S K R I P S I
DiajukanKepadaUniversitas Islam NegeriSunanAmpel Surabaya UntukMemenuhi Salah SatuPersyaratanMemperolehGelar
SarjanaSosial Islam (S.Sos.I.)
Oleh:
DEWI MASITHO NIM : B33210042
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL SURABAYA FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI
TERAPI REALITAS DENGAN TEKNIK SINDIRAN DALAM MENANGANI PERASAAN AVERSI (KETIDAKSUKARELAAN) DI
KECAMATAN RUNGKUT SURABAYA
S K R I P S I
Diajukan Kepada Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya Untuk Memenuhi Salah Satu PersyaratanMemperoleh Gelar
Sarjana Sosial Islam (S.Sos.I.)
Oleh:
DEWI MASITHO NIM : B33210042
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL SURABAYA FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI
PERNYATAAN
PERTANGGUNGJAWABAN PENELITIAN SKRIPSI
Bismillahirrahmaanirrahim.
Yang bertanda tangan di bawah ini, saya:
Nama : Dewi Masitho NIM : B33210042
Prodi : Bimbingan dan Konseling Islam
Alamat : Jl. Wisma Penjaringan Sari Blok D-27 Surabaya
Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa:
1) Skripsi ini tidak pernah dikumpulkan kepada lembaga pendidikan tinggi manapun untuk mendapatkan gelar akademik apapun.
2) Skripsi ini adalah benar-benar hasil karya saya secara mandiri dan bukan merupakan hasil plagiasi atas karya orang lain.
3) Apabila di kemudian hari terbukti atau dapat dibuktikan skripsi ini sebagai hasil plagiasi, saya akan bersedia menanggung segala konsekuensi hukum yang terjadi.
Surabaya, 29 Januari 2015 Yang Menyatakan,
PERSETUJUAN PEMBIMBING SKRIPSI
Nama : Dewi Masitho NIM : B33210042
Prodi : Bimbingan dan Konseling Islam
Judul : Terapi Realitas dengan Teknik Sindiran dalam Menangani Perasaan Aversi (ketidaksukarelaan) di Kecamatan Rungkut Surabaya
Skripsi ini telah diperiksa dan disetujui oleh dosen pembimbing untuk diujikan.
Surabaya, 29 Januari 2015 Telah disetujui oleh: Dosen Pembimbing,
PENGESAHAN TIM PENGUJI SKRIPSI Skripsi oleh Dewi Masitho ini telah dipertahankan di depan
Tim Penguji Skripsi Surabaya, 11Februari2015
Mengesahkan,
Fakultas Dakwah dan Komunikasi Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya
Dekan,
Dr. Hj. Rr. Suhartini, M.Si. NIP. 195801131982032 001
Ketua,
Agus Santoso, S.Ag, M.Pd NIP. 19700825 199803 1 002
Sekretaris,
Mohamad Thohir, M.Pd.I. NIP.197905172009011007
Penguji I,
Dr. Hj. Rr. Suhartini, M.Si. NIP. 195801131982032 001
Penguji II,
MOTTO
“ Boleh jadi kamu memBenci sesuatu, padahal ia amat Baik
Bagimu, dan Boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu,
padahal ia amat Buruk Bagimu; allah mengetahui sedang
PERSEMBAHAN
“Jangan resah andai ada yang membencimu, karena masih ramai yang mencintaimu di dunia, tetapi, resahlah andai Allah membencimu, karena tiada lagi yang mencintaimu di akhirat.
TerimaKasihku
Alhamdulllahirabbil’alamin…. Alhamdulllahirabbil ‘alamin…. Alhamdulllahirabbilalamin….
Akhirnyasayasampaiketitikini,
sepercikkeberhasilan yang EngkauhadiahkanpadakuyaRabb Takhenti-hentinyaakumengucapsyukurpada_MuyaRabb
Serta shalawatdansalamkepadaidolakuRasulullah SAW danparasahabat yang mulia
Semogasebuahkaryamungilinimenjadiamalsholehbagikudanmenjadi kebanggaan
bagikeluargakutercinta
Ku persembahkankaryamungilinikepada…
Allah SWT Bapakdan Ibu tercinta
Adikkutersayang
ABSTRAK
Dewi Masitho (B33210042),Terapi Realitas dengan Teknik Sindirandalam Menangani Perasaan Aversi (Ketidaksukarelaan) di Kecamatan Rungkut Surabaya
Fokus penelitian ini adalah (1) Faktor-faktor apa saja yang menyebabkan timbulnya perasaan aversi (ketidaksukarelaan) di Kecamatan Rungkut Surabaya?,(2)Bagaimana prosesterapi realitas dengan teknik sindiran dalam menangani perasaan aversi (ketidaksukarelaan) di Kecamatan Rungkut Surabaya?, (3) Bagaimana hasil terapi realitas dengan teknik sindiran dalam menangani peransaan aversi (ketidaksukarelaan) di Kecamatan Rungkut Surabaya?
Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode kualitatif. Sedangkan teknik pengumpulan data melalui observasi dan wawancara. Adapun proses observasi dan wawancara kepada ketiga konseli, yaitu; Tina, Dela, Sara, ketiga orang tua mereka, dan teman terdekat.
Dalam penelitian ini disimpulkan bahwa, perilaku-perilaku yang nampak pada diri konseliadalah membolos kuliah, sering melakukan kesalahan saat bekerja, tidak mau mengikuti kegiatan apapun di pesantren, dan hubungan dengan orang tua menjadi renggang. Dalam penelitian ini konselor menggunakan terapi realitas dengan teknik sindiran yang dilakukan pada saat proses konseling berlangsung, konselor memberikan sindiran-sindiran dengan gaya bahasa berupa majas. Konselor menggunakan tiga majas kepada ketiga konseli; Majas Perbandingan, Majas Penegasan atau Penguatan, dan Majas Pertentagan. Tujuannya adalah agar konseli dapat langsung menyadari kesalahan yang dilakukannya dan berpikir tidak akan melakukan kesalahannya lagi, karena perilakunya itu telah membuat dirinya sendiri rugi. Selain itu, konselor juga menerapkan cara mengonfrontasikan konseli dan menolak alasan apapun yang menjadikan konseli melakukan perilaku negatif serta konselor membantu konseli merumuskan rencana tindakan yang spesifik. Dengan begitu akan menyadarkan konseli dan konseli akan memperoleh apa yang mereka inginkan dan bahwa tingkah laku mereka merusak diri, maka konseli pasti akan merubah tingkah lakunya menjadi lebaik lagi.
Dalam penelitian ini hasil dari proses konseling dikategorikan berhasil, yang mana hasil tersebut dapat dilihat dari adanya penurunan dari tingkah laku klienyang kurang baik menjadi lebih baik, hubungan konseli dengan orang tuanya kini sudah tidak renggang lagi. Kuliah tidak pernah membolos lagi, fokus kuliah, mengikuti semua kegiatan di pesantren, setelah mendapatkan terapi realitas dengan teknik sindiran.
DAFTAR ISI
JUDUL PENELITIAN (SAMPUL) ... i
PERSETUJUAN PEMBIMBING SKRIPSI ... ii
PENGESAHAN TIM PENGUJI SKRIPSI... iii
MOTTO ... iv
PERSEMBAHAN ... v
PERNYATAAN PERTANGGUNGJAWABAN PENELITIAN SKRIPSI vi ABSTRAK ... vii
KATA PENGANTAR ... viii
DAFTAR ISI ... xii
DAFTARTABEL ... xiv
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang... 1
B. Rumusan Masalah ... 8
C. TujuanPenelitian ... 8
D. ManfaatPenelitian ... 9
E. DefinisiKonsep ... 9
F. MetodePenelitian ... 12
G. SistematikaPembahasan ... 25
BAB II KAJIAN PUSTAKA ... 27
A. KajianTeoretik ... 27
1. Terapi Realitas ... 27
a. Sejarah Terapi Realitas ... 27
b. Pengertian Terapi Realitas ... 29
c. Konsep-Konsep Utama Terapi Realitas... 30
d. Tujuan Terapi Realitas ... 36
e. Fungsi dan Peran Konselor dalam Terapi Realitas ... 39
f. Hubungan antara Terapis dan Klien dalam Terapi Realitas .. 41
g. Teknik-teknik Terapi Realitas ... 43
2. Teknik Sindiran ... 45
a. Pengertian TeknikSindiran... 45
b. Macam-MacamTeknikSindirandengan Gaya Bahasa (Majas) ... 46
3. Perasaan Aversi... 52
a. Pengertian Perasaan ... 52
b. Pengertian Aversi ... 53
c. Faktor-Faktor Aversi ... 55
BAB III PENYAJIAN DATA ... 61
A. DeskripsiUmumObjekPenelitian ... 61
1. DeskripsiLokasiPenelitian ... 61
2. DeskripsiKonselor... 65
3. Deskripsi Klien ... 66
4. DeskripsiMasalah ... 69
B. DeskripsiHasilPenelitian ... 74
1. Deskripsi Faktor-Faktor yang Menyebabkan TimbulnyaPerasaanAversi (Ketidaksukarelaan) di KecamatanRungkut Surabaya... 74
2. Deskripsi Proses Terapi Realitas dengan Teknik Sindiran dalam Menangani Perasaan Aversi (Ketidaksukarelaan) di Kecamatan Rungkut Surabaya ... 76
3. Deskripsi Hasil Terapi Realitas dengan Teknik Sindiran dalam Menangani Perasaan Aversi (Ketidaksukarelaan) di Kecamatan Rungkut Surabaya ... 95
BAB IV ANALISIS DATA ... 98
A. Analisis DataFaktor-Faktor yang Menyebabkan TimbulnyaPerasaanAversi (Ketidaksukarelaan) di KecamatanRungkut Surabaya ... 98
B. Analisis DataProses Terapi Realitas dengan Teknik Sindiran dalam Menangani Perasaan Aversi (Ketidaksukarelaan) di Kecamatan Rungkut Surabaya ... 102
C. Analisis Data Hasil Terapi Realitas dengan Teknik Sindiran dalam Menangani Perasaan Aversi (Ketidaksukarelaan) di Kecamatan Rungkut Surabaya ... 104
BAB V PENUTUP ... 109
A. Kesimpulan ... 109
B. Saran ... 110
DAFTAR TABEL
A.Latar Belakang
Manusia merupakan makhluk ciptaan Allah SWT yang paling sempurna
dibandingkan dengan makhluk lainnya. Karena manusia mempunyai akal dan
pikiran untuk berfikir secara logis dan dinamis, serta bisa memilih perbuatan mana
yang baik (positif) atau buruk (negatif) untuk diri sendiri. Selain itu, manusia juga
memiliki perasaan didalam dirinya, dimana perasaan itu merupakan sesuatu
tentang keadaan jiwa manusia yang dihayati secara senang atau tidak senang.
Perasaan lebih erat hubungannya dengan pribadi seseorang dan berhubungan pula
dengan gejala-gejala jiwa yang lain. Oleh sebab itu, tanggapan perasaan seseorang
terhadap sesuatu tidak sama dengan tanggapan perasaan orang lain, terhadap hal
yang sama.
Perasaan yang biasa dialami seseorang yaitu perasaan senang dan perasaan
tidak senang. Perasaan senang merupakan suatu emosi yang menjadikan seluruh
dunia menjadi indah. Ketika seseorang itu mengalami perasaan yang senang sering
merasa bersatu dengan seluruh dunia dan dengan sesama.1 Rasa senang memang
merupakan rasa yang istimewa, tetapi mungkin tidak dapat dinikmati setiap hari.
Karena ada kalanya seseorang merasakan perasaan yang tidak senang, seperti
perasaan kecewa, marah, sedih, takut, dan keterpaksaan (ketidaksukarelaan).
Perasaan yang tidak menyenangkan itu, sangat sulit dikendalikan, sehingga
menyebabkan kerugian pada dirinya sendiri.
Perasaan yang ada didalam diri seseorang, baik itu perasaan senang
ataupun perasaan yang tidak senang akan terlihat dari raut wajah dan tingkah
lakunya. Seseorang yang merasakan perasaan yang senang, pasti terlihat dari
wajahnya yang tertawa atau tersenyum bahagia, melakukan sujud syukur,
memeluk erat seseorang yang ada disampingnya, dll. Sama halnya dengan
perasaan yang tidak senang, pasti akan terlihat dari raut wajahnya yang murung,
sedih, acuh tak acuh, dan pasti melakukan hal-hal yang negatif. Sebagai bentuk
pelampiasannya karena merasakan hal yang tidak menyenangkan tersebut. Hal
seperti ini pasti akan berdampak buruk terutama bagi diri sendiri dan juga bisa
berimbas pada orang tua serta orang-orang disekelilingnya.
Sebab-sebab dari timbulnya perasaan tidak menyenangkan itu
berbeda-beda pada umur yang berberbeda-beda-berbeda-beda. Pada masa kanak-kanak, perasaan tidak
menyenangkan itu lebih sering disebabkan oleh adanya pertentangan-pertentangan
sehubungan dengan hal-hal sehari-hari dan milik. Sedangkan sebab-sebab
munculnya perasaan tidak menyenangkan anak remaja kebanyakan bersifat sosial.
terganggu, terserang, malu, dll. Adapun orang dewasa merasa tidak menyenangkan
hanya apabila merasa keadilannya tersinggung.2
Perasaan yang muncul pada diri manusia pasti akan terlihat dari tingkah
lakunya. Banyak sekali anak-anak remaja yang tidak dapat mengendalikan
perasaan yang tidak menyenangkan itu yang sedang dirasakannya. Dan mereka
juga tidak tahu bagaimana mengendalikan perasaan yang menggangu itu, sehingga
seringkali orang-orang terdekatnya menjadi imbas karena tingkah lakunya yang
negatif. Seperti pada saat ini, banyak sekali para remaja, merasa dirinya sudah
dewasa dan merasa berhak mengambil keputusan apapun yang menjadi
keinginannya tanpa mengetahui resiko apa yang akan menimpanya nanti.
Kebanyakan remaja memang menghadapi sesuatu dengan tidak memikir panjang,
apa akibatnya nanti, bagaimana jika resiko yang tidak diinginkannya itu muncul,
bagaimana nanti menghadapi resiko yang tidak enak itu, dll. Yang dipikirkan anak
remaja memang hanya kesenangan diawal. Apa yang dirasakan itu menyenangkan
pasti ia akan melakukannya. Sehingga berakibat pada tingkah lakunya nanti, yaitu
tingkah laku yang negatif. Pasti akan terjadi penyimpangan pada tingkah lakunya
nanti yang pasti akan merugikan dirinya sendiri. Kebanyakan anak remaja, jika
sudah mempunyai masalah dia akan lari dari masalahnya tersebut. Karena sudah
muncul dalam dirinya perasaan-perasaan yang tidak menyenangkan dalam dirinya.
Dan tindakan seperti ini tidak boleh terjadi, harus ada yang menasehati dan
memotivasi agar dia harus dan berani menghadapi masalahnya sendiri dan dari situ
pula nanti akan muncul kedewasaannya.
Rasa tanggung jawab harus selalu ditanamkan pada diri sejak dini.
Kebanyakan para remaja merasa sulit untuk melaksanakan tanggung jawab yang
harus diembannya. Keputusan-keputusan yang sudah diambilnya harus
dipertanggung jawabkan walaupun nantinya timbul perasaan tidak menyenangkan
dalam dirinya. Karena itu semua sudah resiko yang ia ambil, jadi enak ataupun
tidak enaknya nanti diakhir ia harus menerimanya dan menjalaninya. Dari situ
nanti akan terbentuk kedewasaannya. Semua itu memang sulit, apalagi
menjalaninya dengan perasaan yang tidak menyenangkan dalam dirinya. Sesuatu
hal apabila dilakukan dengan perasaan yang tidak meyenangkan pasti akan terasa
sangat berat dan sulit. Tapi, jika tidak dilakukan, anak remaja itu pun pasti akan
terjebak dengan masalahnya itu terus dan bisa-bisa akan terjadi tekanan dalam
dirinya. Perasaan yang dialami anak remaja ini disebut dengan perasaan aversi
(ketidaksukarelaan).
Aversi merupakan perasaan tidak senang terhadap sesuatu yang tidak ia
inginkan. Psikologis tidak menghendaki ketidaksukarelaan karena sering tidak
mungkin dipertahankan. Semua orang tidak menghendaki untuk mengerjakan
suatu perbuatan yang sama sekali tidak melintas dipikiran dirinya sendiri. Tetapi
apabila memikirkannya dan lebih-lebih sudah merenungkannya dan menimbang
mengerjakannya atau tidak mengerjakannya.3 Melakukan sesuatu tetapi tidak
dengan keinginan sendiri akan menimbulkan perasaan yang tidak nyaman serta
akan merasa sulit melaluinya. Dan pada akhirnya akan banyak tingkah laku yang
menyimpang yang dilakukan oleh sang anak untuk melampiaskan perasaan yang
tidak ia senangi ini.
Perasaan aversi ini telah dialami oleh beberapa remaja yang tinggal di
daerah Kecamatan Rungkut dengan masalah yang berbeda. Remaja yang pertama
ini adalah seorang remaja yang baru saja lulus SMA, sebut saja namanya Tina
(nama samaran). Setelah lulus SMA, Tina ingin melanjutkan sekolah ketingkat
yang lebih tinggi. Tina sudah memilih universitas yang diinginkan dan
diimpikannya. Tetapi Tuhan berkata lain, Tina tidak lulus masuk ke universitas
yang ia inginkan. Tina keterima di universitas yang tidak ia harapkan. Hal itu
membuat Tina kecewa, sedih, dan merasa tidak senang, tetapi orang tua Tina
menyarankan untuk tetap masuk di universitas yang menerima Tina. Dari situlah
muncul perasaan aversi (ketidaksukarelaan) pada diri Tina. Karena orang tua Tina
memaksa Tina untuk tetap kuliah di universitas yang sebenarnya tidak Tina
inginkan, tetapi Tina tidak bisa menolak keinginan orang tuanya. Oleh karena itu,
Tina memiliki perasaan aversi (ketidaksukarelaan) dalam dirinya. Perasaan aversi
yang dirasakan Tina memebuat Tina sering membolos kuliah, jarang mengerjakan
tugas-tugas kuliah, lebih aktif dalam kegiatan organisasi, hubungan dengan orang
tuanya pun memburuk.
Remaja yang kedua, adalah seorang remaja yang menjalani kesehariannya
dengan kuliah dan bekerja. Dela (nama samaran) adalah seorang mahasiswa di
salah satu universitas di Surabaya, tidak hanya itu Dela juga adalah seorang
karyawan di sebuah perusahaan swasta di Surabaya. Kuliah Dela selama ini
berjalan dengan lancar. Beda halnya dengan kerja Dela, pada awal bekerja Dela
sangat senang dan orang tua Dela sangat mendukung Dela. Setelah kurang lebih
enam bulan bekerja Dela mulai merasakan ketidaknyamanan dalam bekerja. Dela
merasa ada yang tidak senang pada dirinya sehingga membuat Dela sering ditegur
atasan Dela yang seolah-olah Dela yang melakukan kesalahan itu. Dela memang
sangat baru dalam dunia kerja, apalagi diusianya yang masih sangat muda Dela
tidak memiliki pengalaman kerja yang banyak dan baik. Dela merasa salah satu
teman kantornya itu memanfaatkan Dela, karena Dela yang paling muda di situ.
Dela pun sering menapat teguran dari atasan Dela. Dela merasa sangat tidak
nyaman dan tidak ada keadilan baginya. Dari situlah Dela ingin resign dari
perusahaan itu. Tetapi orang tua Dela melarang Dela resign dari kerjaannya,
dengan alasan karena mencari pekerjaan saat ini sangat susah, jadi enak tidak
enaknya pekerjaan di hadapi saja. Dela pun tidak bisa menolak keinginan orang
tuanya. Perasaan aversi (ketidaksukarelaan) muncul dalam diri Dela. Adanya
perasaan aversi dalam diri Dela, membuat hubungan Dela dan orang tuanya
menjadi renggang, Dela sering menyendiri di kamar, dan Dela sering
banyak bicara. Dela merasa sangat tertekan bila ia sedang bekerja. Dan kini kuliah
Dela terbengkalai, Dela jarang kuliah.
Remaja yang ketiga, sebut saja namanya dengan Sara (nama samaran). Sara
adalah seorang remaja yang duduk di bangku SMA kelas 1. Sara tinggal dengan
paman dan bibinya di Surabaya yang sudah merawatnya sejak kecil dan Sara
sudah menganggap paman dan bibinya adalah orang tuanya sendiri, sama halnya
dengan paman dan bibinya yang sudah menganggap Sara sebagai anaknya sendiri.
Karena kini Sara sudah SMA, paman dan bibinya berencana menaruh Sara di
pesantren dekat rumahnya. Tujuan mereka agar Sara bisa beljar agama lebih
mendalam lagi serta paman dan bibinya tidak ingin Sara sampai terjerumus dalam
pergaulan bebas yang memang sangat rawan di usia Sara saat ini. Ternyata,
keinginan paman dan bibinya sangat tidak diinginkan Sara. Sara tidak ingin tinggal
di pesantren, tapi Sara tidak bisa menolak keinginan paman dan bibinya. Dari
situlah Sara memiliki perasaan aversi (ketidaksukarelaan) dalam dirinya, Sara
tidak mengiginkan tetapi Sara pun tidak bisa menolaknya. Hal ini membuat Sara
banyak melakukan penyimpangan, seperti tidak pernah mau mengikuti kegiatan di
pesantren, Sara lebih sering berdiam diri, lebih banyak menghabiskan waktunya di
sekolah jadi sering pulang telat, hubungan dengan paman dan bibinya pun menjadi
tidak baik.
Gejala yang ada pada diri ketiga remaja ini, akan berdampak sangat
merugikan bagi dirinya sendiri. Perasaan aversi (ketidaksukarelaan) itu sangat
masalahnya dan akan mencari pelampiasan untuk perasaannya itu. Pelampiasan
itulah yang akan menimbulkan perilaku yang menyimpang. Perilaku menyimpang
yang dilakukannya adalah wujud pemberontakan para remaja karena adanya
perasaan aversi dalam dirinya. Banyak sekali remaja yang tidak meyadari bahwa
ini akan menjadi masalah yang besar jika tidak cepat-cepat diselesaikan dan
kebanyakan remaja tidak peduli akan masalah yang dihadapinya karena merasa
sudah tidak ada yang bisa dilakukannya lagi.
Berangkat dari masalah diatas, penulis termotivasi untuk mengangkat
penelitian dengan judul “Terapi Realitas dengan Teknik Sindiran dalam
Menangani Perasaan Aversi (Ketidaksukarelaan) di Kecamatan Rungkut
Surabaya”.
B.Rumusan Masalah
1. Faktor-faktor apa saja yang menyebabkan timbulnya perasaan aversi
(ketidaksukarelaan) di Kecamatan Rungkut Surabaya?
2. Bagaimana proses terapi realitas dengan teknik sindiran dalam menangani
perasaan aversi (ketidaksukarelaan) di Kecamatan Rungkut Surabaya?
3. Bagaimana hasil terapi realitas dengan teknik sindiran dalam menangani
perasaan aversi (ketidaksukarelaan) di Kecamatan Rungkut Surabaya?
C.Tujuan Penelitian
1. Mengetahui faktor-faktor yag menyebabkan timbulnya perasaan aversi
2. Mengetahui proses terapi realitas dengan teknik sindiran dalam manangani
perasaan aversi (ketidaksukarelaan) di Kecamatan Rungkut Surabaya
3. Mengetahui hasil terapi Realitas dengan teknik sindiran dalam menangani
perasaan aversi (ketidaksukarelaan) di Kecamatan Rungkut Surabaya
D.Manfaat Penelitian
Dengan adanya penelitian ini, agar dapat menjadi catatan akademis yang
ilmiah maka peneliti berharap dapat muncul pemanfaatan dari hasil penelitian ini
secara teoritis dan praktis bagi para pembacanya, anatara lain sebagai berikut:
1. Manfaat Teoritis
a. Dengan tersusunnya penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan
ilmu bagi peneliti lain bagaimana menangani perasaan aversi.
b. Sebagai sumber informasi dan referensi menagani perasaan aversi.
2. Manfaat Praktis
Bagi konselor, hasil dari penelitian ini diharapkan dapat dijadikan
sebagai salah satu teknik pendekatan yang efektif dalam menangani perasaan
aversi (ketidaksukarelaan).
E.Definisi Konsep
Adapun definisi dari penelitian ini adalah:
1. Terapi Realitas
Terapi realitas berfokus pada saat sekarang, bukan kepada masa lampau.
Karena masa lampau seseorang itu telah tetap dan tidak bisa diubah, maka yang
menekankan kekuatan-kekuatan, potensi-potensi, keberhasilan-keberhasilan,
dan kualitas-kualitas yang positif dari klien, dan tidak hanya memperhatikan
kemalangan dan gejala-gejalanya. Glasser (1965) berpendapat bahwa klien
dipandang sebagai “ pribadi dengan potensi yang luas, bukan hanya sebagai
pasien yang memiliki masalah-masalah”. Ia menentang penggunaan waktu
terapi untuk penyajian masalah-masalah dan kegagalan-kegagalan serta
menganjurkan agar terapis mencari kekuatan-kekuatan klien dan
menegaskannya dalam percakapan-percakapan.4
Terapi realitas bertitik-tolak pada paham dasar bahwa manusia memilh
perilakunya sendiri dan karena itu ia bertanggung jawab, bukan hanya terhadap
apa yang ia lakukan, tetapi juga terhadap apa yang ia pikir. Maka terapi realitas
bertujuan untuk memberikan kemungkinan dan kesempatan kepada pasien agar
ia bisa mengembangkan kekuatan-kekuatan psikis yang dimilikinya untuk
menilai perilakunya sekarang dan apabila perilakunya tidak dapat memenuhi
kebutuhan-kebutuhannya, maka perlu memperoleh perilaku baru yang lebih
efektif.
Tujuan umun dari terapi realitas adalah agar pasien menemukan jalan
yang lebih efektif untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhannya. Ini meliputi
kegiatan terhadap pasien agar memeriksa apa yang ia lakukan, apa yang ia
pikir, apa yang ia rasakan, untuk menunjukkan apakah ada jalan lain yang dapat
berfungsi lebih baik.5
Pada penelitian ini, peneliti mengonfrontasikan konseli dan menolak
alasan apapun dari konseli. Dengan begitu konseli akan lebih memahami
masalah yang dihadapinya dan bisa menerima kenyataan tentang keadaannya
saat ini. Dengan begitu, sedikit demi sedikit perasaan aversi (ketidaksukarelaan)
akan hilang dalam dirinya. Dan konseli akan lebih bisa menerima kenyataan
yang terbaik untuk dirinya serta konseli akan tidak akan merasakan aversi lagi
dan perasaan itu akan berubah menjadi perasaan senang dan ikhlas. Tidak
hanya itu, nantinya peneliti juga akan melibatkan diri dengan konseli dalam
upayanya mencari kehidupan yang lebih efektif. Seorang konselor nantinya
akan melibatkan diri dengan konseli dalam mencari kehidupan konseli yang
lebih baik lagi. Konseli tetap menentukan sendiri tindakan apa yang mereka
inginkan setelah ini. Tetapi konselor tetap memberikan dukungan jika tindakan
yang konseli putuskan adalah tindakan yang positif dan jika tindakan yang
diambil tindaka yang berujung negatif, konselor akan memberikan
gambaran-gambaran tentang akibat keputusan yang diambilnya. Dengan begitu konseli
bisa berpikir tentang tindakan baik buruk yang diambilnya.
Teknik ini merupakan teknik dengan cara memeberikan sebuah
pernyataan dan pertanyaan kepada konseli pada saat proses konseling
berlangsung. Pernyataan dan pertanyaan yang dilontarkan kepada konseli ini
merupakan kata-kata yang akan membuat konseli sadar akan masalahnya dan
tindakan yang dilakukannya selama ini. Sehingga dapat menyadarkan konseli
dalam menghadapi masalah yang sedang dihadapi konseli.
2. Teknik Sindiran
Sindir-menyindir: mengatakan sesuatu seperti mencela, mengejek, dan
sebagainya, tetapi tidak secara langsung atau tidak dengan terus terang.6
Menggunakan teknik sindiran ini layak untuk mengonfrontasikan klien
dengan tingkah lakunya yang tidak realistis. Dengan menggunakan teknik
sindiran yang diucapkan secara langsung dan kasar. Agar sindiran yang
diucapkan tidak terdengar kasar, teknik sindiran menggunakan gaya bahasa
(majas).
3. Aversi
Aversi merupakan sikap atau perasaan tidak senang terhadap sesuatu
yang disertai dengan implus untuk menjauhkan diri.7 Aversi juga dapat
diartikan sikap terpaksa atau ketidaksukarelaan.
F. Metode Penelitian
1. Pendekatan dan Jenis Penelitian
Dalam penelitian ini menggunakan pedekatan kualitatif atau disebut
juga naturalistic. Dimana data yang diperoleh dinyatakan dalam keadaan yang
sebenarnya atau sebagaimana adanya, tanpa ada rekayasa atau manipulasi.
Dengan maksud dari penelitian kualitatif ini adalah proses penelitian yang
menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dan perilaku
yang diamati dari subyek yang diteliti, kemudian diarahkan pada suatu latar
belakang dan individu secara holistic.
Penelitian kualitatif adalah penelitian yang menghasilkan prosedur
analisis yang tidak menggunakan prosedur analisis statistic atau cara
kuantifikasi lainnya. Jelas bahwa pengertian ini mempertentangkan penelitian
kualitatif dengan penelitian yang bernuansa kuantitatif yaitu dengan
menonjolkan bahwa usaha kuantifikasi apapun tidak perlu digunakan pada
penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif didasarkan pada upaya membangun
pandangan mereka yang diteliti yang dirinci, dibentuk dengan kata- kata
gambaran holistic dan rumit. Definisi ini lebih melihat perspektif emik dalam
penelitian yaitu memandang sesuatu upaya membangun pandangan subjek
penelitian yang rinci, dibentuk dengan kata- kata, gambaran holistic dan rumit.8
Jadi didalam penelitian ini peneliti menggunakan metode kualitatif
dengan jenis studi kasus dimana peneliti mengumpulkan data yang erat
hubungannya dengan proses pelaksanaan konseling dengan terapi realitas
dalam menangani perasaan aversi di Kecamatan Rungkut. Data yang terkumpul
dalam penelitian ini berupa kata-kata dan bukan angka-angka. Serta memahami
fenomena yang diteliti secara terinci, mendalam dan menyeluruh dari hasil
lapangan.
2. Subjek Penelitian
Dalam penelitian ini terdapat tiga subjek yang penulis teliti,
diantaranya:
a. Konseli
Dalam penelitian ini, konselor mengambil tiga konseli yang berjenis
kelamin perempuan, ketiga konseli adalah sebagai berikut:
1) Konseli Tina
Tina adalah seorang mahasiswa di salah satu universitas di
Surabaya. Tina adalah anak ke-2 dari 2 bersaudara. Tina memiliki
perasaan aversi (ketidaksukarelaan) dalam dirinya. Karena orang tuaya
memaksa untuk kuliah di Universitas yang tidak Tina senangi dankarena
perasaan yang tidak meyenangkan itu ada dalam diri Tina, kini Tina
sangat berubah. Tina sering sekali membolos kuliah, tidak pernah
mengerjakan tugas dari dosennya, lebih mementingkan kegiatan
organisasi yang diikutinya untuk melampiaskan perasaan aversinya
2) Konseli Dela
Dela adalah seorang mahasiswa di salah satu universitas di
Surabaya dan juga merupakan karyawan swasta di salah satu perusahaan
di Surabaya. Dela adalah anak ke-2 dari 2 bersaudara. Karena perbedaan
pendapat dengan orang tuanya, kini Dela memiliki perasaan aversi dalam
dirinya. Dela sering menyendiri di kamar, jika bekerja Dela sangat tidak
fokus dan sering melakukan kesalahan dalam bekerja. Kuliah Dela kini
pun terbengkalai, Dela jarang kuliah. Dela pun sering menghabiskan
waktunya di luar rumah. Hubungan dengan orang tuanya pun sangat
renggang.
3) Konseli Sara
Sara adalah seorang pelajar di salah satu sekolah menengah atas di
Surabaya. Sara tinggal di Surabaya bersama paman dan bibinya, orang tua
Sara tinggal di Jawa Tengah. Sara merupakan anak pertama dari 2
bersaudara. Semenjak tinggal di pesantren, Sara memiliki perasaan aversi.
Sara memang tidak ingin tinggal di pesantren, oleh karena itu untuk
melampiaskan ketidaksukarelaannya itu Sara tidak mau mengikuti
kegiatan di pesantrennya. Sara sering menyendiri, acuh tak acuh kepada
lingkungannya. Sara lebih memilih di hukum dari pada harus mengikuti
kegiatan di pesantren. Sara juga sering pulang terlambat karena Sara lebih
banyak menghabiskan waktu di sekolah. Sara juga menjadi benci kepada
b. Konselor
Konselor adalah seorang mahasiswa UIN Sunan Ampel Surabaya
Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi Prodi Bimbingan Konseling Islam
c. Informan
Informan dalam penelitan ini adalah orang tua konseli dan sahabat
terdekat konseli. Dan lokasi penelitian, berada di Kecamatan Rungkut
Surabaya.
3. Jenis dan Sumber Data
Yang dimaksud dengan sumber data dalam penelitian ini adalah subyek
dari mana ia peroleh.
a. Jenis Data dalam penelitian ini adalah:
1.)Data primer adalah data yang diperoleh secara langsung pada saat
penelitian dari sumber pertama sebagai sumber informasi yang dicari.
Yang mana dalam hal ini diperoleh dari deskripsi tentang latar belakang
dan masalah konseli, pelaksanaan proses konseling, serta hasil akhir
pelaksanaan konseling.
2.)Data sekunder adalah data yang diperoleh tidak langsung dari subyek
penelitian atau diperoleh lewat pihak lain. Diperoleh dari keadaan
b. Sumber Data
Untuk menghasilkan data yang akurat perlu adanya sumber data yang
tepat, dalam penelitian ini adalah informasi konseli yang bersangkutan yang
menggambarkan perasaan aversi. Adapun sumber data dalam suatu
penelitian terdiri dari dua sumber yaitu:
1) Sumber data primer adalah sumber data yang langsung memberikan data
kepada pengumpulan data. Yakni informasi dari konseli dan peneliti yang
melakukan konseling.
2) Sumber data sekunder adalah sumber data yang tidak langsung diperoleh
datanya dari informan. Dalam hal ini, peneliti memperoleh informasi dari
orang tua dan sahabat terdekatnya.
4. Tahap-Tahap Penelitian
Tahap- tahap penelitian terdiri atas:
a. Tahap Pralapangan
Dalam tahap ini langkah-langkah yang akan peneliti lakukan adalah:
1) Menyusun Rancangan Penelitian
Rancangan penelitian terdiri dari latar belakang masalah, kajian
pustaka, pemilihan lapangan penelitian, penentuan jadwal penelitian,
pemilihan alat penelitian, rancangan pengumpulan data, rancangan
prosedur analisis data, rancangan perlengkapan (yang diperlukan dalam
2) Memilih Lapangan Penelitian
Setelah mengamati fenomena yang ada, peneliti mengambil
penelitian di Kecamatan Rungkut Surabaya.
3) Mengurus Perizinan
Setelah memilih lapangan penelitian, peneliti mengurus perizinan
sebagai bentuk birokasi dalam penelitian. Selain itu harus mengetahui
siapa saja yang berwenang untuk memberikan izin agar penelitian tidak
mengalami gangguan dan berjalan dengan lancar.
4) Menjajaki Dan Menilai Keadaan Lapangan
Peneliti berusaha mengenal segala unsur lingkungan sosial, fisik
dan keadaan alam serta menyiapkan perlengakapan yang diperlukan di
lapangan, kemudian peneliti mulai mengumpulkan data yang ada di
lapangan.
5) Memilih dan Memanfaatkan Informan
Informan adalah orang yang dimanfaatkan untuk memberikan
informasi tentang situasi dan kondisi latar penelitian. Informan yang
dipilih dengan kebaikannya dan atas dasar sukarela. Seorang informan
dapat memberikan pandangan dari segi orang dalam tentang nilai-nilai,
sikap, sifat, proses dan kebudayaan yang menjadi latar penelitian
setempat. Informan dalam penelitian ini adalah orang tua dan sahabat
6) Menyiapkan Perlengkapan Penelitian
Peneliti menyiapkan pedoman wawancara, alat tulis, map, buku,
perlengkapan fisik, izin penelitian, dan semua yang berhubungan dengan
penelitian yang bertujuan untuk mendapatkan deskripsi data lapangan dan
juga bertujuan untuk memperoleh deskripsi data secara global mengenai
obyek penelitian.
7) Persoalan Etika Penelitian
Etika penelitian pada dasarnya menyangkut hubungan peneliti
dengan subjek penelitian baik secara perorangan maupun kelompok. Oleh
sebab itu peneliti harus mengetahui kebudayaan, adat istiadat, bahasa dan
kebiasaan tempat yang dijadikan penelitian.9
b. Tahap Pekerjaan Lapangan
1) Memahami Latar Penelitian
Untuk memasuki lapangan, peneliti perlu memahami latar
penelitian terlebih dahulu. Disamping itu, juga mempersiapkan diri baik
fisik maupun mentalagar penelitian berjalan dengan lancar dan efektif.
2) Memasuki Lapangan
Hal yang perlu diperhatikan saat memasuki lapangan adalah
menjalin hubungan keakraban dengan subyek penelitian dan informan.
Sehingga akan memudahkan peneliti untuk mendapatkan data. Disamping
itu juga harus mampu menggunakan bahasa yang mudah dipahami supaya
memudahkan dalam menjalin keakraban.
3) Berperan serta Sambil Mengumpulkan Data
Mengumpulkan data melalui wawancara mendalam dengan
menggunakan panduan yang bersifat terbuka, melakukan analisis hasil
wawancara, setiap hasil wawancara akan dikonfirmasikan ulang pada
tujuan penelitian, diadakan review terhadap hasil sementara untuk dikaji
mana yang akan dipertajam atau ditemukan suatu fenomena yang baru
atau berubah dari yang diharapkan.
c. Tahap Analisi Data
Analisis data diartikan sebagai upaya mengolah data menjadi
informasi, sehingga karakteristik atau sifat-sifat data tersebut dapat
dengan mudah dipahami dan bermanfaat untuk menjawab
masalah-masalah yang berkaitan dengan kegiatan penelitian.
Peneliti menganalisis data yang telah dilakukan dalam suatu
proses yang berarti pelaksanaanya sudah mulai dilakukan sejak
pengumpulan data yang dilakukan dan dikerjakan secara intensif.
Teknik analisa yang digunakan peneliti dalam penelitian ini
adalah analisis deskriptif yaitu dengan cara mendeskripsikan beberapa
data dan menguraikan hasil dari pengumpulan data yaitu tentang perasaan
5. Teknik Pengumpulan Data
Salah satu tahap penting dalam proses penelitian adalah kegiatan
pengumpulan data. Dalam penelitian ini peneliti menggunakan teknik
pengumpulan data dengan menggunakan beberapa teknik, diantaranya:
a. Observasi
Observasi atau pengamatan adalah kegiatan keseharian manusia
dengan menggunakan panca indra mata sebagai alat bantu utamanya selain
panca indra lainnya seperti telinga, penciuman, mulut, dan kulit. Karena itu,
observasi adalah kemampuan seseorang untuk menggunakan pengamatannya
melalui hasil kerja panca indera mata serta dibantu dengan panca indera
lainnya. Dari pemahaman observasi diatas, sesungguhnya yang dimaksud
dengan metode observasi adalah metode pengumpulan data yang digunakan
untuk menghimpun data penelitian melalui pengamatan dan penginderaan.10
Dalam penelitian ini, peneliti akan memperhatikan dan mencatat
fenomena yang muncul ketika bersama subyek. Fenomena tersebut meliputi
motif, kepercayaan, perhatian, perilaku, kebiasaan, dan sebagainya pada diri
subyek selaku responden ini. Selain perilaku subyek, peneliti juga
melakukan observasi dengan melihat dan memperhatikan lokasi penelitian
daerah sekitar serta suasana yang melingkupinya.
b. Wawancara
Wawancara yang juga disebut interview merupakan pengumpulan
data melalui Tanya jawab sepihak yang dikerjakan secara sistematis.
Wawancara yang mendalam dan terbuka yang perlu dilakukan oleh peneliti.
Peneliti berusaha mendapatkan informasi tentang berbagai isu atau
permasalahan yang ada pada obyek.
Wawancara adalah merupakan pertemuan dua orang untuk bertukar
informasi dan ide melalui tanya jawab, sehingga dapat dikonstruksikan
[image:33.612.139.533.212.597.2]makna dalam suatu topik tertentu.11
Tabel 1.1
Jenis Data, Sumber Data dan Teknik Pengumpulan Data
No. Jenis Data Sumber Data TPD
1. Gambaran tentang lokasi Penelitian
Konselor +
Informan W + O
2. Deskripsi tentang siswa dan
masalah Konselor + Konseli W + O
3. Deskripsi Konselor Konselor O
4. Proses Konseling Konselor + Konseli W
5. Hasil dari Proses Konseling Konselor + Konseli O + W
Keterangan:
TPD : Teknik Pengumpulan Data O : Observasi
W : Wawancara
6. Teknik Analisis Data
Analisis data adalah proses mencari dan menyusun secara sistematis
data yang diperoleh dari hasil wawancara, catatan lapangan, dan bahan-bahan
lain, sehingga dapat mudah difahami, dan temuannya dapat diinformasikan
kepada orang lain. Analisis data dilakukan dengan cara mengorganisasikan
data, menjabarkan kedalam unit-unit, melakukan sintesa, menyusun kedalam
pola, memilih mana yang penting dan yang akan dipelajari, dan membuat
kesimpulan yang dapat diceritakan kepada orang lain.12
Analisis yang dilakukan adalah teknik analisis deskriptif komparatif
yaitu setelah data terkumpul dan diolah maka selanjutnya menganalisis data
tersebut. Analisis yang digunakan untuk mengetahui faktor faktor yang
menyebabkan perasaan aversi, proses dan hasil konseling terapi realitas dengan
teknik sindiran dalam menangani perasaan aversi, dan membandingkan kondisi
konseli sebelum dan sesudah dilaksanakan proses konseling.
7. Teknik Pemeriksaan Keabsahan Data
Agar penelitian bisa menjadi sebuah penelitian yang dipertanggung
jawabkan, maka peneliti perlu untuk mengadakan pemikiran keabsahan data,
yaitu:
a. Perpanjangan keikutsertaan
Perpanjangan keikutsertaan yaitu lamanya keikutsertaan peneliti pada
penlitian dalam pengumpulan data serta meningkatkan kepercayaan data
yang dilakukan dalam kurun waktu yang relatif panjang.
Yang dimaksud disini keikutsertaan yaitu untuk membangun
kepercayaan klien terhadapa peneliti agar mendapatkan data-data yang valid.
b. Ketekunan pengamatan
Ketekunan pengamatan bermaksud menemukan ciri-ciri atau
unsur-unsur dalam situasi yang sangat relevan dengan persoalan atau isu yang
sedang dicari dan kemudian memusatkan diri pada hal-hal tersebut secara
rinci. Ketekunan pengamatan diharapkan sebagai upaya untuk memahami
pokok perilaku, situasi kondisi, dan proses tertentu sebagai pokok penelitian.
Oleh karena itu, ketekunan pengamatan merupakan bagian penting dalam
pemeriksaan keabsahan data, maka peneliti akan melakukan pengamatan
dengan teliti, memahami dan mampu menelaah terhadap proses konseling
c. Trianggulasi
Dalam teknik pengumpulan data, trianggulasi diartikan sebagai
teknik pengumpulan data yang besifat menggabungkan dari beberapa teknik
pengumpulan data dan sumber data yang telah ada.13 Bila peneliti melakukan
pengumpulan data dengan trianggulasi, maka sebenarnya peneliti
mengumpulkan data yang sekaligus menguji kebenaran data, yaitu mengecek
kembali data dengan berbagai teknik pengumpulan data dan berbagai sumber
data.
G.Sistematika Pembahasan
Dalam pembahasan skripsi ini, peneliti akan mencantumkan sistematika
pembahasannya sebagai berikut:
BAB I PENDAHULUAN
Yang berisi tentang: latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan
penelitian, manfaat penelitian, definisi konsep, metode penelitian. Dalam metode
penelitian meliputi: pendekatan dan jenis penelitian, sasaran dan lokasi penelitian,
jenis dan sumber data, tahap-tahap penelitian,teknik pengumpulan data,teknik
analisis data, teknik pemeriksaan keabsahan data, dan yang terakhir yaitu
sistematika pembahasan.
BAB II KAJIAN PUSTAKA
Membahas tentang Terapi Realitas, terdiri dari: sejarah terapi realitas,
pengertian terapi realitas, konsep-konsep utama terapi realitas,tujuan terapi
realitas,fungsi dan peran konselor dalam terapi realitas, hubungan antara terapis
dan klien dalam terapi realitas, teknik-teknik terapi realitas. Teknik Sindiran terdiri
dari: pengertian teknik sindiran, macam-macam teknik sindiran dengan gaya
bahasa (majas). Perasaan Aversi terdiri dari: pengertian perasaan, pengertian
aversi, faktor-faktor aversi.
BAB IIIPENYAJIAN DATA
Terdiri dari deskripsi umum objek penelitian. Deskriptif umum objek
penelitian membahas tentang: deskripsi lokasi penelitian, deskripsi konselor,
deskripsi klien, deskripsi masalah, dan selanjutnya yaitu tentang deskripsi hasil
penelitian yang berisi: deskripsi faktor-faktor yang menyebabkan timbulnya
perasaan aversi (ketidaksukarelaan), deskripsi proses terapi realitas dengan teknik
sindiran dalam menangani perasaan aversi, deskripsi hasil terapi realitas dengan
teknik sindiran dalam menangani perasaan aversi (ketidaksukarelaan).
BAB IVANALISIS DATA
Yang mana analisis data dari faktor-faktor yang menyebabkan timbulnya
perasaan aversi (ketidaksukarelaan), prosesTerapi Realitas Dengan Teknik
Sindiran Dalam Menangani Perasaan Aversi (Ketidaksukarelaan) sehingga akan
diperoleh hasil konseling terapi realitas dengan teknik sindiran dapat menangani
A.Kajian Teoritik
1. Terapi Realitas
a. Sejarah Terapi Realitas
William Glasser adalah psikiater yang mengembangkan konseling realitas
(reality therapy) pada 1950-an. Menurut Colvin pengembangan konseling realitas ini
karena merasa tidak puas dengan prati psikiatri yang ada dan dia mempertanyakan
dasar-dasar keyakinan terapi yang berorientasi pada Freudian, karena hasilnya terasa
tidak memuaskan.
Glasser dilahirkan pada 1925 dan dibesarkan di Clavelend, Ohio. Pada
mulanya Glasser studi bidang teknik kimia pada Case Institute of Technology. Pada
usia 19 tahun Glasser dilaporkan sebagai penderita Shyness (rasa malu) yang akut.
Pada perkembangan selanjutnya Glasser tertarik studi psikologi, kemudian
dia mengambil program Psikologi Klinis pada Western Reserve University, dan
membutuhkan waktu tiga tahun untuk meraih Ph.D. Akhirnya Glasser menekuni
profesinya dengan menetapkan diri menjadi sebagai psikiater.
Setelah beberapa waktu melakukan praktik pribadi di bidang klinis, Glasser
mendapatkan kepercayaan diri California Youth Authority sebagai kepala psikiater
di Ventura School for Girl. Mulai saat itulah Glasser melakukan eksperimen tentang
prinsip dan teknik reality therapy. Dari kerja kerasnya sebagai psikiater, Glasser
menulis buku dan mempublikasikan karya tulisannya, diantaranya (1) Mental Health
or Mental Illness?, (2) Reality Therapy: School without Failure, dan (3) Identity
Society.
mengembangkan program-program untuk mencegah kegagalan sekolah. Banyak
pihak yang dilatih lembaganya ini, antara lain: perawat, pengacara, dokter, polisi,
psikolog, pekerja sosial, dan guru.
Teori yang dikembangkan Glasser ini dengan cepat memperoleh popularitas
dikalangan konselor, baik untuk kasus individual maupun kelompok dalam berbagai
bidang, misalnya sekolah lembaga kesehatan mental maupun petugas-petugas sosial
lain. Banyak hal yang psitif dari teori konseling realitas ini, misalnya mudah
dimengerti, non teknis, didasarkan atas pengetahuan masyarakat, efisien waktu,
sumber daya dan usaha-usaha yang dilakukan konselor.1
b. Pengertian Terapi Realitas
Terapi realitas adalah suatu sistem yang difokuskan pada tingkah laku
sekarang. Terapis berfungsi sebagai guru dan model serta mengonfrontasikan klien
dengan cara-cara yang bisa membantu klien menghadapi kenyataan dan memenuhi
kebutuhan-kebutuhan dasar tanpa merugikan dirinya sendiri ataupun orang lain. Iti
terapi realitas adalah penerimaan tanggung jawab pribadi yang dipersamakan dengan
kesehatan mental. Glasser mengembangkan terapi realitas dari keyakinan bahwa
psikiatri konvensional sebagian besar berlandaskan asumsi-asumsi yang keliru.
Terapi realitas, yang menguraikan prinsip-prinsip dan prosedur-prosedur yang
masyarakat.
Terapi realitas adalah suatu bentuk modifikasi tingkah laku karena, dalam
penerapan-penerapan institusionalnya, merupakan tipe pengondisian operan yang
tidak ketat. Menurut hemat penulis, salah satu sebab mengapa Glasser meraih
popularitas adalah keberhasilannya dalam menerjemahkan sejumlah konsep
modifikasi tingkah laku ke dalam model praktek yang relatif sederhana dan tidak
berbelit-belit.2
c. Konsep-Konsep Utama Terapi Realitas
1) Pandangan Tentang Sifat Manusia
Terapi realitas berlandaskan premis bahwa ada suatu kebutuhan psikologis
tunggal yang hadir sepanjang hidup, yaitu kebutuhan akan identitas yang
mencakup suatu kebutuhan untuk merasakan keunikan, keterpisahan, dan
ketersendirian. Kebutuhan akan identitas menyebabkan dinamika-dinamika
tingkah laku, dipandang sebagai universal pada semua kebudayaan.
Identitas merupakan cara seseorang melihat dirinya sendiri sebagai
manusia dalam hubungannya dengan orang lain dan dunia luarnya. Setiap orang
mengembangkan gambaran identitasnya (identity imange) berdasarkan atas
pemenuhan kebutuhan psikologisnya. Anak yang berhasil menemukan
kebutuhannya, yaitu terpenuhinya kebutuhan cinta dan perhargaan akan
mengembangkan gambaran diri sendiri orang yang berhasil yang membentuk
identitasnya dengan (success identity) sebaliknya jika anak yang gagal
2
Menurut Glasser & Wubbolding di dalam terapi realitas disebutkan bahwa
pembelajaran manusia adalah proses seumur hidup yang berdasarkan pada
pilihan. Jika individu tidak belajar sesuatu di awal kehidupan, seperti bagaimana
cara berhubungan dengan orang lain, dia dapat memilih untuk mempelajarinya
nanti. Pada prosesnya dia dapat mengubah identitas dan caranya berperilaku.
Pandangan tentang manusia mencakup pernyataan bahwa suatu “kekuatan
pertumbuhan” mendorong kita untuk berusaha mencapai suatu identitas
keberhasilan. Sebagaimana dinyatakan oleh Glasser dan Zunin, “Kami percaya
bahwa masing-masing individu memiliki suatu kekuatan ke arah kesehatan atau
pertumbuhan. Pada dasarnya orang-orang ingin puas hati dan menikmati suatu
identitas keberhasilan, menunjukkan tingkah laku yang bertanggung jawab dan
memiliki hubungan interpersonal yang penuh makna”. Penderitaan pribadi bisa
diubah hanya dengan perubahan identitas. Pandangan terapi realitas menyatakan
bahwa, karena individu-individu bisa mengubah cara hidup, perasaan, dan
tingkah lakunya, maka mereka pun bisa mengubah identitasnya. Perubahan
identitas bergantung pada perubahan tingkah laku.
Maka jelaslah bahwa terapi realitas tidak berpijak pada filsafat
deterministic tentang manusia, tetapi dibangun di atas asumsi bahwa manusia
adalah agen yang menentukan dirinya sendiri. Prinsip ini menyiratkan bahwa
konsekuensi-Reality Therapy pada dasarnya tidak mengatakan bahwa perilaku individu
itu sebagai perilaku yang abnormal. Konsep perilaku menurut konseling realitas
lebih dihubungkan dengan berperilaku yang tepat atau berperilaku tidak tepat.
Menurut Glasser, individu yang berperilaku tidak tepat itu disebabkan oleh
ketidakmampuannya dalam memuaskan kebutuhannya, akhirnya kehilangan
“sentuhan” denga realitas objektif, dia tidak dapat melihat sesuatu sesuai dengan
realitasnya, tidak dapat melakukan atas dasar kebenaran, tanggung jawab, dan
realitas.
Meskipun konseling realitas tidak menghubungkan perilaku manusia
dengan abnormalitas, perilaku bermasalah dapat disepadankan dengan istilah
yang dikemukakakn Glasser yaitu identitas kegagalan. Identitas kegagalan itu
ditandai dengan keterasingan, penolakan diri dan irrasionalitas, perilakunya kaku,
tidak objektif, lemah, tidak bertanggung jawab, kurang percaya diri dan menolak
kenyataan. 4
3) Ciri-Ciri Terapi Realitas
Sekurang-kurangnya ada delapan ciri yang menentukan terapi realitas
sebagai berikut:
(a)Terapi realitas menolak konsep tentang penyakit mental. Ia berasumsi bahwa
bentu-bentuk gangguan tingkah laku yang spesifik adalah akibat dari
ketidakbertanggungjawaban. Pendekatan ini tidak berurusan dengan
diagnosis-diagnosis psikologis. Ia mempersamakan gangguan mental dengan tingkah
3
peraaan dan sikap-sikap. Meskipun tidak menganggap perasaan-perasaan dan
sikap-sikap itu tidak penting, terapi realitas menekankan kesadaran atas
tingkah laku sekarang. Terapis realitas juga tidak bergantung pada pemahaman
untuk mengubah sikap-sikap, tetapi menekankan bahwa perubahan sikap
mengikuti perubahan tingkah laku.
(c)Terapi realitas berfokus pada saat seakrang, bukan kepada masa lampau.
Karena masa lampau seseorang itu telah tetap dan tidak bisa diubah, maka
yang bisa diubah hanyalah saat sekarang dan masa yang akan datang.
Kalaupun didiskusian daam terapi, masa lampau selalu dikaitkan dengan
tingkah laku klien sekarang. Terapis terbuka untuk mengeksplorasi segenap
aspek dari kehidupan klien sekarang, mencakup harapan-harapan,
ketakutan-ketakutan, dan nilai-nilainya.
(d)Terapi realitas menekankan pertimbangan-pertimbangan nilai. Terapi realitas
menempatkan pokok kepentingannya pada peran klien dalam menilai kualitas
tingkah lakunya sendiri dalam menentukan apa yang membantu kegagalam
yang dialaminya. Terapi ini beranggapan bahwa perubahan mustahil terjadi
tanpa melihat pada tingkah laku dan membuat beberapa ketentuan mengenai
sifat-sifat konstruktif dan destruktifnya. Jika para klien menjadi sadar bahwa
mereka tidak akan memperoleh apa yang mereka inginkan dan bahwa tingkah
laku mereka merusak diri, maka ada kemungkinan yang nyata untuk terjadinya
perubahan positif, semata-mata karena mereka menetapkan bahwa
pribadi. Terapi realitas menghimbau agar para terapismenempuh cara
beradanya yang sejati, yakni bahwa mereka menjadi diri sendiri, tidak
memainkan peran sebagai ayah atau ibu klien. Glasser menyatakan bahwa para
klien tidak mencari suatu pengulangan keterlibatan di masa lampau yang tidak
berhasil, tetapi mencari suatu keterlibatan manusiawi yang memuaskan dengan
orang lain dalam keberadaan mereka sekarang. Terapis bisa menjadi orang
yang membantu para klien dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan mereka
sekarang dengan membangun suatu hubungan yang personal dan tulus.
(f)Terapi realitas menekankan aspek-aspek kesadaran, bukan aspek-aspek
ketaksadaran. Teori psikoanalistik, yang berasumsi bahwa pemahaman dan
kesadaran atas proses-proses ketaksadaran sebagai suatu prasyarat bagi
perubahan kepribadian, menekankan pengungkapan konflik-konflik tak sadar
melalui tekni-teknik seperti analisis transferensi, analisis mimpi,
asosiasi-asosiasi bebas, dan analisis resistensi. Sebaliknya, terapi realitas menekankan
kekeliruan yang dilakukan oleh klien, bagaimana tingkah laku klien sekarang
hingga dia tidak mendapatkan apa yang diingingkannya, dan bagaimana dia
bisa terlibat dalam suatu rencana bagi tingkah laku yang bertanggung jawab
dan realistis.
(g)Terapi realistis menghapus hukuman. Glasser mengingatkan bahwa pemberian
hukuman guna mengubah tingkah laku tidak efektif dan bahwa hukuman
untuk kegagalam melaksanakan rencana-rencana mengakibatkan perkuatan
mengalami konsekuensi-konsekuensi yang wajar dari tingkah lakunya.
(h)Terapi realitas menekankan tanggung jawab, yang oleh Glasser didefinisikan
sebagai “kemampuan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan sendiri dan
melakukannya dengan cara tidak mengurangi kemampuan orang lain dalam
memenuhi kebutuhan-kebutuhan mereka”. Belajar tanggung jawab adalah
proses seumur hidup. Meskipun kita semua memiliki kebutuhan untuk
mencintai dan dicintai serta kebutuhan untuk memiliki rasa berguna, kita tidak
memiliki kemampuan bawaan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan itu.
Glasser menyatakan bahwa mengajarkan tanggung jawab adalah
konsep inti dalam terapi realitas. Jika kebanyakan hewan didorong oleh naluri,
manusia mengembangkan kemampuan untuk belajar dan mengajarkan
tanggung jawab. Oleh karenganya, terapi realitas menekankan fungsi terapis
sebagai pengajar. Terapis mengajari para klien cara-cara yang lebih baik dalam
memenuhi kebutuhan-kebutuhannya dengan mengeksplorasi
keistimewaan-keistimewaan dari kehidupan sehari-harinya dan kemudian membuat
pernyataan-pernyataan direktif dan saran-saran mengenai cara-cara
memecahkan masalah yang lebih efektif . terapi menjadi suatu pendidikan
khusus di mana rencana-rencana dibuat serta alat-alat yang realistik dan
bertanggung jawab untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan pribadi diuji.
d. Tujuan Terapi Realitas
Sama dengan kebanyakan sisitem psikoterapi, tujuan umum terapi realitas
mereka serta menggembangkan rencana-rencana yang bertanggung jawab dan
realistis guna mencapai tujuan-tujuan mereka. Terapi realitas membantu orang-orang
dalam menentukan dan memperjelas tujuan-tujuan mereka. Selanjutnya, ia
membantu mereka dalam menjelaskan cara-cara mereka menghambat kemajuan
kearah tujuan-tujuan yang ditentukan oleh meraka sendiri. Terapis membantu klien
menemukan alternatif-alternatif dalam mecapai tujuan-tujuan, tetapi klien sendiri
yang menetapkan tujuan-tujuan terapi.
Glasser dan Zuni sepakat bahwa terapis harus memiliki tujuan-tujuan tertentu
bagi klien dalam pikirannya. Akan tetapi, tujuan-tujuan itu harus diungkapkan dari
segi konsep tanggung jawab individual alih-alih dari segi tujuan-tujuan behavioral
karena klien harus menentukan tujuan-tujuan itu bagi dirinya sendiri. Mereka
menekankan bahwa criteria psikoterapi yang berhasil sangat bergantung pada
tujuan-tujuan yang ditentukan oleh klien. Meskipun tidak ada kriteria yang kaku
yang pencapaiannya menandai selesainya terapi kriteria umum mengenai pencapaian
tingkah laku yang bertanggung jawab dan pemenuhan tujuan-tujuan klien
menunjukkan bahwa klien mampu melaksanakan rencana-rencanaya secara mandiri
dan tidak perlu lagi diberi treatment.5
Tujuan utama dari terapi realitas adalah membantu klien menjadi rasional
dan memiliki mental yang kuat, serta menyadari bahwa dia mempunyai pilihan
dalam memperlakukan diri sendiri dan orang lain. Tujuan pertama ini berkaitan
dengan tujuan kedua: untuk membantu klien mengklarifikasi apa yang
5
273-lingkungan dan penghambatnya. Klien yang bertanggung jawab untuk memilih
perilaku yang memenuhi kebutuhan pribadi. Tujuan ketiga dari terapi realitas adalah
membantu klien merumuskan rencana yang realistis, untuk mencapai tujuan dan
harapan pribadi.
Terakhir, terapi realitas bertujuan untuk menghapus dukungan dan dalih dari
kehidupan klien. Seringkali, klien berdalih bahwa dia tidak dapat menjalankan
rencana karena takut terkena hukuman jika gagal, baik dari konselor maupun
orang-orang di lingkungan luar. Tetapi realitas membantu klien memformulasikan suatu
rencana baru, jika rencana yang lama tidak berjalan dengan baik.6
e. Fungsi dan Peran Konselor dalam Terapi Realitas
Tugas dasar terapis adalah melibatkan diri dengan klien dan kemudian
membuatnya menghadapi kenyataan. Glasser merasa bahwa, ketika terapis
menghadapi para klien, dia memaksa mereka itu untuk memutuskan apakah mereka
akan atau tidak akan menempuh “jalan yang bertanggung jawab”. Terapis tidak
membuat pertimbangan-pertimbangan nilai dan putusan-putusan bagi para klien,
sebab tindakan demikian akan menyingkirkan tanggung jawab yang mereka miliki.
Tugas terapis adalah bertindak sebagai pembimbing yag membantu klien agar bisa
menilai tingkah lakunya sendiri secara realistis.
Terapis diharapakan memberikan pujian apabila klien bertindak dengan cara
yang bertanggung jawab dan menunjukkan ketidaksetujuan apabila mereka tidak
bertindak demikian. Para klien membutuhkan tipe penilaian semacam itu, menurut
menciptakan kebahagiaannya sendiri dan bahwa kunci untuk menemukan
kebahagiaanadalah penerimaan tanggung jawab. Oleh karena itu, terapis tidak
menerima pengelakan atau pengabaian kenyataan, dan tidak pula menerima tindakan
klien menyalahkan apa pun atau siapa pun diluar dirinya atas ketidakbahagiaannya
pada saat sekarang. Tindakan yang demikian akan melibatkan klien dalam
“kenikmatan psikiatrik” yang segera akan hilang dan mengakibatkan penyesalan.
Fungsi penting lainnya dari terapis realitas adalah memasang batas-batas,
mencakup batas-batas dalam situasi terapeutik dan batas-batas yang ditempatkan
oleh kehidupan pada seesorang. Glasser dan Zunin menunjuk penyelenggaraan
kontrak sebagai suatu tipe pemasangan batas. Kontrak-kontrak, yang sering menjadi
bagian dari proses terapi, bisa mencakup pelaporan klien mengenai keberhasilan
maupun kegagalannya dalam pekerjaan di luar situasi terapi. Acap kali suatu kontrak
menetapkan suatu batas yang spesifik bagi lamanya terapi. Pada akhir waktu, terapi
bisa diakhiri, dan klien diperbolehkan menjaga dirinya sendiri. Sebagian klien
berfungsi lebih efektif apabila mereka menyadari bahwa banyaknya pertemuan
terapi dibatasi sampai jumlah tertentu.
Selain fungsi-fungsi dan tugas-tugas tersebut, kemampuan terapis untuk
terlibat dengan klien serta untuk melibatkan klien dalam proses terapeutik dianggap
paling utama. Fungsi ini sering kali sulit, terutama apabila klien tidak menginginkan
konseling atau apabila dia meminta “tolong” sekedar coba-coba. Glasser
menunjukkan bahwa terjadinya keterlibatan antara dua orang yang asing banyak
kemampuan dan kesediaan terapi untuk menuntut, namun peka; memenuhi
kebutuhan-kebutuhannya sendiri dalam kenyataan; secara terbuka berbagi
perjuangannya sendiri; bersikap pribadi dan tidak memelihara sikap menjauhkan
diri; membiarkan nilai-nilainya sendiri ditantang oleh klien; tidak menerima dalih
bagi penghindaran tindakan yang bertanggung jawab; menunjukkan keberanian
dengan secara sinambung menghadapi klien, tanpa mengindahkan penentangan dari
para klien apabila mereka tidak hidup secara realistis; memahami dan merasakan
simpati terhadap klien; dan membangun keterlibatan yang tulus dengan klien. 7
f. Hubungan antara Terapis dan Klien dalam Terapi Realitas
Sebelum terjadi yang efektif, keterlibatan antara terapis dank lien harus
berkembang. Para klien perlu mengetahui bahwa orang yang membantu mereka,
yakni terapis, menaruh perhatian yang cukup kepada mereka, menerima dan
membantu mereka dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan mereka di dunia nyata.
Berikut tinjauan ringkas atas prinsip-prinsip atau konsep-konsep yang spesifik yang
menyajikan kerangka bagi proses belajar yang terjadi sebagai hasil dari hubungan
antara terapi dan klien atau antara guru dan siswa, yang dikemukakan oleh Glasser
serta Glasser dan Zunin.
1. Terapi realitas berlandaskan hubungan atau keterlibatan pribadi antara terapis
dan klien. Terapis, dengan kehangatan penegertian, penerimaan, dan kepercayaan
atas kesanggupan klien untuk mengembangkan suatu identitas keberhasilan, harus
mengkomunikasikan bahwa dia menaruh perhatian. Melalui keterlibatan pribadi
7
274-penyalahan atau dalih-dalih dari klien.
2. Perencanaan adalah hal yang esensial dalam terapi realitas. Situasi terapeutik
tidak terbatas pada diskusi-diskusi antar terapis dan klien. Mereka harus
membentuk rencana-rencana yang, jika telah membentuk, harus dijalankan;
dalam terapi realitas tindakan adalah bagian yang esensial. Rencana-rencana
harus dibuat realistis dan ada dalam batas-batas motivasi dan
kesanggupan-kesanggupan masing-masing klien. Rencana-rencana bukanlah hal yang mutlak,
melainkan terutama merupakan cara-cara alternatif bagi klien untuk memecahkan
masalah-masalah dan untuk memperluas pengalaman-pengalaman hidup yang
penuh keberhasilan. Sejumlah besar rencana bisa diterapkan pada pemecahan
masalah. Jika suatu rencana tidak bisa terlaksanakan maka rencana tersebut harus
di evaluasi dan rencana-rencana lain bisa diajukan.
3. Komitmen adalah kunci utama terapi realitas. Setelah para klien membuat
pertimbangan-pertimbangan nilai mengenai tingkah laku mereka sendiri dan
memutuskan rencana-rencana tindakan, terapis membantu mereka dalam
membuat suatu komitmen untuk melaksanakan rencana-rencana itu dalam
kehidupan sehari-hari mereka. Pernyataan-pernyataan dan rencana-rencana tidak
ada artinya sebelum ada keputusan unuk melaksanaknnya. Oleh karena itu,
dengan menjalani rencana-rencana itu para klien diharapkan bisa memperoleh
rasa berguna.
cenderung menyingkirkan tanggung jawab pribadi. Selain itu, terapi realitas juga
tidak menggunakan diagnostik karena dianggap membuang waktu dan merusak
klien dengan menyematkan label pada dirinya. Teknik lain yang tidak digunakan
adalah: penafsiran, pemahaman, wawancara nondirektif, sikap diam berkepanjangan,
asosiasi bebas, analisis transferensi dan resistensi dan analisis mimpi.
Adapun fokus utama teknik realitas adalah mengembangkan kekuatan
potensi klien untuk mencapai keberhasilannya dalam hidup. Menurut Corey,
teknik-teknik yang dapat dilakukan berupa:
1. Terlibat dalam permainan peran dengan klien.
2. Menggunakan humor.
3. Mengonfrontasikan klien dan menolak alasan apapun dari klien.
4. Membantu klien merumuskan rencana tindakan secara spesifik.
5. Bertindak sebagai guru/model.
6. Memasang batas-batas dan menyusun situasi terapi.
7. Menggunakan terapi kejutan verbal atau sarkasme yang layak untuk
mengonfrontasikan dengan tingkah lakunya yang tidak realistis.
8. Melibatkan diri dengan klien untuk mencari kehidupan yang lebih efektif.
Pelaksanaan teknik tersebut dibuat tidak secara kaku. Hal ini disesuaikan
dengan karakteristik konselor dan klien yang menjalani terapi realitas. Jadi pada
2. Teknik Sindiran
a. Pengertian Teknik Sindiran
Pada dasarnya sindiran hendak menunjukkan kenyataan yang sebenarnya
merupakan kebalikan dari pada yang dikatakan. Oleh karena itu sesuatu baru
menjadi sindiran bila suatu kenyataan tampil cukup jelas, sehingga mengatakan yang
sebalikanya akan mempertajam kenyataan tersebut.
Sindiran ini tidak hanya menyiratkan kebalikan dari kenyataan, tetai juga
menegaskan absurditas. Anak yang malas belajar tidak cukup hanya dibilang bagus,
tetapi juga si anak malah mengira bisa jadi pintar dengan tidak belajar, suatu yang
tidak masuk akal.9
Dalam teknik sindiran ini, digunakan gaya bahasa seperti majas. Gaya bahasa
sindiran merupakan salah satu cara seseorang untuk mengungkapkan pikiran dan
perasaannya melalui bahasa dengan cara tidak langsung.
Gaya bahasa menurut Slamet Muljana adalah susunan perkataan yang terjadi
karena perasaan yang timbul atau hidup dalam hati penulis, yang menimbulkan suatu
perasaan tertentu dalam hati pembaca. Gaya bahasa disebut pula majas.10
Gaya bahasa seseorang pada saat mengungkapkan perasaannya, baik secara
lisan maupun tulisan dapat menimbulkan reaksi pembaca berupa tanggapan. Secara
8
Namora Lumongga Lubis, Memahami Dasar-Dasar Konseling Dalam Teori Dan Praktik, (Jakarta: Kencana, 2011), hal. 189.
9
Majas dapat digolongkan sebagai berikut:
1. Majas Penegasan
a. Inversi
Adalah kalimat yang predikatnya terletak di depan subjek.
Contoh: Besar sekali rumahnya.
b. Retoris
Adalah kalimat tanya tak bertanya, yang menyatakan kesangsian atau bersifat
mengejek.
Contoh: Itukah bukti janji yang engkau ucapkan?
c. Koreksio
Adalah membetulkan kembali ucapan yang salah, baik dengan sengaja atau
tidak.
Contoh: Dia baru saja makan, oh bukan, dia tidur.
d. Repetisi
Adalah pengulangan kata-kata dalam bahasa prosa.
Contoh: Kita telah merdeka, kita telah membangun, kita telah bahagia.
e. Paralelisme
Adalah pengulangan kata-kata untuk penegasan dalam bahasa puisi.
f. Enumerasio
Adalah melukiskan suatu peristiwa atau keadaan dengan cara menguraikan
Adalah gaya bahasa yang menguraikan suatu keadaan secara berturut-turut
makin lama makin memuncak.
Contoh: Sejak dari kecil sampai dewasa, malah sampai setua ini perangainya
tidak pernah berubah.
h. Anti klimaks
Adalah gaya bahasa yang menguraikan suatu keadaan secara berturut-turut