ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP KETENTUAN IHDA<
D
WANITA KARIER YANG DITINGGAL MATI OLEH SUAMI DIDESA KALIANYAR KABUPATEN NGANJUK
SKRIPSI
Oleh
Diyah Ayu Lestari
NIM. C31213097
Jurusan Hukum Perdata Islam
Fakultas Syari’ah dan Hukum Prodi Hukum Keluarga
Universitas Islam Negeri Sunan Ampel
Surabaya
ABSTRAK
Skripsi ini adalah hasil penelitian studi lapangan (field risearch) dengan
judul ‚Analisis Hukum Islam Terhadap Ketentuan Ihda>d Wanita Karier yang Ditinggal Mati Oleh Suami di Desa Kalianyar Kabupaten Nganjuk‛. Penelitian
ini bertujuan menjawab dua pertanyaan penelitian: 1. Bagaimana wanita karier yang masih dalam kewajiban menjalankan ihda>d menyambung hidupnya setelah ditinggal mati oleh suaminya. 2. Bagaimana Analisis Hukum Islam terhadap praktik ihda>d yang dilakukan wanita kerier tersebut yang masih dalam masa
‘iddah.
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif, karena pengumpulan data dihimpun melalui wawancara dan observasi terhadap 2 responden yaitu wanita karier yang ditinggal mati oleh suaminya di Desa Kalianyar Kabupaten Nganjuk. Data yang dihimpun, selanjutnya dianalisis dengan teknik deskriptif-deduktif yaitu dengan menggambarkan atau mendeskripsikan secara jelas tentang praktik-praktik yang tampak melanggar ketentuan ihda>d yang dilakukan oleh wanita karier setelah ditinggal mati oleh suaminya untuk kemudian dianalisis dengan pola pikir deduktif yaitu diawali dengan mengemukakan dalil umum tentang ihda>d, kemudian teori tersebut digunakan sebagai alat untu menganalisis dengan analisis Hukum Islam kemudian ditarik kesimpulan yang bersifat khusus.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kedua wanita yang ditinggal mati oleh suaminya di Desa Kalianyar Kabupaten Nganjuk ternyata tetap bekerja dan belum habis masa ‘iddahnya. Wanita tersebut dalam bekerja tetap melakukan hal-hal yang selama ini dilakukan di luar masa ‘iddah seperti bersolek dan berinteraksi dengan lawan jenis. Dari data tersebut ketika dianalisis menggunakan Hukum Islam, khususnya yang terkait dengan peraturan ihda>d wanita yang masih ada di dalam masa ‘iddah maka jelas bahwa perbuatan yang dilakukan wanita tersebut tidak melanggar hukum Islam karena dilakukan dengan keadaan benar-benar terpaksa dengan tujuan untuk memelihara jiwa (hifzh al-nafs).
Dari kesimpulan di atas, maka penulis menyarankan kepada wanita karier di Desa Kalianyar Kabupaten Nganjuk agar lebih bijak dan hati-hati dalam menjalankan aktivitas dan berkarier ketika masih dalam masa ‘iddah setelah wafatnya suami, meskipun hukum Islam memberikan kelonggaran hukum namun etika sebagai seorang wanita muslimah harus tetap dijaga. Saran lainnya adalah, bahwa hendaknya para wanita dan masyarakat yang belum memahami peraturan hukum Islam terkait ihda>d dalam masa ‘iddah alangkah lebih baiknya untuk
bertanya atau meminta wejangan kepada ulama’ atau tokoh masyarakat agar
DAFTAR ISI
SAMPUL DALAM ... i
PERNYATAAN KEASLIAN ... ii
PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING ... iii
LEMBAR PENGESAHAN ... iv
MOTTO ... v
LEMBAR PERSEMBAHAN ... vi
ABSTRAK ... vii
KATA PENGANTAR ... viii
DAFTAR ISI ... x
DAFTAR TRANSLITERASI ... xiii
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Identifikasi dan Batasan Masalah ... 8
C. Rumusan Masalah ... 9
D. Kajian Pustaka ... 10
E. Tujuan Penelitian ... 14
F. Kegunaan Hasil Penelitian ... 14
G. Definisi Operasional ... 15
H. Metode Penelitian ... 16
I. Sistematika Pembahasan ... 19
A. Ihda>d Dalam Hukum Islam ... 21
1. Pengertian Ihda>d ... 21
2. Dalil Disyariatkannya Ihda>d ... 24
3. Hal-hal yang Diperbolehkan dan Larangan dalam Pelaksanaan Ihda>d ... 26
4. Macam-macam Ihda>d ... 28
5. Hikmah Ihda>d ... 33
B. Maqa>shid al-Shari>’ah Sebagai Penetapan Hukum ... 35
1. Pengertian Maqa>shid al-Shari>’ah ... 35
2. Syarat-syarat Maqa>shid al-Shari>’ah ... 38
3. Tingkatan Maqa>shid al-Shari>’ah ... 39
4. Lima Pokok Prinsip Maqa>shid al-Shari>’ah ... 41
BAB III PRAKTIK IHDA<D WANITA KARIER DI DESA KALIANYAR KABUPATEN NGANJUK ... 45
A. Sekilas Tentang Letak Geografis Desa Kalianyar Kabupaten Nganjuk ... 46
B. Praktik Ihda>d Wanita Karier (Studi Kasus Pada Dua Responden di Desa Kalianyar Kabupaten Nganjuk) ... 47
BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP IHDA<D WANITA KARIER DI DESA KALIANYAR KABUPATEN NGANJUK ... 57
A. Praktik Ihda>d Wanita Karier Di Desa Kalianyar Kabupaten Nganjuk Ditinjau Dari Pandangan 4 Madzhab ... 57
B. Praktik Ihda>d Wanita Karier Di Desa Kalianyar Kabupaten Nganjuk Ditinjau dari Perspektif Maqa>shid al-Shari>’ah ... 60
BAB V PENUTUP ... 69
B. Saran-saran ... 70
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Agama Islam sangat menghormati hak-hak para pemeluknya, baik hak
dalam duniawi maupun ukhrawi. Syariat Islam yang terkandung dalam
Al-qur’an telah mengajarkan pada manusia tentang tatanan hidup seorang
muslim dalam segala sektor kehidupan, baik dalam bidang sosial, ekonomi,
budaya maupun hukum.
Pada saat Rasulullah saw. masih hidup, otoritas pengambilan hukum
terhadap suatu permasalahan ada di tangan beliau.1 Setelah wafatnya
Rasulullah, penggunaan ijtihad merupakan solusi dalam rangka mencari
pemecahan masalah-masalah yang baru muncul, hal ini didasarkan adanya
keharusan penyelesaian masalah tanpa meninggalkan prinsip syariat Islam.
Hanya agama Islam yang diridhoi Allah dan hanya Islam lah agama
yang benar, cukup dengan aturan-aturan Islam seorang muslim dapat
mengarungi kehidupannya dan memecahkan setiap problem kehidupannya.2
Pada perkembangan zaman yang semakin moderen ini kerja sama
antara laki-laki (suami) dan perempuan (istri) mutlak diperlukan dalam
sebuah kehidupan rumah tangga, masing-masing pasangan memiliki peran
1 Hasbi Ash-Shiddiqy, Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Hukum Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1971), 21.
2
yang dapat saling melengkapi satu sama lain, sehingga tercipta kehidupan
rumah tangga yang ideal.
Agama Islam datang dengan menjunjung harga diri dan kemuliaan
wanita dan menempatkannya setara dengan pria ‚equal sharing of
responsibilities‛.
Seperti Sabda Rasulullah saw:
ئَاقشَُاسِلاَا ا
َ
] اس لا َد ادَ باَ [َِ اجِلا
Artinya : ‚Sesungguhnya kaum wanita itu adalah setara dengan kaum pria‛.
(HR. Abu Dawud dan An-Nasa’i).3
Menurut Ahmad Zahra Al-Hasany, Islam memberikan hak-hak kepada
wanita sebagaimana diberikan kepada pria dan membebankan kewajiban
kepada wanita sebagaimana dibebankan kepada pria. Namun ada beberapa
hal yang khusus bagi wanita dan bagi pria karena ada dalil-dalil shar’i yang
mengaturnya. Di dalam Islam wanita diijinkan melakukan jual beli, sewa
menyewa dan akad perwakilan (wakalah). Selain itu wanita juga diijinkan
menangani pertanian, perindustrian dan perdagangan serta mengadkan
akad-akad perjanjian.4
Perkembangan persaingan dalam dunia kerja pada saat ini tidak hanya
digeluti oleh kaum pria, akan tetapi banyak juga perempuan yang ikut
berkecimpung didalamnya. Banyak kaum perempuan yang aktif di berbagai
bidang, baik politik, sosial, budaya, ilmu pengetahuan, olah raga,
3 Ahmad Hasan, Terjemah Bulughul Maram (Bandung: Diponogoro, 2009), 498.
3
ketentaraan, maupun bidang-bidang lainya. Boleh dikata, hampir disetiap
sektor kehidupan umat manusia, perempuan sudah terlibat bukan hanya
dalam pekerjaan-pekerjaan ringan, tetapi juga dalam pekerjaan-pekerjaan
yang berat, seperti sopir taksi, tukang parkir, buruh bangunan, satpam, dan
lain-lain. Dibidang olahraga, kaum wanita juga tidak mau ketinggalan dari
kaum pria. Bidang-bidang olahraga keras yang dulu dipandang hanya layak
dilakukan oleh laki-laki, kini sudah banyak diminati dan dilakukan oleh
kaum wanita, seperti sepak bola, bina raga, karate, bahkan tinju.5 Dan dari
banyaknya bidang yang digeluti itu, maka mereka menamainya sebagai
wanita karier.
Mengenai istilah wanita, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti
perempuan dewasa.6 Sedangkan kata ‛karier‛ berarti pengembangan dan
kemajuan dalam kehidupan, pekerjaan, jabatan dan sebagainya. Karier dapat
juga berarti pekerjaan yang memberikan harapan untuk maju. Dengan
demikian, wanita karier adalah wanita yang bekerja untuk memenuhi
kebutuhan hidup pribadi dan untuk keluarga yang lebih maju secara finansial
dan jabatan melalui peningkatan karier dan pekerjaan. Hal ini dapat
berakibat pada kebutuhan berinteraksi dengan lawan jenis dan beraktivitas di
luar rumah serta harus berhias diri dalam menunjang karier dan
pekerjaannya.
5Huzaemah T Yanggo, ‚Iddah dan Ihdad Wanita Karier‛, dalam http://media.Nu-online-wanita-35-html, diakses pada 01 Oktober 2016.
4
‘Iddah merupakan masa penantian seorang perempuan sebelum
menikah lagi, setelah bercerai dari suaminya atau setelah suaminya
meninggal dunia.7 Para ulama sepakat bahwa wajib hukumnya melaksanakan
‘iddah serta ihda>d, bagi perempuan yang dicerai atau yang ditinggal mati
oleh suaminya, yang tujuannya agar melihat kondisi perempuan dalam
keadaan hamil atau tidak.8
Seperti yang disebutkan dalam Al-Qur’an Surat Al-Baqarah ayat 234 :
ُك مَ ف يَ ي لا
َ جأَ غ بَ إفَا شع َ شاَ عب ََ ِ ِسُ اِبَ صب يَاجا أَ
ي َم
ًَا يِخَ ُ عتَا ِبَ ّلا َ,ف ع ْلاِبَ ِ ِسُ أَيفَ ْعفَا يفَمُكي عَحا جَاف
Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah para istri itu) menangguhkan dirinya (ber’iddah) empat bulan sepuluh hari. kemudian apabila telah habis ‘iddahnya, Maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut. Allah mengetahui apa yang kamu perbuat.9Perempuan yang suaminya meninggal dunia, ‘iddahnya empat bulan
sepuluh hari. Di samping keharusan ber-’iddah, seorang perempuan yang
ditinggal suaminya juga harus melaksanakan kewajiban ih}da>d. Ih}da>d
merupakan suatu kondisi seorang istri harus menahan diri atau berkabung
selama empat bulan sepuluh hari. Selama masa itu, istri hendaknya
menyatakan dukanya dengan tidak berhias, dengan tidak memakai parfum,
tidak bercelak mata dan tidak boleh keluar rumah.10
7 Sayyid Sa>biq, Fikih Sunnah VIII, Terjemahan Moh. Tholib (Bandung: al-ma’a>rif, 1990), 140. 8 Slamet Abidin, Fikih Munakahat II (Bandung: Pustaka Setia, 1999), 121.
9 Departemen Agama RI, Al-Qur’an Tajwid dan Terjemah (Bandung: CV. Penerbit Diponegoro 2010), 38.
10
5
Ihda>d secara etimologi adalah menahan atau menjauhi. Secara
definitif, sebagaimana tersebut dalam beberapa kitab fikih adalah ‚menjauhi
sesuatu yang dapat menggoda laki-laki kepadanya selama menjalani masa
‘iddah. Pembicaraan disini menyangkut untuk siapa dia berbuat, kenapa dia
berbuat, apa yang tidak boleh diperbuat dan hukum berbuat.11 Ihda>d
maknanya meninggalkan perhiasan dan wangi-wangian di waktu tertentu
oleh seseorang yang ditinggal mati oleh orang terdekatnya.
Wahbah al-Zuhaili memberikan definisi tentang makna ihda>d: ‚Ihda>d
ialah meninggalkan harum-haruman, perhiasan, celak mata dan minyak, baik
minyak yang mengharumkan maupun yang tidak‛.12
Mengenai kenapa seseorang harus berkabung, maka dalam hal ini
menjadi pembahasan di kalangan ulama. Adapun pendapat yang disepakati
adalah bahwa ihda>d atau berkabung hanya berlaku bagi perempuan yang
ditinggal mati oleh suaminya.13
Adapun hikmah ihda>d bagi wanita yang ditinggal mati oleh suaminya
adalah memberikan alokasi waktu yang cukup untuk turut berduka cita atau
berkabung dan sekaligus menjaga fitnah serta untuk memelihara
keharmonisan hubungan keluarga suami yang meninggal dengan pihak isteri
yang ditinggalkan dan keluarga besarnya. Selain itu ihda>d juga untuk
11
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia Antara Fikih Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan (Jakarta: Kencana, 2007), 320.
12
Wahbah az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adilatuhu Jilid VII, Diterjemahkan oleh Abdul Hayyie al-Katani (Jakarta: Gema Insani, 1985), 659.
13
6
menampakkan kesedihan dan kedukaan atas kematian suaminya, dan ukuran
untuk bersedih karena yang lainnya.14
Ummu Atiah (Shahabah Nabi) berkata:
ْك َا َا شع َ شاَ عب ََج َى عَاِإَ اثَ فَتِيمَى عَ ح َْ أَى َا ُك
َا َُلح
ِإَت س عَا ِإَِ طلاَ عَا لَصخ َ ق َ.َبصعَاب ثَاإَاع صمَاب ثَس ْ َا َبيط
َا ا ح
. ا ْظأ َطسُقَ مَ َيفَا ضيحمَ م
Kami dicegah oleh Nabi Muhammad SAW untuk berkabung untuk kematian seseorang lebih dari tiga hari melainkan kepada suami. Wajib berkabung untuk kematian suami selama empat bulan 10 hari. Selama itu kami tidak boleh bercelak, tidak memakai minyak wangi, tidak boleh pakai pakaian yang dicelup dengan warna melainkan pakaian ‘as}ab (sejenis kaindari yaman). Kami telah dibenarkan untuk meletakkan secalit wangian setanggi qust} dan az}fa>r setelah kami mandi wajib selepas habis keluar darah haid. (HR. Muslim)15
Dalam KHI (Kompilasi Hukum Islam) Bab XIX Pasal 170 ayat (1)
juga menjelaskan tentang masa berkabung dimana ‚isteri yang ditinggal mati
oleh suaminya, wajib melaksanakan masa berkabung selama masa ‘iddah
sebagai tanda turut berduka cita dan sekaligus menjaga timbulnya fitnah.16
Abu Muhammad mengatakan sebagaimana dikutip oleh Abdul
Rahman Ghazaly, berpendapat syarat untuk ber-ihda>d adalah iman, sehingga
hal itu menunjukkan bahwa ihda>d juga merupakan suatu ibadah. Ihda>d
dimaksudkan untuk mencegah pandangan kaum laki-laki selama masa ‘iddah
perempuan, dan demikian pula untuk mencegah perempuan dari memandang
14
Syaikh Hasan Ayyub, Fikih Keluarga (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2006), 372.
15 Syekh Faishol Ibnu Abdul Aziz Almubarok, Terjemah Nailul Authar Jilid 5, Diterjemahkan oleh Mu’ammal Hamidy (Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1993), 2422.
7
kaum laki-laki. Hal ini dilakukan dalam rangka menutup jalan kerusakan
(sadd al-dzari’ah).17
Dengan kondisi seperti ini, jelas akan menjadi problematika ketika
wanita yang harus bekerja di luar rumah untuk menghidupi keluarganya,
namun ia memiliki keterbatasan waktu untuk bekerja karena melaksanakan
kewajibannya ber-ihda>d setelah ditinggal mati oleh suaminya. Demikian
halnya yang terjadi pada Bu Mawar (nama samaran) seorang wanita karier di
Desa Kalianyar Kabupaten Nganjuk. Dia bekerja dan berkarier di bidang
perbankan di Cabang Nganjuk yang telah ditinggal mati oleh suaminya,
wanita tersebut dihadapkan pada ketentuan agama yaitu masa ‘iddah selama
empat bulan sepuluh hari. Di dalam masa ‘iddah empat bulan sepuluh hari
tersebut, wanita tersebut juga diwajibkan ber-ihda>d (masa berkabung) yang
lamanya mengikuti masa ‘iddah yaitu selama 4 bulan 10 hari hari dimana
untuk menghormati kematian suaminya yang menikahinya secara sah dan
untuk menunjukkan rasa setianya serta meninggalkan berhias dengan tidak
bersolek, tidak memakai parfum, tidak bercelak dan tidak keluar rumah.
Namun kenyataannya ketentuan ini dilanggar oleh wanita kerier
tersebut karena aturan pekerjaan yang mengikatnya. Wanita tersebut tetap
bekerja keluar rumah di hari ketiga kematian suaminya dan berpenampilan
menarik serta bersolek sebagaimana biasa karena untuk menyambung
kelangsungan hidup dan menjaga keturunan. Ketentuan ihda>d ini tidak
sepenuhnya dijalankan bukan karena wanita tersebut hendak menghibur diri,
8
tetapi karena aturan pekerjaan yang mengikatnya dan wanita tersebut
sebagai satu-satunya tulang punggung keluarga, meskipun masih mempunyai
kedua orang tua namun keadaannya sudah sangat renta. Selain itu wanita
tersebut sebagai anak tunggal yang memiliki dua orang anak.18
Adapun sebagai pembanding dalam memberikan kelonggaran hukum
pada kasus ketentuan ihda>d wanita karier yang ditinggal mati oleh suami
yang juga tinggal di Desa Kalianyar Kabupaten Nganjuk adalah seorang
wanita karier yang berkarier di dunia pendidikan, wanita yang kembali
bekerja di hari ke tujuh setelah kematian suami karena untuk menyambung
hidupnya dengan anak semata wayang tinggalan suami.
Berangkat dari masalah tersebut, maka penulis ingin membahas lebih
lanjut mengenai ketentuan ihda>d, dengan analisis hukum Islam
menggunakan Maqa>shid al-Shari>’ah yang membolehkan wanita karier
tersebut bekerja dan berpenampilan menarik sehingga melanggar ketentuan
ihda>d, yang dituangkan dalam bentuk skripsi yang berjudul ‚Analisis Hukum
Islam Terhadap Ketentuan Ihda>d Wanita Karier yang Ditinggal Mati Oleh
Suami Di Desa Kalianyar Kabupaten Nganjuk‛.
B. Identifikasi dan Batasan Masalah
1. Identifikasi Masalah
Setelah penulis memaparkan faktor-faktor yang mendorong
dilakukannya penelitian mengenai praktik ketentuan menjalankan ihda>d
18
9
oleh wanita karier yang ditinggal mati suaminya, perlu kiranya penulis
sarikan poin-poin penting yang akan menjadi fokus penelitian penulis
selanjutnya, poin tersebut diantaranya adalah:
a. Pengertian dan ketentuan ihda>d.
b. Deskripsi praktik ihda>d yang dilakukan oleh wanita karier sebab
suami wafat.
c. Elastisitas hukum Islam terhadap praktik ihda>d wanita kerier sebab
suami wafat.
2. Batasan Masalah
Dengan adanya suatu permasalahan di atas, maka untuk
memberikan arah yang jelas dalam penelitian ini penulis membatasi
pada masalah-masalah berikut ini:
a. Deskripsi terhadap praktik ihda>d yang dilakukan oleh wanita karier
selama menjalani ‘iddah wafat.
b. Tinjauan hukum Islam terhadap praktik ihda>d yang dilakukan oleh
wanita karier yang masih berkewajiban menjalankan ‘iddah wafat.
C. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan diatas, penulis
menarik permasalahan yang akan diteliti dalam skripsi ini, yaitu:
1. Bagaimana deskripsi praktik ihda>d pada wanita karier di Desa Kaliayar
10
2. Bagaimana tinjauan hukum Islam terhadap praktik ihda>d pada wanita
karier di Desa Kalianyar Kabupaten Nganjuk dalam masa ‘iddah wafat?
D. Kajian Pustaka
Kajian pustaka pada penelitian ini pada dasarnya adalah untuk
mendapatkan gambaran hubungan topik yang akan diteliti dengan penelitian
sejenis yang pernah dilakukan oleh peneliti sebelumnya, sehingga diharapkan
tidak ada pengulangan penelitian secara mutlak.
Topik yang akan diteliti adalah mengenai praktik ihda>d pada wanita
karier yang ditinggal mati oleh suaminya di Desa Kalianyar Kabupaten
Nganjuk. Setelah menelusuri melalui kajian pustaka di perpustakaan penulis
menemukan skripsi yang dapat dijadikan bahan masukan dalam penulisan
penelitian ini.
Adapun penelitian (skripsi) yang membahas tentang ihda>d antara lain:
1. Skripsi Saudari Heni ‚Dilema Peraktek Ihda>d (Studi Sosiologi Hukum
Pada Masyarakat Kebayoran Lama)‛, Nim: 106043201334, 2010.
Mahasiswa UIN Syarief Hidayatullah Jakarta Fakultas Syariah dan
Hukum, Program Studi Peradilan Agama.
Penelitian ini, mendasarkan bagaimana tanggapan masyarakat tehadap
hukum ihda>d dari segi psikologi. Bangaimana masyarakat menanggapi
semua ketentuan-ketentuan yang ada dalam ihda>d, terutama pada
masyarakat kebayoran lama. Hasil dari penelitian ini memberikan titik
11
yang berkembang selama ini terhadap diadakannya hukum ihda>d di
masyarakat kebayoran lama.19
2. Skripsi Fredi Siswanto ‚Analisis Hukum Terhadap Ihda>d Bagi
Perempuan Ditinjau Dari Aspek Hukum Islam dan Kesetaraan Gender‛,
Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Bengkulu, Tahun 2014.
Hasil penelitian ini menunjukkan ihda>d bagi perempuan menurut hukum
Islam bahwa kepatutan seorang perempuan dalam masa berkabung
adalah dimana seorang istri harus menahan diri dengan tidak berhias diri
untuk menghormati kematian suami. Ihda>d bagi perempuan dalam
hukum Islam menurut gender dapat dikatakan bahwa dalam kehidupan
berelasi dengan yang lain terdapat nilai tatakrama dan norma hukum
yang membedakan antara laki-laki dan perempuan, dan hasil penelitian
ini memberi gambaran bahwa masa berkabung itu berlaku bagi laki-laki
dan perempuan.20
3. Skipsi saudara Alex Iskandar, Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta Fakultas Syariah dan Hukum, Jurusan Perbandingan
Madzhab, Tahun 2007, ‚Ihda>d Wanita Karier (Studi Pandangan Imam
Syafi’i dan Imam Abu Hanifah)‛.
Hasil dari penelitian ini adalah, penulis menggunakan kajian kepustakaan
dengan cara mengumpulkan berbagai literatur buku serta didukung
dengan pendekatan ushul fiqih yang dimaksudkan sebagai usaha untuk
19 Heni, "Dilema Praktek Ihdad (Studi Sosiologi Hukum Terhadap Masyarakat Islam Kebayoran Lama)" (Skripsi--UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, 2010), 12.
12
mendekati masalah yang diteliti berdasarkan kaidah yang sesuai dengan
objek kajian. Data yang digunakan saudara Alex adalah dari berbagai
literatur pustaka yang telah ditemukan untuk menggali dan memperkuat
mengenai pendapat kedua tokoh mujtahid tersebut, dan
mengomparasikannya agar menghasilkan perbedaan pendangan antara
Imam Syafi’i dan Imam Abu Hanifah mengenai ihda>d wanita karier. 21
4. Skripsi saudara Ahmad Izzatul Muttaqin Albadri Anugrah Jaya
Sampoerna, ‚Tinjauan Hukum Islam Terhadap ‘Iddah Cerai Mati
Perempuan Karier‛, Mahasiswa UIN Sunan Ampel Surabaya, Jurusan
Hukum Perdata Islam, Tahun 2014.
Dalam penelitian karya ilmiyah ini, penulis lebih menekan pada aspek
hukum Islam dan pendapat para ulama’ dengan teori ushul fiqh yang
mana membolehkan perempuan karier bekerja keluar rumah yang masih
dalam masa ‘iddah.22
5. Skripsi saudara Ahmad Fahru, ‚Iddah dan Ihda>d Wanita Karier
(Perspektif Hukum Islam dan Hukum Positif)‛, Mahasiswa Fakultas
Syariah dan Hukum UIN Syarief Hidayatullah Jakarta, Program studi
Hukum Keluarga, Tahun 2015.
Hasil penelitian ini menggambarkan tentang bagaimana penerapan
hukum yang digambarkan al-Qur’an dan hadits serta hukum dalam KHI
dalam menyikapi konsep ‘iddah dan ihda>d wanita karier. Pembahasan
21
Alex Iskandar, ‚Ihda>d Wanita Karier (Studi Pandangan Imam Syafi’i dan Imam Abu Hanifah)‛ (Skripsi--UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2007), 12.
22
13
dalam penelitian ini berusaha menguak semua yang berkaitan dengan
kebebasan wanita dalam melakukan kegiatan diluar rumah namun
dibatasi dengan peraturan agama. Penulis menggunakan metode
kepustakaan atau library research yaitu dengan cara membaca dan
mempelajari buku-buku yang mempunyai kaitan dengan masalah
tersebut dan menjelaskan pandangan hukum positif dan hukum Islam
tentang masalah ‘iddah dan ihda>d wanita karier.23
Dari kenyataan yang penulis ungkapkan diatas, maka terlihat
perbedaan permasalahan yang ditulis oleh penulis mengenai ihda>d. Disini
yang diteliti oleh penulis adalah masalah praktik-praktik yang tampak
melanggar ihda>d wanita karier yang ditinggal mati oleh suaminya, praktik
yang tampak melanggar ihda>d ini dilakukan karena tuntutan pekerjaan yang
mana untuk menopang hidupnya.
Subjek peneliti disini adalah seorang wanita kerier yang bekerja pada
sebuah instansi perbankan yang diharuskan berpenampilan menarik dan
bersolek sedangkan wanita tersebut masih dalam masa ‘iddah 4 bulan 10
hari akibat ditinggal mati oleh suaminya dan masih dalam kewajiban ihda>d
dimana wanita tersebut masih dalam masa berduka atau berkabung serta
masih dalam masa dimana wanita tersebut diharuskan untuk meninggalkan
bersolek, memakai harum-haruman yang berkaitan dengan anggota badan.
Selain itu, sebagai perbandingan subjek penelitian mengenai praktik
ihda>d yang dilakukan oleh wanita karier, penulis juga mengambil sampel
23
14
wanita yang berkarier di bidang pendidikan yang juga mengalami kewajiban
ihda>d wafat namun kondisi kehidupannya tidak seberat wanita karier dalam
bidang perbankan.
Penulis memberikan sudut pandang yang berbeda, penulis lebih
menekan terhadap aspek Hukum Islam dan menganalisa menggunakan teori
ilmu fiqih dan dipertajam dengan prinsip-prinsip Maqa>shid al-Shari>’ah yang
membolehkan wanita karier tersebut keluar rumah untuk bekerja setelah
kematian suaminya dan meninggalkan ihda>d.
E. Tujuan Penelitian
Setelah melihat dari rumusan masalah di atas maka tujuan
diadakannya penelitian ini yaitu:
1. Untuk mendeskripsikan praktik ihda>d pada wanita karier di Desa
Kalianyar Kabupaten Nganjuk dalam masa ‘iddah wafat.
2. Untuk mengetahui tinjauan hukum Islam terhadap praktik ihda>d pada
wanita karier di Desa Kalianyar Kabupaten Nganjuk dalam masa iddah
wafat.
F. Kegunaan Hasil Penelitian
1. Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat dan mampu
15
pada wanita karier yang ditinggal mati oleh suaminya dalam persepektif
hukum Islam.
2. Manfaat Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangsih
pemikiran bagi ilmu pengetahuan dan dalam ranah pemikiran Islam pada
umumnya, serta bermanfaat bagi studi hukum perkawinan Islam tentang
praktik ihda>d pada wanita karier yang ditinggal mati oleh suaminya dan
problematikanya.
G. Definisi Operasional
Untuk mempermudah pemahaman terhadap istilah kunci dalam
penelitian ini, maka disini dijelaskan maknanya sebagai berikut:
1. Hukum Islam yang dimaksud dalam penelitian ini adalah aturan yang
mengatur perilaku mukallaf, dan sumber hukum yang digunakan untuk
menganalisis problematika kehidupan wanita karier yaitu berdasarkan
al-Qur’an dan Hadits serta pendapat-pendapat para ulama juga teori-teori
Maqa>shid al-Shari>’ah yang berkenaan dengan praktik ihda>d pada wanita
karier yang ditinggal mati oleh suaminya.
2. Ihda>d adalah masa berkabung yang diwajibkan atas seorang wanita yang
ditinggal mati oleh suaminya dengan tujuan untuk menyatakan dukanya
karena ditinggal wafat oleh suaminya dengan meninggalkan berhias,
meninggalkan memakai parfum, tidak bercelak mata dan tidak keluar
16
3. Wanita Karier yang dimaksud dalam penelitian ini adalah wanita yang
mempunyai kesibukan diluar rumah untuk menekuni satu atau beberapa
pekerjaan yang dilandasi oleh keahlian tertentu yang dimilikinya untuk
mencapai suatu kemajuan dalam hidup, pekerjaan, atau jabatan.
H. Metode Penelitian
Studi penelitian ini merupakan penelitian lapangan (field research),
yang bersifat kualitatif. Di dalam menganalisa data, penulis menggunakan
teknik deskriptif-deduktif yaitu dengan mendeskripsikan secara jelas tentang
praktik ihda>d pada wanita karier kemudian dianalisis dengan cara berfikir
deduktif yaitu dengan mengemukakan dalil umum tentang ihda>d lalu diikuti
dengan pendekatan normatif yang dilandaskan pada analisis hukum Islam
menggunakan teori Maqa>shid al-Shari>’ah sebagai pijakannya. Adapun
metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Data yang dikumpulkan meliputi:
a. Ketentuan atau aturan dalam ihda>d seorang wanita yang ditinggal
mati oleh suaminya yang ditinjau dari hukum islam.
b. Praktik yang namapak melanggar ketentuan ihda>d yang dilakukan
oleh wanita karier yang ditinggal mati oleh suaminya.
2. Sumber Data
Sumber yang peneliti gunakan dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut:
17
1) 2 Orang Responden wanita karier yang ditinggal mati oleh
suaminya, bertempat tinggal di Desa Kalianyar Kabupaten
Nganjuk.
2) Al-Qur’an dan terjemahnya, Falsafah Hukum Islam, Konsep
Maqashid Syari’ah, Kitab Hikmah al-Tasyri’ wa Falsafatuhu,
Kompilasi Hukum Islam, Kitab Hadits Shahih Muslim dan
Kaidah Fiqhiyah.
b. Sumber Sekunder, merupakan bahan-bahan yang mengikat dalam
pembahasan kitab-kitab fiqih di antaranya, I’a>nah al tha>libi>n, Fathul
Wahha>b dan buku-buku Maqa>shid al-Shari>’ah yang berkaitan dengan
ketentuan ihda>d wanita yang ditinggal mati oleh suaminya.
c. Reverensi internet.
3. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data merupakan cara yang paling strategis
dalam penelitian, karena tujuan utama dari penelitian adalah
mendapatkan data. Tanpa mengetahui teknik pengumpulan data yang
memenuhi standart data yang ditetapkan.24
a. Wawancara: wawancara digunakan untuk menemukan data tentang
wanita karier yang dihadapkan pada ketentuan agama setelah
kematian suaminya yaitu masa‘iddah cerai wafat dan kewajiban
ihda>d. Dalam wawancara ini, dilakukan dengan bertemu langsung
dengan ke dua responden yang tetap bekerja di luar rumah yang
18
masih dalam masa ‘iddah dan kewajiban ihda>d wafat dengan tetap
bekerja, bersolek dan berinteraksi dengan lawan jenis.
b. Observasi: metode ini peneliti gunakan untuk menghimpun data
penelitian berupa pengamatan langsung kehidupan wanita karier
setelah ditinggal mati oleh suaminya.
c. Tela’ah atau dokumenter: metode ini digunakan penulis untuk
membaca dan mengklarifikasi serta menguji kebenaran yang ada
terhadap tulisan yang ada dalam buku.
4. Teknik Pengolahan Data
Setelah semua data yang diperlukan terkumpul, maka teknik
pengolahan data yang penulis lakukan yaitu:
a. Editing, yaitu pemeriksaan kembali terhadap data-data yang
diperoleh.25 Setelah data terkumpul, maka kegiatan selanjutnya
adalah memeriksa kembali mengenai kelengkapan dan kejelasan data
tentang pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh wanita karier
selama berada dalam masa ihda>d.
b. Organizing, yaitu kegiatan mengatur dan menyusun bagian-bagian
sehingga seluruhnya menjadi satu kesatuan yang teratur. Kegiatan ini
dilakukan untuk menyusun data dengan sistematis untuk
memperoleh gambaran yang jelas tentang praktik-praktik yang
tampak melanggar ihda>d yang dilakukan oleh wanita karier selama
19
berada dalam masa ‘iddah yang tinggal di Desa Kalianyar Kabupaten
Nganjuk.
5. Teknik Analisis Data
Teknik analisis data yang dipakai untuk menelaah seluruh data
yang tersedia dari berbagai sumber26 dengan metode deskriptif analisis.
Metode deskriptif analisis adalah memaparkan data tentang wanita karier
sesuai dengan keadaannya, lalu dianalisis dengan hukum Islam
menggunakan metode Maqa>shid al-Shari>’ah, yaitu teori ketentuan ihda>d
wanita yang ditinggal mati oleh suaminya.
I. Sistematika Pembahasan
Sistematika pembahasan dipaparkan dengan tujuan untuk
memudahkan pembahasan masalah-masalah dalam penelitian ini. Dalam
menyusun penulisan skripsi ini, penulis membagi pembahasan ke dalam
beberapa bab berikut:
Bab Pertama, bab ini memuat Pendahuluan yang meliputi Latar
Belakang Masalah, Rumusan Masalah, Identifikasi dan Batasan Masalah,
Kajian Pustaka, Tujuan Penelitian, Kegunaan Hasil Penelitian, Definisi
Operasional, Metode Penelitian, dan Sistematika Pembahasan.
Bab Kedua, sebagai Landasan Teori umum yang menjelaskan
pengertian, teori-teori, macam-macam dan tujuan kewajiban ihda>d wafat
serta tinjauan hukum Maqa>shid al-Shari>’ah.
20
Bab ketiga adalah penjelasan tentang deskripsi praktik ihda>d pada
kedua responden yaitu wanita karier yang tinggal di Desa Kalianyar
Kabupaten Nganjuk meliputi kelengkapan biografi dan latar belakang hiruk
pikuk kehidupan dan liku pekerjaannya, serta data dari responden yang
dihimpun dalam wawancara.
Bab keempat adalah Analisis. Bab ini memuat tentang analisa terhadap
temuan yang terdapat dalam bab tiga mengenai wanita karier yang tampak
melanggar ketentuan ihda>d dengan teori hukum Islam yang ada dalam bab
dua.
Bab kelima adalah Penutup berupa kesimpulan dan saran. Kesimpulan
ini berisi jawaban dari pokok masalah yang ada pada bab pertama yang
selanjutnya penulis memberikan sumbang saran sebagai refleksi terhadap
BAB II
KETENTUAN HUKUM ISLAM TENTANG IHDA<D BAGI WANITA YANG DITINGGAL MATI SUAMI
A. Ihda>d Dalam Hukum Islam
1. Pengertian Ihda>d
Ihda>d secara etimologi adalah menahan atau menjauhi. Secara
definitif, sebagaimana tersebut dalam beberapa kitab fikih, adalah ‚menjauhi
sesuatu yang dapat menggoda laki-laki kepadanya selama menjalani masa
‘iddah‛. Pembicaraan di sini menyangkut: untuk siapa dia berbuat, kenapa
dia berbuat, apa yang tidak boleh diperbuat dan hukum berbuat.1
Adapun mengenai untuk siapa, atau atas dasar apa seseorang
melakukan ihda>d, hampir semua ulama berpendapat bahwa ihda>d hanya
dilakukan untuk suami yang menikahinya dengan nikah yang sah dan yang
meninggal dalam masa perkawinannya dan tidak berlaku untuk lainnya.
Masa berkabung (ihda>d) bagi perempuan yang diatur oleh syari’at.
Sebagaimana yang dikutip oleh Tihami dan Sahrani, ihda>d berasal dari
kata ahadda>, dan kadang-kadang bisa juga disebut al-hida>d yang diambil dari
kata hadda>. Secara etimologis (lughawi) ihda>d berarti al-man’u (cegahan
atau larangan). Berbeda dengan Abdul Mujieb yang menjelaskan dengan
gamblang bahwa ihda>d adalah masa berkabung bagi seorang isteri yang
ditinggal mati suaminya. Masa tersebut adalah empat bulan sepuluh hari
1
22
disertai dengan larangan-larangannya, antara lain: bercelak mata, berhias
diri, keluar rumah, kecuali dalam keadaan terpaksa.2
Definisi ih}da>d menurut Imam Hanafi yang dikutip Wahbah Zuhaili
adalah menjahuinya seorang perempuan dari memakai harum-haruman,
memakai celak, berhias, tidak boleh menyisir rambutnya dan lainnya. Imam
Maliki mendefinisikan ih}da>d yang juga dikutip Wahbah Zuhaili adalah
meninggalkan semua hiasan termasuk juga cincin, yang dibuat berhias oleh
seorang perempuan seperti minter, celak wangi-wangian dan baju yang di
warnai. Sedangkan Imam Ahmad Bin Hanbal mendefinisikan ih}da>d adalah
seorang perempuan yang ditinggal mati oleh suaminya untuk menjahui
berhias diri baik dari pakaian maupun dari wangi-wangian.3
Selanjutnya, sebagaimana definisi pendapat para ulama madzhab
diatas, Wahbah Zuhaili menegaskan bahwa maksud meninggalkan
harum-haruman, perhiasan, celak mata, dan minyak wangi adalah yang berkaitan
dengan anggota badan wanita. Oleh karena itu, wanita yang sedang dalam
keadaan ih}da>d tidak dilarang memperindah tempat tidur, karpet, dan alat
rumah tangga lainnya ia juga tidak dilarang duduk diatas kain sutra.4
Jika dilihat arti kata berhias dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia,
maka berhias itu adalah memperelok diri dengan pakaian dan sebagainya
yang indah-indah atau bisa juga diartikan dengan berdandan. Sedangkan
2 Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat: Kajian Fikih Nikah Lengkap (Jakarta: Rajawali Press, 2009), 342.
3
Wahbah az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adilatuhu Jilid VII, Diterjemahkan oleh Abdul Hayyie al-Katani (Jakarta: Gema Insani, 1985), 659.
4
23
berdandan itu asal kata dari dandan yang memiliki dua arti yaitu pertama,
mengenakan pakaian dan perhiasan serta alat-alat rias. Kedua, memperbaiki,
atau menjadikan baik (rapi).5
Lebih mendalam Abdul Rahman Ghozali menjelaskan bahwa masa
tersebut adalah 4 bulan 10 hari, dengan larangan-larangannya, antara lain:
bercelakmata, berhias diri, keluar rumah kecuali dengan keadaan terpaksa‛.6
Dari pendapat diatas jika dilihat dengan teliti mendekati pengertian
yang diungkapkan oleh Ali al-Salusi seorang guru besar Universitas Qatar
dalam bukunya Mausu’ah alqadzaya al-fiqhiyyah halaman 72, bahwa ihda>d
secara etimologi adalah mencegah, dan diantara pencegahan tersebut adalah
pencegahan seorang perempuan dari bersolek.7
Yang dimaksud dengan ihda>d (masa berkabung) adalah masa dimana
seseorang harus memiliki rasa, yaitu: mempersiapkan, menata mental, dan
menambah kesabaran bagi orang yang ditinggal. Dimana tiga poin di sini
adalah merupakan tawaran hukum agar seseorang melakukan hal yang sesuai
dengan dasar syari’at.8
Sedangkan ihda>d (berkabung), menurut Ibnu Katsir adalah :
‚berkabung itu suatu ungkapan, yang intinya ialah: tidak berhias dengan
wangi-wangian dan tidak memakai pakaian dan perhiasan yang bisa menarik
5 Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia Cet. Ke-7, (Jakarta: Balai Pustaka, 1996), 348.
6 Abdul Rohman Ghozali, Fikih Munakahat (Jakarta: Kencana, 2008), 302.
7 Ali al-Salusi (guru besar kulliyyah al-Syari’ah wa al-Ushul Universitas Qatar), Mausu’ah alqadzaya al-Fiqhiyyah al-Mu’asharah, al-Maktabah al-Syamilah Juz II Cetakat ke VII (Maktabah: Dar al-Qur’an Qatar, t.p, 2002), 72.
24
laki-laki‛. Dan berkabung ini wajib atas perempuan yang mengalami
musibah kematian seorang suami.9
Para fuqaha’ berbeda pendapat bahwa wanita yang sedang berihda>d
dilarang memakai semua perhiasan yang dapat menarik perhatian laki-laki
kepadanya. Seperti perhiasan, intan dan celak, kecuali hal-hal yang dianggap
bukan sebagai perhiasan. Dan dilarang pula memakai pakaian yang celup
dengan warna, kecuali warna hitam.10
Beberapa definisi diatas, redaksinya tampak berbeda, namun isinya
tetaplah sama, yaitu tidak bolehnya memakai perhiasan, bersolek dan hal-hal
yang lain yang menimbulkan syahwat dan gairah kaum laki-laki, bagi wanita
yang ditinggal mati oleh suaminya.
2. Dalil Disyariatkannya Ihda>d
Seorang wanita yang ditinggal mati oleh suaminya wajib menjalankan
kewajiban ihda>d sebagai tanda bela sungkawa atas kepergian suami selama
empat bulan sepuluh hari, demikian pendapat mayoritas ulama. Adapun
landasan hukum disyariatkannya ihda>d adalah sebagai berikut :
1. QS. Al-baqarah ayat 234
َ ّف يَ ي ّلا
َّ جأَ غ بَا ِإفَا شع َ شأَ عب أَّ ِ ِسُ ِبَ صّب يَاجا أَ
ي َمُك م
رِخَ ُ عتَا ِبَ ّلا َف ع ْلاِبَّ ِ ِسُ أَيفَ ْعفَا يفَمُكي عَحا جَاف
Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan istri-istri (hendaklah para istri itu) menangguhkan dirinya (ber‘iddah) empat bulan sepuluh hari. Kemudian apabila telah habis ‘iddahnya, maka tiada dosa
9 Ammal Hamidy dan Imron A. Manan, Terjemahan Tafsir Ayat Ahkam Ash-Shabuni (Surabaya: Jl. Rungkut Industri, 2003), 306.
10
25
bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut. Allah mengetahui apa yang kamu perbuat.11
2. Dasar dari kewajiban berkabung untuk suami yang meninggal dunia
adalah hadits Nabi Muhammad saw. yang berbunyi:
َ أ ماَ َاجَُ ُقتَ
َ ُأَتع َب ي َتلاق
َم َ ي عَ لاَى صَ لاَِ
َىلِإ
َ اقفَا ُحْك فأَا يعَتك شاَ ق َا ج َا عَيف تَي باَ ِإَ لاَ
َايَتلاقف
َُ
ا ثَ أَِ يت مَالَم َ ي عَ لاَى صَ لا
َ لاَى صَ لاَُ
َ اقَمُثَالَُ ُقيَكل َلُكَاًث
ْلاِبَيم تَ ي ا ْلاَيفَ ُكا حِإَت اكَ ق َ شع َ شأَُعب أَي َا ِإَم َ ي ع
َى عَ ع
ي لَتُْقفَ ي حَ اقَِ حْلاَِ ْأ
َب ي َتلاقفَِ حْلاَِ ْأ َى عَ ع ْلاِبَيم تَام َب
حَا يطَس تَمل َا ِبايثَ شَتسِل َاشْحَت خدَا ج َا عَيف تَا ِإَُأ ْلاَت اك
َى
ا حَ با ِبَىت تَمُثَ َا ِبَ ت
َ
َمُثَ امَالِإَعيشِبَض ْتَا قفَ ِبَض ْ فَ ئاطَ أَ اشَ أ
ض ْتَامَكلامَل َ ِيغَ أَبيطَ مَ َاشَامَ عبَعِجا تَمُثَيم فًَ عبَىطع فَج ت
َ
ا ِْجَ ِبَحس تَ اقَ ِب
Zainab berkata: Aku mendengar Ummu Salamah berkata: Seorang wanita pernah datang kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dan berkata, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya anak perempuanku ditinggal mati oleh suaminya, sementara matanya juga terasa perih. Bolehkah ia bercelak?" Maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam menjawab: "Tidak." Beliau mengulanginya dua atau tiga kali. Kemudian Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Masa berkabungnya adalah empat bulan sepuluh hari. Sesungguhnya pada masa jahiliyah dulu, salah seorang dari kalian melempar kotoran setelah satu tahun." Humaid berkata; Aku bertanya kepada Zainab, "Apa maksud dari pernyataan bahwa, ia melempar kotoran setelah setahun?" Zainab menjawab, "Maksudnya, bila seorang wanita ditinggal mati oleh suaminya, ia masuk ke dalam gubuk, dan memakai pakaian yang paling lusuh miliknya. Ia tidak boleh menyentuh wewangian hingga berlalu satu tahun. Kemudian keledai, kambing atau sebangsa burung didatangkan kepada wanita itu agar ia mengusap kulitnya. Dan amat jarang ia mengusap suatu pun kecuali sesuatu itu akan mati. Setelah itu, ia keluar lalu diberi kotoran hewan dan ia lemparkan, setelah itu ia bebas menyentuh kembali sekehendaknya berupa wewangian atau pun yang lainnya." Malik ditanya,
26
"Apa makna Tanfadldlu bihi?" Ia menjawab, "Yaitu, mengusap kulitnya dengannya."12
3. Dasar berihda>d untuk wanita yang ditinggal mati oleh suami dan
larangannya dalam bersolek adalah hadits yang diriwayatkan oleh Ummu
Athiyah (Sahabat Nabi), beliau berkata :
َُلح ْك َا َا شع َ شاَ عب ََج َى عَاِإَ اثَ فَتِيمَى عَ ح َْ أَى َا ُك
َا ِإَِ طلاَ عَا لَصخ َ ق َ.َبصعَاب ثَاإَاع صمَاب ثَس ْ َا َبيط َا
ع
. ا ْظأ َطسُقَ مَ َيفَا ضيحمَ مَا ا حِإَت س
Kami dicegah oleh Nabi Muhammad saw untuk berkabung untuk kematian seseorang lebih dari tiga hari melainkan kepada suami. Wajib berkabung untuk kematian suami selama empat bulan 10 hari. Selama itu kami tidak boleh bercelak, tidak memakai minyak wangi, tidak boleh
pakai pakaian yang dicelup dengan warna melainkan pakaian ‘as}ab
(sejenis kain dari yaman). Kami telah dibenarkan untuk meletakkan secalit wangian setanggi qust} dan az}fa>r setelah kami mandi wajib selepas habis keluar darah haid. (HR. Muslim)13.
4. KHI (Kompilasi Hukum Islam) Bab XIX Pasal 170 ayat (1) juga
menjelaskan tentang masa berkabung dimana ‚isteri yang ditinggal mati
oleh suaminya, wajib melaksanakan masa berkabung selama masa ‘iddah
sebagai tanda turut berduka cita dan sekaligus menjaga timbulnya
fitnah.14
3. Hal-hal yang Diperbolehkan dan Larangan dalam Pelaksanaan Ihda>d
12
Muhammad bin Ismail Al-Kahlami, Terjemah Subulus Salam, (Bandung: Pustaka Belajar, 2009), 202.
13 Syekh Faishol Ibnu Abdul Aziz Almubarok, Terjemah Nailul Authar Jilid 5, Diterjemahkan oleh Mu’ammal Hamidy (Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1993), 2422.
27
Sebagaimana telah dipaparkan dalam uraian sebelumnya, bahwa
hal-hal yang tidak boleh dilakukan oleh wanita yang ditinggal mati oleh
suaminya selama menjalani ihda>d dalam masa ‘iddah, secara umum bisa
dikatakan yaitu dilarang memakai dari segala bentuk yang sekiranya menarik
perhatian dari lawan jenis. Menurut Imam Syafi’i perhiasan yang dimaksud
adalah perhiasan yang dipakai di badan. Jadi perhiasan tersebut bisa berupa
kosmetik, pakaian, minyak wangi dan alat-alat aksesoris yang lainnya.
Para fuqaha’ berpendapat bahwa wanita yang sedang ber-ihda>d
dilarang memakai semua perhiasan yang menarik perhatian kaum laki-laki
padanya, seperti perhiasan intan dan celak. Kecuali hal-hal yang dianggap
bukan sebagai perhiasan dan dilarang memakai pakaian yang dicelup dengan
warna, kecuali warna hitam. Karena Imam Malik tidak memakruhkan
memakai pakaian berwarna hitam bagi wanita yang sedang ber-ihda>d.
Mereka semua memberikan kemudahan (rukhshah) dan membolehkan
pemakaian celak karena terpaksa.15
Wahbah Az-Zuhaily menjelaskan bahwa wanita yang telah ditinggal
mati oleh suaminya wajib menjalankan ihda>d, dan selama menjalaninya ia
dilarang memakai harum-haruman (minyak wangi), perhiasan, celak mata,
dan hal-hal yang berkaitan dengan anggota badan. Namun wanita yang
sedang menjalani ihda>d boleh memperindah dan menghias tempat tidurnya,
28
karpet, gorden, dan alat-alat rumah tangga yang lainnya. Ia juga tidak
dilarang duduk di atas kain sutera.16
Menurut Imam Syafi’i ia membolehkan wanita yang sedang berihda>d
meminyaki tubuhnya dengan minyak yang tidak harum, sebagaimana yang
dilakukan orang ihram, meskipun wanita yang berkabung itu pada sebagian
urusannya berbeda dengan orang yang sedang ihram. Sebab hal itu dilakukan
bukan pada anggota badan tempatnya berhias dan minyak yang digunakan
bukan minyak wangi yang dapat menarik hati kaum laki-laki.
Wanita yang sedang menjalani kewajiban ihda>d karena ditinggal mati
oleh suami juga dilarang untuk memakai inai dan semua jenis cat dan sepuh.
Berdasarkan apa yang diriwayatkan oleh Ummu Salamah, bahwa Nabi SAW
melarang perempuan yang sedang menjalani masa ‘iddah untuk memakai
sepuh. Selaian cat atau sepuh wanita yang sedang ber-ihda>d dilarang untuk
memakai pakaian yang diberikan wangi-wangian dengan disepuh warna
merah dan kuning. Hal ini merujuk pada hadits yang diriwayatkan oleh
Ummu Salamah dari Nabi saw, beliau bersabda:
َا عَىف ْلا
َ،بعس تَا َ،ي حْلاا َ،ُقِش مَا َ،ِ اي لاَ مَفِسع ْلاَسِْتَاَا ج
َا
.ُلح ْكت
‚Perempuan yang suaminya meninggal dunia hendaknya tidak mengenakan
pakaian yang diberi warna kuning, juga pakaian yang telah disepuh dengan
tanah merah, juga perhiasan, juga tidak menggunakan sepuh dan celak‛.17
4. Macam-macam Ihda>d
16 Wahbah az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adilatuhu Jilid IX, Diterjemahkan oleh Abdul Hayyie al-Katani (Jakarta: Gema Insani, 2007), 563.
17
29
Ihda>d sangat berkaitan erat dengan masa ‘iddah, karena kewajiban
ihda>d ada di dalam sepanjang masa ‘iddah pada seorang wanita. Adapun
faktor-faktor yang menyebabkan seorang wanita menjalani ihda>d adalah
sebagai berikut:
1. Ihda>d Bagi Wanita yang Ditinggal Mati oleh Suami
Para ulama Madzhab kecuali Imam Hasan al Bashri telah sepakat
bahwa ihda>d bagi wanita muslimah yang ditinggal mati oleh suaminya
adalah wajib hukumnya. Para fuqaha telah sepakat atas diwajibkannya masa
berkabung bagi perempuan yang suaminya meninggal dunia.18 Berdasarkan
hadits yang telah diriwayatkan oleh Ummu Habibah r.a manakala
diberitahukan perihal kematian bapaknya yaitu Abu Sufyan dan
menunggunya selama tiga hari. Kemuadian dia meminta wewangian. Dia
berkata ‚Demi Allah, aku tidak memerlukan wewangian, hanya saja aku
mendengar Rasulullah saw berkata diatas mimbar :
أَج َى عَالِإَ ا ثَ فَتِيمَى عَ حتَِخ ْلاَِ يْلا َ لاِبَ م تَ أ مالَلحيَال
َ شأَ عب
ا شع
Tidak halal bagi perempuan yang beriman kepada Allah dan hari kiamat untuk berkabung atas kematian seorang yang melebihi tiga hari, kecuali atas kematian suaminya yaitu empat bulan sepuluh hari.19Di dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 170 ayat (1) disebutkan
bahwa ‚isteri yang ditinggal mati oleh suaminya, wajib menjalankan masa
berkabung selama masa ‘iddah sebagai tanda berduka cita dan sekaligus
18
Wahbah az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adilatuhu Jilid IX, Diterjemahkan oleh Abdul Hayyie al-Katani (Jakarta: Gema Insani, 2007), 564.
30
menjaga timbulnya fitnah‛.20 Sedangkan di masa ‘iddah bagi istri yang
ditinggal mati oleh suaminya dijelaskan di dalam QS. Al-baqarah ayat 234 :
ا شع َ شأَ عب أَّ ِ ِسُ ِبَ صّب يَاجا أَ
ي َمُك مَ ّف يَ ي ّلا
\
Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkanisteri-isteri (hendaklah Para istri itu) menangguhkan dirinya (ber’iddah) empat bulan sepuluh hari.21
Dan firman Allah yang lain dalam QS. At-Thalaq : 4
ّ تّ عفَم ت اَ ِإَمُكئاسَِ مَِضيح ْلاَ مَ س يَيئالا
َ
َ ضحيَملَيئالا َ شأَُثاث
ا سيَ ِمأَ مَ لَْلع يَ ّلاَِ ّيَ م َّ حَ عضيَْ أَّ ُجأَِ ا حأاَ ا ُأ
‚Dan perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (monopause) di antara perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa ‘iddahnya) maka ‘iddah mereka adalah tiga bulan; dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang tidak haid. Dan perempuan-perempuan-perempuan-perempuan yang hamil, waktu
‘iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya. Dan barang siapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Allah menjadikan baginya
kemudahan dalam urusannya‛.22
Jadi, untuk mengetahui lamanya menjalankan ihda>d (berkabung)
wanita yang ditinggal mati oleh suaminya maka harus diketahui lebih dulu
wanita itu sedang mengandung atau tidak, kareana wanita itu wajib
menjalankan ihda>d selama masa ‘iddah.
2. Ihda>d Bagi Wanita yang Di Talaq Ba>’in
Para ulama’ membedakan antara talaq raj’i dan talaq ba’in, sebab
wanita yang di talaq ba’in oleh suami khususnya talaq ba’in kubro maka
baginya haram untuk bisa rujuk kembali kecuali isteri yang telah di talaq
ba’in tersebut telah kawin dengan orang lain dan ba’dha dukhul. Posisi
20
Kompilasi Hukum Islam, (Bandung: CV. Nuansa Aulia, 2013), 51.
21 Departemen Agama RI, Al-Qur’an Tajwid dan Terjemah (Bandung: CV. Penerbit Diponegoro 2010), 38.
31
wanita yang mengalami hal seperti ini hampir sama dengan wanita yang
ditinggal mati oleh suaminya. Sama dalam arti keduanya sama-sama tidak
bisa berkumpul dengan suaminya dan bedanya jika wanita yang ditinggal
mati oleh suaminya tersebut dia tidak bisa berkumpul dan menatap wajah
suaminya untuk selama-lamanya. Sedangkan bagi wanita yang di talaq ba’in
kubro ia masih bisa bertemu dengan mantan suaminya dan masih ada
harapan untuk berkumpul dengan mantan suaminya asalkan memenuhi
syarat yang ditentukan.
Madzhab Hanafi mewajibkan masa berkabung bagi istri yang di talaq
ba’in oleh suami, karena ini adalah hak syariat, juga untuk menunjukkan rasa
sedihnya atas hilangnya nikmat perkawinan, seperti halnya wanita yang
ditinggal mati oleh suaminya.23
Jumhur fuqaha tidak mewajibkan masa berkabung kepada perempuan
yang di talaq ba’in kubro oleh suaminya, mereka hanya mensunahkannya
saja karena suaminya telah menganiaya dengan talak ba’in, maka tidak lazim
baginya untuk menunjukkan rasa sedih dan menyesal atas perpisahan
dengannya. Karena dia menjalani masa ‘iddah dari talaq, maka ia seperti
wanita yang di talaq raj’i. Hanya saja disunahkan baginya untuk berkabung
agar jangan sampai bersolek membawa pada kerusakan.
Secara tegas Imam Malik mengatakan bahwa tidak ada ihda>d kecuali
pada kematian suami. Bertolak belakang dengan Imam Malik, Imam Abu
Hanifah berpendapat bahwa wajib hukumnya menjalankan ihda>d pada masa
23
32
menjalani masa ‘iddah yang disebabkan oleh talaq ba’in. Sedangkan menurut
Imam Syafi’i mengatakan, ‚Saya lebih menyukai wanita yang di talaq ba’in
melakukan ihda>d sebagaimana ihda>d wanita yang ditinggal mati oleh
suaminya. Ihda>d itu dilakukan selama masa ‘iddah talaq. Pendapat ini
merupakan pendapat para tabi’in, dan saya memperoleh keterangan dari
mereka tentang kewajiban ihda>d atas wanita yang di talaq ba’in, karena
keadaan wanita yang di talak ba’in dan wanita yang ditinggal mati oleh
suaminya itu berbeda walaupun dalam beberapa hal ada persamaannya. Jadi
Imam Syafi’i tidak mewajibkan wanita yang ditalak bain itu menjalani
ihda>d, namun ia menganggap baik bagi yang mengerjakannya.24
3. Ihda>d Bagi Wanita yang Ditinggal Mati oleh Keluarga Dekatnya
Disamping masalah ihda>d bagi wanita yang ditinggal mati oleh
suaminya dan wanita yang di talaq ba’in, ulama juga membahas tentang
ihda>d bagi wanita yang ditinggal mati oleh keluarga dekatnya. Menurut
Sayyid Sabiq, seorang wanita boleh menjalani ihda>d karena kematian
keluarga dekatnya selama tiga hari dan haram bila lebih dari tiga hari. Akan
tetapi ada syarat bagi wanita tersebut, yaitu harus mendapatkan izin dari
suaminya, bila ternyata suaminya tidak mengizinkan maka ihda>d tidak boleh
dilakukan.25
Sedangkan Wahbah az-Zuhaili secara tegas mengatakan, ‚seorang
suami berhak melarang istrinya melakukan ihda>d atas kematian keluarga
24
Ibnu Rusyid, Bidayatul Mujtahid Jilid II Diterjemahkan Oleh M. Abdurrahman dan Haris Abdullah (Semarang: Asy-Syifa’, 1990), 345.
33
dekatnya (ayah, ibu dan saudara), karena berhias dan bersolek bagi seorang
istri adalah hak suami.26
Dasar yang digunakan oleh Sayyid sabiq dan Wahbah Alzuhaili
tentang kebolehan bagi seorang wanita untuk menjalankan kewajiban ihda>d
selama 3 hari atas kematian keluarga dekatnya adalah hadits yang berbunyi:
َِ يْلا َ لاِبَ م تَ أ مالَلحيَال
َ شأَ عب أَج َى عَالِإَ ا ثَ فَتِيمَى عَ حتَِخ ْلا
ا شع
"Tidak halal bagi seorang wanita yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir melakukan ihdad (berkabung dengan meninggalkan berhias) terhadap mayyit melebihi tiga hari, kecuali kematian suaminya yaitu empat bulan sepuluh hari."275. Hikmah Ihda>d
Hikmah dan rahasia syariat ihda>d bagi wanita yang ditinggal mati
oleh suami adalah sebagai berikut:
1. Memberi alokasi waktu yang cukup untuk turut berduka cita atau
berkabung dan sekaligus menjaga fitnah.
2. Menutup jalan bagi perempuan yang berhasrat untuk menikah atau
dilamar kembali, padahal ia masih dalam ‘iddah.
3. ‘Iddah adalah masa penantian seorang perempuan untuk tidak boleh
menikah setelah suaminya meninggal. Waktunya selama empat bulan
sepuluh hari. Sementara itu, ihda>d adalah meninggalkan berhias,
memakai wewangian, dan yang semisalnya berupa hal-hal yang bisa
membuat perempuan memikat untuk menikah atau dinikahi sebagaimana
26 Wahbah az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adilatuhu Jilid IX, Diterjemahkan oleh Abdul Hayyie al-Katani (Jakarta: Gema Insani, 2007), 659.
27
34
yang telah diterangkan, sedang dalil pensyariatan ihda>d berasal dari
sunnah Nabi sebagaimana yang telah disebutkan. Jadi, ‘iddah adalah
masa penantian, sedang ihda>d adalah aturan dalam masa penantian itu.
Oleh karena itu, dengan keberadaan syariat ihda>d ini, tampaklah
penekanan akan besarnya dosa dan larangan terhadap seorang perempuan
untuk melakukan akad nikah pada masa itu.
4. Penjagaan terhadap hak suaminya yang meninggal dan penghargaan
terhadap kebersamaan yang dia kenang bersama suaminya.
5. Memuliakan anggota keluarga suami dan menjaga perasaan mereka dan
untuk memelihara keharmonisan hubungan keluarga suami yang
meninggal dengan pihak isteri yang ditinggalkan dan keluarga
besarnya.28
6. Kesedihan terhadap hilangnya nikmat nikah, yang mengumpulkan antara
kebaikan dunia dan akhirat yang pernah dia jalani. Pernikahan
merupakan nikmat besar bagi istri, karena sang suami melindungi,
mengasihi, memberi nafkah, pakaian dan tempat tinggal. Maka ketika
ditinggal mati oleh suami, istri wajib menunjukkan rasa sedih atas
nikmat.29
7. Ihda>d juga untuk menampakkan kesedihan dan kedukaan atas kematian
suaminya, dan ukuran untuk bersedih karena yang lainnya. Selain cerai
mati, maka talak dalam bentuk apapun tidak membutuhkan adanya
28
Fatwa Majelis Ulama Indonesia ( Jakarta: MUI, 1996), 64.
29
35
ihda>d. Hal ini sesuai dengan wanita-wanita yang hidup pada masa Nabi
dan Khulafa el-Rasyid>in tidak pernah melakukan ihda>d selain cerai
mati.30
8. Sebagai penyempurna dan konsekuensi ‘iddah.
Menurut Wahbah Zuhaili bahwa ihda>d merupakan hak syar’i dan
merupakan ungkapan atau manifestasi rasa duka cita karena hilangnya
karunia Allah. Dalam bentuk perkawinan sehingga ia tidak mungkin lagi
berkumpul dengan bekas suaminya.31
B. Maqa>shid al-Shari>’ah Sebagai Penetapan Hukum
1. Pengertian Maqa>shid al-Shari>’ah
Maksud-maksud syari’at adalah tujuan yang menjadi target teks dan
hukum-hukum partikular untuk direalisasikan dalam kehidupan manusia,
baik berupa perintah, larangan dan mubah. Baik untuk individu, keluarga,
jamaah dan umat.
Tujuan penetapan hukum atau yang sering dikenal dengan istilah
Maqa>shid al-Shari>’ah merupakan salah satu konsep penting dalam kajian
hukum Islam. Karena begitu pentingnya Maqa>shid al-Shari>’ah tersebut, para
ahli teori hukum menjadikan Maqa>shid al-Shari>’ah sebagai sesuatu yang
harus dipahami oleh mujtahid yang melakukan ijtihad.
30 Syaikh Hasan Ayyub, Fikih Keluarga (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2006), 372.
36
Adapun inti dari teori Maqa>shid al-Shari>’ah adalah untuk mewujudkan
kebaikan sekaligus menghindarkan keburukan, atau menarik manfaat dan
menolak madharat. Istilah yang sepadan dengan inti dari Maqa>shid
al-Shari>’ah tersebut adalah maslahat, karena penetapan hukum dalam Islam
harus bermuara kepada maslahat.
Secara bahasa kata syariat berasal dari ‚syara’a as-syai‛ dengan arti
menjelaskan sesuatu, atau ia diambil dari ‚asy-syir’ah‛ dan ‚asy-sha>riah‛
dengan arti tempat sumber air yang tidak pernah terputus dan orang yang
datang kesana tidak memerlukan adanya alat.
Maqa>shid jamak dari kata ma>qsud yang berarti tuntutan, kesengajaan
atau tujuan. Shari>’ah adalah sebuah kebijakan (hikmah) dan tercapainya
perlindungan bagi setiap orang pada kehidupan dunia dan akhirat. Adapun
makna Maqa>shid al-Shari>’ah secara istilah adalah al-ma’aani allati syuri’at
laha al-ahkam yang berarti nilai-nilai yang menjadi tujuan penetapan hukum.
Sebagai landasan dalam berijtihad dalam rangka menetapkan hukum, maka
tidaklah berlebihan jika dikatakan bahwa pertimbangan Maqa>shid
al-Shari>’ah menjadi suatu yang urgen bagi masalah-masalah yang tidak
ditemukan hukumnya secara tegas dalam nash.32
Sedangkan secara Istilah Ibnu al-Qayyim Al Jauziyah ‚Menegaskan
bahawa shari>’ah itu berdasarkan kepada hikmah-hikmah dan
maslahah-maslahah untuk manusia baik di dunia maupun di akhirat. Perubahan hukum
32
37
yang berlaku berdasarkan perubahan zaman dan tempat adalah untuk
menjamin syariah dapat mendatangkan kemaslahatan kepada manusia‛.33
Wahbah Zuhaily menyebutkan Maqa>shid al-Shari>’ah adalah sejumlah
makna atau sasaran yang hendak dicapai oleh syara’ dalam semua atau
sebagian besar kasus hukumnya. Atau ia adalah tujuan dari syari’at, atau
rahasia di balik pencanangan tiap-tiap hukum oleh Syar’i (pemegang otoritas
syari’at, Allah dan Rasul-Nya).34
Berdasarkan penjelasan sebelumnya maka Maqa>shid al-Shari>’ah adalah
maksud dan tujuan disyariatkannya hukum Islam. Beberapa Ulama
mendefinisikan Maqa>shid al-Shari>’ah sebagai berikut:
َمهايجاحَرق ت َمهاي ضَ كبَ ا لاَحاصمَ َ اكحااَ عي شتَيَ اش لَ اعلاَ صاقما
مها سح
Maqa>shid al-Shari>’ah secara Umum adalah: kemaslahatan bagi Manusia dengan memelihara kebutuhan dharuriat mereka dan menyempurnakan kebutuhan Hajiyat dan Tahsiniat mereka.Kesimpulannya bahwa Maqa>shid al-Shari>’ah adalah konsep untuk
mengetahui hikmah (nilai-nilai dan sasaran syara' yang tersurat dan tersirat
dalam Al-Qur’an dan Hadits). yang ditetapkan oleh Allah ta’ala terhadap
manusia adapun tujuan akhir hukum tersebut adalah satu, yaitu mashlahah
atau kebaikan dan kesejahteraan umat manusia baik di dunia (dengan
Mu’amalah) maupun di akhirat (dengan ‘aqidah dan Ibadah).
33 Yusuf Al-Qardawi, Fiqih Maqa>shid al-Shari>’ah (Jakarta: Pustaka Al-Kaustar, 2007), 209.
34
38
Al-Sha>tiby menguraikan bahwa untuk dapat memahami Maqa>shid
al-Shari>’ah atau tujuan syariah secara sempurna, maka terlebih dahulu harus
mengetahui hakim, hukum, mahkum fih dan mahkum ‘alaih. Dalam syari’at
Islam Maqa>shid al-Shari>’ah lebih tinggi dan bersifat abadi, artinya tidak
terbatas kepada bidang materil saja yang bersifat sementara karena
faktor-faktor individu dan masyarakat. Dengan hukum Islam dimaksudkan adalah
agar kebaikan umat manusia terwujud.
2. Syarat-syarat Maqa>shid al-Shari>’ah
Wahbah az-Zuhaili dalam bukunya menetapkan syarat-syarat
Maqa>shid al-Shari>’ah. Menurutnya bahwa sesuatu baru dapat dikatakan
sebagai Maqa>shid al-Shari>’ah apabila memenuhi empat syarat berikut, yaitu
:
1. Harus bersifat tetap, maksudnya makna-makna yang dimaksudkan itu
harus bersifat pasti atau diduga kuat mendekati kepastian.
2. Harus jelas, sehingga para fuqaha tidak akan berbeda dalam penetapan
makna tersebut. Sebagai contoh, memelihara keturunan yang merupakan
tujuan disyariatkannya perkawinan.
3. Harus terukur, maksudnya makna itu harus mempunyai ukuran atau
batasan yang jelas yang tidak diragukan lagi. Seperti menjaga akal yang
merupakan tujuan pengharaman khamr dan ukuran yang ditetapkan adalah
kemabukan.
4. Berlaku umum, artinya makna itu tidak akan berbeda karena perbedaan
39
nafkah sebagai persyaratan kafa'ah dalam perkawinan menurut mazhab
Maliki.
3. Tingkatan Maqa>shid al-Shari>’ah
Kehidupan manusia, maslahat dapat dibagi menjadi tiga tingkatan,
sedangkan cara untuk tercapai kemaslahatan tersebut manusia harus
memenuhi kebutuhan Dharuriat (Primer), dan menyempurnakan kebutuhan
Hajiyat (sekunder), dan Tahsiniat atau kamaliat (tersier).
Imam asy-Syathibi berpandangan bahwa tujuan utama dari Maqa>shid
al-Shari>’ah adalah untuk menjaga dan memperjuangkan tiga kategori hukum
yaitu antara lain :
1. Daruriyyat
Secara bahasa berarti kebutuhan yang mendesak atau darurat. Dalam
kategori ini ada lima hal yang perlu diperhatikan, yaitu memelihara agama,
memelihara jiwa, memelihara akal pikiran, memelihara kehormatan dan
keturunanan, serta memelihara harta benda.
Dalam kebutuhan Daruriyyat, apabila tingkat kebutuhan ini tidak
terpenuhi, maka akan mengancam keselamatan umat manusia di dunia
maupun di akhirat.
2. Hajiyyat
Secara bahasa berarti kebutuhan-kebutuhan sekunder. Apabila
kebutuhan ini tidak terwujud tidak sampai mengancam keselamatan, namun
akan mengalami k