• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. 1 J. Baylis & S. Smith & P. Owens, The Globalization of World Politics: An Introduction to International Relations,

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. 1 J. Baylis & S. Smith & P. Owens, The Globalization of World Politics: An Introduction to International Relations,"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

1

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Keamanan suatu negara menjadi salah satu isu penting dalam Hubungan Internasional. Sejalan dengan berkembangnya globalisasi, batas antar negara kini bukan merupakan hambatan dalam interaksi antar pelaku dalam hubungan internasional. Aktor-aktor yang terlibat dalam interaksi antar wilayah negara tersebut tidak lagi terbatas pada institusi negara saja.1 Pola interaksi yang semakin sering, perputaran barang dan jasa yang semakin besar, diiringi dengan perkembangan teknologi komunikasi dan juga sarana transportasi memunculkan permasalahan kejahatan lintas negara sebagai salah satu isu yang cukup penting untuk diperhitungkan. Masalah perdagangan manusia, peredaran obat-obatan terlarang, perdagangan senjata ilegal, hingga kejahatan pencucian uang ke luar negeri kini menjadi masalah penting terkait keamanan suatu negara yang membutuhkan perhatian khusus dan kerjasama internasional untuk menghadapinya. Berkenaan dengan kejahatan lintas negara, salah satu aktor utama yang penting dan menarik untuk diteliti adalah Organisasi Kriminal Lintas Negara.

Salah satu Organisasi Kriminal Lintas Negara yang cukup berpengaruh di dunia adalah Yakuza, atau dikenal juga sebagai Boryokudan (Organisasi Kriminal menurut istilah Organized Crime Countermeasures Law di Jepang tahun 1992). Kelompok-kelompok Boryokudan ini memiliki sejarah yang panjang dalam sistem sosial dan politik Jepang, jauh sejak Perang Dunia II dan terus berkembang hingga saat ini memiliki aktivitas bisnis mulai dari Asia Timur, Asia Tenggara, Rusia, Asia Tengah, hingga ke Amerika Serikat. FBI mencatat bahwa Yakuza, sebagai organisasi kriminal lintas negara bertanggung jawab atas aktivitas perdagangan manusia, pemerasan, pencucian uang, perdagangan narkoba, prostitusi, praktek perjudian ilegal, dan juga penipuan finansial di pelbagai negara.2 Pada tanggal 24 Juli 2011, Presiden Obama menyatakan Yakuza sebagai salah satu dari empat organisasi kriminal lintas negara yang menjadi ancaman paling serius dan membahayakan Amerika Serikat serta

1

J. Baylis & S. Smith & P. Owens, The Globalization of World Politics: An Introduction to International Relations, Oxford University Press, New York, 2011, pp. 7-11.

2 ‘Asian Criminal Enterprises’, Federal Bureau of Investigation,

(2)

2 negara-negara lain di dunia, sejajar dengan The Brothers’ Circle, Camorra, dan Los Zetas.3 Hal ini membuktikan bahwa keberadaan Yakuza tidak bisa dipandang sebelah mata, dan tentunya mampu menimbulkan dampak signifikan dalam hubungan internasional terkait isu keamanan dan memberikan pengaruh terhadap kebijakan suatu negara.

Saat ini terdapat dua puluh satu kelompok Yakuza yang didaftar oleh National Police Agency (NPA)4, termasuk tiga kelompok utama: Yamaguchi-gumi, Inagawa-kai, dan Sumiyoshi-kai dengan total anggota mencapai kurang lebih 68.000 dan tersebar di seluruh Jepang. Berdasarkan data-data NPA, kelompok-kelompok ini juga tercatat sering terlibat dalam konfrontasi bersenjata, baik dalam perebutan wilayah maupun pergolakan internal.5 Sebagai organisasi kriminal, Yakuza memiliki bisnis yang cukup kuat di bidang properti, konstruksi, dan juga sektor finansial di Jepang. Kelompok-kelompok ini juga terbukti memiliki hubungan erat dengan para politisi Jepang dari masa ke masa, terutama dengan Liberal Democratic Party (LDP). Beberapa contoh politisi yang berhubungan erat dengan Yakuza diantaranya adalah Mantan Menteri Hukum Keishu Tanaka (Democratic Party of Japan / DPJ), Mantan Perdana Menteri Junichiro Koizumi (Liberal Democratic Party), Mantan Perdana Menteri Yoshihiko Noda, dan masih banyak lagi.6

Sebagai respon atas eksistensi Yakuza tersebut, pada tahun 1992 Pemerintah Jepang mencetuskan sebuah kebijakan Organized Crime Countermeasures Law (Anti Boryokudan Act) atau juga dikenal sebagai Botaiho. Pada awalnya kebijakan ini dikeluarkan untuk memberikan definisi legal bagi para penegak hukum untuk menekan dan mengendalikan aktivitas ilegal dari kelompok-kelompok Boryokudan di Jepang. Menurut Peter B.E. Hill undang-undang ini merupakan landasan penting bagi para penegak hukum dan selanjutnya menjadi acuan utama untuk membatasi pergerakan Yakuza di berbagai sektor, seperti dalam hal kegiatan kriminal, aktivitas ekonomi, keterlibatan organisasi, kepemilikan, dan kepentingan legal formal lainnya.7 Dengan demikian maka diharapkan agar

3

Office of the Press Secretary, ‘Executive Order 13581: Blocking Property of Transnational Criminal Organizations’, White House, 24 Juli 2011,

<http://www.whitehouse.gov/the-press-office/2011/07/25/executive-order-blocking-property-transnational-criminal-organizations>, diakses pada tanggal 13 November 2013.

4

National Police Agency (NPA) adalah badan kepolisian nasional Jepang.

5 Japan National Police Agency, Police of Japan 2012, Police Policy Research Center, Tokyo, 2013, p. 46.

6

J. Adelstein, ‘Japan’s Justice Minister to Resign Over Yakuza Ties’, The Daily Beast, 18 Oktober 2012, <http://www.thedailybeast.com/articles/2012/10/18/japan-s-justice-minister-to-resign-over-yakuza-ties.html>, diakses pada tanggal 26 November 2013.

7 PBE. Hill, The Japanese Mafia: Yakuza, Law, and the State, Oxford University Press, New York, 2003, pp.

(3)

3 kelompok Yakuza tersebut dapat dilemahkan dan kemudian diberantas sepenuhnya dari struktur sosial dan politik Jepang.

Memang, sejak diberlakukannya kebijakan ini, jumlah personil Yakuza di Jepang mampu ditekan, dari yang semula mencapai angka 110.000 pada tahun 1989 hingga angka 86.000 pada awal implementasi kebijakan ini, tepatnya di akhir tahun 1992.8 Namun, selama lebih dari 15 tahun sejak dijalankan, kebijakan ini masih belum mampu memberantas struktur organisasi secara signifikan, terbukti dengan jumlah personil Yakuza yang tetap stabil di kisaran angka 85.000 sejak tahun 2001 hingga 2007.9 Organized Crime Countermeasures Law juga dianggap gagal dalam memberantas aktivitas ekonomi dan politik dari kelompok Yakuza. Kebijakan ini dianggap gagal dari segi kualitatif, karena kantor-kantor markas Yakuza hingga kini masih berdiri tegak di pusat kota dengan fasilitas mewah yang dimiliki oleh anggotanya, berikut dengan kendali bisnis hiburan yang kuat dan pengaruh politik yang signifikan. Ketika para Yakuza tidak sedang menarik uang keamanan, memeras para pengusaha, menjalankan bisnis prostitusi, memperdagangkan manusia, atau menjalankan money laundering, Yakuza justru menikmati permainan finansial seperti jual beli saham, perdagangan properti, dan bahkan mengakuisisi perusahaan tanpa ada hambatan berarti dari peraturan yang ada.10

Gagalnya implementasi Organized Crime Countermeasures Law di Jepang pada periode 1992-2011 ini membuat dinamika pola aktivitas Yakuza dan relevansi peraturan tersebut terhadap fenomena sosial ini menjadi menarik untuk diteliti.

B. Rumusan Masalah

Mengapa implementasi Organized Crime Countermeasure Law di Jepang pada tahun 1992-2011 belum mampu membawa dampak yang signifikan terhadap pemberantasan aktivitas ilegal Yakuza di Jepang?

8 Police Policy Research Center, National Police Academy, Crimes in Japan in 2007, NPA, Tokyo, 2007, p. 24. 9

Ibid

10 W. Pesek, “Japan’s Losing Battle Against ’Goldman Sachs With Guns’”, The Bloomberg, 22 November 2013,

<http://www.bloomberg.com/news/2013-11-21/japan-s-losing-battle-against-goldman-sachs-with-guns-.html>, diakses pada tanggal 26 November 2013.

(4)

4

C. Landasan Konseptual

1. Enterprise Theory

Abadinsky mendefinisikan Organized Crime sebagai sebuah nonideological enterprise yang melibatkan sejumlah orang dalam interaksi sosial yang dekat, terorganisir dalam basis hirarkis sekurangnya tiga kepangkatan, bertujuan untuk mengamankan keuntungan dan kekuasaan yang bergerak dalam aktivitas legal maupun ilegal. Posisi-posisi dalam hirarki dan posisi yang melibatkan spesialisasi fungsional bisa diberikan atas dasar kekerabatan maupun pertemanan, atau secara rasional diberikan berdasarkan keterampilan. Posisi tersebut tidak bergantung pada individu yang menjabat pada saat tertentu. Sifatnya yang permanen diasumsikan oleh anggota pejuang untuk menjaga enterprise tersebut tetap integral dan aktif dalam mengejar tujuannya.11 Organized crime menghindari kompetisi dan berjuang untuk memonopoli industri dalam basis teritorial. Mereka berani menggunakan kekerasan maupun penyuapan untuk mencapai tujuannya atau untuk mempertahankan disiplin. Keanggotaannya terbatas, meskipun non-anggota dapat terlibat dalam basis kontingensi. Terdapat peraturan yang eksplisit dalam struktur organized crime, baik secara lisan maupun tertulis, terutama tentang kerahasiaan, yang ditegakkan dengan sanksi yang mencakup pembunuhan.12

Definisi diatas dikenal juga sebagai Enterprise Theory yang dikemukakan oleh Smith pada tahun 1980. Menurut Smith, organized crime merupakan sebuah perusahaan yang memiliki tujuan ekonomi sebagai inti utama keberadaannya. Organisasi ini bisa ada akibat prinsip supply and demand, dimana permintaan pasar yang tidak terpenuhi akibat regulasi hukum akan memunculkan aktivitas ilegal untuk menyediakan komoditas yang dibutuhkan. Misalnya, karena hukum melarang peredaran narkoba dan senjata ilegal, Organized Crime melakukan aktivitas bisnis yang menguntungkan dengan memenuhi kebutuhan pasar akan narkoba dan senjata ilegal. Fungsi mencari keuntungan ini, selain mampu menghasilkan kerjasama, juga mampu memunculkan persaingan antar kelompok yang ada. Karena sifat kerjanya yang seperti perusahaan, namun dengan kemampuan adaptasi yang sangat fleksibel, organisasi kriminal akan selalu bertahan dan ada, selama aktivitas ekonomi dan pemasukan keuntungannya tetap berlaku. Pada Transnational Organized Crime, organisasi kejahatan

11 H. Abadinsky, Organized Crime, 9th edition, Wadsworth Cengage Learning, California, 2010, pp. 2-16. 12

(5)

5 tersebut tidak berbeda dengan MNC yang saling bersaing, atau bekerjasama dan berbisnis antar satu dengan yang lain.13

Berdasarkan kedua definisi diatas, Yakuza dapat digolongkan sebagai Enterprise-structured Organized Crime, karena pada awalnya muncul akibat prinsip supply and demand untuk memenuhi permintaan pasar yang ilegal seperti perjudian, narkoba, senjata api, prostitusi, serta aktivitas koersif untuk mencapai suatu tujuan seperti blackmail dan penagihan hutang. Struktur organisasi Yakuza sangat fleksibel dan berkelanjutan, dimana beberapa kelompok seperti Yamaguchi-gumi memiliki suksesi kepemimpinan yang terstruktur hingga kini mencapai generasi ke enam. Organisasi ini berfungsi layaknya kelompok perusahaan yang terdiri dari banyak anak perusahaan dan asosiasi usaha, terbukti dengan adanya front company14 dan Kigyoshatei15.16 Seluruh kelompok Yakuza berfungsi untuk mencari keuntungan sebesar-besarnya, baik dengan cara legal maupun ilegal, sehingga aktivitas ekonomi menjadi inti utama keberadaannya, dan sangat menentukan keberlangsungan organisasi ini.

2. Diffusion of Power: State-Mafia Symbiosis

Susan Strange, dalam bukunya berjudul The Retreat of the State: The Diffusion of Power in the World Economy menjelaskan bahwa saat ini kekuatan politik yang dimiliki oleh negara akan semakin berkurang akibat kekuatan pasar perdagangan internasional, dan memunculkan aktor-aktor non negara sebagai kekuatan politik yang semakin signifikan. Jika sebelumnya negara memegang kendali atas pasar dengan regulasinya, saat ini justru pasar yang akan lebih mampu menguasai negara dengan prinsip supply and demand. Penurunan otoritas negara tampak pada bertumbuhnya difusi otoritas dari negara menuju ke institusi, asosiasi, dan juga badan-badan lokal maupun regional. Hal ini muncul di berbagai belahan dunia, termasuk Jepang yang memiliki struktur pemerintahan yang kuat dan perekonomian yang berhasil. Sama seperti negara-negara lain yang mengalami diffusion of power, fenomena perebutan

13 MD. Lyman & GW. Potter, Organized Crime, 4th edition, Prentice Hall, New Jersey, 2007, pp. 70-71. 14

Front Company adalah sebuah perusahaan swasta, baik yang legal maupun yang diadakan sesuai dengan kebutuhan agar Yakuza dapat melakukan transaksi secara legal dan aman, baik dengan Politisi, Birokrat, Perusahaan lain, maupun Orgasasi Kriminal lainnya.

15 Kigyoshatei adalah rekan kerja Yakuza (corporate brothers) yang memiliki pekerjaan serta posisi legal,

namun berkerjasama erat dengan Yakuza.

16 J. Adelstein, ‘Yakuza Group Structure’, Japan Subculture Research Center,

<http://www.japansubculture.com/resources/yakuza-group-structure/>, diakses pada tanggal 27 November 2013.

(6)

6 kendali atas institusi dan agen pemerintahan, persaingan antar faksi politik, serta perebutan kekuasaan antar cabang birokrasi negara juga pasti terjadi dan bertumbuh di Jepang.17

Dalam skripsi ini, Organized Crimes, termasuk Mafia dan Yakuza merupakan bukti empiris dari adanya diffusion of power. Organized Crimes merupakan sebuah contoh adanya entitas yang memegang peranan sebagai kekuatan counter-government di suatu negara, karena menjalankan aktivitas kriminal yang dianggap ilegal oleh negara. Baik negara maupun Yakuza sama-sama beroperasi sebagai economic enterprise dan merupakan economic parasite karena menggalang pemasukan dana dari masyarakat. Jika negara mendapatkan penghasilan dengan memberlakukan pajak di berbagai sektor kehidupan masyarakat, Yakuza juga mendapatkan penghasilan dengan melakukan ekstorsi dan meminta uang perlindungan dari masyarakat. Satu-satunya perbedaan antara keduanya adalah pemerintah memiliki peraturan perpajakan yang telah dinyatakan di depan dalam bentuk hukum, sementara Yakuza tidak. Pada masa kini, baik Yakuza maupun Negara berada dibawah tekanan globalisasi dan harus bersaing untuk mendapatkan posisi di pasar dunia dan lebih menekankan prinsip-prinsip rasionalitas ekonomi dalam setiap kebijakannya.18

Karena sifat keduanya yang serupa, baik negara maupun Yakuza akan saling berinteraksi sebagai entitas yang sepadan. Keduanya bisa bersimbiosis secara saling menguntungkan, atau justru saling serang satu sama lain. Namun perlu diingat bahwa faktor kunci yang menentukan pertumbuhan kelompok-kelompok Organized Crimes seperti Yakuza adalah adanya kebijakan yang bersifat represif dari Pemerintah. Semakin pemerintah melarang peredaran barang-barang terlarang maupun layanan-layanan ilegal lainnya, maka keuntungan yang diterima oleh Organized Crimes akan semakin besar. Hal ini akan membawa perkembangan pada Organized Crimes untuk menjadi semakin terorganisir dan semakin besar. Karena kemampuan Organized Crimes untuk menjadi semakin kuat dibawah tekanan tersebut, Commisione menjelaskan bahwa hubungan antara Organized Crimes dengan institusi negara muncul dalam bentuk hubungan antara dua kedaulatan. Tidak ada pihak yang akan menyerang pihak lainnya, jika masing-masing pihak tetap berada dan bertindak dalam batasnya. Sebuah penyerangan yang dilakukan oleh negara hanya akan dilakukan sebagai

17

S. Strange, The Retreat of the State: The Diffusion of Power in the World Economy, Cambridge University Press, New York, 1996, pp. 4-7

18 S. Strange, The Retreat of the State: The Diffusion of Power in the World Economy, Cambridge University

(7)

7 espon atas serangan yang dilakukan oleh Cosa Nostra, misalnya. Dan setelah itu, keduanya akan kembali bersikap sebagai tetangga yang baik kembali.19

3. Japanese Iron Triangle

Model Japanese Iron Triangle pertama kali dikemukakan oleh Chalmers Johnson untuk menjelaskan kesuksesan Jepang dalam membangkitkan perekonomiannya Pasca Perang Dunia II. Model ini menunjukkan check and balances antara Politisi, Bisnis Besar, dan juga Birokrat. Masing-masing pihak saling mempengaruhi dan model semacam ini juga dapat ditemukan hampir di semua negara maju yang menganut demokrasi parlementer. Namun, yang membedakan adalah peran Pengusaha dan praktek khas budaya Jepang, seperti misalnya Amakudari dan Keiretsu.20 Kelompok Boryokudan mampu mengambil keuntungan dari difussion of power dengan berperan di sektor Bisnis yang mempengaruhi Pemerintah dan Birokrat. Bahkan setelah hukum anti Boryokudan diberlakukan sepenuhnya pada tahun 1992, mereka masih terlibat dengan berbagai cara. Sejak tahun 1950-an, Yakuza telah bekerja sama

19

S. Strange, The Retreat of the State: The Diffusion of Power in the World Economy, Cambridge University Press, New York, 1996, pp. 114-115

20 C. Johnson, MITI and the Japanese Miracle: The Growth of Industrial Policy 1925-1975, Stanford University

(8)

8 dengan politisi Jepang dalam berbagai hal, mulai dari lobi bisnis melalui Kuromaku hingga bantuan kekuatan dalam mengendalikan gejolak pemberontakan Sangokujin, sehingga menimbulkan hutang budi yang kuat dan memberikannya pengaruh di sistem Masyarakat Jepang. Untuk mempermudah aktivitas transaksi keuangan antara bisnis mereka dan politisi, Yakuza juga menggunakan front company sebagai perantara yang lebih aman di mata hukum.

D. Hipotesis

Meskipun mampu menghasilkan penurunan jumlah kelompok dan personil Yakuza, implementasi Organized Crime Countermeasure Law pada tahun 1992-2011 belum berhasil memberantas aktivitas ilegal Yakuza dan kekuatannya di sistem politik dan ekonomi Jepang karena beberapa hal. Pertama, sifat Yakuza yang berfungsi ekonomi layaknya suatu perusahaan memberikannya posisi dalam Japanese Iron Triangle, sehingga mampu berpengaruh terhadap politisi maupun birokrat sebagai pembuat kebijakan. Posisinya dalam Japanese Iron Triangle tersebut merupakan bukti dari terjadinya fenomena State-Mafia Symbiosis antara Pemerintah Jepang dan Yakuza yang membuat pemberantasan sepenuhnya menjadi lebih sulit untuk dilakukan. Kedua, kebijakan Botaiho yang bersifat kontrol administratif tidak tepat untuk digunakan terhadap Yakuza sebagai Crime Enterprise, karena tidak mampu mengendalikan pasar Illicit Demand yang menjadi alasan utama keberadaannya. Yakuza tidak akan berhenti melaksanakan aktivitas ilegal untuk memperoleh keuntungan dari pasar Illicit Demand tersebut, meskipun larangan terhadapnya telah diberlakukan.

E. Metode Penelitian

Dalam penelitian mengenai Kegagalan Pemberantasan Yakuza dari Sistem Ekonomi dan Politik Jepang melalui Implementasi Organized Crime Countermeasure Law (Botaiho) pada tahun 1992-2011 ini, metode penelitian yang akan digunakan adalaha metode kualitatif. Metode kualitatif disini merupakan metode penelitian yang menjelaskan suatu fenomena melalui analisa teoretis yang fleksibel sesuai dengan situasi sosial yang ada. Penelitian kualitatif ini nantinya akan menghasilkan deskripsi serta „pemahaman yang bulat‟ yang berdasarkan, ataupun menawarkan interpretasi dari perspektif para partisipan dalam suatu

(9)

9 situasi sosial. Hasil dari penelitian kualitatif ini nantinya akan diwarnai oleh pertimbangan-pertimbangan yang dipengaruhi oleh perspektif sang peneliti.21

Penelitian kualitatif ini akan dilakukan dengan studi pustaka, yang bersumber pada buku-buku karangan para ahli, artikel berita dari media massa Jepang maupun internasional (dalam bentuk cetak maupun online), jurnal-jurnal terbitan pemerintah dan organisasi internasional, serta publikasi-publikasi hasil penelitian lainnya. Data-data mengenai implementasi Botaiho ini nantinya akan digolongkan kedalam 3 jenis: Pertama, data mengenai Sejarah dan Struktur Organisasi Yakuza, termasuk di dalamnya fata-fakta mengenai aktivitas dan kondisi internal Yakuza sejak setelah berakhirnya Perang Dunia II hingga tahun 2011. Kedua, data mengenai perkembangan implementasi Botaiho selama tahun 1992-2011. Ketiga, data mengenai dampak-dampak lainnya dari implementasi Botaiho terhadap aktivitas ilegal Yakuza dalam sistem sosial, politik, dan ekonomi Jepang.

F. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan dalam penelitian berjudul Kegagalan Kegagalan Implementasi Organized Crime Countermeasures Law (Botaiho) di Jepang: Studi Kasus Pemberantasan Organisasi Yakuza periode 1992-2011 ini akan dibagi kedalam empat bab untuk menjawab rumusan masalah yang ada, yaitu:

Bab Pertama, berisi gambaran secara umum dari keberadaan Yakuza pada masa kini dan

kejanggalan dalam hasil implementasi Botaiho yang menjadi latar belakang dari penelitian ini. Dalam Bab Pertama ini juga terdapat landasan konseptual, rumusan masalah, dan juga hipotesa beserta metode penelitian yang akan digunakan.

Bab Kedua, berisi bukti-bukti kegagalan implementasi Botaiho pada periode tahun 1992

hingga 2011. Untuk menunjukkan ketidaksignifikanan kebijakan ini, akan ditunjukkan fakta sejarah, beserta data dan penjelasan mengenai perbandingan kondisi, pola interaksi, dan aktivitas ilegal Yakuza pada periode tersebut.

Bab Ketiga, berisi analisa mengenai kegagalan implementasi kebijakan Botaiho sejak

tahun 1992 hingga 2011 di Jepang. Pada bab ini analisa akan dilakukan dengan membuktikan adanya Diffusion of Power dalam bentuk State-Mafia Symbiosis dalam sistem

21 J. Ritchie & J. Lewis, Qualitative Research Practice: A Guide for Social Science Students and Researchers, Sage

(10)

10 Japanese Iron Triangle untuk memahami pola-pola interaksi antar aktor dengan Yakuza yang menjadi penyebab utama kegagalan implementasi Botaiho. Kemudian, hubungan State-Mafia Symbiosis ini akan dikolaborasikan dengan konsep Enterprise Theory untuk menjelaskan letak kegagalan Botaiho dalam membasmi kelompok-kelompok Yakuza di Jepang, dan dampak berbalik yang ditimbulkannya.

Bab Keempat, akan menjawab mengapa implementasi Organized Crime Countermeasure Law di Jepang pada tahun 1992-2011 belum mampu membawa dampak signifikan terhadap tingkat pelaksanaan aktivitas ilegal serta kekuatan Yakuza dalam sistem ekonomi dan politik Jepang.

Referensi

Dokumen terkait

Maka untuk kupu-kupu abu-abu sendiri tidak bisa ditemukan semudah itu karena mereka tidak menjajakan diri dan tidak mendeklarasikan bahwa dirinya adalah wanita yang bisa

bahwa berdasarkan Pasal 73 Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan serta Pemanfaatan Hutan sebagaimana telah diubah

Penelitian mengenai pengetahuan pasien hipertensi terhadap obat antihipertensi di posyandu lansia Puskesmas Gunung Anyar Surabaya Timur mulai bulan Januari sampai

Dari klasifikasi jenis awan diketahui awan yang terbentuk adalah awan Cumulonimbus (Cb) yang dapat diketahui berdasarkan suhu puncak awan pada counter line

c) Apabila terdapat hal-hal yang penting, disampaikan pula konsep surat Inspektur Jenderal kepada pejabat Eselon I terkait. 4) LHA Dengan Tujuan Tertentu selain Audit

Kedua, setiap pekerja yang sudah dinyatakan lulus seleksi serta berhak mengikuti masa training selama 3 (tiga) bulan dan masa percobaan selama 1 (satu) tahun

Masyakat adil makmur, sebagai sebuah cita-cita, memerlukan perjuangan untuk menciptakan dasar-dasarnya. Inilah yang disebut sebagai kepentingan nasional bangsa

Mereka menemukan bahwa data yang diukur berbeda Konsentrasi ent baik didekati dengan pemasangan linier dan kemiringan garis menurun dengan meningkatnya