1
SEJARAH HUKUM
LINGKUNGAN
INTERNASIONAL
2
PILAR PERKEMBANGAN
HUKUM LINGKUNGAN
INTERNASIONAL
ADALAH
3
Apakah sudah ada Hukum
4
Hukum Lingkungan Internasional
Hukum Kebiasaan Internasional
Hukum Perjanjian Internasional
Praktek bangsa-bangsa
di dunia yang sudah berlangsung lama dan diterima sebagai hukum
Norma-Norma yang disepakati dan dituangkan dalam
5
KEBIASAAN
OPINIO JURIS NON OPINIO JURIS
CUSTOMARY NORMS USAGE
6
International Customary Law
Territorial Sovereignty
Sic Utere Tuo Ut Alienum Non Laedas
State
Responsibility
Trail Smelter Arbitration Nuclear Test Case Corfu Channel Case
7
Trail Smelter Case
Amerika Serikat Vs. Kanada
Di
Mahkamah Arbitrase Internasional
1941
Posisi Kasus
1.
Kanada mengoperasikan sebuah pabrik
smelter di provinsi British Columbia
2.
Pabrik tersebut mengeluarkan asap
beracun
3.
Dengan bantuan angin asap tersebut
menimbulkan kerusakan dan kerugian
materil bagi petani-petani di negara bagian
Washington Amerika Serikat.
Pembelaan Kanada
1.
Kanada belum memiliki hukum yang
mengatur tentang pencemaran udara:
2.
Perbuatan yang dituduhkan bukan
merupakan perbuatan negara karena
dilakukan oleh sebuah badan hukum
swasta;
12
KEPUTUSAN MAHKAMAH ARBITRASE
“…[U]nder the principles of international law, as well as the law of the United States, no state has the right to use or permit the use of its territory in such a manner as to cause injury by fumes in or to the territory of another or the properties of person therein ….”
14
Nuclear Test Case (1973)
(Australia &New Zealand vs. France)
Injunctive Relief
It did not ask for compensation but seeked for a declaration of ICJ to stop the French
15
Alasan Gugatan Australia
a. violate its rights to be free from atmospheric nuclear weapon tests by any country;
b. allow the deposit of radioactive fall-out on its territory and air space without its consent;
16
ALASAN NEW ZEALAND UTK MENGGUGAT
• violate rules and principles of international law; • violate of the rights of all members of
Corfu Channel Case
(Inggris Vs. Albania)
ICJ, 1949
Posisi Kasus
1. 22 Oktober 1946, Iring-Iringan Kapal Perang Inggris, termasuk penyapu mines (ranjau laut).
2. Memberitahu ke penjaga pantai dan meminta konfirmasi ttg apakah Selat Corfu aman untuk dilayari.
3. Penjaga Pantai Albania menyatakan bahwa Selat Corfu aman untuk dilayari.
4. Kapal Perang Inggris menabrak ranjau laut di Selat Corfu (perairan Albania)
5. Kapal tsb meledak dan karam
6. Awak kapal meninggal dan timbul kerugian materil
7. Inggris menuntut ganti rugi Albania
Alasan Menuntut
1.
Albania Melanggar Azas
Good
Neighborliness
(
sic utere tuo ut alienum
non laedas
)
2.
Lalai melakukan perlindungan terhadap
orang asing (alien) di perairannya
3.
Kurugian Inggris merupakan
tanggungjawab Pemerintah Albania (
State
Responsibility
)
Pembelaan Albania
1.
Inggris melanggar kedaulatan Albania
2.
Selat Corfu sdh dibersihkan dan aman
untuk dilayari. OKI, ini hanya kecelakaan
3.
Azas Territorial Sovereignty
Tuntutan Inggris
1.
Minta maaf
2.
Melakukan Remedi
3.
Mambayar Ganti Rugi
Keputusan MI
•
Albania diperintahkan untuk membayar
ganti rugi kepada Inggris atas kejadian tsb,
sebesar £ 844.000
Fakta Hukum
• Arbitrase ini bersangkut dengan penggunaan air Danau Lanoux,
di Pyrenees. Dalam kasus ini Perancis berencana untuk
melaksanakan pekerjaan konstruksi tertentu untuk pemanfaatan air danau dan Spanyol takut kalau pekerjaan konstruksi itu akan menimbulkan kerusakan pada wilayah Spanyol dan akan
melanggar hak-hak dan kepentingan Spanyol, dan ini melanggar the Treaty of Bayonne of May 26, 1866, antara Perancis dan
Spanyol dan Undang-Undang Tambahan pada tanggal yang
sama. Berdasarkan Traktat ini, pekerjaan konstruksi seperti itu baru dapat dilaksanakan setelah ada perjanjian kedua belah
• Pemerintah Spanyol meminta Tribunal untuk menyatakan
bahwa Perancis tidak semestinya melakukan pekerjaan konstruksi dimaksud untuk pemanfaatana air Danau
Lanouxsesuai dengan jaminan sebagaimana diatur dalam
Electricite de France project, karena jika tidak ada perjanjian sebelumnya yang mengatur tentang perairan dimaksud,
• The French Government asked the Tribunal to declare that
it was correct in maintaining that in carrying out, without an agreement previously arrived at between the two
Governments, works for the utilization of the waters of Lake Lanoux on the conditions laid down in the French project and proposals mentioned in the Compromis
Keputusan
• "It must first be determined what are the 'interests' which
have to be safeguarded. A strict interpretation of Article II would permit the reading that the only interests are those which correspond with a riparian right. However, various considerations which have already been explained by the Tribunal lead to a more liberal interpretation. Account
Keputusan
• "The second question is to determine the method by which
these interests can be safeguarded. If that method
necessarily involves communications, it cannot be confined to purely formal requirements, such as taking note of
complaints, protests or representations made by the
•
Dapatkah the neighbouring states menutut
ganti rugi kepd Jepang atas pencemaran laut
dr reaktor nuklir
•
Di forum penyelesaian sengkata yg mana
sengketa dpt diselesaikan?
•
Apa dasar pertimbangan yg dpt dgnkan hkm
dlm ng menyelesaikan/memutuskan sengketa
ini?
•
Kalau anda jadi hakim apa keputusan anda
dan sebutkan dasar pertimbangannya?
30
HUKUM KONVENSI INTERNASIONAL
SOFT LAW HARD LAW
DEKLARASI REKOMENDASI
RESOLUSI
31
Pengertian Soft Law
“
Soft law
is either “not yet law or not only
law”. Soft law is an important innovation in
international law-making that describes a
32
Soft Law
Stockholm Declaration
Nairobi Declaration
Rio
33
Soft Law Sebagai Alat Untuk Mengkodifikasi Hukum Kebiasaan
Deklarasi
1. Territorial Sovereignty 2. State Responsibility 3. Good Neighborliness
1. Sustainable Development 2. Precautionary Principle 2. Inter and Intra-generational Equity responsibilities
3. Common but differentiated responsibilities
WSSD
Good Sustainable Development
34
Aliran Transcendence Aliran Immanence
1. Zero-Economic Growth 2. Zero-Population Growth Dikotomi Antara Pembangunan & LH
35
Deklarasi Stockholm 1972
Konsep
Sustainable Development
Pembangunan hanya boleh dilakukan untuk memenuhi kebutuhan generasi sekarang
36
Deklarasi Stockholm 1972
Hukum Lingkungan
Use-Oriented Law Environment-Oriented Law
37
DEKLARASI STOCKHOLM 1972
SOFT LAW
“States shall cooperate to develop further the international law regarding liability and compensation
for the victims of pollution and other environmental damage caused by activities within the jurisdiction or control of such states to areas beyond their jurisdiction.”
“Man has the fundamental right to freedom, equality andadequate conditions of life, in an
environment of a quality that permits a life of dignity and
well-being, and he bears a solemn responsibility to protect and
improve the environment for
38
DEKLARASI NAIROBI 1982
WCED
OUR COMMON FUTURE
“development that meets the needs of the present without compromising the ability of the future generations to meet
39
DEKLARASI RIO
•
Kompromi antara negara maju dengan
negara berkembang tentang
pembangunan dan lingkungan hidup
•
Penyeimbang antara tujuan
pembangunan ekonomi dan
40
PRINSIP 2
DEKLARASI RIO
“States have, in accordance with the Charter of the
United Nation and the principles of international law,
the sovereign right to exploit their own resources
pursuant to their own environmental and
developmental policies, and the responsibility to
ensure that activities within their jurisdiction or
41
Prinsip 7
“States shall cooperate in a spirit of global
partnership to conserve, protect and restore the
health and integrity of the Earth’s ecosystem. In
view of the different contributions to global
environmental degradation, States have common but
differentiated responsibilities. The developed
countries acknowledge the responsibility that they
bear in the international pursuit of sustainable
development in view of the pressures their societies
place on the global environment and the
42
Prinsip 11
“States shall enact effective environmental
legislation. Environmental standards, management
objectives and priorities should reflect the
environmental and developmental context to which
they apply. Standards apply by one country may
be inappropriate and of unwarranted economic and
social cost to other countries, in particular
43
Prinsip 18
“States shall immediately notify other States
of any natural disasters or other emergencies
that are likely to produce sudden harmful
effects on the environment of those States.
Every effort shall be made by the
44
DEKLARASI RIO 1992
SUSTAINABLE DEVELOPMENT
• State Sovereignty and Responsibility • Inter-Generational Equity Responsibility • Intra- Generational Equity Responsibility • Integral Development Process
• Common But Differentiated Responsibilities • Preventive Action
• Good Neighborliness • Precautionary Principle • Cost Internalization
45
Inter-Generational Equity
Responsibility Principle
•
Prinsip tanggung jawab antar generasi,
yakni generasi sekarang (present
generation) dan generasi yang akan datang
(future generation).
•
Negara negara diwajibkan membuat hukum
46
Intra-Generational Equity
Responsibility Principle
•
Prinsip tanggung jawab sesama satu generasi;
•
Negara negara harus mempersiapkan hukum ttg,
misal,
•
amdal,
•
jaminan untuk tidak dicemari,
•
hukum ttg ganti rugi,
•
izin,
47
Integral Developmen Process
Principle
•
Prinsip yang mengharuskan negara untuk
melaksanakan pembangunan yang
menyeluruh, holistik dan terpadu
•
Negara negara diharuskan membuat aturan
ttg amdal, proses pembangunan terpadu dg
cara menciptakan uu SDA yg terpadu
•
Menteri korrdinator pembangunan
48
Common But Differenciated
Responsibility Principle
•
Prinsip yang menyatakan bhw melindungi
lingkungan adalah tanggung jawab semua negara
tp tanggung jawab tersebut berbeda-beda
berdasarkan kemampuan ekonomi, ilmu
pengetahuan dan teknologi.
•
Negara maju hrs membantu negara berkembang
dlm melindungi LH.
•
Ngr berkembang diharuskan utk mengikuti
49
Preventive Action Principle
•
Prinsip yang mengharuskan negara untuk
mencegah pencemaran dan perusakan LH;
•
Negara negara diharus membuat peraturan
ttg pencegahan misnya: baku mutu
lingkungan, ambang batas emisi dan
effluen, monitoring, amdal
•
Ngr diharuskan menindak pencemar
50
Precautionary Principle
•
Prinsip yang mengharuskan negara tetap
bertindak menyelamatkan LH walaupun
secara saintifik masih ada keragu-raguan
(scientific uncertainty);
•
Ngr melalui pembuat uu atau penegak hk
51
Cost Internalization Principle
•
Prinsip yang mengharuskan ngr utk memasukan
biaya pencegahan pencemaran ke dlm biaya
produksi suatu industri dan melarang biaya itu
menjadi biaya sosial (social cost);
•
Ngr diharuskan membuat aturan ttg cost
52
Democracy and Public Participation
Principle
•
Prinsip ini mengharuskan ngr untuk
melibatkan peran serta masy dlm proses
pembangunan dan ini hrs dilakukan secara
demokratis.
•
Ngr hrs membuat aturan yang
53
WSSD
GSDG
GOOD GOVERNANCE SUSTAINABLE
54 Pengelolaan yang efektif, efisien dan aspiratif oleh
negara menuntut iklim demokrasi dalam
pengelolaan sumber daya publik yang didasarkan pada prinsip-prinsip transparansi, akuntablitas
dan partisipasi masyarakat serta rule of law
Pelaksanaan kewenangan politik, ekonomi dan administrasi dalam mengelola masalah-masalah bangsa (nation affairs). Governance dikatakan baik
(good atau sound) apabila sumber daya dan masalah-masalah publik dikelola secara efektif,
efisien yang merupakan respon dari kebutuhan masyarakat (aspiratif) (UNDP, 1997)
55
Soft Law Sebagai Alat Untuk Mengkodifikasi Hukum Kebiasaan
Deklarasi
1. Territorial Sovereignty 2. State Responsibility 3. Good Neighborliness
1. Sustainable Development 2. Precautionary Principle 2. Inter and Intra-generational Equity responsibilities
3. Common but differentiated responsibilities
WSSD
Good Sustainable Development
56
HARD LAW
LAUT ATMOSFIR ALAM B-3
Konv. Basle CITES
CBD Konv. Ozon
UNFCCC Konv. Paris
SUMBER HLI
1. Environmental Treaties
2. International Customary Law 3. Principles of International Law 4. Decisions and Doctrines
International Treaties
Conventional Norms
International Environmental Treaties
General and Minor Ruling For Examples:
Outer Space Treaty, 1967 Moon Treaty, 1969
Complicated Ruling For Example:
Ozone Convention, 1985 UNFCCC, 1992
International Environmental Treaties ?
ANNEXES
INTERNATIONAL ENVIRONMENTAL TREATIES
Masalah Yang Sangat Ilmiah
Tak Memuat Angka Pengurangan (Controlled Measures)
CUSTOMARY INTERNATIONAL LAW
Sic Utere Tuo Ut Alienum Non Laedas
Norms deriving from general practices of states
accepted as opinio juris
Norms deriving from international Environmental Conferences
Formulating Non-Binding Principles
State Sovereignty State Responsibility
Duty To Cooperate
GENERAL PRINCIPLE OF LAW
Interpretation of legal rules at all levels of governance, from the global
to the municipal
Duty not to cause significant transboundary air pollution
Duty to assess potential effects of environment harming activities
JUDICIAL DECISIONS AND DOCTRINES
Subsidiary Means For Determining Rules of Law
Trail Smelter case
Corfu Channel Case
Lake Lanoux Arbitration
Silent Spring
INTERNATIONAL LAW FOR AIR POLLUTION CONTROL
CONVENTION ON OZONE LAYER DEPLETION
MONTREAL PROTOCOL 1987
AMENDEMENTS OF
MONTREAL PROTOCOL 1987
CLIMATE CHANGE CONVENTION
REGIONAL INTERNATIONAL LAW FOR AIR POLLUTION CONTROL
EROPAH DAN AMERIKA
Long-Range Transboundary Air Pollution Convention (LRTAP)
ASIA TENGGARA
AACNNR TSANWZ
Konvensi Ozon 1985
•
Tujuan utk mencegah penipisan lapisan ozon, yg
dirudak oleh beberapa gas/zat yg diproduksi dan
dikonsumsi olh mns
•
Bgm caranya? Negara hrs mengurangi produksi
dan konsumsi gas-gas perusak ozon diantaranya
CFC’s/freon dan halon
•
Berbentuk hard law yg berisikan soft regulation,
BUMI
MATAHARI
LAPISAN OZON
RERADIASI
Konvensi Ozone in Reality
•
Mewajibkan negara utk melakukan penelitian
lebih lanjut ttg penipisan lapisan ozon
•
Mewajibkan ngr anggota utk bekerjasama dan
saling bertukar informasi
•
Konvensi tdk mengatur mengenai angka-angka
pengurangan GPO/ODS
•
Konvensi ozon hanya bersifat soft regulation
WHY DOES IT HAPPEN?
•
Rusaknya lapisan ozon disebabkan oleh ngr maju
bukan olh ngr berkembang
•
Ngr berkembang khawatir bhw konvensi ini
merpkan alat neo colonialism trtm di bdg ekonomi
•
Ngr berkembang takut kalau proses
industrialisasinya terganggu
•
Ngr berkembang tdk punya kemampuan teknologi
Mengapa berisikan soft regulation?
•
Karena msh ada keraguan di pihak ngr maju ttg
kepastian ilmiah perusak ozon. OKI, konvensi
hanya meminta ngr anggota utk bekerjasama
melakukan penelitian dan berbagi informasi;
•
Semua ngr berkembang, kecuali Kenya, tidak
mau meratifiukasi Konvensi krn men. Mrk lapisan
dirusak olh ngr maju. OKI, ngr maju yg hrs
PROTOKOL MONTREAL
•
Pembuatan 1987
•
Berlaku Effektif 1989
•
Membuat lap. Produksi dan konsumsi 1986
•
1986 mrp base year
•
Misal Sebuah ngr anmggota memproduksi
MONTREAL PROTOCOL 1987
ANNEX A GROUP I CFC 11
CFC 12 CFC 113 CFC 114 CFC 115
ANNEX A GROUP II HALON 1211
EMISSIONS REDUCTIONMECHANISMS
CONSUMPTION FREEZE
EMISSION REDUCTION UP TO 20 %
EMISSION REDUCTION UP TO 50 %
1990
1994
1999
GRACE PERIODFOR
AMENDEMENTS TO MONTREAL PROTOCOL
ANNEX A GROUP I CFC 11
CFC 12 CFC 113 CFC 114 CFC 115
ANNEX A GROUP II HALON 1211
HALON 1301 HALON 2402
ANNEX B GROUP I Additional CFC ANNEX B GROUP II
Carbon Tetrachloride ANNEX B GROUP III
Methylchloroform ANNEX C
APA SANKSINYA
•
TRADE MEASURES (LARANGAN
PERDAGANGAN)
–
Ngr yg melanggar Protokol tdk boleh membeli
atau menjual kepada ngr anggota yang patuh
–
Dilarang berdagang dg ngr bukan anggota
•
Dilarang memberikan bantuan keuangan
•
The trade measures in the 1987 Amended
Montreal Protocol reflects the answers to the
critiques made to the 1987 Montreal Protocol by
many environmental lawyers. The measures now
include the ban of import and export of substances
containing controlled substances and the ban of
•
The critiques centre on the trade measure in which
the Montreal Protocol did not oblige the
Contracting Parties to ban the export and import
of ODS with the Non-Contracting Parties. The
absence of such provision was regarded to
discourage the non-contracting parties to become
state parties of the Protocol. Another important
reason of incorporating trade measure into the
Ozone Convention is discussed in O. Yoshida,
op.
•
Articles 1, 1
bis
and 1
ter
of the Amended Montreal
Protocol prescribe the prohibition of import of
controlled substances from non-State Parties to
•
The prohibition of exporting controlled
substances from State Parties to any
non-State Parties is regulated under Articles 2,
2
bis
and 2
ter
. Export of controlled
substances in Annex A was prohibited as of
1 January 1993. The export of controlled
substances in Annex B was banned as of 10
August 1993 and those in Group II of
•
The Amended Montreal Protocol also bans
•
Bans of import from non-Parties of products
produced with, but not containing, controlled
substances in Annexes A, B and Group II of
Annex C are established under Articles 4, 4
bis
and
4
ter
. Article 4 provides the ban of such products
one year of the Annex A having become effective.
Products in Annex B are prohibited one year of the
Annex B having become effective. Products in
SANKSI
Articles 1, 1
bis
and 1
ter
of the Amended Montreal
Protocol prescribe the prohibition of import of
controlled substances from non-State Parties to
SANKSI
CLIMATE CHANGE CONVENTION
GREEN-HOUSE GASES
CO2
CH4
CFC
CLIMATE CHANGE CONVENTION
Principle of
”common but differenciated responsibilities”
CLIMATE CHANGE CONVENTION
Precautionary Principle
KYOTO PROTOCOL
•
OBLIGATIONS OF PARTIES
–
ONLY DEVELOPED COUNTRIES ARE
BURDENED WITH OBLIGATIONS:
• To reduce a basket of six gases in the period
between 2008 – 2012
• The reduction is based on production of certain
years (base year, i.e., 1990 for carbon dioxide, methan and nitrogen oxide and 1995 for
KYOTO PROTOCOL
•
CARBON SINKS
•
BUBLING SCHEMES
•
FLEXIBILITY MECHANISM
–
EMISSIONS TRADING
–
JOINT IMPLEMENTATION
ASEAN ENVIRONMENTAL COOPERATION
ASEP I, II, & IIIASEAN Cooperation Plan onTransboundary Pollution 1995ASEAN Strategic Plan ofAction on the Environment
Haze Technical Task Force
Regional Haze Action Plan
ASEAN ENVIRONMENTAL LAW
SOFT LAW HARD LAW
Manila Declaration on the ASEAN Environment 1981
Bangkok Declaration on the ASEAN Environment 1984
Jakarta Resolution on Sustainable Development 1987
Kuala Lumpur Accord on Environment & Development 1990
Singapore Resolution on Environment & Development 1992
Bandar Seri Begawan Resolution on Environment & Development 1994
AACNN 1985
Treaty on Southeast Asia Nuclear Weapon-Free
Zone 1995
Asean Agreement on Transboundary Haze
Hukum Internasional Tentang Mitigasi
Dampak Perubahan Iklim
Oleh
KONVENSI PERUBAHAN IKLIM 1992
GAS RUMAH KACA
CO2
CH4
CFC
UNFCCC/ KONVENSI PERUNAHAN IKLIM
Prinsip
”common but differenciated responsibilities”
NEGARA BERKEMBANG TIDAK PUNYA KEWAJIBAN KECUALI KOMUNIKASI The parties should protect the cliate system for the benefit of present
And future generations of humankind , on the basis of equity and in Accordance with their common but differenciated responcipilities
And respective capabilities. Accordingly, the developed country Parties should take the lead in combating climate and the adverse
KONVENSI PERUBAHAN IKLIM
Prinsip
”Keberhati-hatian atau Precautionary”
“Where there are threats of serious or irreversible damage, lack of full scientific certainty shall not be
as a reason for postponing cost-effective
KYOTO PROTOCOL
•
Kewajiban Para Pihak
–
Negara Maju:
• Mengurangi satu pake gas (a basket of six gases)
dalam kurun waktu 2008 – 2012
• Pengurangan didasarkan pada produksi pada tahun
tertentu (base year):
– 1990 untuk carbon dioxide, methan and nitrogen oxide
and
– 1995 untuk hydrofluorocarbons, perfluorocarbons and
hexaflouride
–
Negara Berkembang
Pengurangan Emisi
•
Eropah Bersatu 8%
•
Amerika Serikat 7%
•
Jepang 7%
•
Kanada 6%
•
Islandia 10%
•
Australia 8%
•
Norwegia 1%
SISTEM PENGURANGAN EMISI
•
CARBON SINKS
•
BUBLING SCHEMES
•
FLEXIBILITY MECHANISM
–
EMISSIONS TRADING
–
JOINT IMPLEMENTATION
Carbon Sinks
Article 3
Mengurangi Karbon dioksida dg cara:
-
Menanam hutan kembali
-
Penghijauan
terhadap lahan yang berkurang kayunya
Carbon Sinks
Penerapan
carbon sink
sebagai sistem
pengurangan emisi mengalami ganjalan
dan mengganggu upaya pencapaian tujuan
Protokol secara umum sebab
sinks
dapat
Bubbling Scheme
Article 4
Bubbling Scheme
Article 4
Protokol Kyoto mengizinkan sekelompok
negara untuk secara bersama-sama memenuhi
kewajiban kelompok yang dibebankan oleh
Article 3 Protokol Kyoto.
Flexibility Mechanism
Protokol Kyoto menggunakan
market-based
mechanisms
atau mekanisme berdasarkan
pasar (mekanisme pasar) untuk mencapai
kepatuhan terhadap target pengurangan emisi
melalui perdagangan atau pertukaran target
pengurangan emisi (
emission reduction
target
) antara sesama negara anggota dengan
Flexibility Mechanism
Emission Trading Joint Implementation (JI)
Emission Trading
Perdagangan emisi dapat diartikan sebagai suatu
keadaan dimana suatu Negara terbentur dengan
biaya tinggi dan menemui kesulitan dalam mencapai
assigned amount
permulaannya. Oleh karena itu
Negara tersebut dapat memperdagangkannya dengan
negara lain yang bersedia dan mampu melakukan
Emission Trading
Article 17 Protokol Kyoto mengizinkan Negara
Peserta Annex B untuk memperdagangkan emisi
dalam rangka untuk mencapai target pengurangan
emisi sebagaimana diwajibkan oleh Article 3
Protokol. Tapi perdagangan emisi tidak boleh
dilakukan dengan Negara Berkembang (Negara Non
Annex B) karena mereka tidak mempunyai
Joint Implementation
JI harus dilaksanakan dengan pendekatan dua sisi:
effektifitas
dan
effisiensi
. Pada fase pertama JI
secara primer merupakan aksi domestik untuk
mengurangi emisi. Kata kuncinya disini adalah
effektifitas. Oleh karena itu tindakan domestik
negara anggota dievaluasi untuk menentukan biaya
pengurangan selanjutnya. Pada fase kedua,
penekanan dipindahkan kepada langkah untuk
Syarat Melaksanakan Joint Implementation
•
proyek tersebut telah mendapat persetujuan dari
pihak yang terlibat;
•
proyek tersebut mengurangi emisi yang
diperkirakan akan terjadi atau tidak akan mampu
dikurangi oleh negara sumber;
•
proyek tersebut tidak akan memperoleh ERU
jika dia tidak memenuhi kewajiban Pasal 5 dan
7; dan
•
proyek yang dimaksud hanya merupakan
Clean Development Mechanism
CDM dirancang untuk 3 kepentingan:
Pertama, CDM membantu negara berkembang untuk
mencapai pembangunan berkelanjutan;
Kedua, CDM menyumbang untuk pencapaian tujuan
akhir Konvensi; dan
Ketiga, CDM membantu negara maju untuk
mencapai pelaksanaan kewajiban membatasi dan
mengurangi emisi secara kuantitatif (
quantified
emission limitation and reduction commitments
)
Misalnya
NORWEGIA
Kewajiban mengurangi 100.000 ton GRK
Kemampuan Norwegia 75.000 ton GRK
INDONESIA
Sisa Kewajiban 25.000 ton GRK
CDM Syaratnya
PROGRAM CDM
BALI ACTION PLAN COP KE 13 (2007)
GUIDELINE FOR REDD COP KE 15 (2009)
LONG-TERM COOPERATIVE ACTION
COP KE 16 (2010)
(a) Reducing emissions from deforestation; (b) Reducing emissions from forest
degradation; and
HUKUM NASIONAL
• Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1994 tentang Pengesahan United
Nations Framework Convention on Climate Change (Konvensi Kerangka
Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa Mengenai Perubahan Iklim)
• Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2004 tentang Pengesahan Kyoto
Protocol to The United Nations Framework Convention on Climate
Change (Protokol Kyoto atas Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan
Bangsa-Bangsa Tentang Perubahan Iklim)
• Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup
• Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan sebagaimana
HUKUM NASIONAL
• Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2002 tentang Tata Hutan dan
Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Pemanfaatan Hutan dan Penggunaan Kawasan Hutan
• Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan
Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, serta Pemanfaatan Hutan
• Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P.68/Menhut-II/2008 tentang
Penyelenggaraan Demonstration Activities Pengurangan Emisi Karbon Dari Deforestasi dan Degradasi Hutan
• Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P.30/Menhut-II/2009 tentang
Tata Cara Pengurangan Emisi Dari Deforestasi dan Degradasi Hutan (REDD)
• Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P.36/Menhut-II/2009 tentang
INSTITUSI
1. Conference of the Parties;
2. Secretariat;
3. Subsidiary Body for Scientific and
Technological Advice;
Conference of the Parties
1. untuk memastikan pelaksanaan Konvensi secara effektif
dengan meninjau ulang secara reguler pelaksanaan Konvensi oleh negara anggota dan membuat keputusan-keputusan untuk mempromosikan penerapan Konvensi Perubahan Iklim yang effektif.
2. untuk meninjau ulang kepatutan komitmen para Pihak; untuk menyetujui metodelogi untuk mempersiapkan inventarisasi gas rumah kaca;
3. untuk mempertimbangkan pendirian proses konsultasi
multilateral untuk menjawab permasalahan yang timbul karena penerapan Konvensi; dan
4. untuk mengadopsi laporan-laporan reguler tentang penerapan Konvensi Perubahan Iklim
LEMBAGA TERTINGGI
SECRETARIAT
1. untuk memfasilitasi sidang-sidang CoP dan subsidiary bodynya; untuk mengkompilasi dan menyerahkan
laporan kepada semua Negara Peserta;
2. untuk membantu negara-negara berkembang dalam mempersiapkan laporan mereka;
3. untuk mempersiapkan laporan tentang kegiatan Sekretariat dan menyerahkannya kepada CoP;
4. untuk memastikan adanya koordinasi yang diperlukan dengan lembaga internasional yang relevan; dan
Subsidiary Body for Scientific and Technological Advice
1. untuk menganalisa hal-hal saintifik yang berhubungan dengan perubahan iklim dan dampak dari peraturan-peraturan yang dibuat untuk menerapkan Konvensi Perubahan Iklim dan menyerahkan laporannya kepada CoP dan subsidiary bodynya.
2. untuk mengidentifisir teknologi yang relevan dan untuk memberi nasehat tentang cara-cara dan alat-alat untuk mempromosikan pembangunan dan alih teknologi.
Subsidiary Body for Implementation
Subsidiary Body for Implementation (SUBIM)
diberi tugas untuk menganalisa akibat menyeluruh
dari langkah-langkah yang diambil oleh para Pihak
dan untuk mempertimbangkan laporan-laporan
Financial Mechanism
1.
untuk menyediakan sumber keuangan, termasuk
biaya untuk alih tekhnologi, yang dibutuhkan
oleh Peserta negara berkembang untuk
membiayai semua pengeluaran yang disetujui
guna melaksanakan angka-angka pengurangan.
2.
Mekasnisme Keuangan merupakan perwakilan
yang adil dan seimbang dari semua Peserta
dengan sistem pemerintahan yang transparan.
119
ASEAN Environmental
Policies and Laws
Controlling
Transboundary
Atmospheric Pollution
By120
ASSOCIATION OF SOUTH EAST
ASIAN NATIONS (ASEAN)
1967 BANGKOK DECLARATION
INDONESIA MALAYSIA
THE PHILIPPINES SINGAPORE
THAILAND
121
ASEAN AS A BIG TEN
BRUNEI CAMBODIA
LAOS MYANMAR
VIETNAM
STRONG ECONOMIC PERFORMANCE
122
ENVIRONMENTAL CONSEQUENCES
•
ATMOSPHERIC POLLUTION
•
WATER POLLUTION
•
WIDESPREAD DEFORESTATION
•
DEGRADATION AND CONVERSION OF
AGRICULTURAL LAND
•
POOR URBAN QUALITY
•
DECLINING OF POPULATIONS OF
123
ENERGY & MINES FORESTRIES
FORESTRIES & PLANTATIONS
LAND & FOREST FIRES
124
ASEAN Environmental Law
To protect the
ASEAN Environment
To ensure the sustainability of natural resources
ASEAN Ministrial Meeting in 1981
Manila Declaration
125
ASEAN Environmental Law
SOFT LAW HARD LAW
• ASEP I, II, & III
• 1981 Manila Declaration • 1984 Bangkok Declaration • 1987 Jakarta Resolution • 1990 Kuala Lumpur Accord • 1992 Singapore Resolution • 1994 B.S.B Resolution
• 1995 ACPTP • ASPAE
126
127
ASEP I (1978-1982)
•
Environmental Impact Assessment;
•
Nature Conservation and Terrestrial
Ecosystems;
•
Marine Environment;
•
Industry and Environment;
128
ASEP II (1983 – 1988)
CONTINUATION OF THE
UNFINISHED PRIORITY
129
ASEP III (1988 – 1992)
•
Environmental Management;
•
Nature Conservation and Terrestrial
Ecosystems;
•
Industry and Environment;
•
Marine Environment;
•
Urban Environment; and
•
Environmental Education, Training and
130
1981 Manila Declaration
On the ASEAN Environment
•
Foster a common awareness on the biological,
physical and social environment and its vital
significance for sustained development to
proceed upon;
•
Ensure that environmental considerations are
taken into account in development efforts;
•
Encourage the enactment and enforcement of
environmental protection measures; and
•
Foster the development of environmental
131
1984 Bangkok Declaration
On the ASEAN Environment
•
environmental management,
•
nature conservation,
•
marine environment,
•
urban environment,
•
environmental education,
•
environmental information system,
•
wider involvement in environmental management,
•
environmental legislation, and
132
1987 Jakarta Resolution
on Sustainable Development
•
recommends policy guidelines on the
implementation of the principle of sustainable
development;
•
facilitates the incorporation of environmental
considerations into the programmes and activities of
ASEAN committees;
•
monitors the quality of the environment and natural
resources to enable the periodic compilation of
ASEAN state of the environment reports; and
133
The 1990 Kuala Lumpur Accord
on Environment and Development
the importance of regional action in managing
natural resources and the environment,
particularly through the approach of
134
The 1992 Singapore Resolution
on Environment and Development
•
“Urgent Measures to Combat Climate
Change”
•
“The Immediate Implementation of the
Montreal Protocol Interim Multilateral
Fund”
•
“The Sustainable Management of all
135
1994 Bandar Seri Bengawan Resolution
on Environment and Development
•
adopt and implement the ASEAN Strategic Plan of
Action, which is primarily aimed at responding to
specific recommendations of Agenda 21
•
declare 1995 as the ASEAN Environment Year
•
adopt a set of Harmonized Environmental Quality
Standards for ambient air and river water quality
•
strengthen cooperation among ASEAN countries
to ensure the effective implementation of the
136
1995 ASEAN Cooperation Plan
on Transboundary Pollution
•
Transboundary Atmospheric
Pollution,
•
Transboundary Movement of
Hazardous Wastes, and
137
ASEAN Strategic Plan of Action
on the Environment 1994-1998
• to respond to specific recommendations of Agenda 21; • to introduce policy measures, and promote institutional
development that encourage the integration of environmental factors in all developmental processes;
• to establish long term goals on environmental quality and
work towards harmonized environmental quality standards ;
• to harmonize policy directions and enhance operational and
technical cooperation on environmental matters; and
• to study the implications of AFTA on the environment and
138
139
1985 AACNNR
•
Indirect control of transboundary
atmospheric pollution;
•
To control all the activities which cause
140
SANKSI
NGR LAIN NEGARA
PELANGGAR
1. Penghentian Kegiatan 2. Ganti Rugi
3. Memadamkan api tanpa minta izin
141
ENTRY INTO FORCE
REALITA
142
Treaty on the Southeast Asia
Nuclear Weapon-Free Zone
The Treaty is of relevance to the
protection of the atmosphere because
it deals with nuclear weapon tests,
143
ASEAN Agreement on
Transboundary Haze Pollution
•
Sustainable Development Principle
•
Common But Differenciated
Responsibilities Principle
•
Precautionary Principle
•
Ecologically Sound and Sustainable Use
of Natural Resources
144
PENGATURAN LIMBAH B 3
KONVENSI LOME 1989
KONVENSI BASLE 1989
KONVENSI BASLE 1989
• MULAI BERLAKU 5 MEI 1992
• REZIM INTERNASIONAL DI BIDANG PERGERAKAN
DAN PEMBUANGAN LIMBAH B3 MELALUI PERDAGANGAN INTERNASIONAL
• MENGHARUSKAN NEGARA ANGGOTA
MENGURANGI PERGERAKAN LIMBAH B3 LINTAS BATAS NEGARA MELALUI MENEJEMEN YANG
EFFISIEN DAN BERWAWASAN LINGKUNGAN
KEWAJIBAN UMUM (Art. 4)
•
Harus meminimalisir produksi dan pergerakan
limbah B3;
•
Menjamin pengelolaan yang berwawasan
lingkungan;
•
Tidak mengekspor limbah B3 ke negara anggota
lain yang mempunyai legislasi yang melarang
impor dimaksud
•
Tidak boleh mengekspor limbah B3 ke negara
•
pengelolaan yang yang berwawasan lingkungan
•
Ngr pengekspor harus memperoleh izin tertulis
dari pihak negara importir sebelum pengiriman
dilakukan
•
Ngr pengekspor harus memberikan informasi
SANKSI
•
Negara anggota dilarang melakukan ekspor
limbah B3 ke negara non-anggota
•
Negara anggota dilarang mengimpor limbah
B3 dari negara non-anggota
•
Negara anggota dilarang membuang limbah
B3 ke daerah Antartika
•
Ekspor dan impor yang bertentangan
PENGATURAN LAND-BASED
MARINE POLLUTION
HUKUM KEBIASAAN INTERNASIONAL
HUKUM KEBIASAAN INTERNASIONAL
Territorial Sovereignty
Sic Utere Tuo Ut Alienum Non Laedas
State
Responsibility
CORFU CHANNEL &
• Kasus Corfu Channel merupakan contoh penerapan hukum
kebiasaan internasional oleh ICJ. Dalam Kasus ini,
iring-ringan Kapal Perang Inggris, termasuk kapal penyapu ranjau laut – H.M.S. Maurilius, Saumarez, Leader dan H.M.S. Volage
pada 22 Oktober 1946 melakukan pelayaran damai (innocent passage) di Selat Corfu yang berdasarkan pemberitahuan
• Tapi pada jam 14.45 H.M.S. Saumarez menabrak ranjau
laut yang dipasang di lajur pelayaran di bagian Utara Selat Corfu. H.M.S. Volage kemudian diperintahkan untuk
menarik Saumarez untuk penyelamatan tapi Volage sendiri kemudian juga menabrak ranjau laut lain. Akibatnya,
kedua kapal tersebut rusak berat dan tidak ada tawaran
bantuan pertolongan dari Albania. Baik Saumarez maupun
Posisi Kasus
1. 15 Mei 1946, Iring-Iringan Kapal Perang Inggris, termasuk penyapu mines (ranjau laut).
2. Memberitahu ke penjaga pantai dan meminta konfirmasi ttg apakah Selat Corfu aman untuk dilayari.
3. Penjaga Pantai Albania menyatakan bahwa Selat Corfu aman untuk dilayari.
4. Kapal Perang Inggris menabrak ranjau laut di Selat Corfu (perairan Albania)
5. Kapal tsb meledak dan karam
6. Awak kapal meninggal dan timbul kerugian materil
Issues in Question
• Apakah Albania bertanggungjawab dalam hukum
internasional atas peledakan yang terjadi pada tanggal 22 Oktober 1946 di Perairan Albania dan atas kerugian dan kematian yang diakibatkan oleh peladakan itu dan adakah kewajiban Albania untuk membayar gantirugi?
• Apakah menurut hukum internasional, Inggeris telah
melanggar kedaulatan Albania atas pelayaran iring-iringan kapal perang Inggeris pada tanggal 22 Oktober 1946 dan atas operasi pembersihan ranjau laut pada tanggal 12 – 13 November 1946 dan apakah ada kewajiban untuk
Alasan Menuntut
•
Albania Melanggar Azas
Good Neighborliness
(
sic utere tuo ut alienum non laedas
)
•
Lalai melakukan perlindungan terhadap orang
asing (alien) di perairannya
•
Kurugian Inggris merupakan tanggungjawab
Pembelaan Albania
•
Inggris melanggar kedaulatan Albania
•
Selat Corfu sdh dibersihkan dan aman untuk
dilayari. OKI, ini hanya kecelakaan
Tuntutan
•
Minta maaf
•
Melakukan Remedi
Keputusan
•
Albania diperintahkan untuk membayar
Pertimbangan Hukum
•
Tahu atau patut menduga hal itu akan
terjadi
•
Albania melanggar azas
Good
Neighborliness
(
sic utere tuo ut alienum
non laedas
)
•
Albania dinyatakan bertanggungjawab
Fakta Hukum
• Arbitrase ini bersangkut dengan penggunaan air Danau Lanoux,
di Pyrenees. Dalam kasus ini Perancis berencana untuk
melaksanakan pekerjaan konstruksi tertentu untuk pemanfaatan air danau dan Spanyol takut kalau pekerjaan konstruksi itu akan menimbulkan kerusakan pada wilayah Spanyol dan akan
melanggar hak-hak dan kepentingan Spanyol, dan ini melanggar the Treaty of Bayonne of May 26, 1866, antara Perancis dan
Spanyol dan Undang-Undang Tambahan pada tanggal yang
sama. Berdasarkan Traktat ini, pekerjaan konstruksi seperti itu baru dapat dilaksanakan setelah ada perjanjian kedua belah
• Pemerintah Spanyol meminta Tribunal untuk menyatakan
bahwa Perancis tidak semestinya melakukan pekerjaan konstruksi dimaksud untuk pemanfaatana air Danau
Lanouxsesuai dengan jaminan sebagaimana diatur dalam
Electricite de France project, karena jika tidak ada perjanjian sebelumnya yang mengatur tentang perairan dimaksud,
• The French Government asked the Tribunal to declare that
it was correct in maintaining that in carrying out, without an agreement previously arrived at between the two
Governments, works for the utilization of the waters of Lake Lanoux on the conditions laid down in the French project and proposals mentioned in the Compromis
Keputusan
• "It must first be determined what are the 'interests' which have to
be safeguarded. A strict interpretation of Article II would permit the reading that the only interests are those which correspond with a riparian right. However, various considerations which have
already been explained by the Tribunal lead to a more liberal interpretation. Account must be taken of all interests, of
whatsoever nature, which are liable to be affected by the works undertaken, even if they do not correspond to a right. Only such a solution complies with the terms of Article 16, with the spirit of the Pyrenees Treaties, and with the tendencies which are
Keputusan
• "The second question is to determine the method by which these interests can be safeguarded. If that method necessarily involves communications, it cannot be confined to purely formal
requirements, such as taking note of complaints, protests or representations made by the downstream State. The Tribunal is of the opinion that:" according to the rules of good faith, the upstream State is under the obligation to take into consideration the various interests involved, to seek to give them every
HUKUM PERJANJIAN
INTERNASIONAL
1. KONVENSI PARIS 1974
2. MONTREAL GUIDELINES
1985
3. KONVENSI HUKUM LAUT
1982
KONVENSI PARIS 1974
Pasal 3 (C)
i. Watercourses (aliran air)
ii. Coast, spt.: underwater or other pipelines (pantai, seperti pipa bawah air atau pipa lain)
iii. Man-made structures (bangunan buatan manusia)
Protokol
KEWAJIBAN NEGARA PESERTA
Pasal 4 (1) (a)
Ngr diminta menghapuskan zat dalam Bag. I Annex A:
• gab. Organohalogen • mercury
• Cadmium
• bahan sintetis persisten • minyak persisten
• hydrogen dr petroleum asli
Pasal 4 (1) (b)
Ngr diminta membatasi zat dlm Bag. II Annex A:
• fospor • silikon • timah
• minyak yg tdk persisten • arsenik
• chromium • nikel
MONTREAL GUIDELINES 1985
• GUIDELINE 2-9: KEWAJIBAN DASAR UTK
MENCEGAH, MENGURANGI DAN
MENGONTROL SEHINGGA TDK MENGGANGGU NGR LAIN
• GUIDELINE 5: KEWAJIBAN UTK KERJASAMA
GLOBAL, REGIONAL DAN BILATERAL
• GUIDELINE 6: KEWAJIBAN UTK TDK MERUBAH
WUJUD PENCEMARAN
• GUIDELINES 9: KEWAJIBAN UTK MENOLONG
KONVENSI HUKUM LAUT 1982
•
Pasal 197 – kerjasama global dan regional
utk merumuskan standar, praktek dan
prosedur yg disepakati
•
Pasal 207 – mengharuskan ngr membuat
hukum dan kebijaksanaan nasional dan
menegakkannya secara konsisten
Pasal 213
•
States shall enforce their laws and regulations
adopted in accordance with article 207 and shall
adopt laws and regulations and take other
measuresnecessary to implement applicable
international rules and standards established
through competent international organizations or
diplomatic conference to prevent, reduce and
KONVENSI OSPAR 1992
•
MENGHARUSKAN NEGARA-NEGARA
ANGGOTA MEMBUAT
PROGRAM-PROGRAM UNTUK MENGURANGI
DAN MENGHAPUSKAN
PERLINDUNGAN KEANEKARAGAMAN HAYATI
DALAM HUKUM LINGKUNGAN INTERNASIONAL
OLEH
Keanekaragaman Hayati
(Biological Diversity)
Keanekaragaman hayati (
biological diversity
)
merupakan suatu istilah yang menunjuk
kepada semua jenis fauna dan flora, termasuk
keragaman speciesnya, serta komunitas
ekologis darat, laut dan air dimana mereka
berada, misalnya hutan tropis, hutan beriklim
sedang, danau air tawar, lahan basah dan
ISSU PENTING
– Jumlah species di dunia diperkirakan 12,5 juta, dimana hanya
1,7 juta yang diketahui. (Estimated total number of species is 12.5 million, of which only 1.7 million are known)
– 25% spesies mamalia terancam punah. (25% of mammal species are
at significant risk of extinction).
– Hutan tropis memiliki lebih dari 90 % spesies dunia, tapi
hanya 8% dari permukaan bumi. (Tropical forests contain more than 90% of the world’s species, but cover only 8% of the world’s land surface).
– Lebih dari setengah species yang terancam berada di hutan
(More than half of all threatened species are located in forests).
– Air tawar dan habitat laut juga dalam keadaan terancam,
Kegunaan Keanekaragaman Hayati
Kekayaan keanekaragaman hayati sangat
penting keberadaannya bagi manusia karena
dia merupakan sumber kehidupan, baik
berupa makanan maupun obat-obatan dan
sumber genetika. Disamping itu,
keanekaragaman hayati juga berguna bagi
lingkungan hidup sendiri yaitu untuk saling
menopang sistem kehidupan dalam satu
Penyebab Berkurangnya Keanekaragaman Hayati