• Tidak ada hasil yang ditemukan

STUDI ANALISIS FATWA MUI NOMOR 03 TAHUN 2010 TENTANG KIBLAT (Kiblat Umat Islam Indonesia Menghadap ke Arah Barat) S K R I P S I

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "STUDI ANALISIS FATWA MUI NOMOR 03 TAHUN 2010 TENTANG KIBLAT (Kiblat Umat Islam Indonesia Menghadap ke Arah Barat) S K R I P S I"

Copied!
185
0
0

Teks penuh

(1)

STUDI ANALISIS FATWA MUI NOMOR 03 TAHUN 2010

TENTANG KIBLAT

(Kiblat Umat Islam Indonesia Menghadap ke Arah Barat)

S K R I P S I

Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Dan Melengkapi Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Program Strata S.1

Dalam Ilmu Syari’ah

Oleh :

SITI TATMAINUL QULUB NIM : 072111079

PROGRAM STUDI KONSENTRASI ILMU FALAK

FAKULTAS SYARI’AH

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO

SEMARANG

(2)

Drs. H. Muhyiddin, M.Ag.

Jl. Kanguru III/15 A Semarang

PERSETUJUAN PEMBIMBING Lamp. : 4 (empat) eks.

Hal : Naskah Skripsi

An. Sdr. Siti Tatmainul Qulub

Assalamu alaikum Wr. Wb.

Setelah saya mengoreksi dan mengadakan perbaikan seperlunya, bersama ini saya kirim naskah skripsi Saudara :

Nama : Siti Tatmainul Qulub N I M : 072111079

Judul : Studi Analisis Fatwa MUI Nomor 03 Tahun 2010 Tentang Kiblat (Kiblat Umat Islam Indonesia Menghadap ke Arah Barat)

Dengan ini saya mohon kepada Dekan Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo Semarag, kiranya skripsi Saudara tersebut dapat segera dimunaqasyahkan.

Demikian harap menjadi maklum.

Wassalamu alaikum Wr. Wb.

Semarang, November 2010

Pembimbing I

Drs. H. Muhyiddin, M.Ag NIP. 19550228 198303 1 003

(3)

H. Ahmad Izzuddin, M.Ag.

Bukit Beringin Lestari Blok C 131 Wonosari Ngaliyan Semarang

PERSETUJUAN PEMBIMBING Lamp. : 4 (empat) eks.

Hal : Naskah Skripsi

An. Sdr. Siti Tatmainul Qulub

Assalamu alaikum Wr. Wb.

Setelah saya mengoreksi dan mengadakan perbaikan seperlunya, bersama ini saya kirim naskah skripsi Saudara :

Nama : Siti Tatmainul Qulub N I M : 072111079

Judul : Studi Analisis Fatwa MUI Nomor 03 Tahun 2010 Tentang Kiblat (Kiblat Umat Islam Indonesia Menghadap ke Arah Barat)

Dengan ini saya mohon kepada Dekan Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo Semarag, kiranya skripsi Saudara tersebut dapat segera dimunaqasyahkan.

Demikian harap menjadi maklum.

Wassalamu alaikum Wr. Wb.

Semarang, November 2010

Pembimbing II

H. Ahmad Izzuddin, M.Ag NIP. 19720512 199903 1 003

(4)

PENGESAHAN

Nama : Siti Tatmainul Qulub

N I M : 072111079

Fakultas/Jurusan/Prodi : Syari’ah/al-Ahwal al-Syahsiyyah/Konsentrasi Ilmu Falak Judul : Studi Analisis Fatwa MUI Nomor 03 Tahun 2010

Tentang Kiblat (Kiblat Umat Islam Indonesia Menghadap Ke Arah Barat)

Telah dimunaqosahkan oleh Dewan Penguji Fakultas Syari’ah Institut Agama Islam Negeri Walisongo Semarang dan dinyatakan lulus, pada tanggal :

30 Desember 2010

Dan dapat diterima sebagai kelengkapan ujian akhir dalam rangka menyelesaikan Studi Program Sarjana Strata 1 (S.1) tahun akademik 2010/2011 guna memperoleh gelar Sarjana dalam Ilmu Syari’ah.

Semarang, 30 Desember 2010 Dewan Penguji,

Ketua Sidang Sekretaris Sidang

Moh. Arifin, S.Ag, M.Hum Drs. H. Muhyiddin, M.Ag NIP. 19711012 199703 1 002 NIP. 19550228 198303 1 003

Penguji I Penguji II

Anthin Lathifah, M.Ag Ahmad Syifaul Anam, SHI, MH NIP. 19751107 200112 2 002 NIP. 19800120 200312 1 001

Pembimbing I Pembimbing II

Drs. H. Muhyiddin, M.Ag H. Ahmad Izzuddin, M.Ag NIP. 19550228 198303 1 003 NIP. 19720512 199903 1 003

(5)

M O T T O

:

Dan dari mana saja kamu ke luar, maka palingkanlah wajahmu

ke arah Masjidil Haram, sesungguhnya ketentuan itu benar-benar

sesuatu yang hak dari Tuhanmu. Dan Allah sekali-kali tidak lengah

dari apa yang kamu kerjakan.

(QS. Al-Baqarah [2] ayat 149)

(6)

PERSEMBAHAN

Saya persembahkan untuk :

Simbahku Alm. KH. Ihsan Yasir, Almh. Nyai Hj. Tumi, Alm. Kyai Samuri, Almh. Nyai Lasminah,

Abiku Muh. Sururuddin dan Ummiku Siti Dewi Maslikhah kasih sayangmu sungguh tak bertepi, tiada henti mendoakan

putri-putrimu, senantiasa memberikan semangat kepada kami untuk mengarungi hidup ini,

Adik-adikku tersayang, Qoni atul Maftuhatir Rohmah dan Miftahul Jannah yang selalu kurindukan,

Seluruh keluarga besarku Bani Ihsan Yasir dan Bani Lasminah, Dan keluarga Semarang, Bpk. Ahmad Izzuddin dan Ibu Aisyah Andayani,

(7)

DEKLARASI

Dengan penuh kejujuran dan tanggung jawab, penulis menyatakan bahwa skripsi ini tidak berisi materi yang telah pernah ditulis oleh orang lain atau diterbitkan. Demikian juga skripsi ini tidak berisi satupun pemikiran-pemikiran orang lain, kecuali informasi yang terdapat dalam referensi yang dijadikan bahan rujukan.

DEKLARATOR

(8)

ABSTRAK

Seiring dengan permasalahan arah kiblat yang semakin mencuat di masyarakat pada akhir tahun 2009 terkait isu pergeseran arah kiblat masjid-masjid di Indonesia, membuat Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia mengeluarkan Fatwa MUI Nomor 03 Tahun 2010 tentang Kiblat yang salah satu diktumnya berisi “Kiblat umat Islam Indonesia menghadap ke arah barat”. Fatwa ini dikeluarkan agar menjadi pedoman masyarakat Indonesia dalam menyikapi permasalahan arah kiblat dan memberikan kemudahan masyarakat dalam menghadap kiblat. Namun ternyata fatwa ini malah menimbulkan masalah, karena tidak sesuai dengan ilmu falak yang membahas tentang penentuan arah kiblat.

Ketidaksesuaian ini kemudian memunculkan wacana “Menggugat Fatwa MUI Nomor 03 Tahun 2010 tentang Kiblat”. Akhirnya Komisi Fatwa MUI melakukan pembahasan ulang terhadap fatwa tersebut yang menghasilkan fatwa baru yaitu Fatwa MUI Nomor 05 Tahun 2010 tentang Arah Kiblat. Fatwa tersebut menyebutkan bahwa “Kiblat umat Islam Indonesia adalah menghadap ke barat laut dengan posisi bervariasi sesuai dengan letak kawasan masing-masing”.

Dari permasalahan tersebut, penulis melakukan penelitian tentang latar belakang dikeluarkannya Fatwa MUI Nomor 03 Tahun 2010 tentang arah kiblat Indonesia, istinbath hukum yang dilakukan MUI dalam menetapkan fatwa tersebut, dan tinjauan terhadap fatwa tersebut dari perspektif ilmu falak.

Metodologi yang digunakan, (1) jenis penelitian kualitatif dengan pendekatan normatif sosiologis, (2) sumber data primer adalah Fatwa MUI Nomor 03 Tahun 2010 tentang Kiblat dan hasil wawancara, sumber data sekunder berupa tulisan ilmiah, penelitian atau buku-buku yang terkait dengan Fatwa MUI Nomor 03 Tahun 2010, (3) teknik pengumpulan data melalui wawancara dan dokumentasi, (4) teknik analisis data berupa analisis deskriptif dan analisis ushul fiqih.

Hasil penelitian menunjukkan; Pertama, dikeluarkannya fatwa MUI tersebut dilatarbelakangi oleh kondisi masyarakat yang bingung dengan pergeseran arah kiblat yang terjadi dan banyak dari kalangan masyarakat yang ingin membongkar masjid untuk meluruskan arah kiblatnya. Tujuan dikeluarkan fatwa tersebut agar tidak ada pembongkaran masjid. Kedua, istinbath hukum yang dilakukan MUI dalam menetapkan fatwa tersebut, hanya menggunakan dalil syar’i (hadis dan qiyas) tanpa mempertimbangkan ilmu falak dan teknologi yang sedang berkembang. Menurut anggapan MUI, menentukan arah kiblat itu sulit. Sehingga agar tidak menyulitkan masyarakat, maka arah kiblat Indonesia cukup menghadap ke arah barat. Ketiga, Fatwa MUI Nomor 03 Tahun 2010 tersebut tidak tepat bila ditinjau dari perspektif ilmu falak. Karena menurut ilmu falak, arah kiblat Indonesia adalah menghadap ke arah barat serong ke utara sekitar 20 – 26 derajat. Adapun penentuan arah kiblat sebenarnya tidak sulit bila dilakukan oleh ahlinya, bahkan setiap orang pun dapat melakukannya dengan metode yang sederhana yaitu rashdul Kiblat.

Kata kunci : Fatwa MUI Nomor 03 Tahun 2010 tentang arah kiblat Indonesia,

(9)

KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah, Tuhan Semesta Alam yang Maha Pengasih dan Penyayang, dengan taufik dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi yang berjudul “Studi Analisis Fatwa MUI Nomor 03 Tahun 2010 Tentang Kiblat (Kiblat Umat Islam Indonesia Menghadap ke Arah Barat)” ini dengan baik tanpa kendala yang berarti.

Shalawat dan salam semoga senantiasa Allah curahkan kepada Sayyidina Muhammad SAW beserta seluruh keluarga dan para sahabat, yang senantiasa kita harapkan barokah syafa’atnya pada hari akhir.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini dapat terselesaikan berkat adanya usaha dan bantuan baik berupa moral maupun spiritual dari berbagai pihak. Untuk itu, penulis menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya terutama kepada : 1. Dekan Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo Semarang dan Pembantu-Pembantu

Dekan yang telah memberikan izin kepada penulis untuk menulis skripsi tersebut dan memberikan fasilitas untuk belajar dari awal hingga akhir.

2. Drs. H. Muhyiddin, M.Ag., selaku Pembimbing I, yang dengan sabar dan tulus ikhlas meluangkan waktu, tenaga dan pikiran untuk memberikan bimbingan dan pengarahan dalam penyusunan skripsi ini.

3. H. Ahmad Izzuddin, M.Ag, selaku Pembimbing II yang selalu menjadi motivator, dan inspirator untuk segera menyelesaikan skripsi ini.

4. Kepala, Sekretaris, dan seluruh pengelola Program Studi Konsentrasi Ilmu Falak, serta dosen-dosen dan karyawan Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo atas segala didikan, bantuan dan kerjasamanya.

5. Kedua orang tua penulis beserta segenap keluarga besar, atas segala do’a, perhatian, dukungan, kelembutan dan curahan kasih sayang yang tidak dapat penulis ungkapkan dalam untaian kata-kata.

6. Keluarga Besar Pondok Pesantren Daarun Najaah Jerakah Tugu Semarang, khususnya kepada KH. Sirojd Chudlori dan H. Ahmad Izzuddin, M.Ag berserta keluarga yang selalu menjadi motivator dan inspirator penulis. Terima kasih atas ilmu yang telah diberikan, bantuan, bimbingan serta arahannya.

(10)

7. Keluarga Besar Pondok Pesantren Darus Sholah Tegal Besar Jember, khususnya kepada Ibu Nyai Hj. Rosyidah Yusuf selaku pengasuh dan pembimbing penulis dalam menimba ilmu di pondok pesantren tercinta. Terima kasih atas do’a yang selalu terlantun tanpa pamrih untuk para santri. 8. Seluruh ustad ustadzah di Pondok Pesantren Darus Sholah, khususnya ustad

ustadzah di Madrasah Aliyah Darus Sholah yang dengan segenap perjuangan beliau-beliaulah, penulis dapat melanjutkan studi di IAIN Walisongo Semarang ini. Terima kasih atas segala ilmu, motivasi, didikan dan do’anya. 9. Semua teman di Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo khususnya

teman-teman Prodi Konsentrasi Ilmu Falak, sahabat-sahabat di Pondok Pesantren Daarun Najaah Jrakah Tugu Semarang, dan sahabat-sahabat di Pondok Pesantren Darus Sholah Tegal Besar Jember.

Dan semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, yang secara langsung maupun tidak langsung selalu memberi bantuan, dorongan dan do’a kepada penulis selama melaksanakan studi di Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo dan nyantri di Pondok Pesantren Daarun Najaah.

Pada akhirnya penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini belum mencapai kesempurnaan dalam arti sebenarnya, untuk itu penulis mengharap saran dan kritik konstruktif dari pembaca demi kesempurnaan skripsi ini. Penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis dan para pembaca.

Semarang, 27 November 2010 Penulis

(11)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... HALAMAN NOTA PEMBIMBING ... HALAMAN PENGESAHAN ... HALAMAN DEKLARASI ... HALAMAN ABSTRAK ... HALAMAN MOTTO ... HALAMAN PERSEMBAHAN ... HALAMAN KATA PENGANTAR ... HALAMAN DAFTAR ISI ... BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ... B. Rumusan Masalah ... C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... D. Telaah Pustaka ... E. Metode Penelitian ... F. Sistematika Penulisan ... BAB II FIQIH KIBLAT DAN FATWA

A. Fiqih Kiblat ... 1. Definisi Kiblat ... 2. Dasar Hukum Menghadap Kiblat ... 3. Sejarah Kiblat ... 4. Pendapat Para Ulama’ Tentang Kiblat ... B. Fatwa dan Ifta’ ...

1. Definisi Fatwa dan Ifta’ ... 2. Fatwa, Qadha’, Ijtihad dan Istinbath ... 3. Syarat Mujtahid dan Mufti ... 4. Dalil-Dalil Syar’i ... 5. Metode Istinbath Hukum ...

i ii iv v vi vii viii ix xi 1 11 12 13 24 27 29 29 32 48 63 69 69 71 74 79 81

(12)

BAB III FATWA MUI NOMOR 03 TAHUN 2010 TENTANG KIBLAT

A. Sejarah Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) ... B. Pedoman dan Prosedur Penetapan Fatwa Majelis Ulama Indonesia ... C. Metode Istinbath Hukum Majelis Ulama Indonesia ... D. Fatwa MUI Nomor 03 Tahun 2010 Tentang Kiblat, Proses

Penetapan dan Istinbath Hukumnya ... E. Dasar Hukum Penetapan Fatwa MUI Nomor 03 Tahun 2010 ... BAB IV ANALISIS FATWA MUI NOMOR 03 TAHUN 2010

TENTANG KIBLAT

A. Latar Belakang Dikeluarkan Fatwa MUI Nomor 03 Tahun 2010 Tentang Arah Kiblat Indonesia ... B. Istinbath Hukum MUI dalam Penetapan Fatwa MUI Nomor 03 Tahun 2010 Tentang Arah Kiblat Indonesia ... C. Fatwa MUI Nomor 03 Tahun 2010 Tentang Arah kiblat Indonesia dalam Perspektif Ilmu Falak ... BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ... B. Saran-Saran ... C. Penutup ... DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN

DAFTAR RIWAYAT PENDIDIKAN

86 92 99 104 111 120 130 135 142 143 143

(13)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pada akhir tahun 2009, masalah arah kiblat sedang hangat dibicarakan di masyarakat seiring dengan beredarnya informasi di media massa tentang banyak masjid di Indonesia yang mengalami pergeseran arah kiblat. Di Seputar Indonesia misalnya disebutkan bahwa dari data yang diperoleh Kementerian Agama diperkirakan bahwa sebanyak 20 persen atau 160.000 masjid dari 800.000 masjid yang ada di Indonesia mengalami pergeseran arah kiblat.1 Menurut Dr. H. Rohadi Abdul Fatah, MA, Direktur Urusan Agama Islam (URAIS) dan Pembinaan Syari’ah Kementerian Agama, data ini kemungkinan akan terus bertambah.2 Berita ini menjadi lebih dahsyat ketika seorang pakar gempa dari Institut Teknologi Sepuluh November (ITS) Surabaya mengatakan bahwa gempa bumi bertubi-tubi yang melanda tanah air ditengarai menjadi penyebab pergeseran arah kiblat di sejumlah masjid di Indonesia.3

Beredarnya berita tersebut menimbulkan keresahan di kalangan umat Islam Indonesia bahkan sampai muncul konflik di masyarakat. Hal ini kiranya wajar, karena masalah kiblat merupakan hal yang sangat urgen bagi pelaksanaan ibadah umat Islam4. Sebagaimana kesepakatan para ulama bahwa

1

Nurul Huda dan Sugeng Wahyudi, Arah Kiblat 320.000 Masjid Bergeser, Seputar

Indonesia, Jakarta, 23 Januari 2010, hlm. 12.

2

Republika tanggal 23 Januari 2010. Lihat jugahttp://www.republika.co,id

3

Heri Ruslan, Umat Tak Perlu Resah, Tabloid Republika Dialog Jumat, 29 Januari 2010.

4

David A. King, Astronomy in the Service of Islam, Chapter IX, Great Britain: Variorum Collected Studies Series, 1993, hlm. 1.

(14)

menghadap ke arah kiblat merupakan salah satu syarat penentu keabsahan shalat.5 Firman Allah Swt yang menyebutkan tentang perintah menghadap kiblat ketika melaksanakan shalat sebagai berikut:

Artinya : Dan dari mana saja kamu keluar, maka palingkanlah wajahmu ke

arah Masjidil Haram. Sesungguhnya ketentuan itu benar-benar sesuatu yang hak dari Tuhanmu. Dan Allah sekali-kali tidak lengah dari apa yang kamu kerjakan. (QS. Al-Baqarah : 149)6

Munculnya konflik di masyarakat ini terjadi akibat hasil pengecekan arah kiblat yang berbeda dengan bangunan masjid/mushalla asli. Sebagian masyarakat ingin membongkar masjid/mushallanya untuk dibangun kembali sesuai arah kiblat yang sudah disesuaikan dengan ukuran, akan tetapi sebagian yang lain tetap ingin mempertahankan bangunan lama. Akhirnya beberapa kalangan dari masyarakat meminta pertimbangan kepada berbagai pihak untuk segera bertindak menyelesaikan masalah ini.

Setelah menerima kritik konstruktif dari berbagai pihak, Kementerian Agama segera bertindak mengatasi masalah ini. Pada tanggal 17 Maret 2010 di Jakarta, Rohadi Abdul Fatah memutuskan bahwa Kementerian Agama akan melakukan verifikasi arah kiblat masjid dan mushalla di seluruh Indonesia pada bulan Maret 2010. Verifikasi tersebut akan dilakukan serentak di seluruh provinsi. Ia juga menambahkan bahwa verifikasi ini dilakukan bukan karena

5

Ibnu Rusyd al-Qurtuby, Bidayat al-Mujtahid wa Nihayat al-Muqtashid, juz 1, Beirut: Dar al-Fikri, t.th., hlm. 80.

6

Departemen Agama RI, al-Qur an al-Karim dan Terjemahnya, Semarang: Toha Putera, t.th., hlm. 44.

(15)

banyaknya arah kiblat yang melenceng akibat gempa bumi. Akan tetapi karena pada saat arah kiblat ditentukan waktu dulu, teknologi yang digunakan untuk menentukan arah kiblat belum modern. Sehingga ada kemungkinan terdapat arah kiblat yang kurang akurat.7

Majelis Ulama Indonesia (MUI) –sebagai sebuah komisi yang diharapkan dapat menjawab segala permasalahan hukum Islam yang muncul di masyarakat– juga ikut bertindak. Pada tanggal 01 Februari 2010, Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengesahkan Fatwa MUI Nomor 03 Tahun 2010 tentang kiblat. Fatwa tersebut kemudian dibacakan dalam konferensi pers di Kantor MUI Jakarta pada tanggal 22 Maret 2010. Dalam konferensi pers tersebut, hadir Ketua MUI, A. Nazri Adlani, dan Wakil Sekretaris Komisi Fatwa MUI, Aminuddin Yaqub.8

Secara lengkap, diktum Fatwa MUI Nomor 03 Tahun 2010 tentang kiblat sebagai berikut9 :

Pertama, tentang ketentuan hukum. Dalam kententuan hukum tersebut

disebutkan bahwa: (1) Kiblat bagi orang shalat dan dapat melihat Ka’bah adalah menghadap ke bangunan Ka’bah (ainul Ka bah). (2) Kiblat bagi orang yang shalat dan tidak dapat melihat Ka’bah adalah arah Ka’bah (jihat

al-Ka bah). (3) Letak geografis Indonesia yang berada di bagian timur

Ka’bah/Mekkah, maka kiblat umat Islam Indonesia adalah menghadap ke arah barat.

Kedua, rekomendasi. MUI merekomendasikan agar bangunan

masjid/mushalla di Indonesia sepanjang kiblatnya menghadap ke arah barat, tidak perlu diubah, dibongkar, dan sebagainya.

Dalam fatwa ini, MUI menegaskan bahwa umat Islam tidak perlu membongkar masjid atau mushalla bila tujuannya hanya untuk membetulkan

7

Ferry, Kementerian Agama Verifikasi Arah Kiblat, Republika, Jakarta, 18 Maret 2010.

8

http://www.mui.or.id/index.php?option=com_content&view=article&id=147:fatwa-tentang-arah-kiblat&catid=1:berita-singkat&Itemid=50 diakses pada tanggal 19 April 2010 pukul 22:30 WIB.

9

Majelis Ulama Indonesia, Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia, Fatwa Terbaru

(16)

arah kiblat. Sepanjang kiblat masjid atau mushalla menghadap ke arah barat maka tidak perlu dibongkar, meskipun arah kiblat bergeser sampai 30 centimeter dari arah Ka’bah. Demikian yang dikatakan Ali Mustafa Yaqub, Wakil Ketua Komisi Fatwa MUI pada saat pembacaan fatwa MUI tersebut.

Sebenarnya fatwa ini dikeluarkan agar menjadi pedoman dan pegangan masyarakat dalam menyikapi masalah kiblat yang sedang mencuat. Namun ternyata ditetapkannya fatwa ini tidak memberikan solusi bagi masyarakat. Masyarakat malah bingung karena pada bagian Ketentuan Hukum Nomor 3 fatwa ini yang menyatakan bahwa kiblat umat Islam Indonesia adalah menghadap ke arah barat, tidak sesuai dengan ilmu falak yang membahas tentang pengukuran arah kiblat. Sedangkan untuk ketentuan hukum nomor 1 dan 2 Fatwa MUI Nomor 03 Tahun 2010 tidak ada masalah karena telah sesuai dengan pendapat para ulama dan ilmu falak.

Secara teori, ketentuan hukum nomor 3 ini berbeda dengan konsep arah kiblat yang dipelajari dalam ilmu falak10. Padahal keberadaan ilmu falak adalah untuk memberikan pemahaman kepada masyarakat terhadap keberadaan arah yang tepat menuju Ka’bah dan lebih memfokuskan menghadap ke arah kiblat yang tepat sesuai al-Qur’an dan Hadis, serta konsep fiqih, dengan bangunan ilmu pengetahuan yang mapan dan kecanggihan

10

Falak adalah jalan benda-benda langit; atau garis lengkung yang dilalui oleh suatu benda langit dalam lingkaran hariannya. Falak disebut dengan Orbit yang diterjemahkan

menjadi Lintasan . Muhyiddin Khazin, Kamus Ilmu Falak, Jogjakarta: Buana Pustaka, 2005,

hlm. 24.

Kata falak ini dijadikan istilah suatu ilmu yang membahas tentang lintasan benda-benda langit, di antaranya bumi, bulan dan matahari. Pokok bahasannys adalah penentuan waktu dan posisi benda langit (matahari dan bulan) yang diasumsikan memiliki keterkaitan dengan pelaksanaan ibadah, yaitu penentuan arah kiblat, waktu shalat, awal bulan Qamariyah, gerhana bulan dan matahari. Ahmad Izzuddin, Ilmu Falak Praktis, Semarang: Komala Grafika, 2006, hlm. 1-3.

(17)

teknologi. Namun yang terjadi malah dikotomi antara fatwa MUI dan ilmu falak. Apalagi Ali Mustafa Yaqub mengatakan dalam bukunya yang berjudul

Kiblat antara Bangunan dan Arah Ka bah bahwa:

Keberadaan ilmu-ilmu seperti ilmu falak (astronomi11), ilmu bumi (geografi), ilmu ukur (geometry), dan ilmu-ilmu lainnya, tidak dapat menjadi acuan alias dalil untuk beribadah, melainkan hanya sebagai pembantu saja untuk mengetahui maksud dalil-dalil al-Qur an dan Hadis. 12

Ketidaksesuaian antara Fatwa MUI Nomor 03 Tahun 2010 tentang Kiblat dan ilmu falak ini kemudian menjadi masalah baru, bahkan sampai muncul berbagai wacana bertema “Menggugat Fatwa MUI Nomor 03 Tahun 2010 tentang kiblat” baik di facebook, seminar, berita televisi, media massa dan sebagainya. Akhirnya dilaksanakan lagi sidang untuk mengkaji fatwa tersebut, sampai kemudian dikeluarkan kembali fatwa tentang kiblat yaitu Fatwa MUI Nomor 05 Tahun 2010 tentang Arah Kiblat yang disahkan pada tanggal 01 Juli 2010.

Dalam fatwa MUI yang kedua ini, disebutkan dalam Ketentuan Hukum nomor 03 bahwa “Kiblat umat Islam Indonesia adalah menghadap ke barat laut dengan posisi bervariasi sesuai dengan letak kawasan masing-masing”. Fatwa ini dilengkapi dengan rekomendasi yang berisi “Bangunan masjid/mushola yang tidak tepat arah kiblatnya, perlu ditata ulang shafnya tanpa membongkar bangunannya”.

11

Astronomi adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari benda-benda langit dan alam semesta secara umum. Muhyiddin Khazin, Ibid, hal 9. Lihat pula Iratus Radiman, et. al,

Ensiklopedi Singkat Astronomi Dan Ilmu Yang Bertautan, Bandung: Penerbit ITB, 1980, hlm. 6.

12

Ali Mustafa Yaqub, Kiblat Antara Bangunan dan Arah Kiblat, Jakarta: Pustaka Darus-Sanah, 2010, hlm. 10.

(18)

Bila dilihat secara istilah, kiblat didefinisikan sebagai bangunan Ka’bah atau arah yang dituju kaum muslimin dalam melaksanakan sebagian ibadah13 atau sebagai suatu arah tertentu bagi kaum muslimin untuk mengarahkan wajahnya dalam melakukan shalat.14 Dalam ilmu falak, penentuan arah kiblat menggunakan perhitungan besar sudut suatu tempat yang dihitung sepanjang lingkaran kaki langit dari titik utara hingga titik perpotongan lingkaran vertikal yang menuju ke tempat itu dengan lingkaran kaki langit searah dengan arah jarum jam yang dalam bahasa latin disebut dengan Azimuth .15 Dalam bahasa arab, arah kiblat biasa menggunakan kata

Simt al-Qiblat .16 Dan Abdul Hikam menggunakan istilah Zaawiyat

al-Qiblat dihitung dari arah Barat ke Utara.17

Perintah menghadap kiblat dengan tepat ketika shalat mungkin dan dapat dilaksanakan bagi orang-orang yang dekat dengan Ka’bah atau melihat Ka’bah secara langsung. Sehingga para ulama’ bersepakat bahwa orang yang dapat melihat langsung Ka’bah wajib menghadap ke bangunan Ka’bah ( ainul

Ka bah). Namun bagi orang-orang yang berada di luar Masjidil Haram apalagi

jauh dari Mekah, perintah ini sulit dilaksanakan. Oleh sebab itu, para ulama berbeda pendapat tentang kiblat bagi orang yang tidak melihat Ka’bah secara langsung. Setidaknya ada dua pendapat mengenai arah kiblat bagi orang yang

13

Abdul Azis Dahlan, et al, Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, Cet. ke-1, 1996, hlm. 944.

14

Harun Nasution, et al, Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta: Djambatan, 1992, hlm 563. Lihat pula Ahmad Izzuddin, Op.cit., hlm. 20.

15

Departemen Agama RI, Pedoman penentuan arah kiblat, Jakarta: Ditbinbapera, 1994/1995, hlm. 10.

16

Kata Simt al-Qiblah ini disebutkan dalam beberapa kitab falak yang mengkaji tentang Arah Kiblat, seperti Khulashat al-Wafiyyah, Irsyad al-Murid, Tibyan al-Miiqaat, dsb.

17

Istilah Zaawiyat al-Qiblah ini digunakan untuk sudut kiblat yang dihitung dari barat ke utara. Lihat Abdul Hakim, Kitab as-Shalat, Istanbul: Hakikat Kitabevi, t.th., hlm. 64.

(19)

jauh dari Ka’bah dan tidak dapat melihat Ka’bah secara langsung yaitu harus menghadap ainul Ka bah dan jihatul Ka bah (arah menuju Ka’bah).18

Imam Syafi’i berpendapat bahwa bagi orang yang jauh dari Ka’bah, wajib berijtihad dengan petunjuk-petunjuk yang ada.19 Dengan kata lain, ia wajib menghadap ainul Ka bah walaupun pada hakikatnya ia menghadap

jihatul Ka bah. Sedangkan menurut Imam Hanafi, bagi orang yang jauh dari

Ka’bah cukup menghadap jihatul Ka bah saja.20 Begitu pula dengan pendapat Imam Malik, bahwa bagi orang yang jauh dari Ka’bah dan tidak mengetahui arah kiblat secara pasti, maka ia cukup menghadap ke arah Ka’bah secara dzan (perkiraan).21 Namun bagi orang yang jauh dari Ka’bah dan ia mampu mengetahui arah kiblat secara pasti dan yakin, maka ia harus menghadap ke arahnya. Konteks kiblat yang dimaksud dalam hal ini adalah Ka’bah di Mekah. Namun ada sebuah hadis yang berbunyi :

:

:

Artinya : “Dari Ibnu Abas R.A berkata : Bersabda Rasulullah saw : Ka bah

itu kiblatnya orang-orang yang berada di Masjidil Haram, Masjidil haram adalah kiblatnya orang-orang yang berada di tanah haram (Mekah), dan Tanah Haram adalah kiblatnya orang-orang yang berada di bumi (timur dan baratnya).” (HR. Bukhari Muslim)

18

Maktabah Syamilah, Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid, juz 1, hlm 92.

19

Maktabah Syamilah, Imam Syafi’i, Kitab Al-Umm, juz 6, hlm 216. Lihat pula Maktabah Syamilah, Imam Syafi’i, Kitab ar-Risalah, juz 1, hlm. 121.

20

Maktabah Syamilah, Syamsuddin As-Sarkhasiy, Kitab al-Mabsuth, juz 2, hlm. 488-489.

21

Maktabah Syamilah, Ahmad bin Muhammad ‘Aduwi/Ad-Dardiri, asy-Syarh

(20)

Dari hadis tersebut jelas tercantum bahwa Ka’bah adalah kiblat bagi orang-orang yang berada di Masjidil Haram, Masjidil Haram adalah kiblat bagi penduduk Mekah dan Mekah adalah kiblat bagi seluruh umat Islam di muka bumi. Sehingga dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan jihatul

Ka bah paling tidak adalah menghadap Mekah. Sedangkan ainul Ka bah

adalah menghadap bangunan Ka’bah itu sendiri.

Sebenarnya pada awal perkembangan Islam, tidak ada masalah tentang penentuan arah kiblat. Karena pada saat itu Rasulullah saw ada bersama-sama sahabat dan beliau sendiri yang menunjukkan arah ke kiblat apabila berada di luar kota Mekah. Umat Islam pada saat itu masih berada di wilayah Mekah. Namun ketika Rasulullah saw tidak lagi bersama para sahabat dan mereka mulai mengembara ke luar kota Mekah untuk mengembangkan Islam, metode yang digunakan untuk menentukan arah kiblat menjadi sebuah permasalahan.22

Mereka mulai hanya merujuk kepada kedudukan bintang-bintang dan matahari yang dapat memberi petunjuk arah kiblat. Di tanah Arab, bintang utama yang dijadikan rujukan dalam penentuan arah adalah bintang

Qutbi/Polaris (bintang Utara), yaitu satu-satunya bintang yang menunjuk tepat

ke arah utara bumi. Dengan bintang ini dan beberapa bintang lain, arah kiblat dapat ditentukan dengan mudah. Namun bagi penduduk luar tanah Arab, termasuk di Indonesia, kaidah penentuan arah kiblat berdasarkan bintang

22

(21)

kutub (Qutbi/Polaris) menjadi lebih rumit. Ini disebabkan bintang tersebut berada rendah di ufuk.23

Selanjutnya berkembang metode penentuan arah kiblat dengan menggunakan rubu mujayyab, yaitu sebuah alat tradisional yang digunakan untuk mengukur sudut arah kiblat. Kemudian ditemukan alat penunjuk arah yaitu kompas untuk menunjukkan arah mata angin yang dapat digunakan juga untuk menunjukkan arah kiblat suatu tempat dengan menggunakan sudut-sudut yang ia miliki. Lalu seiring dengan perkembangan teknologi, GPS (Global Positioning System) dan Theodolite Digital dimanfaatkan untuk mendapatkan sudut arah kiblat yang lebih akurat, dan adanya beberapa software, seperti Google Earth, Qibla Locator, dan Qibla direction yang dapat dimanfaatkan pula untuk mengecek arah kiblat.24

Sedangkan teori penentuan arah kiblat sudah mulai dikenal sejak abad X.25 Disebutkan bahwa Abu Raihan Al-Biruni atau yang biasa dikenal dengan Al-Biruni yang berjasa menetapkan arah kiblat dengan bantuan astronomi dan matematika.26 Ia mengelaborasikan ilmu matematika dengan menggunakan kaidah dan teori trigonometri khusus, yang menjadi embrio dari geometri segitiga bola dan sangat berguna dalam perhitungan geografi dan penentuan data temporal penting dalam ilmu hisab.27 Selain al-Biruni, dikenal pula

23

Ibid. Lihat juga http://afdacairo.blogspot.com/2009/02/sejarah-kabah_24.html diakses pada tanggal 10 Februari 2010 pukul 18:58 WIB.

24

Lihat selengkapnya Ahmad Izzuddin, Buku Menentukan Arah Kiblat Praktis, Yogyakarta: Logung, 2010, hlm. 64-93.

25

Pengantar dari Muslim dalam buku Kh. U. Sadykov, Abu Raihan Al-Biruni dan

karyanya dalam Astronomi dan Geografi Matematika, Jakarta: Suara Bebas, 2007, hlm. ix.

26

M. Nasir Arsyad, Ilmuwan Muslim Sepanjang Sejarah, Bandung: Penerbit Mizan, 1989, hlm. 148.

27

(22)

ilmuwan seperti Ibnu Haytsam yang menyusun teori Kotangen sebagaimana yang tertulis dalam karyanya yang masyhur Makalah fi Istikhraj Samt al-Qiblat untuk menentukan arah kiblat.28

Sampai saat ini, teori-teori dan metode-metode baru terus dikembangkan lewat cara-cara yang lebih mutakhir. Salah satunya Ahmad Izzuddin (ahli falak IAIN Walisongo Semarang) sedang meneliti rumus arah kiblat yang juga merupakan tugas disertasinya dengan judul Kajian terhadap

Metode Penentuan Arah Kiblat dan Akurasinya , dipromotori oleh Dr. Ing.

Khafid, seorang ahli geodesi dan staf ahli Bakosurtanal. Disertasi ini membahas tentang perbandingan antara rumus penentuan arah kiblat yaitu antara teori trigonometri bola (spherical trigonometry), teori geodesi dan teori navigasi. Penelitian ini tidak lain bertujuan untuk mengkaji dan menghasilkan rumus arah kiblat yang lebih akurat. Sehingga dapat dihasilkan arah kiblat lebih tepat dan akurat. Dengan adanya ilmu pengetahuan dan teknologi yang semakin maju, seharusnya tidak ada permasalahan tentang penentuan arah kiblat. Namun ternyata masih ada permasalahan tentang arah kiblat yaitu fatwa MUI.

Dalam waktu yang dekat, MUI mengeluarkan dua fatwa tentang masalah yang sama yaitu arah kiblat, namun dengan redaksi yang berbeda. Ini memunculkan pertanyaan, fatwa manakah yang benar? Mengapa harus ada fatwa baru apakah fatwa yang pertama salah? Bila fatwa pertama salah,

28

(23)

bagaimana Komisi Fatwa MUI melakukan istinbath hukum dalam rangka penetapan fatwa tersebut?

Keberadaan Fatwa MUI Nomor 03 Tahun 2010 yang menyatakan bahwa kiblat umat Islam Indonesia menghadap ke arah barat ini juga memunculkan pertanyaan, apakah fatwa ini merupakan konsep fiqih baru (di mana belum ada ulama dahulu yang menyatakan konsep ini) ataukah merupakan penafsiran terhadap konsep Jihatul Ka bah sebagaimana yang dikemukakan oleh para ulama madzhab? Karena sebagaimana yang disebutkan dalam hadis bahwa kiblat bagi umat Islam yang berada di timur maupun barat dari Ka’bah adalah menghadap ke Tanah Haram (Mekah) bukan arah barat.

Oleh karena itu, penulis tertarik untuk mengangkat Fatwa MUI Nomor 03 Tahun 2010 tentang Kiblat. Penulis mengangkat permasalahan ini dengan judul “STUDI ANALISIS FATWA MUI NOMOR 03 TAHUN 2010 TENTANG KIBLAT (Kiblat Umat Islam Indonesia Menghadap Ke Arah Barat)”.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan pada uraian dalam latar belakang, maka dapat dikemukakan pokok-pokok permasalahan yang akan dikaji sebagai berikut : 1. Apa yang melatarbelakangi dikeluarkannya Fatwa MUI Nomor 03 Tahun

(24)

2. Bagaimana istinbath hukum yang dilakukan MUI dalam menetapkan Fatwa MUI Nomor 03 Tahun 2010 tentang arah kiblat Indonesia ?

3. Bagaimana tinjauan terhadap Fatwa MUI Nomor 03 Tahun 2010 tentang arah kiblat Indonesia dari perspektif ilmu falak ?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian C.1. Tujuan Penelitian

Adapun yang menjadi tujuan penelitian ini adalah :

1. Mengetahui apa yang melatarbelakangi dikeluarkannya Fatwa MUI Nomor 03 Tahun 2010 tentang arah kiblat Indonesia.

2. Mengetahui bagaimana istinbath hukum yang dilakukan MUI dalam menetapkan Fatwa MUI Nomor 03 Tahun 2010 tentang arah kiblat Indonesia.

3. Mengetahui tinjauan terhadap Fatwa MUI Nomor 03 Tahun 2010 tentang arah kiblat Indonesia dari perspektif ilmu falak.

C.2. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat penelitian ini adalah :

1. Sebagai bahan masukan bagi Komisi Fatwa MUI, pemerintah dan masyarakat tentang arah kiblat yang sebenarnya.

2. Memberi manfaat secara teori dan aplikasi terhadap perkembangan ilmu falak.

3. Memberikan wacana fiqih hisab rukyat terutama tentang keputusan-keputusan organisasi maupun pemerintah tentang arah kiblat.

(25)

D. Telaah Pustaka

Sejauh penelusuran penulis, belum ada tulisan yang membahas tentang Fatwa MUI Nomor 03 Tahun 2010 tentang kiblat secara mendalam, baik dari segi latar belakang dikeluarkannya fatwa tersebut, bagaimana istinbath hukumnya, maupun tinjauan terhadap fatwa tersebut dari perspektif ilmu falak, sekalipun banyak studi-studi fatwa MUI dan karya-karya hisab rukyah.

Beberapa karya tulis juga menyajikan tentang fatwa MUI, metode istinbath hukum disertai dengan beberapa contoh analisis fatwa, seperti karya Atho Mudzhar, Membaca Gelombang Ijtihad Antara Tradisi dan Liberasi, yang membahas tentang ijtihad yang dilakukan oleh para pemikir Islam dari awal Islam –yang diwakili oleh Umar bin al-Khattab– sampai pada abad ke-20 –fatwa-fatwa MUI– dan berbagai peraturan perundangan di berbagai negeri muslim.29 Dalam karyanya yang lain yang merupakan disertasi doktornya yaitu “Fatwas of The Council of Indonesian Ulama : A Study of Islamic

Legal Thought in Indonesia, 1975-1988”, Atho Mudzhar mencatat, dari 22

fatwa MUI, hanya 11 (50 persen) di antaranya yang boleh dikatakan netral. Selebihnya, 8 fatwa dinilai dipengaruhi oleh pemerintah. Hanya ada 3 fatwa yang bertentangan dengan kebijakan pemerintah.

Sedangkan buku-buku yang berisi studi fatwa ulama Indonesia tidak banyak. Hanya ada beberapa seperti buku Himpunan Putusan Majlis Tarjih Muhammadiyah, Ahk m al-Fuqah f Muqarrar t Nahdlatul Ulam (Putusan Bahts al-Mas ’il Syuriah NU) dan Himpunan Fatwa Majlis Ulama Indonesia

29

Atho Mudzhar, Membaca Gelombang Ijtihad Antara Tradisi dan Liberasi, Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1998.

(26)

dan Himpunan Fatwa Dewan Syari’ah Nasional, ada pula Metode Istinb

Fiqh di Indonesia (Kasus-Kasus Majlis Mudzakarah Al-Azhar)30, sebuah Tesis Pasca Sarjana IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, yang ditulis oleh Al Yasa Abu Bakar. Buku-buku tersebut membahas tentang kasus-kasus fatwa yang ada di Indonesia.

Sedangkan karya-karya tentang hisab rukyah sangat banyak, di antaranya Almanak Hisab Rukyat yang dikeluarkan oleh Badan Hisab dan Rukyat Departemen Agama menjelaskan tentang hisab, ru’yat, qiblat dan waktu shalat. Dalam Almanak ini disebutkan tentang dasar hukum yang dijadikan pedoman dalam penetapan arah kiblat, waktu shalat, penentuan awal bulan qamariah dan gerhana. Selain dasar hukum, dalam buku ini juga dijelaskan tentang rumus dasar untuk menghitung empat kajian dalam ilmu falak tersebut. Berbeda dengan karya yang lain, dalam buku ini dijelaskan tentang rumus dasar segitiga bola yang digunakan dalam perhitungan arah kiblat dan beberapa penjelasan tentang alat-alat yang digunakan dalam penentuan arah kiblat seperti rubu mujayyab, kompas, theodolit dan GPS. Dalam buku ini juga dilengkapi dengan istilah-istilah yang biasa digunakan dalam ilmu falak.31

Sedangkan kamus dan ensiklopedi yang lain seperti Kamus Ilmu

Falak32 karya Muhyiddin Khazin, Ensiklopedi Hisab Rukyat33 karya Susiknan

30

Al Yasa Abu Bakar, Metode Istinb Fiqh di Indonesia (Kasus-Kasus Majlis

Mudzakarah Al-Azhar), Tesis Pasca Sarjana IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, tidak diterbitkan,

1987.

31

Lihat selengkapnya dalam Badan Hisab dan Rukyat Depag, Almanak Hisab Rukyat, Jakarta: Proyek Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam, t.th.

32

(27)

Azhari, Ensiklopedi-singkat astronomi dan ilmu yang bertautan34 karya Iratius Radiman, dkk, menguraikan tentang istilah-istilah yang digunakan dalam ilmu falak dan astronomi, dan juga biografi tokoh-tokoh dalam ilmu falak.

Sedangkan buku-buku tentang astronomi secara umum, mayoritas membahas tentang segitiga bola (spherical trigonometry) yang merupakan rumus dasar untuk mengetahui sudut-sudut dalam geometri bola, termasuk juga untuk menghitung arah kiblat, dan juga pembahasan tentang tata koordinat, dsb. Buku-buku tersebut antara lain; buku Astronomy Principles

and Practice35 karya A.E. Roy dan D. Clarke, buku Textbook on Spherical

Astronomy36 karya W.M. Smart, The History and Practice of Ancient

Astronomy37 karya James Evans, Astronomi Geodesi karya K.J.Villanueva. Buku berbahasa Inggris yang membahas tentang arah kiblat, dan astronomi (ilmu falak) antara lain, Astronomy in the Service of Islam38 karya David A. King. Buku ini membahas tentang visibilitas hilal dan konsep dalam kalender Islam, konsep waktu shalat, dan arah kiblat. Dalam buku ini David A. King menyebut Kiblat sebagai arah suci atau keramat dan Mekah sebagai pusat dunia. Menurutnya, penentuan arah kiblat merupakan masalah geografi matematika. Dia menerangkan tentang perkembangan keilmuwan yang digunakan untuk memecahkan masalah penentuan arah kiblat (Simt al-Qiblah)

33

Susiknan Azhari, Ensiklopedi Hisab Rukyat, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005, Cet. ke-1.

34

Iratius Radiman, et al, Loc. cit.

35

A.E. Roy dan D. Clarke, Astronomy Principles and Practice, Bristol: Adam Hilger, 1978.

36

W.M. Smart, Textbook on Spherical Astronomy, Cambridge: Cambridge University Press, 1977, Ed. 6.

37

James Evan, The History and Practice of Ancient Astronomy, New York, Oxford University Press, 1998.

38

(28)

yaitu geografi matematika dan trigonometri. Dalam buku ini juga dijelaskan tentang beberapa rumus yang dapat digunakan untuk menentukan arah kiblat, metode yang digunakan oleh para sahabat untuk menentukan arah kiblat. Dalam buku ini juga disertai dengan beberapa tabel dan gambar seperti tabel Khalili dan diagram Mesir tentang arah kiblat.

Selain itu, terdapat Ilmu Falak Shafhat min at-Turats Ilmi

al-Arabiy wa al-Islamiy39 karya Yahya Syami yang diterbitkan di Beirut. Pembahasan tentang ilmu falak dalam kitab ini cukup lengkap. Dalam kitab ini pembahasan dimulai dengan perkenalan dengan para astronom awal seperti Newton, Pluto, dsb. Selanjutnya menjelaskan tentang perbedaan dan ruang lingkup ilmu falak dan ilmu-ilmu lain yang membahas tentang alam semesta. Alat-alat pengukur yang ditemukan dan digunakan para astronom masa lalu juga ada dalam kitab ini. Selain itu, bagaimana perkembangan ilmu falak pada masa-masa Pra-Islam dan setelah datangnya Islam juga dijelaskan disini. Sampai pada pembahasan tentang para ahli falak/astronom yang ada di berbagai belahan dunia, dari timur, barat dan timur tengah juga dijelaskan di sini. Sehingga pembahasannya cukup lengkap. Namun, pembahasan khusus tentang perhitungan arah kiblat tidak ditemukan dalam kitab ini.

Kitab as-Shalat40 karya Abdul Hakim al-Arwasi yang diterbitkan di Istanbul, Turki. Dalam kitab tersebut dijelaskan tentang dasar hukum penentuan waktu shalat, arah kiblat dan awal bulan Qamariyah. Selain itu, juga terdapat pembahasan tentang waktu-waktu makruh dalam shalat, arah

39

Yahya Syami, Ilmu Falak Shafhat min at-Turats al- Ilmi al- Arabiy wa al-Islamiy, Beirut: Daar al-Fikri al-Araby, 1997, Cet. ke-1.

40

(29)

kiblat dari perspektif fiqh, perhitungan dan rumus dasar menghitung arah kiblat.

Kitab al-Khulashah al-Wafiyyah karya Zubaer Umar Al-Jaelany membahas tentang perhitungan kalender masehi dan hijriyah, perhitungan awal bulan Qamariah dengan metode taqribi dan tahkiki, perhitungan gerhana matahari dan bulan, dan perhitungan arah kiblat. Dalam pembahasan tentang kiblat, disebutkan tentang beberapa pendapat ulama tentang menghadap kiblat dan ijtihad untuk mengetahui arah kiblat. Perhitungan arah kiblat di dalam kitab ini disajikan dalam bentuk perhitungan menggunakan rubu’ mujayyab. Dalam kitab ini juga dibahas tentang penentuan arah utara selatan sejati dengan bantuan bayang-bayang matahari dan rasi bintang.41

Kitab Irsyad al-Murid karya Ahmad Ghazali terdiri dari beberapa pembahasan, yaitu penentuan arah kiblat, penentuan waktu shalat, kalender masehi dan hijriyah, penentuan awal bulan Qamariyah, dan penentuan gerhana matahari dan bulan. Tidak seperti kitab-kitab yang lain yang hanya menggunakan penambahan, pengurangan, perkalian dan pembagian dalam perhitungannya, perhitungan dalam kitab ini disajikan dalam bentuk sin cos tangen dan dengan metode trigonometri bola. Dalam hal arah kiblat, dalam kitab ini dijelaskan tentang perbedaan kata Kiblat dan Ka’bah. Kiblat disebut dengan kiblat karena umat Islam menghadap kepadanya ketika shalat. Sedangkan Ka’bah disebut demikian karena bentuknya yang berbentuk kubus. Sehingga kata kiblat lebih umum daripada Ka’bah. Kitab ini juga

41

Zubaer Umar al-Jaelany, al-Khulashah al-Wafiyyah, Surakarta: Melati, t.th., hlm. 106-116.

(30)

menyebutkan bahwa mempelajari tentang kiblat itu hukumnya fardhu ‘ain bila tidak ada seorang pun yang ‘alim tentang falak, dan fardhu kifayah bila banyak orang yang telah ‘alim.42

Sedangkan dalam kitab ad-Durus al-Falakiyyah karya Muhammad Ma’shum bin Ali juga sebagaimana kitab-kitab yang lain dalam materi bahasannya. Namun perbedaannya, alat yang digunakan untuk menghitung adalah dengan rubu mujayyab. Dalam kitab ini dijelaskan tentang langkah-langkah menghitung arah kiblat dan cara pengaplikasian sudut kiblat dengan bantuan rubu mujayyab. Dalam kitab ini dijelaskan bahwa 1 derajat di khatulistiwa sama dengan 111,111 1/9 km.43

Kitab Tibyan al-Miiqat fi Ma rifat al-Awqaat wa al-Qiblat44 yang dikeluarkan oleh Madrasah Salafiyyah Al-Falah Ploso Mojo Kediri, merupakan cangkokan dari kitab ad-Durus al-Falakiyyah. Namun, dalam kitab ini pembahasan dibuat lebih ringkas dan disertai dengan gambar penggunaan rubu’, sehingga lebih mudah dipelajari.

Kitab-kitab ilmu falak yang lain, mayoritas membahas tentang penentuan awal bulan Qamariyah, dan penentuan gerhana bulan dan matahari, dan sedikit kitab yang membahas tentang waktu sholat. Seperti kitab Sullam

an-Nayyiraini45 karya Muhammad Mas Manshur al-Battawi, membahas

42

Ahmad Ghazali, Irsyadul Murid, Jakarta: Huququt Thiba’ Mahfudzah lil Muallif, t.th., hlm. 10.

43

Muhammad Ma’shum bin Ali, Durusul Falakiyyah, Jombang: Maktabah Sa’ad bin Nashir Nabhan wa awladuhu, 1992, hlm. 62.

44

Muhammad Ma’shum bin Ali, Tibyan al-Miiqat fi Ma rifat al-Awqaat wa al-Qiblat, Kediri: Madrasah Salafiyyah Al-Falah, t.th.

45

Muhammad Mas Manshur Battawi, Sullam an-Nayyiraini, Jakarta: Madrasah al-Khoriyah al-Mansuriyyah, 1925.

(31)

tentang penentuan awal bulan Qamariyah dan gerhana bulan dan matahari, di mana data-data dalam jadwal yang digunakan diambil dari Ulugh Beik46. Sedangkan Ulugh beik mengambil data-data itu dari Kanon Mas ud47 karya Abu Raihan Al-Biruni, astronom abad IX yang diasumsikan sebagai penemu rumus arah kiblat pertama. Selain itu, kitab-kitab yang membahas tentang awal bulan Qamariyah antara lain kitab Fath ar-Rauf al-Mannan48 karya Abdul Jalil Kudus, kitab Badiah al-Mitsal49 karya Muhammad Ma’shum bin Ali, kitab Miizan al-I tidal50 karya Muhammad Mas Manshur al-Battawi, kitab Nur al-Anwar51 karya Noor Ahmad.

Muhyiddin Khazin dengan karyanya Ilmu Falak dalam Teori dan

Praktek.52 Dalam buku ini terdapat pembahasan tentang kalender, selain penentuan arah kiblat, waktu shalat, awal bulan Qamariyah, dan gerhana. Buku ini memberikan penjelasan teori tentang gerak peredaran benda-benda langit dan kaidah ilmu ukur segitiga bola serta penjelasan tentang istilah-istilah dalam ilmu falak yang disertai gambar-gambar seperlunya. Juga dilengkapi dengan perhitungan praktis dan langkah-langkah dalam perhitungan arah kiblat, waktu shalat, awal bulan Qamariyah, dan gerhana.

46

Ulugh Beik adalah seorang astronom besar Uzbekistan.

47

Kanon Mas’ud adalah buku ensiklopedi astronomi terlengkap yang di dalamnya tercakup masalah astronomi, geografi astronomi dan beberapa bagian matematika dari bangsa Yunani, India, Babylonia, dan Persia.

48

Abdul Jalil Kudus, Fath ar-Rauf al-Mannan, Kudus: Menara Kudus, t.th.

49

Muhammad Ma’shum bin Ali, Badiah al-Mitsal, Surabaya: Sa’ad bin Nashir Nabhan, t.th.

50

Muhammad Mas Manshur al-Battawi, Miizan al-I tidal, Jakarta: Sayyid Ali bin Abdillah As-Shalaibiyyah al-‘Iid, t.th.

51

Noor Ahmad, Nur al-Anwar, Jepara: Madrasah Tasywiq at-Tullab Salafiyyah, t.th.

52

Muhyiddin Khazin, Ilmu Falak dalam Teori dan Praktek, Yogyakarta: Buana Pustaka, t.th., Cet. ke-3.

(32)

Sedangkan Susiknan Azhari dalam karyanya Ilmu Falak Perjumpaan

Khazanah Islam dan Sains Modern membahas tentang ilmu falak secara

menyeluruh, tentang penentuan arah kiblat, waktu shalat, awal bulan Qamariyah, dan gerhana. Tidak hanya perhitungan praktis yang disajikan dalam buku ini, namun juga ada sekilas sejarah dan penjelasan tentang empat pembahasan tersebut. Dalam pembahasan arah kiblat disajikan dengan judul Arah Kiblat dalam perspektif Syar’i dan Sains. Ia menjelaskan bahwa secara historis cara penentuan arah kiblat di Indonesia mengalami perkembangan sesuai dengan kualitas dan kapasitas intelektual di kalangan kaum muslimin.53 Sedangkan dalam perhitungan arah kiblat, ia menggunakan metode rasdul kiblat dan azimuth kiblat, seperti karya ilmu falak yang lain. Begitu pula dengan karyanya yang lain, Ilmu Falak Teori dan Praktek54, Susiknan Azhari. Pembahasannya tidak jauh berbeda.

Abd. Rachim dalam karyanya Ilmu Falak, juga membahas tentang arah kiblat, waktu shalat, awal bulan Qamariyah, dan gerhana. Sedangkan untuk masalah kiblat, ia mengatakan bahwa kiblat adalah persoalan azimuth. Pada bidang horizon dapat digambarkan sebuah garis menurut kiblat setempat, yang dinamakan garis kiblat. Garis kiblat dan titik zenith membuat sebuah bidang yang memotong bola langit menurut lingkaran vertikal kiblat.55 Perhitungan yang digunakan juga menggunakan segitiga bola.

53

Susiknan Azhari, Ilmu Falak Perjumpaan Khazanah Islam dan Sains Modern, Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, 2004, hlm. 44

54

Susiknan Azhari, Ilmu Falak Teori dan Praktek, Yogyakarta: Lazuardi, 2001, Cet. ke-1.

55

(33)

Sedangkan Ilmu Falak Praktis56 karya Ahmad Izzuddin menjelaskan tentang beberapa hisab praktis arah kiblat, waktu shalat, awal bulan Qamariyah, dan pembahasan tentang gerhana. Sedangkan bahasan tentang arah kiblat adalah perhitungan azimuth kiblat dan rashdul kiblat yang pada dasarnya juga menggunakan metode trigonometri bola. Begitu pula Abd. Salam Nawawi dengan karyanya Ilmu Falak, Abdul Karim. MS dengan

Mengenal Ilmu Falak, Salamun Ibrahim dengan Ilmu Falak, Maskufa dengan Ilmu Falaq, dan berbagai karya di bidang falak yang lain, mayoritas masih

dalam pembahasan teori praktis perhitungan.

Karya-karya hisab rukyat di Indonesia yang membahas tentang kiblat pada umumnya menyajikan aplikasi praktis tentang teknik perhitungan dan aplikasi penentuan arah kiblat. Seperti buku Pedoman Penentuan Arah Kiblat yang dikeluarkan oleh Departemen Agama RI membahas tentang beberapa istilah yang digunakan dalam penentuan arah kiblat, dan metode penentuan arah kiblat dengan ilmu ukur bola.57

Karya Muhyiddin Khazin, Cara Mudah Mengukur Arah Kiblat58, menjelaskan tentang cara menghitung arah kiblat dengan menggunakan trigonometri bola (spherical trigonometry). Di dalamnya juga terdapat data lintang dan bujur kota-kota sedunia.

Selain itu, terdapat buku Kiblat Antara Bangunan dan Arah Ka bah karya Ali Mustafa Yaqub, membahas tentang arah kiblat dilihat dari perspektif

56

Ahmad Izzuddin, Ilmu Falak Praktis, Loc. Cit.

57

Departemen Agama Republik Indonesia, Pedoman Penentuan Arah Kiblat, Loc.cit.

58

Muhyiddin Khazin, Cara Mudah Mengukur Arah Kiblat, Yogyakarta: Buana Pustaka, 2006, Cet. ke-2.

(34)

fiqh dan pendapat ulama empat madzab. Dalam buku ini disebutkan bahwa kiblat bagi orang yang berada di sebelah utara Ka’bah, apabila ia tidak melihat bangunan Ka’bah, adalah arah selatan, mana saja. Begitu pula bagi orang yang berada di sebelah selatan Ka’bah, kiblatnya adalah arah utara, sebelah barat Ka’bah kiblatnya adalah arah timur, dan yang berada di sebelah timur Ka’bah, tidak melihat Ka’bah, kiblatnya adalah arah barat, mana saja. Kaum muslimin di Indonesia termasuk orang-orang yang berada di sebelah timur Ka’bah, maka kiblat mereka adalah arah barat, mana saja.59

Sebuah artikel berjudul Sensitifnya Arah Kiblat yang ditulis oleh Usep Fathuddin mantan staff khusus Menteri Agama, 2006 menerangkan tentang kesalahan-kesalahan arah kiblat beberapa masjid di Depok, di mana penentuannya hanya menggunakan kompas. Arah kiblat masjid-masjid tersebut tidak masuk ke Mekah, tapi menuju ke Tanzania atau Zanzibar Afrika Timur, jauh di bawah Mesir. Artikel lain berjudul Perlu Meluruskan Arah

Kiblat oleh Ahmad Izzuddin, 2006 juga menerangkan tentang kesalahan arah

kiblat di beberapa masjid besar di Jawa Tengah, sehingga perlu pelurusan kembali arah kiblat.

Adapun beberapa penelitian masih dominan membahas tentang penentuan arah kiblat praktis. Sebagaimana penelitian yang dilakukan oleh Tim dari UIN Syarif Hidayatullah Jakarta terhadap arah kiblat masjid dan mushalla di kecamatan Ciputat yang ingin mengetahui tingkat akurasi arah kiblat masjid dan mushalla yang berada di kecamatan Ciputat dan bagaimana

59

(35)

pola masyarakat Ciputat dalam menentukan arah kiblat bagi masjid dan mushalla ketika awal pembangunannya. Penelitian penentuan arah kiblat dengan mengambil lokasi Masjid Al-Huda Tsa yang dilakukan oleh Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian ITB Bandung, menjelaskan tentang salah satu teknik yang dapat dilakukan untuk menentukan arah kiblat yang cukup teliti dengan GPS. Sedangkan penelitian Penentuan Arah Kiblat di Masa Silam oleh AFDA (Association of Falak Deep Analysis) menjelaskan tentang beberapa sistem dan teori yang digunakan dalam penentuan arah menghadap kiblat di beberapa negara mulai dari masa pra-Islam hingga beberapa masa setelahnya.

Ismail Khudhori, Alumnus Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo Semarang pada tahun 2005. Dalam skripsinya yang berjudul Studi Tentang Pengecekan Arah Kiblat Masjid Agung Surakarta membahas tentang arah

kiblat bangunan Masjid Agung Surakarta yang ternyata kiblat masjid ini adalah 14 derajat dari titik barat ke utara, sehingga kurang 10 derajat ke arah utara. Adanya ketidaktepatan arah kiblat masjid tersebut karena tidak adanya pengetahuan dan peralatan yang memadai untuk menentukan arah kiblat Masjid Agung tersebut dengan tepat dan akurat.

Dari telaah pustaka tersebut, menurut penulis belum ada yang membahas tentang Fatwa MUI Nomor 03 Tahun 2010 secara spesifik. Dengan demikian, penelitian ini berbeda dari penelitian-penelitian yang lain. Penelitian lebih fokus kepada penelitian latar belakang dikeluarkannya Fatwa MUI Nomor 03 Tahun 2010, istinbath hukum yang dilakukan Komisi Fatwa

(36)

dalam penetapan fatwa nomor 03 tahun 2010, dan bagaimana bila fatwa tersebut ditinjau dari perspektif ilmu falak.

E. Metode Penelitian

Dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode penelitian sebagai berikut :

1. Jenis dan Pendekatan Penelitian

Penelitian ini merupakan jenis penelitian kualitatif dengan kajian penelitian kepustakaan (library research)60. Penelitian kualitatif yaitu penelitian yang menggunakan latar alamiah, dengan maksud menafsirkan fenomena yang terjadi dan dilakukan dengan jalan melibatkan berbagai metode yang ada.61 Dalam penelitian ini, penulis menekankan pada latar belakang dikeluarkannya Fatwa MUI Nomor 03 Tahun 2010 Tentang Kiblat oleh Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia.62 Sedangkan pendekatan yang digunakan yaitu pendekatan normatif sosiologis.

2. Sumber dan Jenis Data

Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini dibagi menjadi dua, yaitu sumber data primer dan sekunder. Sumber data primer yaitu data yang langsung dikumpulkan oleh peneliti dari sumber pertamanya.63

60

Penelitian kepustakaan yaitu penelitian yang ditujukan untuk mengumpulkan data dan informasi dengan bantuan bermacam-macam material yang terdapat di ruangan perpustakaan seperti buku-buku, majalah, dokumen catatan dan lainnya. Lihat Pedoman Penulisan Skripsi, Semarang: Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo, 2008, hlm. 11.

61

Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2004, hlm. 5

62

Djam’an Satori dan Aan Komariah, Metodologi Penelitian, Bandung: Alfabeta, 2009, hlm. 22.

63

(37)

Dalam hal ini adalah Fatwa MUI Nomor 03 Tahun 2010 tentang Kiblat dan hasil wawancara. Sedangkan untuk sumber data sekunder berupa tulisan ilmiah, penelitian atau buku-buku yang terkait dengan Fatwa MUI Nomor 03 Tahun 2010 tentang Kiblat.64

3. Teknik Pengumpulan Data

Untuk memperoleh data yang diperlukan dalam penelitian ini, penulis menggunakan wawancara (interview) dan dokumentasi (dokumentation). Wawancara ditujukan kepada para tokoh dalam Komisi Fatwa MUI yang terkait dengan penetapan Fatwa MUI Nomor 03 Tahun 2010 Tentang Kiblat, yaitu wakil ketua, sekretaris dan anggota Komisi Fatwa MUI. Wawancara juga ditujukan kepada para tokoh ilmu falak terkait dengan konsep kiblat dalam ilmu falak.

Sedangkan untuk dokumentasi65, penulis menghimpun buku-buku, kitab-kitab, karya tulis, dokumen-dokumen dan segala hal yang berhubungan dengan Fatwa MUI dan Istinbath Hukumnya terutama yang terkait dengan Kiblat, juga beberapa literatur lain tentang konsep kiblat dalam ilmu falak.

4. Teknik Analisis Data

Setelah data terkumpul, data kemudian diolah dan dianalisis. Dalam menganalisis data, penulis menggunakan analisis deskriptif (descriptive

64

Ibid.

65

Dokumen adalah catatan tertulis tentang berbagai kegiatan atau peristiwa masa pada waktu yang lalu. Lihat W. Gulo, Metodologi Penelitian, Jakarta: Grasindo, 2002, hlm. 123. Dokumentasi yaitu mencari data mengenai hal-hal atau variabel yang berupa catatan, transkrip, buku, surat kabar, majalah, prasasti, notulen rapat, lengger, agenda, dan sebagainya. Lihat dalam Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, Jakarta; Penerbit Rineka Cipta, 2002, hlm. 206

(38)

analysis) dan analisis ushul fiqih. Teknik analisis deskriptif yaitu

menggambarkan sifat atau keadaan yang dijadikan obyek dalam penelitian, yaitu menjelaskan dan menggambarkan apa yang menyebabkan Komisi Fatwa Majelis Ulama’ Indonesia (MUI) menetapkan Fatwa MUI Nomor 03 Tahun 2010 Tentang Kiblat dengan diktum seperti yang telah disebutkan.

Selain itu, penulis juga menggunakan analisis ushul fiqih untuk mengetahui istinbath hukum yang dilakukan MUI dalam menetapkan Fatwa MUI Nomor 03 Tahun 2010 tentang kiblat ini.

Metode analisis tersebut dapat disimpulkan dalam kerangka kerja penelitian sebagai berikut:

Data Primer :

Fatwa MUI Nomor 03 Tahun 2010 tentang Kiblat dan hasil

wawancara Data Sekunder :

tulisan ilmiah, penelitian atau buku-buku yang terkait dengan Fatwa MUI Nomor

03 Tahun 2010 tentang Kiblat Analisis Deskriptif Analisis ushul fiqih Teknik Pengumpulan Data o Wawancara o Dokumentasi Hasil Penelitian :

o Latar belakang dikeluarkannya Fatwa MUI Nomor 03 Tahun 2010 tentang arah kiblat Indonesia

o Istinbath hukum Komisi Fatwa dalam penetapan Fatwa MUI Nomor 03 tahun 2010 tentang arah kiblat Indonesia

o Tinjauan terhadap Fatwa MUI Nomor 03 Tahun 2010 tentang arah kiblat Indonesia dari perspektif ilmu falak

(39)

F. Sistematika Penulisan

Secara garis besar, penulisan penelitian ini dibagi dalam 5 (lima) bab. Dalam setiap bab terdiri dari sub-sub pembahasan. Sistematika penulisan penelitian ini sebagai berikut :

Bab I : Pendahuluan

Bab ini memuat latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, telaah pustaka, metode penelitian, dan sistematika penulisan.

Bab II : Fiqih Kiblat dan Fatwa

Dalam bab ini terbagi menjadi dua permasalahan yaitu, pertama fiqih kiblat yang meliputi definisi kiblat, dasar hukum menghadap kiblat, sejarah kiblat, dan pendapat para ulama’ tentang kiblat. Sedangkan yang kedua yaitu fatwa dan ifta’ yang meliputi definisi fatwa dan ifta’, fatwa qadha’ ijtihad dan istinbath, syarat mujtahid dan mufti, dalil-dalil syar’i, dan metode istinbath hukum.

Bab III : Fatwa MUI Nomor 03 Tahun 2010 Tentang Kiblat

Bab ini meliputi beberapa sub pembahasan, yaitu sejarah Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI), pedoman dan prosedur penetapan fatwa Majelis Ulama Indonesia, metode istinbath hukum Majelis Ulama Indonesia, Fatwa MUI Nomor 03 Tahun 2010 Tentang Kiblat,

(40)

proses penetapan dan istinbath hukumnya, serta dasar hukum penetapan Fatwa MUI Nomor 03 Tahun 2010.

Bab IV : Analisis Fatwa MUI Nomor 03 Tahun 2010 Tentang Kiblat Bab ini meliputi analisis latar belakang dikeluarkan Fatwa MUI Nomor 03 Tahun 2010 tentang arah kiblat Indonesia, istinbath hukum MUI dalam penetapan Fatwa MUI Nomor 03 Tahun 2010 tentang arah kiblat Indonesia, Fatwa MUI Nomor 03 Tahun 2010 tentang arah kiblat Indonesia dalam perspektif ilmu falak.

Bab V : Penutup

(41)

BAB II

FIQIH KIBLAT DAN FATWA

A. Fiqih Kiblat 1. Definisi Kiblat

Kata kiblat yang selama ini ada dimaknai sebagai arah, yaitu arah bagi setiap umat Islam dalam melaksanakan ibadah shalat. Sedangkan makna arah dalam ilmu survey dan pemetaan dimaknai sebagai sebuah garis yang menunjukkan atau mengantarkan ke suatu tempat atau titik tanpa melibatkan jarak antara dua titik (An indication of the location of one point with respect to

another without involving the distance between the two points).66 Dalam artian bahwa arah harus lurus seperti sebuah garis yang menuju pada satu titik atau tempat tanpa mempertimbangkan jauh dekatnya jarak yang harus dilalui. Selain bermakna arah, kiblat ini juga dimaknai sebagai tempat shalat, sebagaimana makna kata kiblat dalam al-Qur’an surat Yunus ayat 8767.

Terlepas dari berbagai pemahaman tentang kiblat tersebut, yang penting untuk dipahami adalah bahwa keabsahan ibadah utama umat Islam yaitu shalat salah satunya ditentukan oleh ketepatan arah kiblat. Karena itulah kiblat tidak dapat dilepaskan dari umat Islam. Kiblat yang dimaksud dalam hal ini adalah

66

American Society of Civil Engineers, Glossary of the Maping Sciences, American Congress on Surveying and Mapping, hlm. 153.

67

Artinya : Dan Kami wahyukan kepada Musa dan saudaranya: Ambillah olehmu berdua beberapa buah rumah di Mesir untuk tempat tinggal bagi kaummu dan jadikanlah olehmu rumah-rumahmu itu tempat salat dan dirikanlah olehmu sembahyang serta gembirakanlah orang-orang yang beriman

Departemen Agama RI, Al-Qur an dan Terjemahnya Departemen Agama RI, Semarang : PT Karya Toha Putra t.th, hlm. 413

(42)

Ka’bah (Baitullah) di Mekah. Ka’bah ini merupakan satu arah yang menyatukan arah segenap umat Islam dalam melaksanakan shalat. Ada berbagai definisi yang dikemukakan oleh para ahli untuk membatasi definisi kiblat. Definisi-definisi tersebut sebagai berikut :

Secara etimologi, kata kiblat berasal dari bahasa arab , yang

merupakan salah satu bentuk mashdar dari kata kerja

-

-

yang artinya menghadap68, dapat juga berarti pusat pandangan.69 Kata ini memiliki definisi yang sama dengan kata jihah , sya rah dan simt yang berarti

arah menghadap. Kata kiblat ini sering disandarkan pada kata-kata tersebut, yaitu seperti kata jihah al-kiblat, simt al-kiblat, dan sebagainya yang semuanya memiliki arti yang sama yaitu arah menghadap kiblat.70

Adapun definisi kiblat secara terminologi di antaranya disebutkan dalam Ensiklopedi Hukum Islam, Abdul Aziz Dahlan mendefinisikan kiblat sebagai bangunan Ka’bah atau arah yang dituju kaum muslimin dalam melaksanakan sebagian ibadah.71 Sedangkan Harun Nasution, mengartikan kiblat sebagai arah untuk menghadap pada waktu shalat.72 Departemen Agama

68

Lihat Ahmad Warson Munawir, al-Munawir Kamus Arab-Indonesia, Surabaya : Pustaka Progressif, 1997, hlm. 1087-1088. Lihat Louis Ma’luf, Munjid fî Lughah wa

al-Alam, Beirut : Darul Masyriq, 1986, hlm. 606-607. Lihat Musthofa al-Ghalayaini, Jami ad-Durus al- Arabiyyah, Beirut : Mansyuratul Maktabatul ‘Ishriyyah, t.t, hlm. 161.

69

Ahmad Warson Munawir, Ibid.

70

Kata ini digunakan dalam kitab Tibyan Miqat, Khulashah Wafiyah, Durus

al-Falakiyyah, dan beberapa kitab falak yang lain.

71

Abdul Azis Dahlan, et al., Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, Cet. Ke-1, 1996, hlm. 944.

72

(43)

Republik Indonesia mendefinisikan kiblat sebagai suatu arah tertentu bagi kaum muslimin untuk mengarahkan wajahnya dalam melakukan shalat.73

Sedangkan Slamet Hambali memberikan definisi arah kiblat sebagai arah menuju Ka’bah (Mekah) lewat jalur terdekat yang mana setiap muslim dalam mengerjakan shalat harus menghadap ke arah tersebut.74 Menurut Muhyiddin Khazin yang dimaksud kiblat adalah arah atau jarak terdekat sepanjang lingkaran besar yang melewati ke Ka’bah (Mekah) dengan tempat kota yang bersangkutan.75 Definisi ini juga semakna dengan yang disampaikan oleh Peter Duffet-Smith, A.E. Roy dan D. Clarke yaitu azimuth, kata azimuth biasa digunakan untuk menyebut sudut kiblat yang dihitung dari titik utara ke timur (searah jarum jam) sampai pada posisi kiblat tersebut. Azimuth inilah yang menjadi standar pengukuran dalam astronomi.

Dari berbagai definisi di atas, penulis mengambil kesimpulan bahwa yang disebut dengan kiblat adalah Ka’bah (Baitullah) di Mekah, yaitu suatu bangunan yang dituju atau dijadikan pusat pandangan oleh umat Islam ketika melaksanakan ibadah shalat. Akan tetapi, kiblat dalam arti bangunan Ka’bah ( ainul ka bah) ini hanya berlaku bagi orang yang dapat melihat Ka’bah secara langsung. Sedangkan bagi orang yang jauh dari Ka’bah, kiblat dimaknai dengan arah, yaitu arah atau jarak terdekat sepanjang lingkaran besar dari suatu tempat menuju ke Ka’bah di Mekah (jihatul ka bah).

73

Departemen Agama RI, Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Proyek Peningkatan Prasarana dan Sarana Perguruan Tinggi Agama / IAIN, Ensiklopedi Islam, Jakarta: CV. Anda Utama, 1993, hlm. 629.

74

Slamet Hambali, Ilmu Falak I (Tentang Penentuan Awal Waktu Shalat dan Penentuan

Arah Kiblat di Seluruh Dunia), t.th., hlm. 84.

75

Muhyiddin khazin, Ilmu Falak Dalam Teori Dan Praktek, Yogyakarta: Buana Pustaka, cet. ke-1, 2004, hlm. 3.

(44)

2. Dasar Hukum Menghadap Kiblat

Terkait dengan definisi kiblat yang telah disebutkan sebelumnya, menghadap kiblat ketika melaksanakan shalat hukumnya wajib dan merupakan salah satu syarat sahnya shalat. Kewajiban ini telah disepakati oleh seluruh mujtahid yang dipahami dari beberapa firman Allah dan hadis Nabi SAW.

Selain ayat al-Qur’an dan hadis yang dijadikan dasar kewajiban menghadap kiblat, ada sebuah kaidah ushul fiqih berbunyi “Maa laa yatimmu

al-wajibu illa bihi fa huwa wajib” (Suatu perkara yang tidak sempurna tanpa

terpenuhinya suatu syarat maka syarat tersebut menjadi wajib)76 yang juga dapat dijadikan dasar kewajiban ini. Dalam konteks ini dimaknai bahwa mendirikan shalat hukumnya wajib, maka segala sesuatu yang merupakan perantara untuk bisa melaksanakan shalat hukumnya juga wajib. Menghadap kiblat merupakan salah satu perantara untuk dapat mendirikan shalat, maka hukumnya juga menjadi wajib.

Ayat-ayat al-Qur’an dan hadis-hadis Nabi banyak menyebutkan tentang indikasi dari kewajiban menghadap kiblat ini. Firman Allah dan sabda Nabi ini selanjutnya dijadikan dalil untuk menunjukkan pentingnya menghadap kiblat yang tepat. Firman Allah dan sabda Nabi tersebut di antaranya adalah sebagai berikut:

76

Ibnu Abu Bakar As Suyuti, Abdurrahman, Al Asybah Wa An Nazair, Indonesia: Daar Ihya’ Al Kutub Al-Arabiyah, t.th., hlm. 116.

(45)

a. Al-Qur’an dan Asbabun Nuzul

Ayat-ayat yang menjelaskan tentang perintah menghadap kiblat pada dasarnya saling berkaitan satu sama lain. Dalam ilmu al-Qur’an, hal ini disebut dengan munasabatul ayat. Baik dari sisi pembahasan maupun asbabun nuzulnya saling melengkapi sehingga tidak dapat dipisahkan antara satu ayat dengan ayat yang lain.

Ayat tentang kiblat ini menceritakan tentang perpindahan kiblat dari Masjidil Aqsha di Palestina ke Masjidil Haram di Mekah. Ayat yang pertama turun adalah surat al-Baqarah ayat 144, sebagai berikut :

Artinya : “Sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit,

maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. Dan di mana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya. Dan sesungguhnya orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang diberi Al Kitab (Taurat dan Injil) memang mengetahui, bahwa berpaling ke Masjidil Haram itu adalah benar dari Tuhannya; dan Allah sekali-kali tidak lengah dari apa yang mereka kerjakan.” (QS. Al-Baqarah : 144)77

Dalam surat al-Baqarah ayat 144 ini dijelaskan bahwa kiblat telah berubah dari Masjidil Aqsha (Baitul Maqdis) di Palestina ke Masjidil Haram di Mekah. Pada masa awal perkembangan Islam, Rasulullah SAW mendapatkan perintah untuk melaksanakan shalat lima waktu. Kiblat yang pertama adalah menghadap Masjidil Aqsha (Bait al-Maqdis) di Palestina.

77

(46)

Rasulullah menghadap ke Masjid al-Aqsha tersebut selama delapan belas bulan, enam belas bulan saat di Mekah dan dua bulan setelah hijrah ke Madinah. Sebagaimana disebutkan dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ibnu Majah sebagai berikut :

:

:

.

Walaupun Rasulullah berkiblat ke Masjidil Aqsha selama delapan belas bulan, dalam beberapa kitab tafsir seperti tafsir al-Qurthuby, ada riwayat dari ‘Ikrimah, Abi ‘Aliyah, dan Hasan Basri yang menjelaskan bahwa Rasulullah SAW pada saat yang bersamaan juga menghadap ke Baitullah. Hal itu adalah atas ijtihad Rasulullah saw sendiri, karena beliau lebih senang menghadap ke kiblat Nabi Ibrahim AS. Dalam tafsirnya, al-Qurthuby menjelaskan bahwa Rasulullah rindu menghadap ke tempat kelahirannya (Ka’bah). Karena itulah Rasulullah SAW sering menengadah ke langit, berdo’a agar kiblat dirubah ke Masjidil Haram.78

Kemudian Allah SWT mengabulkan permintaan Nabi. Setelah Rasulullah Saw hijrah ke kota Madinah selama dua bulan dan beliau ketika itu sedang berada dalam masjid Bani Salamah, turunlah Surat Al-Baqarah ayat 144 yang menasakh kiblat dari Bait al-Maqdis di Palestina ke Masjid

al-Haram di Mekah.79

78

Maktabah Syamilah, al-Qurthuby, Tafsir al-Qurthuby, juz 2 hlm. 144.

79

(47)

Sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim dari al-Barra’ bin ’Azib ;

:

Artinya : Dari Barra bahwasanya Nabi SAW shalat menghadap Baitul Maqdis itu selama 16 atau 17 bulan. Nabi ingin sekali kiblatnya dirubah ke Baitullah; kemudian Allah merubah kiblat dari Baitul Maqdis ke Baitullah. Shalat pertama kali yang beliau lakukan dengan menghadap Baitullah adalah shalat Asar bersama sekelompok orang (jama ah). (Setelah selesai shalat) kemudian salah seoarang jama ah Nabi keluar dan melewati sekelompok jama ah yang sedang ruku . Lalu (saat itu juga) orang tadi mengatakan Saya bersaksi demi Allah, sungguh saya tadi telah shalat bersama Nabi saw. dengan menghadap ke Mekah. Kemudian jamaah shalat masjid itu memutar ke arah Baitullah (Mekah).

Dari riwayat di atas, shalat yang pertama kali dilakukan Nabi dengan menghadap Baitullah adalah shalat Ashar.80 Namun dari riwayat An-Nasa’i adalah shalat dzuhur, sedangkan menurut Imam Malik adalah shalat shubuh.81

Adapun orang-orang yang telah meninggal yang dulu shalat menghadap kiblat sebelum dirubah ke arah Baitullah, mereka (para sahabat) tidak mengetahui harus mengatakan apa tentang orang-orang tersebut. Kemudian turunlah surat al Baqarah ayat 143:

80

Maktabah Syamilah, Muhammad bin Ahmad al-Qurthuby, Tafsir al-Qurthuby

(al-Jami li ahkam al-Qur an), juz 2, hlm. 144.

81

Hadis yang diriwayatkan oleh Imam Nasa’i dan Iman Thabrani : : .

(48)

Artinya : “Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat

Islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu. Dan Kami tidak menetapkan kiblat yang menjadi kiblatmu (sekarang) melainkan agar Kami mengetahui (supaya nyata) siapa yang mengikuti Rasul dan siapa yang membelot. Dan sungguh (pemindahan kiblat) itu terasa amat berat, kecuali bagi orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah; dan Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada manusia.” (QS. Al-Baqarah : 143)82

Yaitu bahwa Allah tidak akan menyia-nyiakan iman mereka, shalat yang mereka lakukan dengan menghadap ke Masjidil Aqsha tetap sah. Bila dilihat dari ayat di atas bahwa perpindahan kiblat tersebut merupakan sebuah ujian bagi umat Islam yaitu agar diketahui siapa yang benar-benar mengikuti Rasulullah dan siapa yang ingkar. Hal ini karena pada saat itu banyak orang munafik.

Setelah surat al-Baqarah ayat 143 ini turun, kemudian diikuti dengan turunnya surat al-Baqarah ayat 142 yang menceritakan tentang orang-orang Yahudi Madinah yang mengejek umat Islam dengan perpindahan kiblat tersebut. Mereka mempertanyakan penyebab umat Islam berpindah kiblat dari Masjidil Aqsha ke Masjidil Haram.

82

Gambar

Gambar : Gerakan lempengan bumi
Gambar : Arah masjid Nabawi menurut perhitungan modern mengikuti garis merah.

Referensi

Dokumen terkait

5elaskan apa "ang dimaks!d dengan keberagaman dalam bidang sosial b!da"a ekonomi dan gender dalam bingkai #hineka $!nggal Ika dan berikan contoh dalam

Selanjutnya dilakukan kegiatan penyelidikan lapangan yang merupakan rangkaian kegiatan pengumpulan data primer yaitu dengan melakukan pemetaan singkapan batuan

[r]

Dalam penguasaan suatu bahasa, baik melelui proses pemerolehan maupun pembelajaran, lingkungan bahasa tidak dapat diabaikan, Keterlibatan lingkungan bahasa sangat

Prasurvai dalam rangka uji-coba instrumen penelitian dilaksanakan pada tanggal 3 s/d 10 Desember 1985 pada SMA- SMA Negeri yang menjadi tempat penelitian kepada 20 respon ded

Pada penelitian sebelumnya diketahui, kadar CEC yang tinggi (hingga 10 kali lipat dari nilai normal) dapat menggambarkan proses remodelling yang tinggi pada sel endotel pulmoner,

Mencari dan menemukan material yang cocok untuk dijadikan shelter yang dapat dibongkar pasang, tahan terhadap cuaca, memiliki insulasi yang baik, dan memiliki

Pengembangan BTNGP Mandiri dirancang berdasarkan kombinasi strategi S-T dan WT, yaitu : (1) peningkatan kerjasama yang fokus terhadap kegiatan kunci dalam rangka