• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERGESERAN PERAN KOTA MARITIM LASEM

IV.1.3. Peran pada Bidang Sosial dan Budaya

Dalam bukunya Lasem Negeri Dampoawang, M. Akrom Unjiya menyatakan bahwa kebudayaan maritim yang dibangun dan dikembangkan oleh Pemerintah Kerajaan Majapahit hanya akan dapat dilakukan dengan baik oleh daerah-daerah dalam wilayah kekuasaan yang memiliki potensi kelautan yang baik dan mendukung, adanya sumber alam yang melimpah, adanya rakyat sebagai sumber daya manusia yang memadai serta adanya sosial budaya yang mendukung. 30

Gambar IV.5 Muara Sungai Lasem

Pada masa perkembangannya, sebagian masyarakat Cina tidak hanya melulu berdagang. Di antara mereka ada pula yang bertani. Ada pula yang berbaur dan menikah dengan masyarakat asli Lasem. Pembauran mereka dengan masyarakat asli Lasem tidak hanya sampai pada pernikahan saja, tetapi dibarengi dengan percampuran kebudayaan nenek moyang dari Cina dengan kebudayaan Jawa yang berkembang di Lasem. Oleh sebab itu, berbagai produk-produk kebudayaan Cina, di antaranya seni pertunjukkan banyak ditemukkan d Kota Maritim Lasem.

Seni pertunjukan tersebut meliputi wayang potehi, barongsai dan barongan. Seni pertunjukkan ini sangat unik bercirikan kesenian Cina.

IV.2. Peran Kota Maritim Lasem Masa Kolonial IV.2.1. Peran pada Bidang Keagamaan

Pada abad ke-16, Agama Islam berkembang pesat di kepulauan Nusantara, tidak terkecuali di Kota Maritim Lasem. Perkembangan Agama Islam di Kota Lasem menggeser perkembangan Agama Hindu dan Buddha di kalangan masyarakat Lasem. Syiar dan dakwah Islam yang tersistem dan dinamis mendorong perkembangan Agama Islam yang maju dengan pesat dan menyentuh berbagai lapisan masyarakat.

Para pemeluk Agama Islam yang berkembang dengan pesat tidak hanya memberikan pengaruh yang positif terhadap keimanan dan ibadah bagi para pemeluknya, namun juga menyentuh suatu percampuran budaya di kota maritim ini. Akulturasi budaya Islam dan budaya Jawa terjadi secara alami dan harmonis sehingga sehingga mendorong berdirinya perndidikan keagamaan bercirikan Islam dalam bentuk pondok-pondok pesantren di Kota Maritim Lasem.

Oleh sebab banyak pondok pesantren yang berdiri dan berkembang di Kota Maritim Lasem, maka kota ini memiliki santri-santri yang jumlahnya sangat besar. Sudah tentu, pendidikan yang islami ini mempengaruhi kehidupan para santri dalam beribadah dan menuntut ilmu untuk membangun masa depan yang lebih berhasil di pondok pesantren. Pendidikan para santri yang demikian itu berlangsung dari waktu ke waktu

sehingga semakin memantabkkan syiar dan dakwah Islam di seluru wilayah Lasem.

Dari waktu ke waktu, jumlah pemeluk Agama Islam, pondok pesantren dan para santri serta bangunan masjid dan mushola bertambah semakin banyak, sehingga membuat kota ini selain dikenal sebagai kota maritim, juga dikenal sebagai kota santri. Sebutan kota santri untuk Kota Maritim Lasem merupakan julukan yang sangat tepat sebagai penghargaan kepada masyarakatnya yang islamis.

Meskipun syiar dan dakwah Agama Islam yang tersistem, harmonis dan dinamis itu sudah menyentuh kehidupan masyarakat Lasem pada waktu itu, namun di sana masih ada ruang-ruang untyuk tetap eksisnya Agama Khonghucu, Tao dan Agama Buddha. Hal yang demikian itu dapat dibuktikan dengan adanya bukti-bukti peninggalan sejarah dalam bentuk bangunan kelenteng dan vihara yang digunakan oleh para pemeluknya untuk melakukan ibadah dan doa pada masa pendudukan Pemertintah Kolonial Belanda.

Ketika Pemerintahan Hindia Belanda menguasai seluruhnya Kota Maritim Lasem, Pemerintah Hida Belanda menghancurkan benda-benda peninggalan bukti sejarah di seluruh wilayah Lasem dan sekitarnya, karena Belanda kuatir jika masyarakat Lasem bersatu akan mengganggu misi perdagangan VOC di Pantai Utara Jawa pada umumnya, dan dengan siistem monopoli di daerah Lasem khususnya, dan di seluruh kota-kota di

kawasan Pantai Utara Jawa, dan di wilayah Kota Maritim Lasem pada khususnya.

IV.2.2. Peran pada Bidang Ekonomi dan Perdagangan

Pada periode kolonialisme Belanda, Lasem dikenal sebagai pelabuhan yang aman untuk menyelundupkan senjata dari Singapura. Dari Lasem, senjata-senjata itu dipasok kepada seseorang di Rembang lalu dikirimkan ke pada pasukan Pangeran Diponegoro yang mengobarkan peperangan melawan Pemerintah Kolonial Belanda pada tahun 1825-1830. Lasem juga ditengarai sebagai pelabuhan yang aman untuk menyelundupkan candu dari Cina. Karenanya, perdagangan candu secara gelap pun diam-diam berkembang, tidak hanya di kalangan masyarakat tertentu di Kota Maritim Lasem, tetapi juga untuk masyarakan lain sekitar di sekitar wilayah Lasem. Namun di kemudian hari, penyelundupan candu melalui pelabuhan Lasem dapat dibongkar oleh Bealanda. Para penyelundup candu ditangkap kemudian dihukum mati oleh Belanda.

Pada masa pendudukan Pemerintah Kolonial Belanda dengan VOC sebagai kongsi dagangnya, masyarakat Cina menghadapi permasalahan yang serius dalam bidang perdagangan. Pada waktu Perang Kuning berlangsung antara gabungan dari pasukan Jawa dan Cina melawan kekuatan kolonial Belanda di kota-kota Pantai Utara Jawa pada tahun 1741 hingga tahun 1750, masyarakat Cina Lasem Cina mengangkat tiga pemimpin yaitu Oei Ing Kiat, Tan Kee Wie dan Panji Margono. Pasukan Lasem yang dikenal dengan sebutan Laskar Dampo Awang Lasem berhasil

menguasai Rembang, namun kemudian laskar ini mengalami kekalahan yang dahsyat ketika menyerang Jepara.

Ketika Perang Kuning berakhir dengan kemenangan di pihak VOC, maka VOC menguasai seluruh wilayah Kota Maritim Lasem. Cengkeraman kekuasaan Belanda dengan VOC-nya memanfaatkan kekuasaannya untuk mengguasai semua bidang, khususnya di bidang perdagangan. Walaupun demikian, masyarakat Cina tidak menyerah dalam persaingan di bidang perdagangan dengan Belanda. Para pedagang Cina terus berjuang dengan gigihnya sehingga mereka memperoleh peluang yang menggembirakan.

Gambar IV.6 Salah satu diorama yang menggambarkan perang kuning.

Pada wakktu itu, VOC juga memberi peranan kepada pedagang Cina memegang posisi-posisi tertentu, yaitu untuk mengelola perekonomian di wilayah Kota Maritim Lasem. VOC juga memberikan kesempatan kepada orang-orang Cina menjadi usahawan dan melakukan pembinaan di bidang perdagangan dan keuangan secara menyeluruh, mulai dari pelabuhan sampai ke pasar-pasar desa di seluruh wilayah Kota Maritim Lasem.

IV.2.3. Peran pada Bidang Sosial dan Budaya

Sejatinya, selain terjadinya akulturasi budaya Islam dan budaya Jawa yang terjadi secara alami dan harmonis, di kota ini juga terjadi akulturasi budaya Cina dan budaya Jawa. Pada masa pendudukan Pemerintah Kolonial Belanda, masyarakat Cina terus berbaur dengan masyarakat asli Lasem. Pembauran tampak semakin nyata dalam berbagai sendi kehidupan. Di antara mereka, masyarakat Cina itu, kemudian ada yang menikah dengan warga asli Lasem. Mereka berbaur dengan masyarakat Jawa dengan toleransi tinggi, baik ketika mereka berdagang, acara hajatan, santai, minum kopi dan lain sebagainya. Pembauran di bidang kesenian dan kebudayaan pun mengikutinya. Perpaduan kesenian dan kebudayaan Cina dan Jawa berlangsung dengan sangat harmonis dalam kurun waktu yang sangat panjang.

Kesenian, khususnya seni pertunjukan, yang terus eksis dan berkembang di Lasem pada masa kolonial ini antara lain: kesenian laesan, kesenian thong-thong klek, wayang bengkong, wayang krucil, wayang potehi, (Bu dai xi), seni pagelaran barongsai, leang leong (liong), jaran kepang, barongan, wayang wong, tayub dan kethoprak. Sedangkan karya seni rupa yang eksis dan berkembang pada masa kolonial Belanda, di antaranya seni batik dan kerajinan kuningan. Seni batik yang menonjol yaitu batik motif.

Cabang seni aritektur juga juga mengaalami perkembangan. Perkembangan seni arsitektur tersebut dapat dilihat dari bukti peninggalan

sejarah di jaman ini, antara lain: Bangunan Kelenteng Cu An Kiong yang berlokasi di sebelah timur Sungai Lasem, Bangunan Kelenteng PO An Bio yang terletak di sebelah utara Sungai Kemendung, Bangunan Kelenteng Gie Yong Bio yang terletak di sebelah barat Sungai Lasem, Bangunan Masjd Jami’ Lasem yang berlokasi di pusat Kota Maritim Lasem, Bangunan Masjid Bonang yang berada di desa Bonang, Bangunan Kompleks Vihara Ratanavana Arama yang berlokasi di bukitTelueng di Desa Sendangcoyo, Bangunan Rumah Candu, Bangunan Vihara Karunia Dharma, Bangunan-bangunan Kuno (di Pecinan Karangturi, Soditan, Babagan, Gedongmulyo dan Sumbergirang), Bangunan Bekas Stasiun lengkap dengan rel kereta apinya di desa Dorokandang dan Benteng VOC di Bukit Geang Warugunung.

IV.3. Pergeseran Peran Kota Maritim Lasem Pra Kolonial Ke Masa Kolonial