• Tidak ada hasil yang ditemukan

Konstruksi Keyakinan Hakim Mahkamah Konstitusi Dalam Putusan Perselisihan Pemilukada

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Konstruksi Keyakinan Hakim Mahkamah Konstitusi Dalam Putusan Perselisihan Pemilukada"

Copied!
25
0
0

Teks penuh

(1)

Mahkamah Konstitusi

dalam Putusan Perselisihan Pemilukada

Mariyadi Faqih

Pusat Kajian Konstitusi

Fakultas Hukum Universitas Islam Malang Jl. Joyo Asri Blok FF 2 Malang E-mail : marfhuim@yahoo.com

Naskah diterima: 02/02/2013 revisi: 05/02/2013 disetujui: 08/02/2013

Abstrak

Fakta hukum merupakan pijakan bagi hakim Mahkamah Konstitusi dalam menjatuhkan putusan. Fakta hukum ini merupakan bahasa lain dari alat-alat bukti. Putusan demikian mencerminkan peran hakim dalam menggali, menafsirkan dan

menemukan hukum (rechtsvinding) guna menyelesaikan perselisihan pemilihan

umum kepala daerah. Peran hakim ini tidak lepas dari keyakinannya untuk menilai alat bukti. Salah satu alat bukti yang membutuhkan ketelitian dan kecermatan dalam memberikan penilaian adalah keterangan saksi, karena saksi bisa berbohong atau membenarkan kesalahan dan menyalahkan kebenaran.

Kata Kunci: Perselisihan, keyakinan hakim, Mahkamah Konstitusi

Abstract

The fact is the basis of law for judges of the Constitutional Court in decisions.

The fact is the law of another language of the evidence. The decision thus reflects the

role of judges in unearthing, interpreting and discovering the laws (rechtsvinding) to resolve disputes elections of regional heads. The role of the judge is not out of conviction to assess the evidence. One of the tools of evidence that requires precision and accuracy in their assessments are witnesses, because witnesses can lie or correct the error and blamed the truth.

(2)

PENDAHULUAN

Membangun atau membentuk keyakinan hakim Mahkamah Konstitusi tidaklah bersifat serta merta, melainkan dari suatu tahapan atau proses yang dipengaruhi oleh banyak aspek, diantaranya tentang realitas perkara yang diajukan padanya dan alat-alat bukti yang mendukungnya. Aspek yang ikut dipikirkan oleh hakim Mahkamah Konstitusi diantaranya adalah sengketa pemilukada, yang perselisihan atau konflik ini secara umum bersumber pada asumsi terjadinya pelanggaran terhadap norma yuridis pemilukada dan adanya alat-alat bukti yang diasumsikan ikut membenarkan asumsi tersebut.

Perselisihan terjadi karena adanya benturan kepentingan. Oleh karena itu seiring dengan perkembangan masyarakat muncul hukum yang berusaha untuk

meminimalisir berbagai benturan kepentingan dalam masyarakat.1 Konflik atau

perselisihan pemilukada (pemilihan umum kepala daerah) hampir bisa dikatakan selalu terjadi di setiap pemilukada berlangsung, baik ketika masih dalam tahapan pencalonan, pemungutan suara, penghitungan hasil pemungutan, hingga pada tahap kelanjutannya.

Ada perselisihan pemilukada yang mencoba diselesaikan oleh berbagai pihak dengan cara menempuh jalur hukum seperti mengajukan permohonan ke Mahkamah Konstitusi, dan ada pula yang menggunakan jalur politik. Bahkan tidak sedikit pula yang menggunakan cara-cara kekerasan.

Syafril Qulub2 menyebut, bahwa fenomena perselisihan atau sengketa

pemilukada sesungguhnya memperlemah apresiasi publik terhadap pemilukada. Sebagian masyarakat sebenarnya semakin apatis melihat fenomena pemilukada yang biasanya berujung pada perselisihan atau konflik pasca pemilukada. Sebagai sampel sepanjang 2005-2007, pemilukada telah melahirkan sengketa besar atau berujung pada kekerasan dan kerusuhan seperti Pilkada Depok (2005), Pilkada Tuban dan lainnya.

Dari hasil pemantauan JPPR selama pemilukada 2005-2007, umumnya

perselisihan dan konflik yang terjadi di pemilukada dipicu oleh tiga faktor; pertama,

tahapan pendaftaran calon yang umumnya memiliki peluang adanya calon yang 1 Nandang Alamsah Deliarnoor, Tinjauan Teoretis Yuridis Sengketa Pemilihan Kepala Daerah (pilkada), http:// pustaka. unpad.ac.id/wp-content/

uploads/2011/01/tinjauan_teoritis_yuridis.pdf, diunduh 15 Mei 2012.

(3)

gugur atau tidak lolos verifikasi yang dilakukan oleh KPUD. Berbagai masalah yang biasanya memicu gagalnya bakal calon menjadi calon resmi adalah misalnya sang bakal calon terkait ijazah palsu, tidak terpenuhinya dukungan 15 % parpol pendukung atau adanya dualisme kepemimpinan parpol pengusung.

Kedua, tahapan pendaftaran pemilih yang carut-marut mengakibatkan konflik pada pemungutan dan penghitungan suara. Sengketa pilkada memang banyak diawali oleh tidak maksimalnya proses pendaftaran pemilih. Pengalaman pemilukada selama ini menunjukkan bahwa ketika pemutakhiran data pemilih tidak maksimal dan mengakibatkan banyaknya warga yang tidak terdaftar sebagai pemilih tetap, maka kemungkinan besar terjadi protes dan konflik ketika hari ”H”. Pada saat seperti ini, biasanya banyak warga yang protes ke kantor KPUD. Kasus pemilukada Kalimantan Barat diwarnai protes ke KPUD oleh hampir lebih 1000

pemilih yang merasa tidak terdaftar pada Daftar Pemilih Tetap (DPT). Ketiga,

Pemicu ketiga yang biasanya memunculkan perselisihan dalam pemilukada adalah tidak bersedianya DPRD menetapkan hasil pemilukada. Meskipun tidak memiliki dampak yuridis terhadap hasil pemilukada, namun penolakan DPRD tersebut

memunculkan perselisihan politik berkepanjangan pasca pemilukada.3

Ketiga faktor pemicu tersebut, ada yang dapat diselesaikan melalui jalur hukum dan politis. Perselisihan pemilukada yang diawali oleh faktor pertama dan kedua (seperti disebut diatas) memungkinkan diselesaikan melalui jalur hukum. Solusi yuridis ini memberi pesan bahwa seperti apapun bentuk perselisihan dalam pemilukada, ketentuan hukum yang ada dapat dijadikan sebagai solusinya. Menjadi memprihatinkan ketika perselisihan dalam pemilukada terus berlarut dengan diiringi oleh tindakan kekerasan dan anarkisme, karena ada jalur yuridis disediakan untuk menyelesaikannya. Lembaga yang diberi kepercayaan menyelesaikan perselisihannya adalah Mahkamah Konstitusi. Sedangkan hakim Mahkamah Konstitusi, melalui norma yuridis diperintahkan untuk menggunakan keyakinan dalam putusannya, yang putusan ini merupakan wujud penyelesaian perselisihan pemilukada.

Berdasarkan latarbelakang tersebut, maka dirumuskanlah permasalahan tentang ”bagaimanakah konstruksi keyakinan hakim Mahkamah Konstitusi dalam putusan perselisihan pemilukada”?

(4)

Penelitian hukum (legal research) ini dilakukan sesuai dengan kekhasan yang

dimiliki oleh ilmu hukum (jurisprudence) yang tentunya berbeda dengan ilmu social

(social science) dan ilmu alam (natural science)4. Sebagai penelitian hukum (legal

research)5 dan sesuai dengan karakter khas dari ilmu hukum (jurisprudence)6 , serta

subtansi permasalahan dan atau isu hukum yang akan dikaji dalam penelitian ini, maka pendekatan masalah disesuaikan dengan persoalan yang diteliti. Sedangkan tipe penelitian dalam tulisan ini dominan pada tipe penelitian hukum normatif, meskipun dengan sedikit dukungan sumber data primer.

Menurut Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji, penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder, dapat dinamakan penelitian

hukum normatif atau penelitian hukum kepustakaan.7 Penelitian hukum normatif8

dimaksudkan untuk mengkaji mengenai arti dan maksud kaedah hukum tentang “konstruksi keyakinan hakim mahkamah konstitusi dalam putusan perselisihan pemilukada” sebagaimana dimaksud pasal 45 ayat 1 Undang-undang Nomor 8 tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi dan peraturan perundang-undangan yang terkait.

Dalam penelitian hukum ini digunakan beberapa pendekatan diantaranya

pendekatan perundang-undangan (statute approach), pendekatan konsep

(conceptual approach), pendekatan filsafat (philosophy approach)9, dan Pendekatan

kasus (case approach) serta Pendekatan perbandingan (comperative approach).

Sebagai penelitian yuridis normatif, maka dalam penelitian ini menggunakan sumber data sekunder (bahan hukum sekunder). Bahan hukum skunder merupakan bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti rancangan undang-undang, hasil-hasil penelitian, hasil karya dari kalangan

hukum.10 Sehubungan dan berkenaan dengan hal tersebut

Untuk menunjang bahan kepustakaan yang diharapkan sudah dapat menjadi bahan hukum untuk menyelesaikan penelitian, maka dilakukan penelitian lapangan (field research) yang secara operasional dilakukan dalam bentuk wawancara

dengan menggunakan instrument daftar pertanyaan (questioner) kepada

hakim-4 Yohanes Sogar Simamora, Prinsip Hukum Kontrak dalam Pengadaan barang dan jasa oleh pemerintah, Surabaya: Disertasi Program Doktor

Ilmu Hukum Pasca Sarjana Universitas Airlangga Surabaya, 2005, h, 45.

5 Peter Mahmud MZ,, Penelitian Hukum, Jakarta: Predana Media , 2005, h. 29-33.

6 JJ.Brugink, Rechtsreflecties, alih bahasa Arif Sidharta, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1995, h. 213-218. 7 Soeryono Soekanto dan Sri Pamuji, Metode Penelitian Hukum, Jakarta: Rineka Cipta , 2003, h. 14.

8 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Peranan dan Penggunaan Perpustakaan di dalam Penelitian Hukum, Jakarta: Pusat Dokumentasi hukum

Fakultas Hukum Univesitas Indonesia, 1979, h.15.

9 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Jakarta: Kencana , 2007, h. 93. 10 Soeryono Soekanto, Pengatar Penelitian Hukum, Jakarta: UI Press, 1986, h.52.

(5)

hakim konstitusi sebagai responden yang ditentukan berdasarkan purposive sampling. Sedangkan untuk pendapat para ahli baik teoritis maupun praktisi,

digunakan dengan cara wawancara mendalam (indepth interview) dibantu dengan

alat perekam tape recorder.11

Teknik analsis yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis yuridis kualitatif. Teknik ini merupakan tatacara penelitian yang mengahasilkan data

deskriptif. Hal ini didasarkan pendapat Maria .S.W. Sumarjan12 yang menyatakan

dalam penelitian hukum normatif yang mempergunakan data sekunder, penelitianya pada umumnya bersifat deskriptif atau deskriptif–eksploratif serta analisinya bersifat kualitatif.

PEMBAHASAN

A. Asumsi, Yurisprudensi, dan Alat-alat Bukti

Asumsi terjadinya kecurangan dalam penyelenggaraan pemilukuada yang kemudian diikuti dengan dukungan adanya alat-alat bukti atau barang bukti merupakan bagian dari alasan terjadinya konflik pemilukada, yang kemudian diantara yang berkonflik ini, mempercayakan penyelesaiannya pada Mahkamah

Konstitusi.

Asumsi pemohon terhadap pelanggaran penyelenggaraan pemilukada dengan dukungan alat-alat bukti, merupakan bagian dari materi yang ditelaah atau diteliti kebenarannya, sisi rasionalitasnya, atau obyektifitasnya, yang membuat keyakinan hakim Mahkamah Konstitusi ikut terkonstruksi dan memberikan kesimpulan. Hakim Mahkamah Konstitusi sebelum memberikan kesimpulan, dituntut memberikan penilaian terhadap asumsi dan alat-alat bukti yang diajukan oleh pemohon.

Mahkamah Konstitusi menangani sebanyak 63 kasus sengketa pemilihan umum kepala daerah selama tahun 2010 dan hampir 50 persen dari kasus tersebut telah diputuskan. Hakim Mahkamah Konstitusi Zainal Arifin Hoesein mengungkapkan sebanyak 30 dari 63 kasus sengketa pilkada telah diselesaikan. Untuk perselisihan pemilukada Lamongan, Mahkamah Konstitusi memutuskan untuk dilakukan penghitungan ulang surat suara di seluruh tempat pemungutan 11 Lukman hakim, Eksistensi Komisi-Komisi Negara Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia, Malang: Disertasi Program Doktor Ilmu

Hukum Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, 2009, h. 13.

(6)

suara (TPS) dan menangguhkan keputusan KPU Kabupaten Lamongan yang menetapkan hasil pemilukada Lamongan dengan kemenangan pasangan Fadeli-Amar Syaifudin (Faham). Dalam memutuskan perselisihan pemilukada, hakim Mahkamah Konstitusi dapat melihat sejumlah alat bukti, berupa keterangan sejumlah pihak, surat atau tulisan, keterangan saksi, keterangan ahli, petunjuk

dan alat bukti berupa informasi atau komunikasi elektronik.13

Menurut Anwar Usman,14 bahwa keyakinan hakim bukan merupakan suatu

hal yang berdiri sendiri dan menjadi satu-satunya dasar bagi dilahirkannya sebuah putusan di Mahkamah Konstitusi. Pemeriksaan alat bukti, fakta hukum yang terungkap di muka persidangan, serta keseluruhan proses/tahapan persidangan merupakan bagian integral yang tidak terpisahkan dari lahirnya sebuah keyakinan hakim dalam memutus perkara. Keyakinan hakim bersifat complimentary (pelengkap) sebagai penilai sejumlah alat bukti yang diperiksa dimuka persidangan.

Dalam prakteknya, prinsip-prinsip rule of law lebih tercermin pada cara,

sifat, sikap dan suasana kebebasan para hakim dalam menyelesaikan perkara

yang dihadapi, karena hakim dalam memutus perkara menggunakan practical

reason tentunya sangat dipengaruhi oleh latar belakang masing-masing individu. Sedangkan tidak seorangpun mampu menilai rasio praktis kecuali dirinya sendiri

melalui nuraninya.15

Alat bukti mempunyai kedudukan yang siginifikan dalam proses persidangan dimana alat bukti ini menjadi sarana yang bisa digunakan untuk menguatkan argumen dalam suatu sidang di Mahkamah Konstitusi. Oleh karena itu alat bukti ini selain oleh pemohon maupun termohon, digunakan sebagai pijakan memenangkan perkara atau memperoleh keadilan, bagi hakim Mahkamah Konstitusi, alat bukti menjadi pijakan utama dalam penyelesaian perkara yang ditanganinya, termasuk dalam perkara sengketa Pemilukada.

Dalam beberapa doktrin yang diajarkan disebutkan, bahwa alat bukti bisa diajukan melalui suatu hal yang riil. Kalau seseorang penggugat hendak membuktikan suatu peritiwa tertentu, maka ia dapat mengajukan peristiwa tersebut di hadapan hakim di persidangan agar hakim dapat secara langsung

melihatnya dengan mata kepala sendiri.16

13 http://www.komisikepolisianindonesia.com/secondPg.php?cat=hukum&id=862, diunduh 16 Mei 2012. 14 Anwar Usman, Keyakinan Hakim, Surabaya, 9-10 Maret 2012, h. 7.

15 Suhartono, Op.Cit

(7)

Dalam suatu proses peradilan, pembuktian merupakan hal yang penting dalam menentukan keberhasilan pihah-pihak yang berperkara. Menang atau kalahnya para pihak yang berperkara ditentukan dalam tahap pembuktian karena pembuktian merupakan landasan bagi para hakim dalam menentukan memutuskan suatu perkara. Dengan demikian tujuan pembuktian adalah untuk memperoleh putusan hakim yang didasarkan atas pembuktian tersebut, atau dengan kata lain tujuan dari pembuktian adalah mencari atau menemukan kebenaran suatu peristiwa yang digunakan sebagai dasar putusan hakim yang mrmpunyai akibat hukum. Begitupun pembuktiaan yang menjadi bagian dari sidang pengadilan di Mahkamah Konstitusi, adalah supaya kebenaran suatu peristiwa bisa ditemukan dengan sebenar-benarnya.

Menang atau kalahnya para pihak yang berperkara ditentukan dalam tahap pembuktian karena pembuktian merupakan landasan bagi para hakim dalam menentukan memutuskan suatu perkara. Dengan demikian tujuan pembuktian adalah untuk memperoleh putusan hakim yang didasarkan atas pembuktian tersebut, atau dengan kata lain tujuan dari pembuktian adalah mencari atau menemukan kebenaran suatu peristiwa yang digunakan sebagai dasar putusan

hakim yang mrmpunyai akibat hukum.17

Hukum acara konstitusi menganut ajaran pembuktian bebas yaitu hakim mahkamah konstitusi memiliki kebebasan atau kewenagan dalam memberikan penilaian terhadap kekuatan masing-masing alat bukti. Hal ini sebagaimana diatur dalam pasal 37 UU Mahkamah Konstitusi. Namun demikian terdapat batas-batas tertentu terhadap kebebasan dalam hukum cara konstitusi itu misalnya syarat-syarat sekurang-kurangnya dua alat bukti untuk sahnya pembuktian serta penyebutan alat-alat bukti secara limitatif. pada ajaran pembuktian murni tidak terdapat ketentuan tertulis yang mengikat bagi hakim/pengadilan untuk menentukan berapa banyaknya kpembuktian yang dibutuhkan, pembebanan,

pembuktian, pemilihan alat bukti maupun penilainnya.18

Pasal 16 UU Kekuasaan Kehakiman menyatakan pengadilan tidak boleh menolak memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih tidak ada dasar hukumnya atau kurang jelas melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya. Dengan demikian pengadilan dianggap mengetahui 17 Khafid, “Perbandingan Pembuktian Hukum Acara”, http://khafidsociality.blogspot.com/2011/01/perbandingan-pembuktian-hukum-acara.html, diunduh

14 Mei 2012.

(8)

hukum. Asas ini ditafsirkan secara luas sehingga mengarahkan hakim pada proses

penemuan hukum (rechtsvinding) untuk menemukan keadilan, atau mengharuskan

pada hakim untuk mengerahkan segala kemampuan dalam dirinya, termasuk keyakinannya guna menjatuhkan putusan yang seadil-adilnya.

Menurut Anwar Usman, bahwa dalam konteks hukum pembuktian, keyakinan hakim merupakan salah satu dari teori hukum pembuktian. Pada asasnya setidaknya dikenal 3 macam teori hukum pembuktian, yaitu: 1) Teori hukum pembuktian menurut undang-undang secara positif; 2) Teori pembuktian menurut keyakinan hakim; dan 3) Teori hukum pembuktian menurut undang-undang secara negatif. Keyakinan hakim dalam pembuktian diperlukan untuk menilai alat bukti atau fakta hukum yang terungkap dipersidangan. Bahkan, jika merunut kepada teori hukum pembuktian menurut keyakinan hakim secara konvensional, seorang hakim dapat menjatuhkan putusan berdasarkan “keyakinan” semata dengan tidak

terikat kepada suatu aturan (bloot gemoediljke overtuiguing, conviction intime).

Namun, jika merujuk kepada praktek hukum pembuktian menurut undang-undang, peran keyakinan hakim telah dibatasi secara normatif dengan unsur “sekurang-kurangnya dua alat bukti” (lihat Pasal 183 KUHAP dan Pasal 45 ayat (2) dan ayat (3) UUMK), sehingga dalam konteks hukum pembuktian secara positif maka peran

“keyakinan hakim” bersifat complimentary (pelengkap) sebagai penilai sejumlah

alat bukti yang diperiksa dimuka persidangan.

Hakim Mahkamah Konstitusi secara yuridis dituntut untuk menunjukkan pikiran atau ide-ide yang berwujud penafsiran hukum ketika menangani problem yuridis seperti yang seringkali muncul dalam kasus sengketa pemilukada. Menurut

hakim Mahkamah Konstitusi, Akil Mochtar,19 bahwa Mahkamah Konstitusi memiliki

yurisprudensi yang digunakan dalam setiap putusan terkait dengan kompetensi Mahkamah Konstitusi dalam menangani PHPU atau pemilukada.

Menurut Akil Mochtar,20 Mahkamah Konstitusi dalam menangani sengketa

pemilu ataupun pemilukada telah memaknai dan memberikan pandangan hukumnya melalui putusan-putusannya dengan memberikan penafsiran yang luas demi tegaknya keadilan, yaitu Mahkamah Konstitusi tidak hanya terpaku secara harfiah dalam memaknai Pasal 106 ayat (2) UU 32/2004 juncto UU 12/2008 dan Pasal 4 PMK 15/2008 yang pada pokoknya menyatakan Mahkamah 19 Akil Mochtar, “MK dan Perselisihan Hasil Pilkada”, http://www.akilmochtar.com/wp-content/uploads/2011/06/MK-dan-Perselisihan-Hasil-Pilkada.pdf,

diunduh 17 Mei 2012.

(9)

Konstitusi mengadili perkara Pemilukada terbatas hanya persoalan hasil perolehan suara, yang selengkapnya Pasal 106 ayat (2) UU 32/2004 juncto UU 12/2008

menyatakan, “Keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya berkenaan

dengan hasil penghitungan suara yang memengaruh terpilihnya pasangan calon”, dan Pasal 4 PMK 15/2008 menyatakan, “objek perselisihan pemilukada adalah hasil penghitungan suara yang ditetapkan oleh termohon yang mempengaruhi: a. penentuan pasangan calon yang dapat mengikuti putaran kedua pemilukada; atau b, terpilihnya pasangan calon sebagai kepala daerah dan wakil kepala daerah.”

Mahkamah Konstitusi juga meneliti secara mendalam adanya pelanggaran yang bersifat terstruktur, sistematis, dan masif yang memengaruhi hasil perolehan suara. Hal ini sejalan dengan ketentuan yang mengharuskan Mahkamah Konstitusi memutus perselisihan berdasarkan kebenaran materiil sebagaimana ditegaskan

dalam Pasal 45 ayat (1) UUMK yang menyatakan, “Mahkamah Konstitusi memutus

perkara berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sesuai dengan alat bukti dan keyakinan hakim”.

Dalam berbagai putusan Mahkamah Konstitusi yang seperti itu terbukti telah memberikan makna hukum dan keadilan dalam penanganan permohonan, baik dalam rangka Pengujian Undang-Undang maupun sengketa Pemilu atau Pemilukada. Dalam praktik yang sudah menjadi yurisprudensi dan diterima sebagai solusi hukum itu, Mahkamah Konstitusi dapat menilai pelanggaran-pelanggaran yang terstruktur, sistematis, dan masif sebagai penentu putusan dengan alasan pelanggaran yang memiliki tiga sifat itu dapat memengaruhi hasil peringkat perolehan suara yang signifikan dalam Pemilu atau Pemilukada (vide Putusan MK Nomor 41/PHPU.D-VI/2008 bertanggal 2 Desember 2008)

Dasar konstitusional atas sikap Mahkamah Konstitusi yang seperti itu adalah

ketentuan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan, “Mahkamah Konstitusi

berwenang mengadili..., dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum”.

Di dalam ketentuan tersebut jelas dinyatakan bahwa MK mengadili dan memutus “hasil pemilihan umum” dan bukan sekadar “hasil penghitungan suara pemilihan umum” saja. Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga peradilan menjadi lebih tepat jika mengadili “hasil pemilihan umum” dan bukan sebagai peradilan angka hasil penghitungan suara, melainkan sebagai peradilan yang mengadili masalah-masalah

yang juga terjadi dalam proses-proses pelaksanaan pemilu dan pemilukada.21

(10)

Mahkamah Konstitusi menegaskan bahwa pembatalan hasil pemilu atau pemilukada karena pelanggaran-pelanggaran yang bersifat terstruktur, sistematis, dan masif sama sekali tidak dimaksudkan oleh Mahkamah Konstitusi untuk mengambil alih kewenangan badan peradilan lain. Mahkamah tidak akan pernah mengadili pelanggaran pidana atau administrasi dalam pemilu atau pemilukada, melainkan hanya mengambil pelanggaran-pelanggaran yang terbukti di bidang itu yang berpengaruh terhadap hasil pemilu atau pemilukada sebagai dasar putusan tetapi tidak menjatuhkan sanksi pidana dan sanksi administrasi terhadap para pelakunya. Oleh sebab itu, setiap pelanggaran yang terbukti menurut Hukum Acara Mahkamah Konstitusi dan dijadikan dasar putusan pembatalan oleh Mahkamah Konstitusi tetap dapat diambil langkah hukum lebih lanjut untuk diadili oleh lembaga peradilan umum atau Peradilan Tata Usaha Negara sebab Mahkamah Konstitusi tidak pernah memutus dalam konteks pidana atau administratif.

Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan di atas maka dalam menjatuhkan putusannya, Mahkamah Konstitusi tidak saja dihadapkan untuk mengabulkan atau menolak penghitungan yang benar menurut pemohon, tetapi juga dapat memerintahkan untuk dilakukan penghitungan suara ulang atau pemungutan suara ulang. Penghitungan atau pemungutan suara ulang ini dapat diperintahkan untuk dilaksanakan pada seluruh wilayah atau sebagian wilayah tergantung dari

fakta hukum yang terungkap dalam proses pembuktian di persidangan.22

Anwar Usman23 menyebut, bahwa tidak ada suatu metode yang baku untuk

menentukan dan menyatakan bahwa suatu keyakinan hakim menjadi sebuah nilai atau tidak, karena sifat subyektif dari keyakinan hakim itu sendiri. Namun

yang terpenting dari keyakinan hakim adalah ratio legis yang dituangkan dalam

pendapat hukumnya terhadap sebuah permasalahan hukum. Ratio legis inilah yang

akan memuat landasan pertimbangan filosofis, sosiologis, maupun yuridis yang

menjadi konstruksi hakim dalam memutus suatu perkara. Jika ratio legis hakim

ini menjadi mainstream publik atau menjadi rujukan bagi hakim-hakim yang

lain (sebagai yurisprudensi) dalam memutus sebuah perkara, berarti pandangan keyakinan hakim tersebut memiliki sebuah nilai yang diyakini kebenarannya serta lebih mendekati rasa keadilan masyarakat.

Digariskan dalam Pasal 5 ayat (1) UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, bahwa seorang hakim maupun hakim konstitusi memiliki kewajiban 22 Ibid..

(11)

untuk menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Kata menggali atau “mengikuti”” dalam norma yuridis ini dapat dipahami sebagai tuntutan pada hakim untuk tidak mengabaikan atau meninggalkan produk putusan hakim sebelumnya guna menguatkan pikiran atau keyakinannya saat hendak menjatuhkan putusan terhadap sengketa pemilukada. Hakim Mahkamah Konstitusi sudah menjadikan norma “mengikuti“ sebagai bagian dari upaya membangun keyakinannya.

B. Kebebasan Menggali, menafsirkan, atau Menemukan Hukum

Hukum acara konstitusi menganut ajaran pembuktian bebas yaitu hakim mahkamah konstitusi memiliki kebebasan atau kewenagan dalam memberikan penilaian terhadap kekuatan masing-masing alat bukti. Dalam pasal 37 UU Mahkamah Konstitusi menyebutkan, bahwa Mahkamah Konstitusi menilai alat-alat bukti yang diajukan ke persidangan dengan memperhatikan persesuaian antara alat bukti yang satu dengan alat bukti yang lain.

Ahmad Sodiki (hakim Mahkamah Konstitusi) menilai, bahwa pemosisian alat atau barang bukti yang diajukan oleh pemohon atau termohon (para pihak) dengan cara mempertanyakan asal mula barang atau alat bukti, cara mempeoleh alat bukti, dan relevansinya dengan perkara yang diajukan. Penilaian demikian dilakukan oleh hakim Mahkamah Konstitusi untuk memperoleh atau mendapatkan

obyektifitas, kebenaran, dan kejujuran alat atau barang bukti yang diajukan.24

Meskipun dalam norma tersebut menggariskan peran hakim dalam memberikan penilaian, akan tetapi terdapat batas-batas tertentu terhadap penilaian atau kebebasan dalam hukum cara konstitusi itu misalnya syarat-syarat sekurang-kurangnya dua alat bukti untuk sahnya pembuktian serta penyebutan alat-alat bukti secara limitatif. pada ajaran pembuktian murni tidak terdapat ketentuan tertulis yang mengikat bagi hakim/pengadilan untuk menentukan berapa banyaknya pembuktian yang dibutuhkan, pembebanan, pembuktian, pemilihan alat bukti maupun penilainnya.

Di tangan hakim-hakim Mahkamah Konstitusi ini, hukum acara Mahkamah Konstitusi berhasil ditegakkan sesuai dengan prinsip pembuktian yang digariskan dalam hukum acara Mahkamah Konstitusi. Ketentuan dalam hukum acara Mahkamah Konstitusi ini menentukan kinerja hakim Mahkamah Konstitusi, 24 Ahmad Sodiki, Ahmad Sodiki, wawancara tanggal 22 Februari 2011 jam 19.30.

(12)

karena kinerjanya dalam menilai alat bukti, akan besar pengaruhnya baik bagi citra Mahkamah Konstitusi maupun para pihak yang menggantungkan harapan padanya.

Meskipun masing-masing pihak merasa yakin kalau perkaranya di Mahkamah Konstitusi akan dimenangkannya, tetapi tidak selalu yang diyakini oleh penggugat (pemohon) maupun tergugat (termohon) ini yang sejalan dengan putusan yang dijatuhkan oleh hakim Mahkamah Konstitusi. Hakim Mahkamah Konstitusi yang mempunyai hak kebebasan yang dijamin oleh peraturan perundang-undangan bisa menentukan lain, yang tidak sama dengan yang diyakini oleh pihak pemohon maupun termohon dalam sengketa pemilukada.

M.Mahfud MD, mangatakan bahwa hakim dalam melakukan pemeriksaan persidangan dan mengambil putusan, tidak hanya mengandalkan kecerdasan dan kecerdikan rasio saja, akan tetapi hakim harus juga didukung kepekaan hati nuraninya, sehingga keputusannya dapat adil, manfaat dan mempunyai

kepastian hukum25. Jaminan secara yuridis tentang hak kebebasan hakim

Mahkamah Konstitusi dalam memeriksa dan menjatuhkan vonis inilah yang membuat problem atau kasus yang diajukan pemohon ke Mahkamah Konstitusi secara umum mendapatkan respon positip dari masyarakat atau pencari keadilan (justiabelen).

Hak kebebasan itu dapat dimasukkan dalam substansi independensi hakim. Artinya Independensi yang bermaknakan sebagai bebas dari pengaruh eksekutif maupun segala kekuasaan negara lainnya dan kebebasan dari paksaan, direktiva atau rekomendasi yang datang dari pihak-pihak extra judisiil, kecuali dalam hal-hal yang diizinkan oleh Undang-undang.

Independensi Kekuasaan Kehakiman atau badan-badan kehakiman/peradilan merupakan salah satu dasar untuk terselenggaranya pemerintah yang demokratis

dibawah rule of Law sebagaimana pemikiran mengenai negara hukum modern

yang pernah di cetuskan dalam konferensi oleh International Commission of Jurists

di Bangkok pada tahun 1965.

Dalam pertemuan konferensi tersebut ditekankan pemahaman tentang apa

yang disebut sebagai “the dynamic aspects of the Rule of Law in the modern age”

(aspek-aspek dinamika rule of law dalam abad modern). Dikatakan bahwa ada 6

(13)

(enam) syarat-syarat dasar untuk terselenggaranya pemerintah yang demokratis

dibawah rule of law, yaitu: 1) Perlindungan Konstitusjonal,2) Peradilan atau

badan-badan kehakiman yang bebas dan tidak memihak, 3) Pemilihan Umum yang bebas, 4) Kebebasan menyatakan pendapat, 5) Kebebasan berserikat/berorganisasi dan

beroposisi, dan 6) Pendidikan kewarganegaraan.26

Dari syarat-syarat tersebut jelaslah bahwa independensi Kekuasaan Kehakiman merupakan salah satu pilar yang pokok, yang apabila komponen tersebut tidak ada maka tidak bisa berbicara lagi tentang negara hukum. Dalam posisi ini, peran Mahkamah Konstitusi sangat menentukan, bilamana ia mampu menunjukkan dirinya sebagai badan peradilan seperti yang diharapkan masyarakat.

Tidak ada kekuasaan atau kewenangan di dunia ini yang tidak tak-terbatas, atau tanpa batas, kecuali kekuasaan Tuhan Yang Maha Kuasa di dunia ini maupun di akhirat. Kekuasaan Kehakiman, yang dikatakan independensi atau mandiri itu pada hakekatnya diikat dan dibatasi oleh rambu-rambu tertentu, sehingga dalam

konferensi International Commission of Jurists dikatakan bahwa : “Independence

does not mean that the judge is entitled to act in an arbitrary manner”.

Batasan atau rambu-rambu yang harus diingat dan diperhatikan dalam

implementasi kebebasan itu adalah terutama aturan-aturan hukum itu sendiri. Ketentuan-ketentuan hukum, baik segi prosedural maupun substansial/ materiil, itu sendiri sudah merupakan batasan bagi kekuasaan “kehakiman agar dalam melakukan independensinya tidak melanggar hukum, dan bertindak

sewenang-wenang. Hakim adalah “subordinated” pada hukum dan tidak dapat bertindak

“contra legem”.27

Batasan kemandirian itu bukan dimaksudkan untuk membatasi atau menghilangkan kebebasan hakim, tetapi mengawal kebebasan hakim supaya

tidak terjadi “tirani peradilan”. 28 ketakutan sebagian orang terhadap kebebasan

berfikir, menafsirkan, dan memutuskan yang bersifat final yang dijatuhkan oleh hakim Mahkamah Konstitusi, patut disikapi secara rasionalitas, karena dengan puusan yang bersifat final, dapat membawa konsekuensi yuridis bagi banyak pihak, khususnya pemohon dan termohon. Hal inilah yang disampaikan oleh Ahmad Sodiki, bahwa kebebasan dalam menjatuhkan putusan harus benar-benar ditunjukkan sebagai kebebasan yang berdasarkan hati nurani, kebenaran, dan 26 http://www.lfip.org/english/pdf/bali-seminar/Kebebasan%20Hakim%20-%20paulus%20lotulong.pdf, diunduh tanggal 2 Mei 2012.

27 Ibid

(14)

bukan dengan pertimbangan kepentingan perut atau tendensi yang berurusan

dengan kepentingan mendapatkan uang, penghargaan, atau jabatan tertentu29.

Kebebasan dan independensi tersebut diikat pula dengan pertanggungan-jawab atau akuntabilitas, yang kedua-duanya itu, independensi dan akuntabilitas pada dasarnya merupakan kedua sisi koin mata uang saling melekat. Tidak ada kebebasan mutlak tanpa tanggung jawab. Dengan kata lain dapat dipahami bahwa

dalam konteks kebebasan hakim (independency of judiciary) haruslah diimbangi

dengan pasangannya yaitu akuntabilitas peradilan (Judicial accountability).

Dalam memasuki era globalisasi sekarang ini, menjadi kewajiban bagi kita semua yang bergerak di pemerintahan dan penegakan hukum, baik kalangan teoritisi/ akademisi maupun praktisi untuk mengkaji secara serius dan mendalam mengenai

pengertian “judicial accountability” tersebut sebagai pasangan dari “independency

of judiciary”.30

Bentuk tanggung jawab ada dan bisa dalam mekanisme yang berbagai macam,

dan salah satu yang perlu disadari adalah “social accountability” (pertanggungan

jawab pada masyarakat), karena pada dasarnya tugas badan-badan kehakiman

atau peradilan adalah melaksanakan public service di bidang memberikan keadilan

bagi masyarakat pencari keadilan. Secara teoritis, di samping social atau public

accountability tersebut dikenal pula: political accountability/legal accountability of state, dan personal accountability of the judge.’

Sisi lain dari rambu-rambu akuntabilitas tersebut adalah adanya integritas dan sjfat transparansi dalam penyelenggaraan dan proses memberikan keadilan tersebut, hal mana harus diwujudkan dalam bentuk publikasi putusan putusan badan pengadilan serta akses publik yang lebih mudah untuk mengetahui dan membahas putusan-putusan badan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. Sehingga karenanya putusan-putusan tersebut dapat menjadi obyek kajian

hukum dalam komunitas hukum.31

Plato pernah mengingatkan, bawa seperti manusia, demikian pulalah negara. negara adalah perwujudan sifat-sifat manusianya. negara adalah apa yang menjadi

perilaku manusianya.32 Begitupun dunia hukum, baik tidaknya bangunan negara

hukum tidak lepas dari ucapan, sikap, dan perilaku manusia-manusianya. Meski 29 Ahmad Sodiki, Op.Cit.

30 http://www.lfip.org/english/pdf/bali-seminar/Kebebasan%20Hakim%20-%20paulus%20lotulong.pdf, diunduh 11 Mei 2012. 31 Ibid.

(15)

menyandang prediket sebagai negara hukum, bilamana aparat penegak hukumnya, dalam hal ini hakim-hakim yang dipercaya menangani perkara yang diajukan kepadanya tidak menjadikannya sebagai amanat atau tanggungjawab utamanya, maka dunia hukum menjadi dunia yang menyakiti dan melanggar hak-hak pencari keadilan.

Hakim Mahkamah Konstitusi mempunyai kebebasan dalam memeriksa perkara yang diajukan kepadanya. Kebebasan hakim Mahkamah Konstitusi ini menjadi substansi independensi peradilan. Peradilan akan tetap terjaga kredibilitasnya bilamana independensinya bisa dijaga oleh aparat penegak hukum, dalam hal ini hakim. Independensi ini diantaranya ditunjukkan dengan melakukan penafsiran tanpa dipengaruhi oleh kepentingan politik, ekonomi, dan aspek-aspek lainnya.

Dalam konteks hukum, perbedaan penafsiran terhadap peraturan perundang-udangan sebenarnya hal yang biasa terjadi sejak zaman dulu. Meskipun demikian, terhadap kasus-kasus seperti itu, perlu kiranya mendapat perhatian dan kajian yang serius di masa mendatang, supaya tidak berdampak merugikan kepentingan

pencari keadilan (justiciabel). Praktek harus diakui, seringkali dijumpai suatu

permasalahan yang belum diatur dalam peraturan perundang-undangan ataupun kalau sudah diatur tetapi ketentuan perundang-undangan tersebut tidak mengatur secara jelas dan lengkap. Bahkan seperti dikemukakan Sudikno Mertokusumo, bahwa tidak ada hukum atau Undang-undang yang lengkap atau jelas. Karena fungsi hukum adalah untuk melindungi kepentingan manusia dengan mengatur seluruh kegiatan manusia. Sedangkan kepentingan manusia itu tidak terhitung jumlah dan jenisnya, dan terus menerus berkembang sepanjang masa. Oleh karena itu perlu menemukan hukumnya demi mecapai keadilan substantif. Kalau mengacu kepada UU No. 4 Tahun 2004 Tentang Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman (sebelum diubah menjadi UU Nomor 48 Tahun 2009), sebenarnya ada beberapa ketentuan yang bisa menjadi rujukan. Pasal 14 ayat (1) menyatakan ”Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa dan mengadili suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya”.

Pasal 5 ayat (1) menyebutkan “pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membedakan orang”. Pasal 5 ayat (1) ini tentunya lebih luas ruang lingkupnya dibandingkan Pasal 20 AB, yang menyebutkan Hakim mengadili menurut Undang-undang, karena pengertian “hukum” di sini bisa dalam arti

(16)

hukum tertulis (perundang-undangan) maupun hukum yang tidak tertulis (hukum adat atau kebiasaan). Pentingnya Hakim memperhatikan hukum tidak tertulis ini dipertegas lagi dalam ketentuan Pasal 28 ayat (1) yang menegaskan “hakim wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat”.

Apabila dicermati, pasal-pasal di atas terutama berkaitan erat dengan tugas dan kewajiban seorang hakim dalam memeriksa, mengadili dan memutuskan

suatu perkara. Dalam mencari keadilan, Hakim perlu juga memperhatikan idee

des recht, yang meliputi tiga unsur, yaitu kepastian hukum (rechtssicherheit),

keadilan (gerechtigheit) dan kemanfaatan (zweckmassigheit) secara proporsional.

Tetapi memang bukan hal yang mudah untuk dapat mengakomodir ketiga unsur tersebut, khususnya soal keadilan.

Pada praktiknya, pemaknaan keadilan dalam penanganan sengketa-sengketa

hukum ternyata masih debatable. Banyak pihak merasakan dan menilai bahwa

lembaga pengadilan kurang adil karena terlalu syarat dengan prosedur, formalistis, kaku, dan lamban dalam memberikan putusan terhadap suatu sengketa. Agaknya faktor tersebut tidak lepas dari cara pandang hakim terhadap hukum yang amat kaku dan normatif prosedural dalam melakukan konkretisasi hukum. Sedangkan

idealnya hakim mampu menjadi living interpretator yang mampu menangkap

semangat keadilan dalam masyarakat dan tidak terbelenggu oleh kekakuan normatif prosedural yang ada dalam suatu peraturan perundang-undangan,

karena hakim bukan lagi sekedar la bouche de la loi (corong atau mulut

undang-undang).

Dengan begitu, hakim berfungsi melengkapi ketentuan-ketentuan hukum

tertulis atau membuat hukum baru (creation of new law) dengan cara melakukan

pembentukan hukum (rechtsvorming) baru dan penemuan hukum (rechtsvinding),

guna mengisi kekosongan dalam hukum dan mencegah tidak ditanganinya suatu perkara dengan alasan karena hukum tertulisnya sudah ada tetapi belum jelas,

atau sama sekali hukum tertulisnya tidak ada untuk kasus in konkretto.33

Dalam penegakan hukum, hakim senantiasa dalam putusannya memperhatikan dan menerapkan serta mencerminkan tiga asas yaitu kepastian hukum (rechtssicherheit), kemanfaatan (zweckmassigkeiit) dan keadilan (gerechtigkeit)

dengan mengusahakan kompromi secara proporsional seimbang diantara 33 Burhanuddin, Op.Cit, h. 37-38.

(17)

ketiga unsur tersebut. Sehingga hakim yang bersangkutan itu tidak boleh hanya mengutamakan atau menonjolkan salah satu unsur saja, sedangkan dua unsur lainnya dari ketiga unsur penegakan hukum tersebut dikorbankan atau dikesampingkan. Oleh karenanya, suatu putusan hakim adalah merupakan hukum dalam arti sebenarnya, karena putusan tersebut di dasarkan pada suatu perkara konkrit yang diadili, diperiksa dan diputus oleh hakim yang bersangkutan yang kepadanya dihadapkan perkara tersebut.

Mengenai keadilan jika dipandang dari terminologi hukum diterjemahkan sebagai keadaan yang dapat diterima akal sehat secara umum pada waktu tertentu tentang apa yang benar. Sementara John Rawls mengemukakan, keadilan adalah fairness, yaitu kondisi yang dibangun di atas dasar pandangan setiap individu memiliki kebebasan, status quo awal yang menegaskan kesepakatan fundamental

dalam kontrak sosial adalah fair. Inilah posisi orisinal manusia ketika bergabung

dalam komunitas bernama kontrak sosial. Gagasan utama keadilan dalam pandangan Rawls adalah bagaimana lembaga utama masyarakat mengatur hak dan kewajiban dasar serta menentukan pembagian kesejahteraan kerja sama sosial yang dibangun. Masyarakat yang awam hukum perlu memahami soal hukum yang sederhana ini. Hakim di pengadilan boleh melepaskan diri dari belenggu suatu peraturan perundang-undangan untuk membuat putusan berdasar keyakinannya guna menegakkan keadilan substantif.

Mengkaji keadilan substantif dalam negara hukum, bukan berarti hakim harus selalu mengabaikan bunyi undang-undang. Melainkan, dengan keadilan substantif berarti hakim bisa mengabaikan undang-undang yang tidak memberi rasa keadilan, tetapi tetap berpedoman pada formal prosedural undang-undang yang sudah memberi rasa keadilan sekaligus menjamin kepastian hukum.

Keadilan prosedural menunjuk pada gagasan tentang keadilan dalam proses-proses penyelesaian sengketa dan pengalokasian sumber daya. Salah satu aspek dari keadilan prosedural ini berkaitan dengan pembahasan tentang bagaimana memberikan keadilan dalam proses hukum. Makna keadilan prosedural yang seperti ini dapat dihubungkan dengan proses peradilan yang patut (Amerika Serikat), keadilan fundamental (Kanada), keadilan prosedural (Australia), dan

keadilan alamiah (Negara-negara Comon Law lainnya), namun gagasan tentang

keadilan prosedural ini dapat pula diterapkan terhadap konteks non hukum di mana beberapa proses digunakan untuk menyelesaikan konflik atau untuk

(18)

membagi-bagi keuntungan atau beban. Sedangkan dalam mencari keadilan substantif para hakim tidaklah cukup untuk berada pada batasan dalam keadilan prosedural semata, melainkan harus dapat mewujudkan suatu keadilan yang sesungguhnya, yang keadilan ini diperoleh dari penafsiran hakim dalam persidangan terhadap

pihak-pihak yang berperkara.34

Penafsiran yang dilakukan oleh hakim Mahkamah Konstitusi merupakan

wujud kebebesan yang dimilikinya. Menurut Ahmad Sodiki,35 penafsiran yuridis

yang dilakukan oleh hakim-hakim Mahkamah Konstitusi saat menangani perkara, bukan hanya berbentuk penafsiran terhadap sumber yuridis yang dijadikan pijakan atau rujukan rasionalitas terhadap perkara yang diajukan oleh pemohon atau ketika sidang dilaksanakan, tetapi juga terhadap alat-alat atau barang bukti. Dari penafsiran demikian ini kemudian dapat meyakinkan bagi hakim untuk menjatuhkan putusan atas perkara pemilukada yang diperiksanya.

Dalam menangani masalah sengketa pemilukada, hakim yang menanganinya diuji kapabilitasnya dalam memilih dan menggunakan model penafsiran yang tepat sebagaimana berbagai model penafsiran yang dipaparkan di atas. Penggunaan penafsiran atas alat atau barang bukti yang diajukan di sidang pengadilan pemilukada di Mahkamah Konstitusi tidak jarang menimbulkan perbedaan pendapat atau penafsiran antara hakim yang satu dengan hakim lainnya.

Perbedaan pendapat atau penafsiran terhadap kedudukan hukum, alat atau barang bukti, dalam hubungannya dengan perkara yang diajukan (dimohonkan) ke Mahkamah Konstitusi, juga diakui oleh mantan hakim Mahkamah Konstitusi, Rustandi, bahwa hal itu menjadi bukti kemandirian hakim-hakim Mahkamah Konstitusi dalam menunjukkan kinerja yang didasari oleh semangat demokratis dan intelektualitas. Mereka menangani dan memutuskan perkara dengan keyakinan yang dimiliki, yang keyakinannya ini didasarkan pada aspek rasionalitas dalam menganalisis alat atau barang bukti, serta dalil-dalil yuridis atau dasar hukum yang diajukannya.

Penggalian dan penafsiran merupakan rangkaian dari peran hakim untuk menemukan hukum. Penemuan hukum erat kaitannya dengan peranan hakim dalam pengadilan. Hakimlah yang nantinya akan memutus suatu sengketa hukum berdasarkan undang-undang. Bilamana hakim tidak menemukan aturan hukumnya, 34 Arming, Urgensitas Penafsiran Hukum oleh Hakim, http://armingsh.blogspot.com/2011/01/ugrensitas-penafsiran-hukum-oleh-hakim.html, diunduh,

7 Juli 2012. 35 Ahmad Sodiki, Op.Cit.

(19)

sedangkan IA dihadapkan pada sebuah sengketa, maka IA dapat berkreasi dengan melakukan penemuan hukum. Menurut Utrech hakim harus dapat menentukan apa yang merupakan hukum meskipun tidak diatur dalam undang-undang sekalipun.

Hal inilah yang disebut sebagai penemuan hukum.36

Dalam Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang No 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman disebutkan bahwa: “hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat” Dalam penjelasan pasal tersebut disebutkan: “Ketentuan dimaksud agar putusan hakim dan hakim konstitusi sesuai dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat” Dalam Pasal 10 ayat (1) juga menentukan bahwa: “pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya”

Merujuk pada pasal tersebut, dapat ditemukan pedoman bagi para hakim dan hakim konstitusi untuk melakukan penemuan hukum. Penemuan hukum pada dasarnya menurut Sudikno Mertokusumo merupakan proses pembentukan hukum oleh hakim atau petugas hukum lain yang diberi tugas melaksanakan hukum atau menerapkan pereaturan hukum umum terhadap peristiwa hukum

yang konkret.37

Selain itu, kekosongan hukum dimungkinkan terjadi apabila suatu undang-undang tidak dapat menjangkau sebuah permasalahn hukum. Hal ini akan dapat diatasi melalui hakim yang melakukan penemuan hukum. Sehingga putusan yang dibuat oleh hakim dapat mengisi celah ruang kosong yang ditinggalkan oleh

undang-undang. Dalam menghadapi kekosongan undang-undang (wet vacuum)

atau kekosongan hukum (rechts vacuum) dapat melakukan konstruksi hukum.

Penemuan hukum tersebut bermuara pada putusan hakim. Putusan hakim merupakan akhir segala sengketa yang terjadi, terutama pada putusan Mahkamah

Konstitusi yang sifatnya final and binding dan tidak dapat dilakukan upaya hukum.

Dalam memutus perkara hakim mempunyai kewenangan dan pertimbangan

tersendiri. Dalam memutus hakim dapat merujuk pada teori ratio decidendi,

sehingga hakim tidak hanya memberikan jaminan akan kepastian hukum namun juga keadilan dan kemanfaatan.

36 Yasir Fatahila, Putusan Mahkamah Konstitusi, http:// fatahilla .blogspot.com/ 2011/02/ putusan-mahkamah-konstitusi-dan.html, diunduh 15 April 2012. 37 Ibid.

(20)

Helmi Kasim,38 dari Puslitka Mahkamah Konstitusi menunjukkan temuannya,

bahwa dalam praktiknya, sepanjang tahun 2008 sampai dengan 2010 dalam melaksanakan kewenangan mengadili penselisihan pemilukada, Mahkamah Konstitusi mengeluarkan beberapa putusan-putusan yang tergolong kontroversial. Dikatakan kontroversial kanena Mahkamah Konstitusi telah menciptakan norma

hukum baru sesual dengan keyakinan hakim (Judge made law), yaitu dengan

memaknai dan memberikan pandangan hukum melalui putusan-putusannya dengan memberikan penafsinan yang luas demi tegaknya keadilan.

Semangat menegakkan nilai-nilai keadilan tensebut secara langsung telah menciptakan perkembangan yang pesat terhadap keilmuwan hukum di Indonesia. Dalam hal ini, putusan-putusan Mahkamah Konstitusi berkembang dan menciptakan

embrio-embrio baru putusan.39

Sebagai “pengawal konstitusi”, Mahkamah Konstitusi memilih konstitusi dan mengesampingkan norma UU, ketika semua lembaga pemangku kewenangan (KPUD/Kepolisian/Panwas/Pengadilan) membiarkan keadaan menuju tidak tercapainya konsolidasi demokrasi, sehingga untuk menjaga jangan sampai ada ketentuan konstitusi dilanggar, berdasarkan “prinsip proporsionalitas”, Mahkamah Konstitusi berkewajiban meluruskan keadaan supaya pemilikada serasi dengan

asas demokrasi. Ketidakjujuran, kebohongan publik dan pelecehan hukum dan

pemerintahan oleh Bupati terpilih, setidaknya telah mencederai UUD 45.40

Demikian juga soal pemohon yang berhak mengajukan keberatan (legalstanding), rigiditas hukum acara tidak menghalanginya mewujudkan keadilan dalam masyarakat. Mahkamah Konstitusi melakukan banyak terobosan. Ketentuan legal standing yang membatasi pemohon hanya kepada pasangan calon yang terdaftar mengikuti pemilukada saja telah ditafsir secara ekstensif, kini Mahkamah

Konstitusi memberikan kedudukan hukum (legal standing) kepada bakal pasangan

calon yang telah resmi mendaftarkan diri namun tidak ditetapkan oleh KPUD (putusan Mahkamah Konstitusi antara lain No. 196, 197, 198/PHPU.D-VIII/2010 ( PHPU Papua) dan No.31/PHPU.D-III/2011 (Tapanuli Tengah).

Ekstensifikasi legal standing ini dirumuskan Mahkamah Konstitusi karena

adanya alasan-alasan yang dapat melanggar norma-norma konstitusi, kedaulatan 38 Helmy Kasim, Kompatibilitas Metode Pembuktian dan Penafsiran Hakim dalam Penyelesaian Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Kepala Daerah,

Jakarta:: Puslitka Mahkamah Konstitusi, 2011, h. 1

39 Ibid. hlm. 1

(21)

hukum (nomokrasi) , dan kedaulatan rakyat (demokrasi), yaitu pelangaran hak

untuk menjadi pasangan calon (right to be candidate), pengabaian perintah

putusan pengadilan dan sikap keberpihakan KPUD pada pasangan calon tertentu dengan sengaja menghalang-halangi terpenuhinya persyaratan calon lainnya. Menurut Gerhard Robbes secara kontekstual ada 3 (tiga) esensi yang terkandung

dalam kebebasan hakim dalam melaksanakan kekuasaan kehakiman, yaitu:41 1)

hakim hanya tunduk pada hukum dan keadlian, 2) tidak seorang pun termasuk pemerintah dapat mempengaruhi atau mengarahkan putusan yang akan dijatuhkan oleh hakim, dan, 3) tidak boleh ada konsekuensi terhadap pribadi hakim dalam menjalankan tugas dan fungsi yudisialnya.

Sebelum menjatuhkan putusan, hakim harus bertanya kepada diri sendiri, jujurkah Ia dalam mengambil putusan ini, atau sudah tepatkah putusan yang diambilnya itu, akan dapat menyelesaikan suatu sengketa, atau adilkah putusan itu atau seberapa jauh manfaat dari putusan yang dijatuhkan oleh seorang hakim bagi para pihak dalam perkara atau bagi masyarakat pada umumnya.

Dalam perkembangan, putusan yang dikeluarkan Mahkamah Konstitusi dalam perkara hasil pemilukada tidak selalu menimbulkan kontroversi. Terdapat beberapa putusan yang menjadi kontroversi akibat Mahkamah Konstitusi memutus untuk dilakukannya pemungutan suara ulang atas dasar terjadinya pelanggaran dalam penyelenggaraan pemilukada yang mencederai demokrasi. Putusan yang memerintahkan agar dilakukan pemungutan suara ulang diantaranya pada perkara perselisihan hasil pemilukada Jawa Timur pada tahun 2008 dengan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 41/PHPU.D-VI/2008 dan perkara perselisihan hasil pemilukada Tangerang Selatan pada tahun 2010 dengan putusan MK Nomor

209-210/PHPU.D-VIII/2010.42

Dalam pertimbangan hukumnya Mahkamah Konstitusi memberikan penafsiran yang luas dalam mengadili sengketa pemilukada. Mahkamah Konstitusi berpendapat dalam mengadili sengketa pemilukada tidak hanya membedah permohonan dengan melihat hasil perolehan suara, melainkan juga meneliti secara mendalam adanya pelanggaran yang bersifat terstruktur, sistematis, dan masif yang mempengaruhi hasil perolehan suara tersebut.

41 Ahmad Rifai, Op.Cit, h. 104.

42 Rega Felix, Peran Mahkamah Konstitusi Dalam Menyelesaikan Sengketa Pemilukada Dalam Rangka Menegakkan Demokrasi Berdasarkan Kon-stitusi, Jakarta, Me 2011, h. 5.

(22)

Mahkamah Konstitusi dalam putusannya baik dalam perkara PHPU.D Jawa

Timur maupun PHPU.D Tangerang Selatan telah menerapkan doktrin judicial

activism. Adapun pemahaman judicial activism sebagai berikut: “a philosophy of judicial decision making, whereby judges allow their personal views about public policy, among other factors, to guide their decision, usually with the suggestion that

adherents of this philosophy tend to find constitutional violations and are willing

to ignore precedent,”43

Pada perkara PHPU.D Jawa timur Mahkamah Konstitusi memberikan pandangan bahwa Mahkamah Konstitusi tidak boleh membiarkan aturan-aturan

keadilan prosedural (procedural justice) memasung dan mengesampingkan

keadilan substantif (substantive justice),44 karena fakta-fakta hukum yang telah

terbukti dalam perkara tersebut telah nyata merupakan pelanggaran konstitusi, khususnya Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 yang mengharuskan pemilukada dilakukan secara demokratis, dan tidak melanggar asas-asas pemilihan umum yang bersifat langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 22E ayat (1) UUD 1945.

Berkenaan dengan penyelesaian perkara pemilukada tersebut, Mahkamah Konstitusi mengutip salah satu prinsip hukum dan keadilan yang dianut secara universal, bahwa “tidak seorang pun boleh diuntungkan oleh penyimpangan dan pelanggaran yang dilakukannya sendiri dan tidak seorang pun boleh dirugikan

oleh penyimpangan dan pelanggaran yang dilakukan oleh orang lain” (nullus/

nemo commodum capere potest de injuria sua propria).45 Artinya Mahkamah

Konstitusi menjatuhkan putusan sebagai wujud penegakan atau perlindungan hak konstitusional warga dari praktik-praktik kecurangan atau pelanggaran, yang putusan ini dijatuhkan setelah mengerahkan kemampuan moral dan nalar, yang kemampuan ini mengarahkannya pada suatu keyakinan kalau yang diputuskannya adalah benar dan adil.

43 Bryan A Garner, Black’s Law Dictionary, Thomas Reuters: West Publishing Co,2009, h. .922. 44 Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 41/PHPU.D-VI/2008, h. 128.

(23)

KESIMPULAN

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan, bahwa keyakinan hakim Mahkamah Konstitusi dalam putusan perselisihan pemilukada dapat terbentuk melalui asumsi, norma yuridis yang mengatur soal alat-alat bukti dan sistem pembuktian, kemampuan dalam melakukan penafsiran, mempelajari atau menelaah yurisprudensi, melakukan interpretasi hukum, dan melakukan penggalian hingga menemukan hukum. Setiap putusan hakim Mahkamah Konstitusi adalah berpijak pada fakta hukum di persidangan dengan melalui alat bukti baik tertulis maupun saksi–saksi. Putusan demikian mencerminkan peran hakim, karena pada asasnya hakim mempunyai kebebasan dalam menggali, menafsirkan dan menemukan

hukum (rechtsvinding), sehingga keyakinan hakim dalam menilai alat bukti dituntut

ketelitiannya dalam menilai kebenaran atau keaslian barang bukti dan saksi yang jujur, benar dan terlepas dari saksi yang bohong yang membenarkan kesalahan dan menyalahkan kebenaran.

Mengingat hak kebebasan yang diberikan oleh peraturan perundang-undanngan kepada hakim Mahkamah Konstitusi, terutama dalam menggunakan keyakinannya, maka guna menjauhi kecenderungan mengabsolutkan keyakinananya, diperlukan kode etik yang mengaturnya guna menjauhkan hakim Mahkamah Konstitusi dari kemungkinan praktik kesewenang-wenangan, ketidak-adilan, dan diskriminasi.

(24)

DAFTAR PUSTAKA

Buku-Buku

Alham Humaidi, 2009, Sengketa Pilkada Mengeksaminasi Mahkamah Konstitusi,

Yogyakarta: LP3YK.

Bryan A Garner, 2009, Black’s Law Dictionary, Thomas Reuters: West Publishing Co.

Helmy Kasim, 2011, Kompatibilitas Metode Pembuktian dan Penafsiran Hakim dalam Penyelesaian Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Kepala Daerah, Jakarta:: Puslitka Mahkamah Konstitusi.

Idham Chalid, 2009, Negara dan Neoborjuisme, Catatan Pinggir Anak Muda Jalanan,

Jakarta: Pijar Peradaban.

JJ.Brugink, Rechtsreflecties, 1995, alih bahasa Arif Sidharta, Bandung: Citra

Aditya Bakti.

Lukman hakim, 2009, Eksistensi Komisi-Komisi Negara Dalam Sistem Ketatanegaraan

Republik Indonesia, Malang: Disertasi Program Doktor Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Brawijaya.

Peter Mahmud MZ,, 2005, Penelitian Hukum, Jakarta: Predana Media.

Simamora, Yohanes Sogar, 2005, Prinsip Hukum Kontrak dalam Pengadaan barang

dan jasa oleh pemerintah, Surabaya: Disertasi Program Doktor Ilmu Hukum Pasca Sarjana Universitas Airlangga.

Soeryono Soekanto dan Sri Pamuji, 2003, Metode Penelitian Hukum, Jakarta:

Rineka Cipta.

____________________________, 1979, Peranan dan Penggunaan Perpustakaan di dalam Penelitian Hukum, Jakarta: Pusat Dokumentasi hukum Fakultas Hukum Univesitas Indonesia.

________________, 1986, Pengatar Penelitian Hukum, Jakarta: UI Press..

Sumardjono, Maria S.W, 2001, Pedoman pembuatan usulan penelitian sebuah

panduan Dasar, Jakarta: Gramedia Pustakan Utama.

Sudikno Mertokusuno. 2002, Hukum Acara Perdata Indonesia, Yogyakarta:

(25)

Internt/makalah/wawancara/Sambutan

Ahmad Sodiki, Ahmad Sodiki, wawancara tanggal 22 Februari 2011 jam 19.30.

Anwar Usman, Keyakinan Hakim, Surabaya, 9-10 Maret 2012, h. 7.

Akil Mochtar, “MK dan Perselisihan Hasil Pilkada”, http://www.akilmochtar. com/wp-content/uploads/2011/06/MK-dan-Perselisihan-Hasil-Pilkada.pdf, diunduh 17 Mei 2012.

Arming, Urgensitas Penafsiran Hukum oleh Hakim, http://armingsh.blogspot.

com/2011/01/ugrensitas-penafsiran-hukum-oleh-hakim.html, diunduh 7

Juli 2012.

Burhanuddin, Melawan Tirani Peradilan, Malang, 14 Pebruari 2011.

Deliarnoor, Nandang Alamsah, Tinjauan Teoretis Yuridis Sengketa Pemilihan Kepala

Daerah (pilkada), http:// pustaka. unpad.ac.id/wp-content/uploads/2011/01/ tinjauan_teoritis_yuridis.pdf, diunduh 15 Mei 2012.

Rega Felix, Peran Mahkamah Konstitusi Dalam Menyelesaikan Sengketa Pemilukada

Dalam Rangka Menegakkan Demokrasi Berdasarkan Konstitusi, Jakarta, Mei 2011.

http://www.komisikepolisianindonesia.com/secondPg.php?cat=hukum&id=862,

diunduh 16 Mei 2012.

Khafid, “Perbandingan Pembuktian Hukum Acara”, http://khafidsociality.blogspot.

com/2011/01/perbandingan-pembuktian-hukum-acara.html, diunduh 14

Mei 2012.

Moh.Mahfud MD, Kata Sambutan Ketua MK RI, Dalam rangka Acara Final Debat Konstitusi Nasional di Jakarta, tanggal 25 Juni 2012 jam 11.00

Yasir Fatahila, Putusan Mahkamah Konstitusi, http:// fatahilla .blogspot.com/

2011/02/ putusan-mahkamah-konstitusi-dan.html, diunduh 15 April 2012.

Referensi

Dokumen terkait

Namun, di kawasan HLPT dijumpai fakta yang menurut Dishutbun Kota Tarakan (2008) berdasarkan observasi bahwa sebagian areal HLPT telah dikonversi ke berbagai

Menurut Mardalis (2004:58) teknik purposive yaitu pengambilan sampel pada pertimbangan dan tujuan tertentu yang dilakukan dengan sengaja Adapun pihak yang diwawancara

Dari sekian banyak penelitian yang telah diuraikan diatas, belum ada yang membahas tentang “Analisis Hukum Pidana Islam Tentang Praktik Penegakkan Peraturan Daerah Nomor

Unit ini kompetensi ini berhubungan dengan pengetahuan, keterampilan dan sikap kerja yang dibutuhkan untuk Operasi Pemindahan Beban. ELEMEN KOMPETENSI KRITERIA

Zdravi : > nivo kortizola inhibira oslobađanje ACTH iz adenohipofize, < nivo kortizola i drugih adrenalnih steroida.. Patološka supresija kortizola - pacijenti sa

Hal-hal pokok yang diatur dalam Peraturan Pemerintah ini adalah tata cara pendaftaran dan pengesahan sebagai badan hukum, tata cara pendaftaran perubahan anggaran dasar,

Perpangkatan dari bentuk perkalian yang telah kamu pelajari tersebut memperjelas sifat berikut... Berapa joule besarnya energi listrik

Mengingat pentingnya peran dari seorang caregiver dalam program pendampingan psikososial, dimana pendampingan psikososial juga memiliki peran penting dalam memperbaiki