• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGARUH SENGKETA KEPULAUAN TAKESHIMA TERHADAP FLUKTUASI HUBUNGAN ANTARA JEPANG DAN KOREA SELATAN PADA ERA JUNICHIRO KOIZUMI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENGARUH SENGKETA KEPULAUAN TAKESHIMA TERHADAP FLUKTUASI HUBUNGAN ANTARA JEPANG DAN KOREA SELATAN PADA ERA JUNICHIRO KOIZUMI"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

PENGARUH SENGKETA KEPULAUAN TAKESHIMA

TERHADAP FLUKTUASI HUBUNGAN ANTARA

JEPANG DAN KOREA SELATAN PADA ERA

JUNICHIRO KOIZUMI

Irfan Dwi Nurfianto[1]

Abstract

Everything related with the implementation of Japanese policy in the Junichiro Koizumi’s era on Takeshima’s status which is related with Japan-South Korea relations is the main topic of this research. The analysis on the Japanese policy implementation in the Koizumi’s era toward Takeshima’s status focus on the elaboration of the Takeshima ownership dispute, dispute’s factors, dynamics of efforts to solve the dispute, Japanese foreign policy, the impacts of the dispute on Japan-South Korea relations.

This research is a kind of explanatory research which uses the qualitative approach. This research uses library research and documentary method as the data collecting method, utilizing so many literature resources and documents which can be trusted and have credible data validity. This research uses qualitative data analysis model Miles and Huberman as its data analysis method which consists of 3 steps. Those 3 steps are data reduction, data display, and conclusion drawing or verification. This research is also based on relevant theory and concepts. They are geopolitical theory, dispute concepts, foreign policy concept, and national interest concept.

The result of this research points out that the Takeshima’s territorial dispute impacts on the dynamics of Japan-South Korea relations since the Koizumi’s era until now. The Takeshima’s dispute exactly becomes sensitive issue between Japan and South Korea because this issue is correlated with their own national interests. Those national interests are not only economic interest but also related with their interests to defend their national territory’s sovereignty. Both Japan and South Korea, this issue is very important so the researcher conclude that until this dispute can be solved using peaceful way, this Takeshima territorial dispute will always become barrier for Japan-South Korea relations in the future.

Keywords: Dispute, Japan, Junichiro Koizumi, South Korea, Takeshima

[1] Mahasiswa S1 Program Studi Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik,

(2)

Pendahuluan

Klaim sebuah negara akan suatu wilayah merupakan hal yang mungkin untuk terjadi apabila tidak ada kesepakatan batas teritori antara negara tersebut dengan wilayah/negara-negara di sekitarnya. Klaim tersebut tidak jarang menimbulkan konflik antar wilayah/negara-negara dan menjadi masalah yang rumit. Hal ini sering membuat hubungan antar negara yang berseteru mempertahankan klaim atas wilayah yang sama semakin memburuk. Seperti halnya yang dialami oleh Jepang dan Korea Selatan atas klaim kepulauan Takeshima.

Berdasarkan letak geografis, kepulauan Takeshima terletak di tengah-tengah antara Semenanjung Korea dan kepulauan Jepang pada 37o 14 “ N dan 131o 52 “ E, 157 kilometer barat daya dari Pulau Oki, prefektur Shimane. Kepulauan Takeshima memiliki dua pulau utama yaitu Higashijima (Pulau Mejima) dan Nishijima (Pulau Ojima) serta beberapa karang kecil yang membentuk gugusan.1 Takeshima merupakan kepulauan yang tidak layak huni, namun arus hangat dari wilayah selatan yang bertemu arus dingin dari wilayah utara di sekitar Takeshima membuatnya menjadi daerah yang kaya akan ikan dan potensi-potensi laut lainnya. Kekayaan ini yang menjadi perdebatan kepemilikan atas kepulauan Takeshima yang mencakup wilayah maritim.

Pada tahun 1904, Korea telah setuju dengan menandatangani perjanjian dengan Jepang. Korea menyerahkan sepenuhnya urusan diplomatik dan pemerintahannya kepada Jepang pada masa itu serta menyerahkan wilayahnya jika Jepang membutuhkan untuk kepentingan perang.2 Pada saat itu berdasarkan keputusan kabinet Jepang, Gubernur dari Prefektur Shimane mengumumkan bahwa Takeshima berada di bawah jurisdiksi Okinoshima. Kepulauan Takeshima digunakan Jepang sebagai pusat komunikasi. Hal ini bertujuan untuk bisa mendeteksi serta mencegah serangan dari Rusia. Selain itu menara komunikasi tersebut juga berfungsi sebagai armada laut Jepang.

Hasil dari konsekuensi perang antara Jepang dan Rusia pada tahun 1905, Jepang berhak untuk mengambil alih wilayah yang awalnya merupakan bagian jajahan Rusia. Hal ini menunjukkan bahwa wilayah semenanjung Korea termasuk dalam wilayah yang menjadi bagian dari hasil perang tersebut.

Pada tahun 1945 Jepang menyerah terhadap sekutu. Sesuai dengan perjanjian San Fransisco tanggal 8 September 1951, Jepang harus mengembalikan wilayah yang sudah dijajahnya kepada negara yang memiliki kekuasaan sebelumnya serta harus menanggung beban biaya yang ditimbulkan selama masa penjajahan.

1 Northeast Asia Division, Asian and Oceanian Affairs Bureau, Ministry of Foreign Affairs of Japan, 10 Issues

of Takeshima, 2008, hlm. 1

2 Yang Seung-Yoon dan Nur Aini Setiawati, Sejarah Korea Sejak Awal Abad Hingga Masa Kontemporer,

(3)

Takeshima merupakan wilayah yang dipersengketakan oleh Korea Selatan karena hak kepemilikannya. Namun, apabila merujuk pada perjanjian San Fransisco, kepulauan Takeshima bukan merupakan wilayah yang harus dikembalikan kepemilikannya oleh Jepang. Menurut pasal 2 perjanjian San Fransisco hanya ada 2 pulau yang harus dikembalikan kepemilikannya yaitu wilayah Pulau Kuril dan Pulau Senkaku kepada Rusia. Hal ini dapat membuktikan bahwa Jepang mempunyai legalitas akan hak kepemilikan atas kepulauan Takeshima. Berdasarkan hukum dalam perjanjian San Fransisco, Jepang memasukkan wilayah kepulauan Takeshima ke dalam wilayah kekuasaannya melalui Prefektur Shimane pada tanggal 22 Februari 1905 dalam putusan dewan Prefektur Shimane no 40. Kebijakan yang diambil oleh Jepang ini pasca adanya sekelompok nelayan yang menginginkan kedaulatan kepulauan Takeshima sepenuhnya masuk ke wilayah Jepang.3

Letak geografis kepulauan Takeshima yang berada di antara Jepang dan Korea Selatan membuat Jepang tidak bisa langsung bernafas lega atas kepemilikannya. Jarak antara Takeshima ke wilayah darat terluar Korea Selatan maupun Jepang yang tidak terlalu signifikan ini yang menjadi penyebab kedua negara saling melakukan klaim.

Konflik Wilayah antara Jepang dan Korea Selatan

Menurut Scannell, konflik adalah suatu hal alami dan normal yang timbul karena perbedaan persepsi, tujuan atau nilai dalam sekelompok individu.4 Perbedaan persepsi, tujuan ataupun nilai tersebut juga dapat menimbalkan konflik dalam tingkat internasional dimana negara menjadi aktornya. Menurut K. J. Holsti, konflik-konflik internasional memiliki bidang isu yang menimbulkan konfrontasi dan perang. Berdasarkan studi atas konflik internasional, bidang-bidang isu tersebut ialah:

1) Konflik Wilayah Terbatas, 2) Konflik Komposisi Wilayah, 3) Konflik Kehormatan Nasional, 4) Imperalisme Regional,

5) Konflik Pembebasan, dan 6) Konflik Unifikasi Nasional.5

3 http://www.dokdo-takeshima.com/dokdo-takeshima-related-historical-data, Diakses pada 22 Desember

2015, 20.30 WIB, Surakarta.

4 http://eprints.uny.ac.id/9882/3/BAB%202%20-%2008104241005.pdf, Diakses pada 4 Oktober 2016, 15.00

WIB, Surakarta.

5 K. J. Holsti dalam Repository Universitas Gadjah Mada,

http://etd.repository.ugm.ac.id/index.php?mod=download&sub=DownloadFile&act=view&typ=html&id= 67057&ftyp=potongan&potongan=S1-2014-281896-chapter1.pdf, Diakses pada 4 Oktober 2016, 15.30 WIB, Surakarta.

(4)

Berdasarkan keenam bidang isu diatas, semuanya berpotensi untuk menuju ke arah konfrontasi dan juga perang. Dalam memandang konflik antara Jepang dan Korea Selatan terkait kepulauan Takeshima ini, penulis lebih memfokuskan pada aspek bidang isu konflik wilayah terbatas. Hal tersebut dikarenakan sumber dari konflik antara keduanya yaitu adalah perbedaan atau ketidaksepahaman Jepang dan Korea Selatan atas kepemilikan wilayah Kepulauan Takeshima.

Pengertian konflik wilayah terbatas ialah di mana terdapat pandangan yang tidak cocok dengan acuan pada pemilikan suatu bagian wilayah yang khusus atau pada hak-hak yang diperoleh oleh suatu negara atau di dekat wilayah negara lain.6 Lebih lanjut menurut K. J. Holsti, ada enam hasil yang mungkin timbul dari konflik internasional. Keenam kemungkinan itu antara lain yaitu: penghindaran diri, penaklukan, penundukan atau penangkalan, kompromi, imbalan, dan penyelesaian pasif.7 Namun sebelum membahas lebih lanjut terkait keadaan yang mungkin dari konflik wilayah yang dalam kasus ini yaitu konflik wilayah antara Jepang dan Korea Selatan atas Takeshima, kiranya perlu terlebih dahulu dibahas mengenai faktor-faktor penyebab konflik wilayah antara Jepang dan Korea Selatan ini dan bagaimana peran teritori/wilayah menjadi penting dalam faktor tersebut.

Faktor Penyebab Sengketa Takeshima

Phillip Bobbitt dalam bukunya The Shield of Achilles:War, Peace, and the Course of

History (2003) menyatakan bahwa sengketa dapat terjadi karena berbagai sebab, antara lain:

1) Salah satu pihak tidak memenuhi kewajiban dalam Perjanjian Internasional, 2) Perbedaan penafsiran antar negara mengenai isi dari perjanjian Internasional, 3) Perebutan sumber-sumber ekonomi,

4) Perebutan pengaruh ekonomi,

5) Adanya rasa ingin mengintervensi kedaulatan negara lain, 6) Perluasan pengaruh ideologi politik terhadap negara lain, 7) Adanya perbedaan kepentingan masing-masing negara, 8) Penghinaan terhadap harga diri bangsa,

9) Ketidaksepahaman mengenai garis perbatasan antar negara yang belum terselesaikan melalui mekanisme perundingan,

6 Ibid. 7

(5)

10)Peningkatan persenjatan dan kekuatan militer baik oleh negara-negara yang berada di dalam kawasan maupun luar kawasan, dan

11)Aksi terorisme lintas negara, serta gerakan separatis bersenjata yang dapat mengundang kesalahpahaman antar negara.

Berdasarkan yang disebutkan oleh Phillip Bobbitt diatas, sengketa antara Jepang dan Korea Selatan terkait Takeshima cenderung disebabkan oleh faktor nomor 2, 3, dan 8 yaitu: perbedaan penafsiran antar negara mengenai isi dari perjanjian Internasional, perebutan sumber-sumber ekonomi, dan penghinaan terhadap harga diri bangsa.

Perbedaan penafsiran antar negara mengenai isi perjanjian internasional bisa jadi dikarenakan oleh isi perjanjian yang mungkin ambigu. Perjanjian San Fransisco yang isi salah satunya mengatur terkait teritori Jepang pasca PD II, tidak dijelaskan secara gamblang akan kepemilikan atas wilayah Takeshima. Status dari Liancourt Rocks tidak disebutkan dalam pasal 2 (a) dari Perjanjian San Francisco 1951, yang memaksa Jepang mengakui kemerdekaan Korea.8 Perjanjian tersebut mengharuskan “Jepang mengakui kemerdekaan Korea dan mengembalikan hak dan kedaulatan kepada Korea termasuk pengembalian pulau Quelport, Port Hamilton dan Dagelet.9 Namun di dalam proses perjanjian tersebut, secara jelas bahwa Amerika Serikat menolak permintaan dari Korea yang mana ingin memasukkan Takeshima ke dalam teritorinya dikarenakan Takeshima sudah di bawah jurisdiksi Jepang.10

Perebutan sumber-sumber ekonomi juga dapat dikatakan sebagai salah satu faktor kuat penyebab sengketa antara Jepang dan Korea Selatan ini. Kepemilikan atas kepulauan karang yang oleh Jepang dinamai “Takeshima” dan oleh Korea Selatan disebut sebagai “Dokdo” tersebut akan berpengaruh pada batas ZEE mereka. Dengan memiliki Takeshima tentunya luas wilayah ZEE mereka akan bertambah besar dan tentunya keuntungan ekonomi yang didapat akan semakin besar pula. Takeshima dikatakan terkenal akan kekayaan biota laut dan sumber daya gas alam yang terdapat di sekitarnya.11 Kepemilikan atas Takeshima tentu akan menguntungkan karena secara otomatis sumber daya alam yang ada di Takeshima juga akan turut dimiliki dan tentu membawa keuntungan ekonomi tersendiri.

Sementara faktor yang terakhir namun tak kalah penting dari faktor lain yang menjadi penyebab sengketa ini adalah terkait masalah harga diri bangsa. Bangsa Asia Timur dikenal sebagai bangsa dengan pride yang tinggi yang kadang karena tingginya pride mereka sebagai suatu bangsa tersebut, aroma perselisihan, persaingan dan rasa tidak mau kalah sering kali membalut interaksi hubungan antara negara-negara Asia Timur. Dari pandangan Korea

8

Sean Fern, “Tokdo or Takeshima?: The International Law of Territorial Acquisition in the Japan-Korea Island Dispute”, hlm.80, web.stanford.edu/group/sjeaa/journal51/japan2.pdf

9 Sean Fren, ibid.

10 Northeast Asia Division, Asian, and Oceanian Affairs Bureau, The Ministry of Foreign Affairs of Japan, “10

Issues of Takeshima”, hlm.10

11 http://etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/72624/potongan/S1-2014-196304-chapter1.pdf, diakses pada

(6)

Selatan, kehilangan “Dokdo” berarti sama saja mengakui legitimasi kolonialisme Jepang di masa sekarang.12 Pendudukan Jepang atas Korea pada masa lalu masih menjadi isu sensitif dan memori pahit bagi warga Korea bahkan hingga saat ini. Bagi warga Korea, “Dokdo” telah menjadi simbol tersendiri bagi pembebasan Korea atas imperialisme Jepang,13 sehingga klaim Jepang atas “Dokdo” tentu saja menjadi suatu penghinaan atas harga diri bangsa Korea. Pada tahun 2005, ketika hubungan Jepang-Korea Selatan memanas akibat isu Takeshima

Day, Seoul menyatakan bahwa kedaulatan atas Takeshima bahkan lebih penting dari pada

hubungan baik dengan Jepang.14

Sama halnya dengan Korea Selatan, identitas nasional dan harga diri sebagai bangsa Jepang tentunya memainkan peran yang sangat penting bagi Jepang dalam mempertahankan Takeshima. Tidak mungkin bagi Jepang untuk begitu saja mundur dan menyerahkan kedaulatan atas Takeshima.15 Terlebih lagi selain sengketa Takeshima dengan Korea Selatan, Jepang juga memiliki beberapa sengketa teritori lainnya dengan Rusia atas wilayah utara

(northern territories) dan sengketa atas pulau Senkaku dengan Tiongkok.16 Kehilangan Takeshima tentu akan mengoyak harga diri Jepang dalam mempertahankan integritas negaranya dan akan membuat negara lain memandang remeh Jepang dan meningkatkan resiko atau kemungkinan kekalahan Jepang atas kasus sengketa lainnya.17 Oleh karena itu, mempertahankan Takeshima menjadi hal yang sangat penting bagi Jepang.

Dinamika Proses Penyelesaian Sengketa Takeshima

Secara diplomatik, penyelesaian sengketa dapat dilakukan dengan beberapa cara antara lain: negosiasi, penyelidikan, mediasi, konsiliasi, dan good offices.18 Namun, dalam

kasus sengketa kepulauan Takeshima antara Jepang dan Korea Selatan ini, tidak terlihat begitu banyak dari cara diatas yang digunakan dan tidak banyak pula hasil yang ada.

Hasil cukup signifikan yang ditunjukkan dalam usaha penyelesaian kasus sengketa antara Jepang dan Korea Selatan ini adalah dalam negosiasi antar kedua negara yang menghasilkan Treaty on Basic Relations pada tahun 1965 yang menandai normalisasi

12

Dong-Joon Park dan Danielle Chubb, “Why Dokdo Matters to Korea”,

http://thediplomat.com/2011/08/why-dokdo-matters-to-korea/, diakses pada 09 September 2016, 21.05 WIB, Surakarta.

13 Anna Fifield, “Island dispute sets off nationalist frenzy in Korea”,

http://www.ft.com/cms/s/0/ef1acc38-e3ae-11da-a015-0000779e2340.html?ft_site=falcon&desktop=true, diakses pada 04 September 2016, 20.15 WIB, Surakarta.

14

BBC, “S Korea Protest Over Japan Claim”, http://news.bbc.co.uk/2/hi/asia-pacific/4352923.stm, diakses pada 04 September 2016, 22.15 WIB, Surakarta.

15

Dong-Joon Park dan Danielle Chubb, ibid.

16

The New York Times, “Territorial Disputes Involving Japan”,

http://www.nytimes.com/interactive/2012/09/20/world/asia/Territorial-Disputes-Involving-Japan.html?_r=0 , Diakses pada 05 September 2016, 20.12 WIB, Surakarta.

17

Ralf Emmers, “Japan-Korea Relations and the Tokdo/Takeshima Dispute: The Interplay of Nationalism and Natural Resources”, hlm.12-13, https://www.rsis.edu.sg/wp-content/uploads/rsis-pubs/WP212.pdf

18

(7)

hubungan kedua negara. Perjanjian tersebut, meski belum menyelesaikan sengketa kepemilikan atas Liancourt Rocks, kedua pihak menyetujui beberapa poin terkait pulau tersebut. Poin-poin tersebut yaitu: kedua negara akan saling mengakui klaim satu sama lain atas kepemilikan kepulauan tersebut, kedua negara akan saling mendengarkan pendapat satu sama lain, kedua negara akan menyelesaikan permasalahan di masa yang akan datang, jika wilayah memancing dibatasi kedua negara dapat menggunakan Liancourt Rocks untuk menandai wilayah masing-masing dan wilayah yang saling tindih akan dianggap sebagai joint

territory, Korea Selatan diijinkan melanjutkan administrasi atas kepulauan tersebut sealam

kehadiran polisi tidak ditambah dan fasilitas baru dibangun, dan kedua negara akan menepati perjanjian ini.19

Namun, meski kedua pihak telah menyepakati poin-poin dalam perjanjian tersebut, pada dasarnya sengketa antara keduanya masih belum terselesaikan dan seiring berjalannya waktu, beberapa konflik antara Jepang dan Korea Selatan pun sempat terjadi akibat isu Takeshima tersebut. Konflik tersebut dipicu akibat tindakan yang diambil oleh Jepang maupun Korea Selatan terkait kepulauan Takeshima. Sebagai contoh pada tahun 1977-1978, hubungan kedua negara memanas ketika pemerintah Jepang menyatakan klaimnya atas zona memancing eksklusif di Laut Jepang/Laut Timur. Isu yang sama kembali menyeruak pada tahun 1996-1998 ketika Jepang dan Korea Selatan sama-sama membuat kebijakan maritim dan wilayah yang dinilai cukup keras. Kemudian pada tahun 2001, hubungan Jepang dan Korea Selatan kembali memanas akibat masalah buku pelajaran sekolah Jepang yang menyebutkan soal Takeshima sebagai bagian dari wilayah Jepang dan kunjungan Koizumi ke kuil Yasukuni,20 dan pada tahun 2004-2005 isu terkait Takeshima ini benar-benar telah membuat hubungan Tokyo dan Seoul memburuk disebabkan oleh kontroversi perangko pos “Dokdo” Korea Selatan dan juga peringatan “Takeshima Day” oleh Jepang.21

Usaha-usaha penyelesaian sengketa pada dasarnya telah coba diupayakan oleh Jepang dengan menyodorkan proposal supaya sengketa ini dibawa ke Mahkamah Internasional. Namun, sering kali proposal tersebut ditolak oleh pihak Korea Selatan. Pada September 1954, Jepang mengusulkan kepada Korea Selatan agar sengketa ini dibawa ke Mahkamah Internasional, akan tetapi Korea Selatan menolak usulan tersebut pada bulan Oktober di tahun yang sama.22 Pada tahun 1962, Jepang lewat Menteri Luar Negeri (Menlu) Zentaro Kosaka, juga kembali menawarkan kepada Korea Selatan melalui pembicaraan dengan Menlu Korea Selatan, Choi Duk Shin untuk membawa sengketa ini ke Mahkamah Internasional, namun

19

Nitin Philip, “Dokdo/Takeshima Island Dispute (Japan-S.Korea)”,

https://my-munofs-iv.wikispaces.com/file/view/Dokdo+Takeshima+Islands+Dispute+(Japan+-+S.Korea).pdf, Diakses pada 12 Agustus 2016, 22.05 WIB, Surakarta.

20 Kazuhiko Togo, Japan’s Foreign Policy, 1945-2003: The Quest for a Proactive Policy, Brill Publisher, Leiden,

2005, hlm.175

21 Min Gyo Koo, Island Disputes and Maritime Regime Building in East Asia: Between A Rock and A Hard Place,

Springer, New York, 2010, hlm.3

22 Ministry of Foreign Affairs of Japan, “10 points to understand the Takeshima Dispute”,

(8)

lagi-lagi proposal tersebut ditolak oleh Korea Selatan.23 Sebagai tambahan di bulan Agustus tahun 2012, Jepang sempat kembali mengirim nota verbale kepada Korea Selatan untuk membawa sengketa ke Mahkamah Internasional, namun di bulan yang sama Korea Selatan menolak usulan Jepang tersebut.

Mahkamah Internasional tidak memiliki kewenangan secara hukum dalam sengketa ini karena penyelesaian sengketa di Mahkamah Internasional memerlukan kesepakatan dari seluruh pihak yang bersengketa24, sehingga sampai saat ini kepulauan karang ini masih berada dalam status quo.

Masalah Kepentingan Nasional

Definisi kepentingan nasional menurut Hans. J Morgenthau adalah sebagai suatu cita-cita atau harapan dari suatu negara untuk mencapai tujuan negaranya dimata internasional.25 Kepentingan nasional yang paling utama dari setiap negara di dunia pada hakekatnya adalah sama, yaitu untuk tetap bisa mempertahankan eksistensinya.26 Gagasan dari kepentingan nasional terdiri dari dua faktor yaitu yang pertama “dibutuhkan” dan yang kedua “bisa berubah” ditentukan oleh situasi.27

Di dunia yang terdiri dari banyak negara yang saling berkompetisi dan bermusuhan untuk meraih kekuasaan (power), cara untuk tetap bertahan adalah dengan memenuhi apa yang dibutuhkan oleh negara tersebut.

Tiap negara tentu memiliki kepentingan nasional yang berbeda dikarenakan kemampuan militer, ekonomi, geografi, dan sosial budaya tiap negara yang berbeda pula. Menurut Morgenthau tujuan dalam politik internasional adalah mencapai “kepentingan nasional,” yang berbeda dengan kepentingan “sub-nasional” dan “supra-nasional”. Kepentingan nasional merupakan penggunaan kekuasaan secara bijaksana untuk menjaga berbagai kepentingan yang dianggap paling vital bagi kelestarian negara-bangsa. Pencapaian kepentingan nasional itu dapat diimplementasikan melalui kebijakan luar negeri.28

Kebijakan Jepang pada era Koizumi yang banyak berfokus pada masalah keamanan (security) tentunya didorong oleh kepentingan nasional Jepang untuk mengamankan kepulauan Takeshima yang kaya akan potensi sumber daya alam. Faktor nasionalisme, yang berkaitan dengan identitas nasional bangsa, menjadi faktor yang sangat berpengaruh kuat bagi Korea Selatan atas sikapnya yang kukuh menyatakan klaim atas Takeshima, dan di Jepang isu sengketa tersebut juga telah memunculkan sentimen dari kelompok nasionalis. Namun sikap pemerintah Jepang terhadap isu nasionalisme tersebut tidaklah sekuat dan sebesar di Korea Selatan. Posisi Tokyo dalam sengketa Takeshima dipengaruhi oleh faktor

23 Ibid. 24

Ibid.

25 Mohtar Mas’oed, Ilmu Hubungan Internasional Disiplin dan Metodologi, LP3ES, Jakarta, 1990, hlm. 140 26 Mohtar Mas’oed, ibid., hlm. 141

27 Ken Kiyono, “A Study On the Concept of National Interest of Hans J. Morgenthau: As the Standard of

American Foreign Policy”, hlm.2, http://naosite.lb.nagasaki-u.ac.jp/dspace/bitstream/10069/27783/1/keieikeizai49_03_04.pdf

28

(9)

pertimbangan sumber daya yang ada di wilayah tersebut.29 Selain kaya sumber biota laut atau ikan, kepulauan Takeshima juga dipercaya menyimpan potensi cadangan gas yang cukup menjanjikan. Dari situlah kepentingan ekonomi untuk mengamankan sumber daya alam tersebut menjadi salah satu faktor pendorong Jepang kukuh mempertahankan kepulauan Takeshima.

Bukan hanya masalah nasionalisme dan harga diri semata, sengketa ini nyatanya juga diwarnai oleh motif ekonomi yang tentu tak bisa dielakkan lagi adanya. Konflik antara Jepang dan Korea Selatan ini sebagaimana telah disebutkan sebelumnya bukan hanya mempersoalkan atas kepemilikan atas kepulauan karang tersebut. Kedua negara memperebutkan kepemilikan atas Takeshima sebagai basis bagi klaim ZEE (Zona Ekonomi Eksklusif) terhadap perairan di sekitarnya.30 Karena yang menjadi pertaruhan adalah wilayah perairan seluas 16.600 mil dari bibir laut termasuk wilayah yang mungkin memiliki potensi gas hydrate (gas yang terkondensasi menjadi bentuk yang semisolid) sebesar 600 juta ton.31 Gas hydrate merupakan sumber energi potensial bagi generasi selanjutnya yang dapat diubah menjadi gas alam cair bila teknologi yang memungkinkan berhasil diciptakan/dibuat.

Jepang yang pada dasarnya kurang akan SDA (Sumber Daya Alam) berupa energi tentunya tidak akan melepaskan potensi menjanjikan tersebut begitu saja. Selain itu, kepulauan karang tersebut juga telah menjadi tempat ideal bagi para nelayan (bagi kedua negara) untuk menangkap ikan. Perairan yang kaya akan ikan dan penemuan sumber minyak dan gas di lepas pantai menguatkan tekad Jepang untuk mempertahankan kepulauan tersebut karena sebagaimana diketahui semua pasokan minyak Jepang adalah impor dan perikanan merupakan tiang utama dari Diet Nasional.32

Aktivitas penangkapan ikan tersebut penting bagi ekonomi kedua negara dimana keduanya mengkhawatirkan adanya kelangkaan sumber ikan di bagian lain dunia sehingga meningkatkan nilai tempat titik penangkapkan ikan yang ada di dekat mereka. Karena aktivitas perikanan tersebut sama-sama penting baik bagi Jepang maupun Korea Selatan, sering kali masalah tersebut menimbulkan gesekan atau konflik antara keduanya.33

Kepulauan Takeshima ini sudah menjadi lokasi penangkapan ikan yang sangat penting bagi nelayan Jepang terutama nelayan dari prefektur Shimane. Berdasarkan laporan dari Harian Mainichi, sebuah perusahaan perikanan di Pulau Oki, pulau terdekat dari Takeshima, memiliki hak memancing dengan jarak 500 meter dari Takeshima, akan tetapi kapal penangkap ikan perusahaan tersebut tidak dapat mendekati kepulauan yang

29 Ralf Emmers, ibid, hlm.3 30

Michael A. McDevitt dan Catherine K. Lea, “Japan’s Territorial Disputes”, hlm.49, https://www.cna.org/CNA_files/PDF/DCP-2013-U-005049-FINAL.pdf

31 Michael A. McDevitt dan Catherine K. Lea, ibid.

32 James Brooke, “A Postage Stamp Island Sets Off a Continental Debate”,

http://www.nytimes.com/2004/01/27/world/seoul-journal-a-postage-stamp-island-sets-off-a-continental-debate.html?_r=0, Diaskes pada 11 September 2016, 20:20 WIB, Surakarta.

33

(10)

dipersengketakan tersebut tanpa ditangkap oleh otoritas Korea Selatan karena Seoul memiliki barak militer kecil di salah satu kepulauan tersebut. Dampaknya pun sangat dirasakan oleh para nelayan Oki dimana jumlah total ikan yang berhasil mereka dapat pada tahun 2003 hanya sekitar 70.000 ton berkurang hampir setengah dari jumlah total pada tahun 1993.34

Faktor Geopolitik

Salah satu pengaruh paling penting dalam sikap kebijakan luar negeri suatu negara adalah lokasi dan keadaan geografis.35 Menurut pandangan Ratzel, faktor alam geografis (letak, luas, bentuk, sumber daya alam, sumber daya manusia, dan hubungan internalnya) banyak menentukan kekuatan suatu negara.36 Menurutnya, negara merupakan organic state atau makhluk hidup yang membutuhkan ruang hidup oleh karena itu negara harus jelas batas-batas wilayahnya. Pada tahun 1897, Ratzel menerbitkan sebuah buku yang berjudul

Politische Geographie yang isinya menekankan bahwa wilayah teritorial suatu negara

ditetapkan dengan tegas, karena dengan menentukan batas negara dapat ditentukan luas negara dan juga kekuatan nasional negara bersangkutan.37

Batas negara diartikan sebagai pemisah unit regional geografi (fisik, sosial, budaya) yang dikuasai oleh suatu negara.38 Secara politis, batas negara adalah garis kedaulatan yang terdiri dari daratan, lautan, dan termasuk potensi yang berada pada perut bumi.

Sengketa yang terjadi antara Jepang dan Korea Selatan terkait pulau Liancourt Rocks tersebut tentu menjadikan batas wilayah antara kedua negara tersebut menjadi timpang tindih karena keduanya sama-sama mengklaim memiliki kedaulatan atas pulau tersebut. Kepemilikan atas kepulauan tersebut menjadi faktor geografis yang sangat menentukan batas kedua negara di wilayah perarian. Sebagaimana dinyatakan dalam pasal 55 UNCLOS bahwa negara yang memiliki kedaulatan atas wilayah di lepas pantai berhak ataz area ZEE (Zona Ekonomi Eksklusif) di sekitar area tersebut, dan memberikan negara tersebut hak eksklusif untuk melakukan aktivitas penangkapan ikan ataupun aksen penambangan di laut.39

Kebijakan untuk mempertahankan kepulauan Takeshima menjadi penting guna mengamankan segala potensi alam yang telah disebutkan sebelumnya untuk digunakan dalam mendukung kekuatan Jepang sebagai negara yang terus tumbuh sebagaimana disebut Ratzel sebagai organic state tersebut. Menurut Ratzel, setiap makhluk hidup membutuhkan ruang

34 Kosuke Takahashi, “Japan-South Korea Ties On the Rocks”,

http://apjjf.org/-Kosuke-Takahashi/1767/article.html, Diakses pada 14 Agustus 2016, 22:13 WIB, Surakarta.

35 Charles W. Kegley Jr. dan Eugene R. Wittkopf, World Politics: Trend and Transformation 6th Edition, St.

Martin’s Press, New York, 1997. hlm.41

36 Sri Hayati dan Ahmad Yani, Geografi Politik, PT Refika Aditama, Bandung, 2007, hlm.10 37

Sri Hayati dan Ahmad Yani, ibid.

38 Sri Hayati dan Ahmad Yani, ibid, hlm.45 39

(11)

hidup dan untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya itu ia harus berjuang untuk mendapatkan dan memperluas ruang hidupnya.40

Morgenthau dalam bukunya “Politics Among Nations” menyebutkan bahwa power atau kekuatan negara memiliki Sembilan unsur dimana unsur pertama yang disebut oleh Morgenthau adalah faktor geografi.41 Faktor geografis yang di dalamnya termasuk letak dan sumber daya alam tentunya menjadi hal yang sangat penting bagi Jepang untuk dipertimbangkan dalam kasus sengketa ini. Letak strategis Takeshima sebagai lokasi ideal bagi nelayan Jepang untuk menangkap ikan serta sumber daya alam berupa potensi gas

hydrate yang dikandungnya menjadikan Takeshima sangat penting bagi Jepang sehingga

patut untuk diperjuangkan dan dipertahankan. KESIMPULAN

Dapat ditarik kesimpulan bahwa sengketa teritori atas Kepulauan Takeshima banyak mempengaruhi dinamika hubungan antara Jepang dan Korea Selatan baik di era Koizumi sampai saat ini. Berdasarkan hukum dan bukti-bukti sejarah yang legal sudah membuktikan bahwa selayaknya kepulauan Takeshima masuk dalam wilayah teritori Jepang.

Pada masa pemerintahan Koizumi hal tersebut jelas terlihat dimana insiden “perangko Dokdo” yang dikeluarkan Korea Selatan pada tahun 2004 dan penetapan “Takeshima Day” oleh Prefektur Shimane pada tahun 2005, yang notabene merupakan peringatan 40 tahun hubungan persahabatan Jepang-Korea Selatan, malah justru membuat hubungan Jepang dan Korea Selatan memanas. Padahal sebelum insiden tersebut, Jepang dan Korea Selatan sempat menikmati hubungan yang relatif harmonis dengan menjadi tuan rumah bersama untuk event Piala Dunia pada tahun 2002.

Sengketa Takeshima tersebut tentu menjadi isu yang sangat sensitif yang dapat mempengaruhi hubungan bilateral kedua negara karena hal ini bersangkutan dengan kepentingan nasional masing-masing negara. Kepentingan itu sendiri bukan hanya terbatas pada kepentingan ekonomi berupa perebutan potensi sumber daya ikan dan gas yang ada di wilayah tersebut, namun juga terkait kepentingan negara demi mempertahankan kedaulatan wilayah guna menjaga martabat dan harga diri bangsa. Baik bagi Jepang dan Korea Selatan, hal tersebut tentu sangat penting sehingga peneliti menyimpulkan bahwa sampai persoalan sengketa ini dapat terselesaikan secara baik melalui jalur damai, masalah sengketa kepulauan Takeshima ini akan tetap menjadi batu sandungan dalam hubungan antara Jepang dan Korea Selatan di masa depan.

40

Sri Hayati dan Ahmad Yani, ibid, hlm.10

41

(12)

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Hayati, Sri dan Yani, Ahmad, Geografi Politik, PT Refika Aditama, Bandung, 2007.

Kegley, Charles W. Jr, dan Wittkopf, Eugene R, World Politics: Trend and Transformation

6th Edition, St. Martin’s Press, New York, 1997.

Koo, Min Gyo, Island Disputes and Maritime Regime Building in East Asia: Between A Rock

and A Hard Place”, Springer, New York, 2010.

Ministry of Foreign Affairs of Japan, Asian and Oceanian Affairs Bureau, Northeast Asia Division, 10 Issues of Takeshima, 2008.

Mohtar Mas’oed, Ilmu Hubungan Internasional Disiplin dan Metodologi, LP3ES, Jakarta, 1990.

Seung-Yoon, Yang, dan Setiawati, Nur Aini, Sejarah Korea Sejak Awal Abad Hingga Masa

Kontemporer, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 2003.

Shaw, Malcolm N, International Law, Fourth Edition, Cambridge University Press, 1997.

Togo, Kazuhiko, Japan’s Foreign Policy, 1945-2003: The Quest for a Proactive Policy, Brill Publisher, Leiden, 2005.

(13)

Artikel/Artikel Jurnal

Emmers, Ralf, “Japan-Korea Relations and the Tokdo/Takeshima Dispute: The Interplay of Nationalism and Natural Resources”, https://www.rsis.edu.sg/wp-content/uploads/rsis-pubs/WP212.pdf

Fern, Sean, “Tokdo or Takeshima?: The International Law of Territorial Acquisition in the Japan-Korea Island Dispute”, web.stanford.edu/group/sjeaa/journal51/japan2.pdf

Kiyono, Ken, “A Study On the Concept of National Interest of Hans J. Morgenthau: As the Standard of American Foreign Policy”, http://naosite.lb.nagasaki-u.ac.jp/dspace/bitstream/10069/27783/1/keieikeizai49_03_04.pdf

McDevitt, Michael A. dan Lea, Catherine K, “Japan’s Territorial Disputes”, https://www.cna.org/CNA_files/PDF/DCP-2013-U-005049-FINAL.pdf

Internet

BBC, “S Korea Protest Over Japan Claim”,

http://news.bbc.co.uk/2/hi/asia-pacific/4352923.stm, diakses pada 04 September 2016, 22.15 WIB, Surakarta.

Brooke, James, “A Postage Stamp Island Sets Off a Continental Debate”,

http://www.nytimes.com/2004/01/27/world/seoul-journal-a-postage-stamp-island-sets-off-a-continental-debate.html?_r=0, Diaskes pada 11 September 2016, 20:20 WIB, Surakarta.

Fifield, Anna, “Island dispute sets off nationalist frenzy in Korea”,

(14)

http://www.ft.com/cms/s/0/ef1acc38-e3ae-11da-a015-0000779e2340.html?ft_site=falcon&desktop=true, diakses pada 04 September 2016, 20.15 WIB, Surakarta.

Lumbung Pustaka UNY, http://eprints.uny.ac.id/9882/3/BAB%202%20-%2008104241005.pdf, Diakses pada 4 Oktober 2016, 15.00 WIB, Surakarta.

Ministry of Foreign Affairs of Japan, “10 points to understand the Takeshima Dispute”, www.mofa.go.jp/files/000092147.pdf, Diakses pada 12 September 2016, 22.05 WIB, Surakarta.

NN. “Dokdo Takeshima Historical Data”, http://www.dokdo-takeshima.com/dokdo-takeshima-related-historical-data, Diakses pada 22 Desember 2015, 20.30 WIB, Surakarta.

Park, Dong-Joon dan Chubb, Danielle, “Why Dokdo Matters to Korea”,

http://thediplomat.com/2011/08/why-dokdo-matters-to-korea/, diakses pada 09 September 2016, 21.05 WIB, Surakarta.

Philip, Nitin, “Dokdo/Takeshima Island Dispute (Japan-S.Korea)”, https://my-munofs-

iv.wikispaces.com/file/view/Dokdo+Takeshima+Islands+Dispute+(Japan+-+S.Korea).pdf, Diakses pada 12 Agustus 2016, 22.05 WIB, Surakarta.

Repository Universitas Gadjah Mada,

http://etd.repository.ugm.ac.id/index.php?mod=download&sub=DownloadFile&act

=view&typ=html&id=67057&ftyp=potongan&potongan=S1-2014-281896-chapter1.pdf, Diakses pada 4 Oktober 2016, 15.30 WIB, Surakarta.

Takahashi, Kosuke, “Japan-South Korea Ties On the Rocks”, http://apjjf.org/-Kosuke-Takahashi/1767/article.html, Diakses pada 14 Agustus 2016, 22:13 WIB, Surakarta.

(15)

The New York Times, “Territorial Disputes Involving Japan”,

http://www.nytimes.com/interactive/2012/09/20/world/asia/Territorial-Disputes-Involving-Japan.html?_r=0 , Diakses pada 05 September 2016, 20.12 WIB, Surakarta.

Referensi

Dokumen terkait

Rajah 43 menunjukkan penumpang yang berada dalam sebuah kereta tersentak ke belakang apabila kereta memecut secara tiba-tiba.. Diagram 44 shows a

Artinya bahwa perlakuan berbagai dosis probiotik tidak berpengaruh terhadap bobot testis kanan itik setelah 30 hari perlakuan.Ukuran sistem reproduksi untuk bobot

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh volume flow rate fluida dingin terhadap perubahan temperatur fluida dingin, perubahan laju kalor yang

Tujuan dari penelitian ini, Untuk mengidentifikasi dan mendeteksi kerusakan bantalan akibat korosi pada pompa sentrifugal dengan kondisi yang telah ditentukan melalui

Produksi antibodi ikan kerapu macan (E. fuscoguttatus) yang disuntik bakterin lebih rendah dari yang diinjeksi protein outer membran (Gambar 3).Tiga dosis yang disuntikkan, dosis

Karena kalau yang dipikirkan hanyalah bantuan – bantuan dan bantuan maka akan membuat subyek terus bergantung selain itu juga bisa mengakibatkan stress untuk

dimodifikasi untuk membaca parameter koordinat Z yang telah dibuat.Perubahan yang dilakukan adalah dengan merubah dimensi yang pada awalnya 2D hanya untuk memproses

[r]