• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pembatalan Putusan Arbitrase Internacional di Pengadilan Indonesia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pembatalan Putusan Arbitrase Internacional di Pengadilan Indonesia"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

Pembatalan Putusan Arbitrase Internasional di Pengadilan Indonesia

Sebagai syarat untuk memenuhi Ujian Tengah Semester

Hukum Penyelesaian Sengketa Alternatif Dan Arbitrase

Oleh

Bella Anggini Putri 110110140251

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS PADJADJARAN

(2)

HALAMAN PERNYATAAN

“DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA UJIAN TENGAH SEMESTER INI MURNI DIKERJAKAN SENDIRI TANPA ADANYA BANTUAN DARI ORANG LAIN”

(3)

PENDAHULUAN

Ada beberapa cara yang bisa dipilih untuk menyelesaikan sengketa secara internasional. Berdasarkan Pasal 33 dari Piagam PBB dibahas mengenai cara–cara penyelesaian sengketa internasional secara damai yang meliputi negotiation, enquiry, mediation, arbitration, judical settlement, dan resort to regional agencies or arraggement, serta dimasukan juga good-offices.

Dalam sebuah transaksi bisnis, potensi timbulnya sengketa antara para pihak selalu ada dan tentunya penyelesaian sengketa yang diinginkan adalah penyelesaian yang bersifat efektif. Sebagai salah satu alternatif penyelesaian sengketa, arbitrase dipandang sebagai cara yang efektif dan adil. Badan arbitrase akan efektif apabila kedua belah pihak sepakat untuk menyerahkan sengketanya kepada badan arbitrasi baik sebelum maupun sesudah adanya sengketa. Berbicara mengenai arbitrase atau lembaga arbitrase, sebenarnya sudah ada dan telah dipraktekkan selama berabad-abad (bahkan pertama kali diperkenalkan oleh masyarakat Yunani sebelum masehi). Menurut M. Domke bangsa-bangsa telah menggunakan cara penyelesaian sengketa melalui arbitrasi sejak zaman Yunani kuno. Praktek ini berlangsung pula pada masa keemasan Romawi dan Yahudi (biblical times) serta terus berkembang terutama di negara-negara dagang di Eropa seperti Inggris dan Belanda.

Pemilihan forum secara litigasi atau pengadilan sebagai penyelesaian sengketa menjadi tidak di lirik lagi dalam transaksi bisnis yang bersifat internasional1. Seringkali dalam transaksi bisnis internasional bidang yang menjadi pokok sengketa bersifat teknis. Dengan arbitrase, para pihak dapat memilih arbitrator yang memiliki keahlian di bidang yang menjadi pokok sengketa2. Transaksi bisnis internasional, di antaranya, adalah transaksi bisnis yang melibatkan para pihak yang berbeda kewarganegaraan. Memilih pengadilan nasional salah satu pihak sebagai forum penyelesaian sengketa memberikan rasa tidak nyaman (unconvinience) bagi pihak yang lainnya3. Ketidaknyamanan itu disebabkan oleh beberapa hal. Pertama, pihak asing kurang memahami prosedur pengadilan negara tersebut. Sebagai contoh, sidang pada pengadilan menggunakan bahasa nasional negara tersebut yang tidak dimengerti oleh pihak asing. Kedua, pihak asing cenderung merasa kurang mempercayai

1

Randall and John E. Norris Washington, “A New Paradigm for International Business Transactions”, Washington University Law Quarterly, 1993, hlm. 1.

(4)

pengadilan nasional pihak lawannya, apalagi apabila forum pengadilannya adalah pengadilan suatu negara berkembang yang sistem peradilannya masih sarat dengan praktek korupsi, kolusi, nepotisme dan tekanan politis. Praktek-praktek ini tentunya akan mempengaruhi objektivitas hakim, hakim bisa saja bersikap bias4. Untuk mencapai

kesepakatan bersama di antara para pihak yang berbeda kewarganegaraan mengenai forum penyelesaian sengketa yang akan dipilih tentu bukanlah hal yang mudah. Inilah sebabnya pemilihan forum penyelesaian sengketa yang tepat menjadi salah satu hal yang patut dipertimbangkan dengan seksama ketika sebuah kontrak disusun5.

Negara Indonesia telah memiliki peraturan yang mengatur arbitrase secara khusus yaitu Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (UU Arbitrase). Akan tetapi, dalam undang-undang mengenai arbitrase tersebut sifatnya nasional bukan bersifat internasional. Selain itu di dalam peraturan tersebut diadopsi ketentuan mengenai pelaksanaan putusan arbitrase asing dalam New York Convention 1958 yang telah disahkan melalui Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 1981. Dengan melaksanakan konvensi ini secara sebaik-baiknya, Indonesia telah meningkatkan kepercayaan dunia internasional dengan memberikan kepastian hukum mengenai pelaksanaan putusan arbitrase asing.

Pemeriksaan sengketa melalui arbitrase akan berujung pada putusan arbitrase. UU Arbitrase mengatur bahwa putusan arbitrase bersifat final dan mengikat. Namun demikian, UU Arbitrase mengatur pula bahwa putusan arbitrase tersebut dapat dibatalkan oleh pengadilan negeri. Pembatalan putusan arbitrase sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 70 UU Arbitrase merupakan upaya hukum yang diberikan kepada para pihak yang bersengketa untuk meminta kepada pengadilan negeri membatalkan sebagian atau seluruh putusan arbitrase. Terdapat pro dan kontra dalam menginterpretasikan ketentuan yang mengatur pembatalan putusan arbitrase tersebut. Antara lain ialah pendapat yang mengemukakan bahwa alasan-alasan yang tercantum dalam Pasal 70 UU Arbitrase tidak bersifat limitatif6.

Pembatalan putusan arbitrase pada dasarnya berbeda dengan penolakan pelaksanaan putusan arbitrase asing seperti yang diatur dalam New York Convention 1958. Perbedaan tersebut dapat dilihat berdasarkan konsekuensi hukum pembatalan putusan

4

William W. Park (a), “The Specificity of International Arbitration: the Case for FAA Reform” Vanderbilt Journal of International Law, October 2003, par. 25.

5

Ralph H. Folsom, Michael Wallace Gordon dan John A. Spanogle,JR, “International Business Transaction In A Nutshell” St. Paul : West Publishing Co, 1996, hlm. 328.

6

Tony Budidjadja, Public Policy as Grounds for Refusal of Recognition and

(5)

arbitrase yang memberikan dampak dinafikannya (seolah tidak pernah dibuat) suatu putusan arbitrase dan pengadilan dapat meminta agar para pihak mengulang proses arbitrase (re-arbitrate), sedangkan penolakan putusan arbitrase asing oleh pengadilan, tidak berarti menafikan putusan tersebut. Penolakan pelaksanaan putusan arbitrase asing memiliki konsekuensi tidak dapatnya putusan arbitrase asing dilaksanakan di yurisdiksi pengadilan yang telah menolaknya7.

Dalam praktik pengadilan di Indonesia seringkali dijumpai adanya kerancuan pemahaman terhadap penyelesaian sengketa arbitrase internasional sehingga menimbulkan pertanyaan besar mengenai apakah pengadilan nasional memiliki kewenangan dalam membatalkan suatu putusan arbitrase internasional. Berdasarkan latar belakang tersebut mendorong penulis untuk membahas lebih lanjut dalam bentuk paper terkait “Pembatalan Putusan Arbitrase Internasional di Pengadilan Indonesia”

(6)

PEMBAHASAN

Penting untuk membedakan antara putusan arbitrase domestik dengan putusan arbitrase asing karena hukum nasional suatu negara memberikan perlakuan yang berbeda terhadap keduanya8. Terlebih dahulu akan dibahas makna arbitrase internasional dari Alan Redfern dan Martin Hunter yang menyatakan kata “internasional” dalam arbitrase internasional digunakan untuk membedakan yang mana arbitrase nasional atau domestik dan yang telah melampaui batas nasional. Perlu diketahui saat ini terdapat beragam terminologi yang digunakan untuk arbitrase internasional seperti arbitrase asing namun dalam tulisan ini akan digunakan terminologi arbitrase internasional. Penulis mengacu pada Pasal 1 ayat (3) UNCITRAL Model Law on International Commercial Arbitration bahwa arbitrase internasional yaitu arbitrase yang :

a. para pihak dalam suatu perjanjian arbitrase, pada saat menutup perjanjian memiliki tempat usaha dalam negara yang berbeda; atau

b. salah satu dari tempat di bawah ini berada di luar negara para pihak memiliki tempat usaha mereka:

1. Tempat arbitrase telah ditentukan di dalam atau berdasarkan perjanjian arbitrase ini;

2. Setiap tempat di mana suatu bagian penting dari kewajiban menurut pilihan bisnis ini akan dilakukan atau tempat dengan mana pokok permasalahan ini yang disengketakan memiliki hubungan yang paling dekat; atau

c. para pihak secara tegas menyetujui bahwa pokok masalah dari perjanjian arbitrase ini berhubungan dengan lebih dari satu negara.

Penentuan apakah suatu putusan arbitrase termasuk putusan arbitrase domestik atau putusan arbitrase internasional menurut Mauro Rubino Sammartano terdapat dua kriteria yang dipakai yaitu geographic criterion dan procedural criterion9. Berdasarkan

geographic criterion, tempat di mana putusan arbitrase dibuat menjadi faktor penentu dalam membedakan antara putusan arbitrase domestik dengan putusan arbitrase internasional. Dengan geographic criterion, suatu putusan arbitrase digolongkan sebagai putusan arbitrase internasional apabila putusan tersebut dibuat di negara selain negara di mana pelaksanaannya dimintakan (enforcing country). Sedangkan procedural criterion, hukum dari suatu negara yang mendasari penyelesaian sengketa melalui arbitrase (procedural law, lex

8

Alan Redfern dan Martin Hunter, “Law and Practice of International Arbitration”, London: Sweet & Maxwell, Ltd., 1986, hlm. 10.

(7)

arbitri atau curial law) menjadi faktor penentu dalam membedakan antara putusan arbitrase domestik dengan putusan arbitrase internasional. Dengan procedural criterion, suatu putusan arbitrase digolongkan sebagai putusan arbitrase domestik apabila persidangan arbitrasenya didasarkan pada procedural law dari negara yang bersangkutan. Sebaliknya, suatu putusan arbitrase dianggap sebagai putusan arbitrase asing apabila persidangan arbitrasenya tunduk pada procedural law dari negara lain.

Putusan arbitrase internasional dalam Pasal 1 angka 9 UU Arbitrase didefinisikan sebagai :

a. Putusan arbitrase tersebut dijatuhkan di luar wilayah hukum Indonesia; dan b. Putusan arbitrase tersebut dianggap sebagai suatu putusan arbitrase

internasional berdasarkan ketentuan Hukum Republik Indonesia.

Berkaitan dengan klasifikasi yang kedua, terdapat ketidakjelasan mengenai “ketentuan Hukum Republik Indonesia” yang harus digunakan. Pasal 1 (1) New York Convention 1958 juga tidak memberikan pendefinisian mengenai putusan arbitrase asing secara tegas namun intinya adalah putusan arbitrase yang dibuat di negara selain negara di mana pelaksanaannya dimintakan dan tidak ditentukan dari kewarganegaraan pihak-pihak yang bersengketa10. Pendaftaran putusan arbitrase internasional diatur dalam ketentuan Pasal 67 ayat (1) UU Arbitrase yang menyatakan, “permohonan pelaksanaan putusan arbitrase internasional dilakukan setelah putusan tersebut diserahkan dan didaftarkan oleh arbiter atau kuasanya kepada Panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat”.

Sangat sering dijumpai pihak yang kalah tidak segera melaksanakan putusan arbitrase. Sebagai gantinya harus dilakukan upaya hukum tertentu atas putusan arbitrase agar dilaksanakan. Pada dasarnya putusan arbitrase bersifat final dan mengikat namun tidak berarti ia kebal dari upaya hukum11. Sebenarnya terbukanya kemungkinan untuk melakukan upaya hukum atas putusan arbitrase merupakan suatu bentuk perlindungan bagi para pihak dari putusan arbitrase yang mungkin saja salah dalam penerapan hukumnya atau dalam segi prosedur pengambilan putusan arbitrase tersebut12. Dengan kata lain, upaya hukum merupakan bentuk pengawasan dari pengadilan negara yang hukum arbitrasenya mendasari penyelesaian sengketa melalui arbitrase terhadap integritas arbitrator dalam segi prosedur pengambilan keputusan13. Namun demikian, tidak ada

10

Albert Jan Van den Berg, The New York Arbitration Convention of 1958, Netherlands: Kluwer Law and Taxation Publisher, 1981, hlm. 15.

11

Kaj Hobér dan Howard S. Sussman, “Cross-Examination In International Arbitration : Nine Basic Priciples”, New York : Oxford University Press, 2014 hlm. 10.

(8)

konvensi internasional yang mengatur sampai batas-batas mana suatu negara boleh melakukan pengawasan atas putusan arbitrase yang dibuat berdasarkan hukum arbitrase negara yang bersangkutan. Apalagi, setiap negara memiliki kedaulatan, termasuk untuk merumuskan hukum nasionalnya sendiri14. Sebagai konsekuensinya, bentuk upaya hukum atas putusan arbitrase berbeda-beda dalam setiap negara.

Upaya hukum (dalam Bahasa inggris diistilahkan dengan Recourse atau Challenge). Challenge bisa berupa banding (Appeal) kepada pengadilan yang berwenang atau permohonan untuk melakukan pembatalan (Annulment atau Setting Aside)15. Hukum

arbitrase beberapa negara, khususnya yang sistem hukumnya menganut sistem Common Law, menyediakan kemungkinan untuk melakukan banding ke pengadilan atas suatu putusan arbitrase16. Secara umum alasan diajukannya banding adalah apabila terdapat kesalahan dalam penerapan hukum oleh arbitrator sekaligus juga dapat disimpulkan bahwa pengadilan akan memerikasa kembali pokok perkara (merit of the case) yang sebelumnya telah diperiksa oleh arbitrator. Melalui upaya hukum banding ke pengadilan, putusan arbitrase yang salah dalam penerapan hukumnya dapat dikoreksi. Hal ini merupakan bentuk pengawasan oleh pengadilan (judicial control) atas arbitrase dilakukan berdasarkan hukum arbitrase negara yang bersangkutan.

Upaya hukum pembatalan putusan yang biasanya dikenal di negara-negara yang sistem hukumnya menganut sistem Civil Law17. Berbeda dengan banding atas putusan

arbitrase di mana pengadilan akan memeriksa kembali pokok perkara, pada pembatalan pengadilan hanya memeriksa keabsahan dari segi prosedur pengambilan keputusan arbitrase. Dengan demikian, pengadilan tidak akan memeriksa kembali pokok perkara. Pembatalan suatu putusan arbitrase akan berakibat putusan arbitrase tersebut batal demi hukum.Putusan arbitrase itu tidak memiliki kekuatan hukum lagi di negara di mana putusan tersebut dibuat18. Selain itu, putusan tersebut mungkin tidak dapat dilaksanakan di negara-negara yang telah mengesahkan New York Convention 1958 dikarenakan salah satu alasan penolakan putusan arbitrase adalah apabila putusan arbitrase tersebut telah dibatalkan (set aside) oleh forum yang berwenang. Karena putusan arbitrase tersebut telah batal demi

14

Martin Dixon, Textbook on International Law, ed.3, London: Blackstone Press Limited, 1996, hlm. 156.

15

International Council for Commercial Arbitration”International Handbook on Commercial Arbitration : National Reports and Basic Legal Texts”, General Editor Pieter Sanders Kluwer, hlm 23-26

16

Kenneth R. Simmonds dan Brian H.W Hill, “International Commercial Arbitration: Commercial Arbitration Law in Asia and the Pasific”, New York : Oceana Publications Inc., 1987, hlm. 21 Lihat International Council for Commercial Arbitration”International Handbook on Commercial Arbitration : National Reports and Basic Legal Texts”, The Hague : Kluwer Law International, hlm 23-26

(9)

hukum, para pihak tentunya harus menempuh upaya hukum yang baru lagi untuk memperoleh ganti rugi (remedy) yang mereka harapkan, baik melalui arbitrase lagi ( re-arbitrate) atau dengan litigasi.

Pada dasarnya pembatalan putusan tidak diatur dalam New York Convention 1958 namun pada Pasal V ayat 1 (e) New York Convention 1958 menyinggung kemungkinan terjadinya pembatalan putusan abritrase oleh apa yang disebutnya sebagai Competent Authority (otoritas yang berwenang) dari negara dibuatnya putusan arbitrase atau berdasarkan hukum dalam pembuatan putusan arbitrase tersebut (Lex Arbitri). Setelah dikeluarkannya UU Arbitrase, pembatalan putusan arbitrase diatur pada Pasal 70-72. Namun tidak disebutkan secara tegas, apakah pembatalan putusan tersebut berlaku untuk putusan arbitrase nasional dan internasional. Karenanya, ada yang berpendapat bahwa pembatalan putusan pada Pasal 70-72 UU Arbitrase, juga mencakup pembatalan putusan arbitrase internasional. Sementara yang lainnya berpendapat bahwa masalah pembatalan hanya berlaku untuk putusan arbitrase nasional, tidak termasuk putusan arbitrase internasional. Upaya hukum dalam UU Arbitrase dianggap lebih sempit dari ketentuan UNCITRAL Model Law karena dalam Pasal 70 tidak membolehkan pengadilan untuk melaksanakan putusan diluar negara tempat arbitrase dibuat19.

Pasal 70 UU Arbitrase berbunyi:

Terhadap putusan arbitrase para pihak dapat mengajukan permohonan pembatalan apabila putusan tersebut diduga mengandung unsur-unsur sebagai berikut:

c. surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan setelah putusan dijatuhkan, diakui palsu atau dinyatakan palsu;

d. setelah putusan diambil ditemukan dokumen yang bersifat menentukan, yang disembunyikan oleh pihak lawan; atau

e. putusan diambil dari hasil tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam pemeriksaan sengketa

Alasan-alasan permohonan pembatalan putusan arbitrase seperti halnya diatur dalam ketentuan Pasal 70 UU Arbitrase bukan merupakan satu-satunya alasan untuk membatalkan suatu putusan arbitrase. Pendapat tersebut didukung argumentasi bahwa alasan yang tidak diatur dalam Pasal 70 UU Arbitrase bukan berarti tidak dapat dipergunakanSalah satu contoh alasan yang tidak disebutkan dalam Pasal 70 UU Arbitrase

(10)

namun dapat digunakan oleh Pengadilan dalam hal pembatalan putusan arbitrase adalah alasan bahwa sengketa yang diputus oleh forum arbitrase menurut hukum telah terjadi “kesalahan prosedural”20. Adanya kesalahan prosedural dapat mengakibatkan putusan arbitrase internasional dapat dibatalkan. Sebagai satu contoh, untuk putusan arbitrase internasional, eksekusinya harus melalui New York Convention 1958 di mana sebelum eksekusi putusan tersebut harus terlebih dahulu didaftarkan kepada Panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Apabila pendaftaran tersebut tidak dilaksanakan maka terdapat suatu kesalahan dalam proses pelaksanaan putusan arbitrase tersebut sehingga pengadilan dapat membatalkannya.

Permohonan pembatalan putusan arbitrase hanya bisa diajukan terhadap putusan arbitrase yang sudah didaftarkan di pengadilan. Dasar-dasar pembatalan putusan arbitrase tersebut harus terlebih dahulu dibuktikan dengan putusan pengadilan. Apabila pengadilan menyatakan bahwa alasan-alasan tersebut terbukti atau tidak terbukti, maka putusan pengadilan ini dapat digunakan sebagai dasar pertimbangan bagi hakim untuk mengabulkan atau menolak permohonan. Permohonan pembatalan putusan arbitrase berdasarkan Pasal 71 UU Arbitrase harus diajukan dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak hari penyerahan dan pendaftaran putusan arbitrase kepada Panitera Pengadilan Negeri.

Pembatalan putusan arbitrase internasional yang ramai diperbincangkan adalah dikabulkannya gugatan pembatalan putusan arbitrase Swiss oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus) dalam kasus pertamina vs Karaha Bodas. Sistem Hukum Indonesia menentukan pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya.

Berdasarkan Pasal V (1) (e) New York Convention 1958, pembatalan suatu putusan arbitrase hanya dapat dilakukan oleh competent authority yaitu pengadilan dari negara di mana putusan arbitrase tersebut dibuat dan pengadilan dari negara yang hukumnya dijadikan dasar dikeluarkannya putusan arbitrase tersebut hal ini sesuai dengan asas lex arbitri bahwa negara dengan yurisdiksi primer (primary jurisdiction) memiliki kewenangan membatalkan putusan arbitrase internasional. Jadi pengadilan di negara tempat putusan arbitrase tersebut dijatuhkan merupakan pengadilan dengan yurisdiksi primer. Sudargo

(11)

Gautama mengungkapkan bahwa perlu diperhatikan “Country of Origin” dalam penentuan yurisdiksi primer.

Sementara yurisdiksi sekunder (secondary jurisdiction) adalah badan peradilan dari negara di mana suatu putusan arbitrase dimintakan pelaksanaannya21. Negara dengan yurisdiksi sekunder tidak boleh menolak pelaksanaan suatu putusan arbitrase berdasarkan alasan selain dari dasar penolakan sebagaimana tercantum dalam Pasal V (1) (e) New York Convention 1958. Pendapat ini telah dikuatkan oleh putusan US Court of Appeal, Second Circuit dalam perkara antara Yusuf Ahmed Alghanim & Sons melawan Toys “R” S.

Pertamina mendasarkan karena kedua belah pihak telah memilih hukum Indonesia sebagai hukum yang mengatur perjanjian maka pengadilan Indonesia bisa membatalkan putusan arbitrase internasional berdasarkan Pasal V New York Convention 1958. Menurut Pertamina pengadilan di Amerika atau di negara manapun tidak bisa melaksanakan putusan Swiss karena PN Jakpus telah membatalkan dan pengadilan ini telah kompeten berdasarkan hukum22. Sangat jelas bahwa PN Jakpus tidak berwenang untuk membatalkan putusan Swiss. Ada dua kesalahan yang fatal dalam putusan PN Jakpus. Pertama, sementara dalam putusan PN Jakpus dapat menerapkan New York Convention 1958 tapi konvensi tersebut tidak diaplikasikan. Kedua, menganggap pengadilan memiliki yurisdiksi adalah salah tafsir terhadap dua kewenangan pengadilan berdasarkan konvensi. Pasal V(1) (e) New York Convention 1958 menyatakan bahwa hanya “court of origin” yang bisa melaksanakan putusan berdasarkan hukum nasional. Indonesia hanya merupakanyurisdiksi primer, yang tidak berwenang untuk membatalkan Putusan Arbitrase Swiss sedangkan pengadilan yang berwenang untuk membatalkan putusan arbtitrase dalam kasus tersebut ialah Pengadilan di Swiss karena ia yurisdiksi utama. Berdasarkan Pasal 1338 KUHPer semua perjanjian adalah undang-undang bagi mereka yang membuatnya23. Lex Arbitri terdapat dalam hukum Swiss dan tidak dimungkinkan untuk memilih Lex Arbitri lain hal ini terlihat dalam Joint Operation Contract dan Energy Sales Contract yaitu ”The site of the arbitration shall be Geneva, Switzerland”.

Terdapat dua pandangan yang bertentangan mengenai pelaksanaan putusan

21

Carolyn B. Lamm, Eckhard R. Hellbeck dan Chiara Giorgetti, “The New Frontier of Investor–State Arbitration: Annulment of NAFTA Awards” International Arbitration Law Review, 2008

22

Noah Rubins “The Enforcement And Annulment Of International Arbitration Awards In Indonesia”, Op.cit. hlm. 8-9.

(12)

arbitrase yang telah dibatalkan. Pandangan yang pertama didasarkan pada pandangan

yang tradisional. Sedangkan pandangan yang kedua didasarkan pada teori delokalisasi

(

delocalisation theory). Menurut pandangan yang tradisional, penyelesaian sengketa melalui arbitrase terikat pada hukum arbitrase dari negara di mana arbitrase berlangsung. Sedangkan apabila para pihak telah memilih hukum arbitrase yang lain dengan hukum dari negara tempat arbitrase, maka penyelesaian sengketa melalui arbitrase tersebut didasarkan pada hukum arbitrase yang telah dipilih oleh para pihak.

Selanjutnya, negara yang hukum arbitrasenya dipilih untuk mendasari penyelesaian sengketa melalui arbitrase tersebut dipandang sebagai negara asal dari putusan arbitrase yang bersangkutan. Sebagai konsekuensinya, keabsahan dari suatu putusan arbitrase bersumber dari hukum negara asal putusan tersebut24. Berdasarkan pemikiran tersebut, maka apabila suatu putusan arbitrase di negara asalnya telah dibatalkan, putusan arbitrase tersebut seolah-olah tidak ada lagi. Dengan demikian, putusan arbitrase yang telah dibatalkan di negara asalnya tidak bisa dilaksanakan lagi di negara lain karena putusan tersebut tidak memiliki kekuatan hukum lagi.

Pendekatan yang kedua adalah pendekatan yang didasarkan pada delocalisation theory. Berlawanan dengan pandangan tradisional, menurut delocalisation theory, penyelesaian sengketa melalui arbitrase dipisahkan dari hukum negara asal putusan arbitrase25. Ini berarti keberadaan putusan arbitrase dipisahkan dari hukum negara asal putusan itu sehingga negara tersebut dipandang tidak memiliki hubungan hukum dengan putusan arbitrase tersebut. Apabila negara tersebut telah membatalkan putusan tersebut, negara lain tetap boleh mengakui dan melaksanakan putusan tersebut26.

Tidak sampai disitu pihak Karaha Bodas mengajukan permohonan banding dan permohonan tersebut dikabulkan. Mahkamah Agung berpendapat bahwa pembatalan putusan arbitrase hanya dapat dilakukan atas putusan arbitrase domestik, tidak pada putusan arbitrase internasional. Putusan yang diajukan pembatalannya di PN Jakpus itu adalah sebuah putusan arbitrase internasional oleh karenanya, Mahkamah Agung dalam putusan No. 01/BANDING/WASIT.INT/2002 menyatakan bahwa PN Jakpus tidak memiliki wewenang untuk membatalkan putusan arbitrase Swiss. Putusan ini telah sejalan dengan

24

Kenneth R. Davis, “Unconventional Wisdom: A New Look at articles V and VII of the Convention on the Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Awards”, op.cit. hlm 10

(13)
(14)

KESIMPULAN

Pembatalan Putusan Arbitrase ialah suatu upaya hukum yang diberikan kepada para pihak yang bersengketa untuk meminta kepada Pengadilan Negeri agar suatu putusan arbitrase dibatalkan. pembatalan putusan arbitrase memberikan dampak dinafikannya (seolah tidak pernah dibuat) suatu putusan arbitrase dan pengadilan dapat meminta agar para pihak mengulang proses arbitrase. Undang-Undang Arbitrase dalam Pasal 70 memberikan kewenangan kepada pengadilan untuk membatalkan putusan arbitrase namun ketentuan dalam Pasal 70 sampai dengan Pasal 72 UU Arbitrase tidak jelas mengatur apakah ketentuan tersebut berlaku atas putusan arbitrase nasional saja atau berlaku pula atas putusan arbitrase internasional.

Pasal V ayat (1) e New York Convention 1958 menyatakan bahwa pengadilan yang memiliki wewenang untuk memutus permohonan pembatalan terhadap Putusan Arbitrase Internasional adalah hanya Pengadilan di negara mana, atau berdasarkan hukum mana putusan tersebut dibuat. hal ini sesuai dengan asas lex arbitri bahwa negara dengan yurisdiksi primer memiliki kewenangan membatalkan putusan arbitrase internasional sedangkan negara yang memiliki yurisdiksi sekunder tidak boleh menolak pelaksanaan suatu putusan arbitrase.

(15)

DAFTAR PUSTAKA

BUKU

Albert Jan Van den Berg, The New York Arbitration Convention of 1958, Netherlands: Kluwer Law and Taxation Publisher, 1981.

Alan Redfern dan Martin Hunter, “Law and Practice of International Arbitration”, London: Sweet & Maxwell, Ltd., 1986.

Huala Adolf, “Arbitrase Komersial Internasional ed.2”, Jakarta: Rajawali Press, 1993.

International Council for Commercial Arbitration”International Handbook on Commercial Arbitration : National Reports and Basic Legal Texts”, The Hague : Kluwer Law an Taxation Publishers

Kaj Hobér dan Howard S. Sussman, “Cross-Examination In International Arbitration : Nine Basic Priciples”, New York : Oxford University Press, 2014.

Kenneth R. Simmonds dan Brian H.W Hill, “International Commercial Arbitration: Commercial Arbitration Law in Asia and the Pasific”, New York : Oceana Publications Inc., 1987.

Mauro Rubino Sammartano, “International Arbitration Law”, The Hague : Kluwer Law and Taxation Publishers, 1990.

Martin Dixon, Textbook on International Law, ed.3, London: Blackstone Press Limited, 1996.

Ralph H. Folsom, Michael Wallace Gordon dan John A. Spanogle,JR, “International Business Transaction In A Nutshell” St. Paul : West Publishing Co, 1996

Tony Budidjadja, Public Policy as Grounds for Refusal of Recognition and

Enforcement of Foreign Arbitral Awards in Indonesia, Jakarta: PT Tata Nusa, 2002.

(16)

JURNAL

Carolyn B. Lamm, Eckhard R. Hellbeck dan Chiara Giorgetti, “The New Frontier of Investor– State Arbitration: Annulment of NAFTA Awards” International Arbitration Law Review, 2008

Hikmahanto Juwana, “Pembatalan Putusan Arbitrase Internasional oleh Pengadilan Nasional” Jurnal Hukum Bisnis Vol.21, 2002.

Kenneth R. Davis, “Unconventional Wisdom: A New Look at articles V and VII of the Convention on the Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Awards” Texas International Law Journal, Winter 2002

Noah Rubins “The Enforcement And Annulment Of International Arbitration Awards In Indonesia”, American University International Law Review Rev. 359, 2005.

Randall and John E. Norris Washington, “A New Paradigm for International Business Transactions”, Washington University Law Quarterly, 1993.

Robert N. Hornick, "Indonesian Arbitration in Theory and Practice", The American Journal of Comparative Law, Vol. 39, No. 3 Summer 1991.

(17)

Referensi

Dokumen terkait

Karena dengan banyak pasangan, kemungkinan untuk tertular virus HPV semakin besar (1) c.. Karena dengan bersentuhan saja sudah menularkan virus

PENGARUH KOMPENSASI, LINGKUNGAN KERJA DAN GAYA KEPEMIMPINAN SITUASIONAL TERHADAP SEMANGAT KERJA KARYAWAN PADA KANTOR OTORITAS BANDAR UDARA WILAYAH IV DI TUBAN, BADUNG.

a. Gerakan Sholat Subuh Berjamaah, progam ini dilaksanakan oleh seluruh masyarakat Desa Betoyokauman, waktu pelaksanaanya setiap satu bulan sekali yang bertujuan

1. Prosedur pelayanan yang diberikan mudah dipahami dan tidak berbelit-belit, serta adanya petunjuk mengenai prosedur pelayanan publik dengan aparat Kecamatan

Dari hasil analisis tersebut dapat diketahui zonasi daerah yang rawan terhadap kebakaran di Kecamatan Mariso yang terbagi menjadi tiga zona yaitu zona tingkat

Demikian Adendum Dokumen Pengadaan ini disampaikan, atas perhatian dan kerjasamanya kami ucapkan terima kasih.. SUB PEKERJAAN TRAFO DISTRIBUSI

Kebun Raya Purwodadi (KRP) melakukan kegiatan penelitian, pendokumentasian dan pengoleksian flora Pulau Sempu pada lokasi Blok Waru-waru dengan salah satu tujuannya

Pulau Sempu adalah kawasan cagar alam yang terletak di sebelah selatan Kabupaten Malang. Selain fungsinya sebagai kawasan konservasi ekosistem alami, Pulau Sempu juga menjadi