• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISA YURIDIS TERHADAP DISSENTING OPINION PADA PUTUSAN HAKIM MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA ARTIKEL. Oleh: AHMAD MAHMUL LUBIS

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "ANALISA YURIDIS TERHADAP DISSENTING OPINION PADA PUTUSAN HAKIM MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA ARTIKEL. Oleh: AHMAD MAHMUL LUBIS"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISA YURIDIS TERHADAP DISSENTING OPINION PADA

PUTUSAN HAKIM MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK

INDONESIA

ARTIKEL

Oleh:

AHMAD MAHMUL LUBIS

1310012111032

Program Kekhususan

Hukum Tata Negara

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS BUNG HATTA

PADANG

2017

(2)
(3)

ANALISA YURIDIS TERHADAP DISSENTING OPINION PADA PUTUSAN HAKIM MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA

Ahmad Mahmul Lubis1, Boy Yendra Tamin1, Sanidjar Pebrihariati R1

Program Studi Ilmu Hukum Universitas Bung Hatta Email: a.mahmul@yahoo.com

Eksistensi Mahkamah Konsitusi sebagai lembaga pemegang kekuasaan kehakiman yang independen, ditentukan di dalam Pasal 24 C Ayat (1) Undang–Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Dalam memutuskan suatu permohonan, jika tidak tercapai kata musyawarah maka putusan diambil melalui voting atau suara terbanyak. Hakim Konstitusi yang berbeda pendapat tetap dimuat dalam putusan yang sering disebut Dissenting Opinion. Rumusan Masalah dalam penelitian ini adalah: 1) Apakah aturan hukum yang dipergunakan dalam Dissenting Opinion putusan Hakim Mahkamah Konsitusi Republik Indonesia? 2) Bagaimanakah pemberlakuan Dissenting Opinion dalam putusan Hakim Mahkamah Konsitusi Republik Indonesia? Metode Penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif. Sumber Data yang digunakan adalah Data Sekunder, yaitu data yang diperoleh peneliti dari atau secara tidak langsung melalui perantara, seperti: Bahan Hukum Primer, Bahan Hukum Sekunder, Bahan Hukum Tersier. Data primer maupun data sekunder, dianalisa dengan analisa kualitatif. Adapun Kesimpulan dari Penelitian ini: 1) Aturan hukum yang dipergunakan dalam Dissenting Opinion Putusan Hakim Mahkamah Konsitusi Republik Indonesia adalah: Berdasarkan Pasal 32 Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 6 Tahun 2005, 2) Pemberlakuan Dissenting Opinion dalam putusan Hakim Mahkamah Konsitusi Republik Indonesia adalah : Dalam Pengujian Undang-Undang Nomor 50/PUU-XII/2014, dan dalam hal Pengujian Undang-Undang Nomor 43/PUU-XIII/2015, menyatakan : mengabulkan permohonan Pemohon seluruhnya, serta dalam hal Pengujian Undang-Undang Nomor 100/PUU-XII/2015 menyatakan: mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian, karena bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; dan tidak mempunyai kekuatan hukum, serta memerintahkan pemuatan Putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia.

Kata kunci: Dissenting Opinion, Hakim, Mahkamah Konstitusi,

A. Latar Belakang

Istilah konstitusi berasal dari bahasa Prancis (constituer) yang berarti membentuk. Pemakaiana istilah konstitusi yang dimaksudkan ialah pembentukan sutau

negara atau menyusun dan menyatakan suatu negara.

Sedangkan istilah Undang-Undang Dasar merupakan terjemahan istilah yang dalam bahasa Belandanya Gronwet. Perkataan wet diterjemahkan ke dalam

(4)

bahasa Indonesia Undang-Undang, dan grond berarti tanah/dasar.

Dinegara-negara yang menggunakan bahasa Inggiris sebagai bahasa Nasional, dipakai istilah Constitution yang dalam bahasa Indonesia disebut Konstitusi. Pengertian konstitusi, dalam praktik dapat berarti lebih luas daripada pengertian Undang-Undang Dasar.

Dalam bahasa Latin, kata konstitusi merupakan gabungan dari dua kata, yaitu cume dan stature. Cume adalah sebuah

preposisi yang berait “bersama dengan”.

Sedangkan statuere berasal dari kata sta yang membentuk kata kerja pokok stare yang berati berdiri. Atas dasar itu, kata statuere mempunyai arti “membuat sesuatu agar tunggal (constitutio) berati menetapkan sesuatu secara bersama-sama dan bentuk jamak (constitusiones) berati segala sesuatu yang telah ditetapkan.1

Konstitusi sebagai Undang–Undang Dasar dan hukum dasar yang mempunyai arti penting atau sering disebut dengan

“Konstitusi Modren”, baru muncul

bersamaan dengan semakin berkembangnya

“sistem demokrasi perwakilan dan konsep nasonalisme”. Demokrasi Perwakilan

muncul sebagai pemenuhan kebutuhan rakyat akan kehadiran lembaga legislatif. Lembaga ini diharapkan dapat memuat Undang–Undang untuk mengurangi serta membatasi dominasi hak–hak raja. Alasan inilah yang mendudukkan konstitusi (yang tertulis) itu sebagai hukum dasar yang lebih tinggi daripada raja, sekaligus terkandung

1

Dahlan Tahib, Jaszim Hamidi dan Ni’matul

Huda, 2013, Teori da Hukum Konstitusi, Rajawali Pers, Jakarta, hlm. 6-7

maksud memperkokoh Lembaga Perwakilan Rakyat.2

Dalam ketentuan Pasal 1 Undang– Undang Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan: Negara Indonesia ialah Negara Kesatuan yang berbentuk Republik. Bulan Mei Tahun 1998, terjadi reformasi, yang menginginkan adanya perubahan dalam ketatanegaraan. Desakan mahasiswa pada masa reformasi yang berkeinginan untuk mengubah Undang–Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, pada masa ini dapat dikatakan pemicu yang mempercepat terjadinya amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Perubahan Undang–Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 melahirkan bangunan kelembagaan negara yang satu sama lain saling melakukan kontrol (chek and balances) kesetaraan dan ketersediaan saling kontrol inilah prinsip dari sebuah negara demokrasi negara hukum.3

Salah satu materi muatan sebagai akibat amandemen terhadap Undang– Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ialah penegasan terhadap kekuasaan kehakiman sebagai kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Hal ini sesuai dengan ketentuan yang terdapat dalam Pasal 24 Ayat (1) Undang–Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, setelah Amandemen ke-Tiga yang menyatakan: Kekuasaan Kehakiman merupakan kekuasaan yang

2Ibid, hlm. 5

3 Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, 2004, Cetak Biru Membangun Mahkamah Konstitusi, hlm. 15

(5)

merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.

Konsekuensi dari penegasan konstitusi, seperti diatur dalam ketentuan Pasal 24 Ayat (2) Undang–Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan; Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan Peradilan Umum, lingkungan Peradilan Agama, lingkungan Peradilan Militer, lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.

Menurut Moh. Mahfud MD, yang menyatakan bahwa berdasarkan Undang– Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, kekuasaan kehakiman terbentuk menjadi tiga lembaga Negara, yaitu Mahkamah Agung beserta badan–badan pradilan dibawahnya, Mahkamah Konstitusi dan Komisi Yudisial. Berdasarkan Undang– Undang Dasar Negara Republik Indonesia Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi memiliki kewenangan untuk melakukan kekuasaan kehakiman sedangkan Komisi Yudisial mempunyai kewenangan untuk mengusul hakim agung dan memiliki fungsi dalam mengawasi cara kerja hakim.4

Dalam aturan di atas dapat dilihat bahwa Mahkamah Agung dan Mahkamah Konsitusi adalah lembaga negara yang setara dan independen namun memiliki perbedaan dari segi fungsi dan wewenang. Mahkamah Konsitusi sederajat dengan lembaga– lembaga negara lainnya karena telah terjadi pemaknaan ulang terhadap pelaksanan prinsip kedaulatan rakyat dan bergesernya sistem kekuasaan yang berdasarkan

4 Moh. Mahfud MD, 2010, Konstitusi Dan Hukum Dalam Kontroversi Isu, Rajawali Pers, Jakarta, hlm.227

pembagian kekuasaan (distribution of power) menjadi sistem yang berlandaskan pemisahan kekuasaan (separation of power).5

Dalam kamus besar bahasa Indonesia eksistensi mengandung arti keberadaan. Eksistensi Mahkamah Konsitusi sebagai lembaga pemegang kekuasaan kehakiman yang independen, adapun kewenangan Mahkamah Konstitusi ditentukan di dalam Pasal 24C Ayat (1) Undang–Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan: Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang–Undang terhadap Undang–Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenagan diberikan oleh Undang–Undang Dasar, memutus pembubaran Partai Politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.

Dalam putusan Mahkamah Konstitusi harus memuat fakta yang terungkap dalam persidangan dan pertimbangan hukum yang menjadi dasar putusan apakah putusannya menolak permohonan, permohonan tidak diterima atau permohonan dikabulkan. Dalam memutuskan suatu permohonan, Mahkamah Konstitusi harus menempuh musyawarah yang diputuskan Hakim Konstitusi yang berjumlah 9 (sembilan) orang dalam sidang pleno, yang jika tidak tercapai kata musyawarah maka putusan diambil melalui voting atau suara terbanyak. Hakim Konstitusi yang berbeda pendapat tetap dimuat dalam putusan yang sering disebut Dissenting Opinion.6

5 Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Opcit, hlm.19

6

Sand O'donnel, Jenis Putusan Hakim, Dalam

(6)

http://tentang-ilmu-Dissenting Opinion diartikan dalam kamus besar bahasa Indonesia adalah perbedaan pendapat majelis hakim dalam membuat putusan pengadilan, merupakan esensi kebebasan personal hakim dalam rangka menemukan kebenaran materil. Kebebasan eksistensial ini mendorong hakim untuk mewujudkan eksistensi hakim secara kreatif dalam merealisasikan pandangannya secara mandiri, berdikari dan tanpa adanya intervensi dalam menemukan kebenaran materil. Kebebasan eksistensial pada dasarnya bukan merupakan kebebasan tanpa batas, melainkan kebebasan yang disertai rasa kesadaran dan tanggung jawab.

Dalam ketentuan Pasal 28J Ayat (2) Undang-Undang Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan: Dalam menjalankan hak dan kebebasan, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan Undang-Undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.

Berdasarkan ketentuan pasal tersebut, menurut pendapat Henny Handayani Sirait, dimuat norma dasar bahwa dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan Undang-Undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama,

hukum.blogspot.co.id/2012/04/putusan-mahkamah-konstitusi.html, diakses 15 Juni 2016 pukul 20:56

keamanan, ketertiban umum, dalam suatu masyarakat demokratis.7

Secara eksplisit, tidak ada pengaturan tentang dissenting opinion. Frase yang dipakai dalam Undang–Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konsitusi adalah “pendapat anggota Majelis Hakim

yang berbeda”. Pendapat yang berbeda,

menurut Jimly dibedakan menjadi dua yaitu dissenting opinion dan concurrent opinion atau consenting opinion. Suatu putusan dianggap sebagai dissenting opinion, apabila terdapat argumentasi anggota Majelis Hakim yang berbeda dengan mayoritas anggota Majelis Hakim yang lain yang berimbas pada perbedaan amar putusan.

Apabila suatu putusan dikatakan dissenting opinion, jika pendapat suatu anggota Majelis Hakim berbeda dengan pendapat mayoritas anggota Majelis Hakim yang lain dan perbedaan tersebut tak sekedar dalam hal penalaran saja, melainkan sampai menyentuh pada amar putusan. Penjabaran lebih lanjut dari Undang–Undang Mahkamah Konsitusi tertuang dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi. Dalam kaitannya dengan Hukum Acara Pengujian Undang-Undang, Mahkamah Konstitusi telah mengeluarkan Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 6 Tahun 2005 tentang Hukum Acara Pengujian Undang-Undang.

Secara spesifik, ketentuan tentang pendapat berbeda diatur dalam Pasal 32 Ayat (6) Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 6 Tahun 2005, yang menyatakan: Pendapat Hakim Konstitusi yang berbeda terhadap

7 Henny Handayani Sirait, 2014, Dissenting Opinion sebagai Bentuk Kebebasan Hakim dalam Membuat Putusan Pengadilan guna Menemukan KebenaranMateriil,Dalamhttp://jurnal.hukum.uns.a c.id/index.php/verstek/article/viewFile/704/658, diakses 15 Juni 2016 pukul 22:56

(7)

putusan dimuat dalam putusan, kecuali Hakim yang bersangkutan tidak menghendaki. Dari pengaturan yang demikian, bisa ditafsirkan bahwa bisa saja Hakim memiliki pendapat yang berbeda dalam suatu Rapat Permusyawaratan Hakim namun pendapatnya tersebut tidak tertuang dalam putusan.8

Berdasarkan uraian di atas, penulis tertarik

untuk meneliti dengan judul: “ANALISA

YURIDIS TERHADAP DISENTING

OPINION PADA PUTUSAN HAKIM MAHKAMAH KONSITUSI REPUBLIK

INDONESIA”

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian yang telah dikemukan di atas, penulis merumuskan beberapa permasalahan yang dibahas pada tulisan ini, yaitu:

1. Apakah aturan hukum yang dipergunakan dalam Dissenting Opinion putusan Hakim Mahkamah Konsitusi Republik Indonesia?

2. Bagaimanakah pemberlakuan Dissenting Opinion dalam putusan Hakim Mahkamah Konsitusi Republik Indonesia?

C. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan yang ingin dicapai penulis adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui aturan hukum yang dipergunakan dalam Dissenting Opinion Putusan Hakim Mahkamah Konsitusi Republik Indonesia

8 Zendy Wulan Ayu W. P, 2014, “Putusan Ultra Petita Mahkamah Konsitusi Dalam Perkara Pengujian Konstitusioanalitas Undang – Undang”, Jurnal Hukum Vol 29 , No 2, Mei-Agustus 2014, hlm 169

Untuk mengetahui pemberlakuan Dissenting Opinion dalam putusan Hakim Mahkamah Konsitusi Republik Indonesia

D. Hasil Penelitian

a. Aturan hukum yang dipergunakan dalam Dissenting Opinion putusan

Hakim Mahkamah Konsitusi

Republik Indonesia

Aturan hukum yang dipergunakan dalam putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia berupa dissenting opinion terdapat dalam ketentuan Pasal 32 Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 6 Tahun 2005 tentang Pedoman Beracara dalam Perkara Pengujian Undang-Undang Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia yang menyatakan;

1) Dalam rangka pengambilan putusan setiap Hakim Mahkamah Konstitusi wajib menyampaikan pertimbangan atau pendapat tertulis dalam terhadap permohonan.

2) Putusan sedapat mungkin diambil secara musyawarah untuk mufakat. 3) Dalam hal tidak dicapai mufakat

bulat, rapat dapat ditunda sampai Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH) berikutnya.

4) Setelah diusahakan dengan sungguh-sungguh ternyata tidak dapat dicapai mufakat bulat, putusan diambil dengan suara terbanyak.

5) Dalam RPH tidak dapat mengambil putusan dengan suara terbanyak sebagaimana dimaksud ayat (4), suara terakhir Ketua RPH menentukan.

(8)

Pendapat Hakim Konstitusi yang berbeda terhadap putusan dimuat dalam putusan, kecuali Hakim yang bersangkutan tidak menghendaki.

b. Pemberlakuan Dissenting Opinion

Dalam Putusan Hakim Mahkamah Konstitusi

Mahkamah Konstitusi sebagai negativ legislator, dapat mengabulkan permohonan atau menolaknya. Akan tetapi, juga ada kemungkinan bahwa permohonan dinyatakan tidak diterima karena tidak memenuhi syarat formal yang diahruskan. Putusan Mahkamah konstitusi meniadakan suatu keadaan hukum atau menciptakn hak atau kewenangan tertentu.

Akibat hukum yang timbul dari suatu putusan hakim jika menyangkut dengan pengujian terhadap Undang-Undang, diatur dalam Pasal 58 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi. Pasal tersebut menyatakan sebagai berikut: Undang-Undang yang diuji oleh Mahkamah Konstitusi tetap berlaku sebelum ada putusan yang menyatakan bahwa Undang-Undang tersebut bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

E. Simpulan

1. Aturan hukum yang dipergunakan dalam Dissenting Opinion Putusan

Hakim Mahkamah Konstitusi

Republik Indonesia adalah:

Terdapat dalam ketentuan Pasal 32 Peraturan Mahkamah Konstitusi

Nomor 6 Tahun 2005, yang menyatakan;

a) Dalam rangka pengambilan putusan setiap Hakim Mahkamah Konstitusi wajib menyampaikan pertimbangan atau pendapat tertulis dalam terhadap permohonan;

b) Putusan sedapat mungkin diambil secara musyawarah untuk mufakat; c) Dalam hal tidak dicapai mufakat

bulat, rapat dapat ditunda sampai Rapat Permusyawaratan Hakim ( RPH ) berikutnya;

d) Setelah diusahakan dengan sungguh-sungguh ternyata tidak dapat dicapai mufakat bulat, putusan diambil dengan suara terbanyak;

e) Dalam RPH tidak dapat mengambil putusan dengan suara terbanyak sebagaimana dimaksud ayat (4), suara terakhir Ketua RPH menentukan;

f) Pendapat Hakim Konstitusi yang berbeda terhadap putusan dimuat dalam putusan, kecuali Hakim yang bersangkutan tidak menghendaki. Selanjutnya berdasarkan rekapitulasi Dissenting Opinion yang terdapat dari tahun 2014-2016, yang terdiri dari 3 (tiga) Dissenting Opinion yaitu: dalam putusan Pengujian Undang-Undang Nomor 50/PUU-XII/2014, Dissenting Opinion dari Hakim Patrialis Akbar, dan Wahiduddin Adams, sedangkan dalam Pengujian Undang-Undang Nomor 43/PUU-XIII/2015 Dissenting Opinion dari Hakim I. Dewa Gede Palguna,

(9)

serta dalam Pengujian Undang-Undang Nomor 100/PUU-XII/2015, Dissenting Opinion dari Hakim Patrialis Akbar.

2. Pemberlakuan Dissenting Opinion

dalam putusan Hakim Mahkamah Konsitusi Republik Indonesia adalah :

a. Pemberlakuan putusan Hakim Mahkamah Konstitusi dalam Amar putusan dalam hal Pengujian Undang-Undang Nomor 50/PUU-XII/2014 adalah sebagai berikut: 1) Mengabulkan permohonan para

Pemohon untuk seluruhnya; 2) Memerintahkan pemuatan

putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya.

Diputuskan dalam Rapat Pemusyawaratan Hakim oleh sembilan Hakim Konstitusi, yaitu Hamdan Zoelva selaku ketua merangkap Anggota, Arief Hidayat, Muhammad Alim, Wahiddun Adams, Ahmad Fadil Sumadi, Anwar Usaman, Maria Farida Indrati, Patrialis Akbar, dan Aswanto, masing-masing sebagai anggota, pada hari Rabu, tanggal dua, bulan Juli, tahun dua ribu empat belas, dan diucapkan dalam sidang Pleno Mahkamah Konstitusi terbuka untuk umum pada hari Kamis, tanggal tiga, bulan Juli, tahun dua ribu empat belas.

mewakili.

a. Pemberlakuan putusan Hakim Mahkamah Konstitusi dalam amar putusan dalam hal Pengujian Undang-Undang Nomor

43/PUU-XIII/2015 menyatakan sebagai berikut:

1) Mengabulkam permohonan Pemohon untuk seluruhnya; 2) Memerintah untuk memuat

putusan ini dalam berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya.

Diputuskan Rapat Pemusyawaratan Hakim oleh delapan Hakim Konstitusi, yaitu Arif Hidayat selaku Ketua merangkap anggota, Anwar Usman, Maria Farida Indrati, Aswanto, Suhartoyo, Patrialis Akbar, Wahiddun Adams, dan I Dewa Gede Palguna, masing-masing sebagi Anggota, pada hari Rabu, tanggal dua puluh enam, bulan Agustus, tahun dua ribu lima belas, yang diucapkan dalam sidang Pleno Mahkamah Konstitusi terbuka untuk umum pada hari Rabu, tanggal tujuh, bulan Oktober, tahun dua ribu lima belas

b. Pemberlakuan putusan Hakim Mahkamah Konstitusi dalam amar putusan dalam hal Pengujian Undang-Undang Nomor 100/PUU-XII/2015 Menyatakan mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian sebagai berikut:

1) Menyatakan Pasal 14 Ayat (9), Pasal 49 Ayat (9), Pasal 50 Ayat (9), Pasal 51 Ayat (2), Pasal 52 Ayat (2), Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahnun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang

(10)

Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang;

a) Bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; dan

b) Tidak mempunyai kekuatan hukum, mengikat sepanjang tidak dimaknai mencakup

“menetapkan 1 (satu)

pasangan Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur dalam hal hanya terdapt 1 (satu) pasangan Calon Gubernur dan

Calon Wakil Gubernur”.

Memerintahkan pemuatan Putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia; Menolak permohonan Pemohon untuk selain dan selebihnya.

F. Saran

1. Agar Hakim Mahkamah Konstitusi konsisten dalam melaksanakan aturan Hukum Dissenting Opinion.

2. Agar pemberlakuan Putusan Hakim Mahkamah Kostitusi di taati oleh seluruh lapisan masyarakat.

Kata Pengantar

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Segala puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, Yang Maha Kuasa, Maha Pengasih, dan Maha Penyayang atas segala limpahan rizki dan karunia-Nya kepada penulis sertai dan tidak lupa shalawat beriring salam penulis limpahkan kepada junjungan kita Nabi Besar Muhammad SAW, sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini guna memenuhi

sebehagian persyaratan untuk mencapai gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Bung Hatta.

Telah menjadi suatu ketetapan, bahwa setiap mahasiswa yang telah menyelesaikan pendidikannya harus membuat sebuah karya ilmiah dalam bentuk skripsi. Oleh karena itu, dengan segenap kerendahan hati penulis memenuhi kewajiban tersebut, yakni dengan menyelesaikan sebuah karya ilmiah yang berbentuk skripsi ini yang berjudul “Analisa

Yuridis Terhadap Dissenting Opinion

Pada Putusan Hakim Mahkamah

Konstitusi Republik Indonesia”.

Dalam penulisan skripsi ini, penulis banyak mendapatkan bantuan dan dorongan dari berbagai pihak baik secara langsung maupun tidak langsung yang tak terhingga nilainya. Kesempatan ini penulis dengan segala kerendahan hati mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada Bapak Boy Yendra Tamin, S.H., M.H., Pembimbing I dan Ibu Dr. Sanidjar Pebrihariati.R, S.H.,M.H., Wakil Dekan Fakultas Hukum dan

Pembimbing II yang mana telah

meluangkan waktu, tenaga, dan pikirannya dalam memberikan bimbingan baik berupa petunjuk-petunjuk, saran-saran maupun pendapat yang sangat penulis butuhkan dalam penyusunan skripsi ini.

Selanjutnya ucapan terima kasih yang setulus-tulusnya penulis sampaikan kepada yang terhormat:

1. Ibu Dwi Astuti Palupi, S.H., M.H., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Bung Hatta.

2. Bapak Suamperi, S.H., M.H., selaku Ketua Bagian Hukum Tata Negara

(11)

Fakultas Hukum Universitas Bung Hatta.

3. Seluruh Bapak/Ibu Dosen Fakultas Hukum Universitas Bung Hatta Padang yang telah memberikan ilmu yang sangat berharga dan bermanfaat bagi penulis.

4. Karyawan/karyawati Tata Usaha Fakultas Hukum Universitas Bung Hata. 5. Ayah Kholiddin Lubis dan Umak

Normasari, SP.d., terima kasih atas segala pengorbanan, perhatian, dan Do’a tulusnya, serta Adik-adik penulis Ahmad Padillah, dan Gom-gom Beauty.

Wasalamu’alaikum Wr. Wb. Daftar Pustaka

A. Buku-buku

Bambang Sunggono, 2013, Metodologi Penelitian Hukum, Rajawali Pers, Jakarta.

Dahlan Tahib, Jaszim Hamidi dan Ni’matul Huda, 2013, Teori da Hukum Konstitusi, Rajawali Pers, Jakarta.

Jimly Asshiddiqie, 2005, Lembaga Negara dan Sengketa Lembaga Kewenangan Antar lembaga Negara, Konsorsium Reformasi hukum Nasioanal, Jakarta Pusat. Mahkamah Konstitusi Republik

Indonesia, 2004, Cetak Biru Membangun Mahkamah Konstitusi, Mahkamah Konsitusi, Jakarta. Maruarar Siahaan, 2011, Hukum Acara

Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta Pusat.

_______________, 2015, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia , Sinar Grafika, Jakarta Pusat.

Moh. Mahfud MD, 2010, Konstitusi Dan Hukum Dalam Kontroversi Isu, Rajawali Pers, Jakarta.

Nurbeti, 2010, Hukum Lembaga Negara, Bung Hatta University Press, Padang.

Suratman dan Philips Dillah, 2014, Metode Penelitian Hukum, Alfabeta, Bandung.

Soerjono Soekanto, 2001, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Raja Grafindo Persada, Jakarta.

B. Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konsitusi

Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman Peraturan Mahkamah Konsitusi Nomor

6 Tahun 2005 tentang Hukum Acara Pengujian Undang-Undang

C. Sumber Lain

Ahsan Yunus, Analisa Yuridis sifat Final dan Mengikat (Beinding) Putusan Mahkamah Konsitusi, https://ahsanyunus.wordpress.com, diakses 18 Juni 2016 pukul 14:55 WIB

Djoko Sarwoko, Dissenting Opinion di mata mantan Hakim Agung dalam

(12)

http://www.hukumonline.com, diakses pada tanggal 04 Oktober 2016 pukul 23:15 WIB

Henny Handayani Sirait, 2014, Dissenting Opinion sebagai Bentuk Kebebasan Hakim dalam Membuat Putusan Pengadilan guna Menemukan Kebenaran Materiil, http://jurnal.hukum.uns.ac.id/index. php/verstek/article/viewFile/704/65 8, diakses 15 Juni 2016, Pukul 22:56 WIB

Id.wikipedia.org, Masa Pembentukan Dasar Hukum Mahkamah Konsitusi,

https://id.wikipedia.org/w/index.php ?title=Mahkamah_Konstitusi_Repu blik Indonesia diakses Tanggal 17 Juni 2016, Pukul 21:03 WIB

Mahkamah Konsitusi Republik Indonesia, Revisi Kedua Rencana Strategis 2010-2014, dalam http://www.mahkamahkonstitusi.go. id/index, diakses 13 Oktober 2016, Pukul 15:06 WIB

Mahkamah Konsitusi Republik Indonesia, Sejarah Pembentukan Mahkamah Konsitusi, http://www.mahkamahkonstitusi.go. id/index, diakses 17 Juni 2016, Pukul 16:56 WIB

Pontang Moerad B.M., Dalam Henny Handayani Sirait, Dissenting Opinion sebagai Bentuk Kebebasan Hakim dalam Memuat Putusan Pengadilan guna Menemukan Kebenaran Materil, Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Pusat Kajian Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Implikasi Putusan MK No. 102/PUU-VII/2009 Terhadap Pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah (Study Kabupaten Malang dan Kota Pasuruhan), Jurnal Konstitusi, Volume 8, Nomor 1, Februari 2011 Sand O'donnel, Jenis Putusan Hakim,

http://tentang-ilmu-hukum.blogspot.co.id/2012/04/putu san-mahkamah-konstitusi.html, diakses 15 Juni 2016, Pukul 20:56 WIB

Sanidjar Pebrihariati.R, 2016, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi, Modul Pendidikan Profesi Advokat Fakultas Hukum Universitas Bung Hatta

Zendy Wulan Ayu W. P, 2014, “Putusan

Ultra Petita Mahkamah Konsitusi Dalam Perkara Pengujian Konstitusioanalitas Undang – Undang”, Jurnal Hukum Vol 29,

Referensi

Dokumen terkait

Dalam pasal 24 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 24 ayat (2) diatur tentang kekuasaan kehakiman yang menyatakan bahwa “kekuasaan kehakiman

Kekuasaan kehakiman menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 merupakan kekuasaan yang merdeka yang dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang

Disebutkan juga bahwa kekuasaan kehakiman menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 merupakan kekuasaan yang merdeka yang dilakukan oleh

Hal ini mengingat Pasal 24A ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 adalah norma yang mengatur mengenai wewenang Mahkamah Agung sebagai salah satu pelaku kekuasaan kehakiman

undang.” Hal ini mengingat Pasal 24A ayat (1) Undang- Undang Dasar Tahun 1945 adalah norma yang mengatur mengenai wewenang Mahkamah Agung sebagai salah satu pelaku kekuasaan

Kekuasaan Kehakiman] , pernah mengemukakan pandangan hukumnya sebagai berikut: Oleh karena itu, Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga penafsir undang-undang dasar ( the sole

Kewenangan yang dimiliki oleh Mahkamah Konstitusi disebutkan dalam Pasal 24C ayat (1) dan (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 yaitu: 68 Pertama, Mahkamah