• Tidak ada hasil yang ditemukan

17 MAJALAH SENAKATHA EDISI 42

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "17 MAJALAH SENAKATHA EDISI 42"

Copied!
56
0
0

Teks penuh

(1)

MENANDAI SEABAD PANGSAR JENDERAL SOEDIRMAN

“INSPIRATOR YANG TIDAK PERNAH KERING”

100

tahun

BAPAK TNI

(1916 - 2016)

MEDIA KOMUNIKASI DAN INFORMASI KESEJARAHAN

Soedirman

(2)

tetapi djiwakoe dilindoengi benteng merah putih

akan tetap hidoep, tetap menoentoet bela

siapapun lawan jang akoe hadapi”

(3)

LIPUTAN

Karya Bakti Pusjarah TNI TA 2016

Rakornis Sejarah TNI TA 2016

EDITORIAL

Menandai Seabad Pangsar Jenderal Soedirman “Inspirator Yang Tidak Pernah Kering”

G. Ambar Wulan

Pangsar Soedirman dalam Perspektif Kepemimpinan: Suatu Tinjauan Historis

Amrin Imran

Tempat Saya Yang Terbaik Adalah Di Tengah-tengah Anak Buah, Sebuah Refleksi

Perjuangan Seorang Pangsar Soedirman

Arief Sulistyo

Soedirman dalam Sejarah Perjuangan Bangsa

Kusuma

Kekuatan Amanat Pangsar Soedirman Terhadap Keputusan Pelaksanaan Hijrah

Sutrisminingsih

Iman, Patriotisme, dan Perjuangan Soedirman

Emuh Muhsin

Makna Kekuatan Amanat Soedirman Sebagai “Komunikasi Juang” antar Generasi Muda TNI

Nike Pangat Widayanti

Soedirman-Siti Alfiah Kisah Kasih Berawal dari Mulo Wiworotomo

Trismi Happiyanto

Wafatnya Senopati Perang Gerilya Pangsar Jenderal Soedirman

Budi Kurnia

Penganugerahan Jenderal Besar Panglima Besar Soedirman oleh Pemerintah RI

Passah Kaunang

Daftar Isi Salam Redaksi

Sambutan Kapusjarah TNI

1

i ii

iii GALERI SEJARAH

Memorabilia Panglima Besar Soedirman

Benda Korporil

4

8

11

19

23

25

31

35

37

43 45

41 39

(4)

Penerbit

PUSAT SEJARAH TNI

Pelindung

Kapusjarah TNI

Brigjen TNI Darwin Haroen, S.I.P.

Penasehat

Waka Pusjarah TNI Kolonel Sus Drs. Sudarno

Penanggung Jawab Redaksi

Kolonel Laut (KH) Drs. Arief Sulistyo

Redaktur Pelaksana

Dr. G. Ambar Wulan, M.Hum.

Dewan Redaksi

Letkol Caj Drs. Kusuma, M.Si. Mayor Sus M. Taufik, S.Kom., M.Si. Dra. Sutrisminingsih

Staf Redaksi

Drs. Emuh Muhsin Budi Kurnia, S.S.

Nike Pangat W., S.S., M.Si. Dedi Asri, S.S., M.H. Lynda Natalia S., S.Kom.

Redaktur Kreatif

Passah Kaunang, S.S., M.Si. Malihatun

Distribusi

Didik Yudi Purnomo Gloria Simatupang

Alamat Redaksi

Gedung Senakatha Grha Jl. Gatot Subroto No. 16 Jakarta Selatan

Percetakan

CV SZA Perkasa

Jl. Rawa Selatan I No. 3

Hak cipta dalam publikasi berada di Majalah Senakatha. Dilarang mengkopi, menduplikasi, memperbanyak sebagian atau seluruh materi dalam

Kunjungi kami

sejarahtni.org

facebook.com/pusatsejarahtni

SENAKATHA

Sampul: Lukisan Panglima Besar Jenderal Soedirman di Museum Satriamandala

Dengan memanjatkan puji dan syukur kepada Allah SWT, yang telah melimpahkan rahmat dan taufik kepada kita semua, sehingga telah terbit majalah Senakatha “Edisi Khusus 2016”. Tema Satu Abad Panglima Besar Jenderal Soedirman, dari kelahirannya 1916-2016, dipilih karena jenderal besar berbintang lima tersebut adalah Bapak TNI sekaligus pahlawan nasional yang dapat menjadi teladan bagi perjuangan generasi muda Indonesia saat ini. Jenderal Soedirman adalah sosok pribadi yang dengan tulus ikhlas berjuang untuk kepentingan bangsa dan negara Indonesia, perjuangannya dilakukan sejak ia muda hingga menjelang akhir hayatnya. Banyak sisi keteladanan yang bisa dilihat dari pribadi Soedirman, tidak hanya perjuangan fisiknya, namun sisi humanis Soedirman dapat memberi jiwa dan spirit bagi perjuangan dalam mengisi kemerdekaan Indonesia.

Arus globalisasi akibat perkembangan teknologi dunia yang berlangsung pesat dan cepat telah mengikis nilai-nilai luhur bangsa. Fenomena ini semakin nyata dengan dampak menurunnya wawasan kebangsaan generasi muda Indonesia. Kondisi tersebut dapat menjadi ancaman terhadap eksistensi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Dengan melihat kondisi yang ada saat ini, kita perlu merefleksikan kembali peran kesejarahan Soedirman, untuk meningkatkan rasa kebangsaan, faham kebangsaan dan semangat kebangsaan generasi muda, khususnya generasi muda TNI.

Redaksi menyadari bahwa dalam penerbitan majalah ini, tidak luput dari kekurangan. Maka saran dan masukan dari pembaca sangat kami harapkan guna upaya perbaikan dalam penerbitan mendatang. Akhir kata redaksi mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah berpartisipasi atas terbitnya majalah Senakatha ini.

Redaksi

Salam Redaksi

SALAM REDAKSI

(5)

Assalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh, Salam sejahtera.

Dengan memanjatkan puji dan syukur ke hadirat Allah SWT, atas rahmat dan karunia-Nya, alhamdulillah Pusjarah TNI telah menghadirkan majalah Senakatha “Edisi Khusus 2016” dengan mengangkat tema “Satu Abad Panglima Besar Jenderal Soedirman”.

Jenderal Soedirman adalah pahlawan nasional yang berjasa besar untuk perjuangan kebangsaan Indonesia. Sebagai salah satu pemimpin bangsa, sosok pribadi Soedirman selalu dekat dengan anak buah dan rakyat Indonesia. Ia adalah patriot sejati dalam membela kedaulatan serta kehormatan Negara Indonesia hingga akhir hayatnya. Oleh karena itu, tema Satu Abad Panglima Besar Jenderal Soedirman dalam edisi khusus Senakatha ini adalah suatu momen yang tepat untuk mengenang dan menggelorakan kembali pemikiran dan tindakan Soedirman, yang termanifestasikan dalam perjuangan Soedirman demi memperjuangkan martabat bangsa. Jasa perjuangan dan suri tauladan hidup Panglima Besar Jenderal Soedirman tetap aktual untuk dikenang dan dijadikan inspirasi bagi generasi muda TNI, khususnya dan rakyat Indonesia pada umumnya.

Pada kesempatan ini, saya mengucapkan terima kasih kepada para penulis yang telah mengisi majalah Senakatha juga staf redaksi yang telah menyelesaikan majalah ini. Penerbitan majalah ini, bertepatan dengan Hari Ulang Tahun TNI ke-71, semoga TNI yang lahir di tengah kancah perjuangan mempertahankan kemerdekaan RI hingga keberadaannya kini dapat terus selalu ada di hati rakyat dan bangsa Indonesia. “Dirgahayu TNI”.

Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

SAMBUTAN KEPALA PUSAT SEJARAH TNI

Jakarta, Oktober 2016 Kepala Pusat Sejarah TNI

(6)

016 adalah tahun penanda “Seabad

2

Soedirman” yang lahir pada tahun 1916 dan momen yang valuable ini sebagai ruang kontemplasi dalam menggugah kenangan dan inspirasi dari seorang patriot sejati dalam memenuhi panggilan (calling) tanah airnya. Secara epistemologis, bagaimana Soedirman lahir dari jiwa jaman yang bersumber pada dinamika perjalanan sejarah bangsa Indonesia yang sarat dengan nilai-nilai nasionalisme dan patriotisme saat itu? Nilai-nilai tersebut menjadi landasan lahirnya semangat dan etos perjuangan yang menegaskan bahwa kejayaan bangsa harus ditegakkan dengan pengorbanan jiwa dan raga yang didasari oleh rasa cinta tanah air, kesetiaan, dan keikhlasan.

Spirit of the age tersebut telah memanggil Soedirman menjadi salah seorang tokoh besar yang melakukan tindakan-tindakan kepahlawannya dalam sejarah Indonesia. Nilai-nilai perjuangan yang mendasari tindakan-tindakan kejuangan seorang tokoh besar Soedirman tersebut sangat bernilai untuk dipahami sebagai lesson learnt dan, sekaligus inspirasi yang tetap aktual, terutama bagi TNI dalam merawat patriotisme dan militansi prajurit dalam perannya sebagai the guardian of state di tengah perubahan dan tantangan global kini dan ke depan. Semangat, pantang menyerah, tanpa pamrih, dan mempertaruhkan totalitas jiwa dan raganya dalam perjuangan dan pengabdiannya kepada bangsa dan negara sangat layak diteladani. Soedirman telah m e m b u k a j a l a n d a n m e n a m p i l k a n keteladanan serta militansi sebagai salah satu sumber inspirasi dalam memperjuangkan martabat bangsa dan negara.

Ta n t a n g a n Po l i t i k D u n i a D a l a m Peradaban Global

Sejak Perang Dingin berakhir, dunia diwarnai perubahan polarisasi yang membangkitkan kembali kekuatan-kekuatan kultural. Realita ini menegaskan adanya

peran baru dari faktor-faktor tersebut dalam kancah politik global. Oleh karena itu, gambaran dunia politik pasca Perang Dingin terbentuk pula oleh adanya faktor-faktor budaya dan terjadinya hubungan antarnegara serta berbagai kelompok peradaban yang saling berbeda. Dampaknya, diantaranya hubungan itu mampu menghilangkan, mengubah beberapa hal dan, bahkan dapat mengaburkan yang lain. Di samping itu, kebudayaan, nilai-nilai, dan institusi-institusi berpengaruh besar juga terhadap bagaimana suatu negara merumuskan kepentingan-kepentingan mereka yang dibentuk tidak hanya oleh nilai-nilai dan institusi-institusi domestik mereka, tetapi juga oleh norma-norma serta institusi-institusi internasional.

K i n i , g l o b a l i s a s i , s e b u a h kecenderungan yang sulit dihindari dan datang tanpa kita sadari. Perkembangan teknologi, arus informasi tanpa dapat dibendung lagi, telah meresap dengan percepatan yang luar biasa ke dalam alam pikiran dan kejiwaan anak bangsa. Kemajuan hasil-hasil teknologi informasi yang berkembang pesat telah menjadikan masyarakat yang satu dan tanpa batas. Akibatnya, hal tersebut mengancam terhadap berkurangnya peran dan nilai yang dianut sebuah bangsa, agama, dan nilai-nilai sosial lainnya.

Suatu masyarakat global terbentuk dalam proses sistem politik, ekonomi, dan e t i k a y a n g s a t u . G l o b a l i s a s i t i d a k terhindarkan lagi yakni menuju pada bentuk masyarakat dunia dengan nilai-nilai universal yang dianut bersama. Dengan demikian, ancaman terhadap sebuah negara pun tidak lagi mengenal batas negara, bersifat transnasional, non fisik (ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya dan pertahanan keamanan), terbentuk asimetris, non linear

d a n e x t r a o r d i n a r y, s e r t a s e l a l u mengeksploitasi kerawanan-kerawanan dalam masyarakat, seperti ras, suku, dan agama.

MENANDAI SEABAD

PANGSAR JENDERAL SOEDIRMAN

“INSPIRATOR YANG TIDAK PERNAH KERING”

G. Ambar Wulan

SOEDIRMAN PRAJURIT

TNI

(7)

Soedirman tiba di Jakarta, bulan Oktober 1946 untuk berunding dengan Jenderal Foreman dari pasukan sekutu.

SOEDIRMAN PRAJURIT

TNI

(8)

“Calling” Soedirman untuk Tanah Air: Inspirasi dan Ruh bagi Soliditas TNI

Dalam politik negara, TNI senantiasa taat pada pemerintah yang menyelenggarakan kekuasaan negara berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Karakter TNI ini tidak terlepas dari amanah founding fathers yang telah meletakkan dasar berfikir dan bertindak cara TNI dalam menghadapi pelbagai kenyataan di luar dirinya. Salah satu individu yang komit terhadap prinsip yang teguh dan dilandasi dengan nilai-nilai luhur yakni Pangsar Soedirman. Dalam hal ini Soedirman memiliki watak satria, berani, saleh, sederhana dan ketrampilannya tidak diragukan. Bagi Soedirman, menegakkan kebenaran dan keadilan merupakan cita-cita setiap prajurit, sebagaimana tercermin dalam amanatnya:

“Semua pengorbanan telah diberikan untuk satu tujuan suci, mempertahankan kebenaran dan keadilan. Pengorbanan diri harus menjadi perisai perjuangan kita. Perkuat keyakinanmu! Sucikan hatimu dan perbuatanmu! Pererat persatuanmu! Dengan rahmat Tuhan, kemenangan akan berada di pihak kita, oleh karena Tuhan Maha Tahu dan Maha Adil. Kamu semua harus ingat, tidak ada kemenangan kalau tidak ada kekuatan. Tidak akan ada kekuatan kalau tidak ada persatuan. Tidak akan ada persatuan kalau tidak ada keutamaan. Tidak akan ada keutamaan kalau tidak ajaran kejiwaan mentasbihkan semua usaha kita kepada Tuhan”.

Amanat tersebut masih relevan dan tetap aktual dijadikan s p i r i t d a l a m m e n g h a d a p i perkembangan globalisasi secara internasional dan regional yang secara pasti akan menimbulkan tantangan-tantangan baru. Mengacu pada pidato Presiden Joko Widodo dalam Rapim TNI TA. 2016 (Cilangkap, 15 Desember 2016) yakni, “Terkait dengan tantangan pasca perang dingin, konstelasi politik, perubahan ekonomi secara cepat, gelombang perdagangan, integrasi kawasan sangat cepat yang mau tidak mau harus diikuti. Perdagangan bebas

terjadi sangat cepat dan membawa perubahan-perubahan di setiap negara harus diantisipasi dan diwaspadai”. Selain itu, memasuki era MEA (Masyarakat Ekonomi ASEAN), Indonesia akan dihadapkan pada persoalan-persoalan baru dengan masuknya orang-orang asing yang berdampak terhadap munculnya tantangan tersendiri.

Di samping itu, hadirnya kehidupan global dengan segala implikasi yang dibawa, khususnya terkait munculnya ideologi baru, seperti ideologi Islamic State of Iraq and Syria (ISIS), yang berpengaruh n e g a t i f t e r h a d a p k e h i d u p a n beragama, dan kehidupan sosial m a s y a r a k a t s e r t a k e h i d u p a n demokrasi di Indonesia merupakan fenomena dari dinamika peradaban universal. Ideologi baru tersebut sangat bertentangan dengan Dasar Negara Pancasila yang sekaligus merupakan alat pemersatu bangsa Indonesia dari Sabang hingga Merauke.

D a l a m m e n y e l a m a t k a n kehidupan bangsa dari ideologi lain s e b a g a i i m p l i k a s i d i n a m i k a peradaban global tersebut, TNI sebagai the guardian of state adalah garda terdepan dan sekaligus benteng terakhir dalam mengawal NKRI. Oleh karena itu, soliditas TNI adalah mutlak dijaga sebagai modal kekuatan untuk menangkal segala bentuk penyusupan ideologi dan ancaman-ancaman lain yang dapat meruntuhkan NKRI.

Dalam menghadapi ancaman-ancaman tersebut dibutuhkan

bangunan soliditas dalam tubuh TNI dengan mengutamakan pentingnya jiwa korsa (l'esprit de corps) untuk terus dipelihara dengan cara menanamkan dan mengenalkan tugas pokok prajurit TNI sebagai apparatus of state (alat negara) secara terus menerus dan tanpa henti. Dengan demikian, ketika hendak memahami tugas dan fungsi TNI sebagai alat n e g a r a , m a k a p e n t i n g p u l a memahami tindakan dan pemikiran

founding fathers TNI yang menjadi kekuatan sejarah sebagai inspirator bagi generasi prajurit TNI.

Peneladanan Panglima Besar Jenderal Soedirman menjadi lesson learnt yang memiliki kekuatan historis sebagai ruh dan inspirasi bagi prajurit TNI dalam pembentukan nilai yang tidak teraga tetapi terasa, a p a b i l a s e c a r a k o n s i s t e n diimplementasikan melalui tindakan-tindakan yang mencerminkan persatuan dan kesatuan guna mendukung tugas dan fungsi TNI sebagai pengawal negara. Adapun, bangunan jiwa korsa sebagai prajurit TNI tidak terlepas dari keutamaan ajaran tersebut yang sangat bernilai dalam menguatkan jati diri TNI dalam menghidupkan spirit juang dan sumber inspirasi bagi prajurit TNI dalam melaksanakan tugas yang sangat berkaitan langsung dengan tegak atau runtuhnya negara, bersatu atau bercerainya bangsa. Dengan demikian, terbinanya soliditas merupakan modal terpenting untuk menjadikan TNI tidak hanya kuat, tetapi juga ditakuti lawan, disegani kawan, dan dicintai rakyatnya.

Presiden RI Joko Widodo dalam Rapim TNI 2016

FOT

O: KABAR24.BISNIS.COM /

ANT

(9)

Amrin Imran

PANGSAR SOEDIRMAN

DALAM PERSPEKTIF KEPEMIMPINAN:

SUATU TINJAUAN HISTORIS

oedirman dilantik sebagai

S

Panglima Besar TKR (Tentara Ke a m a n a n R a k y a t ) p a d a tanggal 18 Desember 1945, kurang lebih satu bulan setelah ia dipilih oleh para perwira TKR dalam rapat yang diselenggarakan di Yogyakarta. Dalam pemilihan ini ia menyisihkan lawan utamanya yang juga menjadi atasannya saat itu, yakni Kepala Staf Umum TKR Letnan Jenderal Oerip Soemohardjo. Untuk kedua kalinya ia dilantik sebagai Panglima Besar pada tanggal 25 Mei 1946, pada waktu TKR sudah berganti nama menjadi TRI (Tentara Republik Indonesia). Walaupun nama itu kelak berganti lagi menjadi TNI (Tentara N a s i o n a l I n d o n e s i a ) , n a m u n Soedirman tetap menduduki jabatan sebagai Panglima Besar. Sampai a k h i r Pe r a n g Ke m e r d e k a a n , jabatannya tidak tergoyahkan, walaupun pada awal tahun 1948 g o l o n g a n k i r i b e r u s a h a menyingkirkannya.

Pemilihan Soedirman oleh para perwira yang boleh dikatakan setingkat dengannya untuk menjadi orang pertama dalam ketentaraan, menggambarkan sisi lain dari perkembangan Angkatan Perang Republik Indonesia (APRI). Umum diketahui, bahwa APRI tumbuh dari bawah, dalam arti aparat itu sendirilah yang membina dirinya dan p a d a m a s a - m a s a a w a l pertumbuhannya kurang mendapat b i m b i n g a n d a r i p e m e r i n t a h . Pe r s e t u j u a n y a n g d i b e r i k a n pemerintah yang berwujud dalam bentuk pelantikan Soedirman sebagai Panglima Besar TKR, tampaknya didasarkan atas berbagai kemungkinan. Pertama, pemerintah memang tidak mempunyai calon lain, sebab Supriyadi, tokoh yang

diangkat pemerintah untuk menjadi pemimpin tertinggi TKR, tidak pernah muncul. Kedua, pemerintah tidak atau belum berminat untuk t e r l a l u m e n c a m p u r i u r u s a n ketentaraan. Ketiga, pemerintah dapat menerima tokoh Soedirman b e r d a s a r k a n p r e s t a s i y a n g diperlihatkannya pada masa sebelumnya, khususnya dalam perebutan senjata Jepang di daerah Banyumas dan dalam pertempuran m e l a w a n p a s u k a n S e k u t u d i Ambarawa.

Jabatan sebagai Panglima Besar tetap dipegang Soedirman sampai ia wafat, satu bulan dua hari setelah kedaulatan Indonesia diakui oleh lawan utamanya, Belanda. Pengakuan kedaulatan itu sekaligus mengakhiri keadaan perang antara dua bangsa, Indonesia dan Belanda, yang berlangsung selama kurang lebih empat tahun, dan dalam periode ini, Soedirman memainkan peranan yang cukup menentukan. Sesudah ia meninggal, jabatan Panglima Besar tidak pernah dihidupkan lagi. Dalam tokoh Soedirman, jabatan itu tampak m e l e m b a g a d a n m e r u p a k a n kekuatan sentral tersendiri di samping kekuatan pemerintah, dan karenanya harus diperhitungkan oleh pemerintah. Terutama ketika p e m e r i n t a h a n d i k u a s a i o l e h golongan kiri, institusi panglima besar menjadi hambatan bagi mereka untuk melaksanakan rencana mereka. Dengan kata lain, institusi itu dianggap dapat menjadi saingan, dan karena itu golongan kiri berusaha mengharuskannya. Situasi d a n k o n d i s i s e s u d a h Pe r a n g Kemerdekaan, jauh berbeda daripada kondisi dan situasi dalam masa perang, pada saat kharisma

dan semangat lebih diutamakan d a r i p a d a h a n y a s e k e d a r profesionalisme. Atau mungkin juga tokoh Soedirman, yang memiliki kepemimpinan yang kuat dan mampu menanamkan dasar-dasar kejiwaan ke dalam tubuh angkatan perang, sudah disakralkan dan dianggap terlalu ideal, sehingga tidak boleh ada tokoh lain yang menyainginya, sekurang-kurangnya untuk istilah jabatan yang pernah dipegangnya. Apa pun alasannya, yang jelas ialah, jabatan panglima besar tidak pernah ada lagi dan tampaknya sudah ada semacam kesepakatan untuk tetap tidak mengadakannya dalam dunia kemiliteran Indonesia. Dengan demikian, Soedirman lah tokoh pertama dan terakhir, jadi tokoh s a t u - s a t u n y a , y a n g p e r n a h memegang jabatan Panglima Besar.

(10)

batalyon). Proklamasi Kemerdekaan membuka berbagai kemungkinan bukan saja bagi Soedirman, tetapi juga bagi banyak pemuda lain. Mula-mula Soedirman memimpin sebuah resimen dengan pangkat letnan kolonel. Kurang dari tiga bulan sesudah itu, ia sudah berpangkat jenderal dengan jabatan panglima b e s a r, s e t e l a h s e b e l u m n y a menduduki jabatan komandan divisi dengan pangkat kolonel. (Kesatuan-kesatuan militer pada masa itu seperti divisi, resimen, brigade dan lain-lain, lebih bersifat penamaan dan kerangka, belum merupakan kesatuan dalam bentuk yang sesungguhnya dengan personil, organisasi dan persenjataan yang lengkap).

Dengan jabatan dan pangkat tersebut, Soedirman menjadi orang pertama dalam hirarkhi Angkatan Perang Indonesia (bahkan ia dapat juga mengomandoi kesatuan-kesatuan Polisi). Jabatan tertinggi itu dipercayakan kepadanya pada saat usianya belum mencapai tiga puluh tahun. Ia dilahirkan tanggal 24 Januari 1916, dari keluarga rakyat

kecil dan miskin. Sejak masih bayi, ia diasuh oleh seorang pensiunan camat, suami dari kakak ibunya. Sampai umur enam belas tahun, ia mengenal pensiunan camat ini s e b a g a i a y a h k a n d u n g n y a . Pendidikan umum yang pernah ditempuh Soedirman hanya sampai tingkat sekolah menengah pertama. Di sekolah, ia tidak termasuk murid yang pintar. Keluarganya tidak mungkin menyekolahkannya ke tingkat pendidikan yang lebih tinggi, bukan saja disebabkan oleh adanya pembatasan sekolah bagi anak-anak Indonesia pada masa itu, tetapi juga oleh ketidakmampuan keluarga membiayai sekolahnya.

Ketika masih bersekolah, Soedirman mengikuti kegiatan kepanduan (pramuka). Agaknya d a l a m m a s a i n i l a h i a m u l a i berkenalan dengan masalah disiplin. Diceritakan, bagaimana ia bertahan dalam kemah di tengah-tengah udara malam yang sangat dingin ketika diadakan jambore di suatu tempat di pegunungan Dieng, s e m e n t a r a t e m a n - t e m a n n y a mencari tempat yang hangat di

rumah-rumah penduduk. Setelah bekerja sebagai guru, ia memasuki organisasi Muhammadiyah - mungkin ia tertarik memasukinya karena organisasi ini bergerak di bidang agama dan sosial - dan kemudian diangkat menjadi pimpinan. Melalui organisasi ini ia mulai mencurahkan perhatian terhadap masalah-masalah kemasyarakatan dan sekaligus membiasakan diri menjadi pemimpin. Minatnya untuk membela kepentingan rakyat kecil, rupanya dipengaruhi oleh lingkungan hidupnya sendiri yang juga berasal dari rakyat kecil. Dalam hubungan ini diceritakan, bagaimana ia m e n d i r i k a n k o p e r a s i u n t u k melindungi rakyat dari pemerasan lintah darat. Diceritakan pula, bagaimana ia mengajar para petani "berbohong" untuk tidak melaporkan secara jujur hasil panen mereka kepada penguasa Jepang.

Lingkungan sekolah tempat ia pernah belajar (perguruan swasta Wiworo Tomo) dan sekolah tempat ia m e n g a j a r ( p e r g u r u a n Muhammadiyah), memberikan warna lain kepada kepribadian

Pemeriksaan tawanan Jepang yang telah dilucuti senjatanya

30

TAHUN INDONESIA

(11)

Soedirman. Di kedua tempat ini ia berkenalan dengan pengertian kebangsaan yang kelak akan menyebabkan ia lebih senang memilih bergerilya di hutan-hutan daripada tinggal di kota, walaupun ia mempunyai alasan yang kuat untuk itu karena ia masih dalam keadaan sakit dan memerlukan perawatan dokter.

Waktu masih bersekolah, Soedirman sering dipanggil teman-temannya dengan sebutan "hajine" ( s i h a j i ) . S e b u t a n i t u menggambarkan sisi lain lagi dalam kepribadian Soedirman, yakni k e b i a s a a n d a n k e t a a t a n n y a m e n j a l a n k a n i b a d a h a g a m a . Diceritakan, bagaimana ia mengisi hari-hari libu sekolah dengan belajar a g a m a d a n k e m u d i a n m e n g a m a l k a n n y a . Ke t a a t a n b e r a g a m a t e t a p m e w a r n a i hidupnya, sekalipun ia sudah menjadi tokoh penting. Ketika ia melaksanakan shalat Idul Adha bersama masyarakat di lapangan Gambir, Jakarta pada waktu ia mengunjungi kota ini dalam rangka mengadakan perundingan militer dengan pihak Sekutu, perbuatan itu

dilakukannya bukan sekedar formalitas atau mencari popularitas murahan. Mereka yang pernah menyertainya sewaktu bergerilya di h u t a n - h u t a n m e n c e r i t a k a n bagaimana Soedirman menggunakan embun untuk berwudhu, apabila tiba saat shalat sedangkan di sekitar tempat ia berada tidak ada air.

Sewaktu masih kecil dan masih tinggal bersama keluarga, Soedirman diserahi tugas-tugas tertentu sesuai dengan usia dan kemampuannya, seperti menyiram kembang, menyapu pekarangan, menimba air dari sumur, dan sebagainya. Dengan cara demikian, ia diajar bertanggung jawab dan ia memang membiasakan diri untuk memenuhi tanggung jawab itu. Kebiasaan itu melekat dalam kepribadiannya selanjutnya. Rasa tanggung jawab terhadap anak buahnyalah, ketika ia menjadi

Daidanco Peta, yang menyebabkan ia sering melancarkan protes kepada orang-orang Jepang, apabila mereka bertindak di luar batas terhadap anak buahnya. Rasa tanggung jawab terhadap integritas dan identitas angkatan peranglah, ketika ia sudah

menjadi panglima besar, yang menyebabkan ia sering berbeda p e n d a p a t d e n g a n p i m p i n a n pemerintahan. Tanggung jawab terhadap perjuanganlah yang mendorongnya meninggalkan Yogyakarta tanggal 19 Desember 1948 untuk memimpin perang gerilya, sementara pimpinan p e m e r i n t a h a n d i t a w a n o l e h Belanda.

Sifat-sifat yang dimiliki Soedirman mungkin saja dimiliki pula oleh orang lain. Tetapi bagi Soedirman, sifat-sifat itu telah membantunya dalam menegakkan kepemimpinannya, atau sifat-sifat tersebut merupakan bagian dari kepemimpinan itu. Untuk bagian terbesar, kepemimpinan merupakan pembawaan seseorang. Ia tumbuh dalam jiwa dan dikembangkan oleh situasi khusus dan waktu-waktu tertentu. Hanya bagian terkecil dari kepemimpinan itu yang merupakan masukan dari luar, dalam arti dapat dipelajari.

Seseorang mungkin saja mempunyai bobot kepemimpinan yang cukup besar yang tersimpan dalam jiwanya. Tetapi, karena tidak

Pelantikan Pucuk Pimpinan TKR di Yogyakarta, 28 Juni 1947

30

TAHUN

(12)

terdapat situasi dan kondisi yang memungkinkan untuk berkembang, maka kepemimpinan itu hampir-hampir tidak kelihatan, atau hanya tampak dalam bobot yang kecil. Sebaliknya, seseorang yang memiliki bobot kepemimpinan dalam ukuran sedang, dapat saja muncul menjadi tokoh yang menonjol disebabkan oleh tersedianya situasi dan kondisi y a n g m e m u n g k i n k a n u n t u k mengembangkan kepemimpinan tersebut. Pihak pertama, yakni mereka yang memiliki bobot kepemimpinan yang besar, sering kali menciptakan sendiri situasi dan kondisi yang menyebabkan ia mampu tampil ke depan. Bagi pihak kedua, mereka yang memiliki bobot kepemimpinan berukuran sedang, kemampuan memanfaatkan situasi dan kondisilah yang memungkinkan mereka muncul menjadi tokoh-tokoh yang diperhitungkan.

Secara garis besar dapat dikatakan bahwa situasi yang dihadapi Soedirman ialah situasi perang antara negara yang baru merdeka dengan negara bekas penjajahnya. Kondisi yang dihadapi ialah kondisi yang biasanya terdapat pada suatu negara yang baru merdeka, yang pada umumnya memiliki kelemahan-kelemahan, bukan saja di bidang militer, tetapi juga di bidang politik dan ekonomi. Khusus mengenai Indonesia, aparat militernya baru saja terbentuk, berasal dari asal-usul yang beragam. Karena tidak mempunyai tradisi kemiliteran modern, maka keahlian rata-rata anggotanya berada di bawah standar. Ciri utama dari perang antara negara yang baru merdeka dengan negara bekas penjajahnya sering disebut perang kemerdekaan ialah perbenturan antara dua kekuatan yang tidak seimbang, khususnya di bidang keahlian dan persenjataan. Biasanya pihak yang pertama memiliki man-power yang berlimpah, tetapi tanpa keahlian dan persenjataan yang memadai. Kondisi seperti itulah yang dihadapi Soedirman sebagai tokoh yang bertanggung jawab di bidang kemiliteran dan dengan sendirinya bertanggung jawab pula

dalam hal memenangkan perang. M a s a l a h y a n g s e r i n g dihadapi oleh negara yang baru merdeka ialah pertentangan di dalam, yakni pertentangan antara kekuatan-kekuatan yang ingin memaksakan keinginan sendiri, atau memaksakan agar bagian terbesar dari keinginannya diterima oleh pihak lain. Situasi seperti itu ditemukan pula dalam periode Perang Kemerdekaan Indonesia. Khusus bagi Soedirman, situasi yang d i h a d a p i n y a i a l a h s u a s a n a pertentangan yang ditimbulkan oleh adanya perbedaan strategi antara pihak militer dan pihak politisi dalam memenangkan perjuangan secara umum dan perang secara k h u s u s . S e l a i n i t u , i a j u g a menghadapi situasi lain yang disebabkan oleh usaha golongan politik tertentu untuk menempatkan a n g k a t a n p e r a n g d i b a w a h kekuasaan golongannya atau sekurang-kurangnya bersimpati kepada golongannya.

Dalam kasus pertama, dari Soedirman sebagai seorang Panglima Besar dituntut kewibawaan dan kepemimpinan yang kuat untuk t i d a k t e r l a l u m e n g o r b a n k a n kepentingan angkatan perang, tetapi tidak pula mengorbankan kepentingan nasional secara keseluruhan. Kewibawaan dan kepemimpinan yang sama dituntut pula agar angkatan perang tidak didominasi oleh golongan tertentu. Hakikat kepemimpinan adalah kemampuan seseorang untuk menggerakkan orang lain agar b e r b u a t s e s u a i d e n g a n keinginannya. Berhasil tidaknya ia menggerakkan orang lain tergantung pada kemampuannya menanamkan motivasi pada diri orang-orang yang dipimpinnya dan menjanjikan harapan-harapan kepada mereka. Segi lain yang tak kurang pentingnya ialah kemampuannya bertindak secara cepat dan meyakinkan pada saat-saat kritis dan memberikan solusi yang relatif baik bila menghadapi dua atau lebih masalah yang saling bertentangan. Di samping itu, ia juga harus mampu memperlihatkan dirinya dalam

(13)

Arief Sulistyo

“TEMPAT SAYA YANG TERBAIK

ADALAH DI TENGAH-TENGAH ANAK BUAH”

REFLEKSI HISTORIS TERHADAP KEPUTUSAN PANGSAR SOEDIRMAN UNTUK MEMILIH BERGERILYA DI HUTAN DARIPADA TINGGAL DI KOTA

E

nam puluh enam tahun yang lalu, tepatnya tanggal 29 Januari 1950 Panglima Besar J e n d e r a l S o e d i r m a n t e l a h mendahului kita dipanggil Tuhan Yang Maha Kuasa. Soedirman dilahirkan pada tanggal 24 Januari 1916 di Desa Bodaskarangjati, Kecamatan Rembang, Kabupaten Purbalingga, Jawa Tengah. Ia adalah putera dari pasangan Karsid Kartawiradji - seorang mandor tebu dan Siyem yang berasal dari Rawalo, P u r w o k e r t o . M e r e k a a d a l a h keluarga petani dan sejak bayi Soedirman diambil anak angkat oleh Raden Tjokrosunaryo, Asisten Wedana (camat) di Rembang, Purbalingga. Pada usia tujuh tahun Soedirman masuk Hollandsch Inlandcshe School (HIS) setingkat Sekolah Dasar (SD) di Cilacap. Setelah lulus HIS tahun 1930, ia kemudian melanjutkan ke Meer

Uitgebtreid Lagere Onderwijs

(MULO) setingkat SMP sampai tahun 1932. Setahun kemudian ia pindah ke perguruan Parama Wiworo Tomo dan lulus tahun 1935.

S e t a m a t d a r i Pa r a m a Wiworo Tomo, Soedirman menjadi gu ru di H I S Mu h a mma diya h . Kemudian bersama temannya ia mendirikan koperasi yang diberi nama Perbi. Pada tahun 1943 pemerintah Jepang mengangkat Soedirman menjadi anggota Syu S a n g i k a i ( s e m a c a m D e w a n Pe r t i m b a n g a n K a r e s i d e n a n ) Ba n y u ma s. Ole h p e me ri n ta h Jepang, Soedirman ditunjuk untuk mengikuti pelatihan Pembela Tanah Air (PETA) di Bogor. Tidak lama setelah selesai pendidikan ia d i a n g k a t m e n j a d i D a i d a n c o

( K o m a n d a n B a t a l y o n ) y a n g berkedudukan di Kroya, Banyumas.

Panglima Besar Jenderal Soedirman memimpin gerliya di atas tandu

30

TAHUN INDONESIA

(14)

Dari sinilah Soedirman memulai karier militernya sebagai prajurit dan komandan. Sebagai seorang komandan ia sangat memperhatikan kepentingan anak buah. Ia tidak takut menentang perlakuan-perlakuan buruk opsir-opsir Jepang yang menjadi pelatih dan pengawas batalyonnya. Oleh karena itu, ia sempat dicap sebagai orang yang “berbahaya”.

S e t e l a h P r o k l a m a s i K e m e r d e k a a n I n d o n e s i a dikumandangkan pada tanggal 17 Agustus 1945, esok paginya tanggal 18 Agustus 1945 pemerintah pendudukan Jepang mengumumkan pembubaran PETA. Senjata dilucuti dan bekas anggota PETA dipulangkan ke daerah asalnya masing-masing. Soedirman bersama dengan Residen Banyumas Mr.Ishak Tjokrohadisuryo dan beberapa tokoh lainnya berusaha menghimpun kekuatan bersenjata dalam wadah Badan Keamanan Rakyat (BKR). Mereka kemudian melakukan perebutan kekuasaan dari tangan Jepang secara damai.

Pada tanggal 5 Oktober 1945 p e m e r i n t a h m e n g e l u a r k a n Maklumat No.2/X/45 yang berisikan tentang pembentukan Tentara Keamanan Rakyat (TKR). Dalam TKR ini Soedirman terpilih sebagai Komandan Resimen I Divisi V TKR Banyumas dengan pangkat Letnan Kolonel. Tidak lama kemudian Kepala Staf Umum TKR, Letnan Jenderal Oerip Soemodihardjo mengangkat Soedirman menjadi Panglima Divisi V TKR Banyumas dengan pangkat Kolonel. Dalam konferensi TKR tanggal 12 November 1945 di Yogyakarta, Soedirman

terpilih sebagai Pemimpin Tertinggi TKR. Hal itu karena Soepriyadi, mantan pemimpin pemberontakan PETA Blitar yang sudah diangkat sebelumnya sebagai Pemimpin Tertinggi TKR oleh presiden ternyata t i d a k p e r n a h m e n d u d u k i jabatannya.

Untuk menghadapi tentara S e k u t u d a l a m p e r t e m p u r a n Ambarawa tanggal 12 November 1945, Kolonel Soedirman memimpin pasukan dengan semangat pantang menyerah. Dengan menggunakan Taktik Gelar “Supit Urang” atau pengepungan rangkap, ia dan pasukannya berhasil mengurung musuh. Akibatnya suplai logistik dan komunikasi musuh dengan pasukan induk menjadi terputus sehingga m e m a k s a m u s u h m u n d u r k e S e m a r a n g . Ke m e n a n g a n d a n keberhasilan dalam pertempuran Ambarawa meyakinkan Presiden Soekarno mengenai pilihan terhadap Soedirman dalam konferensi TKR bulan November lalu. Pada tanggal 18 Desember 1945, Soedirman dilantik sebagai Panglima Besar d e n g a n p a n g k a t J e n d e r a l . Pelantikan tersebut dilakukan dengan cara unik, yaitu sambil merangkul Soedirman dihadapan para komandan TKR, Presiden Soekarno mengatakan, “Ini Panglima Besarmu”. Singkat dan sederhana tetapi mengandung makna yang sangat dalam. Sebagai Panglima Besar, Soedirman menghadapi b a n y a k m a s a l a h y a n g h a r u s diselesaikan. Dalam bulan Mei 1946 ia berhasil mempersatukan Tentara Republik Indonesia (TRI) ke dalam satu kekuatan yang terintegrasi, yang terdiri TRI-AD, TRI-AL, TRI

Udara. Di samping kekuatan TRI sebagai kekuatan bersenjata, terdapat pula laskar-laskar yang dibentuk oleh golongan atau partai-partai politik tertentu.

Pa d a b u l a n M e i 1 9 4 7 pemerintah mengumumkan tentang pembentukan Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang terdiri dari TRI dan laskar-laskar. Tanggal 3 Juni 1947 organisasi baru ini terwujud. Maka sejak saat itu negara hanya m e m p u n y a i s a t u k e k u a t a n bersenjata yaitu TNI. Jenderal Soedirman yang teguh pendirian mengatakan bahwa : ”satu negara hanya ada satu tentara”. Ia bekerja dengan keras untuk menyatukan semua unsur kekuatan nasional meskipun menghadapi berbagai macam kesulitan dan berjalan cukup alot.

Perjanjian Linggarjati pada kenyataannya tidak menyelesaikan m a s a l a h m e n u j u d i p l o m a s i . Demikian juga dengan Perjanjian Renville (Januari 1948) justru sangat m e r u g i k a n T N I . S a l a h s a t u syaratnya, Belanda meminta agar pasukan TNI yang berada di daerah pendudukan tentara Belanda ditarik ke wilayah Republik Indonesia (RI) yang kita kenal dengan Hijrah. Meskipun Panglima Soedirman merasa sangat terpukul, tetapi ia tetap tunduk dan patuh kepada keputusan politik. Soedirman dan para stafnya pantang menyerah. Semua kegagalan dan kesalahan dikaji secara mendalam. Para pemikir seperti TB Simatupang dan A.H Nasution akhirnya menemukan “Strategi Perongrongan”. Strategi ini untuk perang dalam jangka waktu yang lama dijabarkan dalam sistem

Panglima Besar Jenderal Soedirman beserta rombongan dalam perjalanan kembali ke Yogyakarta

30

TAHUN INDONESIA

(15)

Wehrkreise (lingkungan pertahanan daerah). Sistem Wehrkreise pada bulan November 1948 disahkan p e n g g u n a a n n y a d a l a m S u r a t P e r i n t a h S i a s a t N o . 1 y a n g ditandatangani oleh Panglima Besar Jenderal Soedirman.

Pada tahun 1948 dilakukan rasionalisasi dan reorganisasi A n g k a t a n P e r a n g y a n g mengakibatkan salah satunya penurunan pangkat satu tingkat, termasuk di dalamnya Soedirman diturunkan pangkatnya menjadi Letnan Jenderal. Pak Dirman pernah ditugaskan sebagai Panglima Besar Angkatan Perang Mobile merangkap sebagai Kepala Staf Angkatan Perang (KSAP) dan Kepala Staf Angkatan Darat (KS-AD).

Sementara itu tanggal 19 Desember 1948 pasukan Belanda menyerang dan menduduki ibukota RI serta menawan Presiden dan Wakil Presiden. Pak Dirman yang dalam keadaan sakit dan paru-paru tinggal sebelah menghadap Presiden Soekarno. Ia melaporkan bahwa p a s u k a n T N I s u d a h s i a p melaksanakan rencananya. Akan t e t a p i Pa k D i r m a n t e r k e j u t menerima perintah dari presiden agar beliau tetap tinggal di kota untuk dirawat sakitnya. Panglima Soedirman menjawab tawaran presiden dengan kata-kata yang terkenal, ”Tempat saya yang terbaik adalah ditengah-tengah anak buah. Saya akan meneruskan perjuangan.

Mert of zonder pemerintah TNI akan berjuang terus”.

Pada hari itu juga Jenderal Soedirman meninggalkan Yogyakarta dan mulai mengadakan perlawanan gerilya selama kurang lebih tujuh

bulan lamanya. Dengan ditandu, Pak Dirman melakukan perlawanan secara gerilya naik turun gunung dan m a s u k k e l u a r h u t a n , s e r t a berpindah-pindah tempat. Tidak jarang Pak Dirman mengalami kekurangan makanan selama berhari-hari. Akhirnya setelah melakukan perjalanan yang panjang dalam bergerilya, sejak tanggal 1 April 1949 Jenderal Soedirman menetap di dukuh Pakis, kecamatan Nawangan, Pacitan, Jawa Timur. Selama bergerilya, Panglima Soedirman tetap mengeluarkan perintah-perintah, petunjuk, dan amanat untuk TNI dan rakyat. Setelah Perjanjian Roem Royen ditandatangani tanggal 7 Mei 1949. Jenderal Soedirman diminta kembali ke Yogya. Akan tetapi dengan tegas menolak perundingan.

Atas jasa baik Kolonel Gatot Soebroto, pada tanggal 10 Juli 1948 Panglima Soedirman dan rombongan mau kembali ke Yogyakarta. Kedatangan mereka disambut dengan parade militer di Alun-alun Yogyakarta dan sangat dielu-elukan oleh rakyat. Rasa dan sikap tidak senang terhadap diplomasi yang ditempuh pemerintah dalam menghadapi Belanda ternyata masih membekas dalam diri Jenderal Soedirman. Akibatnya pada tanggal 1 Agustus 1949 ia menulis surat kepada Presiden Soekarno berisi permohonan untuk meletakkan jabatan sebagai Panglima Besar dan mengundurkan diri dari dinas ketentaraan, akan tetapi surat itu tidak jadi disampaikan. Isi surat tersebut menjadi terkenal karena memuat kata-kata, ”Bahwa satu-satunya hak milik nasional Republik

yang masih utuh tidak berubah-ubah meskipun harus menghadapi soal perubahan adalah hanya Angkatan Perang Republik Indonesia (Tentara Nasional Indonesia)”.

Sementara itu keadaan kesehatan Panglima Soedirman semakin lama semakin buruk s e h i n g g a i a b e r i s t i r a h a t d i Pasanggrahan Militer di Magelang. Akhirnya pada tanggal 29 Januari 1950 Jenderal Soedirman meninggal dunia dan dimakamkan di Taman M a k a m P a h l a w a n S e m a k i , Yogyakarta. Sesuai dengan jasa dan p e n g a b d i a n n y a , p e m e r i n t a h menaikkan pangkatnya dari Letnan J e n d e r a l m e n j a d i J e n d e r a l Anumerta.

(16)

Kusuma

DALAM SEJARAH PERJUANGAN BANGSA

ejarah Perjuangan Bangsa

S

dalam arti sempit adalah sejarah yang mencakup aliran-aliran historis yang menuju ke arah p e m b e n t u k a n b a n g s a d a n nasionalisme. Sementara dalam arti luas adalah ceritera pengalaman kolektif bangsa yang berfungsi sebagai lambang identitas bangsa yang mencerminkan kepribadian n a s i o n a l k h u s u s n y a s e r t a k e b u d a y a a n n a s i o n a l p a d a umumnya.

Pe r a n s e j a r a h s a n g a t penting dalam membangun dan membentuk karakter bangsa. Dalam

hal ini dapat diambil contoh Dalam kisah-kisah perjuangan yang diceritakan dalam bentuk tembang dalam tradisi Jawa seperti dalam Perang Diponegoro, peran seorang penyair yang mengalunkan syair kepahlawanan pada Perang Aceh, dan pembacaan Tambo, di daerah Minang merupakan media yang dapat membangkitkan daya ingat dan kesadaran sejarah bangsa serta pembangkit semangat pasukan untuk tetap berjuang, memperkuat moril prajurit.

Demikian pula penggunaan simbol-simbol sejarah tradisi

masyarakat dapat juga dijadikan motivasi membangun bangsa. Bung Karno pada saat pendudukan Jepang, sangat pandai memainkan simbol-simbol sejarah dengan mengambil kisah-kisah pahlawan pewayangan untuk menumbuhkan jiwa besar dan semangat bangsa untuk mencapai kemerdekaan. Demikian juga dengan Muhammad Yamin yang mengambil kisah-kisah kerajaan Majapahit dan Sriwijaya, m e m b e r i k a n m o t i v a s i u n t u k m e n u m b u h k a n s e m a n g a t kebangsaan dengan mengisahkan kegemilangan bangsa Indonesia di

SOEDIRMAN

Peringatan Hari Angkatan Perang Republik Indonesia 5 Oktober 1947 di Istana Yogyakarta

ARSIP

(17)

masa lalu yang tidak kalah dengan bangsa-bangsa lain.

Semangat Juang Soedirman Sejarah perjuangan bangsa dapat menumbuhkan semangat kebangsaan bagi masyarakat untuk mempertahankan negaranya. Demikian pula sejarah sebagai memori kolektif bisa memainkan p e r a n l e b i h b e s a r d a l a m pembangunan karakter bangsa (nation and character building). Untuk kepentingan ini, pertama-tama dalam sejarah ada banyak peristiwa objektif yang dapat menyumbang kepada pembentukan karakter bangsa, misalnya terlihat dalam peristiwa perlawanan terhadap penjajahan, revolusi Indonesia, sampai kepada figur-figur historis yang dalam sejarah akademis telah terbukti memainkan peran penting karena keunggulan watak dan karakternya.

D a l a m k o n t e k s l a i n pendapat sejarawan Abdurrahman Surjomihardjo (Alm) tentang

Sejarah pewarisan yang ciri u t a m a n y a b e r u p a k i s a h k e p a h l a w a n a n p e r j u a n g a n kemerdekaan, maka peristiwa yang terjadi pada awal kemerdekaan itu dapat dijadikan sebagai pewarisan sejarah bangsa dari sisi militer yaitu mengenai heroisme seorang figur Soedirman yang meski sakit dan h a r u s d i t a n d u t e t a p i t e t a p melakukan perlawanan terhadap Belanda dengan bergerilya di hutan-hutan.

P a d a p e r a n g mempertahankan kemerdekaan, Jenderal Soedirman menjadi figur yang sangat penting dalam sejarah Republik Indonesia. Karakter kepemimpinan, sikap patriotisme, dan semangat bela negaranya, menyatu dalam jalannya sejarah revolusi Indonesia.

Pe r i s t i w a Yo g y a k a r t a diserang Belanda pada 19 Desember 1948 menjadi titik balik dari dilakukannya perjuangan bersenjata oleh TNI hingga diakuinya Indonesia oleh Belanda melalui Konferensi

Meja Bundar pada 27 Desember 1949 yang membawa keuntungan pada pihak Indonesia.

Panglima Besar Soedirman menyadari bahwa Belanda telah memulai agresinya. Soedirman segera memutuskan berangkat menuju istana negara untuk menemui Presiden di tengah kondisi tubuhnya yang sedang sakit. Setibanya di Istana (Gedung Agung) Yogyakarta, Soedirman bertemu dengan Presiden Soekarno di ruang tamu. Presiden Soekarno melihat keadaan Soedirman yang sedang sakit, menganjurkan agar Soedirman tidak ke luar kota tetapi agar ia berobat di dalam kota sampai kondisinya sehat lalu berangkat keluar kota. Anjuran Presiden tidak dapat diterimanya. Ia menjelaskan; Kalau Panglima Besar ditangkap Belanda, akibatnya tidak baik. Belanda pasti mencarinya dan akan menangkapnya juga. Sebaliknya Soedirman meminta Soekarno untuk ikut ke luar kota bersama-sama bergerilya. Soekarno menolaknya

Penglima Besar Jenderal Soedirman didampingi Mayjen Dr Mustopo memeriksa Pasukan di Yogyakarta, Desember 1947

(18)

d a n i a b e r s a m a - s a m a H a t t a memutuskan tetap tinggal di istana untuk melanjutkan perjuangan diplomasi.

S o e d i r m a n a k h i r n y a meninggalkan kota Yogyakarta bergerilya bersama pasukannya dalam kondisi badannya yang masih dalam keadaan sakit parah di tengah pesawat tempur Belanda yang terus m e l a k u k a n p e n e m b a k a n -penembakan dari udara. Panglima Besar Soedirman mengeluarkan P e r i n t a h K i l a t N o . 1 y a n g menginstruksikan segenap jajaran A n g k a t a n P e r a n g R I u n t u k melaksanakan rencana operasi yang telah ditetapkan oleh masing-masing kesatuan TNI berdasarkan Perintah Siasat Nomor 1 Panglima Besar Soedirman pada 12 Juni 1948 yang berisi antara lain bahwa perang gerilya dalam rangka perang rakyat semesta digelar di seluruh Jawa, dari Banten sampai Banyuwangi, untuk sepanjang masa.

P e r i n t a h K i l a t N o 1/Panglima Besar/B/D/1948 yang telah dikeluarkan itu mengikat s e l u r u h j a j a r a n T N I u n t u k melaksanakan rencana-rencana yang dituangkan dalam Perintah Siasat No. 1, yaitu berupa instruksi P a n g l i m a B e s a r p a d a a w a l November 1948 dan disahkan melalui Peraturan Pemerintah No. 33 dan No. 70 Tahun 1948.

P e r i n t a h K i l a t i t u dikeluarkan pada 19 Desember 1948 pukul 08.00 yang ditandatangani oleh Panglima Besar Angkatan Perang Letnan Jenderal Soedirman. Isi perintahnya adalah:

1. Kita telah diserang.

2. Pada tanggal 19 Desember 1948 Angkatan Perang Belanda menyerang kota Yogyakarta dan Lapangan Terbang Maguwo.

3. Pemerintah Belanda telah membatalkan persetujuan gencatan senjata.

4. Semua Angkatan Perang menjalankan rencara yang telah ditetapkan untuk menghadapi serangan Belanda.

Bagi TNI, serangan Belanda terhadap Yogjakarta pada 19

Desember 1948 yang dikenal dengan Agresi Militer II, merupakan rahmat terselubung, karena dari faktor w a k t u , s e t i d a k n y a t e r b u k a k e s e m p a t a n s t r a t e g i s u n t u k melakukan uitbraak (menjebol keluar) dari daerah Republik yang semakin sempit, terutama di Jawa Tengah dan Jawa Timur.

Dalam Perintah Siasat No.1

misalnya strategi yang digariskan t i d a k a d a r e n c a n a u n t u k menghadapi serangan Belanda secara frontal total seperti pada agresi pertama, karena berdasarkan perhitungan secara taktis dan teknis, militer Belanda lebih unggul. Situasi pada agresi Belanda I itu yang menyebabkan TNI kalah, ingin tidak terulang kembali pada serangan B e l a n d a b e r i k u t n y a . T N I mengundurkan diri ke daerah-daerah perlawanan yang telah disiapkan dan menggelar perang gerilya dari Banten di Barat sampai Besuki di ujung timur Jawa Timur. Setelah menghadapi serangan kilat B e l a n d a , p a s u k a n T N I menghindarkan diri dari serangan tersebut, kemudian mundur ke pangkal-pangkal perlawanan gerilya yang telah disiapkan.

Perintah Siasat yang berisi ketentuan-ketentuan pembagian tugas dan tanggungjawab bagi panglima-panglima teritorium dan komandan-komandan brigade serta subteritorium adalah langkah jitu dalam menghadapi serangan Belanda melalui aksi hambat gerak m a j u m u s u h , m e m b e n t u k

wehrkreise, melaksanakan aksi

w i n g a t e d a n s e b a g a i n y a . P e r l a w a n a n T N I d i l a k u k a n sekedarnya untuk memberikan waktu dan ruang kepada pasukan TNI dan aparat pemerintah RI untuk melakukan perang wilayah.

Di pihak Belanda Panglima Tentara Belanda, Jenderal Spoor m e r u m u s k a n s t r a t e g i y a n g d i n a m a k a n s p e e r p u n t e n strategie—strategi ujung tombak. Strategi itu terdiri atas dua tahap. Tahap pertama adalah tahap penghancuran (istilah Clausewitz:

N i e d e r w e r f u n g s) , d e n g a n menyerang, merebut, menduduki, dan mendayagunakan segala keunggulan daya tembak, daya gerak, dan keunggulan udaranya. Kolone-kolone tempur bermotor bergerak dengan cepat untuk merebut dan menduduki posisi-posisi kunci musuh dan garis-garis perhubungannya. Tahap kedua adalah tahap pasifikasi, tahap pembersihan daerah, di mana pasukan-pasukan disebar di daerah yang telah dikuasai dan gerakan pembersihan dilakukan dengan taktik dan teknik yang pernah diterapkan Tentara Kolonial Hindia Belanda (KNIL), yang dikenal dengan taktik dan teknik VPTL,10 sebelum Perang Dunia II di Hindia Belanda.

Jenderal Spoor menyiapkan rencana strategi militernya, dengan s a n d i O p e r a t i e K r a a i, b i l a pemerintah Belanda memutuskan untuk menyelesaikan pertikaiannya dengan Republik Indonesia secara militer. Sasaran strategis militer yang ditetapkan adalah merebut dan menduduki ibu kota Republik Indonesia, menawan para pemimpin p o l i t i k d a n m i l i t e r n y a , menghancurkan TNI di daerah konsentrasinya (dataran tinggi Magelang di Jawa Tengah dan dataran tinggi Kediri serta Madiun di Jawa Timur), dan menduduki kota-kota di daerah Republik di Pulau Jawa maupun Sumatera yang belum dikuasai. Dalam hal ini, Jenderal Spoor masih sangat menganggap enteng kemampuan bertempur TNI. la pun masih mengandalkan strategi

(19)

u j u n g t o m b a k , y a n g d e n g a n mengerahkan kekuatan militernya secara besar-besaran dia yakini dapat merebut sasaran dengan cepat dan menghancurkan pasukan TNI di daerah konsentrasinya dalam pertempuran jangka pendek yang menentukan.

S e b e l u m m e l a n c a r k a n Operasi Kraai, Jenderal Spoor memperhitungkan dengan penuh keyakinan bahwa tahap penguasaan daerah setelah Yogyakarta diduduki akan berjalan lancar. Serangan gencar pada tahap pertama dari s t r a t e g i u j u n g t o m b a k n y a diperhitungkan akan memberikan p u k u l a n " t e l a k " p a d a a l a t pertahanan Republik Indonesia, sehingga akan mendisorganisasi dan mendemoralisasinya. Bila dengan serangan mendadak para pimpinan politik dan militer Republik Indonesia dapat dieliminasi, d e m i k i a n p u l a T N I d a p a t dihancurkan pada daerah-daerah konsentrasi tertentu, dan sekaligus mencegah TNI melakukan infiltrasi besar-besaran ke daerah-daerah yang telah dikuasai Belanda. Apabila k e k u a t a n T N I s u d a h d a p a t dilenyapkan, akan dapat diciptakan situasi sebagai syarat untuk beralih ke tahap pasifikasi, penguasaan d a e r a h . J e n d e r a l S p o o r memperkirakan Belanda masih akan menghadapi kesulitan, karena masih harus membersihkan sisa-sisa p a s u k a n d i e h a r d s T N I y a n g terpencar-pencar, tetapi menurut perhitungannya hal itu dapat diselesaikan dalam waktu yang tidak terlalu lama. Rakyat diperkirakan, setelah Yogyakarta direbut, akan berpihak pada tentara Belanda bila Belanda dapat memberikan jaminan perlindungan.

K e m u d i a n , p a d a 1 9 Desember 1948 Belanda secara sepihak membatalkan perjanjian Renville, dengan menuduh Republik Indonesia tidak sungguh-sungguh m e l a k u k a n u p a y a u n t u k menyelesaikan pertikaian secara damai Belanda melancarkan Agresi Militer keduanya dengan sandi Operasi Kraai. Ibu kota Republik

Indonesia Yogyakarta, dikuasai Belanda.

K e l a n c a r a n d a n keberhasilan operasi militernya selama dua minggu bulan Desember 1948 itu pun mendorong Wakil Tinggi Mahkota Kerajaan Belanda Dr. Beel untuk menyatakan: "Republik Indonesia sudah dihapus dari peta dunia."

Suatu studi yang dilakukan untuk menganalisis keberhasilan operasi militernya menyatakan ada k e g a g a l a n o p e r a s i o n a l y a n g disebabkan oleh perhitungan strategis keliru. Sebagai contoh, S p o o r d e n g a n y a k i n memperhitungkan bahwa para pemimpin militer TNI, apabila Belanda menyerang, akan menunggu kedatangan pasukan Belanda yang bergerak dari lapangan terbang Maguwo dan menyerahkan diri. Padahal, sebenarnya para pimpinan T N I t e l a h m e m p e r s i a p k a n pengunduran dari Yogyakarta. Kekeliruan perhitungan militer Belanda selanjutnya adalah gerakan cepat melalui poros gerak jalan-jalan besar akan dapat mengepung d a n m e n u t u p j a l a n - j a l a n pengunduran TNI atau mencegahTNI melakukan infiltrasi ke daerah-daerah yang telah diduduki Belanda. Kecepatan gerak untuk mengepung d a n m e n u t u p j a l a n - j a l a n pengunduran TNI akan memaksanya untuk bertahan dan bertempur sesuai kehendak Belanda.

B e l a n d a t e r l a l u menganggap tinggi kemampuan militernya dalam melancarkan gerak ofensif, dan terlalu menganggap rendah kemampuan TNI untuk melakukan perlawanan. Rencana Operasi Kraai didasarkan pada perkiraan bahwa para pemimpin TNI akan menerima tantangan Belanda u n t u k b e r t e m p u r s e c a r a konvensional. Apabila itu terjadi, dengan mudah pasukan Belanda dengan segala keunggulannya akan mudah menghancurkan TNI dalam pertempuran yang menentukan. D a l a m m e n y u s u n r e n c a n a o p e r a s i n y a , B e l a n d a memperhitungkan bahwa TNI akan

melayani keinginan Belanda untuk b e r t e m p u r s e c a r a konvensional/perang teratur, sekalipun informasi intelijen telah mengindikasikan, bahwa TNI mempersiapkan perlawanan gerilya yang besar pada wilayah yang luas.

Belanda memang berhasil menduduki kota-kota besar, tetapi tidak berhasil mencegah pasukan TNI melaksanakan Perintah Siasat Nomor Satu Panglima Besar, yaitu mengundurkan diri ke daerah-daerah perlawanan yang telah disiapkan dan menggelar perang gerilya dari Banten di barat sampai Besuki di ujung timur Jawa Timur. Dalam hal ini, Belanda tidak berhasil menghancurkan TNI sebagai sasaran strategis militer utamanya.

Perlawanan TNI di Jawa, dari Banten di barat sampai Besuki di timur, dan Sumatera berkobar dengan hebat dan ternyata tidak dapat diselesaikan oleh kekuatan militer Belanda dengan segala keunggulannya dalam waktu yang cepat dan singkat. Pasukan TNI mengalami kekacauan organisasi pada awal agresi Belanda, tetapi tidak mengalami demoralisasi. Mereka tidak patah semangat untuk terus melakukan perlawanan. Dalam menghadapi Agresi Militer Belanda pertama (1947), setelah semua garis pertahanannya ditembus serangan kilat Belanda, TNI menghindarkan diri ke medan-medan samping dan menggelar diri untuk melakukan perlawanan gerilya.

Pada tahun 1948, dalam menghadapi Agresi Militer kedua Belanda, TNI meninggalkan metode p e r t a h a n a n g a r i s s e c a r a konvensional. TNI beralih ke perlawanan gerilya, dan berhasil mendapatkan bantuan sepenuhnya dari rakyat. TNI lebih siap untuk melakukan perang asymmetric,

perang yang dilancarkan oleh pihak

inferieur melawan pihak yang

(20)

telah dipersiapkan dengan lebih baik, di mana TNI digelar di seluruh Pulau Jawa, untuk melancarkan peperangan jangka panjang yang melelahkan dan menjemukan. Akibatnya, Belanda dihadapkan pada perlawanan gerilya terpadu oleh TNI dan rakyat, yang menurut istilahnya sendiri uitzichtloos—tidak d a p a t d i p e r k i r a k a n k a p a n selesainya.

S i t u a s i m i l i t e r y a n g berkembang tujuh bulan setelah Belanda" melancarkan Operasi Kraai

b e r a k h i r d e n g a n m i l i t a r y impasse—kebuntuan militer. Tentara

Belanda tidak dapat menghancurkan kekuatan bersenjata Republik Indonesia. Sebaliknya, TNI juga tidak dapat mengusir tentara Belanda dari Indonesia. Dari sudut militer, kekurangan TNI terutama adalah sekalipun inisiatif telah diperoleh, itu belum dapat diubah menjadi satu ofensif balasan secara konvensional untuk "menggasak" posisi militer Belanda satu demi satu.

Di sini dapat diuraikan perbedaan pokok antara serangan gerilya dan serangan konvensional. Serangan gerilya tidak bertujuan

menguasai dan menduduki suatu posisi dalam jangka panjang. Hal itu d i s e b a b k a n p a d a p r i n s i p n y a serangan gerilya adalah untuk menghancurkan (to hit) kekuatan musuh dalam pertempuran yang ditentukan pasukan gerilya, dan kemudian menghilang (to run) untuk menghindari serangan balasan m u s u h y a n g t e n t u a k a n mengerahkan kekuatan militer besar-besaran. Serangan gerilya tidak bersifat menentukan, dilihat dari strategi militer (konvensional) dan bersifat sebagai gerakan untuk mematangkan kondisi guna aksi yang

Penglima Besar Jenderal Soedirman beristirahat di tengah-tengah perjalanan gerilya

(21)

menentukan. Aksi yang menentukan adalah serangan konvensional, karena itulah yang menghancurkan musuh, merebut, dan menduduki w i l a y a h s e c a r a p e r m a n e n . S a y a n g n y a , T N I b e l u m d a p a t melakukannya karena kurang mampu menciptakan kekuatan yang memadai untuk melakukan serangan konvensional.

Pa d a a k h i r n y a , d a p a t disimpulkan bahwa Agresi Militer kedua Belanda tidak berhasil, baik secara politis maupun strategis. Belanda terlalu yakin bahwa Operasi

Kraai-nya akan dengan mudah m e n g h a n c u r k a n T N I d a n melenyapkan Republik Indonesia.

Dalam mempersiapkan rencana strateginya, Belanda menilai terlalu tinggi (overestimate) kemampuan militernya dan terlalu menganggap rendah kemampuan dan kesediaan TNI untuk melawan Belanda at all cost. Semangat perlawanan TNI dalam Perang Kemerdekaan II itu terpompa dengan tinggi, karena p i m p i n a n T N I b e l a j a r d a r i pengalaman pahit semasa Perang Kemerdekaan I tahun 1947 dan merumuskan strategi pertahanan yang tepat untuk menghadapi B e l a n d a , d a n h a l i t u d a p a t d i l a k s a n a k a n d e n g a n c u k u p memuaskan. Dalam mempersiapkan diri untuk menghadapi Agresi Militer

Belanda kedua, dalam pidato-pidatonya kepada jajaran TNI Panglima Besar Soedirman selalu mengungkapkan:

“Kita beruntung Allah SWT telah memberikan kepada kita gunung-gunung, lembah-lembah, hutan-hutan, sungai-sungai, dan kekayaan alam lainnya yang memungkinkan kita dapat bertahan melakukan perang gerilya melawan musuh yang alat persenjataannya lebih lengkap, dengan jiwa dan semangat perjuangan yang lebih teguh daripada lawan.”

D a l a m p e r a n g mempertahankan kemerdekaan itu, faktor Panglima Besar Soedirman

Pertemuan Pangsar Soedirman dengan Letkol Soeharto dan wartawan Rosihan Anwar di Wonosari, 9 Juli 1949.

(22)

yang tidak ikut tertawan Belanda dan tetap berada di daerah gerilya, di tengah-tengah rakyat yang sedang berjuang meskipun secara nyata tidak dapat menjalankan pimpinan yang sebenarnya, secara psikologis berpengaruh besar terhadap moril pasukan gerilya TNI. Posisi Panglima Besar cukup kuat, sehingga semula enggan mengadakan penghentian t e m b a k - m e n e m b a k p a d a pertengahan tahun 1949 dan memenuhi ajakan pimpinan politik Republik melakukan perundingan politik di Bangka dengan Belanda. Pimpinan TNI berpendapat bahwa Belanda masih belum cukup terpojokkan pada pertengahan 1949 itu. Apabila dalam kondisi demikian kita sudah mau berunding atau m e n e m p u h j a l u r d i p l o m a s i ,

leverage kita masih belum cukup kuat untuk memaksa Belanda memberikan konsesi politik dan militer yang maksimal. TNI ber-pendapat bahwa perang gerilya masih perlu dilanjutkan sekitar enam bulan lagi untuk benar-benar menguntungkan diplomasi Republik. Namun, akhirnya Panglima Besar Soedirman dapat didesak oleh pimpinan politik untuk mengakhiri perlawanan dan melanjutkan dengan perjuangan diplomasi.

A k h i r n y a , m e l a l u i Konferensi Meja Bundar antara Republik Indonesia dan Belanda, pada 27 Desember 1949 Kerajaan B e l a n d a m e n y e r a h k a n

kedaulatannya kepada Republik Indonesia Serikat. Belanda harus angkat kaki dari Indonesia. Setahun kemudian, tepatnya pada 15 Agustus 1950, Republik Indonesia Serikat kembali menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia sesuai dengan Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945.

Pewarisan Sejarah Soedirman Dalam konteks penulisan tentang Sejarah pewarisan yang ciri u t a m a n y a b e r u p a k i s a h k e p a h l a w a n a n p e r j u a n g a n kemerdekaan, perjuangan gerilya Soedirman dapat dilihat sebagai b a g i a n u n t u k m e n u m b u h k a n semangat patriotik kebangsaan. Peristiwa yang terjadi pada awal kemerdekaan itu dapat dijadikan sebagai pewarisan sejarah bangsa dari sisi militer yaitu mengenai heroisme seorang figur Soedirman yang meski sakit dan harus ditandu tetapi tetap melakukan perlawanan terhadap Belanda dengan bergerilya di hutan-hutan.

Nilai Kejuangan Soedirman ditunjukan dengan semangat k e j u a n g a n y a n g t e l a h ditunjukkannya seperti semangat pantang menyerah, Rela berkorban, dan Patriotisme. Semangat pantang menyerah ini merupakan semangat kejuangan yang tinggi dengan satu tujuan yaitu kemenangan.

Perjuangan tidak akan berakhir sebelum kemenangan

sebagai tujuan dapat diwujudkan. Sehingga setiap perjuangan dan pengabdian yang dilakukannya senantiasa berorientasi pada tujuan yang ingin dicapai, yaitu untuk meskipun Presiden dan Wakil Presiden tetap bertahan di kota yang kemudian ditangkap oleh Belanda dan diasingkan.

S e j a r a h T N I a w a l menunjukan adanya sejarah yang perlu diwariskan kepada generasi Indonesia selanjutnya. Pewarisan sejarah itu sangat baik untuk kelangsungan hidup berbangsa mengingat sejarah yang diwariskan itu berangkat dari pergulatan sejarah secara ideologis dalam konteks kebangsaan yang tidak dapat dipungkiri menjadi bagian yang sangat strategis karena memberikan sesuatu yang dapat membangkitkan inspirasi atau ilham dalam memperkuat ketahanan negara.

Kerelaan Soedirman yang mengorbankan waktu dan tenaga dalam melaksanakan perjuangan memberikan inspirasi bahwa bela negara merupakan jalan yang harus ditempuh untuk mempertahankan kemerdekaan. Tanpa ada kerelaan untuk meluangkan tenaga dan waktunya bagi perjuangan bangsa

Penglima Besar Jenderal Soedirman bertemu kembali dengan Bung Karno dan Bung Hatta di Yogyakarta, 10 Juli 1949

(23)

tidak mungkin tujuan perjuangan dapat diwujudkan. Teladan Jenderal Soedirman itu menjadi bagian penting dalam romantika sejarah mempertahankan kemerdekaan.

Soedirman dilihat sebagai sosok sederhana, tidak tamak, p a h a m s e j a r a h k e m e n a n g a n perjuangan, ikhlas berjuang, rela berkurban harta benda dan nyawa saat bergerilya dalam rentang waktu 7 bulan dengan jarak tempuh gerilya sejauh 1010 kilometer pada Agresi Militer Belanda II 1948 pada 19 Desember 1948.

Romantika Revolusi dapat digambarkan, tentara dilindungi rakyat, yang harganya melebihi kecanggihan senjata Belanda. Tentara melindungi rakyat dari kesewenang-wenangan penjajah, t e n t a r a m e m p e r t a h a n k a n kemerdekaan negara dengan keterbatasan alutsista. Tentara dan rakyat menjadi kesatuan yang utuh, saling membela dan melindungi.

Lagu-lagu perjuangan yang berkisah tentang tentara dibuat oleh rakyat tanpa minta honor pengganti. Romantika revolusi ini yang mulai hilang dalam konteks kehidupan saat ini.

Pengalaman dari narasi sejarah perjuangan bangsa, nampak terlihat bahwa rasa nasionalisme atau kebangsaan dapat tumbuh dengan baik, nilai-nilai kejuangan, melekat pada sanubari para pejuang kemerdekaan, rasa cinta tanah air a d a l a h b a g i a n u t a m a y a n g m e m b e n t u k s e m a n g a t r e l a berkorban demi persatuan dan Kesatuan bangsa.

Pelajaran dari sejarah itu dapat menunjukkan bahwa budaya bangsa kita adalah bangsa yang patriotik yang memiliki budaya gotong royong, bahu membahu b e r j u a n g b e r s a m a u n t u k kemerdekaan bangsa.

P e l a j a r a n s e j a r a h berikutnya adalah melalui Perintah Siasat No. 1. Soedirman memiliki Kekuatan, kesetiaan, ketabahan, keuletan dan keikhlasan dalam berjuang sehingga memenangkan p e r t e m p u r a n d a l a m

mempertahankan kemerdekaan bangsanya.

D i s i s i l a i n k u n c i keberhasilan sistem pertahanan rakyat semesta adalah adanya kemanunggalan TNI dengan rakyat. Hal inilah yang pernah dilakukan oleh Soedirman dan pasukannya ketika bergerilya. Terwujudnya kemanunggalan TNI dan Rakyat yang kokoh saat itu memberikan manfaat bagi TNI untuk tetap mendapatkan dukungan logistik wilayah dari lingkungannya. Bahkan tidak hanya dukungan logistik saja yang d i p e r o l e h S o e d i r m a n d a l a m perjuangannya, tetapi dukungan moral, tenaga, fikiran dan fasilitas lain juga sangat bermanfaat dalam kegiatan penyelamatan bangsa. Menyelamatkan kemerdekaan yang senantiasa mendapat rongrongan baik dari dalam maupun dari luar negeri.

Sebagai tentara profesional TNI dihadapkan dengan semangat juang bangsa, TNI tidak melupakan Pancasila, UUD 1945, Sapta Marga, Sumpah Prajurit, 8 Wajib TNI yang terus dipelajari dan di amalkan dalam kehidupan keprajuritan. D e n g a n d e m i k i a n m e s k i p u n profesional namun jati diri TNI yang mewarisi nilai-nilai itu tidak dilepaskan. Maka disini TNI menjadi bagian dari negara yang mewarisi nilai-nilai juang 1945.

Kita diingatkan tentang jati diri Tentara Nasional Indonesia, antara lain:

a. Tentara Rakyat, yaitu tentara yang anggotanya berasal dari warga negara Indonesia;

b. Tentara Pejuang, yaitu tentara yang berjuang menegakkan Negara Kesatuan Republik Indonesia dan tidak mengenal menyerah dalam melaksanakan dan menyelesaikan tugasnya;

c. Tentara Nasional, yaitu tentara kebangsaan Indonesia yang bertugas demi kepentingan negara dan di atas kepentingan daerah, suku, ras, dan golongan agama; dan

d. Tentara Profesional, yaitu tentara y a n g t e r l a t i h , t e r d i d i k , diperlengkapi secara baik, tidak

berpolitik praktis, tidak berbisnis, dan dijamin kesejahteraannya, serta mengikuti kebijakan politik negara yang menganut prinsip demokrasi, supremasi sipil, hak asasi m a n u s i a , k e t e n t u a n h u k u m nasional, dan hukum internasional. Profesionalisme TNI diikuti dengan tiga hal penting yaitu: 1. Rakyat harus pintar, 2. Ekonomi harus kuat, 3. Tentara dalam pertahanan harus hebat.

Dengan kuat dan pintarnya bangsa, TNI diuntungkan karena bebannya lebih ringan dan perannya menjadi lebih penting. Ekonomi k u a t , t e r j a d i p e m b a h a r u a n alutsista, rekrutmen tentara, mendapatkan prajurit yang sehat jasmani dan rohani. Rakyatnya pintar menjadi asset bangsa dalam s i s t e m p e r t a h a n a n n e g a r a . Kepintarannya digunakan untuk membangun bangsa. TNI, bebannya menjadi ringan karena terbantu oleh dua hal tersebut dalam menjaga pertahanan negara.

Dengan kata lain TNI tidak menjadi garda depan terus menerus yang tidak berkesudahan karena TNI mengantarkan bangsa meraih prestasi yang dibanggakan oleh negara. TNI menjadi asset negara, menjadi sahabat masyarakat dan mitra rakyat dari segenap lapisan baik yang berada di kota, desa maupun perbatasan. Idealita TNI di perbatasan memungkinkan itu. Sementara TNI di kota jangan mencemari dirinya hanya sekedar menjadi centeng penjaga. Ini sangat penting.

Referensi

Dokumen terkait

Pada hari ini Jum’at tanggal dua puluh lima bulan Mei tahun dua ribu dua belas (25-05-2012) pukul 10.00 WIB, melalui Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE) dengan menggunakan

 Motivate channel members to share intelligence. 

Berdasarkan Evaluasi Dokumen Penawaran yang dilakukan oleh Pejabat Pengadaan Barang/ Jasa Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kota Madiun Tahun Anggaran 2016,

Sultra Tahun Anggaran 2016, telah mengadakan Pembukaan Penawaran pekerjaan seperti tersebut di atas dan menyatakan bahwa :2. 01 (Nol Satu) BERI TA ACARA

Systematic design, collection, analysis, and reporting of data and findings relevant to a specific marketing situation facing a

5 Creating Customer Value, Satisfaction, and Loyalty?.

[r]

Pada hari ini Jum’at tanggal dua puluh lima bulan Mei tahun dua ribu dua belas (25-05-2012) pukul 10.00 WIB, melalui Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE) dengan menggunakan