikan tinggi lebih lama melakukan tradisi ‘hot bed’ (tradisi dimana ibu berbaring di atas tempat tidur dengan bara api dibawahnya) daripada wanita buta huruf. Mereka mengatakan bahwa ‘hot bed’ adalah kesempatan untuk beristirahat, untuk menjauh

(34)

asupan kalori harian yang rendah karena pantangan makanan.

Sedangkan tenaga kesehatan yang belum menikah dalam penelitian ini mengatakan bahwa mereka tidak akan

melakukan tradisi se‟i dan tatobi jika memiliki anak karena

mereka menyadari dampak yang akan ditimbulkan oleh tradisi tersebut dan adanya larangan dari pemerintah. Mereka juga mengatakan bahwa pengalaman mereka terkait tradisi se‟i dan tatobi selama ini hanya didapat dari keluarga yang pernah melakukan, seperti hasil penelitian yang dilakukan oleh Suryawati (2007) mengatakan bahwa keluarga sangat berperan dalam pelaksanaan tradisi.

3. Sebagian besar program puskesmas yang berjalan efektif

berupa penyuluhan dan sosialisasi.

(35)

kendala yang menghambat kemampuan mereka untuk secara efektif memadukan budaya ke dalam penyusunan program, pemilihan metode, dan pengembangan materi. Bensley sendiri sudah memberikan beberapa cara untuk menghindari kendala tersebut yaitu 1) menyadari dan menerima perbedaan dan persamaan budaya; 2) memiliki kemampuan untuk mengkaji diri budaya; 3) memiliki kesadaran, pengetahuan, dan pemahaman yang diperlukan dari populasi sasaran; 4) mengembangkan keterampilan yang memfasilitasi perbedaan; dan 5) memiliki kepekaan yang dinamis terhadap interaksi budaya. Cara-cara tersebut di harapkan dapat membantu para tenaga kesehatan dalam menghadapi persoalan kesehatan yang berkaitan dengan budaya.

(36)

sosial, dan unsur-unsur lain yang terdapat dalam diri individu dan masyarakat.

(37)

komunikasi yang dapat diterima oleh sasaran budaya yang berbeda.

(38)

Selain dua program diatas, terdapat 1 program lagi yang telah dirancang oleh puskesmas yaitu melakukan kunjungan ke rumah ibu nifas. Tetapi program ini tidak berjalan dengan efektif dikarenakan jumlah tenaga kesehatan yang tidak seimbang dengan jumlah ibu nifas, jarak rumah antar ibu nifas yang berjauhan dan jauh dari tempat layanan kesehatan seperti puskesmas, serta kondisi jalan yang tidak memungkinkan untuk dilewati kendaraan apalagi saat kondisi hujan menjadi penyebab program ini tidak berjalan, seperti pernyataan Alwi (2007) dalam penelitiannya bahwa sarana dan prasarana yang memadai mendukung keberhasilan suatu program.

4. Hambatan terbesar tenaga kesehatan adalah tradisi dan

pemikiran masyarakat yang sulit dirubah.

(39)

predisposisi yang termasuk didalamnya adalah pengetahuan, sikap, kepercayaan, keyakinan, kebiasaan, nilai-nilai, norma sosial, budaya, dan faktor sosio-demografi; 2) faktor pendukung berupa lingkungan fisik, sarana kesehatan atau sumber-sumber khusus yang mendukung, dan keterjangkauan sumber dan fasilitas kesehatan; 3) faktor pendorong yaitu sikap dan perilaku petugas kesehatan.

(40)

Tenaga kesehatan perlu menyadari bahwa mungkin ada perbedaan antara budaya mereka dalam merawat dan nilai-nilai budaya dari wanita yang mereka rawat. Hal serupa juga diungkapkan oleh Soerachman (2013) yaitu dengan memandang masyarakat sasaran sederajat dan memahami

patokan/cara mereka dalam menetapkan „baik‟ dan „buruk‟,

maka kita akan dapat mengira dampak yang akan terjadi bila langkah tertentu diambil. Dengan demikian, tatanan budaya masyarakatnya tidak akan rusak, dan mereka juga tidak akan mencurigai orang luar yang dapat mengakibatkan terjadi konflik atau masalah. Selain itu, perlu dilakukan pemahaman mengenai konsepsi budaya masyarakat setempat.

(41)

dengan situasi yang ada. Identitas bersifat situasional dan bisa berubah, dengan kata lain tradisi bisa berubah sesuai situasi. Berdasarkan hal tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa masyarakat yang melakukan tradisi saat ini secara perlahan mulai membuka diri terhadap masukan dari pihak luar dan mengalami perkembangan.

Jika tenaga kesehatan ingin mengadaptasi praktek tradisional yang dilakukan masyarakat kedalam pengobatan modern dengan peraturan kesehatan maka disini tenaga kesehatan mengambil peran dari anggota keluarga, hal tersebut bisa berakibat pada peran dan hubungan keluarga. Hal ini didukung oleh pernyatan Chen Yeh (2014) bahwa bidan mengambil peran tradisional yang dilakukan oleh anggota keluarga, yang berdampak pada peran dan hubungan keluarga.

5. Tenaga kesehatan berusaha mengubah pemikiran

masyarakat terhadap tradisi secara perlahan.

(42)

yang tidak memadai. Ini menjadi salah satu alasan yang mendorong sebagian ibu postpartum melakukan perawatan tradisional sendiri dirumah. Seperti yang dijelaskan oleh Thind, dkk. (2004) dalam penelitiannya yaitu meskipun kehadiran infrastruktur kesehatan yang luas di Indonesia belum secara menyeluruh mengubah persepsi masyarakat yang menganggap bahwa rumah sebagai penyedia

„kekuatan hidup‟ yang diperlukan.

Oleh karena itu, tenaga kesehatan berupaya mengubah persepsi ibu postpartum mengenai tradisi yang dilakukan dirumah secara perlahan. Mereka melakukan sosialisasi dan penyuluhan guna menambah pengetahuan dan membuka pikiran masyarakat tentang dampak negatif

yang ditimbulkan oleh tradisi se‟i. Jika masyarakat

(43)

(awarenes), yakni orang terrsebut menyadari stimulus terlebih dahulu; 2) ketertarikan (interest), yakni orang tersebut mulai tertarik kepada stimulus; 3) mempertimbangkan baik tidaknya stimulus (evaluation); 4) mulai mencoba (trial), yakni orang tersebut memutuskan untuk mulai mencoba perilaku baru; 5) mengadaptasi (adaptation), yakni orang tersebut telah berperilaku baru sesuai dengan pengetahuan, kesadaran, dan sikapnya terhadap stimulus. Proses adaptasi perilaku ini dapat berjalan dengan baik jika faktor-faktor perilaku kesehatan searah dengan tujuan kegiatan sehingga menimbulkan perilaku positif dari masyarakat, pernyataan ini didukung oleh Maulana (2009).

Berdasarkan hasil penelitian, tenaga kesehatan mengakui bahwa mereka tidak langsung melarang ibu postpartum untuk meninggalkan tradisi se‟i dan tatobi, tetapi para tenaga kesehatan mengurangi intensitas dari pelaksanaan tradisi tersebut, yang semula bara api untuk

se‟i menyala selama 24 jam penuh, sekarang hanya

(44)

ditempat penelitian sebagian besar masih berbentuk rumah bulat).

Hal ini dilakukan oleh tenaga kesehatan bukan karena mereka menyetujui pelaksanaan tradisi yang dianggap membahayakan kesehatan, tetapi mereka berupaya mengubah tradisi tanpa menyinggung perasaan dari masyarakat yang masih memegang teguh tradisi tersebut. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Dennis, dkk (2007) bahwa praktek postpartum tradisional memiliki implikasi yang signifikan untuk penyediaan kesehatan yang kompeten secara budaya.

Selain itu tenaga kesehatan juga mengadakan program yang bertujuan untuk menambah pengetahuan, menyadarkan masyarakat tentang pentingnya kesehatan ibu dan anak serta mengetahui dampak negatif dari tradisi yang dilakukan, seperti melakukan sosialisasi dan posyandu.

Dari ke 8 partisipan ibu postpartum yang diwawancarai oleh peneliti mengakui bahwa tradisi yang mereka lakukan

sekarang tidak sepenuhnya „murni‟ seperti yang dulu. Hal ini

(45)

Gambar

Tabel 1. Karakteristik Partisipan Tenaga Kesehatan Puskesmas Nulle

Referensi

Dokumen terkait

Tendangan ini diberikan jika bola melewati garis gawang dengan sentuhan terakhir dilakukan oleh salah seorang pemain yang sedang bertahan.. Tendangan diambil di

Skripsi ini tidak boleh diperbanyak seluruhya atau sebagian, dengan dicetak ulang, difoto kopi, atau cara lainnya tanpa ijin

Awalnya para petani di kampung Dukwia membudidayakan tanaman jagung dan sayuran lainnya (cabe dan tomat), namun seiring dengan berkembangnya kondisi pertanian dan

i. Harga bayangan bibit. Jenis bibit bawang merah yang digunakan yaitu varietas manjung yang merupakan varietas lokal sehingga penentuan harga bayangan dari bibit

Setelah dilakukan evaluasi, guru memberikan pemahaman bagi siswa tentang kebenaran teknik dari gerakan kaki pada saat melakukan berbagai teknik dasar dari permainan sepak bola

STATUS DAFTAR ONLINE DAFTAR NAMA MAHASISWA KKN ANGKATAN 56 SEMESTER GENAP TA 2017/2018 YANG TELAH MELAKUKAN PEMBAYARAN TANGGAL 13 S/D 14 NOVEMBER 2017 DAN. TELAH

Penyediaan informasi tentang penyakit kedelai masih bersifat manual sehingga tidak berfungsi secara maksimal dalam penyebaran informasi baik ke petani, penyuluh, dan

Sedang partikel lumpur dengan konsentrasi 75 ppm ke atas memberikan pengaruh yang negatif terhadap kehidupan udang windu khususnya dalam mengkonsumsi pakan. Perlakuan