• Tidak ada hasil yang ditemukan

PROGRESS REPORT IX. Pemantauan Pengadilan HAM Ad Hoc Perkara Pelanggaran HAM berat di Timor-timur. Jakarta, 20 Desember 2002.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PROGRESS REPORT IX. Pemantauan Pengadilan HAM Ad Hoc Perkara Pelanggaran HAM berat di Timor-timur. Jakarta, 20 Desember 2002."

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

PROGRESS REPORT IX

Pemantauan Pengadilan HAM Ad Hoc Perkara Pelanggaran HAM berat di Timor-timur

Jakarta, 20 Desember 2002.

“KEJAHATAN TERHADAP KEMANUSIAAN TANPA PENANGGUNG JAWAB”

Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat Tim Monitoring Pengadilan HAM Ad Hoc

(2)

PROGRESS REPORT IX

Pengadilan HAM Ad Hoc Perkara Pelanggaran HAM berat di Timor-timur “KEJAHATAN TERHADAP KEMANUSIAAN

TANPA PENANGGUNG JAWAB”

Pendahuluan

Sampai dengan saat ini persidangan kasus pelanggaran HAM berat di Timor-timur telah memutuskan 6 berkas perkara.. Pada tahap pertama, terdakwa Abilio Soares (mantan Gubernur Timor-timur) telah dinyatakan bersalah dan dijatuhi hukuman 3 tahun penjara, sedangkan terdakwa Brigjend (Pol). Drs. Timbul Silaen (mantan Kapolda Timor-timur) dan terdakwa Herman Sedyono Dkk (untuk kasus penyerangan terhadap gereja Ave Maria Suai) dinyatakan tidak bersalah terhadap pelanggaran HAM berat yang terjadi di Timor-timur. 1

Dan pada tahap kedua ini yang sudah diputus yaitu untuk terdakwa Eurico Guterres (mantan wakil Panglima PPI/Komandan Aitarak) yang dinyatakan bersalah dan dipidana 10 tahun penjara, sedangkan terdakwa Endar priyanto (mantan Dandim 1627 Dili), Asep Kuswani (mantan Dandim 1638 Liquica), Adios Salova (mantan Kapolres Liquica) dan Leonito Martins ( mantan Bupati Liquica) dinyatakan tidak bersalah dan dibebaskan dari segala tuntutan yang diajukan oleh jaksa penuntut umum ad hoc.

Dasar Dan Prinsip-Prinsip Hukum Yang Digunakan Hakim Sebagai Dasar Dalam Menentukan Putusan

Dengan melihat beberapa putusan pengadilan ini, dimana hanya 2 terdakwa yang dinyatakan bersalah dimana keduanya berasal dari kalangan sipil (Abilio Soares dan Eurico Gutteres), semakin meneguhkan asumsi bahwa pengadilan ini secara keseluruhan telah gagal untuk menentukan siapa yang harus bertanggungjawab atas terjadinya pelanggaran HAM berat yang terjadi di Timor-timur. Tidak adanya terdakwa dari kalangan TNI dan Polri yang dinyatakan bersalah dan dijatuhi hukuman telah menimbulkan berbagai pertanyaan mengenai bagaimana fakta diungkap di persidangan, bagaimana hakim mengambil fakta hukum atas fakta yang terungkap di persidangan dan apa yang yang digunakan hakim sebagai dasar pengambilan fakta hukum, juga bagaimana hakim menerapkan fakta hukum yang telah diambil dengan pasal-pasal yang didakwakan kepada para terdakwa.

Dalam posisi ini, pertimbangan majelis hakim menjadi sangat penting untuk dapat menjelaskan dan membuat suatu keputusan yang benar sesuai dengan kedudukannya dimana hakim sebagai organ pengadilan dianggap memahami hukum.2 Hakim seharusnya tahu tentang hukum, dalam konteks pengadilan HAM ini, hakim dianggap

1

Lihat Progress Report V Elsam.

2

(3)

mengetahui hukumnya termasuk jika terdapat kekosongan hukum ataupun perlu adanya penafsiran hukum. Pengadilan HAM ad Hoc yang memeriksa dan mengadili perkara kejahatan terhadap kemanusiaan merupakan pengadilan yang pertama dalam sejarah peradilan Indonesia. Persoalan-persoalan hukum, baik formal maupun material seringkali muncul di persidangan sehingga menimbulkan hambatan-hambatan bagi pros

3

es persidangan.

dengan hukum yang berkembang dalam masyarakat dapat dihindari atau diperkecil.4

juga dengan semangat dan tujuan dari ibentu nya undang-undang No.26 Tahun 2000.

uraikan elemen/unsur dalam pasal-pasal yang didakwakan terhadap para terdakwa.

istem Pembuktian Dan Perspektif Hakim Terhadap Kesaksian Korban

sesuai dengan pasal pasal 184 (1) KUHAP, yang jika dikaitkan dengan pasal 183 adalah

Dalam praktek peradilan, sering terdapat kekosongan hukum yang mengakibatkan semakin jauhnya pelaksanaan hukum dari keadilan. Pada kondisi tersebut peran pengadilan menjadi semakin penting untuk menafsirkan hukum, tidak cukup hanya melihat undang-undangnya saja. Selain itu, ketentuan dalam undang-undangpun harus ditinjau dalam hubungannya dengan praktek peradilan mengenai hal-hal yang bersangkutan. Inilah yang akan menunjukkan keadaan hukum yang sebenarnya, sehingga adanya kesenjangan antara hukum positif

Undang-undang Nomor 26 tahun 2000 tentang pengadilan HAM adalah Undang-undang banyak mengadopsi ketentuan, norma dan prinsip-prinsip hukum internasional. Dari pengamatan selama proses persidangan pengadilan HAM ad hoc, undang-undang tesebut sangat kurang memadai dalam sebuah peradilan pelanggaran HAM berat dengan standar hukum internasional. Dari keterbatasan instrumen hukum nasional ini, maka hakim harus mengacu pada yurisprudensi dan praktek-praktek peradilan internasional yang relevan, sehingga keputusan yang diambil akan relevan

d k

Analisa terhadap prinsip atau dasar hukum yang digunakan hakim untuk mengkonstruksi putusan adalah faktor yang penting, karena akan berimplikasi pada penerapan hukum atas fakta-fakta yang muncul di persidangan. Hal yang menjadi tolok ukur terpenting adalah prinsip dan dasar hukum yang digunakan hakim dalam sistem pembuktian untuk mengambil fakta hukum dari alat-alat bukti yang muncul dipersidangan dan dasar-dasar atau prinsip hukum dalam meng

S

Metode pembuktian untuk menyimpulkan fakta hukum pada dasarnya terikat pada pasal 183 KUHAP yang mensyaratkan adanya dua alat bukti yang sah dimana dari dua alat bukti tersebut hakim memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana telah terjadi dan terdakwalah yang harus mempertanggungjawabkannya. Sedangkan alat bukti adalah

3

Penyataan ini juga muncul dari pendapat beberapa hakim yang diwawancarai, yang menyatakan bahwa persidangan ini merupakan persidangan yang pertama kali, adanya kekurangan pemahaman untuk kejahatan yang didakwakan, dan beberapa hambatan teknis lain yang sering mendorong hakim untuk melakukan terobosan hukum.

4

(4)

seseorang terdakwa baru dapat dijatuhi hukuman pidana jika kesalahannya dapat dibuktikan dengan paling sedikit dengan dua jenis alat bukti diatas.

Metode pembuktian diatas adalah sistem pembuktian yang biasa dilakukan dalam proses peradilan pidana biasa, sedangkan kejahatan terhadap kemanusiaan merupakan kejahatan luar biasa yang seharusnya pula memerlukan sebuah metode atau sistem pembuktian yang berbeda pula. Praktek-praktek dalam peradilan internasional dapat menjadi acuan yang relevan, termasuk menempatkan kesaksian para korban terhadap saksi-saksi yang bukan korban.

Dalam putusan terhadap terdakwa Eurico Guterres, majelis hakim banyak menjelaskan atau menggunakan dasar hukum baik hukum nasional maupun yurisprudensi dalam praktek-praktek peradilan internasional yang mengadili pelanggaran HAM yang berat. Penentuan atas fakta hukum dari keterangan saksi dan alat bukti yang lain, majelis hakim menggunakan dasar ketentuan dalam hukum acara pidana khususnya mengenai pembuktian (lihat tabel), sedangkan dalam praktek hukum intenasional majelis hakim mengemukakan sebuah kasus dalam yurisdiksi ICTY yang mengesampingkan “asas satu saksi bukanlah saksi”, karena para saksi khawatir akan adanya pembalasan. Dalam beberapa pertimbangannya majelis hakim mengambil fakta hukum dari para saksi yang lebih layak dipercaya, yaitu para saksi korban yang mengalami dan melihat sendiri kejadian dan satu dengan yang lainnya saling berhubungan dan bersesuaian.5 Penegasan dari mejelis hakim yang lebih memparcayai keterangan saksi korban ini berimplikasi dengan adanya pengambilan fakta hukum dimana terdapat keterlibatan dalam terdakwa perkara tersebut dan pihak-pihak lain yang terlibat dalam hal pembiaran terjadinya penyerangan.6

Terhadap kasus untuk terdakwa Endar Priyanto, majelis hakim tidak menyatakan secara rinci pertimbangan dan dasar hukum untuk menyimpulkan suatu fakta hukum. Majelis hakim dalam kasus ini menggunakan keterangan saksi korban tetapi tidak secara tegas diambil sebagai fakta hukum dengan masih menjelaskan tentang keterangan saksi yang lainnya.7 Majelis hakim tidak berani menyimpulkan adanya keterlibatan oknum TNI dalam penyerangan di rumah manuel carascalau secara tegas.

5

lihat putusan kasus dengan terdakwa Eurico Guterres :….” Bahwa dari keterangan saksi yang layak dipercaya kebenarannya, satu dengan yang lainnya sangat berhubungan dan bersesuaian, …..majelis hakim mendapat fakta hukum yang diyakini kebenarannya yaitu para milisi yang menyerang rumah manuel carascalau adalah milisi pro integrasi dari kelompok aitarak Dili dan Besi Merah Putih serta beberapa oknum TNI yang berasal dari maubara……….”.

6

Lihat putusan kasus dengan terdakwa Eurico Guterres : …” maka terjadi pembiaran yang dilakukan oleh terdakwa terhadap bawahannya dalam penyerangan rumah Manuel Carascalau. Pembiaran mana ternyata tidak saja dilakukan oleh terdakwa juga oleh aparat militer, Dan Rem Tono Suratman, Pejabat sipil yang berwenang termasuk Gubernur dan Walikota Dili, beserta aparat keamanan lainnya yang seharusnya bertanggung jawab.”

7

Lihat putusan Kasus dengan terdakwa Endar Prianto, majelis hakim menyatakan :…” dan berdasarkan fakta hukum yang terungkap dipersidangan ini dari keterangan saksi korban yang hadir di persidangan (saksi Alfredo Sanchez dan saksi Florindo de Jesus), memang ada anggota TNI yang terlibat dari penyerangan rumah Manuel Viegas Carascalau yang berasal dari koramil maubara yang tidak termasuk wilayah kekuasaan kodim Dili, namun dibantah oleh beberapa saksi lainnya”.

(5)

Terhadap kasus Asep Kuswani, dkk. Majelis hakim dalam mengambil fakta-fakta hukum tidak berhasil membuktikan adanya keterlibatan anggota TNI dan polisi dalam penyerangan tempat kediaman pastor Rafael/komplek gereja Liquica. Adanya kesaksian korban yang secara tegas menyatakan keterlibatan anggota TNI dan polri yang ikut menyerang dan tidak mencegah penyerangan tersebut tidak dijadikan oleh hukum sebagai fakta hukum.8 Tidak digunakannya kesaksian ini sebagai fakta hukum karena saksi-saksi yang lain membantah.

Melihat perbandingan ketiga kasus diatas, sistem pembuktian terhadap ketiga kasus ini semuanya menggunakan sistem pembuktian sesuai dengan KUHAP namun antara majelis hakim mempunyai pandangan yang berbeda terhadap keterangan saksi korban. Secara teorits sebetulnya ada peluang untuk menggunakan kesaksian korban, yang biasanya berdiri sendiri karena jumlanya sedikit, jika hakim dapat menghubungkan keterangan saksi-saksi yang berdiri sendiri tersebut satu sama lain.9

Dasar-Dasar Dan Prinsip Hukum Dalam Menguraikan Elemen / Pasal-Pasal Yang Didakwakan

Dalam berkas perkara diatas yang telah diputus, dapat dilihat adanya perbedaaan yang sangat mendasar mengenai pembahasan unsur-unsur dalam pasal yang didakwakan. Perbedaan tersebut adalah mengenai dasar pertimbangan hakim dalam menjabarkan unsur pasal yang didakwakan dengan menggunakan yurisprudensi atau norma-norma internasional yang relevan dengan kasus yang didakwakan.

Kasus Eurico Guterres, majelis hakim memberikan rumusan yang sangat jelas tentang penerapan unsur-unsur dalam setiap elemen yang didakwakan. Majelis hakim secara tegas mengacu pada praktek pengadilan Nuremberg dan Tokyo, ICTY dan ICTR dalam hal mengenai tanggung jawab individu. Elemen lainnya yaitu mengenai tanggung jawab atasan majelis hakim juga mengunakan ketentuan-ketentuan internasional (lihat tabel). Pertimbangan-pertimbangan dalam pembahasan tiap elemen yang didakwakan selalu dijelaskan dengan praktek-praktek pengadilan HAM internasional, doktrin hukum yang berkembang, prinsip-prinsip dan ketentuan ketentuan hukum internasional. Hakim secara tegas menyatakan adanya relevansi prinsip-prinsip hukum intenasional dalam kasus pelanggaran HAM berat di Timor-timur.10

8

Lihat keputusan untuk kasus dengan terdakwa Asep Kuswani dkk, kesaksian Antonio Daconsio Sousa menyatakan bahwa komplek gereja pada tanggal 6 april telah dikelilingi oleh milisi BMP yang dibantu oleh polisi, bahwa yang masuk menyerang ke dalam komplek gereja adalah BMP, Halilintar dan koramil Maubara, polisi dan anggota kodim, dimana polisi dan masuk bersama-sama dengan BMP. Bahwa TNI dan Polisi tidak mencegah penyerangan gereja tersebut.

9

Lihat pasal 184 (4) KUHAP.

10

Lihat Keputusan kasus dengan terdakwa Eurico Guterres. Majelis hakim menyatakan :..” bahwa situasi di Timor-timur, baik sebelum dan setelah jajak pendapat mengadung konflik bersenjata dengan insentitas yang cukup tinggi dengan struktir organisasi pihak yang bersengketa yang memenuhi persyaratan sebagaimana diisyaratkan dalam konvensi jenewa tahun 1949, maka dapat dikatakan bahwa di Timor-timur telah terjadi sengketa bersenjata internal (internal armed conflict), sehingga ketentuan tentang kejahatan perang sebagaimana yang diatur dalam Common article 3 konvensi Jenewa dapat diberlakukan,…..”.

(6)

Kasus Endar Prianto, tidak banyak kasus-kasus peradilan HAM internasional, doktrin maupun prinsip hukum internasional yang digunakan dalam pertimbangan untuk penjabaran elemen pasal yang didakwakan untuk terdakwa. Majelis hakim hanya menggunakan acuan untuk menjelaskan tanggung jawab komando dengan perbandingan dengan kasus Akayesu dalam ICTR.

Kasus Asep Kuswani dkk, majelis hakim dalam membahas elemen pasal yang didakwakan tidak mencantumkan sama sekali tentang perbandingan dan ketentuan-ketentuan hukum internasional. Konstruksi putusan yang dibangun adalah menggunakan logika hukum pidana biasa tanpa menjelaskan sumber atau referensi dalam praktek internasional yang cukup memadai untuk menafsirkan dan membahas elemen pasal demi pasal.

Atas keputusan tiga kasus mesing-masing untuk terdakwa Eurico guterres, Endar Prianto dan Asep Kuswani dkk, sudah bisa menilai tentang kualitas dari masing-masing putusan tersebut. Hal yang lebih penting adalah adanya kesadaran dari majelis hakim bahwa intrumen hukum nasional untuk pengadilan HAM Ad hoc ini kurang memadai sehingga memerlukan penafsiran hukum karena apabila hukum tidak jelas hakim wajib menafsirkan undang-undang. Dari ketiga kasus tersebut ternyata terdapat adanya perbedaan penafsiran terhadap ketentuan dalam dalam undang-undang 26 Tahun 2000.

Peristiwa Pelanggaran Ham Berat “Crime Against Humanity” Dalam Putusan Majelis Hakim

Ketiga putusan terhadap tiga berkas yaitu : Terdakwa Eurico Guterres, Endar Priyanto dan Asep Kuswani dkk yang mengadili atas kedua kasus pelanggaran HAM Berat yakni penyerangan kediaman Manuel Viegas Carascalao dan penyerangan kekediaman pastor Rafael menyatakan bahwa peristiwa tersebut terbukti merupakan peristiwa pelanggaran HAM berat yang didasarkan Pasal 9 huruf a dan 9 huruf h UU No 26 tahun 2000 yakni kejahatan terhadap kemanusian dalam bentuk serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya serangan tersebut ditujukan kepada penduduk sipil dengan cara pembunuh dan penganiayaan. (lihat tabel)

Peristiwa pelanggaran HAM berat dalam Putusan

KASUS DALAM DAKWAAN JPU PUTUSAN HAKIM

EURICO GUTERRES

Perbuatan Crimes against Humanity berdasarkan pasal 9a (pembunuhan) dan pasal 9h untuk penganiayaan UU No 26 tahun 2000

Telah terbukti

ENDAR PRIYANTO

Perbuatan Crimes against Humanity berdasarkan pasal 9a (pembunuhan) dan pasal 9h untuk penganiayaan UU No 26 tahun 2000

(7)

ASEP KUSWANI

Perbuatan Crimes against Humanity berdasarkan pasal 9a (pembunuhan) dan pasal 9h untuk penganiayaan UU No 26 tahun 2000

Telah terbukti

Majelis hakim dalam Putusan kasus Eurico Gueteres menyatakan: “ ….bahwa dalam

kasus ini berdasarkan fakta yang terungkap dipersidangan hampir seluruh wilayah Tim-Tim yang terdiri atas 13 kabupaten terjadi kekerasan, pembunuhan, penganiayaan terhadap masyarakat, pembumihangusan dengan pola yang sama.”…..…”bahwa kekerasan, pembunuhan, penganiayaan yang dilakukan oleh pasukan kelompok Pro integrasi adalah bagian dari perencanaan dan strategi untuk memenangkan kelompok pro integrasi dalam jajak pendapat dimana hal tersebut sejalan dengan kebjikan pemerintah, yaitu tetap mempertahankan Tim-Tim sebagai bagian dari negara kesatuan RI.”…..”berdasarkan pertimbangan-pertimbangan diatas maka unsur ini menurut penilaian Majelis hakim telah terpenuhi karenanya terbukti menurut hukum.

Majelis hakim dalam Putusan kasus Endar priyanto menyatakan: …..”bahwa dengan

berpedoman pada pengertian-pengertian tersebut dengan fakta-fakta hukum yang terungkap dari keterangan saksi-saksi, keterangan terdakwa maupun upaya bukti lainnya, maka majelis berpendapat bahwa peristiwa-peristiwa tanggal 17 April 1999 adalah termasuk pelanggaran HAM berat dengan alasan sebagai berikut, pertama, serangan tersebut telah menimbulkan korban, baik korban yang meninggal dunia maupun korban luka-luka yang merupakan penduduk sipil, kedua, bahwa peristiwa tersebut dilakukan secara sistematik, tampak dari terorganisirnya kelompok penyerang dan kelompok pro integrasi/otonomi menggunakan senjata api rakitan, parang, panah yang secara sadar melakukan pembunuhan dan penganiayaan dengan akibat kematian, luka-luka yang mereka kehendaki terhadap korban. Adanya tenggang waktu yang cukup bagi kelompok tersebut untuk berkumpul hingga jumlahnya ratusan. Ketiga, bahwa kelompok tersebut teroroganisir terbukti dari adanya pimpinan kelompok pro integrasi/otonomi.”

Majelis Hakim dalam Putusan kasus Asep Kuswani menyatakan: ……”berdasarkan

pembahasan diatas menurut pendapat pengadilan……….semua unsur pasal 9a telah terpenuhi..bahwa dakwaan JPU yang menyebutkan telah terjadi pelanggaran HAM yang berat berupa pembunuhan telah terpenuhi.”……”oleh karena semua unsur mengenai penganiayaan telah terpenuhi maka unsur penganiayaan terhadap persamaan paham, etnis, ras, agama jenis kelamin atau alasan-alasan lainnya telah terpenuhi.

Berdasarkan pendapat majelis hakim di atas terlihat bahwa sampai pada tahap untuk menentukan telah adanya perbuatan pelanggaran HAM berat yang dimaksud oleh Pasal 9 a dan 9 h UU No 26 Tahun 2000, dan pertimbangan majelis hakim untuk tiga berkas ini sesuai dengan apa yang didakwakan oleh JPU.

(8)

Pelaku Crime Against Humanity Dalam Putusan Majelis Hakim

Di atas telah dijelaskan bahwa untuk tahap menetukan telah terjadinya pelanggaran HAM Berat berdasarkan Pasal 9a dan 9h UU No 26 tahun 2000 Majelis hakim telah berhasil menetapkan bahwa peristiwa tersebut merupakan pelanggaran HAM Berat. Namun pada tahap untuk menentukan siapakah pelaku crime againts humanity tersebut masing-masing Majelis hakim dari ketiga berkas menunjukkan perbedaan yang mencolok. (lihat tabel)

Pelaku crime against humanity dalam putusan

KASUS DALAM DAKWAAN JPU PUTUSAN HAKIM

EURICO GUTERRES

Pelaku adalah pasukan atau kelompok aitarak dan pasukan pejuang intergrasi, bersama pasukan TNI.

Pelaku adalah kelompok milisi aitarak dan besi merah putih. Dan anggota TNIdari Maubara yang melakukan penyerangan setelah apel akbar dihalaman kantor gubernur Tim-Tim dan dilakukan pembiaran oleh aparat keamanan dan

ENDAR PRIYANTO

Pelaku adalah kelompok Milisi dan anggota TNI dari Dilli dan Liquisa

Pelaku adalah kelompok pro Integrasi Besi merah putih, sedangkan pelaku anggota TNI dari Koramil Maubara dibantah oleh beberapa saksi lainnya

ASEP KUSWANI dkk

Pelaku adalah kelompok Besi Merah Putih, anggota TNI dan anggota Kepolisian RI

Pelaku adalah kelompok besi Merah Putih

Majelis hakim dalam putusan kasus Eurico Guteres menyatakan :……..”bahwa majelis

hakim berkeyakinan dari adanya fakta sebagaimana diuraikan diatas, kelompok massa peserta yang menyerang para pengungsi adalah sebagian dari anggota Aitarak dan Besi merah putih yang bangkit emosinya setekah mendengar pidato terdakwa, dan melaksanakan niatnya untuk membunuh kelompok anti inetgrasi dengan menyerang para pengungsi tersebut.”

Majelis hakim dalam putusan kasus Endar Priyanto menyatakan :……..” bahwa

berdasarkan fakta hukum yang terungkap dipersidangan, nyata dan terbukti bahwa para pelaku penyerangan yang tergabung dalam kelompok pro integrasi (besi merah putih) dengan menggunakan senjata api rakitan, parang dan panah terhadap para korban yang berada pada rumah Manuel Viegas Carascalao pada tanggal 17 April 1999.”…..”bahwa kalaupun JPU dalam dakwaannya menyebutkan adanya anggota TNI ….dan dari fakta yang terungkap dipersidangan, memang ada anggota TNI dari Koramil Maubara yang tidak termasuk wilayah kekuasaan Dandim 1627 Dilli, namun dibantah oleh beberapa saksi lainnya.”

(9)

Majelis hakim dalam putusan kasus Asep Kuswani menyatakan :……..”Menimbang

bahwa berdasarkan pembahasan diatas, menurut pengadilan peristiwa yang terjadi pada tanggal 6 april 1999 di rumah kediaman pastor Rafael, didalam kompleks gereja Liquisa adalah suatu penyerangan di satu pihak oleh kelompok BMP terhadap pihak lain yaitu para pengungsi pro kemerdekaan yang sedang ketakutan mencari tempat perlindungan yang aman.”………..”berdasarkan hal-hal di atas maka pelaku pelanggaran tersebut adalah kelompok Besi merah putih.”

Dari ketiga berkas tersebut, hanya dalam kasus Eurico Guterres majelis hakim memutuskan bahwa pelaku penyerangan adalah anggota TNI sesuai dengan apa yang ada dalam dakwakan JPU, sedangkan untuk kasus Endar Priyanto dan asep Kuswani Majelis hakim berpendapat tidak ada bukti yang menunjukkan anggota TNI yang terlibat. Dalam kasus Eurico Guterres Majelis hakim tidak hanya menyatakan bahwa telah terjadi penyerangan oleh anggota TNI tetapi juga pembiaran oleh aparat terkait.

Dalam hal ini Majelis hakim yang mengaili Eurico menyatakan : …..”bahwa dari

keterangan-keterangan para saksi yang layak dipercaya kebenarannya, karena satu dengan yang lainnya saling berhubungan dan bersesuaian kembali majelis hakim mendapat fakta hukum yang diyakini kebenarannya, yaitu para Milisi yang menyerang rumah Manuel Carrascalao pada tanggal 17 April 1999, adalah kelompok Milisi pro integrasi yang berasal dari kelompok Aitarak Dilli dan kelompok Besi Merah Putih serta beberapa oknum TNI yang berasal dari Maubara yang namanya telah disebutkan oleh para saksi-saksi…….”(hal 102)

….” Menimbang bahwa berdasarkan fakta-fakta diatas, maka telah terjadi pembiaran yang dilakukan oleh terdakwa terhadap bawahannya dala penyerangan terhadap manuel Carrascalao. Pembiaran mana ternyata tidak saja dilakukan oleh terdakwa tetapi juga oleh aparat militer, Danrem Tono Suratman, pejabat sipil yang berwenang termasuk

gubernur dan Walikota Dilli, beserta aparat keamanan lain yang juga seharusnya

bertanggung jawab.(hal 150)

Pertanggungjawaban Komando “Crimes Against Humanity” Dalam Putusan Majelis Hakim

Implikasi dari putusan hakim terhadap siapakah pelaku dalam crimes against humanity di atas kemudian berdampak pula terhadap siapa yang harus bertanggung jawab terhadap kejahatan yang di dakwakan oleh JPU. (lihat tabel)

Pelaku persitiwa dalam putusan

KASUS DALAM DAKWAAN JPU PUTUSAN HAKIM

EURICO GUTERRES

Yang bertanggung jawab secara pidana adalah terdakwa berdasarkan tanggungjawab komandan sipil

Terdakwa bertanggung jawab atas perbuatan bawahanya

Di samping hakim menyatakan bahwa Tono Suratman, Gubernur Tim-Tim, walikota Dilli, dan aparat TNI

(10)

lainnya telah melaklukan pembiaran.

ENDAR PRIYANTO

Yang bertanggungjawab adalah terdakwa dalam posisi tanggungjawab komandan militer

Terdakwa tidak dapat dipertanggungjawabkan

karena tidak terbukti ada anak buah dalam jalur komando yang melakukan penyerangan

ASEP KUSWANI dkk

Asep Kuswani : bertanggung jawab berdasarkan posisinya sebagai komandan militer dan sipil

Leonito martins : bertanggung jawab berdasarkan posisinya sebagai komandan Militer dan Sipil

Adios salova : bertanggung jawab berdasarkan posisinya sebagai komandan militer dan Polisi.

Terdakwa Asep Kuswani

tidak dapat dipertanggungjawabkan secara

pidana karena tidak terbukti ada anak buahnya yang melakukan penyerangan.

Leonito Martin tidak dapat dipertanggungjawabkan

karena tidak terbukti adanya hubungan antara pelaku dengan terdakwa

Adios salova tidak dapat dipertanggungjawabkan

karena tidak terbukti adanya hubungan anatara pelaku dengan terdakwa.

Majelis Hakim dalam Putusan kasus Eurico Guterres menyatakan : ……..”Menimbang

bahwa oleh karena telah ada kesalahan dari terdakwa yaitu anggota kelompok Aitarak dan BMP yang menyerang rumah Manuel Carrascalao yang diakibatkan terdakwa tidak melakukan pengendalian bawahannya secara patut dan benar, terhadap bawahannya itu, sedangkan terdakwa mempunyai kemampuan selaku wakil panglima dan komandan aitarak untuk mencegah perbuatan bawahannya itu, maka adanya kesalahan dari anak buah terdakwa dapat dimintakan pertanggungjawabannya selaku atasan atau pimpinan PPI.”………..”Menimbang bahwa berdasarkan fakta-fakta diatas, maka telah terjadi pembiaran yang dilakukan oleh terdakwa terhadap bawahannya dala penyerangan terhadap manuel Carrascalao. Pembiaran mana ternyata tidak saja dilakukan oleh terdakwa tetapi juga oleh aparat militer, Danrem Tono Suratman, pejabat sipil yang

berwenang termasuk gubernur dan Walikota Dilli, beserta aparat keamanan lain yang

juga seharusnya bertanggung jawab.”(hal 150)

Majelis Hakim dalam putusan Kasus Endar prianto menyatakan : ……”bahwa dari fakta

hukum yang terungkap dipersidangan ternyata bahwa terdakwa mengetahui adanya pelanggaran HAM yang berat yang terjadi di kediaman Manuel Viegas Carascalao pada tanggal 17 April 1999 dari laporan saksi Salmon Manafe, akan tetapi ternyata bahwa

dalam peristiwa tersebut tidak terbukti adanya keterlibatan anggota TNI dari Kodim 1627 Dilli”…..”bahwa walaupun di atas dikatakan bahwa terdakwa telah mengetahui

dan telah menerima informasi, tetapi karena sebagaimana diuraikan diatas ternyata bahwa bawahan terdakwa tidak ada yang terbukti melakukan pelanggaran HAM yang

(11)

berat dan lagi pula terdakwa tidak mengabaikan informasi……..bahwa dengan tidak terbuktinya pelanggaran HAM Berat yang dilakukan oleh bawahan terdakwa, dihubungkan dengan prinsip tanggungjawab komando, maka majelis berkesimpulan bahwa terdakwa tidaklah layak dibebani pertanggungjawaban pidana HAM yang berat

yang tidak terbukti dilakukan oleh bawahannya.

Majelis hakim dalam putusan Kasus untuk terdakwa Asep Kuswani menyatakan : ……”

terdakwa I Asep Kuswani tidak mempunyai hubungan hierarkhi garis komando dan pengendalian yang efektif dengan kelompok BMP yang tergabung dengan kelompok pro integrasi dan sebaliknya BMP bukan merupakan pasukan yang berada dibawah kekuasaan dan pengendalian yang efektif dari terdakwa asep Kuswani,…bahwa terdakwa asep kuwani tidak dapat dipertanggungjawabkan atas terjadinya pelanggaran HAM berat tersebut”.

Majelis hakim dalam putusan untuk terdakwa Adios Salova menyatakan :…” antara

terdakwa Adios Salova tidak terdapat dan tidak mempunyai hubungan komando dan tidak mempunyai pengendalian yang efektif pada kelompok BMP dan sebaliknya kelompok BMP tidak berada dibawah komando dan pengendalian yang efektif atau dibawah kekuasaan dan pengendalian yang efektif dari terdakwa”.

Majelis hakim dalam putusan untuk terdakwa Leonito Martins menyatakan :…” tidak

terdapat dan tidak mempunyai hubungan…atasan dan bawahan dalam kekuasaan pengendalian yang tertib terhadap kelompok BMP dan sebaliknya kelompok BMP adalah bukan merupakan pasukan yang berada dibawah kekuasaan dan pengendalian yang efektif dari terdakwa”.

Dari ketiga Berkas perkara tersebut, juga hanya dari Majelis hakim untuk terdakwa kasus Eurico Guterres yang berhasil menunjukkan adanya tanggung jawab komando terhadap perbuatan bawahannya. Sedangkan majelis Hakim untuk terdakwa Endar priyanto dan Asep Kuswani dkk gagal untuk menunjukkan adanya pertanggungjawaban komando. Argumentasi hakim adalah “tidak ada bukti yang menunjukkan adanya hubungan bawahan antara pelaku dengan terdakwa, sehingga terdakwa terlepas dari tanggungjwab komando”

Hak Kompensasi Bagi Korban Dalam Putusan Majelis

Pemberian Kompensasi, Restitusi dan Rehabilitasi bagi para korban pelanggaran HAM berat di Tim-Tim seharusnya diumumkan dalam amar putusan hakim, hal ini sesuai dengan PP No 3 Tahun 1999 mengenai Kompensasi, Restitusi dan Rehabilitasi bagi korban pengadilan HAM di Tim-Tim. Namun dalam Kenyataannya Majelis Hakim yang mengadili ketiga berkas ini, tidak ada satupun yang mencantumkan mengenai hak-hak para korban tersebut. Padahal dalam pembahasan mengenai peristiwa pelanggaran HAM berat, seluruh majelis hakim telah memutuskan bahwa telah terjadi peristiwa pelanggaran HAM berat. (lihat Tabel).

(12)

Hak korban dalam Putusan

KASUS PUTUSAN MAJELIS HAKIM

EURICO GUTERRES Tidak ada dalam amar putusan hakim

ENDAR PRIYANTO Tidak ada dalam amar putusan hakim

ASEP KUSWANI dkk Tidak ada dalam amar putusan hakim

Tidak dicantumkannya Pemberian hak korban atas kompensasi ini sangat mengherankan karena majelis hakim telah sepakat mengenai adanya peristiwa pelanggaran HAM berat yang menimbulkan korban. (lihat tabel)

Jumlah korban dalam putusan

KASUS DALAM DAKWAAN JPU PUTUSAN HAKIM

EURICO GUTERRES 12 meninggal dunia

3 luka-luka 11 meninggal 3 luka-luka ENDAR PRIYANTO 12 meninggal dunia 3 luka-luka

Ada yang meninggal dan luka-luka tapi tidak ditetapkan berepa

jumlahnya

ASEP KUSWANI dkk 22 meninggal dunia

21 luka-laku

5 meninggal 20 luka-luka

Oleh karena itu dengan tidak dicantumkannya hak korban ini dalam amar putusan majelis hakim, telah menyimpangi dan mematikan hak-hak korban atas kompensasi, restitusi dan rehabilitasi yang seharusnya diterima oleh korban. Menyimpangi PP No 3 Mengenai Kompensasi restitusi dan rehabilitasi bagi korban, dan menyimpangi prinsip-prinsip Internasional mengenai hak ini yang tercantum dalam Boven Principle.

Kesimpulan

Putusan Majelis Hakim terhadap tiga berkas ini (kecuali untuk kasus Eurico Gutteres) secara umum masih menunjukkan bahwa pengadilan HAM ad hoc telah gagal untuk menentukan siapa yang harus bertanggungjawab atas terjadinya pelanggaran HAM berat di Timor-timur.

Putusan Pengadilan terhadap tiga berkas ini juga menunjukkan pola yang sama dengan putusan tiga berkas sebelumnya, yaitu adanya indikasi untuk mengorbankan sipil sebagai orang yang bertanggungjawab atas peristiwa kejahatan kemanusiaan di Timor-timur dan adanya upaya untuk menyelamatkan orang-orang dari kalangan militer.

(13)

Pengadilan ini telah gagal untuk memahami dan mengkaitkan pengertian command responsibility dengan peristiwa yang terjadi dimana komandan/atasan itu bertanggungjawab atas peristiwa yang terjadi di wilayah Timor-timur, sehingga pengadilan HAM ad hoc ini tidak akan memberikan preceden yang baik terhadap proses pengadilan HAM ke depan.

Putusan Pengadilan HAM ad hoc ini merupakan ancaman yang serius bagi penegakan dan perlindungan HAM di Indonesia dan juga semakin mengindikasikan bahwa sistem hukum yang dibangun selama ini telah gagal untuk memerangi dan melawan kejahatan terhadap kemanusiaan.

Pengadilan ini juga telah gagal untuk memberikan keadilan bagi para korban pelanggaran HAM berat di Timor-timur dengan tidak diperhatikannya hak-hak reparasi bagi para korban, yaitu hak kompensasi, restitusi dan rehabilitasi dalam putusan pengadilan ini. Kegagalan-kegagalan tersebut juga tidak lepas dari kegagalan jaksa penuntut umum untuk menjalankan tugas dan fungsinya secara efektif dalam membuktikan dakwaannya dan juga menunjukkan ketidakseriusan jaksa penuntut umum dalam dalam menjalankan tugasnya.

Jakarta, 20 Desember 2002.

Tim Monitoring Pengadilan HAM Ad Hoc Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat

Referensi

Dokumen terkait

Strategi PQ4R digunakan dalam pembelajaran membaca untuk membantu peserta didik mengingat apa yang telah dibacanya dari teks melalui enam tahapan yaitu,

Halaman ini merupakan form isian data NIK, Nama, E-mail dan Kata Sandi yang nantinya digunakan sebagai user login untuk membuat usulan oleh Pimpinan Faskes dan verifikasi usulan

Pada tabel di atas nilai sig variable DPK = 0.7675 > 0.05 sehingga H0 tidak ditolak, yang berarti variable independen DPK secara parsial tidak berpengaruh signifikan

Gejala klinis tersebut, sesuai dengan yang dialami pasien, berupa nyeri pada leher dan diikuti pembengkakan pada leher, demam selama 2 hari, pasien kesulitan

Perluasan infeksi odontogenik hingga ke regio bukal, fasial, dan subkutaneus servikal, sehingga berkembang menjadi selulitis fasialis dapat menyebabkan kematian jika

Sedangkan pada perlakuan B, C, dan D terjadi peningkatan survival rate disebabkan jumlah dari pakan alami dari hasil penyaringan terdapat dalam jumlah yang banyak

Ranah psikomotor yang dinilai terdiri dari tiga aspek yaitu, aspek menirukan (menyesuaikan hasil LDS dengan media), aspek memanipulasi (membuat jawaban pada LDS dengan tepat dan

Penilitian penggunaan APK pada distilasi air energi surya absorber kain memperoleh hasil sebesar 0,47 liter/m2.jam dengan debit aliran air absorber kain 0,6 liter/jam dan debit