• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP KETENTUAN IHDAD WANITA KARIER YANG DITINGGAL MATI OLEH SUAMI DI DESA KALIANYAR KABUPATEN NGANJUK.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP KETENTUAN IHDAD WANITA KARIER YANG DITINGGAL MATI OLEH SUAMI DI DESA KALIANYAR KABUPATEN NGANJUK."

Copied!
83
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP KETENTUAN IHDA<

D

WANITA KARIER YANG DITINGGAL MATI OLEH SUAMI DI

DESA KALIANYAR KABUPATEN NGANJUK

SKRIPSI

Oleh

Diyah Ayu Lestari

NIM. C31213097

Jurusan Hukum Perdata Islam

Fakultas Syari’ah dan Hukum Prodi Hukum Keluarga

Universitas Islam Negeri Sunan Ampel

Surabaya

(2)
(3)
(4)
(5)
(6)

ABSTRAK

Skripsi ini adalah hasil penelitian studi lapangan (field risearch) dengan

judul ‚Analisis Hukum Islam Terhadap Ketentuan Ihda>d Wanita Karier yang Ditinggal Mati Oleh Suami di Desa Kalianyar Kabupaten Nganjuk‛. Penelitian

ini bertujuan menjawab dua pertanyaan penelitian: 1. Bagaimana wanita karier yang masih dalam kewajiban menjalankan ihda>d menyambung hidupnya setelah ditinggal mati oleh suaminya. 2. Bagaimana Analisis Hukum Islam terhadap praktik ihda>d yang dilakukan wanita kerier tersebut yang masih dalam masa

‘iddah.

Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif, karena pengumpulan data dihimpun melalui wawancara dan observasi terhadap 2 responden yaitu wanita karier yang ditinggal mati oleh suaminya di Desa Kalianyar Kabupaten Nganjuk. Data yang dihimpun, selanjutnya dianalisis dengan teknik deskriptif-deduktif yaitu dengan menggambarkan atau mendeskripsikan secara jelas tentang praktik-praktik yang tampak melanggar ketentuan ihda>d yang dilakukan oleh wanita karier setelah ditinggal mati oleh suaminya untuk kemudian dianalisis dengan pola pikir deduktif yaitu diawali dengan mengemukakan dalil umum tentang ihda>d, kemudian teori tersebut digunakan sebagai alat untu menganalisis dengan analisis Hukum Islam kemudian ditarik kesimpulan yang bersifat khusus.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kedua wanita yang ditinggal mati oleh suaminya di Desa Kalianyar Kabupaten Nganjuk ternyata tetap bekerja dan belum habis masa ‘iddahnya. Wanita tersebut dalam bekerja tetap melakukan hal-hal yang selama ini dilakukan di luar masa ‘iddah seperti bersolek dan berinteraksi dengan lawan jenis. Dari data tersebut ketika dianalisis menggunakan Hukum Islam, khususnya yang terkait dengan peraturan ihda>d wanita yang masih ada di dalam masa ‘iddah maka jelas bahwa perbuatan yang dilakukan wanita tersebut tidak melanggar hukum Islam karena dilakukan dengan keadaan benar-benar terpaksa dengan tujuan untuk memelihara jiwa (hifzh al-nafs).

Dari kesimpulan di atas, maka penulis menyarankan kepada wanita karier di Desa Kalianyar Kabupaten Nganjuk agar lebih bijak dan hati-hati dalam menjalankan aktivitas dan berkarier ketika masih dalam masa ‘iddah setelah wafatnya suami, meskipun hukum Islam memberikan kelonggaran hukum namun etika sebagai seorang wanita muslimah harus tetap dijaga. Saran lainnya adalah, bahwa hendaknya para wanita dan masyarakat yang belum memahami peraturan hukum Islam terkait ihda>d dalam masa ‘iddah alangkah lebih baiknya untuk

bertanya atau meminta wejangan kepada ulama’ atau tokoh masyarakat agar

(7)

DAFTAR ISI

SAMPUL DALAM ... i

PERNYATAAN KEASLIAN ... ii

PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING ... iii

LEMBAR PENGESAHAN ... iv

MOTTO ... v

LEMBAR PERSEMBAHAN ... vi

ABSTRAK ... vii

KATA PENGANTAR ... viii

DAFTAR ISI ... x

DAFTAR TRANSLITERASI ... xiii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Identifikasi dan Batasan Masalah ... 8

C. Rumusan Masalah ... 9

D. Kajian Pustaka ... 10

E. Tujuan Penelitian ... 14

F. Kegunaan Hasil Penelitian ... 14

G. Definisi Operasional ... 15

H. Metode Penelitian ... 16

I. Sistematika Pembahasan ... 19

(8)

A. Ihda>d Dalam Hukum Islam ... 21

1. Pengertian Ihda>d ... 21

2. Dalil Disyariatkannya Ihda>d ... 24

3. Hal-hal yang Diperbolehkan dan Larangan dalam Pelaksanaan Ihda>d ... 26

4. Macam-macam Ihda>d ... 28

5. Hikmah Ihda>d ... 33

B. Maqa>shid al-Shari>’ah Sebagai Penetapan Hukum ... 35

1. Pengertian Maqa>shid al-Shari>’ah ... 35

2. Syarat-syarat Maqa>shid al-Shari>’ah ... 38

3. Tingkatan Maqa>shid al-Shari>’ah ... 39

4. Lima Pokok Prinsip Maqa>shid al-Shari>’ah ... 41

BAB III PRAKTIK IHDA<D WANITA KARIER DI DESA KALIANYAR KABUPATEN NGANJUK ... 45

A. Sekilas Tentang Letak Geografis Desa Kalianyar Kabupaten Nganjuk ... 46

B. Praktik Ihda>d Wanita Karier (Studi Kasus Pada Dua Responden di Desa Kalianyar Kabupaten Nganjuk) ... 47

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP IHDA<D WANITA KARIER DI DESA KALIANYAR KABUPATEN NGANJUK ... 57

A. Praktik Ihda>d Wanita Karier Di Desa Kalianyar Kabupaten Nganjuk Ditinjau Dari Pandangan 4 Madzhab ... 57

B. Praktik Ihda>d Wanita Karier Di Desa Kalianyar Kabupaten Nganjuk Ditinjau dari Perspektif Maqa>shid al-Shari>’ah ... 60

BAB V PENUTUP ... 69

(9)

B. Saran-saran ... 70

(10)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Agama Islam sangat menghormati hak-hak para pemeluknya, baik hak

dalam duniawi maupun ukhrawi. Syariat Islam yang terkandung dalam

Al-qur’an telah mengajarkan pada manusia tentang tatanan hidup seorang

muslim dalam segala sektor kehidupan, baik dalam bidang sosial, ekonomi,

budaya maupun hukum.

Pada saat Rasulullah saw. masih hidup, otoritas pengambilan hukum

terhadap suatu permasalahan ada di tangan beliau.1 Setelah wafatnya

Rasulullah, penggunaan ijtihad merupakan solusi dalam rangka mencari

pemecahan masalah-masalah yang baru muncul, hal ini didasarkan adanya

keharusan penyelesaian masalah tanpa meninggalkan prinsip syariat Islam.

Hanya agama Islam yang diridhoi Allah dan hanya Islam lah agama

yang benar, cukup dengan aturan-aturan Islam seorang muslim dapat

mengarungi kehidupannya dan memecahkan setiap problem kehidupannya.2

Pada perkembangan zaman yang semakin moderen ini kerja sama

antara laki-laki (suami) dan perempuan (istri) mutlak diperlukan dalam

sebuah kehidupan rumah tangga, masing-masing pasangan memiliki peran

1 Hasbi Ash-Shiddiqy, Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Hukum Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1971), 21.

(11)

2

yang dapat saling melengkapi satu sama lain, sehingga tercipta kehidupan

rumah tangga yang ideal.

Agama Islam datang dengan menjunjung harga diri dan kemuliaan

wanita dan menempatkannya setara dengan pria ‚equal sharing of

responsibilities‛.

Seperti Sabda Rasulullah saw:

ئَاقشَُاسِلاَا ا

َ

] اس لا َد ادَ باَ [َِ اجِلا

Artinya : ‚Sesungguhnya kaum wanita itu adalah setara dengan kaum pria‛.

(HR. Abu Dawud dan An-Nasa’i).3

Menurut Ahmad Zahra Al-Hasany, Islam memberikan hak-hak kepada

wanita sebagaimana diberikan kepada pria dan membebankan kewajiban

kepada wanita sebagaimana dibebankan kepada pria. Namun ada beberapa

hal yang khusus bagi wanita dan bagi pria karena ada dalil-dalil shar’i yang

mengaturnya. Di dalam Islam wanita diijinkan melakukan jual beli, sewa

menyewa dan akad perwakilan (wakalah). Selain itu wanita juga diijinkan

menangani pertanian, perindustrian dan perdagangan serta mengadkan

akad-akad perjanjian.4

Perkembangan persaingan dalam dunia kerja pada saat ini tidak hanya

digeluti oleh kaum pria, akan tetapi banyak juga perempuan yang ikut

berkecimpung didalamnya. Banyak kaum perempuan yang aktif di berbagai

bidang, baik politik, sosial, budaya, ilmu pengetahuan, olah raga,

3 Ahmad Hasan, Terjemah Bulughul Maram (Bandung: Diponogoro, 2009), 498.

(12)

3

ketentaraan, maupun bidang-bidang lainya. Boleh dikata, hampir disetiap

sektor kehidupan umat manusia, perempuan sudah terlibat bukan hanya

dalam pekerjaan-pekerjaan ringan, tetapi juga dalam pekerjaan-pekerjaan

yang berat, seperti sopir taksi, tukang parkir, buruh bangunan, satpam, dan

lain-lain. Dibidang olahraga, kaum wanita juga tidak mau ketinggalan dari

kaum pria. Bidang-bidang olahraga keras yang dulu dipandang hanya layak

dilakukan oleh laki-laki, kini sudah banyak diminati dan dilakukan oleh

kaum wanita, seperti sepak bola, bina raga, karate, bahkan tinju.5 Dan dari

banyaknya bidang yang digeluti itu, maka mereka menamainya sebagai

wanita karier.

Mengenai istilah wanita, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti

perempuan dewasa.6 Sedangkan kata ‛karier‛ berarti pengembangan dan

kemajuan dalam kehidupan, pekerjaan, jabatan dan sebagainya. Karier dapat

juga berarti pekerjaan yang memberikan harapan untuk maju. Dengan

demikian, wanita karier adalah wanita yang bekerja untuk memenuhi

kebutuhan hidup pribadi dan untuk keluarga yang lebih maju secara finansial

dan jabatan melalui peningkatan karier dan pekerjaan. Hal ini dapat

berakibat pada kebutuhan berinteraksi dengan lawan jenis dan beraktivitas di

luar rumah serta harus berhias diri dalam menunjang karier dan

pekerjaannya.

5Huzaemah T Yanggo, ‚Iddah dan Ihdad Wanita Karier‛, dalam http://media.Nu-online-wanita-35-html, diakses pada 01 Oktober 2016.

(13)

4

‘Iddah merupakan masa penantian seorang perempuan sebelum

menikah lagi, setelah bercerai dari suaminya atau setelah suaminya

meninggal dunia.7 Para ulama sepakat bahwa wajib hukumnya melaksanakan

‘iddah serta ihda>d, bagi perempuan yang dicerai atau yang ditinggal mati

oleh suaminya, yang tujuannya agar melihat kondisi perempuan dalam

keadaan hamil atau tidak.8

Seperti yang disebutkan dalam Al-Qur’an Surat Al-Baqarah ayat 234 :

ُك مَ ف يَ ي لا

َ جأَ غ بَ إفَا شع َ شاَ عب ََ ِ ِسُ اِبَ صب يَاجا أَ

ي َم

ًَا يِخَ ُ عتَا ِبَ ّلا َ,ف ع ْلاِبَ ِ ِسُ أَيفَ ْعفَا يفَمُكي عَحا جَاف

Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah para istri itu) menangguhkan dirinya (ber’iddah) empat bulan sepuluh hari. kemudian apabila telah habis ‘iddahnya, Maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut. Allah mengetahui apa yang kamu perbuat.9

Perempuan yang suaminya meninggal dunia, ‘iddahnya empat bulan

sepuluh hari. Di samping keharusan ber-’iddah, seorang perempuan yang

ditinggal suaminya juga harus melaksanakan kewajiban ih}da>d. Ih}da>d

merupakan suatu kondisi seorang istri harus menahan diri atau berkabung

selama empat bulan sepuluh hari. Selama masa itu, istri hendaknya

menyatakan dukanya dengan tidak berhias, dengan tidak memakai parfum,

tidak bercelak mata dan tidak boleh keluar rumah.10

7 Sayyid Sa>biq, Fikih Sunnah VIII, Terjemahan Moh. Tholib (Bandung: al-ma’a>rif, 1990), 140. 8 Slamet Abidin, Fikih Munakahat II (Bandung: Pustaka Setia, 1999), 121.

9 Departemen Agama RI, Al-Qur’an Tajwid dan Terjemah (Bandung: CV. Penerbit Diponegoro 2010), 38.

10

(14)

5

Ihda>d secara etimologi adalah menahan atau menjauhi. Secara

definitif, sebagaimana tersebut dalam beberapa kitab fikih adalah ‚menjauhi

sesuatu yang dapat menggoda laki-laki kepadanya selama menjalani masa

‘iddah. Pembicaraan disini menyangkut untuk siapa dia berbuat, kenapa dia

berbuat, apa yang tidak boleh diperbuat dan hukum berbuat.11 Ihda>d

maknanya meninggalkan perhiasan dan wangi-wangian di waktu tertentu

oleh seseorang yang ditinggal mati oleh orang terdekatnya.

Wahbah al-Zuhaili memberikan definisi tentang makna ihda>d: ‚Ihda>d

ialah meninggalkan harum-haruman, perhiasan, celak mata dan minyak, baik

minyak yang mengharumkan maupun yang tidak‛.12

Mengenai kenapa seseorang harus berkabung, maka dalam hal ini

menjadi pembahasan di kalangan ulama. Adapun pendapat yang disepakati

adalah bahwa ihda>d atau berkabung hanya berlaku bagi perempuan yang

ditinggal mati oleh suaminya.13

Adapun hikmah ihda>d bagi wanita yang ditinggal mati oleh suaminya

adalah memberikan alokasi waktu yang cukup untuk turut berduka cita atau

berkabung dan sekaligus menjaga fitnah serta untuk memelihara

keharmonisan hubungan keluarga suami yang meninggal dengan pihak isteri

yang ditinggalkan dan keluarga besarnya. Selain itu ihda>d juga untuk

11

Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia Antara Fikih Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan (Jakarta: Kencana, 2007), 320.

12

Wahbah az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adilatuhu Jilid VII, Diterjemahkan oleh Abdul Hayyie al-Katani (Jakarta: Gema Insani, 1985), 659.

13

(15)

6

menampakkan kesedihan dan kedukaan atas kematian suaminya, dan ukuran

untuk bersedih karena yang lainnya.14

Ummu Atiah (Shahabah Nabi) berkata:

ْك َا َا شع َ شاَ عب ََج َى عَاِإَ اثَ فَتِيمَى عَ ح َْ أَى َا ُك

َا َُلح

ِإَت س عَا ِإَِ طلاَ عَا لَصخ َ ق َ.َبصعَاب ثَاإَاع صمَاب ثَس ْ َا َبيط

َا ا ح

. ا ْظأ َطسُقَ مَ َيفَا ضيحمَ م

Kami dicegah oleh Nabi Muhammad SAW untuk berkabung untuk kematian seseorang lebih dari tiga hari melainkan kepada suami. Wajib berkabung untuk kematian suami selama empat bulan 10 hari. Selama itu kami tidak boleh bercelak, tidak memakai minyak wangi, tidak boleh pakai pakaian yang dicelup dengan warna melainkan pakaian ‘as}ab (sejenis kain

dari yaman). Kami telah dibenarkan untuk meletakkan secalit wangian setanggi qust} dan az}fa>r setelah kami mandi wajib selepas habis keluar darah haid. (HR. Muslim)15

Dalam KHI (Kompilasi Hukum Islam) Bab XIX Pasal 170 ayat (1)

juga menjelaskan tentang masa berkabung dimana ‚isteri yang ditinggal mati

oleh suaminya, wajib melaksanakan masa berkabung selama masa ‘iddah

sebagai tanda turut berduka cita dan sekaligus menjaga timbulnya fitnah.16

Abu Muhammad mengatakan sebagaimana dikutip oleh Abdul

Rahman Ghazaly, berpendapat syarat untuk ber-ihda>d adalah iman, sehingga

hal itu menunjukkan bahwa ihda>d juga merupakan suatu ibadah. Ihda>d

dimaksudkan untuk mencegah pandangan kaum laki-laki selama masa ‘iddah

perempuan, dan demikian pula untuk mencegah perempuan dari memandang

14

Syaikh Hasan Ayyub, Fikih Keluarga (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2006), 372.

15 Syekh Faishol Ibnu Abdul Aziz Almubarok, Terjemah Nailul Authar Jilid 5, Diterjemahkan oleh Mu’ammal Hamidy (Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1993), 2422.

(16)

7

kaum laki-laki. Hal ini dilakukan dalam rangka menutup jalan kerusakan

(sadd al-dzari’ah).17

Dengan kondisi seperti ini, jelas akan menjadi problematika ketika

wanita yang harus bekerja di luar rumah untuk menghidupi keluarganya,

namun ia memiliki keterbatasan waktu untuk bekerja karena melaksanakan

kewajibannya ber-ihda>d setelah ditinggal mati oleh suaminya. Demikian

halnya yang terjadi pada Bu Mawar (nama samaran) seorang wanita karier di

Desa Kalianyar Kabupaten Nganjuk. Dia bekerja dan berkarier di bidang

perbankan di Cabang Nganjuk yang telah ditinggal mati oleh suaminya,

wanita tersebut dihadapkan pada ketentuan agama yaitu masa ‘iddah selama

empat bulan sepuluh hari. Di dalam masa ‘iddah empat bulan sepuluh hari

tersebut, wanita tersebut juga diwajibkan ber-ihda>d (masa berkabung) yang

lamanya mengikuti masa ‘iddah yaitu selama 4 bulan 10 hari hari dimana

untuk menghormati kematian suaminya yang menikahinya secara sah dan

untuk menunjukkan rasa setianya serta meninggalkan berhias dengan tidak

bersolek, tidak memakai parfum, tidak bercelak dan tidak keluar rumah.

Namun kenyataannya ketentuan ini dilanggar oleh wanita kerier

tersebut karena aturan pekerjaan yang mengikatnya. Wanita tersebut tetap

bekerja keluar rumah di hari ketiga kematian suaminya dan berpenampilan

menarik serta bersolek sebagaimana biasa karena untuk menyambung

kelangsungan hidup dan menjaga keturunan. Ketentuan ihda>d ini tidak

sepenuhnya dijalankan bukan karena wanita tersebut hendak menghibur diri,

(17)

8

tetapi karena aturan pekerjaan yang mengikatnya dan wanita tersebut

sebagai satu-satunya tulang punggung keluarga, meskipun masih mempunyai

kedua orang tua namun keadaannya sudah sangat renta. Selain itu wanita

tersebut sebagai anak tunggal yang memiliki dua orang anak.18

Adapun sebagai pembanding dalam memberikan kelonggaran hukum

pada kasus ketentuan ihda>d wanita karier yang ditinggal mati oleh suami

yang juga tinggal di Desa Kalianyar Kabupaten Nganjuk adalah seorang

wanita karier yang berkarier di dunia pendidikan, wanita yang kembali

bekerja di hari ke tujuh setelah kematian suami karena untuk menyambung

hidupnya dengan anak semata wayang tinggalan suami.

Berangkat dari masalah tersebut, maka penulis ingin membahas lebih

lanjut mengenai ketentuan ihda>d, dengan analisis hukum Islam

menggunakan Maqa>shid al-Shari>’ah yang membolehkan wanita karier

tersebut bekerja dan berpenampilan menarik sehingga melanggar ketentuan

ihda>d, yang dituangkan dalam bentuk skripsi yang berjudul ‚Analisis Hukum

Islam Terhadap Ketentuan Ihda>d Wanita Karier yang Ditinggal Mati Oleh

Suami Di Desa Kalianyar Kabupaten Nganjuk‛.

B. Identifikasi dan Batasan Masalah

1. Identifikasi Masalah

Setelah penulis memaparkan faktor-faktor yang mendorong

dilakukannya penelitian mengenai praktik ketentuan menjalankan ihda>d

18

(18)

9

oleh wanita karier yang ditinggal mati suaminya, perlu kiranya penulis

sarikan poin-poin penting yang akan menjadi fokus penelitian penulis

selanjutnya, poin tersebut diantaranya adalah:

a. Pengertian dan ketentuan ihda>d.

b. Deskripsi praktik ihda>d yang dilakukan oleh wanita karier sebab

suami wafat.

c. Elastisitas hukum Islam terhadap praktik ihda>d wanita kerier sebab

suami wafat.

2. Batasan Masalah

Dengan adanya suatu permasalahan di atas, maka untuk

memberikan arah yang jelas dalam penelitian ini penulis membatasi

pada masalah-masalah berikut ini:

a. Deskripsi terhadap praktik ihda>d yang dilakukan oleh wanita karier

selama menjalani ‘iddah wafat.

b. Tinjauan hukum Islam terhadap praktik ihda>d yang dilakukan oleh

wanita karier yang masih berkewajiban menjalankan ‘iddah wafat.

C. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan diatas, penulis

menarik permasalahan yang akan diteliti dalam skripsi ini, yaitu:

1. Bagaimana deskripsi praktik ihda>d pada wanita karier di Desa Kaliayar

(19)

10

2. Bagaimana tinjauan hukum Islam terhadap praktik ihda>d pada wanita

karier di Desa Kalianyar Kabupaten Nganjuk dalam masa ‘iddah wafat?

D. Kajian Pustaka

Kajian pustaka pada penelitian ini pada dasarnya adalah untuk

mendapatkan gambaran hubungan topik yang akan diteliti dengan penelitian

sejenis yang pernah dilakukan oleh peneliti sebelumnya, sehingga diharapkan

tidak ada pengulangan penelitian secara mutlak.

Topik yang akan diteliti adalah mengenai praktik ihda>d pada wanita

karier yang ditinggal mati oleh suaminya di Desa Kalianyar Kabupaten

Nganjuk. Setelah menelusuri melalui kajian pustaka di perpustakaan penulis

menemukan skripsi yang dapat dijadikan bahan masukan dalam penulisan

penelitian ini.

Adapun penelitian (skripsi) yang membahas tentang ihda>d antara lain:

1. Skripsi Saudari Heni ‚Dilema Peraktek Ihda>d (Studi Sosiologi Hukum

Pada Masyarakat Kebayoran Lama)‛, Nim: 106043201334, 2010.

Mahasiswa UIN Syarief Hidayatullah Jakarta Fakultas Syariah dan

Hukum, Program Studi Peradilan Agama.

Penelitian ini, mendasarkan bagaimana tanggapan masyarakat tehadap

hukum ihda>d dari segi psikologi. Bangaimana masyarakat menanggapi

semua ketentuan-ketentuan yang ada dalam ihda>d, terutama pada

masyarakat kebayoran lama. Hasil dari penelitian ini memberikan titik

(20)

11

yang berkembang selama ini terhadap diadakannya hukum ihda>d di

masyarakat kebayoran lama.19

2. Skripsi Fredi Siswanto ‚Analisis Hukum Terhadap Ihda>d Bagi

Perempuan Ditinjau Dari Aspek Hukum Islam dan Kesetaraan Gender‛,

Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Bengkulu, Tahun 2014.

Hasil penelitian ini menunjukkan ihda>d bagi perempuan menurut hukum

Islam bahwa kepatutan seorang perempuan dalam masa berkabung

adalah dimana seorang istri harus menahan diri dengan tidak berhias diri

untuk menghormati kematian suami. Ihda>d bagi perempuan dalam

hukum Islam menurut gender dapat dikatakan bahwa dalam kehidupan

berelasi dengan yang lain terdapat nilai tatakrama dan norma hukum

yang membedakan antara laki-laki dan perempuan, dan hasil penelitian

ini memberi gambaran bahwa masa berkabung itu berlaku bagi laki-laki

dan perempuan.20

3. Skipsi saudara Alex Iskandar, Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga

Yogyakarta Fakultas Syariah dan Hukum, Jurusan Perbandingan

Madzhab, Tahun 2007, ‚Ihda>d Wanita Karier (Studi Pandangan Imam

Syafi’i dan Imam Abu Hanifah)‛.

Hasil dari penelitian ini adalah, penulis menggunakan kajian kepustakaan

dengan cara mengumpulkan berbagai literatur buku serta didukung

dengan pendekatan ushul fiqih yang dimaksudkan sebagai usaha untuk

19 Heni, "Dilema Praktek Ihdad (Studi Sosiologi Hukum Terhadap Masyarakat Islam Kebayoran Lama)" (Skripsi--UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, 2010), 12.

(21)

12

mendekati masalah yang diteliti berdasarkan kaidah yang sesuai dengan

objek kajian. Data yang digunakan saudara Alex adalah dari berbagai

literatur pustaka yang telah ditemukan untuk menggali dan memperkuat

mengenai pendapat kedua tokoh mujtahid tersebut, dan

mengomparasikannya agar menghasilkan perbedaan pendangan antara

Imam Syafi’i dan Imam Abu Hanifah mengenai ihda>d wanita karier. 21

4. Skripsi saudara Ahmad Izzatul Muttaqin Albadri Anugrah Jaya

Sampoerna, ‚Tinjauan Hukum Islam Terhadap ‘Iddah Cerai Mati

Perempuan Karier‛, Mahasiswa UIN Sunan Ampel Surabaya, Jurusan

Hukum Perdata Islam, Tahun 2014.

Dalam penelitian karya ilmiyah ini, penulis lebih menekan pada aspek

hukum Islam dan pendapat para ulama’ dengan teori ushul fiqh yang

mana membolehkan perempuan karier bekerja keluar rumah yang masih

dalam masa ‘iddah.22

5. Skripsi saudara Ahmad Fahru, ‚Iddah dan Ihda>d Wanita Karier

(Perspektif Hukum Islam dan Hukum Positif)‛, Mahasiswa Fakultas

Syariah dan Hukum UIN Syarief Hidayatullah Jakarta, Program studi

Hukum Keluarga, Tahun 2015.

Hasil penelitian ini menggambarkan tentang bagaimana penerapan

hukum yang digambarkan al-Qur’an dan hadits serta hukum dalam KHI

dalam menyikapi konsep ‘iddah dan ihda>d wanita karier. Pembahasan

21

Alex Iskandar, ‚Ihda>d Wanita Karier (Studi Pandangan Imam Syafi’i dan Imam Abu Hanifah)‛ (Skripsi--UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2007), 12.

22

(22)

13

dalam penelitian ini berusaha menguak semua yang berkaitan dengan

kebebasan wanita dalam melakukan kegiatan diluar rumah namun

dibatasi dengan peraturan agama. Penulis menggunakan metode

kepustakaan atau library research yaitu dengan cara membaca dan

mempelajari buku-buku yang mempunyai kaitan dengan masalah

tersebut dan menjelaskan pandangan hukum positif dan hukum Islam

tentang masalah ‘iddah dan ihda>d wanita karier.23

Dari kenyataan yang penulis ungkapkan diatas, maka terlihat

perbedaan permasalahan yang ditulis oleh penulis mengenai ihda>d. Disini

yang diteliti oleh penulis adalah masalah praktik-praktik yang tampak

melanggar ihda>d wanita karier yang ditinggal mati oleh suaminya, praktik

yang tampak melanggar ihda>d ini dilakukan karena tuntutan pekerjaan yang

mana untuk menopang hidupnya.

Subjek peneliti disini adalah seorang wanita kerier yang bekerja pada

sebuah instansi perbankan yang diharuskan berpenampilan menarik dan

bersolek sedangkan wanita tersebut masih dalam masa ‘iddah 4 bulan 10

hari akibat ditinggal mati oleh suaminya dan masih dalam kewajiban ihda>d

dimana wanita tersebut masih dalam masa berduka atau berkabung serta

masih dalam masa dimana wanita tersebut diharuskan untuk meninggalkan

bersolek, memakai harum-haruman yang berkaitan dengan anggota badan.

Selain itu, sebagai perbandingan subjek penelitian mengenai praktik

ihda>d yang dilakukan oleh wanita karier, penulis juga mengambil sampel

23

(23)

14

wanita yang berkarier di bidang pendidikan yang juga mengalami kewajiban

ihda>d wafat namun kondisi kehidupannya tidak seberat wanita karier dalam

bidang perbankan.

Penulis memberikan sudut pandang yang berbeda, penulis lebih

menekan terhadap aspek Hukum Islam dan menganalisa menggunakan teori

ilmu fiqih dan dipertajam dengan prinsip-prinsip Maqa>shid al-Shari>’ah yang

membolehkan wanita karier tersebut keluar rumah untuk bekerja setelah

kematian suaminya dan meninggalkan ihda>d.

E. Tujuan Penelitian

Setelah melihat dari rumusan masalah di atas maka tujuan

diadakannya penelitian ini yaitu:

1. Untuk mendeskripsikan praktik ihda>d pada wanita karier di Desa

Kalianyar Kabupaten Nganjuk dalam masa ‘iddah wafat.

2. Untuk mengetahui tinjauan hukum Islam terhadap praktik ihda>d pada

wanita karier di Desa Kalianyar Kabupaten Nganjuk dalam masa iddah

wafat.

F. Kegunaan Hasil Penelitian

1. Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat dan mampu

(24)

15

pada wanita karier yang ditinggal mati oleh suaminya dalam persepektif

hukum Islam.

2. Manfaat Praktis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangsih

pemikiran bagi ilmu pengetahuan dan dalam ranah pemikiran Islam pada

umumnya, serta bermanfaat bagi studi hukum perkawinan Islam tentang

praktik ihda>d pada wanita karier yang ditinggal mati oleh suaminya dan

problematikanya.

G. Definisi Operasional

Untuk mempermudah pemahaman terhadap istilah kunci dalam

penelitian ini, maka disini dijelaskan maknanya sebagai berikut:

1. Hukum Islam yang dimaksud dalam penelitian ini adalah aturan yang

mengatur perilaku mukallaf, dan sumber hukum yang digunakan untuk

menganalisis problematika kehidupan wanita karier yaitu berdasarkan

al-Qur’an dan Hadits serta pendapat-pendapat para ulama juga teori-teori

Maqa>shid al-Shari>’ah yang berkenaan dengan praktik ihda>d pada wanita

karier yang ditinggal mati oleh suaminya.

2. Ihda>d adalah masa berkabung yang diwajibkan atas seorang wanita yang

ditinggal mati oleh suaminya dengan tujuan untuk menyatakan dukanya

karena ditinggal wafat oleh suaminya dengan meninggalkan berhias,

meninggalkan memakai parfum, tidak bercelak mata dan tidak keluar

(25)

16

3. Wanita Karier yang dimaksud dalam penelitian ini adalah wanita yang

mempunyai kesibukan diluar rumah untuk menekuni satu atau beberapa

pekerjaan yang dilandasi oleh keahlian tertentu yang dimilikinya untuk

mencapai suatu kemajuan dalam hidup, pekerjaan, atau jabatan.

H. Metode Penelitian

Studi penelitian ini merupakan penelitian lapangan (field research),

yang bersifat kualitatif. Di dalam menganalisa data, penulis menggunakan

teknik deskriptif-deduktif yaitu dengan mendeskripsikan secara jelas tentang

praktik ihda>d pada wanita karier kemudian dianalisis dengan cara berfikir

deduktif yaitu dengan mengemukakan dalil umum tentang ihda>d lalu diikuti

dengan pendekatan normatif yang dilandaskan pada analisis hukum Islam

menggunakan teori Maqa>shid al-Shari>’ah sebagai pijakannya. Adapun

metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Data yang dikumpulkan meliputi:

a. Ketentuan atau aturan dalam ihda>d seorang wanita yang ditinggal

mati oleh suaminya yang ditinjau dari hukum islam.

b. Praktik yang namapak melanggar ketentuan ihda>d yang dilakukan

oleh wanita karier yang ditinggal mati oleh suaminya.

2. Sumber Data

Sumber yang peneliti gunakan dalam penelitian ini adalah sebagai

berikut:

(26)

17

1) 2 Orang Responden wanita karier yang ditinggal mati oleh

suaminya, bertempat tinggal di Desa Kalianyar Kabupaten

Nganjuk.

2) Al-Qur’an dan terjemahnya, Falsafah Hukum Islam, Konsep

Maqashid Syari’ah, Kitab Hikmah al-Tasyri’ wa Falsafatuhu,

Kompilasi Hukum Islam, Kitab Hadits Shahih Muslim dan

Kaidah Fiqhiyah.

b. Sumber Sekunder, merupakan bahan-bahan yang mengikat dalam

pembahasan kitab-kitab fiqih di antaranya, I’a>nah al tha>libi>n, Fathul

Wahha>b dan buku-buku Maqa>shid al-Shari>’ah yang berkaitan dengan

ketentuan ihda>d wanita yang ditinggal mati oleh suaminya.

c. Reverensi internet.

3. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data merupakan cara yang paling strategis

dalam penelitian, karena tujuan utama dari penelitian adalah

mendapatkan data. Tanpa mengetahui teknik pengumpulan data yang

memenuhi standart data yang ditetapkan.24

a. Wawancara: wawancara digunakan untuk menemukan data tentang

wanita karier yang dihadapkan pada ketentuan agama setelah

kematian suaminya yaitu masa‘iddah cerai wafat dan kewajiban

ihda>d. Dalam wawancara ini, dilakukan dengan bertemu langsung

dengan ke dua responden yang tetap bekerja di luar rumah yang

(27)

18

masih dalam masa ‘iddah dan kewajiban ihda>d wafat dengan tetap

bekerja, bersolek dan berinteraksi dengan lawan jenis.

b. Observasi: metode ini peneliti gunakan untuk menghimpun data

penelitian berupa pengamatan langsung kehidupan wanita karier

setelah ditinggal mati oleh suaminya.

c. Tela’ah atau dokumenter: metode ini digunakan penulis untuk

membaca dan mengklarifikasi serta menguji kebenaran yang ada

terhadap tulisan yang ada dalam buku.

4. Teknik Pengolahan Data

Setelah semua data yang diperlukan terkumpul, maka teknik

pengolahan data yang penulis lakukan yaitu:

a. Editing, yaitu pemeriksaan kembali terhadap data-data yang

diperoleh.25 Setelah data terkumpul, maka kegiatan selanjutnya

adalah memeriksa kembali mengenai kelengkapan dan kejelasan data

tentang pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh wanita karier

selama berada dalam masa ihda>d.

b. Organizing, yaitu kegiatan mengatur dan menyusun bagian-bagian

sehingga seluruhnya menjadi satu kesatuan yang teratur. Kegiatan ini

dilakukan untuk menyusun data dengan sistematis untuk

memperoleh gambaran yang jelas tentang praktik-praktik yang

tampak melanggar ihda>d yang dilakukan oleh wanita karier selama

(28)

19

berada dalam masa ‘iddah yang tinggal di Desa Kalianyar Kabupaten

Nganjuk.

5. Teknik Analisis Data

Teknik analisis data yang dipakai untuk menelaah seluruh data

yang tersedia dari berbagai sumber26 dengan metode deskriptif analisis.

Metode deskriptif analisis adalah memaparkan data tentang wanita karier

sesuai dengan keadaannya, lalu dianalisis dengan hukum Islam

menggunakan metode Maqa>shid al-Shari>’ah, yaitu teori ketentuan ihda>d

wanita yang ditinggal mati oleh suaminya.

I. Sistematika Pembahasan

Sistematika pembahasan dipaparkan dengan tujuan untuk

memudahkan pembahasan masalah-masalah dalam penelitian ini. Dalam

menyusun penulisan skripsi ini, penulis membagi pembahasan ke dalam

beberapa bab berikut:

Bab Pertama, bab ini memuat Pendahuluan yang meliputi Latar

Belakang Masalah, Rumusan Masalah, Identifikasi dan Batasan Masalah,

Kajian Pustaka, Tujuan Penelitian, Kegunaan Hasil Penelitian, Definisi

Operasional, Metode Penelitian, dan Sistematika Pembahasan.

Bab Kedua, sebagai Landasan Teori umum yang menjelaskan

pengertian, teori-teori, macam-macam dan tujuan kewajiban ihda>d wafat

serta tinjauan hukum Maqa>shid al-Shari>’ah.

(29)

20

Bab ketiga adalah penjelasan tentang deskripsi praktik ihda>d pada

kedua responden yaitu wanita karier yang tinggal di Desa Kalianyar

Kabupaten Nganjuk meliputi kelengkapan biografi dan latar belakang hiruk

pikuk kehidupan dan liku pekerjaannya, serta data dari responden yang

dihimpun dalam wawancara.

Bab keempat adalah Analisis. Bab ini memuat tentang analisa terhadap

temuan yang terdapat dalam bab tiga mengenai wanita karier yang tampak

melanggar ketentuan ihda>d dengan teori hukum Islam yang ada dalam bab

dua.

Bab kelima adalah Penutup berupa kesimpulan dan saran. Kesimpulan

ini berisi jawaban dari pokok masalah yang ada pada bab pertama yang

selanjutnya penulis memberikan sumbang saran sebagai refleksi terhadap

(30)

BAB II

KETENTUAN HUKUM ISLAM TENTANG IHDA<D BAGI WANITA YANG DITINGGAL MATI SUAMI

A. Ihda>d Dalam Hukum Islam

1. Pengertian Ihda>d

Ihda>d secara etimologi adalah menahan atau menjauhi. Secara

definitif, sebagaimana tersebut dalam beberapa kitab fikih, adalah ‚menjauhi

sesuatu yang dapat menggoda laki-laki kepadanya selama menjalani masa

‘iddah‛. Pembicaraan di sini menyangkut: untuk siapa dia berbuat, kenapa

dia berbuat, apa yang tidak boleh diperbuat dan hukum berbuat.1

Adapun mengenai untuk siapa, atau atas dasar apa seseorang

melakukan ihda>d, hampir semua ulama berpendapat bahwa ihda>d hanya

dilakukan untuk suami yang menikahinya dengan nikah yang sah dan yang

meninggal dalam masa perkawinannya dan tidak berlaku untuk lainnya.

Masa berkabung (ihda>d) bagi perempuan yang diatur oleh syari’at.

Sebagaimana yang dikutip oleh Tihami dan Sahrani, ihda>d berasal dari

kata ahadda>, dan kadang-kadang bisa juga disebut al-hida>d yang diambil dari

kata hadda>. Secara etimologis (lughawi) ihda>d berarti al-man’u (cegahan

atau larangan). Berbeda dengan Abdul Mujieb yang menjelaskan dengan

gamblang bahwa ihda>d adalah masa berkabung bagi seorang isteri yang

ditinggal mati suaminya. Masa tersebut adalah empat bulan sepuluh hari

1

(31)

22

disertai dengan larangan-larangannya, antara lain: bercelak mata, berhias

diri, keluar rumah, kecuali dalam keadaan terpaksa.2

Definisi ih}da>d menurut Imam Hanafi yang dikutip Wahbah Zuhaili

adalah menjahuinya seorang perempuan dari memakai harum-haruman,

memakai celak, berhias, tidak boleh menyisir rambutnya dan lainnya. Imam

Maliki mendefinisikan ih}da>d yang juga dikutip Wahbah Zuhaili adalah

meninggalkan semua hiasan termasuk juga cincin, yang dibuat berhias oleh

seorang perempuan seperti minter, celak wangi-wangian dan baju yang di

warnai. Sedangkan Imam Ahmad Bin Hanbal mendefinisikan ih}da>d adalah

seorang perempuan yang ditinggal mati oleh suaminya untuk menjahui

berhias diri baik dari pakaian maupun dari wangi-wangian.3

Selanjutnya, sebagaimana definisi pendapat para ulama madzhab

diatas, Wahbah Zuhaili menegaskan bahwa maksud meninggalkan

harum-haruman, perhiasan, celak mata, dan minyak wangi adalah yang berkaitan

dengan anggota badan wanita. Oleh karena itu, wanita yang sedang dalam

keadaan ih}da>d tidak dilarang memperindah tempat tidur, karpet, dan alat

rumah tangga lainnya ia juga tidak dilarang duduk diatas kain sutra.4

Jika dilihat arti kata berhias dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia,

maka berhias itu adalah memperelok diri dengan pakaian dan sebagainya

yang indah-indah atau bisa juga diartikan dengan berdandan. Sedangkan

2 Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat: Kajian Fikih Nikah Lengkap (Jakarta: Rajawali Press, 2009), 342.

3

Wahbah az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adilatuhu Jilid VII, Diterjemahkan oleh Abdul Hayyie al-Katani (Jakarta: Gema Insani, 1985), 659.

4

(32)

23

berdandan itu asal kata dari dandan yang memiliki dua arti yaitu pertama,

mengenakan pakaian dan perhiasan serta alat-alat rias. Kedua, memperbaiki,

atau menjadikan baik (rapi).5

Lebih mendalam Abdul Rahman Ghozali menjelaskan bahwa masa

tersebut adalah 4 bulan 10 hari, dengan larangan-larangannya, antara lain:

bercelakmata, berhias diri, keluar rumah kecuali dengan keadaan terpaksa‛.6

Dari pendapat diatas jika dilihat dengan teliti mendekati pengertian

yang diungkapkan oleh Ali al-Salusi seorang guru besar Universitas Qatar

dalam bukunya Mausu’ah alqadzaya al-fiqhiyyah halaman 72, bahwa ihda>d

secara etimologi adalah mencegah, dan diantara pencegahan tersebut adalah

pencegahan seorang perempuan dari bersolek.7

Yang dimaksud dengan ihda>d (masa berkabung) adalah masa dimana

seseorang harus memiliki rasa, yaitu: mempersiapkan, menata mental, dan

menambah kesabaran bagi orang yang ditinggal. Dimana tiga poin di sini

adalah merupakan tawaran hukum agar seseorang melakukan hal yang sesuai

dengan dasar syari’at.8

Sedangkan ihda>d (berkabung), menurut Ibnu Katsir adalah :

‚berkabung itu suatu ungkapan, yang intinya ialah: tidak berhias dengan

wangi-wangian dan tidak memakai pakaian dan perhiasan yang bisa menarik

5 Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia Cet. Ke-7, (Jakarta: Balai Pustaka, 1996), 348.

6 Abdul Rohman Ghozali, Fikih Munakahat (Jakarta: Kencana, 2008), 302.

7 Ali al-Salusi (guru besar kulliyyah al-Syari’ah wa al-Ushul Universitas Qatar), Mausu’ah alqadzaya al-Fiqhiyyah al-Mu’asharah, al-Maktabah al-Syamilah Juz II Cetakat ke VII (Maktabah: Dar al-Qur’an Qatar, t.p, 2002), 72.

(33)

24

laki-laki‛. Dan berkabung ini wajib atas perempuan yang mengalami

musibah kematian seorang suami.9

Para fuqaha’ berbeda pendapat bahwa wanita yang sedang berihda>d

dilarang memakai semua perhiasan yang dapat menarik perhatian laki-laki

kepadanya. Seperti perhiasan, intan dan celak, kecuali hal-hal yang dianggap

bukan sebagai perhiasan. Dan dilarang pula memakai pakaian yang celup

dengan warna, kecuali warna hitam.10

Beberapa definisi diatas, redaksinya tampak berbeda, namun isinya

tetaplah sama, yaitu tidak bolehnya memakai perhiasan, bersolek dan hal-hal

yang lain yang menimbulkan syahwat dan gairah kaum laki-laki, bagi wanita

yang ditinggal mati oleh suaminya.

2. Dalil Disyariatkannya Ihda>d

Seorang wanita yang ditinggal mati oleh suaminya wajib menjalankan

kewajiban ihda>d sebagai tanda bela sungkawa atas kepergian suami selama

empat bulan sepuluh hari, demikian pendapat mayoritas ulama. Adapun

landasan hukum disyariatkannya ihda>d adalah sebagai berikut :

1. QS. Al-baqarah ayat 234

َ ّف يَ ي ّلا

َّ جأَ غ بَا ِإفَا شع َ شأَ عب أَّ ِ ِسُ ِبَ صّب يَاجا أَ

ي َمُك م

رِخَ ُ عتَا ِبَ ّلا َف ع ْلاِبَّ ِ ِسُ أَيفَ ْعفَا يفَمُكي عَحا جَاف

Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan istri-istri (hendaklah para istri itu) menangguhkan dirinya (ber‘iddah) empat bulan sepuluh hari. Kemudian apabila telah habis ‘iddahnya, maka tiada dosa

9 Ammal Hamidy dan Imron A. Manan, Terjemahan Tafsir Ayat Ahkam Ash-Shabuni (Surabaya: Jl. Rungkut Industri, 2003), 306.

10

(34)

25

bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut. Allah mengetahui apa yang kamu perbuat.11

2. Dasar dari kewajiban berkabung untuk suami yang meninggal dunia

adalah hadits Nabi Muhammad saw. yang berbunyi:

َ أ ماَ َاجَُ ُقتَ

َ ُأَتع َب ي َتلاق

َم َ ي عَ لاَى صَ لاَِ

َىلِإ

َ اقفَا ُحْك فأَا يعَتك شاَ ق َا ج َا عَيف تَي باَ ِإَ لاَ

َايَتلاقف

َُ

ا ثَ أَِ يت مَالَم َ ي عَ لاَى صَ لا

َ لاَى صَ لاَُ

َ اقَمُثَالَُ ُقيَكل َلُكَاًث

ْلاِبَيم تَ ي ا ْلاَيفَ ُكا حِإَت اكَ ق َ شع َ شأَُعب أَي َا ِإَم َ ي ع

َى عَ ع

ي لَتُْقفَ ي حَ اقَِ حْلاَِ ْأ

َب ي َتلاقفَِ حْلاَِ ْأ َى عَ ع ْلاِبَيم تَام َب

حَا يطَس تَمل َا ِبايثَ شَتسِل َاشْحَت خدَا ج َا عَيف تَا ِإَُأ ْلاَت اك

َى

ا حَ با ِبَىت تَمُثَ َا ِبَ ت

َ

َمُثَ امَالِإَعيشِبَض ْتَا قفَ ِبَض ْ فَ ئاطَ أَ اشَ أ

ض ْتَامَكلامَل َ ِيغَ أَبيطَ مَ َاشَامَ عبَعِجا تَمُثَيم فًَ عبَىطع فَج ت

َ

ا ِْجَ ِبَحس تَ اقَ ِب

Zainab berkata: Aku mendengar Ummu Salamah berkata: Seorang wanita pernah datang kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dan berkata, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya anak perempuanku ditinggal mati oleh suaminya, sementara matanya juga terasa perih. Bolehkah ia bercelak?" Maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam menjawab: "Tidak." Beliau mengulanginya dua atau tiga kali. Kemudian Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Masa berkabungnya adalah empat bulan sepuluh hari. Sesungguhnya pada masa jahiliyah dulu, salah seorang dari kalian melempar kotoran setelah satu tahun." Humaid berkata; Aku bertanya kepada Zainab, "Apa maksud dari pernyataan bahwa, ia melempar kotoran setelah setahun?" Zainab menjawab, "Maksudnya, bila seorang wanita ditinggal mati oleh suaminya, ia masuk ke dalam gubuk, dan memakai pakaian yang paling lusuh miliknya. Ia tidak boleh menyentuh wewangian hingga berlalu satu tahun. Kemudian keledai, kambing atau sebangsa burung didatangkan kepada wanita itu agar ia mengusap kulitnya. Dan amat jarang ia mengusap suatu pun kecuali sesuatu itu akan mati. Setelah itu, ia keluar lalu diberi kotoran hewan dan ia lemparkan, setelah itu ia bebas menyentuh kembali sekehendaknya berupa wewangian atau pun yang lainnya." Malik ditanya,

(35)

26

"Apa makna Tanfadldlu bihi?" Ia menjawab, "Yaitu, mengusap kulitnya dengannya."12

3. Dasar berihda>d untuk wanita yang ditinggal mati oleh suami dan

larangannya dalam bersolek adalah hadits yang diriwayatkan oleh Ummu

Athiyah (Sahabat Nabi), beliau berkata :

َُلح ْك َا َا شع َ شاَ عب ََج َى عَاِإَ اثَ فَتِيمَى عَ ح َْ أَى َا ُك

َا ِإَِ طلاَ عَا لَصخ َ ق َ.َبصعَاب ثَاإَاع صمَاب ثَس ْ َا َبيط َا

ع

. ا ْظأ َطسُقَ مَ َيفَا ضيحمَ مَا ا حِإَت س

Kami dicegah oleh Nabi Muhammad saw untuk berkabung untuk kematian seseorang lebih dari tiga hari melainkan kepada suami. Wajib berkabung untuk kematian suami selama empat bulan 10 hari. Selama itu kami tidak boleh bercelak, tidak memakai minyak wangi, tidak boleh

pakai pakaian yang dicelup dengan warna melainkan pakaian ‘as}ab

(sejenis kain dari yaman). Kami telah dibenarkan untuk meletakkan secalit wangian setanggi qust} dan az}fa>r setelah kami mandi wajib selepas habis keluar darah haid. (HR. Muslim)13.

4. KHI (Kompilasi Hukum Islam) Bab XIX Pasal 170 ayat (1) juga

menjelaskan tentang masa berkabung dimana ‚isteri yang ditinggal mati

oleh suaminya, wajib melaksanakan masa berkabung selama masa ‘iddah

sebagai tanda turut berduka cita dan sekaligus menjaga timbulnya

fitnah.14

3. Hal-hal yang Diperbolehkan dan Larangan dalam Pelaksanaan Ihda>d

12

Muhammad bin Ismail Al-Kahlami, Terjemah Subulus Salam, (Bandung: Pustaka Belajar, 2009), 202.

13 Syekh Faishol Ibnu Abdul Aziz Almubarok, Terjemah Nailul Authar Jilid 5, Diterjemahkan oleh Mu’ammal Hamidy (Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1993), 2422.

(36)

27

Sebagaimana telah dipaparkan dalam uraian sebelumnya, bahwa

hal-hal yang tidak boleh dilakukan oleh wanita yang ditinggal mati oleh

suaminya selama menjalani ihda>d dalam masa ‘iddah, secara umum bisa

dikatakan yaitu dilarang memakai dari segala bentuk yang sekiranya menarik

perhatian dari lawan jenis. Menurut Imam Syafi’i perhiasan yang dimaksud

adalah perhiasan yang dipakai di badan. Jadi perhiasan tersebut bisa berupa

kosmetik, pakaian, minyak wangi dan alat-alat aksesoris yang lainnya.

Para fuqaha’ berpendapat bahwa wanita yang sedang ber-ihda>d

dilarang memakai semua perhiasan yang menarik perhatian kaum laki-laki

padanya, seperti perhiasan intan dan celak. Kecuali hal-hal yang dianggap

bukan sebagai perhiasan dan dilarang memakai pakaian yang dicelup dengan

warna, kecuali warna hitam. Karena Imam Malik tidak memakruhkan

memakai pakaian berwarna hitam bagi wanita yang sedang ber-ihda>d.

Mereka semua memberikan kemudahan (rukhshah) dan membolehkan

pemakaian celak karena terpaksa.15

Wahbah Az-Zuhaily menjelaskan bahwa wanita yang telah ditinggal

mati oleh suaminya wajib menjalankan ihda>d, dan selama menjalaninya ia

dilarang memakai harum-haruman (minyak wangi), perhiasan, celak mata,

dan hal-hal yang berkaitan dengan anggota badan. Namun wanita yang

sedang menjalani ihda>d boleh memperindah dan menghias tempat tidurnya,

(37)

28

karpet, gorden, dan alat-alat rumah tangga yang lainnya. Ia juga tidak

dilarang duduk di atas kain sutera.16

Menurut Imam Syafi’i ia membolehkan wanita yang sedang berihda>d

meminyaki tubuhnya dengan minyak yang tidak harum, sebagaimana yang

dilakukan orang ihram, meskipun wanita yang berkabung itu pada sebagian

urusannya berbeda dengan orang yang sedang ihram. Sebab hal itu dilakukan

bukan pada anggota badan tempatnya berhias dan minyak yang digunakan

bukan minyak wangi yang dapat menarik hati kaum laki-laki.

Wanita yang sedang menjalani kewajiban ihda>d karena ditinggal mati

oleh suami juga dilarang untuk memakai inai dan semua jenis cat dan sepuh.

Berdasarkan apa yang diriwayatkan oleh Ummu Salamah, bahwa Nabi SAW

melarang perempuan yang sedang menjalani masa ‘iddah untuk memakai

sepuh. Selaian cat atau sepuh wanita yang sedang ber-ihda>d dilarang untuk

memakai pakaian yang diberikan wangi-wangian dengan disepuh warna

merah dan kuning. Hal ini merujuk pada hadits yang diriwayatkan oleh

Ummu Salamah dari Nabi saw, beliau bersabda:

َا عَىف ْلا

َ،بعس تَا َ،ي حْلاا َ،ُقِش مَا َ،ِ اي لاَ مَفِسع ْلاَسِْتَاَا ج

َا

.ُلح ْكت

‚Perempuan yang suaminya meninggal dunia hendaknya tidak mengenakan

pakaian yang diberi warna kuning, juga pakaian yang telah disepuh dengan

tanah merah, juga perhiasan, juga tidak menggunakan sepuh dan celak‛.17

4. Macam-macam Ihda>d

16 Wahbah az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adilatuhu Jilid IX, Diterjemahkan oleh Abdul Hayyie al-Katani (Jakarta: Gema Insani, 2007), 563.

17

(38)

29

Ihda>d sangat berkaitan erat dengan masa ‘iddah, karena kewajiban

ihda>d ada di dalam sepanjang masa ‘iddah pada seorang wanita. Adapun

faktor-faktor yang menyebabkan seorang wanita menjalani ihda>d adalah

sebagai berikut:

1. Ihda>d Bagi Wanita yang Ditinggal Mati oleh Suami

Para ulama Madzhab kecuali Imam Hasan al Bashri telah sepakat

bahwa ihda>d bagi wanita muslimah yang ditinggal mati oleh suaminya

adalah wajib hukumnya. Para fuqaha telah sepakat atas diwajibkannya masa

berkabung bagi perempuan yang suaminya meninggal dunia.18 Berdasarkan

hadits yang telah diriwayatkan oleh Ummu Habibah r.a manakala

diberitahukan perihal kematian bapaknya yaitu Abu Sufyan dan

menunggunya selama tiga hari. Kemuadian dia meminta wewangian. Dia

berkata ‚Demi Allah, aku tidak memerlukan wewangian, hanya saja aku

mendengar Rasulullah saw berkata diatas mimbar :

أَج َى عَالِإَ ا ثَ فَتِيمَى عَ حتَِخ ْلاَِ يْلا َ لاِبَ م تَ أ مالَلحيَال

َ شأَ عب

ا شع

Tidak halal bagi perempuan yang beriman kepada Allah dan hari kiamat untuk berkabung atas kematian seorang yang melebihi tiga hari, kecuali atas kematian suaminya yaitu empat bulan sepuluh hari.19

Di dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 170 ayat (1) disebutkan

bahwa ‚isteri yang ditinggal mati oleh suaminya, wajib menjalankan masa

berkabung selama masa ‘iddah sebagai tanda berduka cita dan sekaligus

18

Wahbah az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adilatuhu Jilid IX, Diterjemahkan oleh Abdul Hayyie al-Katani (Jakarta: Gema Insani, 2007), 564.

(39)

30

menjaga timbulnya fitnah‛.20 Sedangkan di masa iddah bagi istri yang

ditinggal mati oleh suaminya dijelaskan di dalam QS. Al-baqarah ayat 234 :

ا شع َ شأَ عب أَّ ِ ِسُ ِبَ صّب يَاجا أَ

ي َمُك مَ ّف يَ ي ّلا

\

Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan

isteri-isteri (hendaklah Para istri itu) menangguhkan dirinya (ber’iddah) empat bulan sepuluh hari.21

Dan firman Allah yang lain dalam QS. At-Thalaq : 4

ّ تّ عفَم ت اَ ِإَمُكئاسَِ مَِضيح ْلاَ مَ س يَيئالا

َ

َ ضحيَملَيئالا َ شأَُثاث

ا سيَ ِمأَ مَ لَْلع يَ ّلاَِ ّيَ م َّ حَ عضيَْ أَّ ُجأَِ ا حأاَ ا ُأ

‚Dan perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (monopause) di antara perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa ‘iddahnya) maka ‘iddah mereka adalah tiga bulan; dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang tidak haid. Dan perempuan-perempuan-perempuan-perempuan yang hamil, waktu

‘iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya. Dan barang siapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Allah menjadikan baginya

kemudahan dalam urusannya‛.22

Jadi, untuk mengetahui lamanya menjalankan ihda>d (berkabung)

wanita yang ditinggal mati oleh suaminya maka harus diketahui lebih dulu

wanita itu sedang mengandung atau tidak, kareana wanita itu wajib

menjalankan ihda>d selama masa ‘iddah.

2. Ihda>d Bagi Wanita yang Di Talaq Ba>’in

Para ulama’ membedakan antara talaq raj’i dan talaq ba’in, sebab

wanita yang di talaq ba’in oleh suami khususnya talaq ba’in kubro maka

baginya haram untuk bisa rujuk kembali kecuali isteri yang telah di talaq

ba’in tersebut telah kawin dengan orang lain dan ba’dha dukhul. Posisi

20

Kompilasi Hukum Islam, (Bandung: CV. Nuansa Aulia, 2013), 51.

21 Departemen Agama RI, Al-Qur’an Tajwid dan Terjemah (Bandung: CV. Penerbit Diponegoro 2010), 38.

(40)

31

wanita yang mengalami hal seperti ini hampir sama dengan wanita yang

ditinggal mati oleh suaminya. Sama dalam arti keduanya sama-sama tidak

bisa berkumpul dengan suaminya dan bedanya jika wanita yang ditinggal

mati oleh suaminya tersebut dia tidak bisa berkumpul dan menatap wajah

suaminya untuk selama-lamanya. Sedangkan bagi wanita yang di talaq ba’in

kubro ia masih bisa bertemu dengan mantan suaminya dan masih ada

harapan untuk berkumpul dengan mantan suaminya asalkan memenuhi

syarat yang ditentukan.

Madzhab Hanafi mewajibkan masa berkabung bagi istri yang di talaq

ba’in oleh suami, karena ini adalah hak syariat, juga untuk menunjukkan rasa

sedihnya atas hilangnya nikmat perkawinan, seperti halnya wanita yang

ditinggal mati oleh suaminya.23

Jumhur fuqaha tidak mewajibkan masa berkabung kepada perempuan

yang di talaq ba’in kubro oleh suaminya, mereka hanya mensunahkannya

saja karena suaminya telah menganiaya dengan talak ba’in, maka tidak lazim

baginya untuk menunjukkan rasa sedih dan menyesal atas perpisahan

dengannya. Karena dia menjalani masa ‘iddah dari talaq, maka ia seperti

wanita yang di talaq raj’i. Hanya saja disunahkan baginya untuk berkabung

agar jangan sampai bersolek membawa pada kerusakan.

Secara tegas Imam Malik mengatakan bahwa tidak ada ihda>d kecuali

pada kematian suami. Bertolak belakang dengan Imam Malik, Imam Abu

Hanifah berpendapat bahwa wajib hukumnya menjalankan ihda>d pada masa

23

(41)

32

menjalani masa ‘iddah yang disebabkan oleh talaq ba’in. Sedangkan menurut

Imam Syafi’i mengatakan, ‚Saya lebih menyukai wanita yang di talaq ba’in

melakukan ihda>d sebagaimana ihda>d wanita yang ditinggal mati oleh

suaminya. Ihda>d itu dilakukan selama masa ‘iddah talaq. Pendapat ini

merupakan pendapat para tabi’in, dan saya memperoleh keterangan dari

mereka tentang kewajiban ihda>d atas wanita yang di talaq ba’in, karena

keadaan wanita yang di talak ba’in dan wanita yang ditinggal mati oleh

suaminya itu berbeda walaupun dalam beberapa hal ada persamaannya. Jadi

Imam Syafi’i tidak mewajibkan wanita yang ditalak bain itu menjalani

ihda>d, namun ia menganggap baik bagi yang mengerjakannya.24

3. Ihda>d Bagi Wanita yang Ditinggal Mati oleh Keluarga Dekatnya

Disamping masalah ihda>d bagi wanita yang ditinggal mati oleh

suaminya dan wanita yang di talaq ba’in, ulama juga membahas tentang

ihda>d bagi wanita yang ditinggal mati oleh keluarga dekatnya. Menurut

Sayyid Sabiq, seorang wanita boleh menjalani ihda>d karena kematian

keluarga dekatnya selama tiga hari dan haram bila lebih dari tiga hari. Akan

tetapi ada syarat bagi wanita tersebut, yaitu harus mendapatkan izin dari

suaminya, bila ternyata suaminya tidak mengizinkan maka ihda>d tidak boleh

dilakukan.25

Sedangkan Wahbah az-Zuhaili secara tegas mengatakan, ‚seorang

suami berhak melarang istrinya melakukan ihda>d atas kematian keluarga

24

Ibnu Rusyid, Bidayatul Mujtahid Jilid II Diterjemahkan Oleh M. Abdurrahman dan Haris Abdullah (Semarang: Asy-Syifa’, 1990), 345.

(42)

33

dekatnya (ayah, ibu dan saudara), karena berhias dan bersolek bagi seorang

istri adalah hak suami.26

Dasar yang digunakan oleh Sayyid sabiq dan Wahbah Alzuhaili

tentang kebolehan bagi seorang wanita untuk menjalankan kewajiban ihda>d

selama 3 hari atas kematian keluarga dekatnya adalah hadits yang berbunyi:

َِ يْلا َ لاِبَ م تَ أ مالَلحيَال

َ شأَ عب أَج َى عَالِإَ ا ثَ فَتِيمَى عَ حتَِخ ْلا

ا شع

"Tidak halal bagi seorang wanita yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir melakukan ihdad (berkabung dengan meninggalkan berhias) terhadap mayyit melebihi tiga hari, kecuali kematian suaminya yaitu empat bulan sepuluh hari."27

5. Hikmah Ihda>d

Hikmah dan rahasia syariat ihda>d bagi wanita yang ditinggal mati

oleh suami adalah sebagai berikut:

1. Memberi alokasi waktu yang cukup untuk turut berduka cita atau

berkabung dan sekaligus menjaga fitnah.

2. Menutup jalan bagi perempuan yang berhasrat untuk menikah atau

dilamar kembali, padahal ia masih dalam ‘iddah.

3. ‘Iddah adalah masa penantian seorang perempuan untuk tidak boleh

menikah setelah suaminya meninggal. Waktunya selama empat bulan

sepuluh hari. Sementara itu, ihda>d adalah meninggalkan berhias,

memakai wewangian, dan yang semisalnya berupa hal-hal yang bisa

membuat perempuan memikat untuk menikah atau dinikahi sebagaimana

26 Wahbah az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adilatuhu Jilid IX, Diterjemahkan oleh Abdul Hayyie al-Katani (Jakarta: Gema Insani, 2007), 659.

27

(43)

34

yang telah diterangkan, sedang dalil pensyariatan ihda>d berasal dari

sunnah Nabi sebagaimana yang telah disebutkan. Jadi, ‘iddah adalah

masa penantian, sedang ihda>d adalah aturan dalam masa penantian itu.

Oleh karena itu, dengan keberadaan syariat ihda>d ini, tampaklah

penekanan akan besarnya dosa dan larangan terhadap seorang perempuan

untuk melakukan akad nikah pada masa itu.

4. Penjagaan terhadap hak suaminya yang meninggal dan penghargaan

terhadap kebersamaan yang dia kenang bersama suaminya.

5. Memuliakan anggota keluarga suami dan menjaga perasaan mereka dan

untuk memelihara keharmonisan hubungan keluarga suami yang

meninggal dengan pihak isteri yang ditinggalkan dan keluarga

besarnya.28

6. Kesedihan terhadap hilangnya nikmat nikah, yang mengumpulkan antara

kebaikan dunia dan akhirat yang pernah dia jalani. Pernikahan

merupakan nikmat besar bagi istri, karena sang suami melindungi,

mengasihi, memberi nafkah, pakaian dan tempat tinggal. Maka ketika

ditinggal mati oleh suami, istri wajib menunjukkan rasa sedih atas

nikmat.29

7. Ihda>d juga untuk menampakkan kesedihan dan kedukaan atas kematian

suaminya, dan ukuran untuk bersedih karena yang lainnya. Selain cerai

mati, maka talak dalam bentuk apapun tidak membutuhkan adanya

28

Fatwa Majelis Ulama Indonesia ( Jakarta: MUI, 1996), 64.

29

(44)

35

ihda>d. Hal ini sesuai dengan wanita-wanita yang hidup pada masa Nabi

dan Khulafa el-Rasyid>in tidak pernah melakukan ihda>d selain cerai

mati.30

8. Sebagai penyempurna dan konsekuensi ‘iddah.

Menurut Wahbah Zuhaili bahwa ihda>d merupakan hak syar’i dan

merupakan ungkapan atau manifestasi rasa duka cita karena hilangnya

karunia Allah. Dalam bentuk perkawinan sehingga ia tidak mungkin lagi

berkumpul dengan bekas suaminya.31

B. Maqa>shid al-Shari>’ah Sebagai Penetapan Hukum

1. Pengertian Maqa>shid al-Shari>’ah

Maksud-maksud syari’at adalah tujuan yang menjadi target teks dan

hukum-hukum partikular untuk direalisasikan dalam kehidupan manusia,

baik berupa perintah, larangan dan mubah. Baik untuk individu, keluarga,

jamaah dan umat.

Tujuan penetapan hukum atau yang sering dikenal dengan istilah

Maqa>shid al-Shari>’ah merupakan salah satu konsep penting dalam kajian

hukum Islam. Karena begitu pentingnya Maqa>shid al-Shari>’ah tersebut, para

ahli teori hukum menjadikan Maqa>shid al-Shari>’ah sebagai sesuatu yang

harus dipahami oleh mujtahid yang melakukan ijtihad.

30 Syaikh Hasan Ayyub, Fikih Keluarga (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2006), 372.

(45)

36

Adapun inti dari teori Maqa>shid al-Shari>’ah adalah untuk mewujudkan

kebaikan sekaligus menghindarkan keburukan, atau menarik manfaat dan

menolak madharat. Istilah yang sepadan dengan inti dari Maqa>shid

al-Shari>’ah tersebut adalah maslahat, karena penetapan hukum dalam Islam

harus bermuara kepada maslahat.

Secara bahasa kata syariat berasal dari ‚syara’a as-syai‛ dengan arti

menjelaskan sesuatu, atau ia diambil dari ‚asy-syir’ah‛ dan ‚asy-sha>riah‛

dengan arti tempat sumber air yang tidak pernah terputus dan orang yang

datang kesana tidak memerlukan adanya alat.

Maqa>shid jamak dari kata ma>qsud yang berarti tuntutan, kesengajaan

atau tujuan. Shari>’ah adalah sebuah kebijakan (hikmah) dan tercapainya

perlindungan bagi setiap orang pada kehidupan dunia dan akhirat. Adapun

makna Maqa>shid al-Shari>’ah secara istilah adalah al-ma’aani allati syuri’at

laha al-ahkam yang berarti nilai-nilai yang menjadi tujuan penetapan hukum.

Sebagai landasan dalam berijtihad dalam rangka menetapkan hukum, maka

tidaklah berlebihan jika dikatakan bahwa pertimbangan Maqa>shid

al-Shari>’ah menjadi suatu yang urgen bagi masalah-masalah yang tidak

ditemukan hukumnya secara tegas dalam nash.32

Sedangkan secara Istilah Ibnu al-Qayyim Al Jauziyah ‚Menegaskan

bahawa shari>’ah itu berdasarkan kepada hikmah-hikmah dan

maslahah-maslahah untuk manusia baik di dunia maupun di akhirat. Perubahan hukum

32

(46)

37

yang berlaku berdasarkan perubahan zaman dan tempat adalah untuk

menjamin syariah dapat mendatangkan kemaslahatan kepada manusia‛.33

Wahbah Zuhaily menyebutkan Maqa>shid al-Shari>’ah adalah sejumlah

makna atau sasaran yang hendak dicapai oleh syara’ dalam semua atau

sebagian besar kasus hukumnya. Atau ia adalah tujuan dari syari’at, atau

rahasia di balik pencanangan tiap-tiap hukum oleh Syar’i (pemegang otoritas

syari’at, Allah dan Rasul-Nya).34

Berdasarkan penjelasan sebelumnya maka Maqa>shid al-Shari>’ah adalah

maksud dan tujuan disyariatkannya hukum Islam. Beberapa Ulama

mendefinisikan Maqa>shid al-Shari>’ah sebagai berikut:

َمهايجاحَرق ت َمهاي ضَ كبَ ا لاَحاصمَ َ اكحااَ عي شتَيَ اش لَ اعلاَ صاقما

مها سح

Maqa>shid al-Shari>’ah secara Umum adalah: kemaslahatan bagi Manusia dengan memelihara kebutuhan dharuriat mereka dan menyempurnakan kebutuhan Hajiyat dan Tahsiniat mereka.

Kesimpulannya bahwa Maqa>shid al-Shari>’ah adalah konsep untuk

mengetahui hikmah (nilai-nilai dan sasaran syara' yang tersurat dan tersirat

dalam Al-Qur’an dan Hadits). yang ditetapkan oleh Allah ta’ala terhadap

manusia adapun tujuan akhir hukum tersebut adalah satu, yaitu mashlahah

atau kebaikan dan kesejahteraan umat manusia baik di dunia (dengan

Mu’amalah) maupun di akhirat (dengan ‘aqidah dan Ibadah).

33 Yusuf Al-Qardawi, Fiqih Maqa>shid al-Shari>’ah (Jakarta: Pustaka Al-Kaustar, 2007), 209.

34

(47)

38

Al-Sha>tiby menguraikan bahwa untuk dapat memahami Maqa>shid

al-Shari>’ah atau tujuan syariah secara sempurna, maka terlebih dahulu harus

mengetahui hakim, hukum, mahkum fih dan mahkum ‘alaih. Dalam syari’at

Islam Maqa>shid al-Shari>’ah lebih tinggi dan bersifat abadi, artinya tidak

terbatas kepada bidang materil saja yang bersifat sementara karena

faktor-faktor individu dan masyarakat. Dengan hukum Islam dimaksudkan adalah

agar kebaikan umat manusia terwujud.

2. Syarat-syarat Maqa>shid al-Shari>’ah

Wahbah az-Zuhaili dalam bukunya menetapkan syarat-syarat

Maqa>shid al-Shari>’ah. Menurutnya bahwa sesuatu baru dapat dikatakan

sebagai Maqa>shid al-Shari>’ah apabila memenuhi empat syarat berikut, yaitu

:

1. Harus bersifat tetap, maksudnya makna-makna yang dimaksudkan itu

harus bersifat pasti atau diduga kuat mendekati kepastian.

2. Harus jelas, sehingga para fuqaha tidak akan berbeda dalam penetapan

makna tersebut. Sebagai contoh, memelihara keturunan yang merupakan

tujuan disyariatkannya perkawinan.

3. Harus terukur, maksudnya makna itu harus mempunyai ukuran atau

batasan yang jelas yang tidak diragukan lagi. Seperti menjaga akal yang

merupakan tujuan pengharaman khamr dan ukuran yang ditetapkan adalah

kemabukan.

4. Berlaku umum, artinya makna itu tidak akan berbeda karena perbedaan

(48)

39

nafkah sebagai persyaratan kafa'ah dalam perkawinan menurut mazhab

Maliki.

3. Tingkatan Maqa>shid al-Shari>’ah

Kehidupan manusia, maslahat dapat dibagi menjadi tiga tingkatan,

sedangkan cara untuk tercapai kemaslahatan tersebut manusia harus

memenuhi kebutuhan Dharuriat (Primer), dan menyempurnakan kebutuhan

Hajiyat (sekunder), dan Tahsiniat atau kamaliat (tersier).

Imam asy-Syathibi berpandangan bahwa tujuan utama dari Maqa>shid

al-Shari>’ah adalah untuk menjaga dan memperjuangkan tiga kategori hukum

yaitu antara lain :

1. Daruriyyat

Secara bahasa berarti kebutuhan yang mendesak atau darurat. Dalam

kategori ini ada lima hal yang perlu diperhatikan, yaitu memelihara agama,

memelihara jiwa, memelihara akal pikiran, memelihara kehormatan dan

keturunanan, serta memelihara harta benda.

Dalam kebutuhan Daruriyyat, apabila tingkat kebutuhan ini tidak

terpenuhi, maka akan mengancam keselamatan umat manusia di dunia

maupun di akhirat.

2. Hajiyyat

Secara bahasa berarti kebutuhan-kebutuhan sekunder. Apabila

kebutuhan ini tidak terwujud tidak sampai mengancam keselamatan, namun

akan mengalami k

Referensi

Dokumen terkait

Maka dari itu dapat disimpulkan pembahasan diatas sesuai dengan teori Technology to Performance Chain bahwa SIMKIM v1 dapat meningkat kan kinerja pengawasan

Mengingat pentingnya ekosistem mangrove bagi kehidupan biota pesisir dan laut serta masih minimnya penelitian mengenai hubungan kandungan bahan organik dengan

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan yang signifikan hasil belajar IPS antara siswa yang mengikuti model pembelajaran kooperatif tipe Student Teams

Hasil penelitian menunjukkan bahwa di Desa Bogangin selama periode waktu antara tahun 2011-2014 terjadi penurunan jumlah kasus malaria sebesar 97,4%; pelaksanaan IRS tahun 2014

Hasil penelitian menunjukan adanya kesesuaian dengan hipotesis yaitu “ada hubungan yang positif antara antara konsep diri dengan motivasi membeli produk

Daya tawar konsumen di industri ini relatif kuat, disebabkan oleh banyaknya perusahaan provider telekomunikasi selular yang beroperasi di Bandung yang dapat

Karena nilai ρ-value lebih kecil dari pada α (0,015 &lt; 0,05) maka H0 ditolak dengan demikian ada pengaruh signifikan kualitas pelayanan terhadap loyalitas konsumen

Dalam rangka mendukung potensi KUBE dan program pemberdayaan masyarakat di daerah, Pemerintah Pusat melalui Depsos RI meluncurkan Program Pemberdayaan Fakir Miskin (P2FM)