• Tidak ada hasil yang ditemukan

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Misi Gereja Kristen Protestan di Bali Periode 2012-2016 dalam Perspektif Pancasila D 762012001 BAB III

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Misi Gereja Kristen Protestan di Bali Periode 2012-2016 dalam Perspektif Pancasila D 762012001 BAB III"

Copied!
33
0
0

Teks penuh

(1)

BAB III

AGAMA SIPIL SEBAGAI RELIGIOSITAS NEGARA KEBANGSAAN

III.1. Pengertian Agama Sipil

Istilah agama sipil diperkenalkan oleh Jean-Jacques Rousseau, sehingga pengertian yang ada pada istilah ini, terkandung dalam gagasan Rousseau tentang agama sipil. Melalui

istilah “agama sipil” Rousseau menggagas betapa pentingnya negara-negara di Eropa

memiliki sebuah sumber otoritas yang bebas dari rezim yang berkuasa, sehingga otoritas itu

dinamakan agama, dan juga bebas dari pengaruh gereja, sehingga dinamakan sipil”,1sebagai sumber legitimasi untuk menentukan batas-batas yurisdiksi, dan memberikan persetujuan transendental demi terciptanya kebersamaan sosial”,2 dimana pluralisme dan toleransi dapat berjalan dan berkesinambungan dalam masyarakat.3 Gagasan betapa perlunya

“moralitas masyarakat” atau “agama sipil” itu, dimunculkan oleh Rousseau sebagai respon

terhadap konteks masyarakat Eropa pada jamannya dimana ikatan primordial masyarakat

Eropa memudar, karena masyarakat tersebut kehilangan fondasimoral agama dalam proses

individualisasi yang bergerak cepat akibat pencerahan.4 Dalam pemikiran Rousseau yang demikian ini, agama sipil bisa dikonstruksi secara top-down sebagai jalan untuk membangun masyarakat ideal.

Bertolak dari gagasan Rousseau tentang agama sipil seperti termaksud di atas, maka

agama sipil dapat diartikan sebagai sebuah kontrak sosial, hasil kesepakatan seluruh

masyarakat, yang memiliki otoritas transendental sehingga menjadi sumber legitimasi untuk

mencapai secara bersama-sama kehendak umum masyarakat, yakni kesejahteraan bersama.

Oleh karena kehendak umum berupa kesejahteraan bersama itu, dipahami oleh masyarakat

memiliki nilai transendental, maka masyarakat memiliki kesadaran untuk berperan dalam

mewujudkan kesejahteraan bersama itu. Terhadap pengertian imani yang seperti ini, negara

memang perlu menata peran masyarakat dengan membuat peraturan-peraturan yang bukan

berfungsi sebagai dogma sebagaimana layaknya dogma sebuah agama, namun sebagai

1

Jean-Jacques Rousseau, On Social Contract, terj.G.D.H.Cole (New York: Dover Publications,2003), 93-5.

2

Ibid.,96.

3

Christopher Bertram,Rousseau and The Social Contract(London and New York: Routledge,2004),188.

4

(2)

tuntunan dan tuntutan sosial agar melaluinya, setiap warga bisa menjadi warga negara yang

mengaktualisasikan agama sipilnya dalam beragama, bermasyarakat dan berbangsa.5

III.2. Gagasan Agama Dari Marx, Weber Dan DurkheimSemuara Dengan Agama Sipil

Dalam menelisik teori Marx, Weber dan Durkheim tentang agama, terlihat jelas bahwa

skema pemikiran mereka bertiga dalam membahas agama, adalah berupa gagasan-gagasan

mengenai agama yang terkait dengan kehidupan sosial dan bermuara pada kebersamaan

sosial. Marx menghendaki agar agama itu dipahami sebagai ekspresi penderitaan masyarakat

dan sekaligus sebagai protes atas penderitaan itu demi kesejahteraan manusia. Weber

mendambakan agar nilai-nilai agama itu merupakan rasionalisasi keyakinan agama terhadap

masalah-masalah sosial, agar perilaku keberagamaan manusia medatangkan kemajuan yang

mendamaikan. Durkheim mengaharap agama dimengerti sebagaikesadaran kolektif, dimana

semua kepentingan –kepentingan individu menyatu dalam sebuah kolektifitas masyarakat,

berupa kehendak bersama akan kesejahteraan seluruh anggota masyarakat, sehingga

kehendak setiap anggota masyarakat bergerak secara spontan dan seperasaan, menunduk dan

menuju pada kehendak dari kesadaran kolektif yakni kohesi sosial.

Substansi gagasan agama dari Marx, Weber dan terutama dari Durkheim seperti

tersebut di atas, agaknya tidak keliru diduga semuara dengan gagasan agama sipil, walaupun

istilah“ agama sipil” itu sendiri tidak muncul dalam pembahasan mereka tentang agama.

Dugaan ini didasarkan pada fakta bahwa, tujuan yang hendak dicapai Rousseau dalam

gagasan agama sipilnya, sejalan dengan gagasan-gagasan agama sebagaimana dibangun oleh

Marx, Weber dan khususnya Durkheim.Konstruksi agama sipil dalam pemikiran Rousseau,

sangat erat kaitannya dengan apa yang Marx maksudkan dengan agama sebagai ekspresi

masyarakat atas penderitaannya dan sekaligus protesnya terhadap penderitaan itu, dengan apa

yang Weber maksudkan dengan perilaku keberagamaan yang berdasar pada rasionalisasi

keyakinan terhadap konteks sosial demi kemajuan dan kedamaian masyarakat, dan khususnya

dengan apa yang Durkheim maksudkan dengan kesadaran kolektif, yaitu kualitas keberagamaan masyarakat berupa kohesi sosial. Gagasan agama sipil yang diperkenalkan oleh Rousseau dan gagasan kesadaran kolektif yang ditemukan oleh Durkheim bertolak dari

pemahaman atau pengakuan yang sama dan bekiblat pada tujuan yang sama pula. Agama

5John A.Titaley, “Negara, Agama

(3)

sipil dan kesadaran kolektif, bertolak dari pemahaman akan adanya dan pengakuan akan

perlu adanya“moralitas masyarakat” yaitu sumber otoritas milik bersama sebuah masyarakat,

dimana padanya terakomodir dan menyatu, kepentingan-kepentingan pribadi warga

masyarakat. Bertolak dari moralitas bersama seperti termaksud, agama sipil dan kesadaran

kolektif bekiblat pada tujua yang sama, yaitu menjadikan moralitas bersama itu sebagai

sumber otoritas dalam melegitimsi batas-batas yurisdiksi, dan memberikan

persetujuan-persetujuan transendental, demi tercapainya kesatuan masyarakat, dimana pluralisme dan

toleransi dapat berjalan berkesinambungan dalam masyarakat.6

Bahwa Emile Durkheim, sekalipun dalam gagasan agamanya tidak menyebut istilah

“agama sipil”, namun karena senyatanya “substansi agama sipil” ada pada gagasan

Durkheim tentang agama; oleh Robert N.Bellah dalam kata pengantarnya pada buku

kumpulan tulisan Durkheim ”On Morality and Society”, Durkheim bahkan disebut sebagai

teolog agama sipil. Bellah mengatakan,” Durkheim was a high priest and theologian of civil religion in the Third Republic and a prophet calling not only modern France but modern Western generally to mend its ways in the face of a great social and and moral crisis”.7Bahwa konstruksi agama sipil telah ada dalam pemikiran Durkheim tentang agama, oleh Ivan Varga dikatakan bahwa ide tentang “moralitas masyarakat” itu, yang berfungsi

sebagai kohesi sosial; memang tersirat dan tersurat jelas pada apa yang Durkheim sebut

dengan “kesadaran kolektif “8

. Konsep Durkheim tentang “moralitas masyarakat”,

“kesadaran kolektif” dan “kohesi sosial” yang merupakan basis dari gagasan agama sipil itu, terurai dalam beberapa karya Durkheim seperti : Division of Labor in Society, The Elementary Forms of Religious Life, dan On Morality and Society.

III. 3.Substansi “Agama Sipil” Dalam Gagasan Agama Durkheim

Sebagaimana telah dikemukakan di atas, bahwa gagasan Durkheim tentang moralitas

masyarakat, kesadaran kolektif dan kohesi sosial yang menjadi basis dari teori agama sipil

itu, tercermin dalam beberapa karya Durkheim seperti The Elementary Forms of Religious

6Emile Durkheim menggagas “moralitas bersama dari masyarakat” itu berdasarkan pada

penemuannya dalam kehidupan masyarakat. Sedangkan Jean-Jacques Rousseau menggagas “agama sipil “ itu dalam rangka dia menjawab konteks dari negara-negara Eropa pada jamannya dimana proses individualisasi akibat pencerahan bergerak sangat cepat.Ikatan-ikatan primordial cendrung tercerabut. Melalui gagasan agama sipilnya, Rousseau ingin agar masyarakat Eropa membangun kembali kohesi sosial mereka, sebab bagi Rousseau tidak mungkin manusia bisa memperjuangkan kehidupannya secara eksklusif.

7

Emile Durkheim,On Morality and Society:Selected Writings,Robert Bellah(ed.)(Chicago:University of Chicago Press,1973),x.

8

(4)

Life, Division of Labor in SocietydanOn Morality and Society.Dalam karya-karya itu, khususnya dalam The Elementary Forms of Religious Life, Durkheim dengan tegas mematahkan argumen dari E.B Tylor dan Frazer yang mengatakan bahwa masyarakat

primitif sepenuhnya memahami “hal yang tertinggi itu” dalam kehidupan keberagamaan

mereka sebagai sesuatu yang supernatural.9 Durkheim juga membantah dikotomi bahwa ada supernatural di satu sisi dan natural di sisi lain. Menurut Durkheim, dikotomi ini, hanya ada

pada masyarakat modern dan bukanlah bagian dari sistem kepercayaan masyarakat primitif.

Masih dalam karya The Elementary Forms of Religious Life,setelah dia berusaha untuk melihat bentuk-bentuk dasar darikepercayaan masyarakat primitif,Durkheim

berpendapatbahwa setiap masyarakat memiliki suatu kesatuan sistem keyakinan dan

praktek-praktek dari keyakinan itu, dimana semua orang tunduk kepadanya atau dimana masyarakat

memberikan kesetiaannya. Kesatuan sistem keyakinan dan praktek-prakteknya dalam suatu

masyarakat moral (masyarakat beragama), dimana semua orang menundukkan diri padanya

dan dimana semua masyarakat memberikan kesetiaan padanya, oleh Durkheim dinamakan

“kesadaran kolektif” atau “moralitas masyarakat”. Terkait dengan pengertian tentang

“kesadaran kolektif” yang demikian ini, Durkheim mengemukakan bahwa “kesadaran

kolektif” itu, akan muncul saat masyarakat mengalami “collective effervescent”,yaitu saat

dimana semua kepentingan individu menyatu dalam sebuah kolektifitas masyarakat.

Bertolak dari pengertian tentang “collective effervescent” itu, Durkheim menegaskan bahwa

bentuk dasar dari agama adalah “totemisme”.Bahwa “totemisme” adalah bentuk dasar dari

agama, Durkheim mengatakan “what is fundamental to totemisme is that the people of the

clan, and the various beings whose form the totemic emblem represents, are held to be made of the same essence. Once that belief was accepted, the disparate realms were bridged.”10

Selanjutnya, Durkheim berpandangan juga bahwa karakteristik paling mendasar dari

setiap kepercayaan agama bukanlah terletakpadaelemen-elemen “supernatural” melainkan

terletak pada konsep tentang “yang sakral”. Durkheim menambahkan bahwa hal-hal yang

bersifat “sakral” itu adalahsesuatu yangsuperior, berkuasa, selalu dihormati, memiliki

pengaruh luas, menentukan kesejaheraan dan kepentingan seluruh anggota

masyarakat.Pendapat-pendapat Durkheim sebagaimana tertuang dalam “The Elementary

Forms of Religious life” mengindikasikan bahwa esensi “sebuah agama bersama

9

Daniel L. Pas, Eight Theories of Religion (New York: Oxford University Press, 2006) Second Edition, 88-90.

10

(5)

masyarakat”dalam gagasan Durkheim adalah sebuah ekspresi kualitas keberagamaan masyarakat yang terintegrasi, dimana substansi moralitas yang dikandungnya, adalah berupa

kepentingan bersama yang menjadi kesepakatan dari tiap-tiap anggota masyarakat, yakni

kebersamaan sosial atau kesejahteraan seluruh masyarakat.

Dalam gagasan Durkheim tentang agama sipil seperti tersebut di atas, tampak jelas

bahwa Durkheim mengkaitkan antara agama dengan integrasi masyarakat. Dalam gagasan

Durkheim itu terlihat jelas bahwa sebuah mayarakat yang betul terintegrasi, ekspresi

integrasinya akan berupa agama, sehingga bila ada konflik yang membahayakan integrasi

sosial, maka jalan untuk meresolusi konflik itu adalah mengekspresikan agama itu. Dalam

hal ini, di mata Durkheim, “kualitas keagamaan” akan mengekspresikan dirinya pada

tindakan pembentukan masyarakat yang terintegrasi. Durkheim berpandangan demikian,

karena baginya, dasar yang paling hakiki dari agama sipil, yakni agama yang membangun

masyarakat yang terintegrasi, adalah sesuatu yang mengakar di dalam masyarakat berupa

“kesadaran kolektif”.11 Bagi Durkheim, “kesadaran kolektif” merupakan suatu yang esensial

dalam masyarakat,karena ide masyarakat seperti kohesi sosialdan kebersamaan sosial adalah

jiwa dari agama.12 Jadi substansi agama sipil dalam gagasan Durkheim tentang agama adalah, ekspresi dari kualitas keberagamaan masyarakat berupa masyarakat yang terintegrasi,

yang berpusat dan mengalir dari kesadaran bersama masyarakat (moralitas bersama

masyarakat).

III.4. Gagasan Agama Sipil Dari Jean-Jacques Rousseau

Pada jaman Rousseau, masyarakat Eropa ada dalam masa pencerahan. Manusia

pencerahan berjuang gigih menaklukkan alam semesta denganakal dan rasio. Segala

kebenaran diukur dengan parameter sains dan teknologi. Oleh karenanya, pada masa

pencerahan sains dan teknologi berkembang sangat pesat. Pada perkembangan sains dan

teknologi yang begitu pesat, ada sisi yang mengembirakan, namun padanya terdapat juga sisi

yang memprihatinkan. Dilihat dari sisinya yang mengembirakan, perkembangan sains dan

teknologi membuat manusia berhasil meletakkan fondasi revolusi industri, dan menciptakan

mesin-mesin uap. Sedangkan dari sisinya yang memprihatinkan, perkembangan sains dan

teknologi pencerahan, telah menyebabkan terjadinya dehumanisasi. Manusia yang

11

Bandingkan dengan Ivan Varga, “Social Morals, the Sacred and State...” dalam Social Compas 53. 4. 2006, 457.

12

(6)

sedemikian kompleks kemudian mengalami reduksi. Iadilihat sebagai mesin-mesin, tidak

lebih dari itu. Manusia cenderung dituntun oleh akal semata. Faktor emosi sama sekali tidak

dilihat sebagai sesuatu yang integral dengan kehidupan manusia. Pada masa yang demikian

pula, bangsa-bangsa Eropa melakukan penjelajahan dan penjajahan ke Asia, Fasifik, Afrika,

dan Amerika Utara.13Pada masa pencerahan, dimana sains dan teknologi sangat maju, penanaman dan penyebaran ajaran moral oleh gereja, juga dikritik oleh para pemikir, yaitu

oleh mereka yang tidak merasa takut lagi dengan hukuman akhirat, yang walaupun jumlah

mereka tidak banyak, tetapi kritikan mereka sangat memudarkan beberapa ajaran gereja,

sehingga negara-negara Eropa juga menjadi merasa kehilangan fondasi moral mereka.14 Dalam keadaan masyarakat Eropa seperti tergambar di atas, Rousseau hadir

memperkenalkan filsafat politiknya. Mengawali filsafat politiknya, Rousseau mengemukakan

bahwa, keluarga adalah masyarakat politik pertama.15 Penguasanya adalah sang ayah dan anak-anak adalah rakyatnya.16Mereka semua dilahirkan sama dalam kebebasan dan kesetaraan. Bertolak dari kehidupan yang awalnya sama itu, Rousseau menekankan

pentingnya menghancurkan pemberhalaan terhadap akal, sebagai jalan dia mengkritisi

manusia yang cendrung dituntun oleh akal semata sampai terjadi dehumanisasi. Bagi

Rousseau, perkembangan teknologi itu menyebabkan manusia menjadi makhluk yang rakus

dan melakukan eksploitasi secara besar-besaran.Kepada manusia yang mengagungkan rasio,

Rousseau memberitahu mereka betapa pentingnya untuk memahami keadaan alamiah(state of nature)dari manusia. Manusia dalam keadaan alamiahnya adalah makhluk yang memiliki tubuh dan roh. Sebagai makhluk yang berbadan kasar dan halus, manusia tidak hanya

memiliki rasio saja, tetapi juga emosi dan perasaan.17

Menyambung pemberitahuannya tentang keadaan alamiah manusia seperti tersebut di

atas, Rousseau mengajak manusia untukkembali ke alam, agar manusia menjadi dirinya dan

terhindar dari kehancuran total. Menurut Rousseau, dalam keadaan alamiah manusia pada

dasarnya adalah makhluk yang baik. Sebagai makhluk alami yang baik, manusia tidak

menghendaki perang dan konflik. Oleh karena begitu keadaan alamiah manusia, maka perang

bukanlah fenomena alamiah (natural phenomenon) melainkan fenomena sosial (social

13

Christopher D.Wraight, Rousseau’s The Social Contract:A Readers Guide, (New York and London: Continuum International Publishing Group,2008),1.

14

Ibid., 2.

15

Jean-Jacques Rousseau, On Social Contract, terj. G. D. H. Cole (New York: Dover Publications, 2003), 2.

16

Ibid.

17

(7)

phenomenon). Jika ada perang terjadi, tulis Rousseau, itu adalah karena adanya pergeseran dalam diri manusia dari yang alamiah keyang sosial. Lebih jauh, Rousseau mengemukakan

bahwa, dalam keadaan alamiah, manusia memiliki kebebasan mutlak. Bahkan kebebasan

merupakan determinan yang membuat manusia menjadi manusia alamiah. Dalam hal ini,

Rousseau mengidealisasikan manusia yang liar tetapi baik, yang selalu mementingkan

keutamaan seperti orang-orang di zaman Romawi Kuno, yaitu manusiayang tidak baik dan

buruk, tetapi juga tidak egois dan altruis. Manusia yang hanya hidup polos dan mencintai diri

secara spontan.18

Melanjutkan uraiannya tentang kebebasan manusia, Rousseau menegaskan bahwa

manusia yang alamiah, senyatanya adalah manusia dalam keadaan bebas sejak dilahirkan.

Tetapi, kebebasan itu kemudian menyebabkan ketidakbebasan karena manusia bersentuhan

dengan waktu, tempat, adat serta pembatasan yang melibatkan lembaga ekonomi dan politik.

Rousseau bilang, “man, is born free and everywhere he is in chains.”19Kebebasan menurut

Rousseau adalah keadaan tidak terdapatnya keinginan pada manusia untuk menaklukkan

sesamanya. Manusia merasa bebas dari rasa ketakutan akan kemungkinan terjadinya

penaklukan atas dirinya secara persuasif maupun kekerasan. Kebebasan juga diartikan

sebagai hak untuk melakukan sesuatu yang orang lain tidak diperkenankan melakukannya.

Kebebasan di mata Rousseau juga dipahami sebagai keadaan dimana keadilan sepenuhnya

ditegakkan, sehingga tidak ada manusia yang hidup terbelenggu.20

Masih terkait dengan pembahasan tentang kebebasan manusia, Rousseau

mengidentifikasi ada dua kebebasan yang dimiliki manusia, yaitu kebebasan alamiah dan

kebebasan sipil. Kebebasan alamiah dikendalikan oleh kekuatan individu, sedangkan

kebebasan sipil dibatasi oleh “general will”yang dituangkan pada “kontrak sosial”. Kontrak sosial membuat kebebasan alamiah manusia dan hak yang tidak terbatas untuk melakukan

sesuatu, terhilang dari manusia. Kontrak sosial memberi manusia kebebasan sipil. Kata

Rousseau, kebebasan sipil manusia yang dibatasi oleh kehendak bersama masyarakat, hanya

bisa ditemukan dalam apa yang ia sebut sebagai a positive title.21 Dengan maksud untuk menjelaskan makna kebebasan sipil yang hanya ditemukan dalam apa yang ia sebut sebagai a positive title, Rousseau menguraikan bahwa, negara merupakan produk perjanjian sosial.

18

Jean-Jacques Rousseau,On Social Contract . . . , 6-7.

19

Ibid., 1.

20

Ibid., 10.

21

(8)

Individu dalam masyarakat membatasi apa yang dimilikinya dan dileburkan pada satu

kekuasaan bersama. Kekuasaaan bersama ini kemudian dinamakan negara, kedaulatan rakyat,

kekuasaan negara atau istilah lain yang memiliki kemiripan makna dengannya. Dengan

menyerahkan hak itu, individu tidak kehilangan kebebasan atau kekuasaannya dan negara

menjadi berdaulat karena mendapatkan mandat dari rakyat. Negara diberi mandat oleh rakyat

untuk mengatur, mengayomi dan menjaga keamanan maupun harta benda mereka.

Kedaulatan negara akan tetap absah selama negara menjalankan fungsi-fungsinyasesuai

dengan kehendak rakyat. Oleh karena itu, negara harus selalu berusaha mewujudkan

kehendak umum dari rakyat.22

Meneruskan pandangannya tentang esensi “kedaulatan negara”, Rousseau

mengutarakan bahwa, bila kedaulatan negara menyimpang dari kehendak rakyat, kedaulatan

negara akan mengalami krisis. Dalam hal ini, filsafat politik Rousseautentang kontrak sosial,

merupakan antitesisterhadap hak ketuhanan raja. Dengan teori sosialnya khususnya teori

negaranya ini, Rousseau membalikkan sumber kekuasaan dari legitimasi tuhan ke

manusia.Selain itu, pemikirannya yang menonjol adalah bahwa semua orang dalam sebuah

negara,mempunyai tanggungjawab bersama bukan hanya untuk kepentingan individu tetapi

juga untuk kebaikan kolektif.23

Dalam mengupas teori negaranya lebih dalam, Rousseau menunjukkan bahwa bentuk

awal pemerintahan menurut Rousseau adalah teokrasi.24 Bentuk pemerintahan teokrastis, tulis Rousseau, menyebabkan lahirnya politeisme; dimana setiap kelompok masyarakat

memilikituhan. Dengan kata lain, Rousseau menyatakan bahwa politeisme hadir karena

kelahiran bangsa. Penyataan ini dijelaskan oleh Rousseau dengan sebuah analogi bahwa

bangsa atau kelompok masyarakat yang berbeda, tidak mungkin akan tunduk pada satu

kekuasaan yang sama. Dalam bahasanya Rousseau, “Dua kelompok rakyat yang asing satu

sama lain, dan hampir selalu bermusuhan, tidak mungkin mengakui majikanyang sama dalam

waktu lama. Demikian pula duaangkatan bersenjata yang sedang berperang tidak akan dapat

mematuhi pemimpin yang sama.” Mereka pasti memiliki tuannya masing-masing yang pada

berbeda.25

22

Jean-Jacques Rousseau, On Social Contract . . . , 13-4.

23

Ibid., 12

24

Ibid., 89.

25

(9)

Dalam negarateokratis dimana masyarakatnya berkeyakinan politeistis, memang sangat

dimungkinkan terjadi perang agama. Hal itu terjadi demikian, kata Rousseau, karena setiap

negara teokratis yang tengah melakukan perang agama, tidak membedakan antara kekuasaan

politis dan teologis. Dalam masyarakat teokratis kejahatan terhadap negara juga merupakan

kejahatan terhadap agama. Setiap agama terikat pada satu undang-undang negara.26 Oleh Rousseau dikatakan, pola ini berubah karena kekristenan. Maksud Rousseau,kekristenan

melakukan pemisahan urusan agama dan negara. Para rakyat yang berpikir teokratis dan

politeistis, melihat kekristenan itu sebagai pemberontak yang sangat kejam.27 Oleh karenanya mereka mematuhi pemisahan urusan agama dan negara secara munafik, dan berusaha untuk

memerdekakan diri.Dalam keadaan yang demikian, kekristenan juga kemudian membuat

perubahan nama atas pemisahan antara urusan agama dan negara itu, menjadi pemisahan

antara kerajaan dunia dan kerajaan sorga. Menurut Rousseau, penghadiran kerajaan sorga

dalam sebuah kerajaan dunia,merupakan despotisme yang paling bengis.28Hal itu dikatakan demikian, karena kekuasaan ganda agama dan negara (kerajaan sorga dan kerajaan dunia)

dalam sebuah negara menimbulkan konflik yurisdiksi. Rakyat selalu dibuat gamang dalam

memahami siapa yang wajib mereka patuhi, pemimpin agama atau pemimpin negara.

Mencermati fakta ini, bagi Rousseau, tidak mungkin diciptakan suatu pemerintahan yang

baik di negara Kristen.29

Bertolak dari asumsinya bahwa tidak mungkin diciptakan suatu pemerintahan yang

baik di negara Kristen, Rousseau memberikan apresiasi kepada Thomas Hobbes atas

keberhasilannya, mencermati kelemahan dari model negara yang memisahkan urusan negara

dan agama yang dibuat olehkekristenan.30 Hobbes mengusulkan untuk mengembalikannya kepada kesatuan politik karena jika tidak, pemerintah tidak akan bisa dibentuk dengan baik.

Di mata Rousseau, usul Hobbes ini tentu baik sebagai upaya mengatasi ketegangan yang

ditimbukan oleh sistem kekuasaan ganda dalam suatu negara, namun tidak mudah untuk

merealisasikannya, karena kepentingan para imam selalu akan lebih kuat daripada

26

Jean-Jacques Rousseau, On Social Contract . . . , 90.

27

Ibid., 91.

28

Ibid.

29

Ibid.

30

(10)

kepentingan negara.31 Dalam merespon realitas ini, Rousseau kemudian mengemukakan tentang tiga kategori agama, yakni agama manusia, agama masyarakat, dan agama imam.32

Dalam penjelasannya tentang ketiga agama ini, Rousseau mengemukakan bahwa

Agama manusia adalah agama yang menekankan pada aspek moralitas dan penyembahan

kepada Tuhan.33Rousseau menyebut juga agama ini sebagai “the religionof Gospel”.34 Agama manusia semata-mata merupakan pemujaan terhadap tuhan dalam hati masing-masing

dan pada kewajiban moral yang abadi. Sikap bakti dari penganut agama ini terhadap

tuhannya tidak memerlukan altar, kuil ataupun ritus. Agama manusia murni semata-mata

keyakinan privat atau individual.Sementara, agama masyarakat dijelaskan Rousseau adalah

agama dari sebuah masyarakat yang dipeluk suatu bangsa.35 Agama ini berlaku di suatu negeri. Dewa dari agama ini menjadi pengayom seluruh warga. Agama ini terorganisirdan

hirarkis serta terikat dengan dogma-dogma formal. Agama masyarakat mengajarkan cinta

tanah air, ketaatan pada negara dan nilai-nilai pengorbanan. Tentang agama imam, dijelaskan

oleh Rousseau bahwaagama imam memberikan kepada manusia dua undang-undang, dua

pemimpin, dua tanah air, dan memaksakan dua kewajiban yang bertentangan dan yang

menghalangi mereka untuk menjadi orang saleh dan warga negara sekaligus. Menurut

Rousseau, ketiga agama yang dikemukakan dan dijelaskannya ini, tidak bisa dijalankan

secara baik dalam sebuah komunitas masyarakat.36

Dalam Letter to Voltaire yang ditulis pada 1756, Rousseau menyebutkan bahwa ada tiga aspek dalam agama. Ketiga aspek termaksud ialah: keyakinan pribadi, doktrin dan

perilaku.37 Keyakinan pribadi, tidak bisa diintervensi oleh negara. Yang menjadi fokus dari otoritas politik adalah merubah perilaku seseorang yang relasinya berkaitan dengan

masyarakat yang lebih luas. Dalam Letter inilah Rousseau mulai mengenalkan civil profession of faith dimana seseorang harus mengakui kaidah atau kode moral. Sementara fanatisme harus ditolak, bukan karena tak beriman tetapi karena memberontak. Semua warga

negara bebas untuk memilih agama selama itu memiliki keselarasan dengan kode moral,

sebagai bahan dimana seseorang bisa mengadopsi kode tersebut sebagai agamanya. Dalam

31

Jean-Jacques Rousseau, On Social Contract . . . , 92.

32

Ibid., 93.

33

Ibid., 93.

34

Ibid.

35

Ibid.

36

Ibid.

37

(11)

menjelaskan lebih detail tentang “civil profession of faith”, Rousseau menyatakan bahwa “civil profession of faith”, bukanlah dogma agama, tetapi sentimensosial atau kebersamaansosial, dimana pembuat aturannya adalah pemimpin negara.Kata Rousseau lebih

lanjut, dalam rangka menjadikan kebersamaan sosial itu sebagai kode moral untuk

menciptakan warga negara yang baik dan setia,pemerintah boleh mengusir warga negara

yang tidak bisa hidup dalam sebuah kesepakatan bersama itu. Dalam hal ini, Rousseau

menegaskan bahwa pengusiran itu dilakukan oleh pemerintah bukan karena warga itu kafir,

tetapi jika mereka tidak bisa hidup bermasyarakat atau bila mereka tidak bersedia

menjalankan perintah seperti yang tertuang dalam “civil profession of faith” itu atau dalam

“kesepakatan bersama”itu, atau dalam “agama sipil” itu.38

Mencermati gagasan Rousseau tentang agama sipil, tampak jelas bahwa dengan agama

sipil Rousseau mencoba membangun kesatuan masyarakat afektif dimana pluralisme dan

toleransi dapat berjalan dan berkesinambungan dalam masyarakat.39Merujuk pada latar belakang masyarakat Eropa pada masa pencerahan, dan memperhatikan sistem pemisahan

antara agama dan negara yang diterapkan kekristenan, maka terlihat bahwa ada dua hal pokok

mengapa agama sipil dikonstruksi oleh Rousseau. Kedua hal termaksud ialah: Pertama,

agama sipil dikonstruksi untuk memberikan sistem kepercayaan pengganti bagi masyarakat

yang kepercayaannya, telah dihancurkan oleh kekuatan-kekuatan pencerahan. Kedua, agama sipil dibangun untuk menyelaraskan dan mencari kesinambungan antara agama dan politik.

Jadi di tangan Rousseau, agama sipil merupakan otoritas baru sebagai sumber legitimasi

untuk menentukan batas-batas yurisdiksi dan memberikan persetujuan-persetujuan

transendental. Rousseau menyebutotoritas baru itu agama sipil, karena dia menginginkan

sumber otoritas baru itu, bebas dari rezim yang berkuasa (negara), dan juga bebas dari

pengaruh gereja.40

Bertolak dari gagasan agama sipilnya dengan karakter seperti tersebut di atas,

Rousseau berpendapat bahwa, agama sipil tetap harus memiliki dogma, namun dogma yang

patut dikembangkan dalam agama sipil itu haruslah sederhana. Dogma termaksud cukup

memuat pokok-pokok ajaran seperti: keyakinan akan eksistensi Tuhan, kehidupan yang akan

datang, pahala bagi yang berbuat baik, hukuman bagi yang berbuat jahat, dan sanksi dari

38

Jean-Jacques Rousseau,On Social Contract . . . , 96.

39

Christopher Bertram, Rousseau and The Social Contract . . . , 188.

40

(12)

kontrak social. 41Semua ajaran tersebut dinamakan oleh Rousseau sebagai dogma positif dari agama sipil. Sementara dogma negatif dari agama sipil, kata Rousseau adalah berupa

intoleransi yang mesti ditolak.42Rousseau menekankan bahwa intoleransi dalam bidang politik dan agama tidak bisa dipisahkan. Tidak mungkin seorang bisa hidup damai dengan

orang yang dianggap kafir dan murtad, sebab menyukai mereka berarti membenci tuhan yang

menghukumnya. Menurut Rousseau, setiap warga masyaraakat yang intoleran harus

disadarkan, sebab sikap intoleran dari setiap warga masyarakat pasti memiliki dampak

sosial.43 Dalam gagasan agama sipilnya, Rousseau sepertinya hendak memperlihatkan bahwa ajaran agama yang bersifat eksklusif harus direinterpretasi. Kemudian, gagasan agama

sipilnya Rousseau nampaknya juga memiliki implikasi bahwa dalam sebuah negara, tidak

boleh ada agama nasional yang eksklusif,dan sembari demikian semua agamasepanjang

dogmanya toleran dan tidak bertentangan dengan kewajiban negara, maka agama apapun

harus diterima dalam sebuah negara.

Sebagaimana telah ditunjukkan di atas, bahwa Rousseau menggagas agama sipil dari

sebuah konteks. Oleh karena itu,gagasan Rousseau juga harus dipahami sesuai konteksnya.

Jika kita mencermati situasi dan kondisiyang berkembang pada masa sebelum pencerahan,

identifikasi seseorang selalu dikaitkan dengan identitas primordialnya seperti: gereja, ras dan

suku. Tetapi pada masa pencerahan dan setelah pencerahan, masyarakat Eropa seperti

kembali pada dirinya sendiri. Proses individualisasi bergerak cepat. Ikatan primordial

tercerabut. Dalam konteks inilah,konsepsisocialkontrakdanagama sipil Rousseau

dikonstruksi. Rousseau sepertinya hendak menyambungkan ikatan primordial yang memudar

akibat pencerahan. Dalam konsepsi “sosial kontrak dan agama sipil” nya, terkandung

kesadaran dan cita-cita Rousseau, bahwa betapa pentingnya membangun kohesi sosial,sebab

manusia tidak mungkin bisa memperjuangkan kehidupannya secara eksklusif. Bahkanketika

seseorang harus berjuang untuk kepentingan dirinya sendiri pun, ia harus berjejaring. Disini

kita bisa memahami ide Rousseau dalam agama sipilnya ialah soal penyerahan sebagian dari

hak warga negara kepada kolektifitas atau negara.

41

Jean-Jacques Rousseau, On Social Contract . . . , 95.

42

Ibid.

43

(13)

III.5.GagasanRobert N. Bellah Tentang Agama Sipil Amerika

Gagasan Robert N. Bellah tentang agama sipil Amerika dikonstruksi dari eksistensi

keberagamaan masyarakat Amerika pada jamannya, dimana perilaku keagamaan masyarakat

Amerika itu nampaknya sangat dipengaruhi oleh sejarah perpindahan masyarakat Eropa ke

Amerika yang terjadi pada tahun 1600an dalam jumlah yang sangat besar. Salah satu alasan

terjadinya imigrasi itu ialah kaum imigran mencari kebebasan agama dan politik. Pada abad

16-17, di Inggris memang muncul gejolak ketika ada tuntutan dari kelompok Puritan yang

ingin merombak tatanan gereja resmi Inggris dari dalam.44 Kaum Puritan mengendaki semacam puritanisme yang lebih luas terhadap gereja nasional, dan ingin menyederhanakan

sistem keyakinan serta tata ibadah. Oleh kerajaan Inggris, gagasan kaum Puritan ini dilihat

sebagai ancaman yang berpotensi memecah belah rakyat dan merongrong wibawa raja,

sehingga dianggap sangat membahayakan keutuhan bangsa Inggris.45

Keadaan dimana gerakan kaum Puritan dicurigai sangat membahayakan keutuhan

bangsa Inggris, sehingga pada masa pemerintahan raja James I 1603-1625, mereka

dikondisikan untuk tidak mungkin melakukan dogma seperti yang mereka kehendaki,

mengakibatkan beberapa orang dari kaum Puritan meninggalkan Inggris dan berangkat

menuju Leiden Belanda guna untuk bisa beribadah menurut cara yang diyakininya. Pada

tahun 1620, sebagian kecil dari mereka yang datang ke Belanda meninggalkan Belanda

menuju ke Plymouth. Pada masa pemerintahan raja Charles I yang dimulai pada tahun 1625,

situasi tak kunjung membaik bagi nasib kelompok Puritan di Inggris. Negara semakin kuat

mengkondisikan agar kaum Puritan tidak bisa menciptakan dogma seperti yang mereka

kehendaki, seperti melakukan pembatasan khotbah bagi para pendeta Puritan. Kebijakan

pemerintahan Inggris pada masa raja Charles I, tidak hanya membatasi kebebasan kaum

Puritan tetapi juga membuat kelompok Kristen lainnya seperti gereja denominasi Quaker dan

juga gereja Mennonite tidak mendapatkan ruang untuk mengekspresikan keyakinan

keagamaannya. Kebijakan pemerintahan Inggris pada masa raja Charles I seperti tersebut di

atas, membuat banyak masyarakat Inggris dari kelompok Puritan, dari aliran Quaker dan juga

dari gereja mennonite pada tahun 1630, meninggalkan Inggris dan berlayar ke Amerika.46

44

Keith W.Olson,et.al.,An Outline of American History(United States Information Agency,1990),4.

45

Ibid.,4.

46

(14)

Melihat latar belakang sejarah kedatangan awal orang-orang Eropa ke Amerika, tampak

jelas bahwa salah satu motivasi yang mendorong mereka berimigrasi ke Amerika adalah

kebebasan beragama. Pendefinisian awal mereka tentang kolektifitas adalah agama.

Kolektifitas bangsa Amerika adalah agama. Dengan kata lain, agama menjadi pendefinisi

komunitas-komunitas di Amerika. Oleh karena begitu peranan agama, maka koloni-koloni

awal yang didirikan bangsa Amerika adalah koloni-koloni berdasarkan kelompok Puritan,

Quacker, dan Mennonite. Walaupun varian kekristenan di Amerika beraneka, namun Tuhan

mereka ada dalam konsep christendom. Maksudnya mereka melihat Yesus Kristus sebagai juru selamat mereka, yang mengutus mereka di dunia untuk memberitakan Injil sembari

melakukan arak-arakan rohani menuju surga mulia. Pengalaman pahit mereka bergereja di

Inggris dimana gereja dalam berupaya menjadi gereja yang establish begitu menyatu dan

dikendalikan oleh negara, masih terbawa sehingga di Amerika pun mereka bersikap anti akan “established church”.47

Berdasarkan pada perilaku keagamaan kaum migran dari Eropa seperti tergambar di

atas, maka dalam masyarakat Amerika, agama memiliki kedudukan yang sangat penting.

Orang Amerika selalu iklas mendonasikan uang dan waktunya untuk institusi keagamaan.48 Lebih dari 40 persen, bangsa Amerika mendatangi pelayanan ibadah setiap minggu dan 60

persen dari mereka merupakan anggota dari perkumpulan keagamaan.49 David C. Leege menulis bahwa sekitar tiga per empat dari warga Amerika merupakan bagian dari

gereja-gereja, sinagoge-sinagoge atau perkumpulan keagamaan lainnya. Leege menambahkan

bahwa 82 hingga 93 persen dari warga Amerika dewasa bersedia untuk menggunakan

identitas agama mereka. Dalam pengamatan Leege, agama di Amerika tak hanya berfungsi

sebagai afinitas, tetapi juga merupakan sesuatu yang dijalankan baik secara privat maupun

publik. Oleh karena itulah, mereka yang hadir dalam pelbagai kegiatan keagamaan seperti

menghadiri ceramah keagamaan, justru lebih banyak dibanding dengan warga Amerika yang

menonton program keagamaan dan mendengarkan acara-acara keagamaan di radio.50

Leege juga mengemukakan bahwa, oleh karena kehidupan keagamaannya yang begitu

energik, gereja Amerika menanamkan di hati masyarakat Amerika berbagai keyakinan dan

47

Keith W.Oslon, An Outline of American . . . , 4-5.

48

Robert N. Bellah et.al., Habits of the Heart: Individualism and Commitment in American Life (Harper and Rows Publishers, 1986), 219, 63.

49

Ibid.

50

(15)

membentuk pandangan dunia. Gereja membangun struktur-struktur pemahaman, yakni

pelbagai cara menghadapi teka-teki kehidupan serta menawarkan berbagai norma-norma

sosial. Gereja juga membangun asumsi menyangkut kebaikan maupun kejahatan yang

melekat pada diri manusia.Gereja Amerika selalu berupaya merumuskan

pemikiran-pemikiran bagi masyarakat Amerika guna untuk mendesain tujuan sistem-sistem politik, dan

senantiasamembangkitkan di hati masyarakat Amerika tentang harapan akan

akhirzaman.Dalam kaitannya dengan latar belakang etnis atau kedaerahan masyarakat

Amerika, Leege mengemukakan bahwa institusi keagamaan seringkali menutupi latar

belakang etnis atau kedaerahan. Sebagai contoh, mereka yang berasal dari Irlandia, Italia atau

Polandia beragama Katolik. Jika berasal dari Saxony, Hanover atau Skandinavia, mereka

beragama Lutheran. Jika mereka tumbuh di Utahatau Great Basin, mereka beragama

Mormon, dan jika mereka tinggal di Deep South, mereka beragama Baptis. Prinsipnya,

penduduk Amerika yang berasal dari berbagai suku, mereka tidak terorganisir berdasarkan

suku, namun tertata,tercorakdan teridentifikasi oleh suatu afiliasi keagamaan.51

Leege menegaskan, agama senyatanya sangat penting dalam kehidupan masyarakat

Amerika dan agama dipraktekkan secara nyata oleh penduduk Amerika di lokasi-lokasi

kediaman mereka. Kekhawatiran memang sempat muncul pada awal tahun 1980-an ketika para pemuka agama melihat perkembangan “gereja elektronik” yang bukan mustahil akan menggantikan perkumpulan keagamaan yang bersifat lokal.52 Tetapi ternyatakekhawatiran itu tidak terbukti, karena yang terjadi adalah efek siaran keagaman di televisi tidak bersifat

substitutif, tetapi kumulatif.Budaya keagamaan Amerika oleh Leege digambarkan seperti

sebuah pasar. Di tempat mana pun, seseorang yang tergerak untuk berbakti kepada Tuhan,

bisa mendirikan sebuah rumah untuk kebaktian dan pelayanan-pelayanan kerohanian lainnya.

Kemudian Leege juga menyebutkan bahwa, pada akhir abad ke 19 ketika masyarakat

Amerika, dipengaruhi oleh munculnya institusi negara, kebutuhan nasional baru, hadirnya

sekularisme, hadirnya lebih banyak lagi kaum Katolik, Yahudi, dan para dosen dan

mahasiswa, mereka sempat memaknai agama itu secara sekuler. Dalam keadaannya yang

demikian, tulis Leege, agama oleh sebagian masyarakat Amerika, hanya dipandang sebagai

51

David C. Leege dan Lyman A. Kellstedt, Rediscovering the Religious Factor in American Politics,

terj. Debbie A. Lubis dan A. Zaim Rofiqi, “Agama dalam Politik Amerika” (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia dan Freedom Institute, 2006), 5.

52

(16)

narasi yang berakar pada tribalisme dan takhyul, hanya berguna untuk ditelaah sejauh

manusia punya keingintahuan akan masa lampau.53

Menyimak agama di Amerika sempat berada dalam keadaan seperti termaksud di atas,

Leege menyatakan bahwa oleh sebagian masyarakat Amerika, agama diduga akan tergerus

oleh dahsyatnya sekularisasi. Perkiraan itu ternyata tidak menjadi kenyataan, sebab

sekularisasi ternyata tidak membuat agama menghilang dari kehidupan masyarakat Amerika.

Minat terhadap studi agama dan politik justru semakin menunjukkan gejala yang masif.

Menurut Leege kebangkitan minat tersebut muncul di kalangan masyarakat Amerikakarena:

Pertama,adanya kesadaran bahwa zaman keemasan tidak akan datang melalui kolaborasi

negara dan universitas. Kedua,adanya sikap penasaran terhadap gagasan bahwa Roh Ilahi

berkembang dalam berbagai program sosial yang bermaksud baik. Ketiga, adanyapengakuan

bahwa masyarakat umum Amerika tidak pernah melakukan sekularisasi. Keempat,

munculnya kembali pelembagaan program-program studi agama di kampus-kampus negeri

dan swasta. Kelima, adanyakeingintahuan akan pandangan bahwa dalam masyarakat dengan

budaya yang beragam, agama bisa menjadi kekuatan yang menyatukan masyarakattetapi

juga bisa menjadi kekuatan yang memecah belah masyarakat.54

Di mata Leege, agama memang memiliki arti penting dalam kehidupan budaya

manusia. Agama sebagai penunjuk identitas dimana ia mengatakan siapa kita. Agama sebagai

petunjuk norma-norma dimana ia mengatakan bagaimana kita seharusnya bertingkah laku.

Agama sebagai pemeliara tapal-batas, dimana ia mengatakan kepada kita, tentang siapa dan

peilaku apa yang bukan bagian kita.55 Leege juga melihat bahwa agama dalam kehidupan politik Amerika, sama seperti halnya ekonomi, merupakan suatu kekuatan elektoral yang

penting. Maksud Leege, politik Amerika melibatkan berbagai hubungan simbiosis antara para

elit dan pemilih, tidak hanya menyangkut isu-isu ekonomi, tetapi juga menyangkut isu-isu

yang menghubungkan pandangan-pandangan dunia keagamaan dan mobilisasi gereja. Para

politisi Amerika selalu menggunakan metafor-metafor keagamaan dalam kampanye mereka.

Lebih jauh Leege juga mengungkap bahwa, para teoritikus sosial telah lama menunjuk agama

sebagai lem perekat yang menyatukan masyarakat, dan memberikan legitimasi atas

53

David C. Leege and Lyman A. Kellstedt, Rediscovering the Religious . . . ,7.

54

Ibid.

55

(17)

perubahan sosial serta mendefinisikan harapan masyarakat Amerika menyangkut tatanan

politik.56

Eksistensi dan fungsi agamadalam masyarakat Amerika seperti terdiskripsi di atas,

disebutkan oleh Leege, menghadirkan ragam pemikiran tentang posisi agama itu sendiri,

apakah ia bersifat privat ataukah publik. Dalam menanggapi persoalan ini, Leege mengatakan

ada beberapa pandangan umum yang mengemuka dalam masyarakat Amerika. Ada sebagian

masyarakat Amerika yang memahami agama semata-mata urusan privat yang harus

dijalankan oleh keluarga dan kongregasi lokal. Sementara yang lain, ada yang memahami

bahwa agama itu memang privat di satu sisi, tetapi juga menjadi sebuah kendaraanutama bagi

ekspresi nasional bahkan urusan yang bersifat global.Meski masyarakat Amerika secara

umum menerima doktrin pemisahan gereja dan negara, banyak dari mereka percaya, bahwa

agama memiliki peranan penting untuk bermain di aras publik.57

Berkenaan dengan relasi antara agama dan negara dalam kehidupan masyarakat

Amerika, Bellah mengemukakan bahwa hubungan antara agama dan negara di Amerika,

selalu berkait dengan dua pandangan yang berkembang dalam masyarakat Amerika. Kedua

pandangan yang dimaksudBellah ialah:Pertama, ide yang berasal dari gagasan keagamaan bahwa satu masyarakat satu iman. Kedua, gagasan yang tidak dikaitkan sama sekali dengan

organisasi keagamaan sehingga satu individu satu iman. Gagasan satu individu satu iman

adalah gagasan dari sebagian masyarakat Amerika yang menisbatkan agama dari apa yang

publik pikirkan tentang agama. Salah satu contoh dari gagasan agama yang demikian,

ditunjukkan Bellah terdapat pada diri Sheila Larson. Sheila Larson adalah seorang perawat

yang menyebut agamanya atau keyakinan yang dipeluknya sebagai“Sheilaism”.58Fenomena Sheilaism bagi Bellah merupakan salah satu ekspresi dari fenomena satu individu satu

iman.59

Kekristenan di negara-negara Eropa, tempat kekristenan Amerika berasal diposisikan

sebagai religious legitimationbagi kebijakan negara-negara di Eropa. Sedangkan kekristenan di Amerika, dalam sejarah perkembangannya tidak diberi kesempatan oleh negara untuk

terlibat di dalamnya. Relasi antara agama dan negara di Amerika yang demikian ini, agaknya

56

David C. Leege and Lyman A. Kellstedt, Rediscovering the Religious . . . , 10

57

Ibid., 15-6.

58

Robert N.Bellah et.al.,Habits of the Heart:Individualism and Commitment in American Life(New York:Harper and Rows Publishers,1986), 63.

59

(18)

tidak keliru untuk dipandang sebagai sesuatu yang modern tetapi sekaligus sebagai sesuatu

yang meragukan.60 Bahwa pemisahan antara kekristenan dan negara disebut sebagai sesuatu yang modern karena kekristenan di negara-negara Eropa berbeda dengan kekristenan di

Amerika. Bahwa pemisahan antara kekristenan dan negara disebut sebagai sesuatu yang

meragukan karenadi Amerika, pemisahan antara agama dan negara tidak memiliki dasar

konstitusi.61 Berdasarkan pada relasi antara agama dan negara yang demikian ini,kekristenan atau agama lain tidak menjadi agama Negara di Amerika.62

Bertolak dari pengamatannya tentang posisi kekristenan dan juga posisi agama-agama

lain di Amerika, yang eksis dan berfungsi penting namun tidak menjadi agama negara; dan

berbekal pemahamannya tentang agama sipil dari Durkheim dan Rousseau, Bellah

mengintrodusirgagasannya tentang agama sipil di Amerika. Mengawali gagasannya tentang

agama sipil Amerika, Bellah mengatakan bahwa di Amerika ada sebuah agama sipil yang

tertata dan terlembagakan dengan baik, yang berjalan dengankekristenan, namun juga secara

jelas dapat dipisahkan dan dibedakan dari kekristenan. Agama sipil Amerika yang demikian

ini, oleh Bellah, bukanlah dimaksudkan sebagai “national self-worship”, tetapi sebagai

bentuk ketundukan bangsa Amerika pada prinsip-prinsip etika yang melampaui

keberagamaan formal. Jadi semangat keagamaan yang muncul dari berbagai ekspresi

keberagamaan formal, untuk menundukkan diri pada prinsip-prinsip etika yang

mengakomodir etika dari masing-masing agama formal, oleh Bellah disebut sebagai “agama

sipil”.Dalam hal ini, agama sipil Amerika bisa dibedakan dari “institusi” agama sipil

dipelbagai negara lainnya, karena di Amerika agama sipil terpisah dari gereja maupun

negara.63

Dengan maksud untuk menunjukkan ekspresi dari agama sipil Amerika, Bellah

meyatakan bahwa hal itu terkandung pada fenomena yang unik sebagaimana tertuang dan

tertayang dalam momen“state funeral” dan “pidato-pidato Presiden Amerika saat diangkat menjadi kepala Negara”.Salah satu contoh dari momen yang mengungkap ekspresi agama

sipil Amerika yang diangkat Bellah, ialah pidato John F.Kennedy saat pengangkatannya

menjadi presiden Amerika tahun 1961. Kennedy mengungkapkan tiga kali kata

60

Robert N. Bellah, "Religion and the Legitimation of the American Republic", Society, no. 4, 1978, 16-23, reprinted as afterword in Robert N. Bellah, The Broken Covenant: AmericanCivil Religion in Time of Trial (Chicago: The University of Chicago Press, 1975), 169.

61

Ibid

62

Robert N. Bellah, The Broken Covenant . . . , 166.

63

(19)

“Tuhan”.Pertama,kata Tuhan terungkapketika Kennedy mengatakan, “...karena saya telah menyatakan sumpah di hadapan anda sekalian dan dihadapan Tuhan Yang Maha Kuasa”.

Kedua,kata Tuhan diungkapkannya ketika Kennedy mengatakan, “...keyakinan bahwa hak-hak manusia tidak datang dari pemberian negara, tetapi dari tangan Tuhan”. Ketiga,Kennedy

mengungkapkan kata Tuhan, pada saat dia mengatakan,“...karya Tuhan harus benar-benar

menjadi karya kita”.64Menurut Bellah, kata Tuhan yang diucapkan Kennedy pada

moment-moment tersebut di atas, adalah indikator yang memperlihatkan tentangposisi agama di

Amerika yang masih berlangsung sampai dewasa ini. Ketika Kennedy mengucapkan kata

Tuhan, tulis Bellah, Kennedytidak mengacu kepada Yesus Kristus, melainkan kepada konsep

tentang Tuhan yang bisa diterima oleh hampir semua orang Amerika.65 Kemudian dengan maksud menjelaskan makna tentang Tuhan yang diekspresikan dalam sebuah negara yang

memantapkan posisinya untuk memisahkan antara agama dan Negara, Bellah menyatakan

bahwa pemisahan antara agama dan negara itu tidak megingkari dimensi keagamaan dalam

bidang politik.66 Maksud Bellah,meski agama adalah urusan pribadi, tetapi dalam batas-batas tertentu, ada orientasi keagamaan yang dimiliki secara bersama-sama oleh seluruh

masyarakat Amerika sebagai sebuah bangsa. Dimensi dari keyakinan bersama masyarakat

Amerika itu, diekspresikan dalam seperangkat keyakinan, simbol dan ritus yang oleh Bellah

disebut sebagai “American Civil Religion”.67

Setelah Bellah menjelaskan gagasannya tentang agama sipil Amerika seperti

terdiskripsi di atas, dia juga mengatakan bahwa agama sipil Amerika telah melewati tiga

masa percobaan. Ketiga masa percobaan termaksud ialah: Pertama, masa kemerdekaan. Kedua, masa perbudakaan. Ketiga, situasi yang saatini tengah dihadapi, dimana Amerika secara militer, ekonomi, dan budaya memiliki pengaruh yang sangat kuat di

dunia.68Fenomena ketiga cukup mengkhawatirkan Bellah. Hal itu terjadi demikian karena,bagi Bellah, agama sipil Amerika itu adalah ketundukan bangsa Amerika pada

prinsip-prinsip etis yang transendental dan terhadap prinsip-prinsip etis tersebut bangsa itu

dinilai.69Pemikiran seperti ini, dalam bayangan Bellah, bisa berimbas pada sikap eksklusif bangsa Amerika. Oleh karena itu,Bellah berkehendak agar pemikirannya tentang agama sipil

ini, dipahami dari satu latar belakang Amerika Serikatyang baru saja keluar sebagai

64

Robert N. Bellah, Beyond Belief . . . , 170-1.

65

Ibid.

66

Ibid.

67

Ibid.

68

Ibid., 176-9.

69

(20)

pemenang dalam Perang Dunia II. Kekhawatiran Bellah adalah Amerikanisme atau sikap

patriotik yang berlebihan bukan mustahil dapat membawa Amerika Serikat ke suatu

kehidupan yang mengancam eksistensi bangsa-bangsa lain. Karenanya, dia mengatakan

bahwa agama sipil Amerika, haruslah ditempatkan dalam perspektif Agama sipil dunia

supaya mendapatkan maknanya. Maksud Bellah, agama sipil Amerika tidak hanya harus

dilihat dari konteks internal Amerika yang pluralistik, tetapi juga dari konteks Amerika

sebagai salah satu peradaban yang memberikan pengaruh sangat luas terhadap masyarakat

dunia. Dengan mengingatkan agama sipil Amerika harus ditempatkan dalam perspektif

agama sipil dunia, Bellah menyerukan agar agama sipil Amerika ditempatkan dalam

konstelasi ideologi dunia.70

Gagasan Bellah tentang agama sipil Amerika sperti telah terdiskripsi di atas, mendapat

tantangan yang sangat keras, terutama dari gereja-gereja Amerika yang eksklusif.

Gereja-gereja Amerika yag eksklusif sangat keberatan dengan gagasan agama sipil Bellah, karena

mereka disamping berkarakterAmericanism, mereka jugaadalah warisan dan berwawasan

teologi yang triumfalistik. Dengan berkarakter dan berwawasan yang demikian, mereka menciptakan kekuatan primordial Amerika yang dijustifikasi secara teologis, karena mereka

menganggap Amerika sebagai Jerusalem Baru.71Disamping adanya keberatan dari gereja-gereja eksklusif, gagasan Bellah tentang agama sipil Amerika, juga mendapat tantangan dari

para teoritikus politik Amerika. Salah satu dari mereka yang melihat dan mengingatkan akan

bahaya dari ide agama sipil Amerika ialah, David C. Leege. Leege mengidentifikasi agama

sipildi Amerika itu sebagai percampuran nilai-nilai agama dan anti agama dari konflik yang

inheren diantara keduanya.72

Disamping adanya perdebatan tentang gagasan agama sipil Amerika, Bellah, juga

mengungkapkan bahwa agama sipil Amerika sekarang seperti berada dalam kehampaan.

Belajar dari fakta ini, Bellah berpendapat bahwa dalam republikanisme, kovenan eksternal

saja tidak cukup. Ia harus menjadi kovenan internal. Dalam arti,kovenan tersebut tidak hanya

dipatuhi, tetapi harus juga dicintai oleh mereka yang membuat dan menetapkannya. Bellah

mengatakan “the external covenant must become an internal covenant and many times in our

70

Robert N. Bellah, Beyond Belief . . . , 171.

71John A.Titaley, “

Negara,Agama-agama dan Hak Asasi Manusia . . . , 4-5.

72

(21)

history that has happened."73Namun, kovenan internal tidak dapat dilengkapi hanya melalui institusi, itu adalah semangat dan memiliki ritmenya sendiri.Fenomena perkembangan agama

yang demikian ini. Oleh Bellah dikatakan, tidak hanya terjadi di Amerika, tetapi juga terjadi

di Italia, Meksiko dan Jepang.74

III.6. Pemahaman Dan Pemaknaan Agama Sipil Dari Andrew Shank Dan John A.

Coleman

Pemahaman dan pemaknaan agama sipil oleh Shank dituangkan dalam bukunya yang

berjudul “Civil Religion”. Dalam karyanya itu, Shank menyinggung tentang apa yang disebut

sebagai “civil theology”.Oleh Shank dikatakan bahwa,teologi sipil yang adalah sejenis pemikiran, yang dalam tradisiKristen muncul dari sejarah teologi konfesional Kristen,

merupakan inti dari agama sipil. Menurut Shank, agama sipil sendiriadalah disiplin ilmu yang

bertujuan untuk menyembuhkan memori-memori yang terpecah belah, demiterjalin dan

terbangunnyakembali ikatan-ikatan solidaritas baru.75Shank mengaplikasikan gagasan ini,dalam kategori manusia beragama dan juga dalam kategori manusia yang tidak beragama.

Shank mengatakan bahwa agama sipil mampu menghasilkanikatan solidaritas yang

melampaui pembedaan antara orang yang beragama dan orang yang tidak beragama.76

Sebagai inti dari agama sipil, teologi sipil, tulis Shank, harusnya berbeda dari teologi

konfesional dalam hal cara yang digunakan untuk kembali menuju tahap pra teologi.77Dengan lain kata, teologi sipilsenyatanya adalah hierologi sipil, yakni sebuah studi mengenai kesucian yang benar, yang didalamnya pertanyaan-pertanyaan teologi dibiarkan

terkurung.78Dengan demikian, pelaku dari studi initerbuka bagi siapapun bagi semua tradisi agama maupun anti agama. Jadi teologi sipil, menurut Shank, berada pada wilayah tengah

antara teologi konfesional dan hierologi sipil.79Yang penting, demikian kata Shank, dalam membicarakan teologi sipil adalah dalam ketidakharusannya berkonflik dengan

teologikonfesional. Konflik akan terjadi jika teologi konfensional mengklaim akses eksklusif

menuju kebenaran dan jika teologi sipil menuduh iman konfesional akan

73

Robert N. Bellah,The Broken Covenant:American Civil Religion in Time of Trial(Chicago:University of Chicago Press,1992), 142.

74

Khusus untuk perkembangan Agama Sipil bisa dilihat dalam Robert N. Bellah dan Philip E. Hammond, Varieties of Civil Religion(San Fransisco: Harper & Row, 1980).

75

Andrew Shank, Civil Society Civil Religion (Oxford: Blackwell Publishers,1995), 4.

76

Ibid., 4.

77

Ibid.

78

Ibid.

79

(22)

orang yang tidak baik. Di mata Shankteologi konfesional tidak harus membuat klaim seperti

itu dan tidak harus menghasilkan manusia-manusia jahat.80

Jika Shank mengaitkan agama sipil dengan teologi sipil,dimana dalam agama sipilnya

itu terkandung gagasan akan ikatan solidaritas kemanusiaan yang melampau pembedaan

antara manusia teis dan manusia ateis, John A. Coleman81 berusaha memetakan beberapa model agama sipil di pelbagai belahan dunia. Menurut Coleman, setidaknya ada tiga tipe

agama sipil. Ketiga tipe agama sipil termaksud ialah sebagai berikut: Pertama, continued undifferentiation.Tipe agama sipil ini adalah bentuk agama sipil yang memiliki sifat, karakter serta fungsi yang sama dengan institusi yang ada dalam masyarakat itu sendiri. Agama sipil

tipe continuedundifferentiation ini memiliki dua model.Model pertama yakni, agama sipil yang disponsori oleh gereja (church-sponsored). Dalam tipe ini, agama yang dianut oleh kebanyakan warga Negara,mengembangkan simbol-simbol dan nilai-nilai keagamaannya

sebagai kebutuhan dan tujuan kehidupan negara, sehingga agama tersebut mengklaim diri

menjadi petunjuk juga bagi kehidupan sipil. Agama sipil yang demikian ini,senyatanya

adalah bentuk sederhana dari deism.82

Ada tiga masalah yang muncul bila agama sipil dengan model seperti ini dikembangkan

dalam sebuah negara.Masalah utama adalah soal kebebasan beragama dan kebebasan sipil

dari kelompok minoritas seperti kekristenan di Srilangka. Problem berikutnya adalah soal

kesetiaan terhadap negara. Bagi mereka yang menganut agama di luar agama resmi negara,

maka penganut agama minoritas memiliki masalah dalam hal loyalitas terhadap negara.

Terakhir, bila agama resmi tersebut adalah agama yang sangat tradisional serta sulit

menerima perubahan-perubahan modernitas, maka perkembangan negaranya akan sangat

lambat. Contoh yang dikemukakan Coleman untuk tipe ini adalah Spanyol dan

Srilangka.Model kedua adalah agama sipil yang disponsori oleh negara (state-sponsored). Dalam tipe ini negaralah yang memaksakan bentuk keagamaan dalam kehidupan

bernegaranya. Masalah yang muncul dengan tipe ini adalah penolakan dari agama-agama

yang sudah ada. Contoh yang dikemukakan Coleman adalah penyembahan kepada kaisar di

80

Andrew Shank, Civil Society Civil . . . , 4.

81

John A.Coleman adalah salah seorang yang membangun teologi pembebasan di Amerika Latin. Menurut Coleman teologi pembebasan Amerika Latin adalah sebagai agama sipil Amerika Latin. Hal itu dikatakan demikian, karena dia membangun model teologi pembebasan mengikuti model dari konstruksi agama sipil Amerika. Sebagaimana patriotisme menjadi jiwa dari agama sipil Amerika, maka patriotisme pula yang menjadi jiwa dari teologi pembebasan Amerika Latin (agama sipil Amerika Latin) guna untuk membangun masyarakat yang berkeadilan. Lihat John Coleman, An American Strategic Theology (New York: Paulist Press,1982), 125.

82

(23)

kekaisaran Romawi danShintoisme di Jepang. Penolakan datang dari keyahudian dankekristenan di Romawi, sedangkan di Jepang penolakan datang dari agama Buddha.83

Kedua, nasionalisme sekular, yaitu bentuk agama sipil yang muncul karena agama-agama yang ada terlalu tradisional atau terlalu dekat hubungannya dengan suatu rejim yang digantikan oleh rejim baru. Nasionalisme itu berfungsi sebagai “agama” bagi kehidupan negara tersebut dengan cara memberi arah dan nilai. Nasionalisme sekuler perlu dipahami

bukanlah sinonim bagi pemisahan tekhnis antara agama dan negara.Ada tiga kasus dimana

nasionalisme sekuler berhasil menjadi agama sipil pada masing-masing lokusnya. Di Uni

Sovyet, komunisme memposisikan diri sebagai pengganti agama-agama tradisional dan

berfungsi sebagai agama sipil. Dalam Uni Sovyet yang beragama sipil Komunisme, Lenin

menjadi santo, May Daymenjadi seperti hari raya dan revolusi kelompok sosialis. Sementara di Turki, setelahrevolusi Ataturk, nasionalisme menggantikan Islam menjadi agama sipil.

Kasus ketiga adalah penghargaan terhadap akal sebagai panglima selama revolusi Perancis

menyaingi gereja Katolik.Agama sipil dengan mengambil model nasionalisme sekuler ini

juga tak luput dari masalah. Seperti di Turki, agama sipil hanya merupakan agama bagi

segelintir elit negara. Agama sipil tersebut tidak mampu menembus masyarakat di akar

rumput. Penolakan dari agama yang ada terlalu besar, terutama ketikaagama-agama itu

memiliki jaringaninternasional yang kuat.84

Ketiga, agama sipil-pemisahan seperti yang terjadi di Amerika. Hal ini dimungkinkan karena adanya prinsip pemisahan yang tajam antara agama dan negara yang ada dalam

konstitusi Amerika. Agama sipil itu tidaklah sama dan juga tidak menggantikan

agamaKristenProtestan atau Katolik dan juga Keyahudian. Jadi, agama sipil yang ada di

Amerika dapat dilihat sebagai suatu terobosan atas hubungan agama dan politik yang

dipisahkan atau dibatasi, yang disebabkan oleh adanya eksklusivisme agama.85

Pemetaan agama sipil yang dilakukan Coleman seperti tergambar di atas, dilakukan

juga oleh Demerath, walau dengan model sedikit berbeda. Demerath memetakan agama sipil

itu berdasarkan pada observasinya atas perkembangan agama sipil di berbagai negara, yang

berbasis dan berkembang berlandaskan pada gagasan agama sipil Rousseau. Menurut

Demerath, agamasipil itu berkembang karena dipopulerkan oleh elit politik. Demerath

83John A. Coleman, “Civil Religion” dalam

Sociological Analysis . . . ,76.

84

Ibid.,77.

85

(24)

memberi contoh, agama sipil berkembang di Jepang melalui Shinto dari tahun 1860-1940, di

Turki di bawah Kemal Attaturk pada 1920, di Indonesia pada dasar negara Pancasila melalui

Sukarno pada tahun 1945, di Cina pada pergeseran radikal (komunisme)melalui Mao Zedong

pada tahun 1949. Dalam pengamatan Demerath, kasus di Turki dan Cina memungkinkan

hadirnya agama sipil yang tidak semuanya “religius” dalam pengertian konvensional. Di

sana, ada konstruksi yang lebih dekat dengan “religion of the civil” atau "civil sacred”. Komunisme di Cina, Westernism di Turki atau komitmenkebangsaan untuk sebuah negara

kesejahteraan di Swedia, semuanya adalah dasar non religius tetapi memiliki banyak

kesamaan harapan laiknya agama untuk mengikat sebuah bangsa dan kewarganegaraanya

secara kultural.Bagi Demerath, realita demikian ini, menunjukkan bahwa agama sipil adalah

format baru yang sangat penting dari nasionalisme.86

Dalam mengakhiri uraiannya tentang agama sipil, Coleman menyampaikan

karakteristik dari agama sipil itu dalam delapan gambaran.Kedelapan gambaran termaksud

ialah sebagai berikut: Pertama, agama sipil adalah kumpulan dari ritual dan simbol yang berhubungan dengan peran seseorang sebagai warganegara dan perannya sebagai bagian dari

masyarakat serta bagaimana memaknai keduanya pada saat yang bersamaan.Kedua, agama sipil merupakan representasi dari fungsi agama secara khusus, dimana isi dan simbolisasi

keagaamaan yang ada didalamnya, menjadi tanggung jawab kedua belah pihakyaitu agama

dan negara, bukan hanya salah satunya.Ketiga, perbedaan sosial agama sipil dari agama dan negara adalah agama sipil selalu mengikuti garis evolusi kultural sementara agama dan

negara tidak demikian.Keempat, pada kondisi yang tidak bisa membentuk Agama Sipil menjadi begitu berbeda dengan yang lainnya, maka fungsi agama sipil dibentuk oleh institusi

keagamaan dan atau oleh Negara.Kelima, pada kondisi diatas, agama sipil pada saat yang bersamaan dapat memberikan kebebasan dan keleluasaan, baik bagi agama maupun

negara.Keenam, secara definitif agama sipil merupakan sebuah sistem keagamaan yang didapat, guna untuk membentuk integrasi sosial di masyarakat luas,sebagaimana oleh

Durkheim disebut sebagai identitas dan solidaritas nasional dari agama.Ketujuh, pada

saatagama dan agama sipil memiliki fungsi yang berbeda dalam berintegrasi dengan

masyarakat, maka integrasi agama dengan masyarakat ditentukan pada bagaimana bentuk

hubungan antara agama dan agama sipil.Kedelapan, perbedaan antara agama sipil dari institusi keagamaan dan Negara, semestinya tidak membuat negara bersikap oposisi

86

(25)

terhadapinstitusi keagamaan,sehingga institusi keagamaan dapat secara bebas menjalankan

fungsi profetiknya.87

III.7. Pemahaman Dan Pemaknaan Agama Sipil Dari Hans Kung

Masih senada dengan konsepsi Durkheim tentang “kesadaran kolektif” yang dalam

bahasa Rousseau dan Bellah diungkapkan sebagai tuntunan dan tuntutan sosial, yang

memiliki nilai imaniah sehingga patut dilakukan bahkan dicintai oleh setiap warga masyarakat demi kepentingan bersama, Hans Kung juga memiliki gagasan tentang “etik

global”. Etik global dalam pemikiran Hans Kung adalah sebuah konsensus dasar dari sebuah

masyarakat, yang terkait dengan nilai-nilai yang mengikat dan standar-standar yang tidak

dapat diganggu gugat oleh anggota masyarakat, demi terhindarnya masyarakat dari

kekacauan dan kediktatoran.88

Lebih jauh Hans Kung mengemukakan bahwa “etik global”itu, yang dalam bahasa

Durkheim disebut “moralitas masyarakat”, atau “hati nurani masyarakat”, bukanlah sebuah

kesatuan agama di atas semua agama yang ada, dan juga bukan dominasi satu agama atas

agama lainnya. Etik global juga bukan mereduksi agama-agama ke dalam minimalisme etis,

melainkan menghadirkan empat batas minimal etik yang patut dimiliki bersama oleh semua

agama. Keempat batas minimal etik yang patut dimiliki bersama oleh semua agama, karena

keempat nilai itu sesungguhnya terdapat pada hampir semua agama ialah sebagai berikut:

Pertama, nilai non kekerasan dan hormat pada kehidupan. Kedua, nilai solidaritas dan tata

ekonomi yang adil. Ketiga, nilai toleransi dan hidup yang tulus. Keempat, nilai kesejajaran

hak dan kerjasama antara laki-laki dan perempuan.

Menurut Hans Kung, etik global tidak dimaksudkan untuk melawan siapapun, namun

justru untuk mengundang setiap orang untuk menjadikan etik global sebagai milik bersama

dan berbuat sesuai dengannya. Dalam hipothesa Hans Kung dikatakan bahwa, bila keempat

batas minimal etik yang patut dimiliki bersama oleh semua agama seperti termaksud di atas,

menjadi jiwa semua agama, maka masing-masing agama akan memiliki kemampuan untuk

mengatasi ajaran, hukum dan institusi agamanya demi kemanusiaan.89 Bila hipothesa Hans Kung dituangkan dalam bahasa Durkheim, nampaknya bisa dikatakan bahwa, kalau “hati

87John A. Coleman, “Civil Religion” dalam Sociological Analysis . . . ,

76-7.

88

Hans Kung dan Karl-Josef Kuschel, A Global Ethic, diindonesiakan oleh Ahmad Murtajib (Yogyakarta: Sisiphus, 1999), xxxi-xxxiv,16,21-39.

89

Referensi

Dokumen terkait

Contoh filosofi Islam yang diterapkan pada menara Islamic Center Samarinda Sumber :

Meskipun dalam realita sulit mendefinisikan sistem tunggal dari patriarki yang diadopsi oleh masyarakat, namun secara umum dapat diidentifikasi beberapa aspek yang

Mata bor helix kecil ( Low helix drills ) : mata bor dengan sudut helix lebih kecil dari ukuran normal berguna untuk mencegah pahat bor terangkat ke atas

[r]

Desain tempat wudhu sangat beraneka ragam, namun dalam aspek kebersihan dan kesucian lebih baik didesain dengan menggunakan kran dengan penampung air yang

1) Learning environment using media Pathilan game already looks more relaxed, lively and conducive. This shows that the purpose of using Pathilan game to get more lively

[r]

[r]