• Tidak ada hasil yang ditemukan

APLIKASI CELUP PUTING TERHADAP KEBERADAAN BAKTERI PATOGEN PENYEBAB MASTITIS SUBKLINIS DI PETERNAKAN SAPI PERAH KUNAK BOGOR RACHMI RAMADHANITA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "APLIKASI CELUP PUTING TERHADAP KEBERADAAN BAKTERI PATOGEN PENYEBAB MASTITIS SUBKLINIS DI PETERNAKAN SAPI PERAH KUNAK BOGOR RACHMI RAMADHANITA"

Copied!
28
0
0

Teks penuh

(1)

APLIKASI CELUP PUTING TERHADAP KEBERADAAN

BAKTERI PATOGEN PENYEBAB MASTITIS SUBKLINIS DI

PETERNAKAN SAPI PERAH KUNAK BOGOR

RACHMI RAMADHANITA

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2016

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Aplikasi Celup Puting terhadap Keberadaan Bakteri Patogen Penyebab Mastitis Subklinis di Peternakan Sapi Perah KUNAK Bogor adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Agustus 2016 Rachmi Ramadhanita NIM B04120199

*Pelimpahan hak cipta atas karya tulis dari penelitian kerja sama dengan pihak luar IPB harus didasarkan pada perjanjian kerja sama yang terkait.

(4)
(5)

ABSTRAK

RACHMI RAMADHANITA. Aplikasi Celup Puting terhadap Keberadaan Bakteri Patogen Penyebab Mastitis Subklinis di Peternakan Sapi Perah KUNAK Bogor. Dibimbing oleh ETIH SUDARNIKA dan HERWIN PISESTYANI.

Mastitis merupakan peradangan ambing yang dapat disebabkan oleh masuknya bakteri patogen melalui lubang puting. Salah satu kegiatan yang dapat mencegah hal tersebut adalah celup puting. Penelitian ini bertujuan mengidentifikasi pengaruh aplikasi celup puting setelah pemerahan terhadap keberadaan bakteri patogen penyebab mastitis subklinis (Staphylococcus aureus, Staphylococcus epidermidis, Streptococcus agalactiae, dan Escherichia coli) serta keberadaan bakteri patogen penyebab mastitis subklinis berdasarkan posisi puting. Sampel susu yang digunakan berasal dari sapi perah dalam masa laktasi normal, sehat secara klinis, dan positif mastitis subklinis sebelum diberi perlakuan celup puting. Sejumlah 266 sampel kuartir dari 18 ekor sapi perah diidentifikasi terhadap keberadaan bakteri patogen penyebab mastitis subklinis sebelum perlakuan celup puting dan pada bulan ke-1, ke-2, dan ke-3 setelah perlakuan celup puting. Identifikasi keberadaan bakteri patogen dilakukan dengan cara membiakkan sampel pada media agar selektif. Keberadaan bakteri patogen secara umum, Staphylococcus aureus, Staphylococcus epidermidis, dan Escherichia coli mengalami penurunan yang nyata setelah diberi perlakuan celup puting, sedangkan Streptococcus agalactiae dan bakteri patogen selain yang diidentifikasi tidak mengalami penurunan yang nyata. Keberadaan bakteri patogen berdasarkan posisi puting tidak menunjukkan perbedaan yang nyata. Secara umum, aplikasi celup puting setelah pemerahan dapat mengurangi keberadaan bakteri patogen penyebab mastitis subklinis.

Kata kunci: bakteri patogen, celup puting, mastitis subklinis

ABSTRACT

RACHMI RAMADHANITA. Teat Dipping Treatment to the Presence of Pathogenic Bacteria that Cause Subclinical Mastitis in Dairy Farm at KUNAK Bogor. Supervised by ETIH SUDARNIKA and HERWIN PISESTYANI.

Mastitis is an udder inflammation that can be caused by the entry of pathogenic bacteria through the teat. One of the treatments that can prevent bacteria infection is teat dipping. This research was aimed to identify the effect of teat dipping after milking to the presence of pathogenic bacteria that cause subclinical mastitis (Staphylococcus aureus, Staphylococcus epidermidis, Streptococcus agalactiae, and Escherichia coli) and the presence of pathogenic bacteria that cause subclinical mastitis by quarter of udder. Milk samples were taken from normal lactation period of dairy cows, clinically healthy, and positive subclinical mastitis status when the intervention was applied. Two hundred and sixty six samples of quarters from 18 dairy cows were identified to the presence of pathogenic bacteria that cause subclinical mastitis before teat dipping and at 1st, 2nd, and 3rd months after teat dipping. Identification of the presence of

(6)

pathogenic bacteria was done by culturing samples on selective agar media. The presence of common pathogenic bacteria, Staphylococcus aureus, Staphylococcus epidermidis, and Escherichia coli decreased significantly after teat dipping, while Streptococcus agalactiae and other pathogenic bacteria didn’t decrease significantly. The presence of pathogenic bacteria based on the quarter of udder didn’t show the significance difference. Application of teat dipping after milking was able to decrease the presence of pathogenic bacteria that cause subclinical mastitis.

(7)

©

Hak Cipta milik IPB, tahun 2016

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB.

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.

(8)
(9)

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan

pada

Fakultas Kedokteran Hewan

APLIKASI CELUP PUTING TERHADAP KEBERADAAN

BAKTERI PATOGEN PENYEBAB MASTITIS SUBKLINIS DI

PETERNAKAN SAPI PERAH KUNAK BOGOR

RACHMI RAMADHANITA

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2016

(10)
(11)
(12)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Maret sampai Juli 2015 ini adalah pengendalian mastitis subklinis, dengan judul Aplikasi Celup Puting terhadap Keberadaan Bakteri Patogen Penyebab Mastitis Subklinis di Peternakan Sapi Perah KUNAK Bogor.

Terima kasih penulis ucapkan kepada:

1. Dr Ir Etih Sudarnika, MSi dan Drh Herwin Pisestyani, MSi selaku pembimbing tugas akhir, serta kepada Prof Dr med vet Drh Hj Mirnawati Bachrum Sudarwanto, Drh Ardilasunu Wicaksono, MSi, dan Drh Arifin Budiman Nugraha, MSi yang turut memberikan arahan;

2. Drh Risa Tiuria, MS, PhD selaku pembimbing akademik;

3. Dr Drh Ligaya I. T. A. Tumbelaka, MSc, SpMp dan Dr Drh Hera Maheswari, MSc selaku penguji luar komisi;

4. Kementerian Agama Republik Indonesia selaku penyandang dana selama penulis menjalankan studi di FKH IPB;

5. Peternak di Kawasan Usaha Peternakan (KUNAK) serta Kak Sa’adah, Iccha, Nurma, Arie, dan Pauzi yang telah bekerjasama selama penelitian;

6. Seluruh civitas akademik FKH IPB dan teman-teman FKH IPB angkatan 49 serta teman-teman CSSMoRA dan HIMAGA;

7. Orang tua dan seluruh keluarga atas segala doa dan kasih sayangnya. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Agustus 2016 Rachmi Ramadhanita

(13)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL ... x DAFTAR GAMBAR ... x PENDAHULUAN ... 1 Latar Belakang ... 1 Tujuan Penelitian ... 2 Manfaat Penelitian ... 2 TINJAUAN PUSTAKA ... 2 Mastitis Subklinis ... 2

Bakteri Patogen Penyebab Mastitis Subklinis ... 3

Staphylococcus aureus ... 3 Staphylococcus epidermidis ... 4 Streptococcus agalactiae ... 5 Escherichia coli ... 5 Celup Puting ... 6 METODE ... 7

Waktu dan Tempat ... 7

Desain Penelitian ... 7

Alat dan Bahan ... 7

Prosedur Identifikasi Bakteri ... 8

Analisis Data ... 8

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 9

Keberadaan Bakteri Patogen Penyebab Mastitis Subklinis setelah Aplikasi Celup Puting ... 9

Keberadaan Bakteri Patogen Penyebab Mastitis Subklinis berdasarkan Posisi Puting ... 10

SIMPULAN ... 12

SARAN ... 12

DAFTAR PUSTAKA ... 12

(14)

DAFTAR TABEL

1 Persentase jumlah puting yang terinfeksi bakteri patogen penyebab

mastitis subklinis pada perlakuan celup puting 9

2 Persentase jumlah puting yang terinfeksi bakteri patogen penyebab mastitis subklinis berdasarkan posisi puting pada perlakuan celup

puting 11

DAFTAR GAMBAR

1 (a) hasil positif uji CAMP (b) kontrol positif S. aureus pada media Mannitol Salt Agar (c) kontrol positif E. coli pada media Coliform

(15)

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Susu merupakan bahan makanan yang mengandung nutrisi penting sehingga sangat baik untuk dikonsumsi masyarakat, namun produksi susu di Indonesia masih kurang maksimal sehingga belum mampu memenuhi kebutuhan konsumsi susu dalam negeri. Indonesia mengimpor susu sebanyak 900 000 ton atau 70% dari kebutuhan nasional pada tahun 2012 (DITJENNAK KESWAN 2013). Kawasan Usaha Peternakan (KUNAK) Bogor memiliki target produksi susu sebanyak 20 000 liter/hari pada tahun 2013, namun sampai akhir tahun 2013 kawasan ini hanya mampu mencapai 40% dari target yakni 8 000 liter/hari (GKSI 2013). Banyak faktor yang menyebabkan produksi susu kurang maksimal, salah satunya penyakit yang sering dialami oleh ternak perah yaitu radang ambing atau yang dikenal sebagai mastitis. Saat ini mastitis masih menjadi masalah utama yang terjadi di peternakan rakyat.

Mastitis merupakan peradangan pada jaringan internal ambing (Subronto 2003). Secara ekonomi, mastitis sangat merugikan peternak karena dapat menurunkan produksi susu. Insiden mastitis pada sapi perah di Indonesia sangat tinggi (85%) dan sebagian besar merupakan infeksi yang bersifat subklinis (Poeloengan 2010). Mastitis subklinis tidak menampakkan gejala klinis sehingga sering tidak disadari oleh peternak. Penyebab terjadinya mastitis diantaranya yaitu kuman patogen (infeksius) seperti bakteri dan virus; kerusakan fisik ambing (udder and teat injury); serta paparan bahan kimia iritan yang mampu merusak jaringan interna ambing, namun sebagian besar kejadian mastitis disebabkan oleh bakteri. Bakteri yang dapat menyebabkan mastitis diantaranya yaitu Streptococcus agalactiae, Streptococcus dysgalactiae, Streptococcus uberis, Staphylococcus aureus, Staphylococcus epidermidis, Escherichia coli, Escherichia freundii, Aerobacter aerogenes, dan Klebsiella pneumoniae (Poeloengan 2010). Menurut penelitian-penelitian sebelumnya, bakteri penyebab mastitis yang paling sering ditemukan yaitu Staphylococcus aureus, Streptococcus agalactiae, Staphylococcus epidermidis, dan Escherichia coli, sehingga efektivitas upaya pengendalian mastitis terhadap keberadaan bakteri-bakteri tersebut penting untuk dipelajari. Keberadaan mikrob patogen penyebab mastitis dapat berbeda untuk setiap puting pada seekor sapi terkait dengan kontak puting terhadap alas kandang dan urutan puting yang diperah.

Proses penularan agen penyebab mastitis dapat terjadi pada saat pemerahan susu secara manual melalui tangan pemerah, air yang dipakai untuk membersihkan ambing, kain lap atau peralatan lain yang dipakai pada saat pemerahan (Supar dan Ariyanti 2008). Mikrob yang menyebabkan terjadinya mastitis dapat berasal dari luar ambing yang masuk melalui puting saat proses pemerahan ataupun setelah proses pemerahan saat kondisi lubang puting masih terbuka. Salah satu kegiatan setelah pemerahan yang dapat menurunkan kejadian mastitis adalah celup puting (Putri et al. 2015). Tindakan celup puting dengan menggunakan antiseptik bertujuan untuk mencegah masuknya bakteri ke dalam ambing melalui lubang puting. Larutan yang umum digunakan untuk celup puting yaitu Iodine, Chlorhexidine, Chlorin 4%, dan alkohol 70%. Efektivitas aplikasi

(16)

2

celup puting untuk mengurangi keberadaan bakteri patogen penyebab mastitis subklinis belum banyak diteliti sehingga perlu dilakukan penelitian untuk mengidentifikasi pengaruh aplikasi celup puting terhadap keberadaan bakteri patogen penyebab mastitis subklinis baik secara keseluruhan maupun berdasarkan posisi puting.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan mengkaji pengaruh aplikasi celup puting menggunakan larutan antiseptik yang terbuat dari campuran povidone iodine 1% dan gliserin 10% setelah pemerahan terhadap keberadaan bakteri patogen penyebab mastitis subklinis (Staphylococcus aureus, Staphylococcus epidermidis, Streptococcus agalactiae, dan Escherichia coli) serta keberadaan bakteri patogen penyebab mastitis subklinis berdasarkan posisi puting pada sapi perah di Kawasan Usaha Peternakan (KUNAK) Kecamatan Cibungbulang Kabupaten Bogor.

Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai aplikasi celup puting menggunakan larutan antiseptik yang terbuat dari campuran povidone iodine 1% dan gliserin 10% setelah pemerahan sebagai salah satu cara untuk mencegah dan menurunkan angka kejadian mastitis subklinis yang dihubungkan dengan keberadaan beberapa bakteri patogen penyebab mastitis subklinis (Staphylococcus aureus, Staphylococcus epidermidis, Streptococcus agalactiae, dan Escherichia coli) pada sapi perah.

TINJAUAN PUSTAKA

Mastitis Subklinis

Mastitis atau peradangan pada jaringan internal ambing sudah umum terjadi pada peternakan sapi perah. Peradangan dapat terjadi pada salah satu kuartir atau lebih (Winarso 2008). Penyakit ini dapat disebabkan oleh masuknya mikrob patogen ke dalam ambing sapi perah. Peradangan pada kasus mastitis akan menyebabkan bertambahnya sel-sel darah putih di dalam jaringan ambing (Surjowardojo 2011). Mastitis dapat timbul karena adanya reaksi dari ambing terhadap suatu infeksi yang terjadi pada ambing tersebut. Reaksi ini ditandai dengan adanya peradangan pada ambing untuk menetralisir rangsangan yang ditimbulkan oleh luka serta untuk melawan mikrob patogen yang masuk ke dalam ambing agar ambing dapat berfungsi normal. Mastitis dapat menyebabkan perubahan fisik, kimia, dan bakteri dalam susu serta perubahan patologi dalam jaringan glandula. Saat ini mastitis masih menjadi masalah utama yang terjadi di peternakan rakyat, karena kerugian yang ditanggung akibat penyakit ini sangat besar, antara lain turunnya produksi dan kualitas susu, penolakan susu, biaya pengobatan serta perawatan ternak.

(17)

3 Secara umum, terdapat dua bentuk mastitis yaitu mastitis subklinis dan mastitis klinis. Mastitis subklinis merupakan peradangan pada jaringan internal ambing tanpa ditemukan adanya gejala klinis baik pada susu maupun ambingnya, namun terjadi peningkatan jumlah sel radang, ditemukan mikrob patogen, dan terjadi perubahan kimia susu. Mastitis subklinis memiliki ciri-ciri ambing tidak bengkak, tidak sakit, dan tidak panas, tetapi terdapat kelainan tertentu pada susunya, sedangkan pada mastitis yang klinis, terdapat suatu gejala abnormalitas pada ambing dan susu yang dihasilkan. Kelainan pada susu yang dihasilkan antara lain konsistensi susu yang menggumpal atau sangat encer seperti air dan terdapat darah atau nanah pada susunya (Poeloengan 2010). Menurut Nurdin (2007), 60-90% sapi perah di Indonesia menderita mastitis dan sebagian besar adalah kejadian mastitis subklinis yang jarang disadari oleh peternak karena tidak nampak perubahan pada susu dan ambing.

Kejadian mastitis sering terjadi pada periode kering kandang dan biasanya bersifat subklinis. Hal tersebut terjadi karena pada masa kering kandang, sel-sel alveol sedang dirombak dan diganti, sehingga mikrob dapat masuk ke dalam bagian sel-sel epitel yang rusak sebelum terbentuknya sel-sel alveol yang baru (Subronto 2003).

Distribusi mastitis subklinis di peternakan sapi perah tergantung kepada distribusi infeksi mikrob patogen penyebab mastitis (Supar dan Ariyanti 2008). Faktor penting yang mempengaruhi penyebaran mastitis subklinis di peternakan sapi perah adalah terdapatnya mikrob patogen dalam kuartir (puting susu) yang terinfeksi. Kerugian ekonomi yang disebabkan oleh kasus mastitis subklinis berupa penurunan produksi susu, masa laktasi yang lebih pendek, dan bertambahnya biaya pengobatan. Field dan Taylor (2014) menyatakan bahwa penurunan produksi susu akibat mastitis sebesar 30% dari total produksi susu. Penurunan produksi ini merupakan akibat dari kejadian mastitis yang menjadi penyebab utama kerugian secara ekonomis terhadap peternak.

Bakteri Patogen Penyebab Mastitis Subklinis

Sebagian besar kejadian mastitis disebabkan oleh bakteri. Bakteri yang dapat menyebabkan mastitis diantaranya yaitu Streptococcus agalactiae, Streptococcus dysgalactiae, Streptococcus uberis, Staphylococcus aureus, Staphylococcus epidermidis, Escherichia coli, Escherichia freundii, Aerobacter aerogenes, dan Klebsiella pneumoniae (Poeloengan 2010). Menurut penelitian-penelitian sebelumnya, bakteri penyebab mastitis yang paling sering ditemukan yaitu Staphylococcus aureus, Streptococcus agalactiae, Staphylococcus epidermidis, dan Escherichia coli.

Staphylococcus aureus

Staphylococcus aureus (S. aureus) adalah bakteri Gram positif yang menghasilkan pigmen kuning, bersifat aerob fakultatif, tidak menghasilkan spora, dan tidak motil (Madigan et al. 2015). S. aureus berukuran sekitar 0.8-1.0 µm dan umumnya tumbuh berpasangan maupun berkelompok (WHO 2004). Pertumbuhan optimum S. aureus terjadi pada suhu 37 oC dengan waktu pembelahan 0.47 jam (Prescott et al. 2002).

(18)

4

Infeksi S. aureus pada ambing sapi perah dapat berasal dari pemerah yang tidak menjaga higiene personal, karena bakteri tersebut merupakan mikroflora normal pada manusia yang biasa terdapat pada kulit, mulut, dan saluran pernafasan atas. Biasanya sapi-sapi dalam satu kandang diperah oleh orang yang sama sehingga infeksi bakteri dapat menular dengan cepat melalui pemerah. Selain itu, manajemen kandang yang buruk dapat meningkatkan infeksi S. aureus dan mempercepat penularan.

Keberadaan S. aureus jarang menyebabkan penyakit, infeksi serius akan terjadi ketika imunitas inang melemah karena adanya perubahan hormon, adanya penyakit lain, adanya luka, atau adanya perlakuan menggunakan steroid atau obat lain yang dapat menurunkan imunitas (Madigan et al. 2015). Sebagian besar penyakit yang disebabkan oleh S. aureus dapat memproduksi nanah, oleh karena itu bakteri ini disebut pyogenik (Madigan et al. 2015). Infeksi S. aureus pada ambing dapat menimbulkan peradangan yang akan menurunkan produktivitas ambing dalam menghasilkan susu.

S. aureus dapat menghasilkan enzim yang menyebabkan fibrin berkoagulasi dan menggumpal atau disebut juga koagulase (Madigan et al. 2015). Koagulase diasosiasikan dengan patogenitas karena gumpalan fibrin yang disebabkan oleh enzim ini dapat terakumulasi di sekitar bakteri sehingga menghambat agen pelindung inang untuk mencapai bakteri dan selanjutnya akan menghambat fagositosis (Madigan et al. 2015). Hal tersebut juga menyebabkan antibiotik atau antiseptik yang diberikan sulit untuk mencapai bakteri.

S. aureus termasuk ke dalam bakteri osmotoleran, yaitu bakteri yang dapat hidup di lingkungan dengan rentang konsentrasi zat terlarut yang luas (Prescott et al. 2002). Kemampuan S. aureus dalam menghasilkan koagulase dan sifatnya yang osmotoleran menyebabkan kesulitan dalam menentukan antiseptik atau antibiotik yang efektif untuk mengontrol keberadaan S. aureus sehingga cara yang efektif untuk mengontrol infeksi S. aureus pada ambing sapi perah lebih kepada peningkatan higiene personal pemerah.

Staphylococcus epidermidis

Staphylococcus epidermidis (S. epidermidis) adalah salah satu spesies bakteri dari genus Staphylococcus yang memiliki beberapa karakteristik yaitu fakultatif, koagulase negatif, katalase positif, Gram positif, berbentuk kokus, dan berdiameter 0.5-1.5 µm (Jodi 2008). S. epidermidis dan S. aureus merupakan spesies bakteri dari genus yang sama sehingga ada banyak persamaan antara keduanya. S. epidermidis dapat menyebabkan mastitis subklinis, namun prevalensinya lebih rendah daripada S. aureus. Sama halnya dengan S. aureus, S. epidermidis merupakan mikroflora normal pada kulit manusia sehingga proses terinfeksinya ambing sapi oleh S. epidermidis pun sama yaitu melalui pemerah yang tidak menjaga higiene personal. Infeksi S. epidermidis juga dapat menular dengan cepat pada sapi-sapi yang lain melalui pemerah. Cara efektif untuk mengontrol keberadaan S. epidermidis lebih kepada menjaga higiene personal pemerah dan menjaga kesehatan sapi karena S. epidermidis diketahui dapat menyebabkan infeksi oportunistik (menyerang individu yang sistem kekebalan tubuhnya lemah).

(19)

5 Streptococcus agalactiae

Streptococcus agalactiae (S. agalactiae) atau dikenal sebagai Group B Streptococcus adalah bakteri Gram positif yang berbentuk bulat serta memiliki kecenderungan untuk membentuk rantai (Ryan dan Ray 2004). S. agalactiae memiliki beberapa karakteristik yaitu membentuk hemolisis beta, katalase negatif, anaerob fakultatif, dan memiliki kapsul yang terbuat dari polisakarida (exopolysacharide) (Ryan dan Ray 2004). Faktor patogenitas yang penting dari S. agalactiae adalah keberadaan kapsul polisakarida dan kemampuan dalam membentuk hemolisis beta. S. agalactiae menjadi salah satu penyebab utama dalam kasus mastitis subklinis dan merupakan parasit obligat pada ambing (Wahyuni et al. 2006).

S. agalactiae membentuk daerah hemolisis yang hanya sedikit lebih besar dari koloninya. S. agalactiae dapat menghidrolisis natrium hipurat dan memberi respon positif pada tes Christie, Atkins, Munch-Peterson (CAMP), oleh karena itulah S. agalactiae biasa diidentifikasi dengan tes CAMP (Songer dan Post 2005). Strain S. agalactiae meningkatkan aktivitas hemolisis pada Stafilokokal ß-toksin membentuk tanda seperti anak panah pada reaksi CAMP. Staphylococcus yang umum digunakan adalah S. aureus (Songer dan Post 2005).

S. agalactiae merupakan bakteri patogen yang biasa terdapat pada mukosa orofaring manusia, sehingga bakteri tersebut dapat masuk ke dalam ambing melalui pemerah yang tidak menjaga higiene personal (Songer dan Post 2005). Kepadatan kandang yang tingi dan sanitasi yang buruk pada alat yang digunakan untuk proses pemerahan dapat mempercepat proses penularan S. agalactiae pada sapi-sapi yang lain.

S. agalactiae merupakan bakteri yang kurang memberikan respon terhadap terapi antibiotik, namun di Amerika Serikat biasanya dilakukan terapi antibiotik intramamari dengan Amoksisilin, Penisilin, dan Eritromisin pada kasus mastitis yang disebabkan oleh S. agalactiae (Songer dan Post 2005). Efektivitas terapi antibiotik akan semakin menurun apabila tidak didukung oleh manajemen pemeliharaan yang baik dan benar.

Escherichia coli

Escherichia coli (E. coli) adalah bakteri dari genus Escherichia yang umum ditemukan pada usus makhluk hidup berdarah panas (Blood dan Henderson 1963). E. coli memiliki beberapa karakteristik diantaranya yaitu berbentuk batang, Gram negatif, dan fakultatif anaerob (Blood dan Henderson 1963). E. coli terdiri dari berbagai macam serotipe yang patogenitasnya berbeda-beda. Kebanyakan E. coli tidak berbahaya, tetapi beberapa serotipe seperti O157:H7 dapat mengakibatkan infeksi serius karena eksotoksin yang dihasilkan yaitu verotoksin (Blood dan Henderson 1963). Pertumbuhan optimum E. coli terjadi pada suhu 37 °C (98.6 °F), tetapi beberapa serotipe dapat tumbuh hingga suhu 49 °C (120.2 °F) (Blood dan Henderson 1963).

E. coli merupakan salah satu bakteri patogen yang menjadi penyebab terjadinya kasus mastitis subklinis (Poeloengan 2010). E. coli dikeluarkan dari usus bersama feses, sehingga infeksi E. coli pada kasus mastitis subklinis sering dikaitkan dengan sanitasi kadang yang buruk. E. coli yang terdapat pada feses dapat masuk melalui puting sehingga menginfeksi ambing.

(20)

6

Penggunaan antibiotik spektrum luas dapat dilakukan untuk pengobatan mastitis yang disebabkan oleh E. coli. Hal ini disebabkan oleh strain E. coli penyebab mastitis tidak dapat dibedakan dengan strain E. coli normal di usus (White 2006). Terapi pada kasus mastitis subklinis yang disebabkan oleh E. coli harus disertai dengan sanitasi kandang yang baik sebagai bentuk pengendalian yang lebih efektif.

Celup Puting

Salah satu kegiatan pasca pemerahan yang dapat menurunkan kejadian mastitis subklinis adalah celup puting. Celup puting merupakan tindakan pencelupan puting setelah pemerahan dengan menggunakan antiseptik yang bertujuan mencegah masuknya bakteri ke dalam ambing melalui lubang puting (Putri et al. 2015). Puting mempunyai spinkter yang secara normal selalu tertutup, namun selama pemerahan dan beberapa saat setelah pemerahan, spinkter puting akan terbuka dan memungkinkan mikrob untuk masuk. Masuknya mikrob melalui lubang puting menjadi penyebab utama pada kebanyakan kasus mastitis.

Larutan yang umum digunakan untuk celup puting yaitu Iodine, Chlorhexidine, Chlorin 4%, dan alkohol 70%. Iodine digabungkan dengan polivinil pirolidone menghasilkan suatu kompleks iodofor yaitu povidone iodine. Povidone iodine adalah sebuah polimer larut air yang mengandung sekitar 10% iodine aktif, biasanya digunakan sebagai antiseptik eksternal dengan spektrum mikrobisidal untuk pencegahan atau perawatan pada infeksi topikal (Connors 1992). Povidone iodine bekerja sebagai bakterisidal yang juga dapat membunuh spora, jamur, virus, dan sporozoa (Connors 1992). Aktifitas antimikroba povidone iodine berkaitan dengan kemampuan oksidasi kuat dari iodine bebas terhadap asam amino, nukleotida, dan lemak bebas tidak jenuh (Connors 1992). Hal tersebut menyebabkan povidone iodine mampu merusak protein dan DNA mikroba. Keuntungan antiseptik berbasis iodine adalah cakupan aktivitas antimikrobanya yang luas. Selain bersifat bakterisidal, povidone juga bersifat germisidal (merusak sel) (Connors 1992). Efek samping dari penggunaan povidone iodine sebagai antiseptik adalah dapat menyebabkan kerusakan jaringan kulit, alergi, dan dermatitis (Connors 1992).

Povidone iodine dicampurkan dengan gliserin sebagai larutan untuk celup puting. Campuran gliserin dapat mengentalkan larutan untuk mengurangi penguapan air agar antiseptik dapat bertahan lebih lama pada permukaan kulit. Gliserin memilik sifat higroskopis yang dapat melembabkan kulit dan melindunginya dari kekeringan (Poedjiadi 2006). Gliserin merupakan pelembab yang baik karena dapat berfungsi sebagai penarik, penahan, penyimpan dan penyuplai sumber air pada celah lapisan permukaan kulit (Poedjiadi 2006). Kemampuan mengikat air oleh gliserin disebabkan oleh adanya tiga gugus hidroksil yang dimilikinya, sehingga gliserin mampu mengikat air lebih besar dibandingkan jenis gula lain (Poedjiadi 2006). Campuran gliserin ini dapat mengurangi efek samping dari penggunaan povidone iodine.

(21)

7

METODE

Waktu dan Tempat

Pengambilan sampel dilakukan di Kawasan Usaha Ternak (KUNAK) Kecamatan Cibungbulang Kabupaten Bogor dan pengujian sampel dilakukan di Laboratorium Kesehatan Masyarakat Veteriner, Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesmavet FKH IPB. Penelitian dilaksanakan pada bulan Maret hingga Juli 2015.

Desain Penelitian

Penelitian ini diawali dengan memilih peternak yang mempunyai sapi dalam masa laktasi normal, sehat secara klinis, dan positif mastitis subklinis sebelum diberi perlakuan celup puting. Masa laktasi normal pada sapi perah adalah bulan ke-3 sampai bulan ke-5 postpartus saat sapi perah sedang memproduksi susu. Pengujian mastitis subklinis dilakukan menggunakan pereaksi IPB-1. Pereaksi IPB-1 akan bereaksi dengan DNA dari inti sel somatis pada susu yang berasal dari sapi yang menderita mastitis subklinis, sehingga tebentuk massa kental seperti gelatin (Sudarwanto 1998). Berdasarkan hasil pemilihan tersebut, didapatkan 18 ekor sapi yang digunakan dalam penelitian.

Peternak yang memiliki sapi yang dijadikan sampel penelitian, diberi penyuluhan dan diberi bantuan alat celup puting (teat dipper) serta larutan antiseptik. Penyuluhan yang diberikan meliputi pengetahuan tentang mastitis subklinis dan kualitas susu serta proses dan waktu perlakuan celup puting. Pencelupan puting dilakukan langsung setiap setelah pemerahan oleh peternak di kandang masing-masing dengan cara mencelupkan puting ke dalam teat dipper yang berisi larutan antiseptik selama 5-10 detik untuk setiap puting. Pengambilan dan pengujian sampel dilakukan sebelum perlakuan celup puting dan pada bulan ke-1, ke-2, dan ke-3 setelah perlakuan celup puting.

Proses pengambilan sampel diawali dengan membersihkan ambing sapi yang akan diperah dengan air bersih lalu di lap, susu pancaran pertama dibuang dan pancaran selanjutnya diambil sebanyak 10 ml dari setiap kuartir dan ditampung dalam botol sampel yang telah diberi kode, kemudian botol ditutup rapat dan disimpan ke dalam cool box dengan suhu ±4 °C.

Alat dan Bahan

Alat yang digunakan pada tahap pengambilan sampel yaitu botol sampel yang telah diberi kode, lap bersih, ice pack, dan cool box. Alat yang digunakan pada tahap pengujian di laboratorium yaitu pembakar bunsen, vortex, ose, inkubator serta cawan petri yang telah diberi kode sampel dan diisi media. Selain itu, digunakan pula paddle untuk IPB Mastitis Test dan alat untuk celup puting (teat dipper).

Bahan yang digunakan adalah pereaksi IPB-1, alkohol 70%, povidone iodine 1% dan gliserin 10%, sampel susu, Blood Agar Base (Oxoid® CM0055),

(22)

8

Mannitol Salt Agar (Oxoid® CM0085), dan Coliform Selective Medium (Oxoid® CM1046).

Prosedur Identifikasi Bakteri

Sampel susu dari masing–masing kuartir dibiakkan pada media Blood Agar, Mannitol Salt Agar, dan Coliform Selective Medium lalu diinkubasikan selama 20-24 jam pada suhu 35-37 °C. Koloni yang terbentuk pada Blood Agar diamati kemampuannya dalam menghemolisa darah untuk mengetahui keberadaan bakteri patogen. Koloni yang diduga S. agalactiae yaitu membentuk hemolisis tidak sempurna yang ditandai terlihatnya wilayah yang benar-benar jernih di sekitar koloni (hemolisis beta) diperiksa dengan uji CAMP (Christie, Atkins, Munch-Peterson). Uji CAMP dilakukan pada Blood Agar dengan bakteri S. aureus sebagai penanda kemudian diinkubasi selama 24-48 jam pada suhu 37 °C. Setelah inkubasi, koloni S. agalactiae akan memperlihatkan hasil uji positif yang ditunjukkan dengan terjadinya zona hemolisis berbentuk mata anak panah di sebelah goresan S. aureus (Gambar 1a). Media Mannitol Salt Agar digunakan untuk membedakan S. aureus dengan S. epidermidis. S. aureus akan membentuk zona kuning (Gambar 1b) sedangkan S. epidermidis akan membentuk zona merah. Media Coliform Selective Medium digunakan untuk membedakan E. coli dengan jenis bakteri koliform yang lain. E. coli akan membentuk koloni berwarna ungu (Gambar 1c) sedangkan bakteri koliform yang lain akan membentuk koloni berwarna merah muda, biru ataupun tidak berwarna.

a b c

Gambar 1 (a) hasil positif uji CAMP (b) kontrol positif S. aureus pada media Mannitol Salt Agar (c) kontrol positif E. coli pada media Coliform Selective Medium

Analisis Data

(23)

9

HASIL DAN PEMBAHASAN

Keberadaan Bakteri Patogen Penyebab Mastitis Subklinis setelah Aplikasi Celup Puting

Sejumlah 266 sampel kuartir dari 18 ekor sapi perah dalam masa laktasi normal, sehat secara klinis, dan positif mastitis subklinis diidentifikasi terhadap keberadaan bakteri patogen penyebab mastitis subklinis sebelum perlakuan celup puting dan pada bulan ke-1, ke-2, dan ke-3 setelah perlakuan celup puting. Bakteri patogen yang diamati pada penelitian ini yaitu S. aureus, S. epidermidis, S. agalactiae, dan E. coli. Identifikasi keberadaan bakteri patogen dilakukan dengan cara membiakkan sampel pada media agar selektif.

Keberadaan bakteri patogen penyebab mastitis subklinis dapat bersifat kompleks, artinya beberapa jenis bakteri patogen dapat berada pada puting yang sama. Aplikasi celup puting menggunakan larutan povidone iodine 1% dan gliserin 10% secara umum dapat menurunkan keberadaan bakteri patogen penyebab mastitis subklinis, namun penurunan yang terjadi tidak merata pada semua jenis bakteri. Berdasarkan Tabel 1, keberadaan bakteri patogen secara umum, S. aureus, S. epidermidis, dan E. coli mengalami penurunan yang nyata setelah diberi perlakuan celup puting, sedangkan S. agalactiae dan bakteri patogen selain yang diidentifikasi tidak mengalami penurunan yang nyata. Keduanya hanya mengalami penurunan pada bulan ke-2 setelah diberi perlakuan celup puting.

Tabel 1 Persentase jumlah puting yang terinfeksi bakteri patogen penyebab mastitis subklinis pada perlakuan celup puting

Jenis bakteri

Persentase jumlah puting (%)

χ2 P (Selang kepercayaan 95%) Bulan ke-0 Bulan ke-1 Bulan ke-2 Bulan ke-3 Bakteri patogen 97 (90-99) 87 (76-93) 63 (51-73) 34 (24-46) 74.625 <0.0001* S. agalactiae 16 (9-27) 13 (7-24) 9 (4-18) 9 (4-18) 2.423 0.4893 S. aureus 75 (63-84) 55 (43-67) 39 (28-51) 23 (15-35) 38.868 <0.0001* S. epidermidis 61 (49-72) 54 (42-65) 43 (32-55) 35 (25-48) 10.263 0.0165* E. coli 52 (40-64) 30 (20-42) 13 (7-24) 8 (3-17) 41.376 <0.0001* Bakteri patogen selain yang diidentifikasi 46 (35-58) 42 (31-54) 34 (24-46) 34 (24-46) 3.044 0.3849 *Menunjukkan perbedaan yang nyata pada P<0.05

Povidone iodine mempunyai spektrum luas dan merupakan iodine kompleks yang berfungsi sebagai antiseptik yang dapat menghambat pertumbuhan mikrob

(24)

10

yang ada di dalam atau di atas jaringan hidup (Brooks et al. 2008). Aplikasi celup puting menggunakan povidone iodine dapat menghambat pertumbuhan bakteri dengan cara melapisi lubang puting, sehingga mikrob yang masuk ke dalam lubang puting terlapisi oleh zat iodium yang dapat merusak dinding sel bakteri bagian luar dan membran sel, kemudian menembus sitoplasma sampai ke inti sel dengan merusak metabolisme sel mikrob sehingga perkembangbiakkan bakteri akan terhambat sampai akhirnya bakteri mati (Mahardhika et al. 2012). Penggunaan povidone iodine adalah solusi sederhana dan ekonomis untuk mengurangi infeksi. Penurunan yang nyata pada keberadaan bakteri patogen secara umum, S. aureus, S. epidermidis, dan E. coli menunjukkan bahwa povidone iodine efektif untuk menurunkan keberadaan bakteri-bakteri tersebut.

Penurunan yang terjadi tidak merata pada semua jenis bakteri, meskipun povidone iodine merupakan antiseptik yang memiliki spektrum luas. Hal tersebut dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, salah satunya adalah faktor patogenitas dari bakteri yang dapat mempengaruhi efektivitas povidone iodine (Connors 1992). Selain itu, sanitasi kandang yang buruk dapat menurunkan efektivitas perlakuan celup puting dalam menurunkan keberadaan bakteri. Proses sanitasi kandang di KUNAK sangat bergantung pada ketersediaan air. Kondisi wilayah kandang mengalami kekeringan pada bulan ke-3 karena memasuki musim kemarau sehingga sanitasi kandang tidak terjaga dengan baik. Keberadaan S. agalactiae tidak mengalami penurunan pada bulan tersebut, hal ini dapat terjadi karena S. agalactiae tahan pada kondisi lingkungan yang kering (Ryan dan Ray 2004). Selain itu, S. agalactiae memiliki kapsul polisakarida yang menjadi faktor patogenitas sehingga S. agalactiae dapat lebih tahan terhadap pemberian antiseptik, terlebih pada kondisi lingkungan yang mendukung keberadaan bakteri tersebut seperti kondisi sanitasi yang buruk pada bulan ke-3. Menurut Songer dan Post (2005), pengendalian infeksi S. agalactiae pada kasus mastitis subklinis lebih efektif menggunakan injeksi antibiotik intramammari pada periode kering kandang. Keberadaan bakteri patogen selain yang diidentifikasi juga tidak mengalami penurunan pada bulan ke-3 diduga terkait dengan kondisi sanitasi kandang yang buruk.

E. coli merupakan bakteri yang keberadaannya sangat terkait dengan sanitasi yang buruk, namun E. coli tetap mengalami penurunan meskipun pada bulan ke-3 kondisi sanitasi kandang tidak terjaga. E. coli memiliki banyak serotipe dengan tingkat patogenitas yang berbeda-beda. E. coli yang terdapat pada kasus mastitis subklinis merupakan serotipe yang menyerupai E. coli dalam usus sehingga pengendaliannya cukup efektif dengan menggunakan antiseptik spektrum luas (White 2006). Efektivitas povidone iodine terhadap keberadaan E. coli cukup tinggi sehingga dapat menurunkan keberadaan bakteri tersebut meskipun pada keadaan kondisi sanitasi kandang yang buruk.

Keberadaan Bakteri Patogen Penyebab Mastitis Subklinis berdasarkan Posisi Puting

Sampel yang digunakan untuk mengidentifikasi keberadaan bakteri patogen penyebab mastitis subklinis adalah sampel dari seluruh kuartir ambing, sehingga dapat diidentifikasi pengaruh posisi puting terhadap keberadaan bakteri tersebut.

(25)

11 Bakteri patogen penyebab mastitis subklinis yang masuk ke dalam ambing melalui lubang puting dapat berasal dari lingkungan kandang sehingga kontak tubuh sapi dengan alas kandang dapat mempengaruhi keberadaan bakteri tersebut. Posisi rumen sapi yang berada di bagian tubuh sebelah kiri menyebabkan sapi lebih nyaman berbaring ke sebelah kanan pada saat ruminansi agar tidak menekan rumen. Selain itu, posisi jantung yang berada di sebelah kiri juga menyebabkan sapi lebih nyaman berbaring ke sebelah kanan pada saat istirahat karena posisi berbaring ke sebelah kanan dapat menurunkan tekanan darah sehingga dapat meningkatkan kualitas istirahat (Muttaqin 2009).

Tabel 2 Persentase jumlah puting yang terinfeksi bakteri patogen penyebab mastitis subklinis berdasarkan posisi puting pada perlakuan celup puting

Posisi puting Persentase jumlah puting (%) χ2 P

(Selang kepercayaan 95%)

Kanan depan 58 (43-71) 2.372 0.4988

Kiri depan 69 (55-80)

Kanan belakang 64 (50-75)

Kiri belakang 55 (41-68)

*Menunjukkan perbedaan yang nyata pada P<0.05

Kecenderungan sapi berbaring ke sebelah kanan menyebabkan puting sebelah kanan lebih sering berkontak dengan alas kandang termasuk pada saat kondisi alas kandang belum dibersihkan, sehingga dapat meningkatkan risiko penularan bakteri patogen penyebab mastitis subklinis yang berasal dari lingkungan kandang. Berdasarkan hasil penelitian, keberadaan bakteri patogen berdasarkan posisi puting tidak memiliki perbedaan yang nyata (Tabel 2). Hal tersebut dapat disebabkan karena identifikasi keberadaan bakteri patogen berdasarkan posisi puting dilakukan setelah perlakuan celup puting, sehingga dapat menurunkan risiko masuknya bakteri melalui lubang puting.

Tidak terlihatnya perbedaan yang nyata terhadap keberadaan bakteri patogen berdasarkan posisi puting juga dapat disebabkan karena urutan puting yang diperah dapat mempengaruhi keberadaan bakteri patogen penyebab mastitis subklinis. Bakteri patogen tersebut dapat menular dari satu puting ke puting yang lain melalui tangan pemerah. Pemerahan yang dilakukan oleh peternak biasanya dimulai dari puting sebelah kanan. Pemerah mencuci tangan setiap akan melakukan pemerahan pada sapi yang berbeda, sedangkan saat melakukan pemerahan puting yang berbeda pada seekor sapi, pemerah biasanya tidak mencuci tangan terlebih dahulu. Hal tersebut dapat meningkatkan risiko penularan bakteri patogen penyebab mastitis subklinis pada puting yang terakhir diperah yaitu puting sebelah kiri apabila puting yang diperah sebelumnya sudah terinfeksi. Keberadaan bakteri patogen yang lebih tinggi pada puting sebelah kanan karena lebih sering berkontak dengan alas kandang dapat menular ke puting sebelah kiri yang diperah setelah puting sebelah kanan yang sudah terinfeksi.

(26)

12

SIMPULAN

Keberadaan bakteri patogen secara umum, Staphylococcus aureus, Staphylococcus epidermidis, dan Escherichia coli mengalami penurunan yang nyata setelah diberi perlakuan celup puting, sedangkan, Streptococcus agalactiae dan bakteri patogen selain yang diidentifikasi tidak mengalami penurunan yang nyata. Keberadaan bakteri patogen tidak dipengaruhi oleh posisi puting.

SARAN

Pengelola peternakan disarankan untuk memberikan dukungan kepada peternak dalam penerapan aplikasi celup puting setelah pemerahan dengan cara memberikan bantuan alat celup puting dan larutan antispetik, karena celup puting merupakan solusi yang mudah dan ekonomis untuk menurunkan angka kejadian mastitis subklinis pada sapi perah. Selain itu, diperlukan penelitian lanjutan untuk mengetahui pengaruh aplikasi celup puting terhadap jumlah dan pertumbuhan bakteri patogen penyebab mastitis subklinis agar perbedaan yang terjadi dapat terlihat lebih jelas. Penelitian lanjutan terhadap bakteri-bakteri lain penyebab mastitis subklinis baik menggunakan povidone iodine ataupun larutan antiseptik lainnya juga diperlukan untuk mengetahui efektivitas larutan celup puting terhadap bakteri-bakteri tertentu.

DAFTAR PUSTAKA

Blood DC, Henderson JA. 1963. Veterinary Medicine. 2nd ed. Baltimore (US): The William and Wilkin. 1224 p.

Brooks GF, Butel JS, Morse SA. 2008. Mikrobiologi Kedokteran. Ed ke-23. Nugroho E, Maulany, penerjemah. Jakarta (ID): EGC. Terjemahan dari: Medical Microbiology. 544 hlm.

Connors KA. 1992. Stabilitas Kimiawi Sediaan Farmasi. Ed ke-2. Gunawan D, penerjemah. Semarang (ID): IKIP Semarang Pr. Terjemahan dari: Chemical Stability Pharmaceuticals. hlm 268.

[DITJENNAK KESWAN] Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan. 2013. Statistik Peternakan Tahun 2012. Jakarta (ID): Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan.

Field TG, Taylor RE. 2014. Scientific Farm Animal Production: an Introduction to Animal Science. 10th ed. New York (US): Pearson Edu. p 345-354. [GKSI] Gabungan Koperasi Susu Indonesia. 2013. Profil Koperasi Primer

[Internet]. [diunduh 2016 Feb 21]. Tersedia pada: http://gksijawabarat.co.id/. Jodi AL. 2008. Staphylococcus: Molecular Genetics. Norfolk (GB): Caister

Academic Pr. p 227-242.

Madigan MT, Martinko JM, Bender KS, Buckley DH, Stahl DA. 2015. Brock Biology of Microorganisms. 14th ed. San Francisco (US): Pearson. p 56-70.

(27)

13 Mahardhika O, Sudjatmogo, Suprayogi TH. 2012. Tampilan total bakteri dan pH pada susu kambing perah akibat dipping desinfektan yang berbeda [Total bacteria and pH of goat milk with various udder dipping methods]. Anim Agric J. 1(1):819-828.

Muttaqin A. 2009. Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem Kardiovaskular. Nurachmach E, editor. Jakarta (ID): Salemba Medika. hlm 20.

Nurdin E. 2007. Pengaruh pemberian tongkol bunga matahari (Helianthus annuus L.) dan probiotik terhadap penurunan derajat mastitis pada sapi perah Fries Holland penderita mastitis sub-klinis [The Effect of Sunflowers Receptalum (Helianthus annuus L.) and Probiotic on Decreasing the Degree of Subclinical Mastitis in Fries Holland Dairy Cattle]. J Indon Trop Anim Agric. 32(2):76-79.

Poedjiadi A. 2006. Dasar-Dasar Biokimia. Jakarta (ID): Indonesia Univ Pr. 476 hlm.

Poeloengan M. 2010. Aktivitas air perasan dan ekstrak etanol daun encok terhadap bakteri yang diisolasi dari sapi mastitis subklinis [Activity water extract and ethanol extraction of Plumbago Zeylanica L. leaves against bacteria isolated from sub clinical mastitis in cattle]. Di dalam: Sani Y, Natalia L, Brahmantiyo B, Pujiastuti W, Sartika T, Nurhayati, Anggraeni A, Matondang RH, Martindah E, Estuningsih SE, editor. Teknologi Peternakan dan Veteriner mendukung Industrialisasi Sistem Pertanian untuk Meningkatkan Ketahanan Pangan dan Kesejahteraan Peternak. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner; 2009 Agu 13-14; Bogor, Indonesia. Bogor (ID): Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. hlm 300-305.

Prescott LM, Harley JP, Klein DA. 2002. Microbiology. 5th ed. Boston (US): McGraw-Hill. 1014 p.

Putri P, Sudjatmogo, Suprayogi TH. 2015. Pengaruh lama waktu dipping dengan menggunakan larutan kaporit terhadap tampilan total bakteri dan derajat keasaman susu sapi perah [The effect of durations time of dipping with kaporit on total bacteria and pH of dairy cows milk]. Anim Agric J. 4(1):132-136.

Ryan KJ, Ray CG. 2004. Sherris Medical Microbiology. 4th ed. Boston (US): McGraw-Hill. p 273-296.

Songer JG, Post KW. 2005. Veterinary Microbiology Bacterial and Fungal Agents of Animal Disease. Philadelphia (US): Elsevier Saunders. 448 p. Subronto. 2003. Ilmu Penyakit Ternak I. Yogyakarta (ID): Gajah Mada Univ Pr.

701 hlm.

Sudarwanto, MB. 1998. Pereaksi IPB-1 sebagai pereaksi alternatif untuk mendeteksi matitis subklinis [The IPB-1 reagent as an alternative tool to detect subclinical mastitis]. Media Vet. 5(1):1-5.

Supar, Ariyanti T. 2008. Kajian pengendalian mastitis subklinis pada sapi perah [Studies on subclinical mastitis control in the dairy cows]. Di dalam: Diwyanto K, Wina E, Priyanti A, Natalia L, Herawati T, Purwandaya B, editor. Semiloka Nasional Prospek Industri Sapi Perah Menuju Perdagangan Bebas 2020; 2008 Apr 21; Jakarta, Indonesia. Bogor (ID): Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. hlm 360-366.

(28)

14

Surjowardojo P. 2011. Tingkat kejadian mastitis dengan whiteside test dan produksi susu sapi perah Friesien Holstein. J Ternak Trop. 12(1):46-55. Wahyuni AE, Wibawan IWT, Pasaribu FH, Priosoeryanto BP. 2006. Distribusi

serotipe Streptococcus agalactie penyebab mastitis subklinis pada sapi perah di Jawa Timur, Jawa tengah, dan Jawa Barat. J Vet. 7(1):1-8.

White DG. 2006. Antimicrobial resistance in pathogenic Escherichia coli from animals. Di dalam: Aarestrup FM, editor. Antimicrobial Resistance in Bacteria of Animal Origin. Washington DC (US): Am Soc for Microbiol Pr. hlm 145-166.

[WHO] World Health Organization. 2004. Guidelines for Drinking-water Quality. 3rd ed. Geneva (CH): World Health Organization.

Winarso D. 2008. Hubungan kualitas susu dengan keragaman genetik dan prevalensi mastitis subklinis di daerah jalur susu Malang sampai Pasuruan. J Sain Vet. 26(2):58-65.

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Garut pada tanggal 17 Februari 1995 dari ayah Agus Salim dan ibu Nur Budiawati, MP. Penulis adalah putri pertama dari tiga bersaudara. Tahun 2012 penulis lulus dari Pondok Pesantren Darul Arqam Muhammadiyah Daerah Garut dan pada tahun yang sama penulis masuk Institut Pertanian Bogor melalui Program Beasiswa Santri Berprestasi (PBSB) Kementerian Agama Republik Indonesia jalur Beasiswa Utusan Daerah (BUD) di Fakultas Kedokteran Hewan.

Selama mengikuti perkuliahan, penulis pernah aktif dalam kegiatan organisasi internal dan eksternal kampus yaitu komunitas santri penerima beasiswa dari Kementerian Agama RI atau Community of Santri Scholar of Ministry of Religious Affairs (CSSMoRA) sebagai ketua Departemen Informasi dan Komunikasi (2014-2016) di tingkat IPB dan sebagai Badan Pengurus Harian (2015-2016) di tingkat nasional, Forum For Indonesia (FFI) chapter Bogor sebagai staf Divisi Penelitian dan Pengembangan (2012-2013), Himpunan Minat dan Profesi Ruminansia FKH IPB sebagai staf Divisi Pendidikan (2013-2015), serta sebagai Badan Pengurus Harian pada kegiatan Pengabdian Masyarakat yang dilaksanakan oleh mahasiswa FKH IPB angkatan 49 di Provinsi Banten (2015). Selain itu, penulis juga pernah mengikuti kegiatan magang profesi di Balai Inseminasi Buatan (BIB) Lembang (2014), Balai Besar Pembibitan Ternak Unggul dan Hijauan Pakan Ternak (BBPTUHPT) Baturraden (2015) dan Peternakan Kambing Burja di Batu (2016).

Gambar

Gambar  1    (a)  hasil  positif  uji  CAMP  (b)  kontrol  positif  S.  aureus  pada  media  Mannitol  Salt  Agar  (c)  kontrol  positif  E
Tabel  1    Persentase  jumlah  puting  yang  terinfeksi  bakteri  patogen  penyebab  mastitis subklinis pada perlakuan celup puting
Tabel  2    Persentase  jumlah  puting  yang  terinfeksi  bakteri  patogen  penyebab  mastitis  subklinis  berdasarkan  posisi  puting  pada  perlakuan  celup  puting

Referensi

Dokumen terkait