• Tidak ada hasil yang ditemukan

Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) Progress Report II Monitoring Pengadilan HAM Adhoc Untuk Perkara Pelanggaran Berat HAM di Timor Timur

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) Progress Report II Monitoring Pengadilan HAM Adhoc Untuk Perkara Pelanggaran Berat HAM di Timor Timur"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM)

Progress Report II

Monitoring Pengadilan HAM Adhoc

Untuk Perkara Pelanggaran Berat HAM di Timor Timur I. Pengantar

Pada bulan April 2002, masing-masing Majelis hakim yang memeriksa perkara di Pengadilan HAM Adhoc untuk kasus pelanggaran HAM berat di Timor-timur telah menjatuhkan putusan sela. Dalam putusan sela tersebut Para Majelis Hakim berpendapat bahwa Pengadilan HAM Adhoc memiliki kompetensi absolut dan relatif untuk mengadili kasus pelanggaran HAM berat di Timor-timur. Selain itu, dakwaan-dakwaan yang disusun oleh Jaksa Penuntut Umum Adhoc telah memenuhi syarat formal dan materiil suatu dakwaan. (pembahasan lebih mendalam tentang surat dakwaan dan kompetensi pengadilan, lihat progress report # I).

Dalam progress report II ini, akan disorot lebih lanjut proses persidangan tersebut, khususnya tentang proses pembuktian dakwaan. Di sini dilihat unsur-unsur yang terkandung di dalam pasal-pasal dakwaan dan kewajiban Jaksa Penuntut Umum membuktikan unsur-unsur tersebut, kecenderungan keterangan saksi-saksi yang telah diperiksa dipersidangan sampai akhir April 2002. Selain akan disorot pula kemampuan Jaksa dan Hakim mengeksplorasi kesaksian-kesaksian yang diberikan dalam persidangan, dan kemudian dilanjutkan dengan analisis terhadap keterangan saksi-saksi tersebut.

II. Proses Pembuktian

2.1. Unsur-unsur Dakwaan

Dari ketiga berkas tersebut dapat dipilah menjadi dua bentuk dakwaan, yaitu pertama, dua berkas dakwaan masing-masing an. Abilio Jose Osorio Soares dan Timbul Silaen mempunyai bentuk dakwaan alternatif serta pasal-pasal yang didakwakan hampir sama. Kedua, satu berkas dakwaan an. Liliek Koeshadiyanto, Dkk, menggunakan bentuk dakwaan subsidair.

A. unsur-unsur dakwaan an. Abilio Jose Osorio Soares dan Timbul Silaen sebagai-berikut: a. Dakwaan Kesatu

Pasal 42 ayat (2) a dan b

• Barang siapa: Seseorang yang

(2)

• Polisi maupun Sipil

• Bertanggung-jawab secara pidana

• Atas tindak pidana pelanggaran HAM berat • Yang dilakukan oleh bawahannya

o Yang berada di bawah kekuasaannya dan o Pengendaliannya yang efektif

• Tidak melakukan pengendalian secara patut dan benar Atasan tersebut :

• Mengetahui atau

• Secara sadar mengabaikan informasi

o Yang secara jelas menunjukkan bahwa bawahan sedang melakukan atau

o Baru saja melakukan Pelanggaran HAM yang Berat

• Tidak mengambil tindakan yang layak dan diperlukan dalam ruang lingkup kewenangannya untuk :

o Mencegah atau menghentikan perbuatan tersebut atau

o Menyerahkan pelakunya kepada pejabat yang berwenang untuk dilakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan.

Jis

Pasal 7 ayat b

Pelanggaran HAM yang Berat meliputi Kejahatan Kemanusiaan Pasal 9 ayat a

• Salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari o Serangan yang meluas atau

o Sistematik

• Yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil

• Berupa pembunuhan Pasal 37

• Barang siapa: Adalah setiap orang

• Melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud pasal 9 huruf a, b, c, d atau e • Dipidana dengan pidana mati atau pidana seumur hidup atau pidana penjara

paling lama 25 (dua puluh lima) tahun dan paling singkat 10 (sepuluh) tahun. Dengan melihat unsur-unsur dari pasal-pasal yang dikemukakan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa unsur-unsur yang terkandung di dalam dakwaan Kesatu adalah sebagai-berikut :

1) Barang Siapa orang yang menjadi Terdakwa adalah polisi atau sipil; Merupakan atasan langsung dari bawahannya yang melakukan Pelanggaran HAM yang Berat.

2) Pelanggaran HAM yang berat yang dilakukan oleh bawahannya adalah kemanusiaan berupa pembunuhan.

(3)

3) Perbuatan bawahannya ini merupakan bagian dari suatu kejahatan kemanusiaan yang dilakukan secara meluas atau sistematis yang ditujukan secara langsung kepada penduduk sipil.

4) Terdakwa mengetahui atau secara sadar mengabaikan informasi tentang perbuatan bawahannya tersebut.

5) Terdakwa tidak melakukan tindakan yang layak dan diperlukan guna mencegah atau menghentikan perbuatan tersebut atau Menyerahkan pelakunya kepada pejabat yang berwenang untuk dilakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan.

6) Apabila unsur-unsur tersebut dapat dibuktikan maka Terdakwa dapat dipidana dengan pidana mati atau pidana seumur hidup atau pidana penjara maksimal 25 tahun dan minimal 10 tahun.

b. Dakwaan Kedua

Pada dakwaan kedua, unsur-unsur dakwaan hampir sama dengan dakwaan kesatu, yang berbeda hanya pada : 1. Perbuatan kejahatan kemanusiaan yang dilakukan oleh bawahannya berupa penganiayaan dst. 2. hukuman pidana yang dapat dijatuhkan maksimal 20 tahun dan minimal 10 tahun.

B. Satu berkas atas-nama 5 (lima) Terdakwa disusun dalam bentuk dakwaan subsidair. Karena dakwaannya dalam bentuk dakwaan subsidair, maka unsur-unsur dakwaan yang akan dikemukakan disini adalah Dakwaan Primair saja. Adapun unsur-unsur dakwaan Primair tersebut sebagai-berikut :

Dakwaan Primair : Pasal 7 b

Pelanggaran hak asasi manusia yang berat meliputi kejahatan terhadap kemanusiaan. Jis

Pasal 9 ayat a

• Salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari o Serangan yang meluas, atau

o Sistematik

• Yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil

• Berupa pembunuhan Pasal 37

• Barang siapa: Adalah setiap orang

• Melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud pasal 9 huruf a, b, c, d atau e

• Dipidana dengan pidana mati atau pidana seumur hidup atau pidana penjara paling lama 25 (dua puluh lima) tahun dan paling singkat 10 (sepuluh) tahun.

(4)

Pasal 42 ayat (1) sub a, b • Barang Siapa :

o Komandan militer atau seseorang yang secara efektif bertindak sebagai komandan militer.

• Dapat dipertanggungjawabkan terhadap tindak pidana yang berada di dalam yurisdiksi Pengadilan HAM.

• Yang dilakukan oleh pasukan yang berada di bawah komando dan pengendaliannya yang efektif, atau di bawah kekuasaan dan pengendaliannya yang efektif dan

• Tindak pidana tersebut merupakan akibat dari tidak dilakukan pengendalian pasukan secara patut, yaitu :

o komandan militer atau seseorang tersebut mengetahui atau atas dasar keadaan saat itu seharusnya mengetahui bahwa pasukan tersebut sedang melakukan atau baru saja melakukan pelanggaran hak asasi manusia yang berat; dan

o komandan militer atau seseorang tersebut tidak melakukan tindakan yang layak dan diperlukan dalam ruang lingkup kekuasaannya untuk mencegah atau menghentikan perbuatan tersebut atau menyerahkan pelakunya kepada pejabat yang berwenang untuk dilakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan.

Pasal 55 ayat 2

Terhadap penganjur, hanya perbuatan yang sengaja dianjurkan sajalah yang diperhitungkan, beserta akibat-akibatnya.

Dengan mencermati unsur-unsur dari pasal-pasal yang dikemukakan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa unsur-unsur yang terkandung di dalam dakwaan Primair adalah sebagai-berikut :

1) Barang Siapa: Terdakwa adalah Komandan militer atau seseorang yang secara efektif bertindak sebagai komandan militer.

2) Bertanggung-jawab secara pidana atas Pelanggaran HAM yang berat yang dilakukan oleh pasukan yang berada di bawah komando dan pengendaliannya yang efektif, atau di bawah kekuasaan dan pengendaliannya yang efektif. 3) Pelanggaran HAM yang berat yang dilakukan oleh pasukan yang berada di

bawah komando Terdakwa adalah melakukan kejahatan kemanusiaan berupa pembunuhan.

4) Dan perbuatan tersebut ini merupakan bagian dari suatu kejahatan kemanusiaan yang dilakukan secara meluas atau sistematis yang ditujukan secara langsung kepada penduduk sipil.

5) Tindak pidana tersebut merupakan akibat dari tidak dilakukan pengendalian pasukan secara patut :

a. Terdakwa mengetahui atau atas dasar keadaan saat itu seharusnya mengetahui bahwa pasukan tersebut sedang melakukan atau baru saja melakukan pelanggaran hak asasi manusia yang berat; dan

b. Terdakwa tidak melakukan tindakan yang layak dan diperlukan dalam ruang lingkup kekuasaannya untuk mencegah atau menghentikan

(5)

perbuatan tersebut atau menyerahkan pelakunya kepada pejabat yang berwenang untuk dilakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan. 6) Apabila unsur-unsur tersebut terbukti, maka Terdakwa dapat dijatuhi

hukuman dengan pidana mati atau pidana seumur hidup atau pidana penjara paling lama 25 (dua puluh lima) tahun dan paling singkat 10 (sepuluh) tahun. Catatan :

1. Sulit untuk memahami maksud dari Jaksa Penuntut Umum dalam menyusun pasal-pasal di dalam dakwaannya. Susunannya berbeda dengan dakwaan atas-nama Timbul Silaen dan Abilio Jose Osorio Soares.

2. Selain itu Jaksa Penuntut Umum tidak tegas dalam menentukan peran Para Terdakwa dalam dakwaan ini yaitu melanggar pasal 42 ayat 1 (command responsibility) atau sebagai Penganjur (sama dengan pelaku). Ketidakjelasan ini disebabkan karena Jaksa Penuntut Umum memasukkan pasal 55 ayat 2 KUHP. Seharusnya JPU memisahkan peran Terdakwa tersebut dengan membuat dakwaan yang lain, sehingga masing-masing Peran tersebut dijerat dengan dakwaan yang berbeda.

2.2. Keterangan Saksi-saksi di Persidangan

Untuk membuktikan unsur-unsur dakwaannya, Jaksa Penuntut Umum sampai akhir april 2002, telah mengajukan saksi-saksi sebagai-berikut :

Berkas Abelio Soares (berkas I)

NO Nama Jabatan Tanggal diperiksa Keterangan

1 M .Nur Muis Mantan danrem 17 April 2002

2 Herman Sedyono Mantan Bupati Covalima 17 April 2002 Terdakwa untuk Berkas III 3 Suprapto Tarman Mantan Bupati Ailio 18 April 2002

4 Tono Suratman Mantan Danrem 18 April 2002

5 Timbul Silaen Mantan Kapolda Tim-Tim 24 April 2002 Terdakwa untuk berkas II

6 Domingus Soares Mantan Bupati Dilli 25 April 2002 7 Mudjiono Mantan wakil Komandan

Korem Tim-Tim

25 April 2002

Berkas Timbul Silaen (berkas II)

NO Nama Jabatan Tanggal diperiksa Keterangan

1 Wiranto Mantan

Menhankam/Pangab

4 April 2002

2 Adam Rahmat

damiri

Mantan Pangdam Udayana 11 April 2002 Terdakwa Kasus Tim-Tim

3 Mohammad Noer

Muis

(6)

4 Joseph Josua Sitompul

Mantan Polri kapusdiklat Polda Tim-Tim

18 April 2002 5 Leo Pardede Mantan Kapusdalops Polda

Tim-Tim 1997-1999

18 April 2002 6 Muafi Sahudji Mantan Wakapolda

Tim-Tim 1997-1999

25 April 2002

Berkas Herman Sedyono dkk (berkas III)

NO Nama Jabatan Tanggal diperiksa Keterangan

1 Sony Iskandar Mantan supir kasdim Acmad syamsuddin (terdakwa IV) 23 April 2002 2 I Wayan Suka Antara Penjaga PLN Suai diperintah oleh Dandim

23 April 2002 3 Sulistyono Mantan Sopir Truk di

kodim 1635 Suai

23 April 2002 4 Jehezkiel Berek Mantan Wakapolres

Covalima

30 April 2002 5 Jacobus Tanamal Mantan Kapusdalop Polres

Covalima

30 April 2002 6 Yopi Lekatompessy Mantan Kapolsek Kota

Covalima

30 April 2002

Keterangan saksi-saksi tersebut di atas yang disampaikan dipersidangan cenderung hampir senada yaitu antara-lain sebagai-berikut :

1. Mengenai Jajak Pendapat

Pada awalnya muncul Opsi 1, ketika presiden punya usul untuk memberikan otonomi khusus kepada Tim-tim yaitu pada akhir 1998, kemudian awal januari 1999 muncul opsi 2 yang dua-duanya dibicarakan dalam tripartit agreement. Setelah ada opsi 1 dan 2 tersebut, situasi Tim-tim berubah dengan sangat cepat dimana ada kebijakan baru yang sangat berbeda dimana kelompok-kelompok yang tadinya bertentangan (pro dan anti integrasi) harus dianggap sebagai pihak yang harus dihormati.

2. Tentang penanggung-jawab keamanan

Yang bertanggung-jawab terhadap keamanan dalam proses jajak pendapat adalah Kepolisian karena pihak internasional tidak menghendaki campur tangan TNI dalam masalah pengamanan jajak pendapat. Dalam masalah pengamanan ini terjadi penyerahan KODAL dari Pangdam pada Kapolda yang dilakukan pada bulan Mei 1999 dan seharusnya sampai pada terbentuknya pemerintahan transisi. Tetapi karena setelah pengumuman jajak-pendapat yaitu pada tanggal 4 September 1999 telah terjadi chaos, maka pada tanggal 5 September 1999 Kodal dikembalikan ke Pangdam dan pada tanggal 7 September 1999 di seluruh wilayah Timor-timur diberlakukan darurat militer.

(7)

3. Penyebab kerusuhan atau Chaos

4 September terjadi chaos, 5 September malam keadaan semakin memburuk dan muncul tindakan anarkis dan sporadis yang mengganggu KAMTIBMAS yang terjadi di Dili dan 4 kabupaten lainnya. Penyebabnya adalah Pengumuman hasil jajak pendapat yang dipercepat, yang seharusnya tanggal 7 September 1999 dimajukan menjadi tanggal 4 September 99. Diduga telah terjadi kecurangan yang dilakukan oleh panitia jajak-pendapat dan UNTAET, namun komplain yang diajukan tidak mendapat tanggapan yang memuaskan. Pada dasarnya penyerangan tersebut merupakan rangkaian dari dendam yang sudah lama dan berkepanjangan dari masyarakat pro integrasi akibat tekanan teror dan pembunuhan yang dilakukan oleh anti integrasi kepada pro integrasi. Yang terlibat konflik adalah antara Kelompok Pro Integrasi dan Kelompok Anti Integrasi. Sedangkan anggota Polri dan TNI tidak terlibat dalam konflik, kalaupun terjadi pelanggaran oleh anggota Polri dan TNI bukan merupakan pelanggaran HAM karena pada saat itu belum dikenal Pelanggaran HAM.

4. Mengenai jumlah korban

dari peristiwa kerusuhan 5 dan 17 April 1999 serta September 1999 terdapat korban yang meninggal dari kelompok sipil tetapi jumlahnya tidak pasti. Dan ada korban luka-luka termasuk diantaranya adalah warga-negara asing. Bangunan-bangunan banyak yang dibakar, pembakaran ini dilakukan sendiri oleh Pemiliknya.

5. Tindakan yang dilakukan penanggung-jawab keamanan atau komandan terhadap kerusuhan atau gangguan keamanan.

Keamanan jajak pendapat telah berhasil dengan baik sehingga jajak-pendapat tersebut dapat terlaksana. Terhadap terjadinya chaos dan kerusuhan telah diambil tindakan sesuai dengan prosedur dan protap sehingga kerusuhan tidak meluas dan dapat dilokalisir. Terhadap mereka yang dianggap melakukan tindakan pidana telah dilakukan pengusutan atau tindakan hukum. Para Terdakwa telah bertugas dengan baik, dengan memberikan laporan kepada atasan atas semua peristiwa serta perkembangan keadaan serta telah melakukan tindakan-tindakan yang diperlukan. Kalaupun kerusuhan atau chaos tidak dapat dihentikan dengan cepat karena Para Pelaku sangat emosional dan jumlahnya sangat banyak, sedangkan petugas jumlahnya sangat terbatas.

6. Kehadiran milisi atau kelompok bersenjata

Mereka terbentuk sebagai reaksi dari opsi yang diumumkan. Hal ini didorong oleh agresifitas kelompok pro kemerdekaan yang merasa punya hak sama, mengadakan intimidasi dan penyerangan-penyerangan kepada masyarakat, melakukan teror terhadap kelompok pro integrasi. Waktu itu ada eksodus para petugas medis yang berasal dari luar Tim-tim, dari para pengajar yang berasal dari luar Tim-tim, juga intimidasi, teror, penyerangan dilaksanakan pada kelompok pro integrasi, mulai saat itu untuk melawan teror-teror itu mereka membentuk kelompok-kelompok perlawanan parsial. Jadi kelompok—kelompok itu terbentuk sebagai reaksi dari aksi kelompok pro kemerdekaan. Jadi tidak ada hubungan struktural. Dan tidak ada

(8)

hubungan satu dengan yang lain. Selain itu terdapat kelompok sipil yaitu Wanra dan Kamra. Di lapangan, Wanra Pembinanya adalah Kodim, kalau Kamra adalah kepolisian.

Dari keterangan saksi-saksi tersebut dapat dikemukakan beberapa contoh yang diambil dari keterangan saksi Jendral (Pur) Wiranto dan Mayjen Adam Damiri.

(9)

Saksi Jendral (Pur.) Wiranto

Setelah ada pengumuman jajak pendapat, secara spontan terjadi sikap yang emosional dari masyarakat pro integrasi dikarenakan tuntutan adanya kecurangan yang tidak ditanggapi atau merasa tidak ditanggapi sebagai-mana mestinya, muncul tindakan-tindakan sporadis dan anarkis. Yang terlibat dalam tindakan-tindakan anarkhis di timor-timur tidak jelas antara siapa dengan siapa. Tetapi kejadian seperti itu terjadi setiap saat, bukan hanya di Liquisa, Dili, di semua wilayah Tim-tim masih terjadi hal-hal semacam itu, yang merupakan kelanjutan dari proses yang sudah berjalan, proses integrasi itu, masih ada pro dan kontra, setiap wilayah ada bentrokan, perkelahian, intimidasi satu dengan yang lain.

Selama jajak-pendapat, dalam kurun waktu kurang-lebih 7 bulan, pasti ada satu atau dua anggota TNI/Polri yang melakukan pelanggaran terhadap tugasnya. Tapi waktu itu belum mengenal pelanggaran HAM, yang ada hanya pelanggaran pidana biasa. Dari peristiwa kekerasan tersebut telah jatuh korban, ada yang meninggal, ada orang asing yang terluka. Tetapi Kapolda sudah melakukan tindakan pengamanan dan pengusutan dan tidak melakukan pembiaran.

Saksi Adam Damiri

Memberikan keterangan di bawah sumpah, menerangkan, yang intinya:

saksi mendapat perintah, diantaranya adalah amankan dan sukseskan jajak pendapat, backup kepolisian yang mempunyai tugas kendali keamanan masalah operasional jajak pendapat. Saksi tidak melihat tetapi saksi tahu berdasarkan laporan dari Danrem. Saksi menilai jajak-pendapat dilaksanakan dengan tidak fair.

Dari kerusuhan tanggal 6 dan 17 April 99 serta September 99, saksi tidak mendapat laporan dari Danrem tentang keterlibatan TNI/Polri dalam kerusuhan tersebut. Juga Tim Irjen Mabes TNI yang dibentuk Panglima TNI, untuk mengecek kelapangan, untuk memantau atau mengusut kejadian tersebut, hasil pemantauan dari Irjen Mabes TNI ini, tidak melaporkan adanya keterlibatan anggota TNI/POLRI dalam kasus ini.

Saksi telah memberikan perintah kepada Danrem untuk segera menyelesaikan konflik atau pertikaian yang terjadi supaya tidak meluas, dan sudah ada langkah pencegahan dimana disitu aparat kepolisian dan TNI bersama-sama berupaya untuk mencegah, tetapi melihat massa yang begitu besar, begitu emosi, dan lain sebagainya, sehingga upaya tidak berarti menghadapi keadaan seperti itu, tetapi bisa mencegah tidak meluas dan mengurangi jumlah korban tidak terlalu banyak, tapi kalau dibiarkan, mungkin korban tidak hanya puluhan, mungkin ratusan, bahkan rumah pasturpun mungkin sudah terbakar habis, mungkin uskup Bello sudah mati.

(10)

2.3. Eksplorasi Jaksa Penuntut Umum dan Majelis Hakim Dalam Mengungkap Kebenaran Materiil.

Jaksa Penuntut Umum

Sebagai pihak yang bertanggung-jawab untuk membuktikan unsur-unsur dakwaannya Jaksa Penuntut Umum sampai akhir April 2002, belum mampu menghadirkan saksi-saksi yang diharapkan dapat membuktikan unsur-unsur tersebut. Jaksa Penuntut Umum lemah dalam memakai atau menggunakan data sebagai bahan rujukan atau pembanding dari keterangan saksi-saksi, beberapa contoh dapat dikemukakan disini.

1. Tentang Penyebab Kerusuhan

JPU tidak mencoba menggali lebih jauh pengetahuan saksi tentang penyebab kerusuhan. JPU seharusnya mengejar dengan pertanyaan lebih lanjut, tentang sumber pengetahuan saksi-saksi yang menyatakan bahwa kerusuhan tersebut disebabkan oleh diajukannya pengumuman jajak-pendapat serta terjadi kecurangan dan tidak ada tanggapan yang memuaskan atas klaim tersebut. Sehingga dapat diketahui apakah ini memang fakta ataukah hanya hasil analisis dari Para Saksi.

2. Tentang Keterlibatan TNI atau Polri dalam kerusuhan

Ada saksi yang mengatakan bahwa selama kurun waktu persiapan sampai dilaksanakan Jajak Pendapat terdapat anggota TNI atau Polri yang melakukan pelanggaran. JPU tidak menanyakan lebih lanjut tentang siapa-siapa anggota yang dimaksud. Kalau memang saksi tidak mengetahui persis, JPU seharusnya menanyakan sumber pengetahuan Saksi. Dan apabila dalam bentuk laporan atau hasil pemeriksaan, seharusnya JPU menanyakan dimana laporan atau berkas pemeriksaan tersebut dapat diperoleh, sehingga JPU dapat mengetahui: identitas Anggota TNI dan Polri yang melakukan pelanggaran, mengetahui hubungan antara anggota TNI dan Polri dengan Para Terdakwa serta jenis pelanggaran yang sudah dilakukan.

Majelis Hakim

Majelis Hakim dalam kasus pidana atau pelanggaran HAM berat harus bertindak pro-aktif dalam menguak kebenaran materiil. Dan Majelis Hakim juga memiliki kewenangan untuk menolak kehadiran Saksi yang tidak relevan dengan dakwaan atau pengetahuan yang diperolehnya bukan dalam kapasitas sebagai saksi yang dikehendaki oleh undang-undang. Contohnya sebagai-berikut :

1. Keterangan saksi-saksi yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum, sebagian mereka peroleh dari laporan. Berarti saksi ini tidak mengetahui secara langsung peristiwa pelanggaran ham yang didakwakan JPU, dengan demikian saksi seperti ini tidak relevan untuk dihadirkan. Selain itu, keterangan saksi yang diharapkan disampai dalam persidangan, berkaitan dengan unsur-unsur dakwaan bukan keterangan lainnya. Oleh karena itu daripada membuang-buang waktu, seharusnya Majelis Hakim menolak kehadiran saksi-saksi yang hanya memperoleh keterangan dari pihak lain atau tidak mengetahui peristiwa pelanggaran ham yang didakwakan.

2. Selain itu, Majelis Hakim juga tidak mencoba menguak lebih lanjut keterangan Saksi-saksi seperti: Saksi mengatakan bahwa sudah ada laporan dari Para Terdakwa ke atasannya baik secara tertulis dan lisan (melalui telepon). Seharusnya Majelis Hakim

(11)

menanyakan yang tertulis bentuknya seperti apa, berapakali laporan tersebut dibuat, dapat ditemukan dimana, apakah bisa diberikan ke JPU. Dan kalau memang dapat diberikan ke JPU, Majelis Hakim memerintahkan JPU untuk membawa bukti-bukti tersebut kepersidangan.

3. Tentang penanganan yang dilakukan oleh Para Terdakwa, Majelis Hakim seharusnya menanyakan tentang bukti-bukti pendukung bahwa penanganan yang dilakukan memang sudah sesuai protap dan sudah dilaksanakan secara maksimal. Misalnya, ada saksi yang mengatakan bahwa sudah ada pengusutan terhadap pelaku kerusuhan, seharusnya Majelis Hakim menanyakan identitas para pelaku yang diusut, siapa korbannya, apa perbuatan yang telah dilakukan, bukti laporannya apa dsb.

2.4 Analisis terhadap saksi dan keterangan saksi

Analisis dilakukan dengan menggunakan ketentuan hukum tentang saksi. Karena undang-undang Pengadilan HAM No. 26 tahun 2000, tidak mengatur secara lengkap tentang alat-bukti, maka undang-undang ini mengacu kepada Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) No. 8 tahun 1981. Selain itu analisis juga didasarkan pada unsur-unsur dakwaan Jaksa Penuntut Umum.

1. Yang seharusnya diperiksa terlebih dahulu sebagai saksi adalah saksi korban (Pasal 160 ayat 1 sub b KUHAP). Tapi, dari saksi-saksi yang telah diperiksa dipersidangan sampai dengan akhir April 2002, tidak ada satupun saksi yang merupakan saksi korban. Saksi-saksi yang diajukan adalah Terdakwa lain dalam berkas perkara yang berbeda dalam kasus Pelanggaran Ham yang Berat yang terjadi di Timor-timur. Atau Mereka yang masih ada atau pernah memiliki hubungan kerja dengan Para Terdakwa baik sebagai atasan atau bawahan.

2. Saksi-saksi yang hendak dihadirkan dipersidangan, seharusnya dicegah untuk saling berhubungan sebelum mereka memberikan keterangan dipersidangan. Hal ini untuk menghindari mereka saling pengaruh – mempengaruhi, sehingga keterangan mereka tidak lagi diberikan secara bebas. Sedangkan Saksi-saksi yang diajukan dipersidangan adalah Para Terdakwa yang statusnya tidak ditahan serta satu instansi. Sehingga ada kemungkinan untuk saling berhubungan dan mengatur keterangan yang menguntungkan dipersidangan.

3. Para Saksi yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum lebih tepat sebagai Saksi a de charge (yang meringankan Terdakwa – yang seharusnya diajukan oleh Terdakwa atau Penasihat hukumnya) bukan saksi a charge (yang memberatkan – saksi yang seharusnya diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum). Contohnya: keterangan Saksi yang menyatakan bahwa tidak ada anggota TNI/Polri yang terlibat dalam kerusuhan. Atau saksi yang mengatakan bahwa Para Terdakwa telah melakukan pekerjaan pencegahan maupun tindakan pengusutan sehingga kerusuhan dapat dilokalisir dsb.

4. Keterangan saksi seharusnya adalah keterangan dari seseorang atas suatu peristiwa pidana, yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri, dengan

(12)

menyebutkan alasan dari pengetahuannya tersebut. Keterangan saksi tidak dapat berupa pendapat/opini atau rekaan yang diperoleh dari hasil pemikirannya saja. Atau pengetahuannya tentang suatu peristiwa dia peroleh dengan cara, mendengar cerita dari orang lain (testimonium de auditu).  lihat box kesaksian Adam Damiri. Namun saksi-saksi yang diajukan JPU sebagian bukanlah termasuk kategori saksi sebagaimana dikehendaki oleh KUHAP. Karena sebagian pengetahuan yang mereka peroleh bukan hasil mendengar, mengetahui atau melihat sendiri suatu peristiwa, tetapi hanya mendapat laporan atau mendengar keterangan atau hasil membaca koran, mendengar radio dsb.

5. “argumen” para saksi bahwa pemicu kerusuhan adalah kecurangan UNAMET yang menyebabkan kemarahan para pejuang pro-integrasi sebetulnya sudah gugur dengan sendirinya, karena UNAMET sendiri telah melaporkan bahwa memang telah terjadi beberapa kecurangan, namun tidak signifikan sehingga dapat merubah hasil jajak pendapat secara keseluruhan, dan pemerintah Indonesia telah menerima kondisi tersebut dengan resmi. Namun, JPU dan Majelis Hakim membiarkan “argumen” ini kembali berkembang tanpa me-refer pada bukti-bukti tertulis yang ada yang sebetulnya sudah disertakan dalam Laporan KPP HAM untuk kasus Timor Timur. 6. Saksi-saksi yang seharusnya mengetahui atau berada dilokasi kejadian, sebagian

mengatakan lupa. Sehingga tidak dapat menjelaskan secara detil peristiwa tersebut. Dan tidak ada upaya yang gigih dari JPU maupun Majelis Hakim untuk mengingatkan kepada Saksi tentang peristiwa yang pernah Ia alami.

7. Keterangan yang dikemukakan saksi-saksi tersebut, belum dapat membuktikan dakwaan JPU bahwa bawahan langsung atau di bawah kontrol Para Terdakwa telah melakukan pelanggaran HAM yang berat berupa pembunuhan atau penganiayaan dan atas perbuatan bawahannya tersebut Para Terdakwa tidak menghentikan atau tidak melakukan pengusutan.

a. Karena keterangan yang diberikan dipersidangan oleh Para Saksi-saksi tersebut belum menunjukkan, misalnya si A adalah bawahan Terdakwa, si A ini melakukan pembunuhan atau penganiayaan terhadap seorang atau beberapa orang sipil. Dan pembunuhan atau penganiayaan tersebut merupakan bagian dari serangan yang sistematis atau meluas. Dan setelah mengetahui atau yang seharus Terdakwa mengetahui tetapi tidak melakukan penghentian atau pengusutan. b. Keterangan Para Saksi lebih menunjukkan bahwa yang melakukan kerusuhan atau

chaos atau terlibat konflik tersebut adalah kelompok anti-integrasi dan pro-integrasi. Sedangkan keterlibatan TNI/Polri didalam membina atau melatih atau memasok senjata ke kelompok pro-integrasi tidak diakui oleh Saksi. Sehingga sulit membuktikan keterlibatan TNI/Polri disini.

c. Keterangan Saksi juga memperkuat posisi Para Terdakwa dan semakin mementahkan unsur-unsur dakwaan, khususnya keterangan tentang penanganan terhadap kerusuhan. Para Saksi antara lain mengatakan bahwa apabila Para Terdakwa hanya diam dikantor atau tidur-tiduran, mungkin Uskup Belo sudah mati atau kerusuhan tidak hanya terjadi di 4 kabupaten, bisa terjadi diseluruh wilayah Timor-timur.

(13)

III. Kesimpulan :

Pemeriksaan saksi-saksi yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum sampai dengan akhir April 2002 masih sangat mengkhawatirkan dalam usaha membuktikan dakwaannya. Jaksa Penuntut Umum tampak pasif dan kurang eksploratif. Saksi-saksi yang dihadirkan JPU tidak cukup kuat untuk dapat membuktikan dakwaan yang diajukan Jaksa Penuntut Umum. Proses pemeriksaan saksi yang demikian itu berimplikasi pada pembuktian unsur-unsur yang wajib dibuktikan Jaksa Penuntut Umum dalam usaha membuktikan bahwa kerusuhan yang terjadi di Timor Timur tersebut merupakan kerusuhan yang bersifat meluas dan merupakan bagian dari kebijakan keamanan TNI/Polri di Timor Timur sebagaimana didakwakan. Dari keterangan yang disampaikan oleh Para Saksi, keterangan mereka cenderung mementahkan dakwaan Jaksa Penuntut Umum. Sementara itu, Jaksa Penuntut Umum dan Majelis Hakim tidak mampu mengeksplorasi dan menggali lebih dalam data-data yang ada dan kesaksian untuk membuktikan dakwaan, terutama untuk membuktikan adanya unsur sistematis. Justru saksi-saksi dibiarkan dengan bebas membuat analisa atau pendapat mereka atas kejadian yang ada, bukan memberikan kesaksian sebagaimana disyaratkan dalam KUHAP.

Oleh karena itu, agar pemeriksaan saksi-saksi ini efektif dan tepat sasaran, disarankan agar Jaksa Penuntut Umum:

a. Lebih mengutamakan Saksi-saksi Korban, atau Saksi yang tidak mempunyai hubungan langsung dengan Para Terdakwa baik berupa hubungan kekeluargaan maupun hubungan jabatan.

b. Jaksa Penuntut Umum, seharusnya menghindari mengajukan saksi dari sesama Terdakwa, karena Para Terdakwa, tidak mempunyai kewajiban pembuktian apalagi apabila keterangannya pada akhirnya akan memberatkan Terdakwa itu sendiri. Atau Saksi yang potensial dapat menjadi Terdakwa dalam perkara pelanggaran HAM. Oleh karena itu Jaksa Penuntut Umum harus mengutamakan menggunakan saksi-saksi serta bukti yang lain.

c. JPU harus mengacu ke surat-surat atau pernyataan yang pernah dikeluarkan oleh Para Terdakwa atau Saksi-saksi, berkas-berkas perkara serta laporan-laporan dari para Pihak yang relevan dengan perkara ini.

-o0o- Jakarta, 14 Mei 2002.

Referensi

Dokumen terkait

Status Desa Menjadi Kelurahan yang telah ditetapkan oleh Bupati. sebagaimana dimaksud pada huruf k,

Dari informasi di atas perlu dilakukan kembali penelitian pembanding tentang pengaruh padat penebaran terhadap pertumbuhan benih ikan lele, tetapi dengan spesies yang berbeda

Dari contoh tersebut dapat disimpulkan bahwa tujuan pengendalian sosial tersebut adalah ...A. meningkatkan rating stasiun

Dari nilai tersebut dapat diketahui nilai untuk karakteristik model antrian jalur tunggal dengan satu tahap pelayanan yang meliputi, rata-rata yang antri dalam

Kesimpulan penelitian ini adalah dalam segi aksesibilitas dan sirkulasi RPTRA belum sesuai dengan kriteria taman terbuka publik dalam suatu wilayah, kualitas RPTRA

800/Kep.84-Infokom/2011 Penunjukan PPID Di Lingkungan Pemerintahan Kota Tangerang 30 Juni 2011 4 Kota Tangerang Selatan Keputusan Walikota Nomor: 043.3/Kep.105- Huk/2012

Penilitian penggunaan APK pada distilasi air energi surya absorber kain memperoleh hasil sebesar 0,47 liter/m2.jam dengan debit aliran air absorber kain 0,6 liter/jam dan debit

Berdasarkan data AC setelah lepas braket dan saat ini menggunakan uji Wilcoxon, didapatkan nilai yang sama dengan data DHC yaitu p<0,005, menunjukkan adanya perbedaan