• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III EKSISTENSI KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI. A. Lembaga Independen di Indonesia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB III EKSISTENSI KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI. A. Lembaga Independen di Indonesia"

Copied!
38
0
0

Teks penuh

(1)

50

BAB III

EKSISTENSI KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI

Bab ini akan membahas mengenai Komisi Pemberantasan Korupsi di Indonesia serta kritik penulis mengenai independensi Komisi Pemberantasan Korupsi di Indonesia berdasarkan sistem pemerintahan presidensial.

A. Lembaga Independen di Indonesia

Lembaga negara bukan merupakan konsep yang secara terminology memiliki istilah tunggal dan seragam. Kepustakaan inggris, misalnya memakai atau menggunakan istilah political institution, sementara dalam termologi bahasa Belanda dikenal dengan istilah staat organen. Sedangkan dalam bahasa Indonesia seringkali para ahli politik dan tata negara secara resmi menggunakan istilah “lembaga negara”, “badan negara” atau “organ negara”.1

Secara sederhana dapat dikatakan bahwa lembaga negara merupakan konsekuensi logis dari pemisahan kekuasaan. Cabang kekuasaan yang terpisah tersebut membutuhkan lembaga negara sebagai pelaksana dari cabang kekuasaan ekskeutif, legislatif maupun yudikatif. Oleh sebab itu kemudian, lahirlah lembaga-lembaga negara yang bekerja dibawah sistem masing-masing cabang kekuasaan. Artinya, lembaga-lembaga ini menjadi organ pelaksana dari

1 Pendapat Sri Soemantri dalam Transkrip Diskusi Publik, “Eksistensi Sistem

Kelembagaan Negara Pasca Amandemen UUD NRI TAHUN 1945”, Komisi Reformasi Hukum

(2)

51

organisasi kekuasaan negara, yang dalam bahasa George Jellineck merupakan “contradiction in onjecto”. Jika negara tidak memiliki organ-organ atau perlengkapan negara maka ia tidak sesuai dengan sifatnya.2 Singkatnya, keberadaan lembaga-lembaga negara menjadi niscaya untuk mengisi dan menjalankan negara.3

Pada akhir abad ke 80-an dan awal 90-an yang dintandai dengan runtuhnya rezim otoritarian di sejumlah negara komunis di Eropa Timur. Selama periode ini disintegrasi sekaligus masifikasi kelembagaan terjadi ditingkat negara yang selanjutnya terinstitusionalisasi melalui mekanisme perubahan konstitusi dimasing-masing negara.4 Akibat gelombang baru demokrasi ini, disejumlah negara khususnya yang mengalami proses transisi demokrasi dari otoritarian ke demokratsi, muncul organ-organ kekuasaan baru baik yang sifatnya independen (independent regulatory agencies) maupun yang sebatas sampiran (state auxiliary agencies). Munculnya organ-organ baru kekuasaan ini lazim dikenal dengan “komisi negara”. Kelahiran komisi-komisi negara ini baik yang bersifat independen maupun yang sebatas intermeditary merupakan bentuk kekalahan gagasan trias politica atas perkembagan baru dan pergeseran paradigma pemerintahan.5 Michael R. Asimov mengatakan bahwa komisi negara independen yaitu organ negara (state organ) yang diidealkan indepeden

2 Lukaman Hakim, Kedudukan Hukum Komisi Negara di Indonesia, Eksistensi

Komisi-Komisi Negara (State Auxiliary Organ) Sebagai Organ Negara yang Mandiri dalam SIstem Ketatanegaraan, Program Pasca Univ. Brawijaya-Univ.Widyagama, Setara Press, Malang, 2010,

h.25.

3 Zainal Arifin Mochtar, Lembaga Negara Independen: Dinamika Perkembagan dan

Urgensi Penataannya Kembali Pasca-Amandemen Konstitusi, Raja Grafindo Persada, Jakarta,

2016, h29.

4 Cornelis Lay, State Auxeliary Agencies, Jurnal Jentera Edisi 12 Tahun III, Jakarta,

PSHK, April-Juni, 2006, h.6.

5

(3)

52

dan karenanya berada diluar cabang kekuasaan ekskeutif, legislatif, dan yudisial namun justru mempunyai fungsi campur sari ketiganya.6

Sementara itu lebih lanjut dalam padangan Cornelis Lay, kelahiran komisi-komisi negara yang merupakan imbas dari terpaan gelombang ketiga demokrasi. Setidaknya dipengaruhi beberapa hal berikut. Pertama, keresahan negara terhadap ketidakpastian dan kealpaan perlindungan individu dan kelompok margial dari depotisme pejabat publik maupun warga negara lainnya. Kedua, mencerminkan sentralisasi negara sebagai otoritas publik, dengan sebuah tanggungjawab publik yang besar. Ketiga, merupakan sebuah produk evolusi yang sifatnya incremental dan komplementer terhadap organ-organ kekuasaan yang hadir terdahulu yang merupakan hasil pemilihan gagasan trias politica.7

Selanjutnya menurut Firmansyah Arifin latar belakang yang mempengaruhi banyaknya pembentukan lembaga-lembaga negara baru yang bersifat independen (komisi negara independen), yaitu: (i) tiadanya kredibilitas lembaga-lembaga negara yang telah ada akibat asumsi adanya korupsi yang sistemik, mengakar dan sulit untuk diberantas; (ii) tidak independennya lembaga-lembaga negara yang ada karena satu sama lain tunduk di bawah pengaruh satu kekuasaan negara atau kekuasaan lainnya; (iii) ketidakmampuan lembaga-lembaga negara yang ada untuk melakukan tugas-tugas yang urgen dilakukan dalam masa transisi demokrasi karena persoalan birokrasi dan KKN; (iv) pengaruh global, dengan pembentukan apa yang dinamakan auxiliary organ state agency atau watchdog

6 Titik Triwulan Tutik, Konstruksi Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Amandenen

UUD NRI TAHUN 1945, Kencana, Jakarta, 2010, h.180.

7

(4)

53

institution di banyak negara; dan (v) tekanan lembaga-lembaga internasional, tidak hanya sebagai prasyarat untuk memasuki pasar global, tetapi juga untuk membuat demokrasi sebagai satusatunya jalan bagi negara yang asalnya berada di bawah kekuasaan otoriter.8

Dalam konteks Amerika, kelahiran organ kekuasaan baru, yang kemudian dikenal dengan istilah „komisi negara' atau administrative agencies, sesungguhnya telah dimulai dengan pembentukan Interstate Commerce Commission, yang berdiri dengan pengesahan Congress pada 1887. Kemudian dilanjutkan pada 1914, ketika krisis ekonomi melanda dunia, Amerika Serikat menghendaki sebuah lembaga yang secara khusus mengatur dunia bisnis, untuk mengawasi bentuk-bentuk persaingan usaha. Maka lahirlah apa yang dinamakan dengan Federal Trade Commision. Dalam periode berikutnya, di AS bermunculan sejumlah komisi negara independen (independent regulatory agencies). Hingga saat ini, setidaknya tercatat 30an komisi negara independen yang dimiliki oleh Amerika Serikat.9

Dalam konteks Indonesia, kecenderungan kelahiran lembaga negara tersebut telah terjadi setelah runtuhnya kekuasaan Soeharto pada tahun 1998. Di Indonesia saat ini sudah lebih dari 50an lembaga negara bantu yang terbentuk dimana jumlah ini bisa saja bertambah. Pembentukan lembaga negara tersebut dilakukan berdasarkan dasar hukum yang berbeda

8 Putusan MK RI Nomor 36/PUU-XV/2017 mengenai Pengujian Undang-Undang

Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

9 Ryan C. Black, etc., Adding Recess Appointments to the President's "Tool Chest" of

Unilateral Powers, dalam Journal Political Research Quarterly, Volume 60 Number 4, December

(5)

54

yang mana dibentuk berdasarkan UUD NRI Tahun 1945, UU maupun dengan Kepres. Dengan perincian lembaga negara indepeden (independent regulatory agencies) sekitar 13 dan lembaga negara eksekutif (executive branch agencies) yang jumlahnya sekitar 40 lembaga.10

Selanjutnya Mahkamah Konstitusi mencoba memperkenalkan model independensi yang dibangun oleh ajudikasi kontitusional. Hal ini seperti dikemukakan MK RI dalam pertimbangan hukum putusan No.005/PUU-IV/2006 perihal kelembagaaan Komisi Yudisial yang independen megatakan bahwa :

Mahkamah Konstitusi selanjutnya akan

mempertimbangkan pengertian “mandiri” dalam pasal 24B ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 yang berbunyi “Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim”. Pertanyaan yang haris dijawab dalam hubungan ini adalah bagaimana tafsiran yang harus diberikan terhadap syarat bahwa KY bersifat mandiri yang kemudian oleh UU KY diartikan sebagai keadaan bahwa KY dalam pelaksaan wewenangnya bebas dari campur tangan atau pengaruh kekuasaan lain (vide Pasal 2 UU KY). Mahkamah Konstitusi berpendapat, pengertian bahwa “KY dalam pelaksanaan wewenangnya bebas dari campur tangan atau pengaruh dari kekuasaan lain” harus dimaknai sebagai kemandirian kelembangaan dalam pengambilan keputusan, bukan kemandirian yang bersifat perorangan anggota KY. Artinya, kemandirian KY harus dimaknai sebagai kebebasan dari campur tangan dan pengaruh kekuasaan lain dalam pengambilan keputusan dalam pelaksanaan wewenang pengusulan calon hakim agung mapun dalam rangka pelaksanaan wewenang lain menurut UUD NRI Tahun 1945. Oleh karena itu, KY tidak dapat dikatakan tidak mandiri atau dengan kata lain terdapat campur tangan dari pihak luar atau kekuasaan lain, hanya karena alasan bahwa pengambilan keputusan didasarkan pada fakta-fakta yang diperoleh melalui kerja sama atau koordinasi dengan pelaku kekuasaan kehakiman

10 Cornelis Lay, Op Cit, h.181

(6)

55

sendiri, in causa MA. Sesuai dengan kenyataan secara universal, susunan dari komisi yudisial bukan hanya terdiri atas mantan hakim, praktisi hukum, akademisi, dan anggota masyarakat, sebagaimana telah dikemukakan di atas, melainkan juga hakim agung duduk bersama anggota komisi yudisial. Bahkan pada umumnya komisi yudisial atau yang disebut dengan nama lain di dunia secara ex-officio dipimpin oleh ketua Mahkamah Agung.

Alasan paling standar untuk menciptakan lembaga negara baru adalah karena yang lama tak mampu lagi memberikan fungsi yang sebenarnnya, sehingga kemudian di independensikan dengan tujuan menggantikan lembaga yang lama. Alih-alih menciptakan good governance yang efektif dan efesien, banyaknya lembaga malah cenderung mendorong ke negara yang kegemukan kelembagaan, yang justru menjadi semakin lemah, imbasnya terjadi ungovernability bukan tata kelola yang baik.11 Secara umum pembentukan lembaga-lembaga independen adalah bagian dari strategi yang dibentuk oleh kaum reformis yang mengambil alih negara untuk memberikan impresi berhadapan dengan pemerintahan baru.12 Dengan demikian , lembaga independen ini hadir sebagai pengendali kekuasaan presiden dimana pemerintah konstitusional berkuasa. Kelahiran lembaga independen tentunya menghambat presiden dalam menjalankan tugasnya dalam bidang pemerintahan karena presiden tidak memiliki kemampuan untuk memaksa lembaga ini mengikuti arah kebijakan yang dibentuk atau yang telah di agendakan.

11 J. Kristiadi, Keberadaan State Auxiliary Bodies dalam Negara Demokrasi, Makalah

dalam Dialog Nasional Hukum dan Non-Hukum: Penataan State Auxiliary Bodies dalam Sistem Ketatanegraan, Surabaya, 26-29 Juni 2007, h. 5-6

(7)

56

B. KPK Sebagai Lembaga Independen

1. Latar Belakang Pembentukan KPK

Tindak pidana korupsi yang telah meluas secara sistematis sedemikian rupa sehingga merugikan keuangan negara, perekonomian negara, dan menghambat pembangunan nasional, yang dengan demikian sesungguhnya telah melanggar hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat, tidak dapat lagi digolongkan sebagai kejahatan biasa melainkan telah menjadi kejahatan luar biasa (extra-ordinary crime). Bahkan, masyarakat internasional pun secara tidak langsung mengakui sifat luar biasa dari tindak pidana korupsi tersebut, sebagaimana tampak dalam Preamble dari United Nations Convention against Corruption yang menyatakan13:

“Concerned about the seriousness of problems and threats posed by corruption to stability and security of societies, undermining the institutions and values of democracy and the rule of law, Concerned also about the links between corruption and other forms of crime, in particular organized crime and economic crime, including money-laundering, Concerned further about cases of corruption that involve vast quantities of assets, which may constitute a substantial proportion of the resources of States, and that threaten the political stability and sustainable development of those States, Convinced that corruption is no longer a local matter but a transnational phenomenon that affects all societies and economies, making international cooperation to prevent and control it essential....”

Indonesia merupakan Negara di Asia yang mencanangkan suatu peraturan khusus terhadap pemberantasan korupsi. Sebagai bentuk nyata tersebut dibentuklah peraturan mengenai pemberantasan korupsi. Pemberantasan korupsi di Indonesia sebenarnya mulai di jalankan sejak

13 Risalah Sidang perkara Nomor 19/PUU-V/2007 perihal pengujian UU RI No.30 Tahun

2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPTPK) terhadap UUD NRI TAHUN 1945, h.11

(8)

57

dulu, namun sampai sekarang yang namanya korupsi di Indonesia belum bisa diberantas secara tuntas malah makin berkembang. Sebelum lahirnya Komisi Pemberantasan Korupsi, Indonesia dahulu memiliki beberapa lembaga pemberantas korupsi yakni Tim Pemberantasan Korupsi (TPK), Komite Anti Korupsi (KAK), Komisi Empat, Operasi Tertib (OPSTIB), Tim Pemberantasan Korupsi (TPK), Komisi Pemeriksaan Kekayaan Negara (KPKPN), Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Tim Koordinasi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.14 Perbuatan korupsi di indonesia merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan hak-hak ekonomi masyarakat, sehingga tindak pidana korupsi tidak dapat lagi digolongkan sebagai kejahatan biasa (ordinary crimes) melainkan telah menjadi kejahatan luar biasa (extra ordinary crime), sehingga dalam upaya pemberantasannya tidak lagi dapat dilakukan “secara biasa” tetapi “dituntut cara-cara luar biasa” (extra-ordinary enforcement).15

Selanjutnya KPK dibentuk berdasarkan Ketetapan MPR Nomor XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, yang mengatur antara lain, perlunya dibentuk suatu lembaga oleh Kepala Negara yang keanggotaannya terdiri atas Pemerintah dan masyarakat, sebagai upaya pemberantasan tindak pidana korupsi yang dilakukan secara tegas dengan melaksanakan secara konsisten undang-undang tindak pidana korupsi16. Selain itu, untuk

14 Ermansjah Djaja, Memberantas Korupsi Bersama KPK : Kajian Yuridis UU RI No 30

Tahun 1999 juncto UU Ri Nomor 20 Tahun 2001 Versi UU RI Nomoe 30 Tahun 2002 juncto UU RI Nomor 46 Tahun 2009,, Edisi Ke II, Sinar Grafika, Jakarta, 2010,, h.326-329.

15 Ibid, 28. 16

Pasal 3 ayat (2) dan Pasal 3 Ketetapan MPR Nomor XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme

(9)

58

mempercepat dan menjamin efektivitas pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme tersebut dibentuklah Ketetapan MPR Nomor VIII/MPR/2001 tentang Rekomendasi Arah Kebijakan Pemberantasan dan Pencegahan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. Sebagai tindak lanjut dari kedua ketetapan MPR tersebut maka dibentuklah Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang kemudian diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Pembentukan komisi ini merupakan amanat dari pasal 43 UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang berbunyi :

1. Dalam waktu paling lambat 2 (dua) tahun sejak Undang-undang ini mulai berlaku, dibentuk Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

2. Komisi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) mempunyai tugas dan wewenang melakukan koordinasi dan supervisi, termasuk melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku.

3. Keanggotaan Komisi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) terdiri atas unsur Pemerintah dan unsur masyarakat. Ketentuan mengenai pembentukan, susunan organisasi, tata kerja, pertanggungjawaban, tugas dan wewenang, serta keanggotaan Komisi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), ayat (3) diatur dengan Undang-undang.

Berdasarkan kedua undang-undang tersebut dibentuklah Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tanggal 27 Desember 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang dalam Konsiderans Menimbang huruf b menyatakan, “bahwa lembaga pemerintah yang

(10)

59

menangani perkara tindak pidana korupsi belum berfungsi secara efektif dan efisien dalam memberantas tindak pidana korupsi”.

secara historikal diketahui bahwa KPK lahir dari sebuah asumsi bahwa pembentukan KPK dapat dilihat dari pokok-pokok pikiran pembentukan KPK. Dalam pokok pikiran tersebut dijelaskan bahwa korupsi di Indonesia sudah merupakan kejahatan yang sistemik dan meluas tidak saja merugikan keuangan negara, tetapi juga melanggar hak ekonomi dan hak sosial masyarakat..17 Selain itu yang membuat semakin brutalnya korupsi diimbuhi dengan rusaknya pranata penegakan hukum mulai dari kejaksaan, kepolisian hingga peradilan diberbagai tingkatan.18 Dengan kata lain bahwa, penegakan hukum untuk memberantas tindak pidana korupsi yang dilakukan secara konvensional salama ini terbukti mengalami hambatan. Untuk itu diperlukan metode penegakan hukum secara luar biasa melalui pembentukan suatu badan khusus yang mempunyai kewenangan luas, independen, serta bebas dari kekuasaan manapun dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi, yang pelaksanaannya dilakukan secara optimal, intensif, efektif, professional, dan berkesinambungan.19 Perlu diketahui bawah KPK merupakan lembaga ad hoc atau tidak permanen karena dibutuhkan sebagai dorongan kenyataan bahwa fungsi-fungsi lembaga yang sudah ada sebelumnya (kejaksaan dan kepolisian) dianggap tidak maksimal atau tidak diharapkan

17Romli Atmasasmita, Korupsi, Good Governance, dan Komisi Anti Korupsi di

Indonesia, : Percetakan Negara RI, Jakarta, 2002, h. 40

18 Saldi Isra, Lembaga Negara Independen: Dinamika Perkembangan dan Urgensi

Penataannya Kembali Pasca-Amandemen Konstitusi, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2016, h.83.

19 Ermansjah Djaja, Memberantas Korupsi Bersama KPK : Kajian Yuridis UU RI No 30

Tahun 1999 juncto UU Ri Nomor 20 Tahun 2001 Versi UU RI Nomoe 30 Tahun 2002 juncto UU RI Nomor 46 Tahun 2009,, Edisi Ke II, Sinar Grafika, Jakarta, 2010,, h.255.

(11)

60

efektif melakukan pemberantasan korupsi. Jika kelak, pemberantasan korupsi dapat dilakukan secara efektif oleh kepolisian dan kejaksaan tentu keberadaan KPK dapat ditinjau kembali.20

Reformasi bergaya neo-liberal dengan mendirikan lembaga-lembaga independen seperti kehadiran KPK sebenarnya menjadi blessing in disguise bagi Indonesia, kondisi Indonesia yang memang memerlukan perbaikan dari sisi tata kelola, namun dari sisi lain berimplikasi pada cengkraman modal asing dalam agenda neo-liberal yang makin kuat. Akan tetapi, pada saat yang sama juga memiliki dampak positif dalam upaya mendorong percepatan laju pemberantasan korupsi yang memang secara nyata menjadi musuh di Indonesia. Memang ada kemungkinan pendirian lembaga tersebut tidak berasal dari keinginan actor negara, sehingga memerlukan tekanan lembaga keuangan internasional, karena memang ada kebutuhan fakutal. Inilah yang ditenggarai oleh Danang J.Widoyoko sebagai salah satu fakor penyebab kegagalan dari kebijakan dan strategi reformasi kelembagaan pemberantasan korupsi, yakni First, the initiative to combat corruption has not come from government. Inisiatif untuk memerangi korupsi yang memang tidak dating dari pemerintah. Most of agendas were driven by international financial institution, especially from the International Monetary Fund (IMF), through the signing of Letters of intent as a condition og IMF‟s support of Indonesia. Sebagian besar agenda didorong oleh lembaga keuangan internasional, terutama dari Dana Moneter Internasional (IMF), melalui penandatanganan Letter of intent

20

Jimly Ashiddiqie, Perkembagan dan Konsolidasi LEmbaga Negara Pasca Reformasi, Sekretariat Jendral dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta, 2006, h.29

(12)

61

sebagai syarat dukungan IMF bagi indonesia. In the case, the ownership of the strategy is on IMF, not the government of Indonesia. Dalam hal ini kepemilikan dari strategi ini adalah pada IMF, bukan pemerintah Indonesia.21 Vedi R.Hadiz melihat, pembentukannya tidak menjadi sungguh-sungguh dan hanya sekedar untuk berbagi kekuasaan antara aktor-aktor atau pelaku politik yang ada di DPR, atau masyarakat sipil yang secara khusus terlibat dalam penyusunan undang-undang tertentu.22 Meski tidak menyantuMK RIan secara langsung soal keberadaan KPK, tetapi menjadi semacam kewajiban tidak tertulis untuk menunjukkan iktikad baik pemberantasan korupsi pada tahun 2002. Hal inilah yang melatari kelahiran KPK sebagai lembaga negara independen yang melakukan pemberantasan korupsi.

Secara yuridis alasan terbentuknya KPK diapat dilacak dalam penjelasan umum UU KPK yang menyatakan sebagai berikut:

Tindak pidana korupsi di indonesia sudah meluas dalam masyarakat, perkembagnan nya terus meningkat dari tahun ke tahun, baik dari jumlah kasus yang terjadi dan jumlah kerugian keuangan negara maupun dari segi kualitas tindak pidana yang dilakukan semakin sistematis serta lingkupnya yang memasuki seluruh aspek kehidupan masyarat.

Meningkatnya tindak pidana korupsi yang tidak terkendali akan membawa bencana tidak saja terhadap kehidupan perekonomian nasional tetapi juga pada kehidupan berbangsa dan bernegara pada umumnya. Tindak pidana korupsi yang meluas dan sistematis juga merupakan pelanggaran terhadap hak-hak social dan hak-hak ekonomi masyarakat, dank arena itu semua maka tindak pidana

21 Danang J. Widoyoko, Corruption Eradication and Oligarch, The Jakarta Post, 31

Desember 2004.

22 Vedi R.Hadiz, Desentralisation and Democracy in Indonesia: A Critique of

Neo-Institutionalist Prespective, The southeast Asia Reseach Centre (SEARC) of the City University of

Hong Kong, may 2003; Vedi R.Hadiz, Reorganizing Political Power in Indonesia:a

Reconsideration of so-called „Democratic Transitions‟ dalam The Pacific Review, Vol.16, No.4,

2003; Richard Robinson dan Vedii R.Hadiz, Reorganizing Power In Indonesia:The Politics of

(13)

62

korupsi tidak dapat digolongkan sebagai kejahatan biasa melainkan telah menjadi kejahatan luar biasa. Begitu pun dalam upaya pemberantasannya tidak lagi dapat dilakukan secara biasa, tetapi dituntut cara-cara yang luar biasa. Penegakan hukum untuk memberantas tindak pidana korupsi yang dilakukan secara konvensional selama ini terbukti mengalami berbagai hambatan. Untuk itu diperlukan moetode penegakan hukum secara luar biasa melalui pembentukan suatu lembaga khusus yang memiliki kewenangan luas, independen serta bebas dari kekuasaan manapun dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi yang pelaksanaannya dilakukan secara optimal, intensif, efektif, profesional serta berkesinambungan. Dalam rangka mewujudkan supremasi hukum, pemerintah indonesia telah meletakkan landasan kebijakan yang kuat dalam usaha memerangi tindak pidana korupsi. Berbagai kebijakan tersebut tertuang dalam berbagai peraturan perundang-undangan, antara lain dalam Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Repubik Indonesia Nomor XI/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotiseme, serta Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaiamana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Berdasarkan ketentuan Pasal 43 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, badan khusus tersebut selanjutnya disebut Komisi Pemberantasan Korupsi, memiliki kewenangan melakukan koordinasi dan supervise, termaksud melakukan penyidikan, penyelidikan dan penuntutan, sedangkan mengenai pembentukan, susunan organisasi, tata kerja dan pertanggungjawaban, tugas dan wewenang serta keanggotaannya diatur dengan undang-undang.

2. Tugas, Wewenang dan Kewajiban KPK

Menurut ketentuan Pasal 6 UU KPK menyebutkan bahwa terdapat lima tugas KPK yang harus dilaksanakan yaitu koordinasi dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi, supervisi terhadap terhadap instansi yang berwenang melakukan

(14)

63

pemberantasan tindak pidana korupsi, melakukan penyidikan, penyelidikan dan penunutan terhadap tindak pidana korupsi, melakukan tindakan-tindakan pencegahan tindak pidana korupsi, dan melakukan monitor terhadap penyelenggaraan pemerintahan negara.

Agar tugas tersebut berjalan efektif dan dapat mewujudkan tujuan dibentuknya, KPK diberi kewenangan-kewenangan hukum yang secara eksplisit terdapat dalam Pasal 7, Pasal 8, Pasal 12, Pasal 13 dan Pasal 14 UU KPK. Dalam melaksanakan koordinasi dengan instansi lain KPK diberikan kewenangan hukum berdasarkan Pasal 7 UU KPK berupa:

a. Mengkoordinasi penyidikan, penyelidikan dan penuntutan tindak pidana korupsi;

b. Menetapkan sistem pelaporan dalam kegiatan pemberantasan tindak pidana korupsi;

c. Meminta informasi tentang kegiatan pemberantasan tindak pidana korupsi kepada instansi yang berkaitan; d. Melaksanakan dengar pendapat atau pertemuan dengan

instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi; dan

e. Meminta laporan instansi terkait mengenai pencegahan tindak pidana korupsi.

Dalam melakukan tugas supervisi terhadap instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi, berdasarkan Pasal 8 UU KPK diberi kewenangan hukum untuk melakukan tindakan-tindakan antara lain:

a. Melakukan pengawasan, penelitian, atau penelaahan terhadap instansi yang menjalankan tugas dan wewenangannya yang berkaitan dengan pembeantasan tindak pidana korupsi dan instansi yang dalam melaksanakan pelayanan publik.

b. Mengambil alih penyidikan atau penuntutan terhadap pelaku tindak pidana korupsi yang sedang dilakukan oleh kepolisian atau kejaksaan.

(15)

64

c. Dalam hal KPK mengambilalih penyidikan atau penuntutan, kepolisian atau kejaksaan wajib menyerahkan tersangka dan seluruh berkas perkara beserta alat bukti dan dokumen lain yang diperlukan paling lama dalam waktu 14 (empat belas) hari kerja, terhitung sejak tanggal diterimanya permintaan KPK. d. Penyerahan tersebut membuat dan menandatangani

berita acara penyerahan sehingga segala tugas dan kewenangan kepolisian atau kejaksaan pada saat penyerahan tersebut beralih kepada KPK.

Berkaitan dengan tugas KPK dalam melakukan penyidikan, peyelidikan dan penuntutan perkara korupsi, Pasal 12 memberikan kewenangan hukum kepada KPK sebagai berikut:

a. Melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan; b. Memerintahkan kepada instansi yang terkait untuk

melarang seseorang berpergian ke luar negeri;

c. Meminta keterangan kepada bank atau lembaga keuangan lainnya tentang keadaan keuangan tersangka atau terdakwa yang sedang diperiksa;

d. Memerintahkan kepada bank atau lembaga keuangan lainnya untuk memblokir rekening yang diduga hasil dari korupsi milik tersangka, terdakwa, atau pihak lain yang terkait;

e. Memerintahkan kepada pimpinan atau atasan tersangka untuk memberhentikan sementara tersangka dari jabatannya;

f. Meminta data kekayaan dan data perpajakan tersangka atau terdakwa kepada instansi yang terkait;

g. Mengentikan sementara suatu transaksi keuangan, transaksi perdagangan dan perjanjian lainnya atau pencabutan sementara perijinan lisensi serta konsensi yang dilakukan atau dimiliki oleh tersangka atau terdakwa yang diduga berdasarkan bukti awal yang cukup ada hubungannya dengan tindak pidana korupsi yang sedang diperiksa;

h. Meminta bantuan Interpol Indonesia atau instansi penegak hukum negara lain untuk melakukan pencarian, penangkapan dan penyitaan barang bukti di luar negeri; i. Meminta bantuan kepolisian atau instansi lain yang

terkait untuk melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan dalam perkara tindak pidana korupsi yang sedang ditangani.

(16)

65

Dalam melaksanakan tugas pencegahan, berdasarkan Pasal 13 UU KPK diberikan kewenangan hukum berupa:

a. Melakukan pendaftaran dan pemeriksaan terhadap laporan harta kekayaan penyelenggaraan negara;

b. Menerima laporan dan menetapkan status gratifikasi; c. Menyelenggarakan program pendidikan antikorupsi

pada setia jenjang pendidikan;

d. Merancang dan mendorong terlaksananya program sosialisasi pemberantasan tindak pidana korupsi;

e. Melakukan kampanye anitkorupsi kepada masyarakat umum;

f. Melakukan kerja sama bilateral atau multilateral dalam pemberantasan tindak pidana korupsi.

Mengenai tugas monitoring yang merupakan tugas KPK, Pasal 14 memberikan kewenangan hukum kepada KPK agar pelaksanaannya berjalan efektif, yaitu:

a. Melakukan pengkajian terhadap sistem pengelolaan administrasi disemua lembaga negara dan pemerintahan;

b. Memberi saran kepada pimpinan lembaga negara dan pemerintahan untuk melakukan perubahan jika berdasarkan hasil pengkajian sistem pengelolaan administrasi tersebut berpotensi korupsi;

c. Melaporkan kepada Presiden Republik Indonesia, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, dan Badan Pemeriksa Keuangan jika saran KPK mengenai usulan perubahan tidak diindahkan.

3. Independensi KPK di Indonesia

Pengertian dasar dari istilah 'independent' adalah adanya kebebasan, kemerdekaan, kemandirian, otonom (otonomi), tidak dalam dominasi personal maupun institusional. Sehingga, ada pelaksanaan kehendak bebas (free will) yang dapat terwujud tanpa ada pengaruh yang secara signifikan merubah pendiriannya untuk membuat keputusan atau

(17)

66

kebijakan. Secara filosofis, person atau institusi yang independen (otonom) dibatasi oleh tujuan-tujuan yang ditetapkan oleh otoritas yang lebih tinggi (Iebih berwenang) yang dalam operasional selanjutnya tidak lagi dapat mencampuri pelaksanaan fungsinya yang independen.23

Mahkamah Konstitusi pernah menafsirkan mengenai lembaga independen dalam mempertimbangkan hukum Putusan MK RI Nomor 005/PUU-I/ 2003 tentang perkara permohonan pengujian Undang-Undang No. 32 Tahun 2002 tentang Komisi Penyiaran Indonesia (UU KPI) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 MK RI RI menjelaskan bahwa :

“Komisi Independen yang lahir ini memang merupakan sebuah konsekwensi logis dari sebuah negara demokrasi modern yang ingin secara lebih sempurna menjalankan prinsip check and banlances untuk kepentingan yang lebih besar”

Alasan lain diperlunya sejumlah lembaga independen adalah sebagai upaya untuk mendorong transparansi, pemerintahan yang bersih, pemenuhan terhadap hak asasi manusia dan mencegah penyalahgunaan kekuasaan. Dijelaskannya :

on the one hand, mechanisms were introduced to distance certains from party political or purely government control and to ensure transparent and clean government, while on the other hand there were various institutions designed to further human rights and to prevent the abused of government power.

Sebagaiamana diatur dalam pasal 3 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang mana :

23 Hendra Nurtjahjo, Lembaga, Badan dan Komisi Negara Independen (State Auxiliary

Agencies) di Indonesia: Tinjauan Hukum Tata Negara Indonesia, Jurnal Hukum dan

(18)

67

“lembaga negara yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangannya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun”. Penjelasan Pasal 3 dijelaskan bahwa

“Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan “kekuasaan manapun” adalah kekuatan yang dapat mempengaruhi tugas dan wewenang Komisi Pemberantasan Korupsi atau anggota Komisi secara individual dari pihak eksekutif, yudikatif, legislatif, pihak-pihak lain yang terkait dengan perkara tindak pidana korupsi, atau keadaan dan situasi ataupun dengan alasan apapun. ”

Dalam putusan MK RI RI Nomor 012-016-019/PUU-IV/2006 menegaskan bahwa sifat independen KPK bahwa rumusan dalam Pasal 3 UU KPK itu sendiri telah tidak memberikan kemungkinan adanya penafsiran lain selain yang terumuskan dalam ketentuan pasal dimaksud, yaitu bahwa independensi dan bebasnya KPK dari pengaruh kekuasaan mana pun adalah dalam hanya dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya.

Dalam Pasal 1 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 yang menyatakan “Kedaulatan berada ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar” Pasal ini mengindikasikan pemberian penegasan terhadap Pasal 4 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 yaitu “Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar” yaitu dianutnya sistem pemerintahan presidensial, dengan mempertegas kedudukan Presiden sebagai kepala negara (head of state) sekaligus sebagai kepala pemerintahan (head of government) tidak dapat dipisahkan dan dipilih langsung oleh rakyat, sehingga Presiden memiliki kewenangan sebagai “the sovereigh executive” untuk menjalankan

(19)

68

“independent power” dan “inheren power”,24

serta membangun separation of power dan hubungan cheks and balances antar lembaga negara.25

KPK selanjutnya diklasifikasikan sebagai Komisi Negara. Komisi Negara sering disebut dalam beberapa istilah berbeda, misalnya di Amerika Serikat dikenal sebagai administrative agencies. Menurut Asimow, komisi negara adalah: units of government created by statute to carry out specific tasks in implementing the statute. Most administrative agencies fall in the executive branch, but some important agencies are independent.26 atau dengan kata lain dapat dikatakan bahwa lembaga administrasi merupakan bagian dari pemerintahan yang dibentuk dengan undang-undang untuk menjalankan fungsi khusus dalam mengimplementasikan undang-undang dimana lembaga ini merupakan bagian dari eksekutif tetapi beberapa lembaga khusus bersifat mandiri.

Mengenai watak dari sebuah komisi, apakah bersifat biasa atau independen, Asimov melihatnya dari segi bagaimana mekanisme pengangkatan dan pemberhentian anggota komisi negara tersebut. Menurutnya, pemberhentian anggota komisi negara independen, hanya dapat dilakukan berdasarkan sebab-sebab yang diatur dalam

24 Jimly Asshiddiqie. Hukum Tata Negara Darurat, Rajawali Press, Jakarta 2007, h. 226 25

Sudirman, Kedudukan Presiden dalam Sistem Pemerintahan Presidensial (Telaah

Terhadap Kedudukan dan Hubungan Presiden dengan Lembaga Negara yang Lain dalam Undang-Undang Dasar NRI Tahun 1945), Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Malang, h.3.

(20)

69

undang pembentukan komisi bersangkutan. Sedangkan anggota komisi negara biasa, dapat sewaktu-waktu diberhentikan oleh presiden.27

Melihat karakteristik tersebut maka berdasarkan sistem pemerintahan presidensial dimana Presiden memiliki kedudukan sebagai kepala pemerintahan (chief of executive) memiliki fungsi yakni memimpin dan yang mempertanggungjawabkan pelaksanaan tugas-tugas eksekutif. Dalam menjalankan fungsinya sebagai kepala pemerintahan, presiden memiliki hak prerogatif yaitu mengenai pengangkatan dan pemberhentian pejabat eksekutif guna menjalankan tugas pemerintahan sehari-hari, sehingga Presiden dapat mengontrol, mengawasi dan mengarahkan pejabat eksekutif agar memastikan bahwa seluruh aturan di eksekusi sebagaimana mestinya. Secara teoritis, hak prerogatif diterjemahkan sebagai hak istimewa yang dimiliki oleh lembaga-lembaga tertentu yang bersifat mandiri dan mutlak dalam arti tidak dapat digugat oleh lembaga negara yang lain.28 Sehingga demikian dalam menjalankan pemerintahan tersebut pada akhirnya presiden akan bertanggungjawab atas segala tindakan yang berkaitan dengan fungsi pemerintahannya kepada rakyat yang berdaulat yang memilihnya secara langsung dalam pemilihan umum..

27

Michael R. Asimov, Administrative Law, di dalam Arifin Mochtar, Zainal, Lembaga

Negara Independen: Dinamika Perkembagan dan Urgensi Penataannya Kembali Pasca-Amandemen Konstitusi, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2016, h.20.

28

H.Kaharudin, H.M. Galang Asmara, Minolah & Haeruman Jayadi, Hak Prerogatif

Presiden dalam Pengangkatan dan Pemberhentian Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Berdasarkan UUD NRI TAHUN 1945, Jurnal media Hukum Volume 23 No.2, Desember 2016,

(21)

70

Dalam konteks KPK, pengisian jabatan tidak dilakukan oleh satu lembaga saja akan tetapi terdiri dari beberapa lembaga dalam rangka mewujudkan check and balance. Berdasarkan Pasal 30 UU KPK Pimpinan KPK dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia berdasarkan calon anggota yang diusulkan oleh Presiden Republik Indonesia. Namun sebelumnya untuk melancarkan pemilihan dan penentuan calon pimpinan KPK, Pemerintah membentuk panitia seleksi yang bertugas melakukan seleksi terhadap calon-calon yang mendaftar menjadi pimpinan KPK. Panitia seleksi ini terdiri dari unsur pemerintah dan masyarakat. Sedangkan tanggung jawab KPK berdasarkan Pasal 20 ayat (1) UU KPK menyatakan bahwa: KPK bertanggungjawab kepada publik atas pelaksanaan tugasnya dan menyampaikan laporannya secara terbuka dan berkala kepada Presiden Republik Indonesia, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dan Badan Pemeriksa Keuangan.

Karakteristik lembaga independen selanjuntya ialah berkaitan erat dengan pemberhentian anggota komisi yang hanya dilakukan berdasarkan sebab-sebab yang diatur dalam UU pembentukan lembaga yang bersangkutan, tidak sebagaiamana lazimnya lembaga eksekutif lainnya yang dapat diberhentikan oleh Presiden. Hal serupa dibahas oleh William F.Fox Jr. bahwa suatu lembaga negara adalah independen apabila dinyatakan secara tegas oleh kongres dalam Undang-Undang lembaga tersebut. Atau, apabila presiden dibatasi untuk tidak secara bebas memutuskan (discretionary decision) pemberhentian sang pimpinan

(22)

71

komisi.29 Dalam konteks KPK mekanisme pemberhentian diatur dalam Pasal 32 UU KPK.

Selain masalah pemberhentian yang terbatas dari intervensi Presiden, William F. Funk dan Richad H. Seamon memberikan penjelasan, bahwa sifat independen dari suatu komisi terefleksikan sedikitnya dari tiga hal: pertama, kepemimpinan yang bersifat kolektif, bukan hanya dipimpin oleh seorang pimpinan; kedua, kepemimpinan tidak dikuasai/mayoritas berasal dari partai politik tertentu; dan ketiga, masa jabatan para pemimpin komisi tidak habis secara bersamaan, tetapi bergantian (staggered terms).30 Karakterisitik ini terdapat di dalam UU KPK yang diatur dalam Pasal 21 ayat (5) UU KPK yang menyatakan “pimpinan komisi pemberantasan korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) bekerja secara kolektif” dan Pasal 21 ayat (1) huruf a menyatakan “pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi yang terdiri dari 5 (lima) anggota Komisi Pemberantasan Korupsi.” Selain itu, kepemimpinan KPK tidak dikuasai atau tidak mayoritas berasal dari partia politik tertentu (nonpartisan) dimana salah satu syarat untuk dapat diangkat menjadi pimpinan KPK harus memenuhi ketentuan dalam Pasal 29 huruf h UU KPK, yang menyatakan “tidak menjadi pengurus salah satu partai politik.” Mengenai masa jabatan KPK bersifat definitif, dan habis secara bersamaan. Hal ini

29 Willian F.Fox Jr, Understanding Administrative Law, Lexis Publishing, Printed in the

united States of America, new York, 2000, di dalam Arifin Mochtar, Zainal, Lembaga Negara

Independen: Dinamika Perkembagan dan Urgensi Penataannya Kembali Pasca-Amandemen Konstitusi, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2016, h.56.

30

William F. Funk and Richard H. Seamon, Administrative Law: Examples and

Explanations, New York, Aspen Publishers, Inc, 2001, di dalam Arifin Mochtar, Zainal, Lembaga Negara Independen: Dinamika Perkembagan dan Urgensi Penataannya Kembali

(23)

72

tercermin dalam Pasal 34 UU KPK yang menyatakan : “pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi memegang jabatan selama 4 (empat) tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali hanya untuk sekali masa jabatan.” Dengan demikian, untuk kategori ini KPK hanya memenuhi karakteristik masa jabatan pimpunan definitif, namun tidak menggunakan penggantian secara bertahap (staggered terms).31

Melihat karakteristik yang telah disebutkan tersebut, maka KPK mempertegas kedudukannya sebagai lembaga independen.

C. Kritik Terhadap KPK Sebagai Lembaga Independen di

Tinjau dari Sistem Pemerintahan Presidensial

Pada sub bab ini, akan mengkritik karakteristik KPK tersebut di dalam negara yang menganut sistem pemerintahan presidensial dengan menggunakan teori yang dikenal dengan unitary executive theory.

1. KPK sebagai Eksekutif

Prinsip penting dalam sistem pemerintahan presidensial ialah hanya dikenal satu macam eksekutif yang dipegang oleh Presiden yang mana presiden tidak bertanggungjawab kepada DPR akan tetapi bertanggung jawab kepada rakyat karena dipilih secara langsung. kekuasaan eksekutif yang berada di satu tangan maka akan memperkokoh kedudukan dan kekuasaan presiden. Sebagai pemegang kekuasaan eksekutif tunggal tentunya bahwa Presiden harus menjalankan fungsi

31 Gunawan A. Tauda, Komisi Negara Independen: Eksistensi Independent Agencies

Sebagai Cabang Kekuasaan Baru dalam Sistem Ketatanegaraan, Genta Press, Yogyakarta,

(24)

73

pemerintahannya secara mandiri dan bebas dari kontrol lembaga legislatif.32

Kekuasaan penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia diatur dalam Pasal 4 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 yang berbunyi “Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar”. Pasal ini menjelaskan bahwa presiden ialah bukan saja memegang kekuasaan penyelenggaraan pemerintahan akan tetapi sebagai kepala pemerintahan (chief of executive). Hal ini kemudian memberikan arti bahwa segala urusan pemerintahan dan seluruh lembaga yang menjalankan kekuasaan pemerintahan tunduk dibawah presiden. Demikian maksud dari kekuasaan pemerintahan menurut ketentuan tersebut ialah kekuasaan eksekutif.

Presiden sebagai kepala pemerintahan, memiliki makna bahwa Presiden memiliki kekuasaan untuk melaksanakan undang-undang. Melaksanakan undang-undang memiliki pengertian yang luas, tidak hanya kekuasaan untuk membuat Peraturan Pemerintah dan Peraturan Presiden sebagai sarana untuk melaksanakan undang-undang, namun secara substansial, melaksanakan undang-undang memiliki makna kekuasaan untuk mencapai tujuan negara.33 Meskipun kewajiban untuk mewujudkan tujuan negara merupakan tanggung jawab semua lembaga negara dan juga

32

Jazim Hamidi & Mustafa Lutfi, Hukum Lembaga Kepresidenan Indonesia, Alumni, Bandung, 2010, h.84.

33 Sudriman, Kedudukan Presiden dalam Sistem Pemerintahan Presidensial (Telaah

Terhadap Kedudukan Presiden dengan Lembaga Negara yang lain dalam UUD NRI NRI Tahun 1945), Fakultas Hukum Brawijaya, h.10.

(25)

74

seluruh bangsa Indonesia, namun secara riil kekuasaan eksekutif yang mengemban kewajiban tersebut untuk diwujudkan. Mengemban kewajiban sedemikian besar tersebut, menjadikan kekuasaan eksekutif dibekali alat kelengkapan negara yang paling lengkap mulai dari kabinet, serta pejabat-pejabat pelaksana mulai dari pusat sampai daerah. Presiden dan alat kelengkapannya eksekutif yang dimilikinya tersebut, bertanggung jawab secara penuh melaksanakan undang-undang, administrasi negara dan juga hubungan luar negeri.34

Akan tetapi terdapat hal yang cukup mengganggu pemurnian kedudukan Presiden sebagai kepala pemerintahan. Pada dasarnya dianutnya unitary executive dalam sistem pemerintahan presidensial dimaksudkan Presiden dapat menjadi sentrum kekuasaan. Sebagai sentrum kekuasaan, Presiden tidak dibutuhkan memiliki hubungan kausalitas atau saling tergantung dengan lembaga negara yang lain, kecuali hubungan cheks and balances. Kedudukan Presiden dalam menjalankan kekuasaan eksekutif adalah kuat tidak membutuhkan dan tergantung pada dukungan lembaga legislatif.35

Hubungan Presiden dengan DPR menjadi salah satu penentu dianutnya sistem pemerintahan presidensial. Kedua lembaga ini merepresentasikan hubungan lembaga eksekutif dan lembaga legislatif. Berbeda dengan negara dianutnya plural executive dalam negara dengan sistem pemerintahan parlamenter dimana kekuasaan terbesar ada pada

34 Ibid,h.10-11

(26)

75

parlamen sehingga tingginya tingkat dependensi atau ketergantungan eksekutif kepada dukungan parlamen. Implikasi dari besarnya kekuasaan parlamen ialah legislatif memiliki kekuatan yang sangat besar karena dapat membentuk peraturan untuk mengontrol kekuasaan eksekutif.

Di Indonesia KPK dalam melaksanakan tugas pemberantasan tindak pidana korupsi, jelas bahwa berdasarkan Pasal 3 UU KPK pembentuk UU membentuk KPK sebagai lembaga negara yang berdiri sendiri diluar kekuasaan eksekutif, bahkan dapat disebut sebagai ”super body” dalam sistem peradilan pidana yang sudah eksis sebelumnya yakni kepolisian dan kejaksaan.

Selain itu berkembang penafsiran lain yang menempatkan KPK sebagai lembaga yudikatif karena menajalnkan fungsi yang berpedoman pada Pasal 24 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 yang berbunyi “badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman diatur dalam undang-undang”. Nazaruddin Sjamsuddin, dkk selanjutnya mengatakan bahwa berkaitan dengan tugas dan wewenang KPK adalah melakukan penyidikan penyelidikan dan penuntutan. Dengan demikian KPK merupakan lembaga negara yang dibentuk berdasarkan UU yang fungsinya berkaitan dengan fungsi kekuasaan kehakiman.36 Mahkamah Konstitusi yang menyatakan bahwa KPK termasuk badan-badan lain yang

(27)

76

berkaitan dengan kekuasaan kehakiman tertuang dalam Putusan MK RI No.012-016-019/PUU-IV/2006 yang menyatakan37:

“Sementara itu, lembaga yang menangani perkara tindak pidana korupsi belum berfungsi secara efektif dan efisien dalam memberantas tindak pidana korupsi, sehingga pembentukan lembaga seperti KPK dapat dianggap penting secara konstitusional (constitutionally important) dan termasuk lembaga yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman sebagaimana dimaksud oleh Pasal 24 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945”

Fungsi yudikatif sendiri diartikan sebagai suatu fungsi yang mamiliki kewenangan untuk memeriksa, mengadili dan memutus serta berperan untuk mengawasi jalannya undang-undang. Berdasarkan hal tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa dalam menjalankan fungsinya KPK tidak dapat dimasukkan dalam kekuasaan yudikatif karena KPK tidak memiliki kewenangan seperti halnya peradilan yakni sampai pada memberikan putusan. Sehingga demikian dikatakan bahwa KPK merupakan bagian dari cabang eksekutif karena KPK menjalankan fungsi pemerintahan dibidang penegakan hukum yang berkaitan dengan pemberantasan korupsi yang mana berdasarkan sistem pemerintahan presidensial yang termuat dalam UUD NRI telah memberikan fungsi pemerintahan tersebut kepada Presiden sebagai satu-satunya pemegang kekuasaan pemerintahan.

(28)

77

2. KPK Sebagai Eksekutif Seharusnya Koheren Dengan Pasal 4 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945

Dalam susunan tata negara Indonesia, UUD NRI Tahun 1945 menjadi dasar negara serta sumber dari segala kekuasaan. UUD NRI Tahun 1945 ini yang kemudian menetapkan dan membatasi kekuasaan, yang menjaga dan memelihara undang-undang, menetapkan kewajiban dan tanggungjawab tertentu. Berdasarkan kepadanya, kedaulatan tertinggi berada ditangan rakyat yang dilaksanakan menurut UUD NRI Tahun 1945.

Setelah mengetahui dengan jelas tugas dan fungsi KPK yang sama dengan fungsi pemerintahan yang disusun dalam UUD NRI Tahun 1945 maka bedasarkan Pasal 4 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 memberikan kekuasaan eksekutif kepada presiden sebagai kepala dari cabang kekuasaan pemerintahan (chief of executive). Presiden kemudian mengepalai suatu badan eksekutif yang besar yang melingkupi departemen eksekutif yang masing-masing dibawah pimpinan seorang anggota kabinet. Dengan perantaraan badan eksekutif tersebut, presiden melaksanakan peraturan-peraturan dalam UUD NRI Tahun 1945 dan UU yang dibentuk oleh Kongres, serta menyelenggarakan pekerjaan pemerintahan guna kepentingan seluruh rakyat. Dengan kekusaan yang didapat langsung dari UUD NRI Tahun 1945 maka segala jabatan yang berada dibawah eksekutif lainnya bertanggungjawab kepada presiden.

Sistem pemerintahan Indonesia dibawah UUD NRI Tahun 1945, sebenarnya dimaksudkan sebagai sistem pemerintahan presidensial. Baik dalam penjelasan umum UUD NRI Tahun 1945 maupun dalam pengertian

(29)

78

umum yang berkembang selama ini, indonesia memang menganut sistem pemerintahan presidensial. Akan tetapi, dalam prakteknya terjadi Indonesia tidak benar-benar menganut sistem presidensial. Hal ini dapat dilihat dengan kehadiran KPK di tingakat UU yang kemudian diidealkan sebagai lembaga independen.

Kehadiran lembaga independen pada tingkat UU memiliki arti bahwa UU tersebut telah merubah ketentuan dalam UUD NRI. Berdasarkan hirarki peraturan perundang-undangan jelas bahwa konstitusi atau dalam hal ini ialah UUD NRI merupakan dasar hukum yang dijadikan pegangan dalam penyelenggaraan suatu negara. Sehingga berdasarkan asas hukum bahwa peraturan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi. Demikian maka, UU tidak boleh secara mendasar merubah ketentuan dalam UUD NRI, apalagi sampai pada membatasi kekuasaan Presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan sesuai dengan sistem pemerintahan presidensial.

Kehadirannya selanjutnya tentu telah membatasi kekuasan presiden dalam bidang pemerintahan yang telah diamanatkan dalam Pasal 4 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945. Pembatasan kekuasaan presiden tersebut dapat dilihat dari 2 hal yakni pertama, mengenai pengangkatan dan pemberhentian pejabat eksekutif tidak dapat dilakukan oleh Presiden karena telah dibatasi dalam undang-undang KPK yang dibentuk oleh legislatif, sehingga presiden tidak dapat bertanggungjawab kepada rakyat atas perbuatan dalam konteks ketatanegaraan yang dilakukan oleh KPK, dan yang kedua mengenai pengurangan fungsi presiden dalam

(30)

79

menjalankan pemerintahan dibidang penegakan hukum dalam hal ini mengenai pemberantasan tindak pidana korupsi.

a. Pembatasan kekuasaan Presiden dalam Hal Pengangkatan dan Pemberhentian Pejabat Eksekutif

Sistem pemerintahan merupakan sistem yang menjelaskan hubungan/relasi antara pemegang kekuasaan eksekutif dengan pemegang kekuasaan legislatif. Dalam kaitan ini, sistem pemerintahan negara berkaitan dengan pengertian regeringsdaad, yaitu penyelenggaraan pemerintahan oleh eksekutif dalam hubungannya dengan fungsi legislatif. Cara pandang ini sejalan dengan doktrin dichotomy yang menempatkan lembaga legislatif sebagai policy making (taakstelling) sedangkan eksekutif sebagai policy executing (taak verwe-zenlijking). Berdasarkan penjelasan paling mendasar itu, secara alamiah, sebagaimana ditulis Patrick Ziegenhein dalam tulisannya “The Indonesian Legislature and Its Impact on Democratic Consolidation” kapasitas untuk mengontrol potensi penyimpangan kekuasaan eksekutif adalah tugas mendasar yang harus dimiliki perlemen. Apabila diletakkan dalam desain bernegara Indonesia yang diatur dalam UUD NRI Tahun 1945.38

Dalam sistem pemerintahan presidensial, pola hubungan antara lembaga eksekutif dan legislatif ialah kedudukan mereka yang sejajar dimana lembaga eksekutif merupakan lembaga yang menjalankan pemerintahan dalam konteks indonesia ialah presiden melaksanakan ketentuan dalam UUD NRI Tahun 1945 sedangkan kekuasaan legislatif

(31)

80

ialah cabang kekuasaan yang memiliki kewenangan membentuk peraturan perundang-undangan dan melakukan kontrol terhadap kekuasaan eksekutif dalam hal menjalankan perintah UUD NRI Tahun 1945. Selain berbicara mengenai pola hubungan lembaga eksekutif dan legislatif, dalam sistem pemerintahan presidensial selain berbicara mengenai kedudukan presiden sebagai pemegang tertinggi kekuasaan pemerintahan (chief of executive) juga berbicara menggenai kedudukannya sebagai kepala negara. Disinilah kemudian kedudukan presiden bersifat unitary atau kekuasaannya bersifat tunggal dan tidak dibagi.

Seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa berdasarkan teori unitary executive presiden memiliki tugas untuk memastikan bahwa seluruh peraturan dieksekusi sebagaimana mestinya demikian maka dibutuhkannnya pembantu-pembantu presiden untuk menjalankan seluruh peraturan tersebut. Di dalam sistem pemerintahan presidensial, kedudukan, susunan, dan keberlangsungan menteri dan pejabat eksekutif murni berada di tangan seorang Presiden. Presiden memiliki hak prerogratif mengangkat dan memberhentikan menteri dan pejabat eksekutif sesuai dengan kebutuhannya dalam menjalankan roda pemerintahan dan guna mewujudkan kepentingan rakyat secara umum. Keseluruhan negara yang menganut sistem pemerintahan presidensial menempatkan kekuasaan mengangkat menteri dan pejabat eksekutif lainnya di tangan Presiden terlepas ada tidaknya ketentuan persetujuan kongres.

(32)

81

Berdasarkan teori executive bukan saja berbicara mengenai kekuasaan eksekutif sebagai boss bagi seluruh pegawai pemerintah di cabang eksekutif tetapi kedudukannya yang diplih oleh rakyat menjadikan Presiden sebagai national figure yang kuat sehingga presiden sebagai pemegang kekuasaan eksekutif tunggal tidak bertanggungjawab kepada parlamen tetapi langsung bertanggungjawab kepada rakyat yang memilihnya.39 Dalam konteks Indonesia berdasarkan UUD NRI Tahun 1945, presiden dalam menjalankan kekuasaan pemerintahan mendapat mandat langsung dari rakyat sehingga pada akhirnya presiden harus bertanggungjawab kepada rakyat yang sumber legitimasinya di dapat dari UUD NRI Tahun 1945.

Dengan demikian maka seluruh kegiatan pemerintahan yang dilakukan oleh para pejabat eksekutif akan dipertanggungjawabkan oleh presiden. Akan tetapi, dalam konteks KPK yang memiliki kedudukan sebagai lembaga independen tersebut kemudian membuatnya berbeda dengan jabatan publik lain yang melaksanakan tugas yang sama dengannya yakni kejaksaan dan kepolisian, dimana boss dari ke dua lembaga tersebut ialah Presiden, sedangkan implikasi dari Presiden bukan boss dari KPK ialah Presiden tidak dapat bertanggungjawab kepada rakyat dengan argument bahwa KPK bukanlah lembaga eksekutif.

Selain kewenangan untuk mengangkat dan memberhentikan pejabat eksekutif, konsep teori unitary executive menjelaskan bahwa

39

Denny Indrayana, Bahan Ajar Hukum Tata Lembaga Negara : Teori Lembaga Kepresidenan, Fakultas Hukum UGM, h.17.

(33)

82

presiden memiliki kewenangan untuk mengendalikan pejabat eksekutif sebagai hak prerogatifnya tanpa keterlibatan dari kongres. Hal ini di karenakan agar tugas pemerintahan dapat di jalankan secara baik dan diimplementasikan secara benar. Akan tetapi di indonesia DPR terlibat dalam menyusun lembaga independen dengan dibentuknya KPK sebagaimana diketahui bahwa kehadirannya dibentuk berdasarkan Pasal 43 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang selanjutnya dibentuk Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi yang dibentuk oleh DPR.

Konsekuensi dari keterlibatan DPR membentuk lembaga yang menjalankan fungsi pemerintahan dalam bidang penegakan hukum tersebut tentunya sangat jelas mengurangi “energi” eksekutif karena kehadiran lembaga independen dapat menimbulkan penolakan terhadap kebijakan presiden untuk mengontrol pemerintahan. Pengurangan tersebut terlihat dengan jelas bahwa kemudian presiden tidak dapat lagi menggunakan hak prerogatifnya untuk mengangkat dan memberhentikan bahkan untuk melakukan pengawasan terhadap pejabat eksekutif karena kewenangannya tersebut telah dibatasi oleh kongres didalam Undang-Undang. .

Sri Seomantri menjelaskan bahwa dalam sistem pemerintahan presidensial, presidenlah yang mengetahui lembaga macam apa yang diperlukan untuk menangani masalah-masalah tertentu dalam mewujudkan

(34)

83

tujuan nasional (negara).40 Dengan pendapat tersebut kemudian dapat disimpulkan bahwa seyogianya bukanlah kongres yang harus membentuk lembaga negara yang dibutuhkan untuk menjalankan fungsi pemerintahan, akan tetapi hal tersebut merupakan kewenangan dari presiden.

Konstitusi telah membatasi kekuasaan masing-masing lembaga negara yang mana dalam menjalankan fungsi pemerintahan Presiden dibatasi dalam Pasal 4 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945, sedangkan kongres atau DPR telah dibatasi hanya dalam hal pembuatan peraturan perundang-undangan sebagaimana diatur dalam Pasal 20 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 yang berbunyi: “Dewan Perwakilan Rayat memegang kekuasaan membentuk undang-undang.” Demikian maka DPR tidak memiliki kewenangan untuk membatasi kekuasaan presiden karena kekuasaan presiden dalam menjalankan kewenangannya telah dibatasi oleh konstitusi. Pada prinsipnya pembatasan konstitusional menitikberatkan pada pengaturan konstitusional secara benar bukan semata-mata untuk meminimalisir fungsi lembaga negara, khususnya presiden yang bisa sampai pada titik yang dapat melemahkan kekuasaannya atau mengurangi hak dan kewenangannya secara berlebihan.41

Glen O.Robinson mantan Komisioner Komisi Komunikasi Federal, mengamati bahwa pengaruh kepresidenan sebenarnya tidak pernah terbawa sampai pada ajudikasi, baik untuk lembaga independen maupun eksekutif, dan apabila itu terjadi, pengaruhnya akan tidak semestinya

40

Saldi Isra, Penataan Lembaga Perwakilan Rakyat Sistem Trikameral di Tengah

Supremasi Dewan Perwakilan Rakyat, Jurnal Konstitusi, Vol.1 No 1, Juli 2014,h.116.

41 Jhon Pieris, Pembatasan Konstitusional Kekuasaan Preisden Republik Indonesia,

(35)

84

sebagai proses hukum. Seperti untuk pembuatan peraturan dan penegakan hukum, Presiden tidak memiliki wewenang untuk mempengaruhi lembaga eksekutif atau independen untuk bertindak bertentangan dengan mandat hukum yang diterimanya.42

b. Pembatasan kekuasaan Presiden dalam Menjalankan Pemerintahan di Bidang Penegakan Hukum

Apabila dilihat dari tugasnya KPK jelas menjalankan fungsi pemerintahan dalam bidang penegakan hukum sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 6 huruf c UU KPK: melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi. Tugas KPK tersebut merupakan tugas pemerintahan yang dijalankan oleh kepolisian yang mengacu pada Pasal 14 ayat (7) UU No.2 Tahun 2002 tentang Tugas dan Wewenang Kepolisian bahwa “Melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai dengan hukum acara pidana dan peraturan perundang-undangan lainnya” dan Kejaksaan sesuai dengan ketentuan Pasal 30 UU No.16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia bahwa kejaksaan berwenang untuk melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undang-undang dan penuntutan.

Dalam putusan MK RI Nomor 012-016-019/PUU-IV/2006 keterangan tertulis dari ahli Dr.Mudzakkir, S.H, M.H mengatakan bahwa :

Ditinjau dari perspektif sistem peradilan pidana, pengaturan kekhususan Iembaga KPK ini membingungkan, karena

42

Robinson, Independent Agencies: Form and Substance in Executive Prerogative 1988 DUKE L.J. 238, h.243-46 di dalam Geoffrey P. Miller, Indtroduce : The Debate Over Independent

Agencies in Light of Empirical Edivence, Symposium : The Indepedence of Independent Agencies,

(36)

85

KPK melaksanakan tugas yang menjadi tanggung jawab eksekutif di bidang pencegahan kejahatan dan penegakan hukum pidana, tetapi lembaga KPK tidak berada di bawah koordinasi dan bertanggung jawab kepada presiden. Independensi atau kemandirian lembaga apapun, seperti lembaga KPK, yang melaksanan tugas-tugas eksekutif semestinya harus berada di bawah koordinasi dan tanggung jawab Presiden. Lembaga di bawah Presiden dapat diberi kewenangan-kewenangan yang khusus atau istimewa termasuk melakukan koordinasi dan supervisi kepada polisi dan jaksa dalam pencegahan dan penegakan hukum pidana korupsi (tindak pidana korupsi)… secara sistematik, struktural dan fungsional akan dapat berjalan efektif apabila lembaga KPK berada dalam satu atap kekuasaan eksekutif, yakni di bawah Presiden tetapi dalam melaksanakan tugasnya bersifat independen. Sebaliknya, lembaga KPK yang berada di luar kekuasaan eksekutif secara struktural dan fungsional akan sulit untuk melaksanakan tugas koordinasi, supervisi dan tugas-tugas lainnya yang berkaitan dengan wewenang eksekutif yang secara struktural di bawah tanggung jawab Presiden. Prinsip tersebut juga berlaku terhadap kekuasaan yang lain yang mandiri yakni kekuasaan judikatif tidak dapat memaksa kepada eksekutif, demikian juga sebaliknya, dan judikatif dalam hubungannya dengan peradilan juga tidak dapat melakukan kordinasi dan supervisi kepada eksekutif. Masing-masing, berdiri sendiri di bawah kekuasaan yang berbeda. Lantas lembaga KPK posisinya harus berada dimana? Menurut pandangan ahli, berdasarkan sistem penyelenggaraan peradilan pidana, semestinya KPK harus di bawah kekuasaan eksekutif. Meskipun KPK di bawah kekuasaan eksekutif, KPK tetap dijamin kemandirian atau otonominya sebagai lembaga yang mandiri dan otonom yang memiliki fungsi dan wewenang khusus/istimewa di bidang pemberantasan tindak pidana korupsi. Jika KPK tidak berada di bawah kekuasaan eksekutif, maka KPK tidak berwenang untuk melakukan koordinasi dan supervisi terhadap organ eksekutif yang melakukan tugas dibidang pencegahan dan penegakan hukum tindak pidana korupsi. Sebagai lembaga penuntut umum yang terpisah dengan kekuasaan eksekutif, KPK bertanggung jawab untuk melaksanakan eksekusi sendiri, berarti KPK harus memiliki lembaga penjara atau lembaga pemasyarakatan sendiri untuk melaksanakan pidana penjara.

(37)

86

Kehadirannya dengan jelas telah mengurangi kekuasaan presiden dalam menjalankan pemerintahan di bidang penegakan hukum khususnya terkait dengan pemberantasan tindak pidana korupsi.

Ketidakjelasan kedudukan KPK selama ini yang mana masih adanya pembatasan kekuasaan presiden terlihat jelas dari beberapa putusan MK RI sebelumnya yakni: apabila sebelumnya melalui Putusan MK RI Nomor 012-016-019/PUU-IV/2006 tertanggal 19 Desember 2006 yang menyatakan pembentukan KPK dianggap penting secara konstitusional dan termasuk lembaga yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman; Putusan MK RI Nomor 5/PUU-IX/2011 yang menyatakan KPK lembaga independen yang diberi tugas dan wewenang khusus antara lain melaksanakan sebagain fungsi kekuasaan kehakiman untuk melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan supervisi atas penanganan kasus korupsi yang dilakukan oleh institusi lain; dan Putusan MK RI Nomor 49/PUU-XI/2013 memutuskan pembentukan lembaga yang terkait dengan fungsi kekuasaan kehakiman, termasuk KPK punya landasan konstitusional dalam pasal 24 ayat 3 UUD NRI TAHUN 1945.

Selanjutnya dalam putusan terbarunya MK RI memperkuat Kedudukan KPK sebagai lembaga negara dibawah ranah eksekutif yakni melalui Putusan MK RI 36/PUU-XV/2017 mengenai Pengujian Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah terhadap Undang-Undang Dasar Negara

(38)

87

Republik Indonesia Tahun 1945. Dalam putusan ini MK RI RI berpendapat bahwa: “KPK merupakan lembaga yang berada di ranah eksekutif yang melaksanakan tugas penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan dalam perkara tindak pidana korupsi yang sejatinya merupakan kewenangan Kepolisian dan/atau Kejaksaan…”

Melihat hal tersebut maka tidak saja sampai pada putusan yang telah dikeluarkan oleh MK RI mengenai kedudukan KPK tersebut, menurut penulis bahwa selanjutnya perlu diikuti dengan pengaturan kembali atau re-organisasi KPK agar kehadirannya konstitusional dalam ketatanegaraan Indonesia terutama terkait dengan sistem pemerintahan yang dianut oleh Indonesia.

Referensi

Dokumen terkait

Pada kondisi lingkungan kerja yang telah diamati melalui observasi dan wawancara kepada beberapa karyawan maka peneliti lebih lanjut tertarik melakukan penelitian

Backpropagation merupakan salah satu jenis jaringan saraf tiruan yang dapat digunakan sebagai komponen pengendali parameter-parameternya yang tidak diketahui atau

Kajian pengajaran ini adalah usaha guru-guru dari sekolah kami dan bertujuan untuk meluaskan lagi proses pembelajaran dan pengajaran dalam memperlengkapkan para pelajar dengan

Hal ini sejalan dengan penelitian yang pernah dilakukan oleh Rahmadani dkk (2017), dan Arviantama (2017) yang menyatakan bahwa kepuasan tidak berpengaruh terhadap

Oleh sebab itu, melanjutkan pemfokusan pada pemahaman akan kematangan alignment bagi organisasi dan mengambil aksi yang perlu untuk meningkatkan keselarasan TI dan bisnis adalah

Asas dan tujuan yang dianut oleh Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2007 tentang Energi ini salah satunya adalah terjaganya kelestarian fungsi lingkungan hidup yang dalam

kemungkinan lahimya Khilafah dengan teror yang berkepanjangan.. Tapi dapat dipastikan, mulai sekarang hingga 2020 nanti, semua struktur pemerintahan Amerika akan sibuk

Penelitian deskriptif ini bertujuan untuk memperoleh gambaran yang mendalam mengenai konstruksi yang dilakukan media dimana peneliti akan menggambarkan bingkai