• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINGKAT ADOPSI TEKNOLOGI PENGELOLAAN TERPADU KEBUN JERUK SEHAT (PTKJS) (Adoption Levels of Integrated Management of Healthy Citrus Orchard (IMHCO))

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "TINGKAT ADOPSI TEKNOLOGI PENGELOLAAN TERPADU KEBUN JERUK SEHAT (PTKJS) (Adoption Levels of Integrated Management of Healthy Citrus Orchard (IMHCO))"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

TINGKAT ADOPSI TEKNOLOGI

PENGELOLAAN TERPADU KEBUN JERUK SEHAT (PTKJS) (Adoption Levels of Integrated Management of Healthy Citrus Orchard (IMHCO))

1 2

A. Ruswandi , A. Muharam , Hilmi Ridwan, Sabari dan Rofik S.B.

1

BALAI PENGKAJIAN TEKNOLOGI PERTANIAN (BPTP) JAWA BARAT

2

PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN HORTIKULTURA

ABSTRAK

Balai Penelitian Tanaman Jeruk dan Buah Subtropika (Balitjestro), Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, telah mengembangkan satu model untuk pengelolaan kebun jeruk, yang dinamakan Pengelolaan Terpadu Kebun Jeruk Sehat (PTKJS). Model tersebut terdiri dari lima komponen teknologi, yaitu : (1) penanaman bibit bebas penyakit, (2) pengendalian serangga vector penular penyakit Huanglungbin (CVPD), (3) sanitasi kebun, (4) pemeliharaan optimal kebun jeruk, (5) konsolidasi pengelolaan kebun-kebun jeruk. Model tersebut telah diimplementasikan di sejumlah daerah pengembangan jeruk, seperti di Kabupaten Sambas, Kalimantan Barat, dan Kabupaten Ponorogo, Jawa Timur. Tingkat adopsi teknologi merupakan suatu indikasi dari preferensi petani terhadap model tersebut yang didasarkan kepada kondisi biofisik, sosial, ekonomi dan budaya. Penelitian ini bertujuan mengetahui tingkat adopsi terhadap model PTKJS pada tingkat petani dan implementasinya. Penelitian ini dilaksanakan di Kabupaten Sambas, Kalimantan Barat, dan Kabupaten Ponorogo, Jawa Timur. Survei pengumpulan data dilaksanakan dalam Bulan Juni 2006 melalui wawancara terhadap 53 petani jeruk responden. Data dianalisis secara deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat adopsi terhadap komponen teknologi dalam model PTKJS dipengaruhi oleh : (1) dukungan kelembagaan input dan out put produksi, (2) Kemangkusan dan efisiensi produksi, (3) kesesuaian teknologi dengan kondisi spesifik lokasi, dan (4) intensitas diseminasi teknologi. Analisis tingkat adopsi adalah sangat penting dalam rangka mendapatkan umpan balik untuk perbaikan model dan juga untuk membangun upaya-upaya diseminasi teknologi yang memadai.

Kata kunci : Jeruk, Tingkat Adopsi, Pengelolaan Terpadu Kebun Jeruk Sehat (PTKJS).

ABSTRACT

Indonesian Citrus and Subtropical Fruits Research Institute (ICSFRI), Indonesian Center for Horticultural Research and Development (ICHORD), has developed model on citrus orchard management, namely Integrated Management of Healthy Citrus Orchard (IMHCO). It consists of five technology components i.e. (1) Growing of disease-free planting materials, (2) control Huanglungbin (CVPD) insect vector, (3) orchard sanitation, (4) optimal maintenance of citrus orchard, and (5) consolidation of citrus orchards management. This model has been introduced and implemented in some citrus growing

(2)

areas such as in Sambas, West Kalimantan, and in Ponorogo, East Java. The level of technology adoption is an indication of farmer's preference to the model based on biophysical, social, economical, and cultural condition. A study was carried out to determine the intensity of adoption of the model at the farmer level and its implementation. The study was conducted in Sambas District, West Kalimantan, and in Ponorogo District, East Java. A survey was carried out in June 2006 in those locations to collect data from 53 citrus growers. Descriptive analysis was performed using the colleted data. The result indicated that the adoption level of each technology component within the model varied low to very high. The adoption level of the IMHCO model was influenced by : (1) the institutional support of production inputs and outputs, (2) effectiveness and efficiency of the technology components, (3) Suitability of the technology component into locally specific conditions, and (4) intensity of technology dissemination. Analysis of the adoption level of IMHCO is very important to generate feedback for improvement of the model and also for the establishment of appropriate dissemination efforts.

Keywords : Citrus, Adoption Level, Integrated Management of Healthy Citrus Orchard

(IMHCO).

PENDAHULUAN

Jeruk merupakan salah satu jenis buah yang cukup penting bagi Indonesia. Tahun 2000 tercatat luas pertanaman mencapai 37.120 hektar, dengan produksi rata-rata 602.360 ton/th, produktivitas 20,66 ton/ha. Berdasarkan kebutuhan dalam negeri dan eksport terdapat kekurangan produksi sebesar 23.835,5 ton (Anonim, 2002). Sentra produksi jeruk di sentra-sentra tersebut yang cukup potensial diantaranya di Kabupaten Sambas Provinsi Kalimantan Barat dan Kabupaten Ponorogo Provinsi Jawa Timur. Salah satu kendala dalam produksi jeruk antara lain tingginya serangan hama penyakit terutama Citrus Vein Ploem Degerenation (CVPD) yang menyebabkan kemrosotan produksi.

Sesuai pendapat (Nurhadi et al. 1992), Muharam dan White (1992), bahwa CVPD merupakan penyakit tanaman jeruk yang paling penting di Indonesia. Subijanto dalam (Nurhadi et al. 1992) melaporkan bahwa sekitar 8 juta pohon jeruk di Indonesia terinfeksi penyakit CVPD yang menyebabkan kerugian sekitar US $ 22.000/tahun. Di beberapa Negara penghasil jeruk seperti China, Malaysia, Philipina Penyakit CVPD atau Huanglungbin juga merupakan penyakit yang penting.

Pengendalian Huanglungbin (CVPD) di Negara China dilakukan pada beberapa segmen yang terutama ditekankan pada proses pembibitan bebas penyakit. Dalam membenahi proses pembibitan, dilakukan beberapa langkah yaitu pendirian/pemantapan blok fondasi pohon induk bebas penyakit, pendirian/pemantapan pembibitan dan produksi bibit bebas penyakit, perubahan/pemulihan kebun yang terkontaminasi (Songlin, 1992).

(3)

Penyakit CVPD, yang disebabkan patogen Liberibacter asiaticum dapat ditularkan oleh bibit yang sakit dan serangga penular kutu loncat Diaphorina Citri Kuw. Serangga tersebut mampu menularkan penyakit dari satu pohon ke pohon lainnya, dan dari satu kebun ke kebun lainnya. Sehingga dalam pengendaliannya memerlukan tindakan yang serempak diantara sesama petani jeruk dalam satu kawasan sentra produksi. Sesuai pendapat (Supriyanto et al. 2003) pengendalian penyakit CVPD memerlukan penanganan yang terpadu dan serempak di kawasan sentra produksi

Badan Litbang Pertanian, melalui Balai Penelitian Tanaman Jeruk dan Hortikultura Subtropik telah menghasilkan alternatif teknologi untuk mengendalikan penyakit CVPD, antara lain model teknologi “Pengelolaan Terpadu Kebun Jeruk Sehat” (PTKJS). Model teknologi “Pengelolaan Terpadu Kebun Jeruk Sehat” (PTKJS) yang didalamnya meliputi lima komponen teknologi yang harus diterapkan secara utuh dan serentak yaitu (Supriyanto et al. 2003) : (1) Teknologi pengadaan bibit jeruk bebas penyakit; (2) Teknologi pengendalian serangga penular penyakit; (3) Teknologi sanitasi kebun; (4) Teknologi pemeliharaan tanaman secara optimal; (5) Konsolidasi pengelolaan kebun secara utuh dan serentak.

Tingkat adopsi suatu inovasi teknologi termasuk teknologi PTKJS, ditentukan oleh efektivitas teknologi serta dukungan kelembagaan sarana produksi terhadap aplikasi teknologi tersebut. Menurut Mundy (2000) setidaknya ada lima sifat inovasi yang berpengaruh terhadap dadopsinya inovasi oleh pengguna yaitu keuntungan nisbi (relative adventage), kesesuaian (compatibility), kerumitan (complexity), kemampuan diuji coba (triability), dan kemampuan diamati (observability).

Sejak beberapa tahun yang lalu, teknologi PTKJS telah disosialisasikan dan diadaptasikan penerapannya di tingkat petani diantaranya di Kabupaten Sambas Provinsi kalimantan Barat dan Kabupaten Ponorogo Provinsi Jawa Timur. Pengkajian adaptif merupakan kegiatan tahapan lanjut dari hasil penelitian Balai Besar Pengembangan, Balit dan Loka komoditas dalam lingkup Badan Litbang Pertanian maupun institusi penelitian lainnya untuk menguji kesesuaian atau daya adaptasi (fine tuning) komponen-komponen teknologi yang dapat menjawab permasalahan yang dihadapi petani, serta untuk mendapatkan paket teknologi yang sesuai dengan kondisi bio-fisif, sosial-ekonomi, dan lingkungan setempat (CGIAR, 1981) dalam (Anonim, 2004).

Untuk mengetahui sampai sejauh mana tingkat adopsi teknologi PTKJS, maka dilakukan penelitian, yang bertujuan untuk mengetahui tingkat adopsi adopsi teknologi PTKJS sebagai bahan masukan untuk perbaikan sistem diseminasi teknologi selanjutnya.

(4)

BAHAN DAN METODA

Penelitian dilaksanakan Bulan Juni 2006 sentra produksi jeruk di Kabupaten Sambas Provinsi Kalimantan Barat dan Kabupaten Ponorogo Provinsi Jawa Timur. Data diperoleh melalui survei wawancara terhadap 53 petani responden, dengan menggunakan quesioner terstruktur meliputi Adopsi tentang penggunaan bibit unggul berlabel, penggunaan teknologi pengendalian vektor CVPD (perangkap kuning, bubur california, insektisida, sex feromon, pembrongsongan, fungisida), Sanitasi Kebun (pemangkasan bagian sakit, eradikasi, penyulaman benih berlabel), Pemeliharaan tanaman (pemangkasan arsitektur, pangkas pemeliharaan, pengolahan tanah, pemupukan berimbang, penyiraman, penjarangan buah, pengendalian gulma dan pemanenan secara benar). Data yang diperoleh diolah secara deskriptif, kemudian diinterpretasikan.

Dalam proses pengolahan data, tingkat adopsi dibagi dalam empat katagori seperti terurai pada Tabel berikut.

Tabel 1. Pengkategorian Tingkat Adopsi Teknologi PTKJS (Categories of IMHCO Technology Adoption Level)

Presentasi Jumlah Petani yang Menerapkan

Suatu Komponen Teknologi Kategori Tingkat Adopsi

> 75% Sangat tinggi

51% - 75% Tinggi

25% - 50% Rendah

(5)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Dari pengolahan data diperoleh hasil seperti pada tabel berikut. Tabel 2. Tingkat Adopsi Teknologi PTKJS di Kabupaten Sambas

(IMHCO Technology Adoption Level in Sambas District)

No Komponen Teknologi

Kabupaten Sambas Kabupaten Ponorogo yang menerapkan (%) yang tidak menerapkan (%) Tingkat Adopsi yang menerapkan (%) yang tidak menerapkan (%) Tingkat Adopsi 1 Penggunaan bibit unggul

berlabel

90 10 Sangat tinggi 26 74 Rendah

2 Pengendalian vektor CVPD 36 64 Rendah 47 53 Rendah ⇓Penggunaan perangkap kuning 0 100 Sangat rendah 8 92 Sangat rendah

⇓Bubur California 63 34 Tinggi 100 0 Sangat tinggi

⇓Penyiraman dgn insektisida 0 100 Sangat rendah 4 96 Sangat rendah ⇓Penyemprotan dgn insektisida

97 3 Sangat tinggi 83 17 Sangat tinggi

⇓Pemasangan sex feromon 0 100 Sangat rendah 57 43 Tinggi ⇓Pemberongsongan 0 100 Sangat rendah 0 100 Sangat rendah ⇓Penyemprotan dgn fungisida, akarisida

90 10 Sangat tinggi 83 17 Sangat tinggi

3 Sanitasi kebun

⇓Pemangkasan bagian tanaman sakit

97 3 Sangat tinggi 100 0 Sangat tinggi

⇓Eradikasi 83 17 Sangat tinggi 78 22 Sangat tinggi

⇓Penyulaman dgn bibit berlabel

83 17 Sangat tinggi 4 96 Sangat

rendah 4 Pemeliharaan tanaman

⇓Pemangkasan arsitektur 27 73 Rendah 100 0 Sangat tinggi

⇓Pemangkasan pemeliharaan

97 3 Sangat tinggi 100 0 Sangat tinggi

⇓Pengolahan tanah 97 3 Sangat tinggi 100 0 Sangat tinggi

⇓Pemupukkan berimbang 73 27 Tinggi 74 26 Tinggi

⇓Penyiraman 10 90 Sangat

rendah

69 31 Tinggi

⇓Penjarangan buah 83 17 Sangat tinggi 56 44 Tinggi

⇓Pengendalian gulma 87 13 Sangat tinggi 87 13 Sangat tinggi

⇓Pemanenan secara benar 0 100 Sangat rendah

13 87 Sangat

(6)

1. Penggunaan Benih Berlabel

Penggunaan benih jeruk berlabel di kabupaten Sambas sangat tinggi, sedangkan di kabupaten Ponorogo masih rendah. Walaupun penggunaan benih berlabel di Kabupaten Sambas cukup tinggi, tetapi penggunaan benih berlabel umumnya sebatas waktu ada proyek pengadaan (sumbangan) dari pemerintah, sedangkan dari sisi kelembagaan pendukung terutama dalam ketersediaan benih berlabel di lokasi kurang mendukung terhadap aplikasi teknologi tersebut. Menurut keterangan petani bahwa di lokasi setempat cukup sulit untuk mendapatkan benih berlabel. Kalaupun ada benih berlabel yang dijual di lokasi diduga bahwa benih berlabel tersebut diproduksi melalui proses pembibitan tanpa menerapkan kaidah proses pembibitan yang baik dan benar. Hal ini didukung oleh keterangan beberapa petani bahwa antara benih berlabel dan benih tidak berlabel hampir sama saja. Begitu pula di Kabaupaten Ponorogo masih rendahnya adopsi penggunaan benih berlabel disebabkan masih sulitnya didapatkan benih berlabel. Hal ini mengisyaratkan perlu adanya pembenahan dalam sistem produksi benih berlabel sesuai kaidah yang benar.

2. Pengendalian Serangga Penular (Vektor) CVPD

Teknologi perangkap kuning (Yellow Trap):

Adopsi teknologi perangkap kuning (Yellow Trap) baik di Kabupaten sambas mupun di kabupaten Ponorogo masih sangat rendah. Menurut keterangan petani responden, bahwa teknologi tersebut belum banyak dikenal petani, kalaupun ada petani yang pernah melihat pada pengkajian tetapi belum mendapatkan informasi tingkat efektivitas penggunaan teknologi tersebut, dan belum ada petani yang mencoba menerapkan atas inisiatif sendiri. Selain itu, kurangnya dukungan kelembagaan sarana produksi, dimana bahan untuk membuat perangkap kuning sulit didapatkan di lokasi setempat.

Saran kebijakan yang dapat diajukan untuk meningkatkan adopsi teknologi perangkap kuning antara lain : 1) sebaiknya teknologi perangkap kuning didiseminasikan lebih intensif lagi, serta petani diajarkan secara seksama tentang penggunaannya, 2) petani perlu ditingkatkan pengetahuannya mengenai bahan yang diperlukan untuk membuat teknologi tersebut, tidak kalah pentingnya alangkah baiknya kalau dicarikan bahan alternatif yang banyak terdapat di lokasi, 3) serta perlu diukur dilapangan secara partisipatif mengenai efektifitas penggunaan perangkap kuning untuk meningkatkan minat petani terhadap teknologi tersebut, 4) perlu adanya dukungan dari kelembagaan sarana produksi di lapangan dalam penyediaan bahan-bahan yang diperlukan untuk membuat perangakap kuning.

(7)

Penggunaan bubur California:

Tingkat Adopsi Teknologi penyaputan batang bawah dengan bubur california di Kabupaten Sambas sudah tinggi, bahkan di Kabupaten Ponorogo berkategori sangat tinggi. Penyaputan batang bawah dengan bubur California merupakan komponen teknologi PTKJS yang paling dikenal petani, serta efektivitasnya sudah dapat dirasakan petani, sehingga adopsinya sudah cukup tinggi. Petani mempunyai persepsi bahwa penerapan bubur California cukup efektif, pohon yang memakai bubur california penampilannya cukup baik serta bersih, sehingga panyakit berkurang dan produksi meningkat. Selain itu teknologi pemakaian bubur California cukup sederhana sehingga mudah diaplikasikan. Namun demikian, saat dilakukan penelitian ini ketersediaan bahan pembuat bubur California terutama belerang sulit didapat di lokasi terkait dengan isu (terorisme), bahwa belerang dapat dipakai sebagai bahan peledak. Akibatnya tingkat penerapan teknologi tersebut di lokasi menjadi terhambat. Saran kebijakan yang dapat diajukan antara lain ketersediaan belerang di lokasi harus ditingkatkan.

Penyiraman dengan insektisida:

Di lokasi penelitian petani sudah terbiasa mengaplikasikan insektisida dengan cara disemprot, petani menganggap penyiraman kurang efisien. Sehingga baik di Kabupaten Sambas maupun di Kabupaten Ponorogo, tingkat adopsi teknologi penyiraman dengan inseksitida masih sangat rendah.

Penyemprotan dengan insektisida:

Umumnya petani di Kabupaten Sambas maupun Ponorogo sudah terbiasa melakukan penyemprotan insektisida, pada hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tingkat adopsi teknologi ini sudah sangat tinggi. Dukungan kelembagaan sarana produksi juga sudah baik sehingga petani dengan mudah memperoleh insektisida yang diperlukan.

Penggunaan sex feromon:

Tingkat adopsi terhadap penggunaan sex feromon di Kabupaten Sambas masih sangat rendah sedangkan di Kabupaten Ponorogo sudah tinggi. Adanya perbedaan tingkat adopsi ini terutama ditentukan oleh keberadaan produk sek feromon (Methil Eugenol) di lokasi. Di kabupaten Ponorogo produk mudah didapat di lokasi, sedangkan di Kabupaten Sambas masih sulit didapatkan. Dalam hal ini dukungan kelembagaan sarana produksi sangat menentukan terhadap tingkat adopsi teknologi ini. Selain itu,

(8)

keterbatasan pengetahuan petani di Kabupaten Sambas diduga akibat kurangnya diseminasi terknologi tersebut. Sebagai umpan balik bagi peningkatan adopsi teknologi, perlu adanya upaya penyediaan produk sex feromon di lokasi, serta meningkatkan intensitas diseminasi teknologi tersebut.

Pemberongsongan:

Tingkat adopsi teknologi pemberongsongan di kedua lokasi masih sangat rendah. Petani merasa bahwa pemberongsongan akan memakan biaya tenaga kerja yang cukup banyak, sementara dalam penjualan hasil produksi tidak akan ada bedanya antara yang diberongsong dengan yang tidak diberongsong. Di lokasi penelitian sistem pemasaran belum memberikan struktur insentif yang jelas terhadap penggunaan teknologi pemberongsongan. Pasar belum jelas bisa memberikan harga yang lebih baik terhadap produksi jeruk yang diberongsong.

3. Sanitasi Kebun

Pemangkasan bagian tanaman yang sakit:

Di kedua lokasi penelitian, adopsi teknologi ini sudah sangat tinggi. Sebagian besar petani sudah terbiasa melakukan pemangkasan bagian tanaman yang sakit. Petani sudah mengetahui, dan sadar bahwa bagian tanaman yang sakit akan menularkan penyakit kepada tanaman lainnya sehingga merugikan.

Eradikasi:

Di kedua lokasi penelitian, adopsi teknologi ini sudah sangat tinggi. Menurut keterangan petani bahwa tanaman jeruk yang terserang CVPD dapat menularkan penyakit kepada pohon yang lainnya, sehingga eradikasi terhadap pohon yang sakit parah sudah biasa dilakukan. Jika pohon yang terserang dengan parah tidak di eradikasi, mungkin pohon dalam satu kebun akan habis bahkan pohon petani lainpun akan tertular. Umumnya petani tahu akan bahaya penularan penyakit tersebut, tetapi masih ada beberapa petani yang merasa sayang untuk melakukan eradikasi karena tanaman yang terserang masih menghasilkan buah walaupun ukurannya kecil tetapi masih dapat dijual. Dalam hal ini petani menyatakan bahwa antara dieradikasi dengan tidak dieradikasi keduanya mengandung resiko dan keuntungan. Fenomena ini terjadi mungkin kurangnya diseminasi dari teknologi tersebut, sehingga ke depan perlu adanya upaya peningkatan pengetahuan terkait dengan diseminasi teknologi eradikasi, serta ditegakannya aturan konsolidasi kebun dengan patani lainnya secara berkelompok.

(9)

Penyulaman dengan benih berlabel:

Di kedua lokasi penelitian, adopsi teknologi ini sudah sangat tinggi. Penyulaman sudah terbiasa dilakukan petani, namun demikian seperti telah diuraikan pada bagian penggunaan benih berlabel, bahwa salah satu penghambat tingkat adopsinya adalah masih sulitnya untuk mendapatkan benih berlabel di lokasi. Pada teknologi penyulamanpun walaupun adopsinya sudah cukup tinggi, namun untuk keperluan penyulamanpun masih ada hambatan yaitu sulitnya di dapatkan benih berlabel di lokasi.

4. Pemeliharaan Secara Optimal

Penyemprotan dengan fungisida dan akarisida:

Adopsi teknologi ini pada kedua lokasi penelitian sudah sangat tinggi. Jamur merupakan jenis penyakit yang tergolong penting pada tanaman jeruk. Buah dan pohon yang terserang jamur akan terpengaruh baik kuantitas maupun kualitas produksinya terutama tampilan jeruk akan kurang baik. Cukup pentingnya penyakit jamur, telah menimbulkan kesadaran petani untuk mengendalikan penyakit jamur, sehingga secara umum petani sudah terbiasa melakukan penyemprotan dengan fungisida dan akarisida.

Pemangkasan arsitektur:

Adopsi teknologi ini di Kabupaten Sambas masih rendah sedangkan di Kabupaten Ponorogo sudah sangat tinggi. Di Kabupaten Sambas teknologi ini masih jarang dilakukan karena tanaman yang sudah relatif tua pada saat disosialisasikan teknologi tersebut. Sedangkan di lokasi survei Kabupaten Ponorogo, petani sudah banyak melakukan pemangkasan arsitektur terutama pada pohon yang masih muda.

Pemangkasan pemeliharaan:

Di kedua lokasi penelitian, adopsi teknologi ini sudah sangat tinggi. Pemangkasan pemeliharan sudah umum dilakukan petani setempat antara lain setelah panen, pemangkasan terhadap tunas-tunas yang tidak berguna. Efektifitas dari tekknologi ini cukup dirasakan petani yang dapat diidentifikasi dari produksi yang lebih baik dibanding dengan tanaman yang tidak dipangkas. Tanaman yang di pangkas pemeliharaan, tidak akan mudah terserang jamur maupun cendawan lainnya. Namun demikian masih ada beberapa petani yang belum melakukan pemangkasan dengan baik, sehingga peningkatan pengetahuan petani terhadap teknologi ini tetap diperlukan terutama kepada petani-petani yang pengalamannya masih rendah.

(10)

Pengolahan tanah:

Teknologi pengolahan tanah sudah diadopsi sangat tinggi di kedua lokasi penelitian. Hampir semua petani melakukan pengolahan tanah dengan cara yang sama pada masing-masing lokasi. Penanaman pohon jeruk tanpa pengolahan tanah hasilnya pun tidak akan begitu baik sehingga dalam hal ini petani merasakan langsung bahwa teknologi pengolahan tanah mempunyai epektifitas yang cukup baik.

Pemupukan:

Di kedua lokasi, adopsi teknilogi ini sudah tinggi. Pemupukan sudah biasa dilakukan petani. Berdasarkan pengalaman petani pohon jeruk yang tidak dipupuk, tidak akan berproduksi dengan baik, sehingga teknologi pemupukan dirasakan mempunyai efektifitas yang cukup baik.

Penyiraman:

Adopsi teknologi penyiraman di Kabupaten Sambas sangat rendah, sedangkan di Kabupaten Ponorogo sudah tinggi. Adanya perbedaan tingkat adopsi ini disebabkan adanya perbedaan agroekosistem di kedua lokasi tersebut. Di Kabupaten Sambas lokasi pertanaman berada di pinggir pantai yang pengairannya tidak terlalu sulit sehingga penyiraman dilakukan secara alamiah (tidak perlu teknologi penyiraman yang terlalu rumit). Sedangkan di Kabupaten Ponorogo, lokasi pertanaman jeruk berada pada lahan yang pengairannya memerlukan aplikasi teknologi yang cukup tinggi.

Penjarangan buah:

Di kedua lokasi, adopsi teknologi ini sudah cukup tinggi. Petani umumnya sadar apabila tidak dilakukan penjarangan, buah jeruk akan berukuran kecil, serta pada pohon yang masih muda akan membawa resiko patah pada bagian pohon tersebut. Namun demikian, sistem pemasaran belum begitu mendukung terhadap aplikasi teknologi ini sehubungan dengan sistem penjualan dari petani yang umumnya masih curah, Akibatnya penjarangan buah kurang memberikan struktur insentif bagi petani. Saran kebijakan yang dapat diajukan antara lain hendaknya sistem pemasaran dilakukan berdasarkan grade buah bukan sistem curah. Atau dicarikan rantai pemasaran lain yang menerima dengan sistem harga berdasarkan grade. Untuk menempuh ke arah tersebut perlu dilakukan pertemuan partisipatif dengan semua elemen yang terlibat dalam sistem pemasaran jeruk untuk memecahkan persoalan tersebut secara partisipatif sehingga ditemukan keseimbangan baru dalam sistem pemasaran sesuai dengan kualitas jeruk yang dihasilkan petani.

(11)

Pengendalian gulma:

Tingkat adopsi teknologi ini di kedua lokasi sangat tinggi. Umumnya Petani di kedua lokasi sudah mengetahui dan sadar bahwa pohon jeruk yang tidak dikendalikan gulmanya tidak akan berbuah dengan optimal. Dengan demikian, efektifitas teknologi ini sudah dirasakan petani. Sebagian besar petani melakukan pengendalian gulma secara mekanis sehingga tidak terlalu terpengaruh oleh sistem kelembagaan sarana produksi.

Pemanenan yang benar (pakai gunting):

Adopsi teknologi ini di kedua lokasi masih sangat rendah. Di lokasi penelitian umumnya petani memanen langsung dipetik tanpa memakai gunting. Menurut petani, pemanenan dengan gunting tidak akan membedakan harga produksi sementara pelaksanaannya akan menambah biaya. Dalam hal ini, lembaga pemasaran belum memberikan struktur insentif yang baik terhadap pelaksanaan teknologi ini. Menurut informasi dari petani, bahwa pemanenan dengan gunting, saat ini baru dilakukan oleh petani-petani besar bersekala perkebunan.

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan

Tingkat adopsi komponen teknologi PTKJS cukup beragam antar komponen teknologi maupun antar lokasi penelitian. Tingkat adopsi komponen teknologi PTKJS dipengaruhi juga oleh dukungan kelembagaan sarana produksi, kelembagaan pemasaran serta kelembagaan sarana. Selain itu, efektifitas komponen teknologi juga banyak menentukan diadopsinya komponen PTKJS. Dengan demikian, untuk diadopsinya teknologi PTKJS, memerlukan dua syarat kondisi yaitu dseminasi teknologi PTKJS sebagai syarat perlu (necessary condition), dan dukungan kelembagaan sebagai syarat kecukupan (suficient condition), yang harus dipenuhi agar petani dapat mengadopsi teknologi tersebut.

Saran

Keberadaan lembaga pendukung seperti lembaga sarana produksi, lembaga pemasaran, lembaga sarana memegang peranan penting bagi diadopsinya teknologi tersebut. Dengan demikian, perbaikan sistem kelembagaan harus merupakan bagian integral dari upaya-upaya pemasalan teknologi tersebut.

(12)

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2004. Panduan Umum Pelaksanaan Pengkajian Serta Program Informasi, Komunikasi dan Diseminasi di BPTP. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Jakarta.

Anonim. 2002. Profil Produksi Jeruk. Direktorat Jendral Bina Produksi Hortikultura, Jakarta.

Muharam, Agus and A.M. Whittle. 1992. Indexing of Citrus for Major Systemic Pathogens in Indonesian Citrus Variety Improvement Programme, in Proceedings of Asian Citrus Rehabilitation Conference, Malang, Indonesia 4-14 July 1989. Ministry of Agriculture, Republic of Indonesia, Agency for Agricultural Research and Development, Central Research Institute for Horticulture, FAO/UNDP.

Mundy, P. 2000. Adopsi dan Adaptasi Teknologi Baru. Training and Communication Specialist, PAATP3, November 2000. Badan Litbang Pertanian.

Nurhadi, A.M. Whittle and L. Rosmahani. 1992. Preliminary Study on The Spread Patterns of CVPD in The Field. in Proceedings of Asian Citrus Rehabilitation Conference, Malang, Indonesia 4-14 July 1989. Ministry of Agriculture, Republic of Indonesia, Agency for Agricultural Research and Development, Central Research Institute for Horticulture, FAO/UNDP.

Songlin, Lin. 1992. The Review of Citrus Greening Huanglungbin Disease Project in PRC, at Proceedings of Asian Citrus Rehabilitation Conference, Malang, Indonesia 4-14 July 1989. Ministry of Agriculture, Republic of Indonesia, Agency for Agricultural Research and Development, Central Research Institute for Horticulture, FAO/UNDP.

Supriyanto, Arry., Mutia Erti Dwastuti., Anang Triwiratno., Otto Endarto., Suhariyono. 2003. Panduan Teknis, Pengelolaan Terpadu Kebun Jeruk Sehat. Loka Penelitian Tanaman Jeruk dan Hortikultura Subtropik, Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian.

Gambar

Tabel 1. Pengkategorian Tingkat Adopsi Teknologi PTKJS (Categories of IMHCO Technology Adoption Level)
Tabel 2. Tingkat Adopsi Teknologi PTKJS di Kabupaten Sambas (IMHCO Technology Adoption Level in Sambas District)

Referensi

Dokumen terkait

Pada sistem pembuktian berdasarkan keyakinan hakim, maka hakim dapat menjatuhkan putusan berdasarkan keyakinan belaka dengan tidak terikat oleh suatu peraturan

Variabel dependen adalah kejadian NIHL dan variabel independen intensitas kebisingan ruang mesin kapal dan karakteristik subjek yang meliputi usia, lama paparan, masa kerja,

International Osteoporosis Foundation ( IOF ) menyebutkan bahwa di seluruh dunia satu dari tiga wanita dan satu dari delapan pria yang berusia di atas 50 tahun, memiliki

Dari hasil analisis tanah (Tabel 1) yang di- ambil dari habitat nipah menunjukkan bahwa lokasi tersebut memiliki kandungan kapasitas tukar kation (KTK), C/N rasio dan kandungan P

Suatu proses upaya menumbuhkan dataran baru dengan cara sengaja yang dilakukan dengan cara menimbun kawasan perairan tertentu ialah reklamasi yang menjadi program

Pada penelitian ini menggunakan pemodelan Rain Cycle 2 yang menggunakan data primer dan data sekunder tersebut, yang menghasilkan suatu persentase pemenuhan

Agar penyelenggaraan dan penggunaan bantuan TBM sesuai dengan ketentuan, pemantauan perlu dilakukan oleh Direktorat Pembinaan Pendidikan Masyarakat, dinas pendidikan provinsi,

Fermat tidak hanya memiliki metode untuk mencari kemiringan garis singgung dari kurva , ia juga setelah tahun 1629 mendapat suatu teorema luas daerah yang dibatasi oleh suatu