• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
22
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 HIV ( Human Immunodeficiency Virus ) 2.1.1 Definisi atau pengertian HIV

Istilah HIV telah digunakan sejak 1986 sebagai nama untuk retrovirus yang diusulkan pertama kali sebagai penyebab AIDS oleh Luc Montagnier dari Perancis, yang awalnya menamakannya LAV (lymphadenopathy-associated

virus) dan oleh Robert Gallo

2.1.2 Epidemiologi HIV

dari Amerika Serikat, yang awalnya menamakannya HTLV-III (human T lymphotropic virus type III). HIV adalah anggota dari genus lentivirus, bagian dari keluarga retroviridae yang ditandai dengan periode latensi yang panjang dan sebuah sampul lipid dari host-sel awal yang mengelilingi sebuah pusat protein/RNA. HIV-1 dan HIV-2 adalah dua sepsis HIV yang menginfeksi manusia. HIV-1 adalah yang lebih virulent dan lebih mudah menular, dan merupakan sumber dari kebanyakan infeksi HIV di seluruh dunia sedangkan HIV-2 kebanyakan masih terkurung di Afrika Barat (Puraja, 2008).

Dari semua wilayah di dunia, sub-Sahara Afrika adalah yang paling sering terjangkit HIV, yang mengandung sekitar 70% dari orang yang hidup dengan HIV. Sebagian besar negara di Asia tidak melihat ledakan epidemi pada masyarakat umum sampai sekarang tapi penggunaan narkoba dan pekerja seks mula meningkat dan menghancurkan harapan demikian (Morison, 2001).

Suatu temuan terbaru menyatakan bahwa prevalensi HIV global telah stabil pada 0,8% dengan 33 juta orang yang hidup dengan HIV yaitu 2,7 juta infeksi baru, dan 2,0 juta kematian di tahun 2007 (Peter, 2009).

(2)

Sejak awal abad ke-21, peningkatan jumlah kasus semakin mencemaskan di Indonesia. Pada akhir tahun 2003, 25 provinsi telah melaporkan adanya kasus AIDS. Para ahli epidemiologi Indonesia dalam kajiannya tentang kecenderungan epidemi HIV dan AIDS memproyeksikan bahwa apabila tidak ada peningkatan upaya penanggulangan yang bermakna, maka pada tahun 2010 jumlah kasus AIDS akan menjadi 400.000 orang dengan kematian 100.000 orang dan pada tahun 2015 menjadi 1.000.000 orang dengan kematian 350.000 orang (Komisi Penanggulangan AIDS).

2.1.3 Risiko Penularan dan Transmisi

Penularan HIV membutuhkan kontak dengan cairan tubuh khususya darah, air mani, cairan vagina, air susu ibu, air liur, atau eksudat dari luka atau kulit dan mukosa yang mengandungi virion bebas atau sel yang terinfeksi. Transmisi umumnya oleh perpindahan cairan tubuh secara langsung melalui hubungan seksual, berbagi jarum yang terkontaminasi darah, persalinan, menyusui dan prosedur medis seperti transfusi dan paparan instrumen yang terkontaminasi (McCutchan, 2009).

2.1.4 Patofisiologi HIV

Sel limfosit CD4 merupakan target utama pada infeksi HIV. Sel ini berfungsi sentral dalam sistem imun. Pada mulanya sistem imun dapat mengendalikan infeksi HIV, namun dengan perjalanan dari waktu ke waktu HIV akan menimbulkan penurunan jumlah sel limfosit CD4, terganggunya homeostasis dan fungsi sel-sel lainnya dalam sistem imun tersebut. Keadaan ini akan menimbulkan berbagai gejala penyakit dengan spektrum yang luas. Gejala penyakit tersebut terutama merupakan akibat terganggunya fungsi imunitas seluler, disamping imunitas humoral karena gangguan sel T helper (Th) untuk mengaktivasi sel limfosit B. HIV menimbulkan penyakit melalui beberapa mekanisme, antara lain: terjadinya defisiensi imun yang menimbulkan infeksi

(3)

oportunistik, terjadinya reaksi autoimun, reaksi hipersensitivitas dan kecenderungan terjadinya malignansi atau keganasan pada stadium lanjut.

Infeksi HIV terjadi melalui tiga jalur transmisi utama, yaitu transmisi melalui mukosa genital, transmisi langsung ke peredaran darah melalui jarum suntik, dan transmisi vertikal dari ibu ke janin. Untuk bisa menginfeksi sel, HIV memerlukan reseptor dan reseptor utama untuk HIV adalah molekul CD4 pada permukaan sel pejamu. Namun reseptor CD4 saja ternyata tidak cukup. Ada beberapa sel yang tidak mempunyai reseptor CD4, tapi dapat diinfeksi oleh HIV yaitu Fc reseptor untuk virion yang diliputi antibodi, dan molekul CD26 yang diperkirakan merupakan koreseptor untuk terjadinya fusi sel dan masuknya virus kedalam sel. Di samping itu telah ditemukan juga koreseptor kemokin yang mempunyai peranan sangat penting dalam proses masuknya HIV ke dalam sel yaitu CCR5 dan CXCR4 (Merati, 1999).

HIV yang masuk ke tubuh menularkan sel ini, ‘membajak’ sel tersebut, dan kemudian menjadikannya sebagai medium yang membuat miliaran tiruan virus. Ketika proses tersebut selesai, sel mirip HIV itu meninggalkan sel dan masuk ke sel CD4 yang lain. Sel yang ditinggalkan menjadi rusak atau mati. Jika sel-sel ini hancur, maka sistem kekebalan tubuh kehilangan kemampuan untuk melindungi tubuh kita dari serangan penyakit. Keadaan ini membuat kita mudah terseranÐÏÎÍ@B        

(4)

  t, karena dikendalikan oleh sistem kekebalan tubuh yang sehat. Karena kuman tersebut memanfaatkan kesempatan yang diberikan oleh sistem kekebalan tubuh yang rusak, penyakit yang disebabkannya disebut infeksi oportunistik (Yayasan Spritia, 2009).

2.1.5 Gejala klinis

Gejala HIV akan berbeda dari orang ke orang dan juga akan tergantung pada tahap penyakit. Seseorang tidak akan mengalami perubahan dalam kesehatan mereka secara segera setelah terinfeksi. Indikasi pertama infeksi adalah seperti gejala flu, ruam atau kelenjar yang membengkak dan sering dianggap sebagai gejala minor. Ada empat tahapan yang berbeda pada HIV dengan gejala yang berbeda.

I)HIV-Akut

Beberapa minggu setelah terpapar virus HIV, beberapa orang mengalami penyakit yang disebut sindrom HIV akut. Indikator fase pertama infeksi meliputi demam, sakit kepala, sakit tenggorokan, pembengkakan kelenjar getah bening, kelelahan, hilangnya nafsu makan, diare, ruam kulit, rasa mual dan nyeri otot. Ini adalah gejala awal dan akan terjadi dalam beberapa minggu pertama setelah terinfeksi virus. Selama tahap awal, sistem kekebalan tubuh mulai memproduksi antibodi HIV dan limfosit sitotoksik sebagai respons terhadap HIV.

II)HIV-Asimtomatik

Tahap kedua dari penyakit ini dikenal sebagai asimtomatik. Ini karena, selama pasien mengambil obatan yang dipreskripsi, mereka bebas dari gejala. Tingkat HIV juga turun ke tingkat yang lebih rendah. Pasien harus sedar bahwa meskipun gejala-gejala tidak lagi hadir, virus ini masih berkembang biak dan menghancurkan sel-sel kekebalan tubuh pasien dan obat-obatan harus diambil

(5)

secara konsisten untuk memaksimalkan kualitas hidup pasien. Tahap ini berlangsung rata-rata dari 8 hingga 10 tahun.

III)HIV–Simtomatik

Pada saat infeksi ini, sistem kekebalan tubuh telah rusak dengan parah oleh HIV. Ada beberapa teori yang menerangkan mengapa hal ini terjadi seperti kerusakan kelenjar getah bening dan jaringan yang sudah bertahun lamanya. HIV bermutasi dan menjadi lebih kuat serta lebih bervariasi dan langsung menyebabkan kerusakan sel tubuh yang lebih banyak sehingga tidak mampu bersaing dan menggantikan sel T pembantu yang hilang. Gejala klinis tahap ketiga meliputi keringat malam, pembengkakan kelenjar getah bening secara menetap, demam persisten, infeksi kulit, sesak nafas dan batuk kering. Tahap ini berlangsung hampir untuk 1 hingga 3 tahun.

IV)

Tahap terakhir adalah perkembangan dari HIV menjadi AIDS di mana infeksi oportunistik seperti radang paru-paru, penyakit syaraf atau jenis kanker tertentu berkembang dan bermanifestasi. Diagnosis AIDS ditentukan apabila pasien dengan HIV mengembangkan satu atau lebih dari sejumlah tertentu infeksi oportunistik atau kanker. Saat ini tidak ada obat untuk AIDS. Namun ada sejumlah perawatan yang tersedia untuk membantu memperpanjang rentang hidup

dan kualitas hidup pasien dengan HIV dan AIDS (Hunt, 2009). Perkembangan dari HIV

2.1.6 Diagnosa

Infeksi HIV biasanya didiagnosis dengan tes darah yang mendeteksi antibodi tubuh dalam upaya untuk memerangi virus. Hal ini dapat memakan waktu bagi sistem kekebalan tubuh untuk menghasilkan antibodi yang cukup untuk tes antibodi untuk mendeteksi mereka. Periode ini sering disebut sebagai “periode jendela” dan dapat mengambil masa enam minggu sampai tiga bulan setelah

(6)

infeksi. Pengujian awal sangat penting, karena pengobatan awal untuk HIV membantu orang menghindari atau meminimalkan komplikasi. Selain itu, perilaku berisiko tinggi dapat dihindari, sehingga mencegah penyebaran virus ke orang lain.

Pengujian HIV terdiri dari 2 proses. Pertama, tes skrining dilakukan. Jika tes positif, tes kedua (Western blot) dilakukan untuk mengkonfirmasi hasilnya. Enzim

Immunoassay (EIA) yang digunakan pada darah adalah tes skrining yang paling

umum. Tes EIA lain dapat mendeteksi antibodi dalam cairan tubuh selain darah seperti cairan oral, urine, dan cairan vagina. Rapid Test pula adalah tes skrining alternatif yang menghasilkan hasil yang cepat di sekitar 20 menit. Ada tes yang disetujui FDA yang menggunakan darah atau cairan oral. Tes-tes ini memiliki tingkat akurasi yang sama dengan tes EIA tradisional. Selain itu, alat tes HIV atau

home-testing kits tersedia di banyak toko obat lokal. Darah diperoleh dengan

menusukkan jari terlebih dahulu dan kemudian darah diusap pada strip filter. Darah dimasukkan ke dalam amplop pelindung dan dikirimkan ke laboratorium untuk diuji. Semua tes skrining yang positif harus dikonfirmasi dengan tes darah yang disebut Western blot untuk menegakkan diagnosisnya jka positif.

Pada individu yang tidak terinfeksi HIV, jumlah sel CD4 dalam darahnya normal iaitu di atas 500 sel per milimeter kubik (mm3) darah. Pada orang yang disuspek menghidap HIV, dihitung jumlah sel CD4 nya. Orang yang terinfeksi HIV umumnya tidak beresiko menghadapi komplikasi sehingga sel CD4nya menjadi kurang dari 200 sel per mm3. Pada kadar CD4 ini, sistem imun tidak berfungsi baik dan makin menurun. Pasien-pasien yang mempunyai sel CD4 kurang dari 200 sel per mm3 disebut sebagai kondisi imunosupresi. Penurunan jumlah sel CD4 artinya membuktikan bahwa penyakit HIV tersebut sedang berlanjut. Jadi, sel CD4 yang rendah adalah sinyal bahwa orang tersebut dalam resiko terhadap satu atau banyak infeksi yang tidak biasa (disebut infeksi

(7)

oportunistik ) yang terjadi pada individu dalam keadaan imunosupresi (Szeftel ,

2.1.7 Penatalaksanaan 2010).

Ketika HIV pertama kali diidentifikasi pada awal tahun 1980, ada beberapa obat yang digunakan untuk mengobati virus dan infeksi oportunistik yang terkait dengannya. Sebuah panel ahli AIDS terkemuka telah mengembangkan rekomendasi untuk penggunaan obat anti-retroviral pada orang dengan HIV. Tujuan ART ( Anti-Retroviral Therapy ) adalah untuk mengurangi jumlah virus dalam darah meskipun hal ini tidak berarti bahwa virus akan hilang. Hal ini biasanya dicapai dengan kombinasi tiga atau lebih obat-obatan.

Meskipun tidak ada obat untuk memerangi AIDS, obat telah sangat efektif dalam memerangi HIV dan komplikasinya. Pengobatan membantu mengurangi virus HIV dalam tubuh, menjaga sistem kekebalan tubuh sesehat mungkin dan menurunkan komplikasi. Berikut adalah beberapa obat yang disetujui oleh US

Food and Drug Administration (FDA) untuk mengobati HIV dan AIDS :

Obat ini menghambat kerja virus dari duplikasi, yang dapat memperlambat penyebaran HIV dalam tubuh. Antaranya adalah, Abacavir (Ziagen, ABC), Didanosine (Videx, dideoxyinosine, ddI), Emtricitabine (Emtriva, FTC), Lamivudine (Epivir, 3TC), Stavudine (Zerit, d4T), Tenofovir (Viread, TDF), Zalcitabine (Hivid, ddC) dan Zidovudine (Retrovir, ZDV or AZT). Kombinasi NRTI disarankan untuk diambil pada dosis yang lebih rendah dan mempertahankan effektivitasnya.

(8)

Obat-obat yang disetujui FDA ini menghambat replikasi virus pada tahap lanjut dalam siklus hidup virus. Protease inhibitors meliput i Amprenavir (Agenerase, APV), Atazanavir (Reyataz, ATV), Fosamprenavir (Lexiva, FOS), Indinavir (Crixivan, IDV), Lopinavir (Kaletra, LPV/r), Ritonavir (Norvir, RIT) dan Saquinavir (Fortovase,Invirase, SQV).

Protease Inhibitor (PI)

Pengobatan lain :

Fusion inhibitor adalah obat dari kelas baru yang bertindak melawan HIV

dengan mencegah virus dari bergabung dengan bagian dalam sel sekaligus mencegah dari replikasi. Kelompok obat-obatan termasuk Enfuvirtide yang juga dikenal sebagai Fuzeon atau T-20.

Fusion Inhibitors

Pada tahun 1996, terapi antiretroviral (ART) diperkenalkan untuk orang dengan HIV dan AIDS. ART sering disebut sebagai anti-HIV cocktail iaitu kombinasi dari tiga atau lebih obat-obatan, seperti Protease Inhibitors dan obat anti-retroviral yang lain. Pengobatan ini sangat efektif dalam memperlambat virus HIV bereplikasi sendiri. Tujuan ART adalah untuk mengurangi jumlah virus dalam tubuh atau viral load ke tingkat yang tidak bisa lagi dideteksi dengan tes darah.

Highly Active Antiretroviral Therapy (HAART)

Non-nucleoside reverse transcriptase inhibitors (NNRTIs) memblok infeksi

sel baru HIV. Obat-obat ini dapat ditentukan dalam kombinasi dengan obat anti-retroviral lainnya. NNRTs meliputi Delvaridine (Rescriptor, DLV), Efravirenz (Sustiva, EFV) dan Nevirapine (Viramune, NVP) (Coffey, 2007).

(9)

2.1.8 Prognosa dan pencegahan

Para peneliti telah mengamati dua pola umum penyakit pada anak yang terinfeksi HIV. Sekitar 20 persen dari anak-anak mengembangkan penyakit serius pada tahun pertama kehidupan, sebagian besar anak-anak ini meninggal pada usia 4 tahun. Perempuan yang terinfeksi HIV dan terdeteksi dini serta menerima pengobatan yang tepat, bertahan lebih lama daripada pria. Orang tua yang didiagnosis HIV tidak hidup selama orang muda yang memiliki virus ini.

Meskipun ada upaya yang signifikan, namun tidak ada vaksin yang efektif terhadap HIV. Satu-satunya cara untuk mencegah infeksi oleh virus ini adalah untuk menghindari perilaku yang membuat kita berisiko, seperti berbagi jarum atau berhubungan seks tanpa kondom dan menjauhkan diri dari seks. Berhubungan seks dengan mitra tunggal yang tidak terinfeksi dan hubungan monogami antara pasangan yang tidak terinfeksi menghilangkan risiko penularan HIV secara seksual. Kondom menawarkan perlindungan jika digunakan dengan benar dan konsisten. Jika bekerja di bidang kesehatan, ikuti panduan nasional untuk melindungi diri terhadap jarum tongkat dan paparan cairan terkontaminasi. Risiko penularan HIV dari wanita hamil kepada bayinya secara signifikan akan berkurang jika ibu mengambil obat selama kehamilan dan persalinan serta bayinya diberi obat untuk enam minggu pertama kehidupan (Szeftel, 2010).

(10)

2.2 Sistem Imun 2.2.1 Definisi

Sistem kekebalan adalah suatu sistem pada semua vertebrata ( hewan dengan tulang belakang) yang dalam istilah umum, terdiri dari dua jenis sel penting iaitu sel-B dan sel-T. Sel-B bertanggung jawab untuk produksi antibodi ( protein yang dapat mengikat bentuk molekul tertentu ), dan sel-T bertanggung jawab dalam membantu sel-B untuk membuat antibodi, atau atas pemusnahan sel asing kecuali bakteri di dalam tubuh. Dua jenis utama dari sel-T adalah sel-T "pembantu" dan sel-T sitotoksik. Setiap kali ada zat asing atau agen memasuki tubuh kita, sistem kekebalan tubuh diaktifkan. Sel- B-dan sel-T menemui ancaman dan akhirnya menghasilkan substansi penghapusan dari tubuh kita (Brown, 1995).

Sistem imun ini melibatkan semua mekanisme yang digunakan oleh tubuhuntuk mempertahankan keutuhan tubuh sebagai perlindungan terhadap bahaya yang dapat ditimbulkan berbagai bahan dalam lingkungan hidup.

Pertahanan tersebut terdiri atas sistem imun alamiah atau non-spesifik ( natural/innate ) dan didapat atau spesifik ( adaptive/acquired ) (Baratawidjaja,

(11)

Gambar 2.1 di atas menunjukkan cabangan pada sistem imun (Dikutip dari Buku Immunologi Dasar, Edisi Ketiga, 1996)

2.2.2 Defisiensi imun

Kehadiran defisiensi imun harus dicurigai bila ditemukan tanda-tanda dari peningkatan kerentanan terhadap infeksi. Defisiensi imun primer atau kongenital diturunkan, tetapi defisiensi imun sekunder atau didapat ditimbulkan berbagai faktor setelah lahir. Penyakit defisiensi imun sering dikaitkan dengan limfosit, komplemen dan fagosit. Defisiensi imun terbahagi kepada dua iaitu Defisiensi Imun Non-Spesifik dan Defisiensi Imun Spesifik. HIV digolongkan dalam Defisiensi Imun Spesifik (Baratawidjaja, 1996).

(12)

Defisiensi Imun Non-Spesifik

A.Defisiensi Komplemen 1) Komplemen Kongenital 2) Komplemen Fisiologik 3) Komponen Didapat

B.Defisiensi Interferon dan Lisozim

1) Interferon Kongenital 2) Interferon dan Lisozim Sekunder

C.Defisiensi Sel NK 1) Sel NK Kongenital 2) Sel NK Didapat

D.Defisiensi Sistem Fagosit 1) Fagosit Kongenital 2) Fagosit Fisiologik 3) Fagosit Didapat

Defisiensi Imun Spesifik

A.Defisiensi Kongenital B.Defisiensi Fisiologik 1) Kehamilan 2) Usia Lanjut C.Defisiensi Didapat 1) Malnutrisi 2) Infeksi 3) HIV/AIDS 4) Obat 5) Penyinaran 6) Penyakit berat 7) Kehilangan Ig/Leukosit 8) Agamaglobulinemia dengan timoma

Tabel 2.1 menunjukkan pembagian defisiensi sistem imun (Dikutip dari Buku Immunologi Dasar, Edisi Ketiga, 1996)

(13)

2.2.3 Defisiensi Imun Spesifik Didapat

2.2.3.1 Sindrom Defisiensi Imun Didapat ( HIV )

Human Immunodeficiency Virus (HIV) telah diakui sebagai virus penyebab AIDS. Virus golongan retroviridae ini adalah limfotropik dan menimbulkan efek sitopatologik pada sel Th/helper/inducer/T4. Virus ini hidup dan berkembang biak di dalam sel Th dan mengakibatkan hancurnya sel-sel tersebut. Virus diikat petanda permukaan T4 sehingga sel tersebut dibunuhnya, dengan akibat jumlah T4 di bawah T8.

Efek sitopatologik HIV tersebut menimbulkan limfopenia yang selektif pada Th, sehingga perbandingan Th:Ts atau perbandingan T4:T8 menjadi terbalik atau lebih kecil daripada 1. Induksi sel T diperlukan untuk mempertahankan fungsi sel-sel faktor sistem imun lainnya agar tetap baik. Pada HIV/AIDS, sel-sel Th tidak berfungsi dengan baik, karenanya tidak dapat memberikan induksi yang diperlukan. Gangguan kuantitas dan kualitas sel Th akan menimbulkan kerentanan yang meninggi terhadap infeksi opurtunistik.

Sering juga ditemukan peningkatan IgG dan IgA. Dalam serum penderita AIDS telah ditemukan faktor supresif terhadap proliferasi sel T sehinga sel tersebut tidak memberikan respons terhadap mitogen dan dalam mixed lymphocyte

culture (MLC). Beberapa peneliti menduga bahwa faktor supresif tersebut adalah

antibody terhadap sel T dan dibentuk oleh sel monosit akibat interaksi dengan sel T. Mekanisme faktor supresif ini belum jelas, tetapi diduga kerjanya mencegah sintesis dan sekresi limfokin, antara lain interleukin-2 ( IL-2) atau T cell Growth

Factor.

Infeksi HIV tersebut akan menghancurkan dan mengganggu fungsi sel Th sehingga tidak dapat memberikan induksi kepada sel-sel efektor sistem imun. Tanpa adanya induksi Th, sel-sel efektor sistem imun seperti T8 sitotoksik,sel NK dan sel B tidak dapat berfungsi dengan baik (Baratawidjaja, 1996).

(14)

2.3 TB ( Tuberkulosis ) 2.3.1 Definisi

Tuberkulosis (TB) adalah penyakit menular yang disebabkan oleh bakteri yang nama ilmiah adalah Mycobacterium tuberculosis . Ini pertama kali diisolasi pada tahun 1882 oleh seorang dokter Jerman bernama Robert Koch yang menerima hadiah Nobel untuk penemuan ini. TB paling sering mempengaruhi paru-paru, tetapi juga dapat melibatkan hampir semua organ tubuh (George, 2010).

2.3.2 Epidemiologi TB

Prevalensi tertinggi infeksi tuberkulosis dan taksiran tahunan risiko infeksi tuberkulosis berada di sub-Sahara Afrika dan Asia Tenggara. Secara keseluruhan, hampir 3,8 juta kasus tuberkulosis dilaporkan di dunia dalam 1990, dimana 49% berada di Asia Tenggara. Pada tahun 1990, 7,5 juta kasus diperkirakan dan 2,5 juta angka kematian dicatat di seluruh dunia (Raviglione, 1995).

TB merupakan salah satu masalah kesehatan penting di Indonesia. Selain itu, Indonesia menduduki peringkat ke-3 di kalangan negara dengan jumlah penderita TB terbanyak di dunia setelah India dan China. Jumlah pasien TB di Indonesia adalah sekitar 5,8 % dari total jumlah pasien TB dunia. Di Indonesia, diperkirakan setiap tahun terdapat 528.000 kasus TB baru dengan kematian sekitar 91.000 orang. Angka prevalensi TB di Indonesia pada tahun 2009 adalah 100 per 100.000 penduduk dan TB terjadi pada lebih dari 70% usia produktif. Dalam pada itu kerugian ekonomi akibat TB juga cukup besar (Bakti Husada, 2010).

(15)

2.3.3 Faktor Risiko

Beberapa faktor risiko infeksi tentu saja termasuk riwayat kontak pasien dengan TB menular, misalnya dalam pengaturan rumah tangga, penjara dan pekerjaan tertentu, seperti kerja di rumah sakit. Perkembangan penyakit dapat difasilitasi oleh co-morbiditas, seperti HIV / AIDS, diabetes atau silikosis, serta kekurangan gizi dan merokok. Selain itu, hasil yang merugikan secara langsung atau secara tidak langsung berhubungan dengan alkoholisme dan penggunaan obat intravena serta kemiskinan (WHO, 2005).

2.3.3.1 Bagaimana pasien HIV bisa terinfeksi Tuberkulosis

Mycobacterium tuberculosis, organisme penyebab tuberkulosis menyebar

hampir secara eksklusif melalui jalur pernafasan. Orang dengan TB paru aktif menularkannya melalui batuk atau bersin. Ketika seorang individu rentan menghirup partikel berukur <10 mikron, ia akan mencapai alveoli (kantung udara kecil) di paru-paru, dan menetapkan infeksi TB. Dengan sistem kekebalan yang kuat, pasien tidak akan mengembangkan penyakit TB. Orang dengan infeksi TB laten adalah asimtomatik dan tidak menyebarkan TB ke orang lain. Satu-satunya bukti bahwa mereka telah memiliki infeksi TB adalah hasil tes kulit tuberkulin positif. Karena depresi sistem imunitas pada pasien dengan penyakit HIV, sistem kekebalan tubuh tidak dapat melawan organisme yang menyerang tubuh. Multiplikasi yang cepat terjadi pada pelbagai lokasi organ secara bersamaan. Pasien dengan penyakit HIV mungkin tidak dapat membatasi multiplikasi

Mycobacterium tuberculosis dan dengan demikian orang yang terinfeksi HIV

(16)

2.3.4 Patogenesis

2.3.4.1 Tuberkulosis Primer

Mycobacterium tuberculosis yang masuk melalui saluran napas akan bersarang di jaringan paru, dimana ia akan membentuk suatu sarang pneumonik yang disebut sarang primer atau afek primer atau sarang fokus Ghon. Sarang primer ini mungkin timbul di bagian mana saja dalam paru, berbeda dengan sarang reaktivitas. Dari sarang primer akan kelihatan peradangan saluran getah bening menuju hilus (limfangitis regional). Peradangan tersebut diikuti oleh pembesaran kelenjar getah bening di hilus (limfadenitis regional). Sarang primer limfangitis lokal dan limfadenitis regional dikenal sebagai kompleks primer (Ranke). Semua proses ini memakan waktu 3-8 minggu. Kompleks primer ini selanjutnya dapat sembuh sama sekali tanpa meninggalkan kecacatan. Ini sering terjadi atau pasien bisa sembuh dengan meninggalkan sedikit bekas berupa garis-garis fibrotik dan kalsifikasi di hilus.

2.3.4.2 Tuberkulosis Sekunder ( Post - Primer )

Kuman yang dormant pada TB primer akan muncul bertahun-tahun kemudian sebagai infeksi endogen menjadi TB dewasa. Mayoritas reinfeksi mencapai 90%. TB sekunder terjadi karena imunitas menurun yang disebabkan malnutrisi, pengambilan alkohol, penyakit maligna, diabetes, AIDS dan gagal ginjal. TB post-primer ini dimulai dengan sarang dini yang berlokasi di regio atas paru (bagian apikalposterior lobus superior atau inferior). Invasinya adalah ke daerah parenkim paru. Terjadinya perkijuan dan kavitas adalah karena hidrolisis protein lipid dan asam nukleat oleh enzim yang diproduksi oleh makrofag, dan proses yang berlebihan antara sitokin dengan TNF-nya (Israr, 2009).

(17)

2.3.5 Gejala Klinis

Gejala penyakit TB dapat dibagi menjadi gejala umum dan gejala khusus yang timbul sesuai dengan organ yang terlibat. Gambaran secara klinis tidak terlalu khas terutama pada kasus baru, sehingga cukup sulit untuk menegakkan diagnosa secara klinik.

2.3.5.1 Gejala sistemik/umum

Gejala sistemik yang bisa ditemui adalah seperti, batuk-batuk selama lebih dari 3 minggu (dapat disertai dengan darah), demam tidak terlalu tinggi yang berlangsung lama, penurunan nafsu makan dan berat badan dan perasaan tidak enak (malaise) serta lemah.

2.3.5.2 Gejala khusus:

Gejala khusus tergantung dari organ tubuh mana yang terkena. Bila terjadi sumbatan sebagian bronkus (saluran yang menuju ke paru-paru) akibat penekanan kelenjar getah bening yang membesar, akan menimbulkan suara “mengi”, suara nafas melemah yang disertai sesak. Kalau ada cairan di rongga pleura (pembungkus paru-paru), timbul keluhan sakit dada. Bila mengenai tulang, maka akan terjadi gejala seperti infeksi tulang. Pada anak-anak dapat mengenai otak (lapisan pembungkus otak) dan disebut sebagai meningitis (radang selaput otak) dan gejalanya adalah demam tinggi, adanya penurunan kesadaran dan kejang-kejang (Werdhani, 2008).

2.3.5.3 Gejala klinis pada pasien HIV yang terinfeksi Tuberkulosis

Antara gejala klinis yang ditemui pada pasien HIV yang menderita Tuberkulosis adalah seperti batuk yang berlanjutan selama tiga minggu atau lebih, kekurangan berat badan, demam selama empat minggu atau lebih, berkeringat di malam hari selama empat minggu atau lebih, indeks massa tubuh (BMI) 18 atau kurang, dan limfadenopati di bawah kulit, batuk berdahak, nyeri dada, kelemahan atau kelelahan, kurangnya nafsu makan (Werdhani, 2008).

(18)

2.3.6 Diagnosa

Apabila dicurigai seseorang tertular penyakit TB, maka beberapa hal yang perlu dilakukan untuk menegakkan diagnosis adalah anamnesis yang baik terhadap pasien maupun keluarganya, pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium (darah, dahak, cairan otak), pemeriksaan patologi anatomi (PA), Rontgen dada dan Uji tuberkulin (Werdhani, 2008).

Diagnosis TB pada orang dewasa dapat ditegakkan dengan ditemukannya BTA pada pemeriksaan dahak secara mikroskopis. Hasil pemeriksaan dinyatakan positif apabila dua dari tiga SPS BTA hasilnya positif. Bila hanya 1 spesimen yang positif, perlu diadakan pemeriksaan lebih lanjut yaitu foto rontgen dada atau pemeriksaan spesimen SPS diulang. Kalau hasil rontgen mendukung TB, maka penderita didiagnosis sebagai penderita TB BTA positif. Kalau hasil rontgen tidak mendukung TB, maka pemeriksaan lain, misalnya biakan harus dilakukan. Bila tiga spesimen dahak negatif, diberikan antibiotik spektrum luas (misalnya Kotrimoksasol atau Amoksisilin) selama 1 - 2 minggu. Bila tidak ada perubahan, namun gejala klinis tetap mencurigakan TB, ulangi pemeriksaan dahak SPS. Kalau hasil SPS positif, didiagnosis sebagai penderita TB BTA positif. Kalau hasil SPS tetap negatif, lakukan pemeriksaan foto rontgen dada untuk mendukung diagnosis TB. Bila hasil rontgen mendukung TB, diagnosis sebagai penderita TB BTA negatif rontgen positif. Bila hasil rontgen tidak mendukung TB, penderita tersebut bukan TB. Beberapa gambaran yang patut dicurigai sebagai proses spesifik adalah infiltrat, kavitas, kalsifikasi dan fibrosis ( pembentukan jaringan ikat pada proses pemulihan atau reaktif) dengan lokasi di lapangan atas paru(apeks) (Werdhani, 2008).

(19)

2.3.7 Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan laboratorium melibatkan darah, sputum, tes tuberkulin, serologi,

Enzym linked immunosorbent assay ( ELISA ), Mycodot, dan Uji peroksidase anti

peroksidase (PAP) (Israr, 2009). 2.3.8 Penatalaksanaan

2.3.8.1 Perawatan Medis

Tujuan pengobatan penderita tuberkulosis adalah untuk menyembuhkan penderita, mencegah kematian, mencegah kekambuhan atau timbulnya resistensi terhadap OAT dan memutuskan rantai penularan. Prinsip pengobatan obat TB diberikan dalam bentuk kombinasi dari beberapa jenis obat, dalam jumlah cukup dan dosis tepat selama 6 – 8 bulan, agar semua kuman (termasuk kuman persisten) dapat dibunuh. Apabila panduan obat yang digunakan tidak adekuat (jenis, dosis dan jangka waktu pengobatan), kuman TB akan berkembang menjadi kuman kebal obat (resisten). Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap intensif dan tahap lanjutan. Pada tahap intensif (awal) penderita mendapat obat setiap hari dan diawasi langsung untuk mencegah terjadinya resistensi terhadap semua Obat Anti TB (OAT), terutama rifampisin. Bila pengobatan tahap intensif diberikan secara tepat, penderita menular menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2 minggu. Sebagian besar penderita TB BTA positif menjadi BTA negatif pada akhir pengobatan intensif. Sedangkan pada tahap lanjutan penderita mendapat jenis obat lebih sedikit, namun dalam jangka waktu yang lebih lama.

Paduan Obat Anti TB (OAT) di Indonesia berdasarkan WHO dan IUATLD (International Union Againts Tuberculosis and Lung Diseases) merekomendasikan paduan OAT standar yang dibahagi pada 3 kategori iaitu kategori 1 (2 HRZE /4 H3R3 atau 2 HRZE / 4 HR atau 2 HRZE / 6 HE); kategori 2 (2 HRZES / HRZE/ 5 H3R3E3 atau 2 HRZES / HRZE / 5 HRE); kategori 3 (2 HRZ /4 H3R3 atau 2HRZ / 4 HR atau 2 HRZ / 6 HE). Program Nasional

(20)

Penanggulangan TB di Indonesia menggunakan paduan OAT, yaitu : kategori 1 (2 HRZE / 4 H3R3); kategori 2 (2 HRZES / HRZE/ 5 H3R3E3); dan paduan obat sisipan (HRZE).

Obat kategori 1 adalah (2 HRZE / 4 H3R3). Tahap intensif terdiri dari isoniazid (H), rifampisin (R), pirazinamid (Z), dan ethambutol (E). Obat–obat tersebut diberikan setiap hari selama 2 bulan (2 HRZE). Tahap ini diteruskan dengan tahap lanjutan yang terdiri dari isoniazid (H) dan rifampisin (R) yang diberikan tiga kali dalam seminggu selama 4 bulan. Obat ini diberikan pada penderita baru TB Paru BTA positif , penderita TB Paru BTA negatif rontgen positif yang secara klinis sakit berat, dan penderita TB Ekstra Paru yang secara klinis sakit berat.

Obat kategori 2 adalah (2 HRZES / HRZE / 5 H3R3E3). Tahap intensif terdiri dari isoniazid (H), rifampisin (R), pirazinamid (Z), ethambutol (E) dan suntikan streptomisin setiap hari di unit pelayanan kesehatan selama 2 bulan. Tahap ini dilanjutkan dengan isoniazid (H), rifampisin (R), pirazinamid (Z), dan ethambutol (E) setiap hari selama 1 bulan. Setelah itu diteruskan dengan tahap lanjutan selama 5 bulan dengan HRE yang diberikan tiga kali dalam seminggu. Obat kategori 2 ini diberikan pada penderita kambuh (relaps), penderita gagal (failure), dan penderita dengan pengobatan yang lalai (after default).

Obat sisipan (HRZE) diberikan apabila pada akhir tahap intensif dari pengobatan dengan kategori 1 atau kategori 2, hasil pemeriksaan sputum masih BTA positif. Obat sisipan (HRZE) diberikan setiap hari selama 1 bulan. Kini telah diperkenalkan obat dalam bentuk FDC (Fixed Dose Combination/ Kombinasi Dosis Tetap). Dalam satu tabletnya terdiri dari 2,3 atau 4 obat sekaligus. Obat jenis ini harus diproduksi secara baik untuk menjamin bioavailabilitas obat-obat yang tercampur dalam satu tablet. WHO menganjurkan obat 4 FDC, yang berisi

(21)

rifampisin 150 mg, INH 75 mg, ethambutol 275 mg, dan pirazinamid 400 mg, diberikan satu tablet untuk setiap 15 kilogram berat badan (Israr, 2009).

2.3.8.2 Perawatan Bedah

Bedah reseksi dari paru-paru yang terinfeksi dapat dianggap untuk mengurangi beban bacillary pada MDR-TB. Prosedur termasuk segmentektomi (jarang digunakan), lobektomi, dan pneumonektomi. Komplikasi meliputi komplikasi perioperatif biasa, penyakit kambuhan, dan fistula bronkopleural

2.3.9 Prognosa dan Pencegahan (Thomas, 2007).

Prognosis untuk pemulihan dari TB baik untuk sebagian besar pasien jika penyakit ini didiagnosis dini dan diberikan pengobatan yang awal dengan obat yang sesuai dengan rejimen jangka panjang. M

TB adalah penyakit yang dapat dicegah. Pengujian kulit (PPD) untuk TB digunakan di populasi berisiko tinggi atau pada orang yang mungkin telah terkena TB, seperti pekerja kesehatan. Tes kulit positif menunjukkan pajanan TB dan infeksi tidak aktif. Orang yang telah terpapar pada TB harus langsung diuji dan harus melakukan ujian lanjutan jika tes pertama negatif. Pengobatan dini sangat penting dalam mengendalikan penyebaran TB dari orang-orang yang memiliki penyakit TB aktif kepada mereka yang tidak pernah terinfeksi TB. Beberapa negara dengan tingginya insiden TBC menyediakan vaksinasi BCG untuk masyarakat supaya mencegah TB (Dugdale, 2009).

etode bedah moden memiliki hasil yang baik dalam banyak kasus (Cramer, 2006).

2.3.10 Perawatan Pasien HIV yang terinfeksi TB

Manajemen pengobatan TB pada orang dengan HIV pada dasarnya sama seperti untuk pasien tanpa HIV tetapi ada beberapa perbedaan penting. Regimen yang direkomendasikan pada orang dewasa terinfeksi HIV (saat penyakit

(22)

disebabkan oleh organisme yang diketahui atau dianggap menjadi peka terhadap lini pertama obat) adalah rejimen 6 bulan yang terdiri daripada fase awal isoniazid (INH), rifampisin, pirazinamid (PZA), dan ethambutol (EMB) untuk 2 bulan yang pertama dan fase kelanjutan dari INH dan rifampisin untuk 4 bulan terakhir.

Pasien dengan jumlah CD4 <100/μl harus ditangani setiap hari atau 3 kali per minggu baik di fase awal mahupun fase lanjut. Durasi terapi selama enam bulan perlu dipertimbangkan sebagai jangka waktu minimal pengobatan untuk orang dewasa dengan HIV. Terapi harus diperpanjang sampai 9 bulan untuk pasien terinfeksi HIV dengan responnya kurang baik terhadap terapi awal. Harus diberi perhatian dalam mengobati TB pada orang yang terinfeksi HIV karena interaksi rifampisin (RIF) dengan agen antiretroviral yang lain.

Directly observed therapy (DOT) dan tindakan lain harus mempromosikan strategi yang bisa digunakan pada semua pasien TB yang berhubungan dengan HIV. Perawatan untuk pasien HIV dengan TB harus mencakup perhatian terhadap kemungkinan kegagalan pengobatan TB, kegagalan pengobatan antiretroviral, efek samping untuk semua obat yang dipakai, dan toksisitas obat (CDC, 2008).

Gambar

Gambar 2.1 di atas menunjukkan cabangan pada sistem imun  (Dikutip dari Buku Immunologi Dasar, Edisi Ketiga, 1996)
Tabel 2.1 menunjukkan pembagian defisiensi sistem imun  (Dikutip dari Buku Immunologi Dasar, Edisi Ketiga, 1996)

Referensi

Dokumen terkait

Karena memelihara keyakinan dan kebebasan memeluk suatu agama merupakan hal yang paling mendasar dalam Islam, maka Islam memandang orang yang murtad dari Islam,

Kompetensi Guru Agama adalah kewenangan untuk menentukan pendidikan agama yang akan diajarkan pada jenjang tertentu di sekolah tempat guru itu mengajar, dan sebagai seorang

Kegiatan yang berbasis pada keterampilan dan penguatan karakter (softskill) dan konseling terus dilakukan guna untuk pembekalan mahasiswa kelak dalam dunia kerja,

Untuk meningkatkan daya saing perguruan tinggi, maka perguruan tinggi melakukan reformasi yang mencakup: a) Reformasi Kelembagaan, reformasi ini dimaksudkan

Lakukan identifikasi faktor-faktor perubahan (penurunan produksi, penurunan harga output, dan kenaikan biaya atau harga input) yang mungkin atau dapat saja terjadi pada

Berdasarkan pembahasan di atas, maka akan di rancang interior bangunan Kantor Bupati Sibuhuan Kabupaten Padang Lawas yang dapat memenuhi kebutuhan aktivitas dan

Ingat pesan saya, paling mustahak EVIDENCE yang tuan2 perlu tunjuk pada Examiner bagi menyokong tahap risiko tuan2 tadi.. EVIDENCE tak semestinya pada Accident

Petunjuk teknis ini disusun untuk memudahkan pengelola perpustakaan dalam menyiapkan informasi hasil penelitian yang dihasilkan oleh setiap unit kerja lingkup Badan