• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENYAKIT PENYAKIT YANG MENYERANG KERBAU DI INDONESIA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENYAKIT PENYAKIT YANG MENYERANG KERBAU DI INDONESIA"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

PENYAKIT–PENYAKIT YANG MENYERANG KERBAU

DI INDONESIA

RIZA ZAINUDDIN AHMAD

Balai Besar Penelitian Veteriner, Jl. R.E. Martadinata 30. Bogor.

ABSTRAK

Serangan penyakit pada kerbau akan menurunkan produktivitas dan bahkan dapat menimbulkan kematian. Tujuan dari penulisan makalah ini untuk memaparkan penyakit-penyakit yang masih ditemukan menyerang kerbau selama 5 tahun belakangan ini. Penyakit yang menyerang kerbau dapat digolongkan dalam 5 penyebab yaitu; stress, malnutrisi, cemaran pakan dan agen penyakit. Agen penyakit dapat dibedakan menjadi 4 golongan yaitu: bakteri, cendawan, parasit dan virus. Serangan beberapa agen penyakit tidak ditemukan lagi seperti cendawan, parasit dan virus, namun agen penyakit bakteri masih ditemukan seperti bakteri penyebab Antraks dan ngorok. Penyebab penyakit Antraks adalah Bacillus anthracis, sedangkan penyakit ngorok oleh Pasteurella multocida. Kedua serangan penyakit ini menjadi masalah kesehatan yang penting untuk dicari jalan penyelesaiannnya. Melalui pengendalian terpadu yaitu pencegahan, pengobatan, pemberantasan serta biosekuriti yang baik dan benar diharapkan dapat mengatasi masalah serangan kedua penyakit tersebut di masa kini dan mendatang.

Kata kunci: Serangan penyakit, kerbau, pengendalian.

PENDAHULUAN

Kerbau adalah hewan tergolong memamah biak subkeluarga bovinae dan mempunyai kebiasaan berendam di sungai dan lumpur, sehingga dapat digolongkan menjadi kerbau lumpur dan kerbau sungai, meskipun kerbau lumpur sering juga disebut kerbau rawa. Selain itu kerbau dapat dibedakan menjadi kerbau kerja dan kerbau perah. Kerbau ada yang liar dan telah didomestikasikan (jinak). Berbeda dengan sapi, kerbau lebih tahan terhadap serangan penyakit dibandingkan sapi, dan dapat hidup lebih efisien dalam masa kekurangan pakan (paceklik). Kerbau umumnya dipakai untuk membajak sawah, dan dikonsumsi susunya, susu sebagai bahan keju Mozzarella (Italia), atau dadih (Sumatera Barat). Dagingnya kurang disukai karena sedikit alot. Sebaliknya sapi diternakkan untuk memproduksi daging dan susu (WIKIPEDIA, 2008). Bila terjadi serangan penyakit akan mengurangi produktivitas dan menimbulkan kematian. Pengenalan penyakit penting artinya, setelah mengenal penyakit maka akan mudah melakukan pengendaliannnya. Biosekuriti juga mempunyai peranan di dalam pengendalian selain pencegahan, pengobatan dan pemberantasan penyakit. Tujuan dari penulisan ini untuk memaparkan dua jenis penyakit yang

ditemukan menyerang kerbau dan pengendaliannya selama 5 tahun terakhir ini di Indonesia.

PENYAKIT YANG MENYERANG KERBAU

Di Indonesia menurut BAHRI dan DARMINTO (l995), telah terjadi serangan penyakit SE, Enterotoksemia, Antraks, Fasciolosis, MCF dan Surra. Kemudian MUHARSINI ET AL. (2006), memaparkan pula bahwa kasus Surra, Fasciolosis, MCF ,AE, Black disease, Enterotoksemia dan SE masih ditemukan pada kerbau. Dari sekian banyak penyakit bakterial, viral, parasit dan mikal (cendawan) yang dapat menyerang sapi pada kerbau tidak ditemukan. Namun demikian ditemukan juga serangan penyakit yang disebabkan oleh bakteri seperti Antraks, dan ngorok (SE) ditemukan pada lima tahun belakangan ini pada beberapa daerah di Indonesia (Tabel 1). Serangan SE di Aceh Selatan (2005), Ambarawa(2007), Riau (2007), NTT (2006) dan serangan Antraks di NTT, (2007)). Sejumlah penyakit yang dapat menyerang kerbau telah termonitor dalam 5 tahun terakhir ini.

(2)

Tabel 1. Kejadian Penyakit SE dan Antraks di beberapa tempat di Indonesia

Lokasi kejadian Tahun Nama Penyakit Sumber

Aceh Selatan 2005 SE KAPANLAGI.COM (2007)

Ambarawa 2007 SE KAPAN LAGI.COM (2007)

Riau 2007 SE RIAUINFO (2007)

NTT &Timor 2006 SE KOMPAS (2006).

NTT 2007 Antraks TEMPO INTERAKTIF (2007)

Beberapa penyakit menjadi tak muncul dengan berbagai kemungkinan seperti hilangnya penyakit ataupun tidak termonitor (dilaporkan) atau memang ternak kerbaunya sudah sehat. Hilangnya penyakit karena penyakit tersebut sudah hilang ataupun tertutupi oleh serangan penyakit lain. Selain itu hilangnya penyakit karena agen penyebab penyakit tersebut musnah karena adanya perubahan iklim seperti pemanasan global ataupun persaingan untuk bertahan hidup, atau populasi induk semangnya yang menurun. Tidak termonitornya penyakit dapat disebabkan oleh ketidaktahuan atau keengganan pemilik kerbau melaporkan kepada dinas yang berwenang atau paramedis dan dokter hewan.

Penyakit umumnya terjadi dikarenakan stress akibat panas, kekurangan gizi, pakan yang tercemar cendawan dan serangan agen penyakit (bakteri, cendawan, parasit dan virus). Umumnya penyebab terjadinya penyakit tidak sendiri-sendiri melainkan saling berkaitan. Stress dapat mempengaruhi reproduksi dari kerbau. Mengurangi stress akibat panas dapat dilakukan dengan cara merendam tubuhnya di sungai atau lumpur, kekurangan nutrisi diatasi dengan memberi asupan pakan yang mengandung nutrisi seimbang. Sedangkan mengobati penyakit dengan membunuh/mereduksi agen penyakit.

Meski penyakit yang disebabkan oleh virus, parasit dan cendawan belum banyak ditemukan pada kerbau namun demikian perlu pula diwaspadai. Beberapa penyakit juga terus dapat menyerang kerbau di masa kini atau mendatang (Tabel 2). Di negara lain seperti India, Malaysia, Australia dan Amerika, beberapa penyakit masih menyerang kerbau seperti Schistosomiasis, Anaplasmosis, Babesiosis, Theleriasis, Surra dan serangan cacing hati, cacing pita, atau cacing gling

alainnya, koksidiosis, kutu (serangan parasit). Brucellosis, Leptospirosis, radang paha dan Tuberculosis (serangan bakteri). Infectious Bovine Rhinotracheatis (IBR) Penyakit mulut dan kuku (PMK), Malignant Cataral Fever (MCF), Lidah biru (blue tounge) (serangan virus), lainnya seperti kembung. Demikian pula dengan penyakit mikotik, seperti Deg Nala, Aflatoksikosis, Ringworm, Granuloma kronis, Mastitis (FAO, 1977; KAVITHA et al., 2002; RAO dan HAFEEZ, 2005; BHATTACHARYYA andAHMED, 2005; OLCOTT dan OLCOTT, 2006). Cendawan dapat pula menyerang pada ambing kerbau (Mastitis mikotik), juga menyerang pakan kerbau seperti pencemaran cendawan pada konsentrat dan hijauan yang dapat menyebabkan terjadinya mikosis dan mikotoksikosis. Namun cemaran cendawan dan Mastitis mikotik sering terlupakan dan jarang dilakukan penelitian ke arah tersebut. Penyakit yang disebabkan oleh virus dan bakteri umumnya bersifat akut dan prosesnya berlangsung cepat serta bersifat mematikan. Sedangkan penyakit yang disebabkan oleh parasit dan cendawan bersifat kronis, prosesnya berjalan perlahan-lahan dan jarang menimbulkan kematian, namun sebenarnya keempat macam mikroba penyebab penyakit ini secara ekonomi sangat merugikan.

1. Penyakit Antraks

Penyakit ini mempunyai nama lain radang limpa. Penyakit Antraks adalah penyakit menular dapat bersifat akut dan perakut dapat menyerang berbagai jenis ternak pemamah biak (kuda babi, ruminansia dan lainnya), tetapi hewan berdarah dingin tidak terserang. Penyebabnya adalah Bacillus anthracis. Bakteri ini bersifat gram positif, berbentuk

(3)

Tabel 2. Agen penyakit yang dapat menyerang kerbau di Indonesia

No

Nama Penyakit Agen Penyebab Golongan mikroba Serangan 5 tahun terakhir 1 Schistosomiasis Schistosoma sp Parasit cacing Belum ada 2 Anaplasmosis Anaplasma sp Parasit protozoa Belum ada

3 Teleriasis Theleria sp Parasit protozoa Belum ada

4 Babesiosios Babesia sp Parasit protozoa Belum ada

5 Surra Trypanosoma sp Parasit protozoa Belum ada

6 Cacing hati Fasciola sp Parasit cacing Belum ada

8 Brucelllosis Brucella sp bakteri Belum ada

9 leptospirosis Leptospira sp bakteri Belum ada

10 Radang paha Clostridium sp bakteri Belum ada

11 Tuberkulosis Mycobacterium turberculosis

bakteri Belum ada

12 Antraks Bacillus antrachis bakteri ada

13 SE Pasteurella multocida ada

14 IBR BHV 1 virus Belum ada

15 PMK PMK virus Belum ada

16 MCF MCF Virus Belum ada

17 Mastitis Bakteri dan Cendawan Cendawan dan bakteri Belum ada

18 Cemaran pakan Cendawan pencemar Cendawan Belum ada

Sumber: FAO (1977); DIRKESWAN (1977); BALAI KARANTINA PERTANIAN (2009)

panjang lurus, berukuran besar dan dapat menghasilkan spora. Faktor predisposisi seperti hawa dingin, kurang nutrisi dan keletihan. Hal ini menyebabkan hewan mudah terserang spora Antraks yang bersifat laten. Spora yang tahan terhadap kekeringan dalam tanah akan tahan dalam jangka waktu yang lama.

Sejak abad ke 18 sampai 20 sekarang sudah ada, penyakit Antraks yang tersebar di Sumatera, Jawa, Madura, Kalimantan, Nusa Tenggara dan Sulawesi. Mempunyai angka morbiditas dan mortalitas yang tinggi. Walaupun kejadian Antraks terdapat di seluruh dunia namun umumnya terbatas pada beberapa wilayah saja. Daerah yang terserang umumnya memiliki tanah bersifat alkalis dan mengandung banyak bahan organik. Perubahan iklim pada musim hujan dapat membangunkan spora basil yang bersifat laten dan berpotensi menyerang hewan di daerah tersebut.

Umumnya kasus Antraks terjadi pada waktu ternak digembalakan di padang rumput. Pada rumput yang baru saja menerima air berkelebihan dari daerah lain yang merupakan

padang penggembalaan yang berbahaya. Masuknya spora dapat melalui saluran makanan, pernafasan dan penetrasi dari kulit.

Penyakit ini bersifat zoonosis (menular pada manusia) sehingga tergolong berbahaya. Antraks tidak lazim ditularkan dari hewan yang satu kepada yang lain secara langsung, Infeksi yang lazim melalui saluran pencernaan dimana spora tertelan hewan. Pada manusia umumnya infeksi berasal dari hewan lalu tertular melalui permukaan kulit yang terluka, khususnya pada orang-orang yang pekerjaannya berhubungan dengan hewan,

Gejala klinis ditandai dengan kejadian akut (kurang dari 48 jam), jarang yang kronis, demam tinggi dan hewan tersebut biasa dikerjakan atau digembalakan. Kerbau mati mendadak di kandang atau di tempat gembalaan atau sedang bekerja. Selain itu hewan gelisah disertai gejala penyakit pada umumnya (lemah, panas, tidak ada nafsu makan, terjadi pembengkakan daerah leher, dada, pinggang dan alat kelamin luar). Pembengkakan berkembang dengan cepat dan

(4)

meluas bila diraba terasa panas, konsistensi lembek atau keras, juga terdapat luka yang mengeluarkan eksudat. Pembengkakan pada leher menyebabkan pharingitis dan glottis, selaput lendir rektum dan vagina juga terjadi pembengkakan. Pada puncaknya penyakit darah akan keluar melalui dubur, mulut, lubang hidung dan kemihnya bercampur cairan.

Diagnosa dapat dilaksanakan dengan pemeriksaan olesan darah tepi dari hewan yang sama pada kapas bergagang, sepotong kapur tulis atau sepotong kertas saring yang kemudian dimasukkan ke dalam tabung reaksi. Bahan pemeriksaan tersebut harus ditaruh dalam wadah yang kuat dan tertutup rapat untuk mencegah kemungkinan pencemaran dalam perjalanan. Selanjutnya dilakukan pemeriksaan mikroskop secara langsung, dengan pemupukan dan pemeriksaan serologis.

Pengendalian Penyakit

Serangan penyakit Antraks dapat dikendalikan melalui pencegahan, pengobatan dan pemberantasan secara baik dan benar.

Pencegahan

Pada daerah bebas Antraks, tindakan pencegahan berdasarkan pada pengaturan yang ketat terhadap pemasukan hewan ke daerah tersebut. Pencegahan dapat dilakukan vaksinasi pada semua ternak di daerah enzootik yang dilakukan setiap tahun disertai cara-cara pengawasan yang ketat. Penggunaan vaksin Antraks lebih baik jenis yang in aktif dengan jenis strain yang baik untuk menimbulkan kekebalan dan aman untuk hewan. Vaksin Antraks di jual bebas dan mudah dibeli. Perhatikan dosis dan cara aplikasinya dengan baik untuk memperoleh hasil yang maksimal.

Selain vaksinasi dan pengobatan dapat pula dilakukan tindakan sebagai berikut untuk menahan dan mencegah perluasan penyakit: i. Hewan yang terserang harus diasingkan, hewan lain tak boleh mendekat, di dekat tempat tersebut digali lubang sedalam 2-2,5 m, untuk menampung sisa makananan dan tinja dari kandang hewan yang sakit.

ii. Setelah hewan mati, sembuh atau setelah lubang itu terisi sampai 60 cm, lubang itu dipenuhi dengan tanah yang segar.

iii. Hewan sakit tidak boleh disembelih. iv. Jika hewan tersangka sakit dalam waktu 14

hari tidak ada yang sakit, maka hewan dibebaskan kembali.

v. Dipasang papan bertuliskan “Penyakit Hewan Menular Antraks” disertai nama penyakit yang dimengerti di daerah tersebut pada tempat terserang Antraks.

vi. Bangkai hewan yang mati segera dibinasakan dengan dibakar habis atau dikubur dalam-dalam.

vii. Kandang dan perlengkapan yang tercemar harus dihapus hamakan setelah hewan mati atau sembuh. Semua alat-alat yang tidak dapat didesinfeksi, harus dibakar. viii. Dalam suatu daerah, penyakit

dianggap telah berlalu setelah lewat masa 14 hari sejak matinya atau sembuhnya penderita terakhir.

ix. Tindakan sanitasi umum terhadap orang yang kontak dengan hewan penderita penyakit dan untuk mencegah perluasan penyakit.

x. Pemusnahan spora dapat dilakukan dengan sterilisasi basah. Insektisida dapat digunakan untuk mengurangi penularan melalui vektor serangga.

Pengobatan

Untuk hewan yang tersangka sakit dilakukan penyuntikan antiserum dosis pencegahan, suntikan antibiotika untuk gram positif, kemoterapeutika atau ketiga-tiganya. Hewan sakit diberikan suntikan anti serum dengan dosis kuratif Penyuntikn antiserum homolog adalah Intra vena atau sub kutan, sedangkan yang heterolog melalui subkutan. Kekebalan pasif timbul seketika, akan tetapi berlangsung tidak lebih dari dua minggu.

Pemberian antiserum untuk tujuan pengobatan dapat dikombinasikan dengan pemberian antibiotika, jika antiserum tidak tersedia, dapat diobati dengan obat-obatan

Penisilin G, Streptomisin, Oksitetrasiklin dan di dalam pengobatan perhatikan petunjuk aplikasi dan dosis penggunaan (DIRKESWAN, 1977; SUBRONTO,1985).

(5)

2. Penyakit Ngorok

Penyakit ini mempunyai nama lain Septicemia Epizootica (SE), atau Septicemia Hemorrhagica, Hemorrhagica Septicaemia, dan Barbone. Penyakit ini disebabkan Pasteurella multocida tipe tertentu. Umumnya berjalan akut dengan angka kematian yang tinggi seperti Antraks namun tidak bersifat zoonosis. Penyakit ini selain menyerang kerbau juga sapi, babi, kuda dan ruminansia kecil.

Pada kerbau dalam stadium terminal menunjukkan gejala mendengkur (ngorok) karena adanya pembengkakan pada daerah sub mandibula dan leher bagian bawah. Secara ekonomi merugikan karena menurunkan produktivitas dan menimbulkan kematian. Bakteri P multocida merupakan salah satu spesies Pasteurella yang tidak menyebabkan hemolise. Bakteri ini berbentuk kokobasilus mempunyai ukuran yang sangat halus, bipolar, bersifat gram negatif dan tidak membentuk spora.

Di Indonesia kasus SE sudah mulai ditemukan pada abad ke 18 hingga kini. Pertama kali ditemukan di pulau Jawa dan sudah menyebar ke beberapa pulau lain di Indonesia. Di luar negeri di wilayah tropis dan sub tropis juga terkena serangan SE ini seperti Afrika, Eropa Selatan, India, Malaysia dan Timur Tengah, seperti Mesir dan Sudan. Umumnya bersifat musiman, khususnya musim hujan, dan secara sporadis ditemukan sepanjang tahun. Beberapa faktor predisposisi seperti kelelahan, kedinginan, anemia mempermudah timbulnya penyakit ini. Hewan tertular melalui hewan sakit atau pembawa kontak atau pakan dan minuman, dan alat-alat tercemar, juga ekskreta hewan penderita (ludah, kemih dan tinja) yang mengandung mikroba. Mikroba yang hidup sementara pada tempat penggembalaan, bila terkena hewan akan menulari hewan tersebut. Insekta dapat juga sebagai vektor penyakit. Masa tunas SE selama 1-2 hari.

Gejala klinis ditandai dengan temperatur tinggi 41-41oC (demam), salivasi, dan kedunguan. Ada 3 bentuk gejala yaitu busung, pektoral dan intestinal. Bentuk busung ditandai busung pada bagian kepala, tenggorokan, leher bagian bawah, gelambir dan terkadang kaki muka. Dalam bentuk ini mortalitas tinggi (90%) dan berlangsung cepat (akut, perakut).

Sedang pada bentuk pektoral ditandai gejala bronchopneumonia yang lebih nampak, hewan batuk dengan diikuti keluarnya ingus hidung. Pernafasan cepat dan susah, prosesnya berlangsung lebih lama (1-3 minggu). Pada bentuk intestinal bersifat lebih kronis, hewan mencret terus menerus disertai demam yang tinggi, umumnya seluruh organ pernafasan juga akan terkena.

Bahan yang dapat diperiksa untuk didiagnosa adalah sedian ulas darah jantung, potongan organ tubuh seperti ginjal, limpa. Selanjutnya dilakukan diagnosa laboratorium (pemeriksaan mikroskopis, dan isolasi agen penyakit).

Pengendalian Penyakit

Usaha pengendalian dapat dilakukan dengan pencegahan, pengobatan dan pemberantasan.

Pencegahan

i. Untuk daerah bebas SE dilakukan pencegahan dengan peraturan yang ketat terhadap pemasukan hewan.

ii. Untuk daerah tertular, hewan sehat divaksin sedikitnya 1 kali setahun pada saat tidak ada kejadian penyakit.

iii. Pada hewan tersangka sakit dapat dilakukan pilihan antara lain memberi antiserum, antibiotika, kemoterapika atau ketiganya.

Pemberantasan

i. Pada keadaan sporadis dilakukan pemberantasan pada hewan sakit dan penyuntikan hewan tersangka sakit dengan antiserum SE.

ii. Pada keadaan epizootik tindakan pemberantasan dilakukan pada batas-batas daerah tertular dari daerah yang belum tertular sebagai berikut:/(a). Di sekeliling batas daerah tertular dilakukan imunisasi aktif dengan vaksin SE, (b). Di dalam daerah tertular: (a) Hewan sakit dan tersangka sakit disuntik antiserum dengan dosis pengobatan dan pencegahan; (b) Hewan tidak sakit divaksin dengan vaksin SE.

(6)

iii. Untuk tindakan pengendalian selanjutnya sebaiknya mengikuti kebijakan veteriner yang berlaku.

Pengobatan

Penyakit dapat diobati dengan seroterapi dengan serum kebal homolog dan dilakukan secara intra vena dan sub kutan, namun kekebalan berlangsung selama 2-3 minggu dan hanya efektif pada stadium serangan awal penyakit. Sebaiknya dikombinasikan dengan pemberian antibiotika dan kemoterapi. Pengobatan antibiotika dan kemoterapi dapat dicoba dengan preparat Streptomisin, Terramisin, Aureomisin ataupun Sulphadimidin. Di dalam aplikasi perlu diperhatikan petunjuk pemakaian dan dosis pengobatannya.

Berbeda dengan daging hewan yang terkena Antraks, hewan terkena SE dapat dikonsumsi asalkan sudah dimasak dengan baik dan benar (DIRKESWAN, 1977; SUBRONTO,1985; OIE, 2005).

BIOSEKURITI UMUM

Biosekuriti merupakan suatu program yang dirancang untuk melindungi kehidupan kerbau. Sehingga dilakukan segala upaya untuk mengurangi resiko atau mereduksi penyakit dari agen penyakit atau stress, kekurangan nutrisi, dan pakan yang tercemar cendawan. Biosekuriti bila dilakukan dengan baik dan benar akan mengurangi resiko kerugian akibat penyakit. Upaya tersebut umumnya dapat dilakukan untuk mendukung pengendalian berbagai serangan penyakit, meski beberapa penyakit seperti Antraks dan SE memerlukan penangan khusus. Pada kerbau dapat dilakukan biosekuriti sebagai berikut:

i. Kerbau peliharaan berasal dari kerbau yang tercatat sehat dan tidak ada gejala klinis.

ii. Kerbau harus dilakukan vaksinasi penyakit tertentu sesuai keadaan

iii. Dilakukan program sanitasi, dengan deinfeksi kadang dan peralatan secra teratur.

iv. Dicegah penularan penyakit dari hewan sakit (dikarantina) sampai sembuh.

v. Pekerja harus selalu sehat dan tidak membawa agen penyakit dari hewan sakit.

vi. Membakar atau mengubur bangkai kerbau yang mati karena penyakit menular.

vii. Kerbau yang sakit harus segera diperiksa dan diobati atau ada tindak lanjut lainnya yang sesuai keperluan.

viii. Pakan untuk kerbau harus diyakinkan benar-benar bebas dari cemaran cendawan patogen.

ix. Penyimpanan pakan tambahan, konsentrat harus di tempat yang kering, dan pakan harus segera dipakai untuk mengurangi resiko cemaran cendawan yang patogen (PERMENTAN. 2006; DIRKESWAN ,1977).

KESIMPULAN DAN SARAN. Penyakit yang masih menyerang kerbau di Indonesia dalam 5 tahun terakhir ini adalah penyakit Antraks dan Ngorok. Pengendalian penyakit tersebut dapat dilakukan dengan vaksinasi secara teratur pada ternak kerbau. Biosekuriti merupakan perangkat pelengkap yang penting dalam pengendalian.

DAFTAR PUSTAKA

BAHRI, S.danDARMINTO. 1995. Penyakit-penyakit penting pada kerbau di Indonesia. Prosiding lokakarya Nasional Pengembangan Ternak Kerbau di Indonesia. 18-21 Juni 1995. Bogor Jawa Barat:1-23.

BALAI KARANTINA PERTANIAN. 2009. Penyakit Hewan golongan II. Balaia karantina Pertanian Kelas II Yogyakarta Departemen Pertanian. BHATTACHARYYA, D.K. and K. AHMED.2005.

Prevalence of helmintic infection in cattle and buffaloes Indian Veterinary Journal 82(8): 900-901

DIRKESWAN.1977. Pedoman Pengendalian Penyakit Hewan Menular. Jilid I. Direktorat Kesehatan Hewan Direktorat Jenderal Peternakan, Departeman Pertanian. Jakarta.

FAO., 1977. The Water Buffalo. Animal Production and Health series No: 4. FAO. UN. Rome .Italy : 58-96

KAPANLAGI.COM. 2007. Terserang Penyakit Ngorok, Delapan Kerbau Mati di Ambarawa.

(7)

http://www.kapan0000193634lagi.com/h/print .html.(5-6-2008)

KAPANLAGI.COM.2007. 20 Kerbau mati mendadak, desa Saubadeh terkena wabah ngorok. http://www.kapanlagi.com/h

/0000188015_print.html. (16-6-2008) KAVITHA S., P.S. THIRUNAVUKKASARU, S.R.

SRINIVASARI., M. SUBRAMANIAN.and R.S. KUMAR. 2002. A. retrospective study on the prevalence of disease of cattle and buffaloes in Namakakkal District. Indian Veterinary

Journal.70(5) :500-509.

KOMPAS. 2006. Ratusan ekor sapi mati akibat ngorok. Kompas 9 Februari. 2006.

MUHARSINI, S., L. NATALIA, SUHARDONO dan DARMINTO. 2006. Inovasi Teknologi dalam Pengendalian Penyakit Ternak Kerbau. Prosiding Lokakarya Nasional. Usaha Ternak Kerbau mendukung Program kecukupan daging sapi. Sumbawa, 4-5 Agustus 2006. Puslitbang Peternakan bekerjasama dengan Direktorat Perbibitan Ditjen Peternakan, Dinas Peternakan Propinsi NTB dan Pemda Kabupaten Sumbawa. Bogor.

OIE. 2005. Hemorrhagic Septicemia. Center for food Security and Public Health Collage of Veterinary Medicine Iowa State university, AMES. IOWA. http: www.Cfsph.iastate.Edu. :1-3.

OLCOTT AND OLCOTT, 2006. Reproduction in water buffalo (part II). International Animal Health News. Fremont AveN., Seatlle. WA 98133.www.cvmusa.org

PERMENTAN. 2006. Pedoman Pembibitan Kerbau yang Baik. Peraturan Menteri Pertanian No: 56/Permentan/Ot.140/10/2006.

RAO.T.B, AND M.HAFEEZ. 2005. Prevalence trypanosomiasis in buffaloes in East Godavari District of Andhra Pradesh. Indian Veterinary

Journal.72(8): 896-897.

RIAUINFO.2007. Penyakit sapi ngorok mulai serang

Kampar. http:// www.riauinfo.com/main/news.php

C=c,68&id=439.(7-8-2008)

SUBRONTO. 1985. Ilmu Penyakit Ternak I.. Gajah Mada University Press.

TEMPO. 2007. Puluhan Warga Ende Terserang Antraks. Tempointeraktif.Com. http:// www.tempointeraktif.com/share?act=tmv3cw =&type=uhjpbnQ=&media=bmV3 (6-8-2008). WIKIPEDIA. 2008. Kerbau. http:// id.wikipedia.org/wiki/kerbau.(8 - 6-2008)

Gambar

Tabel 1. Kejadian Penyakit SE dan Antraks di beberapa tempat di Indonesia
Tabel 2. Agen penyakit yang dapat menyerang kerbau di Indonesia

Referensi

Dokumen terkait

Gaji tidak tinggi jadi mereka berkerja hanya karena merasa sudah digaji dan enggan bernuat lebih dari pekerjaan mereka, Keamanan Kerja,tidak ada keamanan kerja karena dipakai

martial arts are Silek Kumango, Silek Lintau, Silek Sungai Patai, Silek Pangian, Silek Sitaralak, Silek Sugiridiek, Silek Luncua, Silek Koto Anau, Silek River

Berdasarkan kode-kode tersebut, peneliti melihat adanya konsep orientalisme yang dikemas dengan gaya Barat dalam penggambaran karakter dan budaya Timur melalui film

Masalah dalam penelitian ini adalah apakah kompetensi pedagogik guru PAI memiliki pengaruh yang positif dan signifikan terhadap minat belajar siswa di SMKN Binaan Provsu

Sarung tangan yang kuat, tahan bahan kimia yang sesuai dengan standar yang disahkan, harus dipakai setiap saat bila menangani produk kimia, jika penilaian risiko menunjukkan,

Data-data yg dikumpulkan kemudian diolah hingga menjadi hasil Pada bab 5, pembahasan hasil penelitian berisi tentang Penerapan dan hasil belajar Metode Tutor Sebaya Di Luar

The occurrence of antimicrobial resistance in enteric bacteria, especially Enterobacteriaceae, is an indication of the emergence of resistant bacterial strains in the community

Misalkan dilihat dari proporsi penempatan asset bank dalam bentuk penempatan dana pada BI (SBI), surat-surat berharga, dan kredit dari kelima bank yang mempunyai ranking tinggi