• Tidak ada hasil yang ditemukan

Gambar 2.1. Spektrum Cahaya Sumber : Siudjo. Teknik warna. 11 Oktober

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Gambar 2.1. Spektrum Cahaya Sumber : Siudjo. Teknik warna. 11 Oktober"

Copied!
34
0
0

Teks penuh

(1)

5

BAB II

DASAR TEKNIK PENERANGAN

2.1 Prinsip Utama Pencahayaan

Cahaya adalah penyebaran radiasi energi. Dari beberapa pengertian cahaya dapat dinyatakan sebagai energi dalam bentuk spectrum elektromagnetis. Panjang gelombang cahaya tampak berkisar antara 380 nm sampai 780 nm, ini dibagi atas beberapa panjang gelombang dan setiap daerahnya memiliki suatu warna tertentu, yakni :

 Unggu (380-420 nm)  Biru (420-495 nm)  Hijau (495-566 nm)  Kuning (566-589 nm)  Jingga (589-627 nm)  Merah (627-780 nm)

Cahaya putih dapat diuraikan denga menggunakan prisma kaca seperti diperlihatkan pada gambar 2.1. Sinar dibiaskan sedemikian rupa sehingga terjadi suatu spectrum, warna spectrum ini dinamakan cahaya suatu warna atau cahaya monokrom.

Gambar 2.1. Spektrum Cahaya Sumber : Siudjo. Teknik warna. 11 Oktober 2010. http://siudjo.blogsome.com/2008/08/14/teori-warna/

(2)

Warna yang kita lihat sebenarnya adalah spektrum cahaya yang dipantulkan oleh benda yang kemudian ditangkap oleh indra penglihatan kita (yakni mata) lalu diterjemahkan oleh otak sebagai sebuah warna tertentu. Sebagai contoh kita melihat warna hijau yang terdapat pada daun karena cahaya yang datang (umumnya cahaya matahari yang punya spektrum cahaya yg cukup komplit) diserap oleh daun selain warna hijau yang dipantulkan, dan cahaya hijau yang terpantul inilah yang kita tangkap sehingga kita dapat melihat bahwa daun berwana hijau. Jadi sebenarnya faktor penting bagi kita untuk melihat sebuah warna dengan baik adalah cahaya yang mengenai benda tersebut (contohnya adalah pada cahaya lampu TL, terdapat spektrum yang tidak sempurna sehingga terkadang warna yang kita lihat juga tidak seperti yang seharusnya.

2.2 Penerangan Buatan Manusia 2.2.1 Incandescent Lamp (lampu pijar)

Lampu pijar bertindak sebagai badan abu – abu yang secara selektif memancarkan radiasi, dan hampir seluruhnya terjadi pada daerah nampak. Bola lampu terdiri dari hampa udara atau berisi gas, yang dapat menghentikan oksidasi dari kawat pijar tungsten, namun tidak akan menghentikan penguapan. Warna gelap bola lampu dikarenakan tungsten yang teruapkan mengembun pada permukaan lampu yang relatif dingin. Dengan adanya gas inert, akan menekan terjadinya penguapan, dan semakin besar berat molekulnya akan makin mudah menekan terjadinya penguapan

Untuk lampu biasa dengan harga yang murah, digunakan campuran argon nitrogen dengan perbandingan 9/1. Kripton atau Xenon hanya digunakan dalam penerapan khusus seperti lampu sepeda dimana bola lampunya berukuran kecil, untuk mengimbangi kenaikan harga, dan jika penampilan merupakan hal yang penting. Gas yang terdapat dalam bola pijar dapat menyalurkan panas dari kawat pijar, sehingga daya hantar yang rendah menjadi penting. Lampu yang berisi gas biasanya memadukan sekering dalam kawat timah. Gangguan kecil dapat menyebabkan pemutusan arus listrik, yang dapat menarik arus yang sangat tinggi. Jika patahnya kawat pijar merupakan akhir dari umur lampu, tetapi untuk kerusakan sekering tidak begitu halnya.

(3)

Lampu incandescent memiliki masa kerja aktif antara 750 hingga 2000 jam dengan temperature tabung umumnya 2700 Kelvin. Temperatur yang sedemikian tinggi ini umumnya mengakibatkan lampu tidak bisa disentuh bila sudah menyala cukup lama. Standar cahaya yang dihasilkan lampu ini antara 5 hingga 20 lumen per Watt.

Lampu incandescent biarpun memiliki suhu yang tinggi tetapi banyak digunakan pada ruang baca, rumah tinggal dan hotel-hotel berbintang karena warna cahayanya yang hangat dan nyaman dan lampu ini bisa menghasilkan color

rendering atau kemampuan menghasilkan warna benda yang mirip dengan warna

aslinya, mendekati 100%.

Gambar 2.2. Lampu Pijar

Sumber : Merriam-Webster, Incandescent Lamp, 11 Oktober 2010. http://visual.merriam-webster.com/house/electricity/lighting/incandescent-lamp.php

2.2.2 Fluorescent Lamp

Lampu fluorescent atau yang lebih dikenal oleh masyarakat indonesia dengan istilah lampu TL, sudah digunakan dan dikembangkan sejak tahun 1980. lampu jenis ini bekerja menggunakan gas fluor untuk menghasilkan cahaya, dimana energi listrik akan membangkitkan gas di dalam tabung lampu sehingga akan timbul sinar ultra violet. Sinar ultra violet itu akan membangkitkan

phosphors yang kemudian akan bercampur dengan mineral lainnya yang telah

dilaburkan pada sisi bagian dalam tabung lampu sehingga akan timbul cahaya.

Phosphors didesain untuk meradiasikan cahaya putih, sehingga sebagian besar

(4)

Lampu fluorescent sangat peka terhadap perubahan temperatur udara di sekitarnya, ini dikarenakan perubahan temperatur pada tabung lampu dapat mempengaruhi cahaya yang akan dihasilkan. Jadi, apabila suhu ruangan terlalu dingin dibandingkan dengan suhu lampu, maka ada kemungkinan lampu tidak dapat menyala. Pada umumnya temperatur udara minimum pada sebuah lampu bergantung dari ballast lampu itu sendiri, yang sudah tercantum jelas pada spesifikasi lampu tersebut.

Kelebihan lampu ini antara lain temperatur suhu permukaan tabung yang tidak terlalu tinggi dibandingkan dengan lampu incandescent sehingga kita masih bisa menyentuh permukaan tabung lampu bila sudah menyala cukup lama tanpa mengalami luka bakar. Cahaya yang dihasilkan oleh lampu ini umumnya berwarna putih, tergantung pada material gas yang digunakan sebagai media. Jenis lampu ini juga hemat listrik.

Gambar 2.3. Konstruksi Lampu Fluorescent Sumber : Philips Lihgting, Philips TL5 Lamps, 11 Oktober 2010. http://www.eur.lighting.philips.com

Sebuah rangkaian lampu fluorescent umumnya terdiri dari beberapa bagian komponen, antara lain adalah:

1. Fluorescent Lamp

Bagian rangkaian lampu yang berfungsi memancarkan cahaya. Model fluorescent lamp yang paling banyak digunakan adalah

(5)

model lurus memanjang (straight bi-pin base bulb) dengan ukuran 12, 15, 24, dan 48 inch. Selain model diatas ada juga model U, W dan Circuler.

Gambar 2.4. Lmpu Fluorescent

Sumber : Philips Lighting, Fluorescent Lamp, Netherlands, 1994, p. 43-44. 11 Oktober 2010

http://lighting.philips.com

2. Lamp holder

Lamp holder digunakan sebagai penahan tabung lampu pada

bidang yang diinginkan misalnya pada langit-langit ruangan. Terdapat 4 pin (2 pin pada ssetiap sisi) untuk menghubungkan dengan rangkaian.

3. Lamp starter

Starter pada lampu berfungsi untuk melakukan pemanasan awal

pada elektroda dan membantu membangkitkan tegangan tinggi yang dibutuhkan untuk starting lampu. Pada lampu fluorescent terdapat empat jenis starter, yaitu switch-start circuits,

electronic-start circuits, resonant-electronic-start circuits, dan transformer-electronic-start circuits.

a. Switch-start circuits

Starter jenis ini adalah yang paling banyak digunakan

masyarakat sehingga saat ini karena konstruksinya sederhana dan harganya murah. Konstruksinya terdiri dari sebuah tabung kaca kecil yang didalamnya terdapat kontak

bimetallic. Bagian dalam tabung diisi dengan campuran gas

(6)

bimetal pada starter bersentuhan, tegangan pada kedua

kontak nol, saat kemudian kontak tersebut akan terbuka dan memulai pendinginan. Kaarena rangkaian bersifat induktif maka tegangan yang timbul menjadi sangat besar yakni antara 600 V dan 1500 V, keadaan inilah yang mengakibatkan terjadinya proses ionisasi pada lampu.

b. Electronic-start circuits

Starter jenis ini umumnya digunakan pada choke ballast, dan

komponen yang terjadi didalamnya adalah thyristor. c. Resonant-start circuits

Dengan memanfaatkan kombinasi resonansi pada induksi dan kapasitansi maka dapat dihasilkan arus pemanasan awal dan meningkatkan tegangan untuk starting pada lampu.

d. Transformer-start circuits

Prinsip kerja dari starter jenis ini dengan menggunakan transformer untuk membangkitkan tegangan starting lampu.

Gambar 2.5. Starter Lampu TL

Sumber : Philips Lighting, Fluorescent Lamp, Netherlands, 1994,p.32. 11 Oktober 2010

http://lighting.philips.com

4. Lamp Switch

Lamp Switch adalah pengontrol on/off yang menghubungkan antara

rangkaian lampu dengan aliran listrik yang ada pada jaringan. Tetapi pada aplikasinya, switch kebanyakan digantikan dengan stop kontak.

(7)

5. Ballast

Ballast pada lampu fluorescent adalah peralatan yang dipasang

pada rumah lampu yang berfungsi untuk membangkitkan gas-gas yang ada didalam tabung lampu (discharge) dan untuk membatasi arus listrik agar rangkaian lampu bekerja pada sesuai dengan daya yang dibutuhkan. Konstruksi ballast harus efisien, sederhana, tidak membawa dampak terhadap umur lampu serta mendukung proses

starting pada operasi lampu. Secara umum ballast dibedakan dalam

dua golongan yakni ballast konvensional dan ballast elektronik.

Ballast konvensional adalah jenis yang menggunakan

komponen-komponen pasif dalam pengoperasiannya misalnya resistor, kapasitor dan induktor. Yang termasuk dalam ballast konvensional antara lain adalah :

a. Resistor ballast

Resistor yang dirangkaikan secara seri dengan rangkaian lampu dapat berfungsi sebagai ballast, tetapi penggunaan

ballast ini tidak menghemat daya dan memiliki efisiensi yang

rendah.

b. Kapasitor ballast

Pada jenis ini, kapasitor digunakan sebagai komponen utama

ballast. Dalam perkembangan selanjutnya, kapasitor dirangkai seri dengan resistor untuk menghasilkan gelombang listrik yang lebih baik. Ballast juga memiliki efisiensi yang agak rendah.

c. Choke atau Inductor ballast

Ballast jenis ini menggunakan komponen induktor berupa

kumparan yang dirangkai seri dengan rangkaian lampu. Umumnya efisiensi ballast ini antara 80 – 90%, lebih stabil dalam beropersi dan memiliki distorsi yang kecil pada arus.

Ballast jenis ini bekerja berdasarkan rating volt dan

ampere-nya. Ballast dengan daya yang lebih besar akan dialiri arus yang lebih besar pula, sehingga diperlukan kumparan yang

(8)

lebih besar. Ballast jenis ini sering menimbulkan bising bila sudah terlalu lama digunakan. Hal ini bisa terjadi karena getaran pada inti kumparan oleh gaya magnetis.

d. Choke - capacitor ballast

Ballast tipe ini merupakan kombinasi antara ballast magnetis

dengan ballast kapasitor, kumparan dirangkaikan secara seri dengan sebuah kapasitor kemudian dihubungkan dengan rangkaian lampu. Ballast tipe ini memungkinkan digunakan pada high lamps voltage, memiliki bentuk gelombang yang lebih baik, dan mempunyai tingkat sensitivitas yang kecil terhadap perubahan tegangan yang terjadi pada sumber. e. Leakage – reactance transformer ballasts

Pada kondisi tertentu tegangan sumber AC normal tidak mampu untuk melakukan start pada lampu, dalam hal ini

ballast perlu menaikkan tegangan untuk membangkitkan

gas-gas yang ada didalam tabung lampu, supaya ionisasi bisa terjadi. Rangkaian ini lebih dikenal dengan stray-field atau

leakage – reactance transformer.

Edwartd (1983) mengemukakan bahwa ballast elektronik adalah jenis

ballast yang menggunakan rangkaian komponen aktif dan pasif dalam

pengoperasiannya. Komponen yang digunakan adalah semikonduktor dan beberapa rangkaian pasif seperti kapasitor dan resistor. Beberapa kelebihan yang didapat dari ballast elektronik ini antara lain adalah :

a. Meningkatkan efisiensi dari rangkaian dan resistor dapat mengurangi loss yang ditumbulkan dari ballast.

b. Mengurangi berat total pada lampu sehingga lampu lebih ekonomis. c. Meningkatkan nilai luminous efficacy atau perbandingan jumlah lumen

yang dihasilkan dengan daya listrik yang diserap d. Menghilangkan fenomena lampu bekedip.

e. Mengurangi noise suara yang terjadi pada ballast. f. Mengurangi timbulnya harmonisa pada arus.

(9)

g. Mampu mengontrol tegangan dan arus dengan lebih akurat.

h. Mempersingkat waktu yang dibutuhkan untuk start dan restart lampu. i. Mengontrol keadaan start dan operasi lampu dengan lebih baik sehingga

memperpanjang masa kerja aktifnya.

Untuk memudahkan dalam mengetahui karakteristik dari sebuah lampu

fluorescent maka perusahaan memasang label-label yang terdiri dari kombinasi

huruf dan angka yang mengidentifikasikan bentuk, ukuran, serta warna cahaya yang dihasilkan oleh lampu. Secara umum penulisan label-label tersebut mempunyai format urutan F-S-WW-CCC-T-DD, (dapat juga berfariasi), contoh penulisan label-label tersebut adalah ’F40CW-T12’ atau ’FC12-T10’.

Dimana :

F : F untuk fluorescent lamp

G untuk Germicidal shortware UV lamp

S : Style (bentuk lampu)

Tanpa huruf mengidentifikasikan bentuk normal lurus memanjang (normal straight tube), C untuk bentuk bulat Circuler.

WW : Besar nominal daya lampu dalam Watt. (5, 12, 18, 20, 36, 40, ...) CCC : Warna yang dihasilkan (color), dinyatakan dalam bahasa inggris.

W untuk White, CW untuk Cool White, WW untuk Warm White, BL/BLB untuk Black Light, AGRO untuk cahaya pada tanaman, GO untuk Gold, G untuk Green, B untuk Blue, dll.

T : Tubular bulb

DD : Diameter tube pada lampu, dinyatakan dengan nominal delapan untuk setiap inch. T8 adalah 1 inch, T12 adalah 1.5 inch, dll.

Lampu jenis fluorescent ini sangat banyak digunakan oleh konsumen baik dari masyarakat umum, komersial dan industri sebagai penerangan karena harganya yang murah dan juga kualitas cahaya yang baik.

Seiring dengan perkembangan zaman, lampu fluorescent banyak mengalami pengembangan baik pada ukuran maupun sefisiensi. Salah satu bentuk pengembangan tersebut adalah lampu compact fluorescent atau yang lebih dikenal dengan lampu hemat energi (LHE). Lampu hemat energi ini terdiri dari tabung gelas yang berisi campuran gas argon (Ar) dan air raksa/mercury (Hg). Logam

(10)

elektroda pada masing-masing sisi dibalut dengan oksida alkali-bumi (Be, Mg, Ca, Sr, Ba, Ra ; Cac12, CaO) yang dapat lebih memudahkan pelepasan elektron. Bila ada arus mengalir dari sisi elektroda positif menuju elektroda negatif melalui campuran gas argon dan mercury yang terionisasikan maka keluarlah radiasi

ultra-violet. Bagian dalam tabung gelas lampu telah dilapisi oleh phosphors,

lapisan phosphors ini menerima radiasi violet, dan benturan sinar

ultra-violet pada lapisan phosphors memancarkan ulang radiasi sinar yang tampak oleh

mata sebagai cahaya lampu.

Lampu compact fluorescent memiliki ukuran tabung yang lebih kecil dan lebih sederhana jika dibandingkan dengan lampu fluorescent, sudah terdapat

ballast dengan bentuk yang lebih kecil dan praktis (integral ballast) baik itu

konvensional maupun elektronik, dan ballast tersebut sudah terpasang secara permanen denga lampu. Dalam perkembangan selanjutnya, dibuat compact

fluorescent yang terpisah antara tabung lampu dan ballast sehingga dapat dengan

mudah diganti apabila salah satu modul mengalami kerusakan.

Gambar 2.6. Lampu Compact Fluorescent dengan ballast

Sumber : Philips Lighting, Fluorescent Lamp, Netherlands, 1994, p.45. 11 Oktober 2010

http://lighting.philips.com

Bagian dasar pada lampu hemat energi didesain dengan bentuk uliran seperti pada lampu incandescent sehingga dapat dengan mudah dipasangkan pada soket-soket lampu incandescent yang sudah terpasang. Cahaya yang dihasilkan pada lampu fluorescent bergantung dari beban lampu, dan tipe dari phosphors yang digunakan dalam tabung.

(11)

Cahaya terbaik yang dihasilkan oleh lampu ini adalah pada saat lampu tersebut mencapai suhu kerja, tidak lama setelah lampu dinyalakan. Dalam bukunya Edward (1983) mengatakan bahwa setelah 100 jam pertama lampu itu bekerja, kualitas cahaya yang dihasilkan akan menurun sebesar 2% hingga 4% kemudian pada saat masa kerja lampu mencapai 2000 jam, kualitas cahaya akan mengalami penurunan yang lebih besar lagi yakni sebesar 5% hingga 10 %, bergantung dari rating lampu dan komposisi phosphors yang dipakai.

Masa kerja dari sebuah lampu fluorescent pada umumnya berakhir ketika emisi material yang terdapat pada salah satu atau kedua elektroda habis sehingga tidak mampu menghasilkan elektron yang cukup untuk menyalakan lampu. Salah satu faktor penyebab adalah kuantitas dari start lampu, jadi semakin sering lampu dimatikan dan dinyalakan akan semakin banyak pula emisi material yang terpakai dan membuat umur lampu menjadi pendek.

Efisiensi lampu fluorescent lebih tinggi daripada lampu incandescent karena masa kerja aktif lampu fluorescent berkisar 10.000 hingga 20.000 jam, lebih tinggi 2 sampai 4 kali jika dibandingkan dengan lampu incandescent lamps yang memiliki masa kerja aktif 750 hingga 1000 jam.

2.2.3 Luminer / Reflektor

Elemen yang paling penting dalam perlengkapan cahaya, selain dari lampu, adalah reflector. Reflektor berdampak pada banyaknya cahaya lampu mencapai area yang diterangi dan juga pola distribusi cahayanya. Reflektor biasanya menyebar (dilapisi cat atau bubuk putih sebagai penutup) atau specular (dilapis atau seperti kaca). Tingkat pemantulan bahan reflektor dan bentuk reflektor berpengaruh langsung terhadap efektifitas dan efisiensi fitting.

Reflektor konvensional yang menyebar memiliki tingkat pemantulan 70-80% apabila baru. Bahan yang lebih baru dengan daya pemantulan yang lebih tinggi atau semi-difusi memiliki daya pemantulan sebesar 85%. Pendifusi/Diffuser konvensional menyerap cahaya lebih banyak dan menyebarkannya daripada memantulkannya ke area yang dikehendaki. Lama kelamaan nilai daya pantul dapat berkurang disebabkan penumpukan debu dan kotoran dan perubahan warna menjadi kuning disebabkan oleh sinar UV.

(12)

Reflektor specular lebih efektif dimana pemantul ini memaksimalkan optik dan daya pantul specular sehingga membiarkan pengontrolan cahaya yang lebih seksama dan jalan pintas yang lebih tajam. Dalam kondisi baru, lampu ini memiliki nilai pantul sekitar 85-96%. Nilai tersebut tidak berkurang seperti pada reflektor konvensional yang berkurang karena usia. Bahan yang umum digunakan adalah alumunium yang diberi perlakuan anoda (nilai pantul 85-90%) dan lapisan perak yang dilaminasikan ke bahan logam (nilai pantul 91-95%). Menambah (atau melapisi) alumunium dilakukan untuk mencapai nilai pantul lebih kurang 88-96%. Lampu harus tetap bersih agar efektif, reflektor optik kaca tidak boleh digunakan dalam peralatan yang terbuka di industri dimana peralatan tersebut mungkin akan terkena debu.

Gambar 2.7. Optik Kaca Luminer

2.3 Besaran Penerangan

Dalam merencanakan atau melakukan penelitian terhadap kualitas pencahayaan suatu ruangan, harus diperhatikan beberapa kriteria dasar agar didapatkan tingkat pencahayaan yang baik dan mata dapat melihat dengan jelas dan nyaman. Kriteria-kriteria ini saling mempengaruhi dan tidak dapat berdiri sendiri karena masing-masing saling mempengaruhi dalam menghasilkan kualitas pencahayaan yang optimal (Dharmasetiawan dan Puspakesuma, 1991).

(13)

1. Kuantitas atau jumlah cahaya pada suatu permukaan tertentu (lighting

level) atau kuat penerangan (iluminasi).

2. Distribusi kepadatan cahaya (luminance distribution).

3. Pembatasan agar cahaya tidak menyilaukan mata (limitation of glare). 4. Arah pencahayaan dan pembentukan bayangannya (light directionally

and shadows).

5. Warna cahaya dan refleksi warnanya (light colour and colour rendering). 6. Kondisi dan iklim ruangan.

2.3.1. Kuat Penerangan / Iluminasi

Kuat penerangan atau iluminasi di suatu bidang ialah fluks cahaya yang jatuh pada 1 m2 dari bidang itu. Satuan untuk intensitas penerangan ialah lux (lx) dan lambangnya adalah E. Jadi, 1 lux = 1 lumen per m2. apabila kita perhatikan gambar berikut, maka akan kelihatan bahwa iluminasi di buku dan di meja sama kuatnya.

Gambar 2.8 Kuat penerangan di permukaan buku dan meja Sumber : Lama Mustari, Msc.Ir., Diklat Kuliah Teknik Instalasi, Jakarta, 2001. Kalau suatu bidang yang luasnya A m2, diterangi dengan Ф lumen, maka intensitas penerangan rata-rata di bidang itu :

A

E  (2.1)

Dimana :

E = Tingkat pencahayaan (lux)

Φ = Total fluks cahaya pada area pencahayaan (lumen) A = Luas permukaan (m2)

(14)

Tingkat pencahayaan pada suatu ruangan, tergantung pada jenis kegiatan yang dilakukan. Kegiatan-kegiatan yang memerlukan ketelitian dan konsentraasi serta dukungan cahaya yang tinggi memerlukan penerangan dengan tingkat pencahayaan yang tinggi pula. Tingkat pencahayaan tersebut memiliki standar minimum yang direkomendasikan, salah satunya standar yang ditetapkan oleh Badan Standarisasi Nasional Indonesia yaitu SNI 03-6575-2001.

Tabel 2.1. Tingkat pencahayaan minimum yang direkomendasikan Fungsi ruangan Tingkat Pencahayaan (lux) Kelompok renderasi warna Keterangan Rumah Tinggal : Teras 60 1 atau 2 Ruang tamu 120 ~ 250 1 atau 2 Ruang makan 120 ~ 250 1 atau 2 Ruang kerja 120 ~ 250 1 Kamar tidur 120 ~ 250 1 atau 2 Kamar mandi 250 1 atau 2 Dapur 250 1 atau 2 Garasi 60 3 atau 4 Perkantoran :

Ruang Direktur 350 1 atau 2 Ruang kerja 350 1 atau 2

Ruang komputer 350 1 atau 2 Gunakan armatur berkisi untuk mencegah silau akibat pantulan layar monitor. Ruang rapat 300 1 atau 2

Ruang gambar 750 1 atau 2 Gunakan pencahayaan setempat pada meja gambar.

Gudang arsip 150 3 atau 4 Ruang arsip aktif 300 1 atau 2 Lembaga

Pendidikan :

Ruang kelas 250 1 atau 2 Perpustakaan 300 1 atau 2 Laboratorium 500 1

Ruang gambar 750 1 Gunakan pencahayaan setempat pada meja gambar.

kantin 200 1

Sumber : SNI 03-6575-2001, Tata Cara Perancangan Sistem Pencahayaan

Buatan Pada Bangunan Gedung. Jakarta : Badan Standarisasi Nasional Indonesia,

2001.

2.3.2. Luminasi

Luminasi adalah suatu ukuran untuk terang suatu benda. Luminasi yang terlalu basar akan menyilaukan mata, seperti misalnya suatu lampu tanpa

(15)

armature. Luminasi L suatu sumber cahaya atau suatu permukaan yang memantulkan cahaya ialah intensitas cahaya dibagi dengan luas semu permukaan. Rumus : A I L  (2.2) Dimana : L = Kepadatan cahaya

I = Intensitas cahaya per satuan sudut ruang (cd) A = Luas bidang (m2)

Semakin tinggi kepadatan cahaya suatu permukaan maka semakin terang pula permukaan itu tampak oleh mata. Biarpun tingkat kepadatan cahaya suatu permukaan sudah sesuai dengan rekomendasi yang diminta, tetapi bila distribusi cahayanya tidak merata akan menimbulkan kontras yang terlalu besar. Dengan demikian keharmonisan distribusi cahaya harus tetap diperhatikan. Perbandingan yang ideal antara kepadatan cahaya langit-langit, dinding dan lantai adalah tidak lebih besar dari 3:1, dari angka kepadatan cahayanya, supaya didapatkan distribusi cahaya dalam ruangan yang merata. Dalam hal ini perlu memilih armatur lampu yang tetap sehingga kombinasinya dalam merefleksikan cahaya dalam ruangan juga memenuhi standar.

2.3.3. Pembatasan Agar Cahaya Tidak Menyilaukan Mata (Limitation of Glare)

Silau terutama diakibatkan oleh distribusi cahaya yang tidak merata pada suatu permukaan, misalnya penempatan lampu yang terlalu dekat ke bidang kerja akan menimbulkan refleksi permukaan bidang kerja yang cukup tinggi akibatnya mata menjadi silau. Efek ini juga disebabkan oleh besarnya sumber cahaya, kepadatan cahaya, semua sumber cahaya yang terdapat didepan sudut penglihatan Mata, dan perbedaan yang kontras antara permukaan yang gelap dengan terang, misalnya jendela. Silau akan mengakibatkan daya penglihatan berkurang, dapat menyebabkan keletihan pada mata, dan menurunkan semangat bekerja. Silau yang langsung diakibatkan oleh sumber cahaya buatan dapat dihindari dengan

(16)

memasang armatur pada lampu yang dilengkapi dengan pelindung berupa optical

mirror. Menurut Darmasetiawan dan Puspakesuma (1991), semua lampu yang

berada dalam sudut pandang mata sebesar 450, akan menimbulkan silau seperti pada gambar :

Gambar 2.9. Sudut padang Penglihatan Manusia

Sumber : Darmasetiawan dan Puspakesuma, Teknik Pencahayaan dan Tata Letak

Lamp. Jakarta :Gramedia, 1991, p.6.

2.3.4. Arah Pencahayaan Dan Pembentukan Bayangannya (Light Directionally And Shadows)

Arah pencahayaan dan pembentukan bayangan pada suatu benda dapat memberikan kesan yang berbeda bila dilihat oleh mata karena informasi yang diteruskan ke otak tergantung pada arah sumber cahaya yang mengenai benda itu, dan bayangan yang ditimbulkannya. Distribusi pencahayaan dan susunan

armature lampu yang tepat akan berpengaruh pada bayangan yang ditimbulkan

dimana akan sedikit bayangan yang timbul. Didalam ruangan untuk tempat kerja, sebaiknya intensitas bayangan itu cukup. Tidak terlalu berbayang-bayang karena akan mempengaruhi penglihatan, dan sebaiknya juga tidak menghilangkan bayangan dalam ruang karena akan menimbulkan kesan monoton dan membosankan, selain juga turut mempersulit penglihatan.

(17)

2.3.5. Warna Cahaya Dan Refleksi Warna (Light Color And Color Rendering)

Warna dari suatu benda yang kita lihat adalah relatif, tergantung pada jenis dan warna pencahayaan. Warna cahaya yang dimaksudkan disini adalah cahaya yang dipancarkan oleh suatu sumber cahaya yang memberikan kesan tertentu kepada kita. Misalnya memberikan kesan putih dan dingin (cool white), atau memberi kesan hangat (warm). Kesan ini timbul karena sumber cahaya memancarkan cahaya dengan suhu tertentu pada permukaan benda dan dipantulkan kembali oleh benda ke mata, sehingga kita mendapatkan kesan warna yang berbeda-beda. Menurut Darmasetiawan dan Puspakesuma (1991), warna cahaya dari suatu sumber untuk pencahayaan didalam ruagan dibagi atas tiga kelompok :

Tabel 2.2. Temperatur Warna dalam Ruangan

Warna Cahaya Temperatur

Putih Siang Hari (daylight) Putih Netral (cool white) Putih Hangat (warm white)

6000 Kelvin 4000 Kelvin 3000 Kelvin

Sumber : Darmasetiawan dan Puspakesuma, Teknik Pencahayaan dan Tata Letak

Lamp. Jakarta :Gramedia, 1991, p.8.

Colour Rendering (Ra) atau Refleksi Warna menunjukkan apakah suatu

sumber cahaya bisa menampilkan warna sesuai dengan warna aslinya. Colour

Rendering mempunyai skala mulai dari 0% - 100%. Semakin tinggi Colour Rendering suatu sumber cahaya maka objek atau benda juga semakin mendekati

warna aslinya.

Salah satu contoh sumber cahaya yang Colour rendering paling tinggi adalah matahari (Ra = 100%), karena matahari bisa menampilkan warna asli dari suatu objek atau benda.

(18)

Tabel 2.3. Colour Rendering dalam Ruangan

Colour Renderin Digunakan pada

>90 80-90 60-80 40-60 20-40

Museum art, pameran lukisan Rumah, hotel, restoran, industri tekstil

Kantor, sekolah, industri ringan Industri berat

Outdoor

Sumber : NDLight, Lamps, 11 Oktober 2010. http://www.ndlight.com.au/lamps.htm

Untuk menghasilkan warna ruangan yang diinginkan, harus diperhatikan fungsi dan tujuan dari ruangan tersebut. Misalnya untuk ruang perkantoran dibutuhkan warna cahaya yang netral maka dipasang lampu yang memancarkan warna cahaya cool daylight. Sedangkan untuk ruang kamar hotel biasanya dibutuhkan warna yang hangat maka dipakai lampu yang memancarkan warna cahaya yang warm.

2.3.6. Kondisi dan Iklim Ruangan

Kondisi dan iklim ruangan turut berpengaruh pada kuat pencahayaan namun hal tersebut tergantung kepada keinginan pemilik ruangan. Kondisi ruangan disini maksudnya lampu dapat menciptakan suasana ruang yang sesuai dengan keinginan, memberikan atmosfer yang menyenangkan kepada seluruh interior ruangan misalnya warna cahaya, serta menciptakan suatu kondisi kerja yang nikmat dan aman. Pencahayaan masa kini harus memenuhi fungsi sebagai penerangan yang baik, meningkatkan kualitas dekorasi ruangan, memperhatikan segi keamanan pengguna ruangan, dan memperhatikan segi ekonomis jangka panjang, dan tidak lupa juga fleksibilitas untuk perbahan tata letak sumber cahaya dimasa yang akan datang.

2.3.7. Tingkat Pencahayaan Yang Merata (Uniformity of Illuminance) Oleh Cayless dan Marsden (1983), dnyatakan bahwa tingkat pencahayaan yang merata adalah penting karena tiga hal, yaitu :

(19)

 Dapat mengurangi perbedaan fariasi tingkat pencahayaan dalam ruang dengan aktifitas sejenis misalnya bekerja didalam ruangan.

 Kepadatan cahaya yang terlalu terkontsentrasi dapat mempengaruhi kinerja dan kenyamanan visual dalam ruangan.

 Pencahayaan yang tidak merata membuat ruangan kelihatan suram dan tidak nyaman membuat orang yang berada didalam ruangan tersebut tidak betah untuk tinggal.

Perencanaan teknik pencahayaan atau penerangan dalam praktik pada umumnya bertujuan untuk tercapainya tingkat pencahayaan yang merata pada seluruh bidang kerja. Pencahayaan yang sepenuhnya merata memang tidak mungkin dalam praktik, tetapi menurut Pritchard (1986) standar yang dapat diterima adalah tingkat pencahayaan minimum serendah-rendahnya 80% dari rata tingkat pencahayaan dalam ruangan. Artinya, bila tingkat pencahayaan rata-ratanya 100% lux, maka tingkat pencahayaan dari semua titik didalam ruangan harus 80 lux, persamaan :

rata rata imum xE E 100 80 min (2.3)

Besarnya tingkat pencahayaan dalam ruang untuk siang dan malam hari adalah sama. Yang berbeda adalah jumlah lumen dari lampu yang dibutuhkan, karena siang hari cahaya buatan dibantu oleh cahaya matahari sedang pada waktu malam tidak ada cahaya matahari.

Kuat penerangan yang merata dapat dicapai jika memenuhi ketentuan pemasangan beberapa buah lampu, berupa penentuan spacing criteria (SC) yaitu perbandingan jarak antar dua buah pusat lampu yang berdekatan terhadap jarak lampu kebidang kerja. Angka perbandingan untuk spacing criteria (SC) adalah 1,5. Atau dituliskan dalam rumus :

5 , 1 x hm s  (2.4) Dimana :

s = Jarak antar lampu yang terdekat hm = Tinggi bidang kerja ke lampu

(20)

Gambar 2.10. Spacing Criteria untuk Kuat Penerangan yang merata

2.3.8. Refleksi

Jika sinar-sinar cahaya sejajar yang mengenai suatu permukaan, dipantulkan tetap sejajar, maka terjadi refleksi cermin atau refleksi teratur. Refleksi demikian terjadi pada cermin dan pada permukaan logam yang dipoles.

Jika sinar-sinarnya dipantulkan tersebar kesemua jurusan, maka terjadi refleksi baur atau refleksidifus, seperti terjadi pada permukaan kasar, misalnya pada langit-langit yang kabur.

Antara dua bentuk ini masih dijumpai beberapa bentuk refleksi lain, misalnya refleksi campuran yang dikenali dari permukaan yang berkilat, misalnya jalan basah dan lain-lain.

Gambar 2.11. Refleksi cermin atau refleksi teratur (a), refleksi baur atau difus (b), refleksi campuran (c)

Sumber : Lama Mustari, Msc.Ir., Diklat Kuliah Teknik Instalasi, Jakarta, 2001. Jumlah cahaya yang dipantulkan tidak ditentukan oleh m engkilapnya suatu permukaan, tetapi oleh sifat-sifat dan permukaan bahannya. Permukaan difus kadang-kadang dapat memantulkan lebih banyak cahaya dari pada suatu

b c

(21)

permukaan yang mengkilap. Bagian fluks cahaya yang dipantulkan ditentukan oleh faktor refleksi r suatu permukaan :

permukaan mengenai yang cahaya n dipantulka yang cahaya Fluks r Fluks 

Faktor refleksi 0,6 atau 60% dari fluks cahaya yang mengenai permukaan, dipantulkan.

Untuk ruang kerja, faktor reflektansi harus diperhatikan supaya didapatkan pencahayaan yang cukup untuk kegiatan dalam bekerja. Bila faktor reflektansi kurang maka ruang kerja akan terkesan muram. Adapun rekomendasi angka reflektansi untuk ruang kerja adalah :

 Angka reflektansi dinding : 50 – 70%  Angka reflektansi lantai : 20 – 40%  Angka reflektansi langit-langit : 70 – 90%

2.3.9. Warna Ruang

Warna yang dimaksudkan disini adalah warna bidang dan obyek yang terdapat pada seluruh ruangan baik itu warna dinding, lantai, maupun perabot dalam ruangan. Warna pada benda bisa terlihat oleh manusia karena adanya pemantulan spektrum cahaya tertentu dari benda yang ditangkap oleh mata. Akibat perbedaan panjang gelombang warna yang masuk kemata maka kita bisa melihat berbagai macam warna mulai dari hitam, merah sampai putih.

Warna ruang berpengaruh pada reflektansi, dimana semakin mendekati spektrum putih maka faktor pemantulan atau angka reflektansinya juga besar, demikian juga sebaliknya. Oleh sebab itu dalam ruangan kelas dan ruangan belajar lainnya dipilih warna-warna yang terang seperti putih, kuning, merah muda, dan hijau muda.

(22)

Tabel 2.4. Warna Ruang dan Angka Reflektansinya

Warna Ruang Angka Reflektansi

Hijau Tua 0,07 Biru Tua 0,08 Abu-abu Gelap 0,14 Merah Tua 0,21 Oranye Gelap 0,35 Kuning Tua 0,54 Abu-abu Terang 0,65 Oranye Muda 0,68 Biru Muda 0,68 Merah Muda 0,70 Hijau Muda 0,73 Kuning Terang 0,82

Sumber : Paschal John M PE, Step By Step Guide To Lighting, Overland Park : Primedia Inertec, 1998, p 81.

2.3.10. Hubungan Tingkat Pencahayaan Dengan Angka Reflektansi.

Seperti dijelaskan diatas bahwa tingkat pencahayaan yang mengenai bidang tidak akan dipantulkan secara sempurna melainkan ada yang diserap oleh bidang, maka kita akan melihat kepadatan cahaya (luminasi) yang tidak sama dengan sumbernya yaitu lampu. IES Lighting Handbook (1984) menyatakan bahwa dinding dan langit-langit yang terang, baik yang netral maupun berwarna, sangat lebih efisien daripada dinding gelap dalam mentransfer energi dan mendistribusikan cahaya secara merata. Hal ini termasuk dalam factor CU (coefficient of utilization) suatu ruangan.

Menurut Sorcar (1987), factor CU (coefficient of utilization) adalah merupakan bagian tertentu dari cahaya total yang sampai dibidang kerja (the level

of interest). Hal ini seperti telah dijelaskan diatas, sangat berkaitan dengan :

 Reflektansi permukaan

(23)

 Ketinggian lampu diatas bidang kerja  Dan ukuran ruang

Niali CU (coefficient of utilization) paling dominan bergantung pada reflektansi permukaan. Dengan demikian, reflektansi permukaan yang lebih tinggi berarti nilai CU (coefficient of utilization) yang lebih tinggi. Jadi, bila angka reflektansi permukaan ditingkatkan, nilai CU (coefficient of utilization) juga lebih tinggi, sehingga tingkat pencahayaan juga meningkat.

Karena tingkat pencahayaan dipengaruhi oleh angka reflektansi, sementara angka reflektansi sendiri tergolong kedalam coefficient of utilization maka faktor tersebut dituliskan dalam rumus tingkat pencahayaan / iluminasi sebagai : A CU x E  (2.6) Dimana :

E = rata-rata tingkat pencahayaan (lux)

Φ = total fluks cahaya pada area pencahayaan (lumen)

CU = koefisien utilitas (dominan berasal dari angka reflektansi) A = luas area pencahayaan (m2)

Adanya depresiasi atau penurunan kinerja akibat debu pada armature, lampu dan ruangan mengakibatkan kualitas tingkat pencahayaan dalam ruangan juga menurun. Koefisien depresiasi dalam ruang biasa dikenal dengan sebutan

Loss Light Factor (LLF).

Light-Loss Factor (LLF) adalah penurunan kualitas penyinaran lampu

karena berbagai sebab. Baik karena pengaruh debu maupun masa kerja lampu yang sudah lama. Untuk mengatasi hal ini perlu dilakukan proses pemeliharaan, atau maintenance. Loss Light Factor nilai maksimumnya 100% yaitu keadaan dimana lampu, armature dan ruang dalam keadaan sangat bersih. Adapun yang tergolong Light-Loss Factor (LLF) adalah :

1. Lamp Lumen Depreciation (LLD).

Penurunan kualitas kuat cahaya yang dipancarkan oleh lampu. Ini bisa diakibatkan karena masa kerja lampu tersebut sudah lama. Bisa juga

(24)

karena penurunan teggangan saluran input dari PLN. Persen penurunan kualitas rata-rata kuat cahaya pada jenis lampu TL bisa dilihat pada grafik berikut ini :

Gambar 2.12. Grafik Penurunan Kualitas Kuat Cahaya akibat LLD Sumber : Philips Lighting, TL Lamp Catalogue, 11 Oktober 2010.

http://lighting.philips.com

2. Luminaire Dirt Depreciation (LDD)

Menurunnya kualitas tingkat pencahayaan akibat pengotoran pada armatur lampu. Pengotoran ini menimbulkan penurunan kualitas tingkat pencahayaan pada lampu karena armaturnya banyak menyerap cahaya akibat debu yang menempel pada permukaan bagian dalam armatur. Menurut Paschal (1998), depresiasi dari armatur lampu akan menurun sekitar 10% dalam 1 tahun untuk ruangan yang bersih (clean), 20% untuk daerah industri (medium), dan sekitar 30% untuk daerah yang sangat kotor (very dirty).

3. Room Surface Dirt Depreciation (RSDD)

Menurunya kualiat tingkat pencahayaan akibat pengotoran ruangan tempat kerja, baik itu disebabkan oleh debu maupun benda-benda atau perabot kecil yang ada dalam ruangan. Pengolongan ruangan berdasarkan tingkat penurunan kualitas cahaya sebagai berikut (Paschal, 1998) :  Ruangan yang sangat bersih (very clean) sebesar 0% - 12% Ruangan yang bersih (clean) sebesar 13% - 24%

(25)

Ruangan yang kotor (dirty) sebesar 37% - 48%

Ruang yang sangat kotor (very dirty) sebesar 49% - 60% Klasifikasi ruangan dapat dilihat pada lampira 3.

Jadi koofisien Loss Light Factor (LLF) secara keseluruhan dapat dituliskan sesuai dengan rumus :

LLF = koofisien LLD x koofisien LDD x koofisien RSDD (2.7) Dari persamaan 2.6 diatas diketahui bahwa Loss Light Factor menimbulkan penurunan pada tingkat pencahayaan sehingga persamaan 2.5 harus dikalikan dengan sesuatu Light-Loss Factor (LLF), sebagai berikut :

A LLF x CU x E  (2.8)

Faktor Φ menunjukkan besarnya tingkat pencahayaan dari sumber cahaya yang berkaitan denga :

 Jumlah lampu

 Besarnya inisial lumen dari masing-masing lampu pada satu armatur lampu jumlah lampu pada armatur.

Jadi untuk armature lampu yang lebih dari satu, rumus diatas menjadi :

A LLF x CU x LL x n x N E  (2.9) N = jumlah armature

n = jumlah lampu tiap armature LL = lumen yang dihasilkan tiap lampu

Dari persamaan-persamaan tersebut, maka diketahui nilai E atau tingkat pencahayaan bergantung pada faktor-faktor jumlah fluks cahaya (  ), coefficient

of utilization (CU), light-loss factor (LLF) dan luas bidang (A)

2.3.11. Metode Penentuan Dan Pengukuran Titik-Titik Ukur Tingkat Pencahayaan

Dalam menentukan titik-titik ukur dalam pengukuran ruang kerja, digunakan metode menurut SNI 16-7062-2004 tentang ”Pengukuran Intensitas Penerangan Di Tempat Kerja”. Untuk mencari besarnya tingkat pencahayaan

(26)

dalam suatu ruangan, harus melalui suatu pengukuran dengan menggunakan alat ukur berupa luxmeter. Pengukuran dilakukan dengan meletakkan luxmeter di atas meja kerja yang ada. Untuk luas ruangan antara 10 m2 sampai 100 m2 dibuat titik potong garis horizontal panjang ruangan dan garis vertikal lebar ruangan pada jarak setiap 3 m. Pengukuran akan dilakukan pada titik-titik potong tersebut, seperti pada gambar 2.14 di bawah.

Gambar 2.13. Denah Titik Pengukuran

Saat pengukuran dilakukan, pintu ruangan dalam keadaan sesuai dengan kondisi tempat pekerjaan dilakukan dan lampu ruangan dalam keadaan dinyalakan sesuai dengan kondisi pekerjaan.

Setelah melakukan pengukuran, hal yang selanjutnya dilakukan adalah menentukan apakah tingkat pencahayaan minimum pada titik-titik ukur ≥ 80% tingkat pencahayaan rata-rata. Dari pengukuran di titik-titik ukur, maka didapatkan tingkat pencahayaan rata-rata ruang dengan persamaan :

n n E 3 E 2 E 1 E rata-rata E    ... (2.10) dimana :

E1...n = hasil pengukuran kuat penerangan dibeberapa tempat saat ini

(27)

Bila ada titik ukur yang berada di bawah 80% tingkat pencahayaan rata-rata, berarti tidak memenuhi syarat sebagai penerangan merata, untuk itu perlu dilakukan pengukuran apakah tata letak lampu memenuhi spacing criteria (SC).

RCR (Room Cavity Ratio) dapat digunakan untuk menentukan

Coefficient of Utilization dalam suatu design pencahayaan dalam ruang. Hal ini

perlu karena kebanyakan standar buku katalog tentang referensi lampu, Koofisien Utilitis, dan LLF berhubungan dengan RCR.

Rumus :

RCR = 5 x Hm (P + L) / Luas Area Pencahayaan Dimana : Hm = tinggi armature lampu dari working plane.

P = Panjang. L = lebar.

Semua satuan dalam feet (1 feet = 0,3 m)

2.4. Software DIALux 4.7

Program DIALux 4.7 adalah salah satu program yang dibuat oleh perusahaan lampu Philips Lighting, dimana program ini digunakan untuk mendesain bentuk dan kuat pencahayaan, baik itu dalam ruang (indoor), diluar ruangan (outdoor), maupun penerangan pada jalan raya (road lighting). Desain yang dihasilkan oleh program ini nantinya bisa dijadikan acuan dalam membuat suatu bentuk ruangan dengan standar penerangan yang sesuai keinginan.

Untuk DIALux 4.7 indoor, Philips Lighting memprioritas desain pada ruangan kantor, lapangan olahraga dan ruangan untuk kebutuhan industri, namun bisa juga digunakan pada ruangan-ruangan yang lain seperti ruang belajar. Program ini bisa juga digunakan untuk menghitung biaya penggunaan beban lampu yang efisien untuk suatu ruangan tertentu. Program bisa didownload gratis dari internet dengan alamat website http://lighting.philips.co.id/.

Agar Program DIALux 4.7 bisa menghasilkan output maka diperlukan data-data dari ruangan berupa panjang ruangan, lebar ruangan, tinggi ruangan, tinggi titik kerja, angka reflektansi, jenis lampu, lumen lampu, dan jumlah lampu yang digunakan. Bila data-data diatas sudah ada maka kita sudah bisa menentukan output akhir dari program ini.

(28)

Gambar 2.14. Input Program DIALux 4.7

Kita bisa melihat output akhir dari desain berupa garis-garis isolux yaitu garis-garis penghubungan titik-titik dengan kuat penerangan yang sama, dan outputnya dapat ditampilkan sebagai grafik angka, isolux garis, isolux warna, dan grafik 3D. Contoh output dapat dilihat pada gambar 2.15 di bawah.

(29)

2.5. Instalasi Listrik 2.5.1. Circiut Breaker

Pengaman yang dimaksudkan di panel adalah circuit breaker (CB). CB adalah alat pengaman bagi rangkaian atau peralatan listrik dari suatu gangguan. Fungsi utama dari CB sebagai pengaman adalah :

1. Memutus arus hubung singkat

Apabila terjadi hubung singkat maka arus yang lewat menjadi besar, sehingga harus diputus. Mekanisme pemutusannya adalah arus dilewatkan pada sebuah kumparan sehingga timbul medan magnet yang akan menarik pegas CB dan CB trip.

2. Memutus arus beban lebih

Apabila terjadi arus beban lebih, maka mekanisme pemutusan adalah dengan menggunakan bimetal. Bimetal adalah dua buah logam yang memiliki koefisien muai panjang berbeda dilekatkan menjadi satu. Sehingga saat arus lebih maka bimetal menjadi panas dan mengalami pemuaian. Karena koefisien muai panjang yang berbeda menyebabkan bimetal akan melengkung ke arah logam yang koefisien muai panjang lebih kecil. Proses ini akan menggerakkan saklar sehingga arus terputus. CB dapat pula digunakan sebagai saklar biasa, yaitu sebagai penghubung dan pemutus rangkaian. Pada panel distribusi terdapat dua macam CB yaitu :

1. MCB (Miniature Circuit Breaker)

Gambar 2.16. Bagian MCB

Sumber : IAEI, Circuit Overcurrent Protection, 11 Oktober 2010. http://www.iaei.org/subscriber/magazine/02_b/kimblin_fig1.gif

(30)

MCB adalah alat pengaman yang digunakan sebagai pemutus arus rangkaian baik arus nominal maupun arus gangguan. MCB juga merupakan kombinasi fungsi fuse dan fungsi pemutus arus. Macam MCB ada dua yaitu MCB berkutub tiga untuk tiga phasa, dan MCB berkutub satu untuk satu phasa. Fungsi MCB adalah sebagai berikut :

 Mengamankan kabel dari arus lebih dan arus hubung singkat  Membuka dan menutup sebuah sirkuit secara manual

 Pengaman terhadap kerusakan isolator kabel  Melindungi beban

2. MCCB (Moulded Case Circuit Breaker)

Moulded Case Circuit Breaker (MCCB) adalah pengaman yang

digunakan untuk memutus arus gangguan dan arus nominal.

Gambar 2.17. MCCB

Sumber : LKE Electric, MCCB, 11 Oktober 2010. www.lke-electric.asiaep.com/mccb1.htm

Keterangan gambar :

1. BMC material for base and cover 2. Arc chute

3. Mounting

4. Trip-free mechanisme 5. Moving contacts

6. Clear and IEC-compliant markings 7. Magnetic trip unit

(31)

8. Thermal trip unit 9. Compact size

2.5.2. Penghantar

Penghantar yang digunakan adalah berupa kabel yang memiliki bermacam-macam jenisnya. Penghantar untuk instalasi lisrik telah diatur dalam PUIL 2000. Menurut PUIL 2000 pasal 7.1.1 Persyaratan umum penghantar, bahwa “semua penghantar yang digunakan harus dibuat dari bahan yang memenuhi syarat, sesuai dengan tujuan penggunaannya, serta telah diperiksa dan diuji menurut standar penghantar yang dikeluarkan atau diakui oleh instansi yang berwenang.”

Untuk memilih kabel yang harus diperhatikan terlebih dahulu adalah besarnya arus nominal yang mengalir pada beban serta rating arus dari MCB yang terpasang. Arus nominal untuk daya 1 fasa dan daya 3 fasa didapat dengan menggunakan rumus :  cos 1 min    N L fase al no V P

I , untuk daya 1 fasa (2.11)

 cos 3 3 min    L L fase al no V P

I , untuk daya 3 fasa (2.12) Untuk ukuran kabel, pada PUIL 2000 hlm. 328 disebutkan beberapa faktor koreksi untuk perhitungan luas penampang kabel yang digunakan. Faktor koreksi ini diantaranya dipengaruhi oleh suhu sekitar dan cara penempatan dari kabel itu (misalnya diletakkan secara berhimpitan antar kabel atau bertumpuk). Karena kita tidak mengetahui secara pasti cara penempatan kabel yang dilakukan dan suhu di lapangan, maka kita gunakan kemungkinan faktor koreksi terburuk (untuk kabel berisolasi PVC) yaitu 0,66 dari kuat hantar arus kabel itu. Jika ditulis dalam rumus, maka :

66 . 0

min  KHAKabel

Ino al (2.13) atau 5 . 1 min  Ino al Kabel KHA (2.14)

(32)

Pada pemasang kabel pada instalasi suatu bangunan, untuk memudahkan dalam mengenali jenis kabel penghantar, ada ketentuan warna yang harus digunakan pada tiap jenis kabel, seperti : (PUIL2000)

 Kabel berwarna biru, digunakan sebagai kabel netral

 Kabel berwarna hijau-kuning, digunakan sebagai kabel grounding  Kabel berwarna merah, digunakan sebagai kabel fasa R

 Kabel berwarna kuning, digunakan sebagai kabel fasa S  Kabel berwarna hitam, digunakan sebagai kabel fasa T

Karena kabel tersedia dalam berbagai jenis, dengan beragam bahan material, maka dibuatlah huruf-huruf kode untuk membedakan tiap jenis kabel. Berikut adalah kode-kode tersebut :

N : Kabel jenis standar dengan penghantar tembaga NA : Kabel jenis standar dengan penghantar aluminium Y : Isolasi atau selubung PVC

F : Perisai kawat baja pipih R : Perisai kawat baja bulat Gb : Spiral pita baja

re : Penghantar padat bulat

rm : Penghantar bulat kawat banyak se : penghantar padat bentuk sektor

sm : Penghantar kawat banyak bentuk sektor

Beberapa jenis kabel yang umum digunakan dalam instalasi tenaga listrik adalah :

 NYM

Kabel ini hanya direkomendasi khusus untuk instalasi tetap di dalam bangunan yang penempatannya bisa didalam atau diluar plester tembok ataupun dalam conduit (pipa).

Spesifikasi kabel NYM adalah sebagai berikut :

o Konduktor : Tembaga yang dialinkan. o Isolasi : PVC terekstruksi.

o Pemakaian tegangan : 300/500V

(33)

Gambar 2.18. Bagian Kabel NYM

Sumber : Katalog Kabel Kabelmetal Indonesia, Jakarta : PT. GT Kabel Indonesia Tbk

Gambar 2.19. Kabel NYM Sumber : Akcentsb, NYM, 11 Oktober 2010.

http://akcentsb.ru/price/?group=19

 NYY

Kabel ini dirancang untuk instalsi tetap dalam tanah yang harus diberikan pelindung khusus (misalnya : duct, pipa PVC atau besi baja). Instalasi ini bisa ditempatkan di luar bangunan baik pada kondisi basah ataupun kering.

Spesifikasi dari kabel NYY adalah sebagai berikut : o Konduktor : Tembaga yang dianilkan o Isolasi : PVC terekstrusi

o Pelindung terluar : PVC terekstrusi o Ukuran tegangan : 660V/1000V

(34)

Gambar 2.20. Bagian Kabel NYY Sumber : SSS-KT, Kabel NYY, 11 Oktober 2010. http://www.sss-kt.de/Seite-D65.html Keterangan gambar : 1. Copper conductor 2. PVC insulation 3. PVC core covering 4. PVC sheath 2.6. Simple Payback

Menurut Thumann (2003), Simple Payback merupakan suatu metode perhitungan untuk mengetahui waktu yang dibutuhkan untuk mengembalikan biaya investasi yang telah dilakukan untuk mengganti sistem yang telah ada dengan sistem baru yang lebih hemat energi. Simple Payback ini dirumuskan sebagai berikut :

Saving Investasi

SP  (2.15)

Dimana :

SP = Jangka waktu pengembalian investasi.

Investasi = Jumlah investasi awal yang dilakukan untuk menggantikan sistem lama dengan sistem yang baru

Gambar

Gambar 2.1. Spektrum Cahaya  Sumber : Siudjo. Teknik warna. 11 Oktober 2010.
Gambar 2.2. Lampu Pijar
Gambar 2.3. Konstruksi Lampu Fluorescent  Sumber : Philips Lihgting, Philips TL5 Lamps, 11 Oktober 2010
Gambar 2.4. Lmpu Fluorescent
+7

Referensi

Dokumen terkait