• Tidak ada hasil yang ditemukan

KISAH KASIH

Dalam dokumen 17 MAJALAH SENAKATHA EDISI 42 (Halaman 36-40)

Perjuangan

Hati Soedirman tertambat pada seorang gadis dari Cilacap, Siti Alfiah namanya. Siti Alfiah bukanlah

SOEDIRMAN SUDIRMAN

Pak Dirman dan Bu Siti Alfiah tahun 1939

SOEDIRMAN-SITI ALFIAH :

BERAWAL DARI MULO WIWOROTOMO

gadis sembarangan, ia adalah primadona di kota kecil Cilacap ketika itu. Jalinan asmara keduanya dimulai ketika sama-sama sebagai aktivis di organisasi Pemuda Muhammadiyah, Cilacap. Ketika itu Siti Alfiah duduk di kelas lima

Hollandsch Inlandsche School (HIS, setingkat Sekolah Dasar sekarang) dan Soedirman telah duduk di kelas tiga MULO. Siti Alfiah aktif sebagai Pe m u d i N a f s i a h , o r g a n i s a s i keputrian di Muhammadiyah, sedangkan Soedirman adalah pemuda Muhammadiyah, yang sama-sama aktif dalam kepemudaan H i z b u l W a t h o n . S i t i A l fi a h merupakan gadis cantik yang tengah beranjak dewasa, putri seorang pengusaha dari Plasen, Cilacap bernama Sastroatmodjo. Saat itu banyak pemuda yang tertarik kepadanya. Sementara Soedirman juga bukan pemuda sembarangan. Soedirman yang kelahiran 24 Januari 1 9 1 6 i t u s a n g a t d i s e g a n i d i lingkungannya. Selain pandai berpidato, bermain sepak bola dan seni tonil atau teater yang handal, ia juga sangat alim, sehingga banyak orang tua yang ingin menjadikan Soedirman sebagai menantu.

Berbagai cara dilakukan Soedirman untuk mendekati Siti Alfiah. Soedirman memilih kembang desa itu sebagai bendahara ketika Soedirman menjadi ketua panitia, agar keduanya bisa lebih dekat. Pada tahun 1936 Soedirman pun akhirnya pada usia 20 tahun melamar Siti Alfiah, yang saat itu masih berusia 16 tahun.

Perkawinan Soedirman- Alfiah membuahkan tujuh orang anak, yaitu Achmad Tidarwono, Didik Praptiastuti, Didik Sutjiati, Taufik Effendi, Didik Pudjiati, Titi Wa h j u t i S e t y o n i n g r u m , d a n M o h a m m a d Te g u h B a m b a n g Tjahjadi. Saat baru berkeluarga, mereka tinggal di rumah orang tua Siti Alfiah di Plasen. Soedirman berhasil membina rumah tangganya secara harmonis dan bahagia selama 14 tahun sampai akhir hayatnya.

Sebagai seorang suami Soedirman memang begitu sayang k e p a d a i s t r i n y a . M e n u r u t

M o h a m m a d Te g u h B a m b a n g T j a h j a d i , s a l a h s a t u p u t e r a Soedirman, bahwa ibunya pernah bercerita bagaimana bapaknya tergolong teliti untuk urusan kosmetik dan busana. “Bapak selalu memilihkan bedak dan busana untuk ibu. Ibu tinggal mengenakan” ujar Teguh. Bapaknya ternyata juga suka menjaga penampilannya agar selalu tampil rapi dan berwibawa, terutama saat berpidato. Ibu merasa cemburu pada saat Bapak saat itu berpidato di hadapan putri- putri Keraton Solo. Mereka terlihat kagum pada penampilannya yang selalu rapi. Selesai pidato, Alfiah berseloroh, Kamu senang ya? Kalau begitu mau lagi? Soedirman langsung menjawab, Ya tidak, kan aku sudah punya kamu”. (Majalah

Tempo, Senin 12 November 2012). M e n u r u t Te g u h , c i n t a keduanya bersemi dari kebiasaan kunjungan-kunjungan Soedirman ke rumah Sastroatmodjo, orang tua Alfiah. Silaturahmi itu dilakukan dengan alasan koordinasi internal Muhammadiyah. Kala itu Soedirman termasuk pengurus Hizbul Wathon dan Pemuda Muhammadiyah. Adapun orang tua Alfiah pengurus Muhammadiyah. Saat menjadi guru HIS Muhammadiyah Soedirman dikenal dermawan. Gajinya kerap dipakai membantu tetangga. Tatkala menjadi anggota Badan Penyediaan Pangan, lembaga penarik upeti di bawah pemerintah pendudukan Jepang, Soedirman bahkan tidak memaksa warga menyetor upeti jika kekurangan. Nenek tahu betul Soedirman muda naksir Alfiah. Nenekpun merestui karena kagum p a d a k e a l i m a n n y a . N e n e k m e m b u j u k k a k e k a g a r m a u menerima Soedirman menjadi menantu. Saat itu usia Bapak 20 tahun, ibu 16 tahun.

Menurut Teguh, paman ibunya yang bernama Haji Mukmin, s a u d a g a r p e m i l i k h o t e l , sesungguhnya tidak setuju terhadap perkawinan Alfiah dan Soedirman. Mukmin berkeras agar Alfiah harus mendapatkan suami dari kalangan orang kaya, sementara Soedirman hanya anak angkat Wedana yang

bergaji kecil.

Akhirnya, menurut ibu, semua ongkos pernikahan diam- diam disiapkan nenek. Strategi itu agar Bapak tidak disepelekan keluarga besar kakek. Dari ibunya, Teguh mendengar pada saat makan bersama keluarga besar, Haji Mukmin menyingkirkan hidangan paling enak dari hadapan bapaknya. Sang ibu tersinggung, tapi bapaknya memilih mengalah. Sikap Haji Mukmin berubah setelah Soedirman diangkat menjadi Panglima Besar. Ketika diarak ke Cilacap, dia melihat pamannya itu berdiri di pinggir jalan. Soedirman menghentikan mobil, lalu mengajaknya masuk mobil. Sikap tersebut menunjukkan bakti Pangsar Soedirman terhadap pamannya.

Kepasrahan dan Pengorbanan Ibu Soedirman yang setia sebagai istri seorang Panglima Besar, meski tidak ikut terjun langsung di medan perang, namun ia mendorong tugas-tugas suaminya agar mencapai keberhasilan. Di saat Jenderal Soedirman berpamitan kepadanya dan keluarga untuk pergi bergerilya, dengan diliputi oleh perasaan haru, Ibu Siti Alfiah sekeluarga melepas keberangkatan Jenderal Soedirman k e l u a r k o t a d a l a m k e a d a a n kesehatan yang memprihatinkan dan tanpa membawa obat-obatan yang cukup. Dengan kepasrahannya sebagai seorang istri Panglima Besar i a s e n a n t i a s a b e r d o a b a g i keselamatan suami dan ketujuh anak-anaknya yang masih kecil-kecil saat ditinggal Pangsar bergerilya.

Selain itu Ibu Siti Alfiah dan juga Ibu Sastroatmodjo, ibu mertua Jenderal Soedirman merelakan harta bendanya untuk bekal perjuangan, yaitu perhiasan emas berupa gelang model kuno (tebu sekeret) empat buah, satu buah kalung dan dua buah gelang kecil. (Soedirman Patriot Gerilya dan M a r t a b a t B a n g s a, J a k a r t a , November 2008).

S u n g g u h m e n a r i k d a n mengharukan membaca apa yang dikisahkan oleh Ibu Soedirman antara lain sebagai berikut :

"K e h i d u p a n k a m i , sebagaimana layaknya seorang pejuang, tentu tidak setenteram sekarang di alam kemerdekaan ini. Selalu saja kami diancam Belanda akan dibunuh. Bapak sendiri ada di garis depan memimpin anak buahnya. Ingin Ibu mendampingi B a p a k , t a p i o l e h B a p a k t a k diperkenankan. Karena anak Ibu sudah enam waktu itu. Kalau ikut, menurut Bapak, kan kemruyuk ..?"

"Rapor anak-anak sengaja Ibu kirim ke rumah sakit, karena B a p a k b e r k e i n g i n a n u n t u k memeriksanya sendiri", ujar Bu Dirman.

Bahkan ada ucapan Pak Dirman yang sampai saat Ini cukup menyentuh kalbu : "Bu", kata Pak Dirman sehari sebelum beliau wafat. "Kalau aku sudah sehat nanti,

aku ingin seperti Lurah Pakis, Aku ingin seperti dia, hidup hingga tua dan dapat momong cucu. Kalau kita d a p a t c u c u n a n t i , I b u a k a n m e m a n d a n g m e r e k a d e n g a n manggut-manggut, sementara aku akan memandang mereka dengan menggeleng-gelengkan kepala”.

Ibu Dirman menceritakan juga hobi Pak Dirman yang suka mendengarkan Iagu-Iagu yang kerap disiarkan oleh RRI, termasuk lagu keroncong maupun gending Jawa. Pak Dirman juga sangat kuat tirakatnya. Sebab, menurut Pak Dirman tirakat itu perlu demi anak- anak supaya kelak bisa menjadi m a n u s i a y a n g b e r g u n a b a g i masyarakat dan bangsa. "Bapak setiap malam selalu tidur jam 01.00. Kalau Ibu mau tidur kurang dari jam itu, dilarang", kenang Ibu

Dirman. (Majalah Dewi tanggal 7 Agustus s/d. 24 Agustus 1980 No. 144).

Sebagai seorang ibu dan istri Panglima Besar, Siti Alfiah selalu setia dengan mengurus ketujuh anak-anaknya yang masih kecil, ketika Pangsar berbaring sakit. Ia memboyong ke-7 putra-putrinya ke Magelang agar bisa menunggui suaminya. "Tak ada yang percaya Mas Dirman itu sakit parah kalau tidak melihat fisiknya. Bicaranya tetap Iantang dan menggelegar dari luar kamar". (Majalah Femina, 25 Januari 1983).

Pada kesempatan inilah Panglima Besar mengisahkan pengalamannya selama bergerilya. Bagaimana pasukannya harus menerobos bukit dan pedesaan terpencil serta medan yang sulit.

SOEDIRMAN SUDIRMAN

Pertempuran-pertempuran yang terjadi dan perbekalan yang minim. Bahkan juga obat-obatnya yang rusak dan tak dapat digunakan karena tersiram air hujan. Pernah juga Mas Dirman malah dianggap kyai di salah satu pedesaan karena dapat menolong beberapa kesulitan rakyat kecil itu. Merukunkan pasangan suami istri yang mau cerai. Menyembuhkan penyakit seorang penduduk. Padahal, kata Mas Dirman, ia hanya mengambil air p u t i h s e g e l a s d a n m e m b a c a Bismillah untuk kesembuhan orang tersebut”.

Di tengah keasyikannya berbincang itu terluncur ucapan Panglima Besar Soedirman bahwa

k a l a u s a a t i t u i a d i p a n g g i l menghadap Allah, ia rela lahir batin sebab dirasanya tugasnya telah selesai. Saya tegur Mas Dirman, jangan bicara yang tidak-tidak. Mas h a r u s m e n i k m a t i h a s i l perjuangannya dulu. Mas Dirman hanya tersenyum. Dan seakan-akan menenangkan hati saya, ia bilang,

“ah, aku mung gojek kok, Jeng (saya hanya bercanda)". (Majalah Femina,

25 Januari 1983).

Firasat Panglima Besar Soedirman terbukti menjadi kenyataan. Tanggal 29 Januari 1950 pagi, ia menghembuskan nafas penghabisan. "Saya tak mengira secepat itu Mas Dirman pergi", ucap Ibu Soedirman dengan mata

berlinang. "Padahal, masih ada k e i n g i n a n n y a y a n g b e l u m terlaksana, Kalau sembuh nanti ia ingin mengaiak saya melewati rute perjalanannya sewaktu bergerilya. Kalau pensiun nanti, ia ingin tinggal di pegunungan, dikelilingi anak-anak cucunya, Niat itu ternyata tak sampai".

Dua belas tahun kemudian baru Ibu Dirman dapat mewujudkan niatan Pak Dirman untuk napak tilas di bekas daerah-daerah gerilyanya. Diantaranya pada tanggal 15 Nopember 1962 Ibu Soedirman berkunjung ke Desa Sobo, Kelurahan Pakis, Kecamatan Nawangan, Kabupaten Pacitan (bekas markas gerilya Pangsar Soedirman).

SOEDIRMAN SUDIRMAN

Dalam dokumen 17 MAJALAH SENAKATHA EDISI 42 (Halaman 36-40)

Dokumen terkait