• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERGESERAN PERAN KOTA MARITIM PADA PERIODE AKHIR ABAD XIX; KASUS KECAMATAN LASEM, KABUPATEN REMBANG SKRIPSI. Disusun Untuk Memenuhi Persyaratan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PERGESERAN PERAN KOTA MARITIM PADA PERIODE AKHIR ABAD XIX; KASUS KECAMATAN LASEM, KABUPATEN REMBANG SKRIPSI. Disusun Untuk Memenuhi Persyaratan"

Copied!
83
0
0

Teks penuh

(1)

PERGESERAN PERAN KOTA MARITIM PADA PERIODE AKHIR ABAD XIX;

KASUS KECAMATAN LASEM, KABUPATEN REMBANG SKRIPSI

Disusun Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sastra

Program Studi Sejarah

Disusun Oleh

Aditya Kurniawan Cinta Perdana NIM 124314007

JURUSAN ILMU SEJARAH FAKULTAS SASTRA

UNIVERSITAS SANATA DHARMA 2019

(2)

PERGESERAN PERAN KOTA MARITIM PADA PERIODE AKHIR ABAD XIX;

KASUS KECAMATAN LASEM, KABUPATEN REMBANG SKRIPSI

Disusun Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sastra

Program Studi Sejarah

Disusun Oleh

Aditya Kurniawan Cinta Perdana NIM 124314007

JURUSAN ILMU SEJARAH FAKULTAS SASTRA

UNIVERSITAS SANATA DHARMA 2019

(3)

SKRIPSI

PERGESERAN PERAN KOTA MARITIM PADA PERIODE AKHIR ABAD XIX;

KASUS KECAMATAN LASEM, KABUPATEN REMBANG

Disusun Oleh : Aditya Kurniawan Cinta Perdana

(4)
(5)

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA

Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi ini merupakan karya sendiri dan belum pernah saya ajukan sebagai syarat memperoleh gelar kesarjanaan di perguruan tinggi.

Skripsi ini tidak memuat karya orang lain atau suatu lembaga atau bagian dari karya orang lain atau suatu Lembaga, kecuali bagian-bagian tertentu yang di sebutkan dalam catatan kaki dan daftar pustaka.

Yogyakarta, 23 September 2019

(6)

HALAMAN MOTTO

“A man who doesn’t spend time with his family can never be a real man.”

- Don Vito Corleone

“Mintalah, maka akan diberikan kepadamu; carilah maka kamu akan mendapat; ketoklah, maka pintu akan dibukakan bagimu.” - Matius 7 : 7

(7)

HALAMAN PERSEMBAHAN

Puji syukur kupanjatkan kepada Tuhan Yesus, atas segala rahmat dan juga kesempatan dalam menyelesaikan tugas akhir skripsi saya dengan segala kekurangannya. Segala syukur kuucapkan kepadaMu Ya Tuhan, karena sudah menghadirkan orang-orang berarti di sekeliling saya. Yang selalu memberi semangat dan doa, sehingga skripsi saya ini dapat diselesaikan dengan baik. Untuk karya yang sederhana ini, maka saya persembahkan untuk …

 Papi dan Ibunda tercinta dan tersayang

Apa yang saya dapatkan hari ini, belum mampu membayar semua kebaikan, keringat, dan juga air mata bagi saya. Terima kasih atas segala dukungan kalian, baik dalam bentuk materi maupun moril. Karya ini saya persembahkan untuk kalian, sebagai wujud rasa terima kasih atas pengorbanan dan jerih payah kalian sehingga saya dapat menggapai cita-cita.

Kelak cita-cita saya ini akan menjadi persembahan yang paling mulia untuk Papi dan Ibu walaupun ibu sudah berada bersama Tuhan Yesus, saya yakin ibu pasti melihat saya di sini dan semoga dapat membahagiakan kalian.

 Istri saya tercinta serta buah hati saya

Untuk Istri terkasih Grace dan kedua buah hatiku Kakak Ovellia dan Adik Vigael. Kalian adalah semestaku, irama nafasku dan aku tak

(8)

pernah tau betapa waktu menghantarkanku menuju tak terbatas melangkah bersama kalian.

 Kakak dan Adik tercinta

Untuk Mas Agung, Mas Tatak, Mas Christa dan Dik Dyan, tiada waktu yang paling berharga dalam hidup selain menghabiskan waktu dengan kalian. Walaupun saat dekat kita sering bertengkar, tapi saat jauh kita saling merindukan. Terima kasih untuk bantuan dan semangat dari kalian, semoga awal dari kesuksesan saya ini dapat membanggakan kalian.  Dosen Pembimbing

Kepada Pak Rio selaku dosen pembimbing saya yang paling baik dan bijaksana, terima kasih karena sudah menjadi orang tua kedua saya di Kampus. Terima kasih atas bantuannya, nasihatnya, dan ilmunya yang selama ini dilimpahkan pada saya dengan rasa tulus dan ikhlas. Bantuan bapak sangat luar biasa untuk saya. Sekali lagi, saya ucapkan terimaksih . Juga kepada Bu Ning dan Pak Heri yang merangkul saya di sela kesakitan yang luar biasa, terimakasih Bu Ning, terima kasih Pak Heri, tanpa kalian mungkin ini semua tak-kan terjadi.

 Sahabat dan seluruh teman di kampus tercinta

Tanpa kalian mungkin masa-masa kuliah saya akan menjadi biasa-biasa saja, maaf jika banyak salah dengan maaf yang tak terucap. Terima kasih untuk support yang luar biasa, sampai saya bisa menyelesaikan skripsi ini dengan baik.

(9)

LEMBAR PERNYATAAN

Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma :

Nama : Aditya Kurniawan Cinta Perdana Nomor Mahasiswa : 124314007

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada perpustakaan Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya berjudul :

PERGESERAN PERAN KOTA MARITIM PADA PERIODE AKHIR ABAD XIX;

KASUS KECAMATAN LASEM, KABUPATEN REMBANG Beserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan demikian saya memberikan kepada perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, mengalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya dalam bentuk pangkalan data, mendistribusikan secara terbatas dan mempublikasikannya di internet atau media lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta ijin dari saya sebagai penulis.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.

Dibuat di Yogyakarta Pada 23 September 2019 Yang menyatakan,

(10)

ABSTRAK

Penelitian ini berjudul “Pergeseran Peran Kota Maritim pada Periode Akhir Abad XIX, dengan Contoh Kasus Kecamatan Lasem, Kabupaten Rembang”. Masalah yang diangkat dalam penelitian ini, yaitu: Apa yang melatar-belakangi kemunculan kota maritim? Bagaimana perkembangan kota maritim terkait dengan peran keagamaan, ekonomi dan perdagangan serta sosial dan budaya kota-kota maritim dari awal kemunculannya? Mengapa terjadi pergeseran dari peran awal kemunculannya? Tujuan penelitian ini adalah merunut dan mendeskripsikan latar belakang sejarah kemunculan kota maritim, perkembangan kota maritim terkait dengan peran keagamaan, ekonomi dan perdagangan serta sosial dan budaya dari awal kemunculannya, serta pergeseran peran kota maritim dari peran awal kemunculannya dengan lokus Lasem sebagai kota maritim.

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini yaitu metode pustaka. Dalam pelaksanaanya, dilakukan dengan cara mengumpulkan sumber-sumber referensi yang berhubungan dengan peran kota maritim dari kajian peran keagamaan, ekonomi perdagangan dan sosial budaya yang terkait. Penelitian pustaka dilakukan dengan menggunakan buku-buku, jurnal, esai, skripsi, tesis, desertasi, makalah, ataupun artikel-artikel di internet yang relevan dengan topik penelitian. Studi pustaka dan studi arsip dilakukan di Kecamatan Lasem, Kabupaten Rembang, Provinsi Jawa Tengah.

Hasil penelitian ini adalah bahwa awal kemunculan kota maritim dilatar-belakangi oleh maraknya lalu lintas kapal-kapal yang berlayar melalui jalur laut yang mendorong perkembangan tempat singgah, jalan, lapak, toko, warung dan berbagai infrastruktur di sekitar pelabuhan. Awal kemunculan kota maritim berhubungan dengan perannya di bidang keagamaan, ekonomi dan perdagangan serta sosial dan budaya. Pergeseran peran di bidang keagamaan mempengaruhi kebijakan yang semula berbasis kehinduan kemudian berbasis keislaman. Pergeseran peran di bidang ekonomi dan perdagangan mempengaruhi kebijakan perdagangan laut yang semula di laut kemudian bergeser ke darat. Pergeseran peran di bidang sosial dan budaya mempengaruhi perkembangan sosial dan budaya yang semula bernuansa hinduisme kemudian menjadi bernuansa islamis.

(11)

ABSTRACT

This study is entitled "Pergeseran Peran Kota Maritim pada Periode Akhir Abad XIX, dengan Contoh Kasus Kecamatan Lasem, Kabupaten Rembang". There are three issues raised in this study, namely: What is the background of the emergence of a maritime city? How is the development of maritime cities related to the role of religion, economic trade and social culture of maritime cities from the initial role of their appearance? Why is the changing role happened from the initial role of its appearance? The purpose of this study is to trace and describe the historical background of the emergence of a maritime city, the development of a maritime city related to the role of religion, economy and trade and social and culture from the beginning of its emergence and the shift in the role of a maritime city from its initial role by taking Lasem's locus as a maritime city.

The research method used in this study is the literature research method. In its implementation, it was carried out by collecting reference sources relating to the role of the maritime city from the study of the related religious, economic and socio-cultural roles. Literature research wass carried out using books, journals, essays, theses, theses, dissertations, papers, or articles on the internet that are relevant to the research topic. Literature study and archive study were carried out in Lasem District, Rembang Regency, Central Java Province.

The results of this study are that the early emergence of the maritime city is motivated by the crowded traffic of ships through the sea by carrying crew members, traders and passengers who encouraged the development of shelters, roads, shanties, shops, stalls and various infrastructure around port. The beginning of the emergence of a maritime city is related to its role in the fields of religion, economy and trade as well as social and cultural. The shift of these roles takes place in accordance with the development of the demands of the community's needs over time. The shift in the role of religion has influenceed various policies that are initially based on longevity and then based on Islamic. The changing role in the economy and trade affects policy related to sea trade activities that initially focused on the sea and then shifted to land and inland. The shifting of roles in the social and cultural fields in the late nineteenth century period had a fundamental influence on social and cultural developments that were initially nuanced by Hinduism and then Islamic.

(12)

KATA PENGANTAR

Segala hormat, ucapan syukur, pujian dan penyembahan dinaikkan kepada hadirat Tuhan Yang Pengasih dan Penyayang, karena berkat kasih setia dan karunia_Nya, maka penulis dapat menyelesaikan tugas penulisan skripsi dengan judul “Pergeseran Peran Kota Maritim pada Periode Akhir Abad XIX, dengan Contoh Kasus Kecamatan Lasem, Kabupaten Rembang”.

Tujuan penulisan skripsi ini adalah untuk memenuhi tugas menyelesaikan pendidikan sarjana strata sejarah 1 (S1) pada Program Studi Sejarah, Jurusan Sejarah, Fakultas Sastra, Universitas Sanata Dharma, Yoyakarta.

Ucapan terima kasih yang setinggi-tingginya penulis sampaikan kepada Yang Terhormat:

1. Bapak Johanes Eka Priyatma, M.Sc., Ph.D., selaku Rektor Universitas Sanata Dharma,

2. Bapak Dr. Tatang Iskarna, selaku Dekan Fakultas Sastra.

3. Bapak Drs. Silverio R.L.A.S., M.Hum., selaku Kaprodi Sejarah, juga sebagai dosen Pembimbing Skripsi “Pergeseran Peran Kota Maritim pada Periode Akhir Abad XIX; Kasus Kecamatan Lasem, Kabupaten Rembang”,

4. Mas Heri Priyatmoko, Mas Yerry Wirawan dan Romo Heri Setyawan SJ selaku Dosen Program Studi Sejarah,

5. Dan semua dosen/civitas akademika Universitas Sanata Dharma Yogyakarta,

(13)

yang telah dengan sabar memberikan pendidikan, pengajaran, pembinaan, pembimbingan dan motivasi yang luar biasa kepada penulis sehingga terselesaikannya penulisan skripsim ini.

Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada semua pihak yang sudah mendorong penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.

Akhirnya, penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih jauh dari sempurna. Oleh sebab itu penulis akan dengan senang hati menerima kritik dan saran untuk penyempurnaannya.

Yogyakarta, 23 September 2019 Penulis,

(14)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL SKRIPSI ... i

HALAMAN PERSETUJUAN ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... iv

MOTO ... v

HALAMAN PERSEMBAHAN ... vi

LEMBAR PERNYATAAN ... viii

ABSTRAK ... ix

ABSTRACT ... x

KATA PENGANTAR ... xi

DAFTAR ISI ... ix

BAB I PENDAHULUAN ... 1

I.I. Latar Belakang... 1

I.2. Rumusan Masalah dan Ruang Lingkup ... 9

I.2.1. Rumusan Masalah ... 9

I.2.2. Ruang Lingkup ... 9

I.3. Tujuan Penelitian ... 9

I.4. Manfaat Penelitian ... 10

I.5. Kajian Pustaka ... 11

I.6. Kerangka Pemikiran ... 12

I.7. Metodologi Penulisan ... 13

1.7.1. Lokasi Penelitian ... 13

1.7.2. Metode Penelitian ... 14

I.8. Hipotesis ... 14

I.9. Sistematika Penulisan ... 14

BAB II LATAR BELAKANG KEMUNCULAN KOTA MARITIM ... 16

II.1. Difinisi Kota Maritim ... 16

II.2. Latar Belakang Kota Maritim ... 21

(15)

BAB III LASEM, LEMBARAN USANG KOTA MARITIM YANG

TERTIDUR ... 28

III.1. Latar Belakang ... 28

III.2. Peran Kota Maritim Masa Pra-Kolonial ... 32

III.2.1. Bidang Keagamaan ... 32

III.2.2. Bidang Ekonomi dan Perdagangan ... 34

III.2.3. Bidang Sosial dan Budaya ... 36

III.3. Peran Kota Maritim Masa Kolonial ... 38

III.3.1. Bidang Keagamaan ... 38

III.3.2. Bidang Ekonomi dan Perdagangan ... 40

III.3.3. Bidang Sosial dan Budaya ... 41

BAB IV PERGESERAN PERAN KOTA MARITIM LASEM ... 43

IV.1. Peran Kota Maritim Lasem Masa Pra Kolonial ... 45

IV.1.1. Peran pada Bidang Keagamaan ... 45

IV.1.2. Peran pada Ekonomi dan Perdagangan ... 48

IV.1.3. Peran pada Sosial dan Budaya ... 51

IV.2. Peran Kota Maritim Lasem Masa Kolonial ... 52

IV.2.1. Peran pada Bidang Keagamaan ... 52

IV.2.2. Peran pada Ekonomi dan Perdagangan ... 54

IV.2.3. Peran pada Sosial dan Budaya ... 56

IV.3.Pergeseran Peran Kota Maritim Lasem Masa Pra Kolonial Ke Masa Kolonial ... 57

IV.3.1. Pergeseran Peran pada Bidang Keagamaan ... 57

IV.3.2. Pergeseran Peran pada pada Ekonomi dan Perdagangan ... 59

IV.3.3. Pergeseran Peran pada pada Sosial dan Budaya ... 61

BAB V PENUTUP DAN KESIMPULAN ... 63

V.1. Kesimpulan ... 63

V.2. Saran ... 65

(16)

BAB I PENDAHULUAN

I.1. Latar Belakang

Laut dengan segala kekayaan sumber daya alamnya memiliki peran yang sangat penting dan strategis dalam sejarah bangsa Indonesia yang dikenal sebagai bangsa dan negara bahari. Laut memiliki peran yang sangat penting dan strategis karena laut merupakan penyambung yang mempersatukan 13.466 pulau dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia. Di samping disebut bangsa dan negara bahari, Negara Kesatuan Republik Indonesia juga disebut negara maritim. Hal itu karena dua pertiga wilayah negara Kesatuan Republik Indonesia terdiri dari laut.

Sebagai bangsa dan negara maritim yang sebagian besar wilayahnya terdiri dari laut, bangsa Indonesia melakukan segala bentuk hubungan antarpulau melalui laut dengan menggunakan kapal. Laut menjadi salah satu jalur yang sangat mendukung untuk menjalankan berbagai aktivitas, tidak hanya di bidang ekonomi dan perdagangan saja, tetapi juga di bidang keagamaan serta sosial dan budaya.

Kata maritim dapat didefinisikan sebagai segala sesuatu yang berkenaan dengan laut; dan segala sesuatu yang berhubungan dengan pelayaran dan perdagangan di laut; sedangkan kemaritiman adalah hal-hal yang menyangkut masalah maritim.1 Dengan kata lain dapat dikemukakan bahwa semua kegiatan

1Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 2001, Hal. 716

(17)

dalam semua aspek kehidupan yang berkenaan dengan laut merupakan kegiatan kemaritiman.

Kegiatan kemaritiman bangsa Indonesia dapat dikatakan sama tuanya dengan usia bangsa Indonesia sendiri. Hal ini ditilik dari asal mula nenek moyang bangsa Indonesia yang datang dari daratan Asia. Secara bertahap, mereka melakukan migrasi dari daratan Asia menuju Nusantara. Kedatangan mereka ditempuh melalui jalur barat dan timur.2 Dapat dipastikan bahwa pada masa itu,

tidak ada kemungkinan lain bagi nenek moyang bangsa Indonesia untuk melakukan migrasi selain menggunakan media transportasi air. Setelah melakukan migrasi mereka mulai membuat pemukiman, baik di seputaran pesisir3 maupun di daerah daratan yang jauh dari laut pada tahap selanjutnya.

Pada umumnya, masyararakat yang mendirikan pemukiman di daerah pesisir menjaga kemampuan mereka pada bidang kemaritiman. Hal demikian karena kemampuan di bidang kemaritiman merupakan syarat mutlak untuk tetap

2Jalur barat berawal dari Asia daratan kemudian dengan melewati

semenanjung Malaya, mereka menyeberang ke pulau Sumatera, Jawa, Bali, Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara. Sementara itu kelompok yang lewat jalur timur setelah meninggalkan daratan Asia mereka menuju Filipina, Sulawesi, Maluku, Nusa Tenggara, Irian dan kepulauan di Samudera Pasifik. Safri Burhanuddin, et al, Sejarah Maritim (Semarang, Departemen Kelautan dan Perikanan: 2003) Hal.42

3Pesisir merupakan daerah pertemuan antara darat dan laut; ke arah

darat meliputi bagian darat, baik kering maupun terendam air, yang masih dipengaruhi sifat-sifat laut seperti pasang surut, angin laut, perembesan air asin, sedangkan ke arah laut meliputi bagian laut yang masih dipengaruhi oleh proses-proses alami yang terjadi di darat seperti sedimentasi dan aliran air tawar, maupun yang disebabkan oleh kegiatan manusia di darat seperti penggundulan hutan dan pencemaran (Soegiarto, 1976; Dahuri et al, 2001)

(18)

bertahan hidup, mengingat di seputaran pesisir lahan pertanian tidak sama suburnya dengan daerah daratan kering.

Sejatinya, interaksi antara berbagai suku bangsa sudah terjadi sejak dahulu kala, utamanya berbagai suku bangsa yang mendiami kawasan ini. Interaksi demikian dapat terjadi karena perang, namun ada pula interaksi yang dilakukan dalam bentuk kerjasama, persekutuan atau persahabatan. Hubungan antarsuku bangsa tersebut, khususnya dalam bidang perdagangan, dilakukan dengan baik melalui lalu lintas dengan jalur laut. Pada masa awalnya, hubungan dagang antarpulau tersebut berbentuk tukar-menukar barang kebutuhan masing-masing akan bahan pokok. Misalnya penduduk pegunungan memerlukan garam dari penduduk pantai, sedangkan penduduk pantai membutuhkan hasil hutan dari pedalaman. Sudah tentu, perdagangan antarpulau ini, memerlukan kemahiran membuat perahu atau kapal sebagai alat angkutan, di samping pengetahuan navigasi untuk mencapai tujuannya. 4

Dominasi wilayah laut di Nusantara memberikan pengaruh terhadap kondisi yang ada pada masyarakat yang mendiami pulau-pulau di Nusantara. Pengaruh terhadap kondisi masyarakat inilah yang mampu memunculkan berbagai suku yang mempunyai ciri tersendiri, baik dari segi tradisi maupun sosial budayanya, termasuk masyarakat yang bermukim di seputar laut dan menggantungkan hidup dari kegiatan kelautannya.

4A.B Lapian, Orang Laut, Bajak Laut, Raja Laut : Sejarah Kawasan Laut

Sulawesi Abad XIX , Depok, Komunitas Bambu dengan Freedom Institute, Jakarta, 2011. Hal. 80

(19)

Dilihat dari penjelasan tersebut, tentunya perkembangan pemukiman masyarakat Nusantara, baik di daratan kering maupun di daerah pesisir, melahirkan pemukiman-pemukiman yang memiliki tradisi kemaritiman. Pemukiman-pemukiman inilah nantinya yang akan berkembang menjadi sebuah kerajaan ataupun kota-kota besar, termasuk munculnya kota-kota maritim pada masa berikutnya.5

Menurut Louis Wirth, kota merupakan sebuah pemukiman permanen dengan individu-individu penghuninya yang heterogen, jumlahnya relatif luas dan padat, serta menempati areal tanah yang terbatas. Secara sederhana kota maritim dapat didefinisikan sebagai kota yang memiliki aktiftas yang berkaitan dengan kelautan dan pelayaran untuk menjaga kelangsungan hidup dengan segala kompleksitasnya. Kota maritim muncul bukan karena hanya kebutuhan suatu golongan atau pihak yang memiliki kepentingan saja. Kota maritim boleh jadi muncul sebagai ciri dari pola-pola sosial masyarakat yang masih mengedepankan dan menggantungkan pemenuhan hidup dari aktivitas kelautan dan pelayaran.

Minimnya penulisan sejarah maritim di Indonesia, menyebabkan sebagian masyarakat Indonesia masih memiliki kecenderungan untuk memandang sebelah mata terhadap laut dan aktivitas yang berkaitan dengan kelautan dan pelayaran. Pendapat bahwa Indonesia merupakan negara agraris memang sangatlah tepat, namun juga perlu diingat dan dipahami bahwa segala potensi yang ada pada

5Sejatinya kota memiliki pengertian yang sangat beragam dan sangat

bergantung dari sudut mana kota dilihat dan diartikan, setiap generasi memiliki definisi sendiri tentang kota, karena kota merupakan sesuatu yang dinamis yang berubah setiap zaman. Purnawan Basundoro, Pengantar Sejarah Kota (Yogyakarta, Penerbit Ombak:2012)

(20)

kemaritiman Indonesia merupakan sisi lain yang menantang dan perlu dibudayakan secara bijak dan cerdas.

Lasem, kota terbesar kedua setelah Kota Rembang, terletak di wilayah pesisir yang berdekatan dengan perbatasan wilayah Jawa Timur di daerah pesisir pantai utara jawa. Saat ini, Lasem merupakan sebuah kota kecamatan miskin, bagian dari Kabupaten Rembang, yang identik sebagai kabupaten miskin di Jawa. Banyak sebutan yang menarik untuk Lasem, seperti kota santri, pecinan, kota batik, dan kota pustaka. Menariknya, dari berbagai sebutan itu tidak menyebut kota Lasem sebagai sebuah kota maritim.

GAMBAR I.1 Peta Administrasi Provinsi Jawa Tengah

Pada masa kejayaannya, Lasem merupakan kota pelabuhan yang sangat terkenal hingga menjadi magnet bagi masyarakat keturunan Cina. Kota Lasem menempati lokasi yang strategis, di mana kota ini terletak di antara dua ibu kota provinsi, yaitu Semarang ibu kota Provinsi Jawa Tengah dan Surabaya ibu kota Provinsi Jawa Timur, yang dihubungan oleh Jalan Raya Daendels (Jalan Raya

(21)

Pos). Namun perkembangan kota Lasem seakan-akan mengalami kemunduran dari masa lalunya.

Gambar I.2 Peta administrasi Kecamatan Lasem

Lasem memiliki sejarah perkembangan sebagai kota pelabuhan. Pada abad ke-16, Lasem sudah memiliki daerah pelabuhan yang sering disinggahi oleh kapal-kapal pedagang asing yang bertujuan untuk berdagang di wilayah tanah Jawa. Beberapa kapal yang singgah di pelabuhan Lasem selain berasal dari daerah-daerah kepulauan Nusantara juga disinggahi oleh kapal-kapal mancanegara di antaranya adalah berasal dari Malaka dan Cina.

Pada awalnya, Lasem merupakan tempat mendaratnya pedagang-pedagang Cina di Jawa. Selain itu, Lasem juga merupakan pusat perdagangan candu dan importir senjata gelap. Sejak abad ke-16 sudah banyak penduduk Cina yang menetap di Lasem. Pada umumnya, masyarakat Cina mampu beradaptasi dengan penduduk pribumi.

Hal itu dibuktikan dengan adanya peninggalan kawasan pemukiman Cina yang tumbuh berdampingan dengan pemukiman masyarakat setempat. Adanya

(22)

bentuk perkampungan pecinan yang menggerombol dengan ditandai oleh pagar-pagar bangunan yang tinggi memberikan kesan tertutup dengan dunia luar, namun ada juga beberapa bangunan pecinan yang menyatu dengan beberapa bangunan masyarakat setempat. Kondisi ini secara fisik menunjukkan suatu pola ruang dan karakter pemukiman yang sangat spesifik, unik dan khas, yang selain dibentuk oleh konsep pertumbuhan pantai utara (pantura) di wilayah timur Provinsi Jawa Tengah, juga dibentuk oleh pola sosial dan budaya masyarakat setempat.

Seiring dengan berkembangnya zaman, peranan kota Lasem tidak lagi diingat, bahkan oleh masyarakat yang tinggal di kota Lasem itu sendiri. Masyarakat kota Lasem, yang kini merupakan salah satu kota kecamatan di Kabupaten Rembang, melupakan kejayaan yang pernah dibangun oleh para pendahulunya pada masa yang silam. Pada saat ini, kota Lasem nyaris dilupakan oleh masyarakat. Bangunan-bangunan bersejarah kurang dirawat dan terkesan dibiarkan rusak begitu saja. Hal serupa juga terjadi pada bidang kemaritimannya.

Setidaknya sejarah mencatat ada dua kerajaan yang memiliki kebudayaan maritim sangat kuat pada masa pemerintahannya, yakni Kerajaan Sriwijaya pada abad 5-96, lalu Kerajaan Majapahit pada abad 13-15.7 Setelah kedatangan bangsa

Eropa, terutama bangsa Belanda, perkembangan infrastruktur kemaritiman kerajaan-kerajaan di seluruh wilayah Nusantara mulai dikuasai oleh Belanda dengan payung perdagangan melalui Verenigde Ostindische Compagnie (VOC)

6Safri Burhanuddin, op.cit., hal 63

(23)

lengkap dengan armada kapal-kapalnya. Kekuasaan VOC yang semakin kuat mampu memecah-belah kerajaan-kerajaan Nusantara pada masa itu.

Gambar I.3 Silsilah Kerajaan Majapahit dan Singhasari

Penetrasi cara berpikir agraris yang menjunjung tinggi feodalisme pada para bangsawan kerajaan menyebabkan mudahnya kerajaan-kerajaan Nusantara dipecah belah oleh bangsa Belanda, yang kemudian dikuasainya. Dari situlah, tampaknya cara pandang kepulauan yang dinamis, egaliter, dan demokratis mulai bergeser menjadi statis, hirarkis, dan feodal. Begitu pula dengan kota-kota maritim mulai meredup dan beberapa di antaranya mulai bergeser fungsinya. Dari latar belakang tersebut di atas maka dipilih topik dari sejarah maritim dengan topik khusus “Pergeseran Peran Kota Maritim pada Periode Akhir Abad XIX, dengan Contoh kasus Kecamatan Lasem, Kabupaten Rembang”.

(24)

I.2. Rumusan Masalah Dan Ruang Lingkup I.2.1. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka dirumuskan permasalahan sebagai berikut :

1. Apa yang menjadi latar belakang kemunculan kota maritim?

2. Bagaimana perkembangan kota maritim terkait dengan peran keagamaan, ekonomi dan perdagangan serta sosial dan budaya dari awal kemunculannya?

3. Mengapa terjadi pergeseran peran kota maritim dari awal kemunculannya?

I.2.2. Ruang Lingkup

Studi ini merupakan sebuah rekonstruksi sejarah maritim yang terkait dengan masalah perkembangan, pergeseran peran kota maritim pada periode akhir abad XIX dengan mengambil contoh kasus Kota Kecamatan Lasem, Kabupaten Rembang.

I.3. Tujuan Penelitian

Penelitian “Pergeseran Peran Kota Maritim pada Periode Akhir Abad XIX, dengan Contoh kasus Kecamatan Lasem, Kabupaten Rembang” ini bertujuan untuk merunut dan mendeskripsikan latar belakang sejarah kemunculan sebuah kota maritim, perkembangan kota maritim terkait dengan peran keagamaan, ekonomi, dan perdagangan serta sosial dan budaya kota maritim dari awal kemunculannya dengan mengambil lokus Lasem sebagai kota maritim. Hasil

(25)

penelitian ini diharapkan dapat menambah referensi yang berhubungan dengan sejarah maritim, khususnya yang berkaitan dengan pergeseran peran keagamaan, ekonomi dan perdagangan serta sosial budaya kota Lasem sebagai sebuah kota maritim di Pantai Utara Jawa.

Melalui penelitian ini, diharapkan dapat diketahui tentang latar belakang sejarah timbulnya sebuah kota maritim, perkembangan kota maritim yang berkaitan dengan peran keagamaan, ekonomi dan perdagangan serta sosial budaya dari awal kemunculannya, terjadinya pergeseran peran kota maritim dari awal kemunculannya dan faktor yang menyebabkan terjadinya pergeseran peran tersebut.

I.4. Manfaat Penelitian

Secara sederhana, manfaat yang ingin dicapai melalui penelitian ini, antara lain: sebagai tambahan referensi yang berkaitan dengan sejarah maritim, khususnya yang berhubungan dengan peran keagamaan, ekonomi dan perdagangan serta sosial budaya dan peran kota-kota maritim, khusunya Lasem sebagai sebuah kota maritim di Pantai Utara Jawa. Selain itu, hasil penelitian ini juga diharapkan akan bermanfaat sebagai tambahan referensi tentang pengetahuan yang berhubungan dengan peran kota-kota maritim dan faktor-faktor yang menyebabkan bergesernya peran tersebut. Lebih lanjut, hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai sekelumit tambahan referensi yang berkaitan dengan sejarah maritim, utamanya tambahan referensi yang berkaitan dengan pergeseran peran kota Lasem sebagai kota maritim.

(26)

I.5. Kajian Pustaka

Penulisan sejarah maritim yang berjudul “Pergeseran Peran Kota Maritim pada Periode Akhir Abad XIX, dengan Contoh kasus Kecamatan Lasem, Kabupaten Rembang” ditinjau dari aspek peran keagamaan, ekonomi dan perdagangan serta sosial budaya, didukung dengan adanya beberapa jenis buku yang membahas aspek tersebut. Buku-buku tersebut adalah sebagai berikut:

Pertama, buku dari hasil karya Adrian. B. Lapian yang berjudul “Orang Laut, Bajak Laut, Raja Laut: Sejarah Kawasan Laut Sulawesi abad XIX”. Secara garis besar buku ini membahas secara komprehensif mengenai pola-pola munculnya masyarakat maritim dengan berbagai bentuknya.

Kedua, buku dari karya tulis Adrian. B. Lapian yang berjudul “Pelayaran dan Perniagaan Nusantara abad ke-16 dan 17”. Buku ini menyajikan tentang seluk-beluk pelayaran dan perniagaan Nusantara abad ke-16 dan 17. Dimulai dari jenis perahu, teknologi yang digunakan, daerah pelayaran, aturan-aturan pelayaran dan perniagaan, serta persaingan-persaingan yang ada.

Ketiga, buku karya Abd. Rahman Hamid yang berjudul “Orang Buton Suku Bangsa Bahari Indonesia”. Buku ini menyajikan proses kehidupan masyarakat maritim di kepulauan Buton dalam menghadapi berbagai hambatan yang dipandang sebagai tantangan yang harus dihadapi.

Adapun penelitian ini berbeda dengan penelitian-penelitian yang ada sebelumnya. Dalam penelitian ini, akan dibahas peran kota maritim dari kajian peran keagamaan, ekonomi dan perdagangan serta sosial budaya dengan menggunakan orientasi kemunculan masyarakat dan kota maritim milik A.B

(27)

Lapian. Selain itu, orientasi A.B Lapian juga digunakan untuk melakukan analisa terhadap kota Lasem, sehingga penulisan penelitian ini berbeda dari penelitian lainnya.

I.6. Kerangka Pemikiran

Sejarah menunjukkan bahwa pada masa yang lalu, Indonesia memiliki pengaruh yang sangat dominan di wilayah Asia Tenggara, terutama melalui kehebatan kekuatan maritim di bawah Kerajaan Sriwijaya dan kemudian Kerajaan Majapahit. Kerajaan Sriwijaya dikenal sebagai salah satu kerajaan Nusantara yang memiliki potensi dan kekuatan kemaritiman yang sangat mendukung perkembangan peran keagamaan, ekonomi dan perdagangan serta sosial budaya Kerajaan Sriwijaya. Sementara itu, Kerajaan Majapahit memiliki armada laut yang luar biasa. Para pelaut dari Kerajaan Majapahit, tidak hanya mengarungi samudera di kawasan laut Nusantara saja, tetapi juga di kawasan Asia Tenggara, Asia Pasifik, bahkan sampai ke Pulau Madagaskar.

Wilayah laut Indonesia yang merupakan dua pertiga wilayah Nusantara mengakibatkan Nusantara diwarnai dengan berbagai dinamika kemaritiman sejak masa lampau. Kekuatan laut bukan berarti angkatan laut saja, tetapi juga mencakup kekuatan armada perdagangan, ekonomi, sosial, budaya, dan infrastruktur yang berkaitan dengan laut.

Para pedagang, baik dari kawasan Nusantara maupun dari Cina, datang berbondong-bondong dengan armada atau kapal-kapal dagangnya lengkap dengan barang dagangan dan awak kapalnya. Mereka, para pedagang dan awak kapalnya,

(28)

sudah memberikan pengaruh yang sangat positif terhadap perkembangan peran keagamaan, ekonomi dan perdagangan serta sosial dan budaya masyarakat setempat. Berbagai pengaruh positif itu semakin tampak nyata dalam kehidupan masyarakat kota maritim di pantai-pantai Nusantara, utamanya di pantai utara Pulau Jawa, lebih khusus lagi di Pantai Lasem, Kabupaten Rembang.

A.B Lapian mengemukakan bahwa masyarakat martitim muncul karena pengaruh dominasi wilayah laut di Nusantara, yang kemudian memunculkan berbagai suku yang mempunyai ciri dan karakteristik tersendiri dari segi tradisi maupun sosial budayanya. Selain itu, teori sosial Emile Durkheim menjelaskan mengenai kondisi sosial budaya kota maritim dengan melihat institusi dan norma yang berlaku pada masyarakat kota maritim.

I.7. Metodologi Penelitian

Tulisan ini merupakan kajian ilmu sejarah yang menggunakan pendekatan multi disipliner yang berkaitan dengan peran keagamaan, ekonomi dan perdagangan serta sosial budaya. Pendekatan tersebut menjadi alat bantu dalam proses penulisan hasil penelitian.

I.7.1. Lokasi Penelitian

Penelitian ini termasuk penelitian pustaka yang berfokus pada buku dan sumber-sumber yang relevan. Meskipun demikian, penelitian ini juga dilakukan di Kecamatan Lasem, Kabupaten Rembang, Provinsi Jawa Tengah.

(29)

I.7.2. Metode Penelitian

Secara umum, penulisan “Pergeseran Peran Kota Maritim pada Periode Akhir Abad XIX, dengan Contoh kasus Kecamatan Lasem, Kabupaten Rembang”, ini menggunakan metode tinjauan pustaka. Dalam pelaksanaanya, penelitian ini akan dilakukan dengan cara mengumpulkan sumber-sumber referensi yang berhubungan dengan peran dan fungsi kota maritim dari kajian peran keagamaan, ekonomi dan perdagangan serta sosial dan budaya. Sumber tertulis dari penelitian ini, antara lain menggunakan buku-buku, jurnal, esai, skripsi, tesis, desertasi, makalah, ataupun artikel-artikel di internet yang relevan dan berkaitan dengan topik penelitian. Studi pustaka dan studi arsip akan dilakukan di Kecamatan Lasem, Kabupaten Rembang, Provinsi Jawa Tengah. Hasil dari studi pustaka dipergunakan untuk mendukung penulisan penelitian ini, studi pustaka dan juga melalui wawancara serta observasi.

I.8. Hipotesis

Berdasarkan pada uraian di atas dapat diajukan hipotesis bahwa pergeseran peran kota-kota maritim sangat dipengaruhi oleh peran keagamaan, ekonomi dan perdagangan serta sosial dan budaya.

I.9. Sistematika Penulisan

Studi ini didasarkan pada hipotesis bahwa pergesaran peran kota maritim sangat dipengaruhi oleh peran keagamaan, ekonomi dan perdagangan serta sosial dan budaya masyarakat pesisir. Karya tulis ini akan dituangkan dalam lima bab.

(30)

Dalam BAB II akan dijelaskan latar belakang kemunculan kota maritim bahwa masyarakat maritim muncul atas dominasi wilayah laut di Nusantara yang kemudian memberikan pengaruh terhadap kondisi yang ada pada masyarakat yang mendiami pulau-pulau di Nusantara. Pengaruh terhadap kondisi masyarakat inilah yang mampu memunculkan berbagai suku yang mempunyai ciri tersendiri, baik dari segi tradisi maupun sosial budayanya, termasuk masyarakat yang bermukim di seputar laut dan menggantungkan hidup dari kegiatan kelautannya. Serta melingkupi perkembangan dan kondisi kota maritim terkait dengan tatanan peran keagamaan, ekonomi dan perdagangan serta sosial dan budaya dari awal kemunculannya hingga abad XIX. Kemudian dalam BAB III akan dijelaskan latar belakang pergeseran peran kota maritim, serta dampak yang dimunculkan. Selanjutnya, dalam BAB IV akan dibahas dan analisis pergeseran peran keagamaan, ekonomi dan perdagangan serta sosial budaya dari awal kemunculannya hingga abad XIX. Dalam BAB V PENUTUP merupakan bab terakhir yang berisi kesimpulan dan saran.

(31)

BAB II

LATAR BELAKANG KEMUNCULAN KOTA MARITIM “This is even more true of particular occasions than of the general tendency of sea power. It is easy to say in a general way, that the use and control of the sea is and has been a great factor in the history of the

world; it is more troublesome to seek out and show its exact bearing at

a particular juncture.”8

II. 1. Definisi Kota Maritim

Menurut Lous Wirth, kota merupakan sebuah pemukiman permanen dengan individu-individu penghuninya yang heterogen, jumlahnya relatif luas dan padat, serta menempati areal tanah yang terbatas. Sedangkan menurut Jorge E. Hardoy, kota memiliki ciri-ciri:

1. Ukuran dan jumlah penduduknya yang besar terhadap massa dan tempat, 2. Bersifat permanen,

3. Kepadatan minimum terhadap massa dan tempat,

4. Struktur dan tata ruang perkotaan seperti yang ditunjukkan oleh jalur jalan dan ruang-ruang perkotaan yang nyata,

5. Tempat di mana masyarakat tinggal dan bekerja,

6. Fungsi kota minimum diperinci, yang meliputi sebuah pasar, sebuah pusat administratif dan pemerintahan, sebuah pusat militer, sebuah pusat keagamaan, atau sebuah pusat aktivitas intelektual bersama dengan kelembagaan yang sama,

7. Heterogenitas dan perbedaan yang bersifat hirarkis pada masyarakat

8Alfred Thayer Mahan, 1890, The Influence of Sea Power Upon History

1660-1783, hal 2, diunduh dari BOOKYARDS.com

(32)

8. Pusat ekonomi perkotaan yang menghubungkan sebuah daerah pertanian di tepi kota dan memproses bahan mentah untuk pemasaran lebih luas, 9. Pusat pelayanan bagi daerah-daerah lingkungan setempat,

10. Pusat penyebaran, memiliki suatu falsafah hidup perkotaan pada massa dan tempat itu.

Dari sudut ekonomi, kota adalah suatu permukiman di mana penduduknya lebih mengutamakan kehidupan perdagangan dan komersial dari pada pertanian. Karena itu Max Weber memberikan pengertian kota ialah market place, sebuah market settlement, dan juga kota adalah suatu daerah tempat tinggal yang penghuni setempat dapat memenuhi sebagian besar kebutuhan ekonominya di pasar lokal9.

Sejatinya kota juga memiliki pengertian yang sangat beragam dan sangat bergantung dari sudut mana kota dilihat dan diartikan setiap generasi memiliki definisi sendiri tentang kota, karena kota merupakan sesuatu yang dinamis yang berubah setiap zaman10.

A.B Lapian mengemukakan bahwa masyarakat martitim muncul karena pengaruh dominasi wilayah laut di Nusantara, yang kemudian memunculkan berbagai suku yang mempunyai ciri dan karakteristik tersendiri dari segi tradisi maupun sosial budayanya. Selain itu A. B. Lapian juga mengungkapkan bahwa Indonesia atau nusantara harus dipandang sebagai lautan yang menampung

9Diunduh dari

staff.uny.ac.id/sites/default/files/..../MODUL%20DESA-KOTA.pdf

10Purnawan Basundoro, Pengantar Sejarah Kota, Penerbit Ombak,

(33)

butir kepulauan, dimana sejarah nusantara terkait erat dengan dinamika kemaritimannya11.

Kota12 maritim13 dapat dimaknai sebagai suatu daerah pemusatan

penduduk dengan kepadatan tinggi yang dilengkapi dengan berbagai fasilitas yang mendukung penduduknya bekerja di bidang pelayaran dan perdagangan di laut. Dalam konteks itu, kota maritim ditandai dengan aktivitas masyarakatnya yang bernuansa kelautan, baik pelayaran, penangkapan dan pengolahan ikan, maupun perdagangan di laut. Nuansa kelautan yang kuat dalam kehidupan bermasyarakat tersebut menyentuh dan mempengaruhi kehidupan keagamaan, ekonomi dan perdagangan serta sosial dan budaya dengan segala keunikan tradisi masyarakat setempat.

Berdasarkan pengertian kota maritim tersebut dapat dikemukakan bahwa kota maritim adalah daerah permukiman penduduk yang kegiatan masyarakatnya berkenaan dengan kelautan. Aktivitas yang menonjol dari masyarakat kota maritim, pada umumnya, berkaitan dengan pernik-pernik yang bercirikan kelautan. Pernik-pernik yang bercirikan kelautan itu memberi warna dalam sistem

11A.B. Lapian, 1992, “Sejarah Nusantara Sejarah Bahari”, Pidato

Pengukuhan, Hal 4

12kota1/ko·ta/ n 1 daerah permukiman yang terdiri atas bangunan rumah

yang merupakan kesatuan tempat tinggal dari berbagai lapisan masyarakat; 2Dem daerah pemusatan penduduk dengan kepadatan tinggi serta fasilitas modern dan sebagian besar penduduknya bekerja di luar pertanian; 3 dinding (tembok) yang mengelilingi tempat pertahanan. Diakses dari

http://kbbi.web.id/kota pada 31 Mei 2016.

13maritim/ma·ri·tim/ a berkenaan dengan laut; berhubungan dengan

pelayaran dan perdagangan di laut. Diakses dari http://kbbi.web.id/maritim pada 31 Mei 2016

(34)

tata nilai kehidupan bermasyarakat, baik dalam adat kebiasaan, tradisi, perdagangan, usaha maupun berkesenian dan lain sebagainya.

Kegiatan masyarakat kota maritim memiliki kedekatan dengan nafas dan seluk beluk kelautan sebagai mata pencaharian utama. Karenanya, kota maritim juga dapat dimaknai sebagai daerah berpenduduk padat yang aktivitas dan pekerjaan utamanya berhubungan dengan pelayaran dan penangkapan ikan yang kemudian diolahnya sehingga menjadi komoditas ekonomi dan perdagangan kemaritiman yang mendukung peningkatan ekonomi, sosial dan budaya mereka.

Jadi secara sederhana, kota maritim dapat didefinisikan sebagai kota yang penduduknya memiliki aktivitas yang berkaitan dengan kelautan dan pelayaran untuk menjaga kelangsungan hidup dengan segala kompleksitasnya. Kota maritim muncul bukan hanya kebutuhan suatu golongan atau pihak yang memiliki kepentingan saja. Kota maritim muncul sebagai pola-pola sosial dan budaya masyarakat yang masih mengedepankan dan menggantungkan pemenuhan hidup dari aktivitas kelautan.

Dominasi wilayah laut di Nusantara memberikan pengaruh terhadap kondisi yang ada pada masyarakat yang mendiami pulau-pulau di Nusantara. Pengaruh terhadap kondisi masyarakat inilah yang mampu memunculkan berbagai suku yang mempunyai ciri tersendiri, baik dari segi tradisi maupun sosial budayanya, termasuk masyarakat yang bermukim di seputar laut dan menggantungkan hidup dari kegiatan kelautannya.14

(35)

Dilihat dari penjelasan tersebut, tentunya perkembangan pemukiman masyarakat Nusantara, baik di daratan kering maupun di daerah pesisir, melahirkan pemukiman-pemukiman yang memiliki tradisi kemaritiman. Pemukiman-pemukiman inilah nantinya yang akan berkembang menjadi sebuah kerajaan ataupun kota-kota besar, termasuk munculnya kota-kota maritim pada masa berikutnya. Sehingga dapat disimpulkan bahwa kota maritim merupakan sebuah wilayah yang memiliki suatu kompleksitas struktur pembentukannya, dengan memiliki corak dan dinamika yang berkaitan erat dengan kegiatan kelautan.

II.2. Latar Belakang Kota Maritim

Sejarah telah mencatat dan memberikan bukti bahwa leluhur bangsa Indonesia telah berhasil dan mampu mengarungi lautan ke berbagai penjuru dunia. Hal ini bisa dilihat dari luas wilayah laut di Nusantara, di mana besarnya luasan laut15 turut memberikan warna dalam sejarah perkembangan wilayah di

Nusantara, di mana bisa dikatakan bahwa kemaritiman memberikan corak yang khas pada setiap wilayah di Nusantara, terutama wilayah yang berada di daerah pesisir. Keterbatasan akses terhadap pemenuhan kebutuhan masyarakat pesisir di darat juga menjadi salah satu faktor pendukung munculnya pola-pola kegiatan kemaritiman yang digunakan untuk menjawab tantangan alam sekaligus untuk memenuhi kebutuhan hidup dan sosialnya.

15Wilayah Indonesia terbentang sepanjang 3.977 mil di antara Samudra

Hindia dan Samudra Pasifik. Luas daratan Indonesia adalah 1.922.570 km2 dan luas perairannya adalah 3.257.483 km2.

(36)

Selain itu, posisi Nusantara yang berada di salah satu persimpangan jalur perdagangan dunia16 juga menjadi pemicu utama dalam munculnya pola-pola

dinamika kemaritiman. Namun perlu diingat bahwa kemaritiman tidak hanya yang berhubungan langsung dengan pelayaran dan perdagangan, tetapi juga berhubungan dengan segala aspek pendukungnya yang turut membentuk dinamika tersebut.

Ditinjau dari sisi historis, kemunculan suatu kota berawal dari pertumbuhan permukiman perdesaan yang tumbuh dan berkembang seiring dengan pertambahan jumlah penduduk serta peningkatan pertumbuhan dan perkembangan semua aspek kehidupan masyarakat. Pertumbuhan dan perkembangan permukiman perdesaan menjadi kota umumnya melewati proses yang sangat panjang. Hal demikian karena pertumbuhan dan perkembangan kota memerlukan peningkatan berbagai fasilitas, di antaranya fasilitas: rumah hunian, perkantoran pemerintahan, pusat perniagaan/perdagangan, pasar, pendidikan, transportasi, rekreasi dan lain sebagainya.

Dalam koteks itu, dapat dikemukakan bahwa kota pada hakikatnya lahir dan berkembang dari suatu wilayah perdesaan. Akibat adanya pertumbuhan penduduk yang diikuti meningkatnya berbagai kebutuhan (sandang, pangan, papan) dan pesatnya ilmu pengetahuan dan teknologi manusia, maka tumbuh permukiman-permukiman baru. Pertumbuhan penduduk tersebut kemudian diikuti

16Indonesia yang terletak di jalur perdagangan laut internasional dan antar

pulau, telah menjadi jalur pelayaran antara India dan Tiongkok selama beberapa abad. Sejarah Indonesia selanjutnya mengalami banyak sekali pengaruh dari kegiatan perdagangan tersebut.

(37)

oleh pengembangan fasilitas-fasilitas sosial dan ekonomi seperti pasar, pertokoan, sekolah, rumah sakit, perkantoran, terminal, jalan raya, tempat hiburan dan sebagainya sehingga terbentuklah wilayah kota.

Segala pengaruh terhadap kondisi masyarakat inilah yang nantinya memunculkan suatu masyarakat yang mempunyai ciri tersendiri. Yaitu suatu ciri yang mewarnai tradisi maupun sosial dan budayanya, termasuk masyarakat yang bermukim di seputar laut dan menggantungkan hidup dari dinamika kemaritimannya. Hal demikian sejalan dengan kesadaran dan pemahaman pada masa lalu bahwa masyarakat Nusantara telah menyadari mengenai besarnya potensi yang dimiliki oleh laut di Nusantara. Masyarakat Nusantara tidak hanya memandang laut sebagai suatu bentuk fisik dengan isinya saja, tetapi juga memandang laut menjadi sebuah media yang mampu memajukannya.

Berangkat dari pemahaman ini, dapat disimpulkan bahwa jauh sebelum kedatangan bangsa Eropa ke Nusantara, dinamika kemaritiman di Nusantara telah tumbuh dan berkembang dengan dinamis. Hal ini dibuktikan dengan adanya kemunculan kota-kota pelabuhan dan juga kerajaan-kerajaan potensial dalam bidang kemaritiman yang juga turut dilatarbelakangi oleh uraian di atas. Perkembangan kota-kota maritim semakin pesat ketika bangsa Eropa mulai masuk ke Nusantara, namun ironinya dinamika kemaritiman waktu itu hanya berfokus pada kegiatan perdagangan dan pelayaran saja dan melupakan segala aspek pendukungnya di mana seluruhnya dimonopoli oleh bangsa Eropa. Sehingga bisa disimpulkan bahwa (kota-kota di) Nusantara sudah berorientasi maritim sebelum kedatangan bangsa Eropa. Namun pada periode pendudukan bangsa Eropa,

(38)

Nusantara dipaksa menggeser orientasinya untuk berfokus ke daratan dan melupakan dinamika dan potensi serta kekuatan maritimnya.

Padatnya aktivitas kemaritiman, terutama pelayaran dan perdagangan, pada kota-kota maritim juga menyebabkan munculnya masyarakat kota maritim. Pada mulanya, masyarakat memilh untuk melakukan perdagangan tanpa campur tangan penguasa, namun akibat tingginya mobilitas perdagangan kala itu akhirnya menyebabkan turut campurnya negara untuk mengintervensi kegiatan pelayaran dan perdagangan. Guna mengawasi kegiatan perdagangan maka dibentuk badan legitimasi politik untuk memantaunya. Sehingga kemudian, perdagangan yang pada mulanya mengabaikan politik, berubah menjadi perdagangan di bawah kerajaan-kerajaan yang diakui17.

Sejatinya, kota maritim tidak terbentuk dengan serta merta, tetapi melalui proses yang sangat panjang dan kompleks. Terbentuknya kota maritim berawal dari kemunculan gagasan sekelompok masyarakat, baik dari masyarakat daerah setempat maupun pendatang, yang membangun permukiman karena kebutuhan dan kepentingannya untuk bertempat tinggal yang berdekatan dengan perkembangan pekerjaan kelautan dan kegiatan perekonomian dan perdagangan yang berhubungan dengan laut.

Dalam kaitannya dengan pekerjaan kelautan sebagai sumber mata pencaharian dan nafkah hidup, maka mereka membangun pemukiman yang kemudian berkembang menjadi sebuah kota pelabuhan. Dengan demikian, mereka

17 Das Gupta, Kratoska, 2001: hal 91 – 92. Diakses dari http://www.fkpmaritim.org/pergeseran-orientasi-maritim-bangsa-ditinjau-dari-tiga-pembabakan-sejarah-indonesia/ pada 2 Juni 2016

(39)

mendapat kemudahan dan kelancaran untuk melakukan semua aktivitas mereka sehari-hari.

Sementara itu, para pendatang yang pada umumnya adalah para pedagang dan awak kapal memerlukan tempat tinggal yang dekat dengan kapal-kapal mereka yang sedang berlabuh. Kedatangan para pedagang dan awak kapal tersebut berkontribusi positif terhadap pertumbuhan dan perkembangan kota-kota pelabuhan di Indonesia, utamanya di pantai utara Jawa.

Lebih lanjut, datangnya para pedagang di suatu kota, baik pedagang dari bumi Nusantara maupun dari luar Nusantara, semakin memberikan pengaruh yang signifikan terhadap pertumbuhan dan perkembangan kota-kota di pantai Nusantara dari waktu ke wakktu. Demikian pulalah halnya dengan datangnya para pedagang dari Arab dan Cina. Kehadiran para pedagang, baik dari bumi Nusantara maupun dari Arab dan Cina, dengan berbagai macam latar belakangnya, kian memberikan dinamika tersendiri dalam pertumbuhan dan perkembangan kota secara fisik dan non fisik di berbagai pantai utara Jawa dan pulau-pulau Nusantara lainnya.

Hadinoto menyatakan bahwa jauh sebelum Jawa secara kultural menjadi kesatuan yang homogin, permukiman penduduk tumbuh sendiri-sendiri, baik di pedalaman maupun di pesisir. Ketika teknologi mulai berkembang maka permukiman di pesisir lambat laun terlibat dalam proses perkembangan maritim di kawasan Asia Tenggara18. Hadinoto juga mengemukakan bahwa awal terjadinya

18 Hadinoto, Perkembangan Kota di Jawa Abad XVIII Sampai

Pertengahan Abad XX, Dipandang dari Sudut Bentuk dan Struktur Kotanya, Penerbit Ombak, Yogyakarta, Hal 2.

(40)

permukiman Cina di sepanjang pantai utara Jawa tersebut sebagai akibat dari aktivitas perdagangan antara India dan Cina lewat laut. 19 Oleh sebab itu, pemukiman di daerah pelabuhan di pantai-pantai Asia Tenggara pada umumnya, dan di pantai utara Jawa khususnya, semakin memantapkan pertumbuhan dan perkembangan kota-kota maritim. Beberapa kota yang ditempati oleh pemukim Cina di kawasan Asia Tenggara tersebut kemudian berkembang menjadi Entrepot (kota pelabuhan sebagai pusat tukar menukar barang). Di Jawa, kota-kota itu bisa disebut misalnya: Tuban, Gresik, Surabaya, Demak, Jepara, Lasem, Semarang, Cirebon, Banten dan Sunda Kelapa. 20

Kenyataan objektif menunjukkan bahwa dua pertiga wilayah Nusantara yang merupakan laut juga menjadi pendukung yang sangat signifikan bagi terwujudnya kota-kota maritim di Pantai Utara Jawa. Maraknya kehadiran para pedagang dari berbagai wilayah melalui laut semakin meramaikan perniagaan di berbagai kota Pantai Utara Jawa. Sementara itu, kehidupan masyarakat yang menghuni daerah permukiman di kota-kota pantai itu semakin diwarnai oleh ciri-ciri kelautannya. Ciri-ciri-ciri kelautan itu kemudian mempengaruhi berbagai aspek kehidupan bermasyarakat di berbagai sektor, di antaranya di sektor trasportasi laut, perdagangan, ekonomi, sosial, politik dan budaya.

Dalam perkembangannya, sektor-sektor itu memunculkan kebiasaan-kebiasaan dan tradisinya masing-masing yang melembaga dalam kehidupan masyarakat kemaritiman yang kokoh, kuat, tertata dan tersistem. Kebiasaan dan

19 Ibid, Hal 76. 20 Ibid

(41)

tradisi dalam sektor transportasi laut, ekonomi, perdagangan, ekonomi, sosial dan budaya semakin mendorong pertumbuhan dan perkembangan kota maritim yang terbingkai dalam sistem pemerintahan kota maritim yang bercirikan kehidupan masyarakat maritim.

Sistem pemerintahan kota kehidupan masyarakat kemaritiman itu terus bergeser seiring dengan perjalanan waktu dari generasi ke generasi. Akibatnya, muncullah suatu kehidupan masyarakat maritim dalam suatu pemukiman yang bernuansa kelautan, baik di bidang ekonomi dan perdagangan, sosial dan budaya yang semakin nyata serta memiliki sistem tata nilai kemaritiman dengan segala kebiasaan dan tradisinya yang unik.

II.3. Struktur Sosial Kota Maritim

Hampir bisa dipastikan setiap kota maritim yang mengalami perkembangan akan turut mengalami proses penggolongan seperti daerah kota-kota besar lainnya. Pada kasus kota-kota maritim, terjadi tiga kategori penggolongan sesuai dengan kasta sosial yang tercipta, yakni terdiri atas Tumenggung, Syahbandar, dan Laksamana. Tumenggung merupakan perpanjangan tangan penguasa yang ditempatkan pada wilayah-wilayah yang potensial dan turut serta menyokong kekuatan kerajaan penguasa pada periode tersebut. Posisi Tumenggung selain memiliki tugas sebagai pengelola juga menjadi menteri peperangan dan pengadilan, dimana Tumenggung memiliki wewenang untuk mengatur interaksi dengan orang asing ataupun kerajaan-kerajaan lain yang

(42)

mengalami kontak langsung dengan wilayah kekuasaannya, termasuk pula menentukan posisi Syah Bandar di daerah kekuasaannya.

Pada masyarakat kota Maritim hampir bisa dikatakan sangat bergantung pada keberadaan seorang Syah Bandar. Syah Bandar merupakan sebuah lembaga multi fungsi yang ditunjuk oleh penguasa untuk mengelola segala bentuk aktivitas yang berkaitan dengan sektor ekonomi (antara lain mengawasi dinamika perdagangan dan melakukan evaluasi terhadap kesesuaian transaksi) di pelabuhan. Menariknya, ketika periode pendudukan Kolonial, Syah Bandar menjadi lembaga perantara interaksi ekonomi yang memberikan rekomendasi kepada Tumenggung untuk mengijinkan para pedagang asing, baik VOC maupun para pedagang dari kerajaan lain untuk melakukan kerjasama dengan penguasa. Bisa dikatakan bahwa posisi Syah Bandar merupakan juru mudi arah perkembangan kota Maritim pada saat itu, mengingat betapa krusialnya posisi seorang Syah Bandar.

Pada kota Maritim selain terdapat posisi Tumenggung dan Syah Bandar juga menempatkan posisi seorang Laksamana sebagai penjaga stabilitas dinamika yang terjadi di kota Maritim pada periode tersebut. Laksamana selain menjadi juru tempur juga memiliki tugas untuk melindungi semua kerabat penguasa yang berada di wilayah kekuasaanya, menariknya Laksamana berada langsung di bawah komando seorang Raja dan bisa dikatakan posisi Laksamana sejajar dengan patih. Ketiga golongan (Tumenggung, Syah Bandar, dan Laksamana) tersebut merupakan partisipan aktif dalam dinamika perkembangan kota Maritim di hampir seluruh wilayah Nusantara pada masa itu.

(43)

BAB III

LASEM, LEMBARAN USANG KOTA MARITIM YANG TERTIDUR “Dari Piagam Singosari ini bukan berarti menunjukkan bahwa Lasem

sebelum tahun 1351 bukanlah daerah yang penting. Ada pendapat yang mengatakan bahwa boleh jadi Lasem sudah menjadi sebuah kota

atau daerah penting sejak dari zaman Singosari, atau bahkan zaman

kerajaan Kediri sekalipun hanya setingkat pakuwu atau kadipaten”21

III.1. Latar Belakang

Sebagai sebuah negara yang 2/3 luas wilayahnya terdiri dari perairan, sudah barang tentu Indonesia berhubungan erat dengan berbagai aspek kemaritiman yang terangkai menjadi sejarah maritim dengan segala keunikannya. Rangkaian sejarah maritim tersebut mewarnai sejarah maritim Nusantara pada umumnya, dan sejarah Lasem sebagai kota maritim pada khususnya. Ada begitu banyak wilayah Indonesia yang pada periode pra-kolonial mampu berkembang dengan pesat menjadi kota-kota maritim yang menyediakan berbagai macam komoditas kelautan pada masa itu, salah satunya adalah kota Lasem.

Gambar III.1 Peta lokasi kerajaan satelit Majapahit.

21M. Akrom Unjiya, “Lasem Negeri Dampoawang Sejarah Yang

Terlupakan”, Salma Idea, Sleman Yogyakarta, 2014, Hal 45.

(44)

Lasem merupakan daerah yang memiliki peran besar sekaligus menjadi wilayah yang otonom dan sangat strategis. Pada periode kejayaan Majapahit, Lasem menjadi pintu gerbang jalur perdagangan dengan kerajaan-kerajaan di luar Nusantara, terutama dari Cina. Hal ini bisa dibuktikan dengan kedatangan rombongan Laksamana Cheng Ho yang merupakan duta keliling dari Cina pada masa kepemimpinan Kaisar Yung-Lo. Lasem yang berkembang menjadi kota pelabuhan, menjadi daya tarik tersendiri bagi imigran Cina yang kemudian menetap di kota kecil ini. M. Akrom Unjiya menyatakan bahwa setelah 1600 M, orang Cina, terutama dari provinsi Fujian (Tiongkok Selatan), banyak berimigrasi ke Lasem. Hal ini karena di sana banyak sanak sudara atau rekannya yang tinggal menetap. Banyaknya imigran dari Cina tersebut sangat mempengaruhi perkembangan ekonomi dan perdagangan di kota Lasem yang mendorong kemunculan pusat perdagangan Cina di Lasem.

Berkaca dari perkembangan kota Lasem di sektor keagamaan, ekonomi dan perdagangan, sosial dan budaya yang unik dan menarik pada waktu itu, kemudian menjadi inspirasi pengembangan kota-kota Majapahit di daerah pesisir menjadi kota-kota maritim. M. C. Ricklefs mengemukakan bahwa pelabuhan-pelabuhan perdagangan di pantai utara Jawa lebih merupakan bagian dari sistem perdagangan lautan ketimbang bagian dari kerajaan-kerajaan pedalaman Jawa, dan kota-kota pelabuhan tersebut memiliki daerah pedalaman yang sangat luas sebagai penghasil beras serta merupakan pengekspor-pengekspor utama beras. 22

22M. C. Ricklefs, “Sejarah Indonesia Modern 1200-2008”, Percetakan PT Ikrar

(45)

Lasem sebagai salah satu kota pelabuhan dari kota-kota pelabuhan di sepanjang pantai utara Jawa, memiliki peran yang sama, yaitu sebagai pelabuhan tempat berlabuhnya kapal-kapal untuk mengangkut ekspor beras dari pedalaman Lasem dan sekitarnya ke luar Jawa dari waktu ke waktu sampai pada masa Pemerintahan Kolonial Belanda.

Gambar III.2. Pelabuhan Regol di Laut Bonang

Sudah dikemukakan bahwa Lasem merupakan kota terbesar kedua setelah Kota Rembang. Lasem terletak di wilayah pesisir yang berdekatan dengan perbatasan wilayah Jawa Timur di daerah pesisir pantai utara jawa. Saat ini, Lasem merupakan sebuah kota kecamatan miskin yang merupakan bagian dari Kabupaten Rembang yang identik sebagai kabupaten miskin di Jawa.

Lasem memiliki sejarah perkembangan sebagai kota pelabuhan. Pada abad ke-16, Lasem sudah memiliki daerah pelabuhan yang sering disinggahi oleh kapal-kapal pedagang asing yang bertujuan untuk berdagang di wilayah tanah Jawa. Beberapa kapal yang singgah di pelabuhan Lasem selain berasal dari daerah-daerah kepulauan Nusantara juga disinggahi oleh kapal-kapal mancanegara di antaranya adalah berasal dari Cina.

(46)

Pada awalnya, Lasem merupakan tempat berlabuhnya kapal-kapal dagang Cina yang membawa misi perdagangan di Pulau Jawa. Selain itu, Lasem juga merupakan pusat perdagangan candu dan importir senjata gelap. Sejak abad ke-16 sudah banyak penduduk Cina yang berimigrasi, berdagang dan bertempat tinggal di Lasem. Dalam kehidupan masyarakat Cina sehari-hari, mereka beradaptasi dengan penduduk pribumi.

Hal ini dibuktikan dengan adanya peninggalan kawasan pemukiman Cina yang dibangun berdampingan dengan pemukiman penduduk asli Lasem. Bangunan rumah hunian ala Cina tersebut dibangun menggerombol dengan ditandai oleh pagar-pagar bangunan yang tinggi sehingga terbentuklah kampung pecinan. Rumah hunian orang-orang Cina dengan pagar-pagar tinggi itu memberikan kesan tertutup dengan dunia luar. Namun ada juga beberapa rumah-rumah hunian pecinan yang menyatu dengan rumah-rumah-rumah-rumah hunian masyarakat setempat. Kondisi ini secara fisik menunjukkan suatu pola ruang dan karakter pemukiman yang sangat spesifik, unik, dan khas, Suatu kondisi fisik yang selain dibentuk oleh konsep pertumbuhan pantai utara di wilayah timur Provinsi Jawa Tengah, juga dibentuk oleh pola sosial budaya masyarakat setempat.

Sejak masuknya para imigran Cina ke Pulau Jawa, kota Lasem merupakan salah satu kota yang paling banyak didiami oleh masyarakat keturunan Cina. Mereka, masyarakat keturunan Cina itu, mampu beradaptasi dengan masyarakat setempat. Aktivitas perdangangan mereka menjadi salah satu tulang punggung perkembangan ekonomi Kota Lasem. Diyakini bahwa Kota Lasem merupakan kota yang berkembang dari penyelundupan senjata gelap dan juga dari bisnis

(47)

opiumnya. Kota Lasem menjadi salah satu tujuan utama para pedagang asing. Kota Lasem merupakan salah satu pintu masuk jalur perdagangan yang sangat strategis di pantai utara Jawa pada masa yang lalu.

III.2. Peran Kota Maritim Masa Pra-Kolonial

Peran Kota Maritim Lasem Masa Pra-Kolonial akan ditinjau dan dibahas dalam bidang keagamaan, bidang ekonomi dan perdagangan, serta bidang sosial dan budaya. Beberapa bukti peran-peran Kota Lasem tersebut dapat dilihat melalui peninggalan sejarah yang berada di kota Lasem sampai saat ini.

III.2.1. Di Bidang Keagamaan

M. Akrom Unjiya menyatakan bahwa para peneliti sejarah, termasuk dari tim Kepurbakalaan Nasional, menemukan berbagai peninggalan sejarah. Berbagai peninggalan itu antara lain: candi, makam perabuan, makam kuno, pemukiman lama, artefak, arca, masjid tua, klenteng tua, serta berbagai kesenian dan kebudayaan. 23 Berdasarkan pernyataan M. Akrom Unjiya tersebut dapat diperkirakan bahwa di Kota Lasem sudah berkembang beberapa agama, di antaranya Agama Hindu dan Buddha, Agama Islam dan Agama Khonghucu.

Masyarakat Kota Lasem dipastikan sudah ada yang memeluk Agama Hindu dan Buddha pada masa pra kolonial. Hal demikian dapat dilacak dari bangunan peninggalan sejarah dalam bentuk candi. Candi adalah bangunan kuno yang dibuat dari batu. Dalam berbagai catatan

(48)

sejarah dinyatakan bahwa bangunnan candi adalah tempat pemujaan Agama Hindu dan Buddha dan penyimpanan abu jenazah para raja, atau pendeta-pendeta Hindu dan Buddha. Oleh sebab itu, dapat dipastikan bahwa para pengguna bangunan candi tersebut adalah orang-orang yang beragama selain Hindu dan Buddha. Juga dapat dipastikan pula bahwa para raja dan pemuka agama selain Hindu dan Budha, tidak akan disemayamkan/dimakamkan di dalam candi.

Gambar III.3 Candi Malad Lasem

Dengan ditemukannnya masjid tua di Kota Lasem, maka dapat dipatikan pula bahwa mayarakat Kota Maritim Lasem sudah memeluk Agama Islam pada masa pra kolonial. Berkembangnya Agama Islam di Lasem berhubungan erat dengan timbulnya simpul-simpul dakwah Islam di pantai utara Jawa pada masa Wali Sanga. M. Akrom Unjiya mengemukakan bahwa Lasem sebagai pusat pemerintahan dan kota pelabuhan tentu tidak luput dari perkembangan dan dinamika tersebut. 24

(49)

Para imigran Cina yang pada umumnya adalah para pedagang terus berdatangan di kota-kota pelabuhan di sepanjang pantai utara Jawa, termasuk di Kota Maritim Lasem. Mereka tidak hanya membawa barang-barang dagangan saja, tertapi juga membawa serta adat kebiasaan, kesenian dan kebudayaan serta agama yang mereka yakini. Berdasarkan peninggalan kelenteng-kelenteng kuno di Kota Maritim Lasem, dapat dipastikan bahwa banyak mayarakat Cina yang menganut Agama Khonghucu, Tao dan Buddha.

Pada umumnya, masyrakat Cina menggunakan kelenteng sebagai sarana bersembahyang atau beribadah, baik yang beragama Khonghucu, Tao dan Buddha Mahayana. Dengan ditemukannya kelenteng tua, maka dapat diperkirakan bahwa penganut Agama Khonghucu, Tao dan Budha Mahayana sudah mengalami perkembangan yang baik pada masa itu.

Gambar III.4 Klengteng Cu An Kiong (Klenteng tertua di Lasem)

III.2.2. Di Bidang Ekonomi dan Perdagangan

Lazimnya, kota pantai utara Jawa juga disebut sebagai kota-kota pelabuhan yang disibukkan dengan aktivitas perdagangan atau

(50)

perniagaan. Sebagai salah satu kota-kota pelabuhan di sepanjang pantai utara Jawa, kota pelabuhan Lasem berperan sebagai tempat berlabuhnya kapal-kapal dagang, baik pedagang dari Jawa, Sumatera, Sulawesi, Kepulauan Maluku maupun para pedagang dari Malaka, Arab, India dan Cina.

Para pedagang dari Lasem dan sekitarnya maupun dari Sulawesi Selatan, Bone, Maluku, Sumatera, Malaka dan Cina turut andil dalam mendorong perkembangan dunia perdagangan di Kota Maritim Lasem. Berbagai komoditas barang-barang dagangan yang diangkut oleh kapal-kapal dagang yang berlabuh dan berlayar di Kota Maritim Lasem.

Gambar III.5 Lawang Ombo (Salah satu Rumah Candu terbesar)

Komoditas ekspor yaitu barang-barang dagangan yang dibawa keluar dari kota Lasem, di antaranya adalah beras dari daerah pedalaman dan batik Lasem yang memiliki keunikan tersendiri, baik dalam corak/motif maupun warna. Sedangkan komoditas impor, yaitu barang-barang yang masuk ke pelabuhan Kota Lasem umumnya berasal dari Cina, Malaka dan India. Kapal-kapal dagang dari Cina umumnya mengangkut tekstil, barang-barang keramik, pecah belah, bahkan opium dan candu dari Cina.

(51)

Perkembangan Kota Maritim Lasem terkait erat dengan perkembangan bidang ekonomi dan perdagangan yang dimotori oleh para pedagang dari Cina. Karena Lasem merupakan merupakan salah satu tempat berlabuhnya kapal-kapal pedagang Cina di pantai utara Jawa. Selain itu, Lasem juga merupakan pusat perdagangan candu dan importir senjata gelap. Sejak abad ke-16 sudah banyak penduduk Cina yang berdagang dan menetap di Lasem.

III.2.3. Di Bidang Sosial dan Budaya

Perkembangan sosial dan budaya masyarakat Lasem sebagai Kota Maritim semakin eksis pada masa itu. Hal demikian karena didorong oleh beberapa faktor, di antaranya: perkembangan bidang keagamaan dengan timbulnya pondok pesantren-pondok pesantren, meningkatnya produksi beras dari daerah pedalaman, produksi batik, meningkatnya pelayaran dalam penangkapan ikan, dan meningkatnya perniagaan dan perdagangan serta semakin banyaknya kapal-kapal penangkap ikan dan kapal-kapal niaga yang keluar dan masuk Kota Maritim Lasem.

Seiring dengan berbagai perkembangan yang positif dalam beberapa aspek di Kota Maritim Lasem, maka berkembang pulalah kebudayaan dan kesenian di Kota Maritim Lasem. Di kota ini eksis beberapa kesenian, di antaranya: seni laesan, seni kuda lumping, seni barongsai dan liong, seni wayang, seni wayang wong dan seni tari.

(52)

Dilihat dari seni bangun atau arsitektur pada masa lalu, peninggalan seni bangun yang menonjol adalah bangunan rumah hunian yang merupakan peninggalan kawasan pemukiman Cina. Kawasan permukiman pecinan tersebut dibangun dan dikembangkan berdampingan dengan pemukiman masyarakat setempat. Dilihat dari sisi pemukiman ini dapat dinyatakan bahwa masyarakat Cina mampu beradaptasi dengan penduduk pribumi.

Gambar III.6 Seni Pertunjukan Wayang Potehi

Sebagaimana sudah dikemukakan di atas, bahwa adanya peninggalan bangunan-bangunnan rumah dalam perkampungan pecinan yang menggerombol dengan ditandai oleh pagar-pagar bangunan yang tinggi memberikan kesan bahwa masyarakat Cina adalah masyarakat tertutup dari dunia luar. Walaupun demikian tidak berarti bahwa tidak ada orang-orang Cina yang berbaur dengan masyarakat asli Lasem.

Di antara masyarakat Cina pada waktu itu, diyakini sudah berbaur dengan penduduk asli. Hal demikian dapat dibuktikan dengan adanya beberapa bangunan pecinan yang menyatu dengan rumah-rumah

(53)

pennduduk asli. Hal demikian menunjukkan bahwa masyarakat Cina Lasem memiliki semangat dan kecenderungan untuk bekerja sama dengan penduduk asli membangun kota setempat di mana mereka mereka hidup bersama.

Gambar III.7 Pemukiman Lasem yang kental nuansa tionghoa

III.3. Peran Kota Maritim Lasem pada Masa Kolonial

Peran Kota Maritim Lasem pada masa kolonial ditinjau dan dibahas dari bidang keagamaan, bidang ekonomi dan perdagangan dan bidang sosial dan budaya yang eksis dan berkembang pada masa kolonial Belanda.

III.3.1. Di Bidang Keagamaan

Pada masa kolonial, Agama Islam berkembang pesat di Kota Maritim. Sunan Bonang, yang nama aslinya Raden Maulana Malik Ibrahim, salah satu dari Wali Sanga, menjadi tokoh sentral dalam syiar Agama Islam di Lasem. Bangunan-bangunan kuno yang bercirikan Islam banyak ditemukan di sini, antara lain bangunan masjid kuno (Bangunan

Gambar

GAMBAR I.1 Peta Administrasi Provinsi Jawa Tengah
Gambar I.2 Peta administrasi Kecamatan Lasem
Gambar I.3 Silsilah Kerajaan Majapahit dan Singhasari
Gambar III.1 Peta lokasi kerajaan satelit Majapahit.
+7

Referensi

Dokumen terkait