• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. menjadi hanya untuk membentuk pola pikir kolektif masyarakat agar sesuai

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. menjadi hanya untuk membentuk pola pikir kolektif masyarakat agar sesuai"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

1 BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Abad pertengahan adalah zaman ketika agama mencampuri urusan kekuasaan politik. Pada zaman itu, kekuasaan (politik) suatu kerajaan didasarkan pada kepentingan kalangan gereja, sehingga fungsi kerajaan tersebut berubah menjadi hanya untuk membentuk pola pikir kolektif masyarakat agar sesuai dengan ideologi gereja.

Pada tahun 1607 sampai dengan 1642, seorang kardinal-gereja bernama Richelieu menjadi Perdana Menteri Prancis, sekaligus mewakili Raja Louis XII yang pada waktu itu masih berusia belia. Richelieu sendiri ditunjuk oleh Ibunda Louis XII, Anne d’Escars de Givry, dengan alasan yang sama. Richelieu menggunakan kekuasaannya untuk memperkuat visi dan landasan Prancis sebagai negara Katolik. Kerajaan mengambil langkah dengan menaklukkan para pembelot, yang berasal dari kalangan bangsawan dan kaum Protestan, agar patuh terhadap kekuasaan raja. Ideologi gereja menjadi ideologi kerajaan. Dengan demikian, kesatuan ideologis tercipta antara ideologi kerajaan dan gereja, sehingga kekuasaan gereja di Prancis semakin besar.

Aspek keagamaan berperan penting di dalam tata pemerintahan, yaitu sebagai landasan negara1. Di samping itu, aspek-aspek tersebut menjadi penting

karena dapat dimanfaatkan bagi kehidupan sosial masyarakat. Setiap individu yang merupakan elemen masyarakat memang memiliki kebebasan untuk memilih

1

Carpentier dan Lebrun, Sejarah Prancis Dari Zaman Prasejarah Hingga Akhir Abad

(2)

2 jalan hidup. Calhoun berpendapat, bahwa hak seseorang dibedakan oleh status sosial yang melekat padanya, terutama jika orang tersebut memperoleh predikat

Ascribed Status, yakni individu dengan status khusus yang diperolehnya sejak

lahir seperti dijumpai pada sistem kasta di dalam masyarakat feodal atau sistem kebangsawanan2.

Sistem kasta yang membedakan kaum bangsawan dengan kalangan masyarakat ini menyebabkan kaum bangsawan dapat berbuat sewenang-wenang. Sehubungan dengan itu, gereja mendekati kaum bangsawan untuk memanfaatkan sistem kasta tersebut, agar gereja dapat berkolaborasi dengan kekuasaan bangsawan untuk mempengaruhi masyarakat luas untuk merepresentasikan gereja Katolik.

Ketika gereja gencar melandaskan kekuasaan agama Katolik, kardinal Richelieu meninggal dunia pada tahun 1642 dan posisi perdana menteri diisi oleh Mazarin. Mazarin yang sebelumnya adalah pengikut Richelieu, melanjutkan kekuasaan antara gereja dan kerajaan. Sementara itu, parlemen dan pasukan kerajaan Prancis yang dipimpin Condé menggalang serangan yang disebut gerakan Fronde karena merasa tidak puas dengan kepemimpinan Mazarin3. Oleh

sebab itu, Mazarin melarikan diri ke Jerman sampai situasi kondusif namun perseteruan kembali muncul akibat perebutan kekuasaan antara parlemen dan pasukan kerajaan Condé sehingga Mazarin memanfaatkan hal itu untuk kembali

2

Craig Calhoun, Dictionary of Social Sciences (New York: Oxford University Press, 2002), hlm. 464.

3

(3)

3 menguasai kerajaan Prancis. Nampaknya, masyarakat menganggap Mazarin lebih pantas menjadi pemimpin mereka daripada parlemen dan bangsawan.

Sepeninggal Mazarin, Louis XIV mengambil alih kekuasaan dengan menjadi raja Prancis untuk dapat mengembalikan kejayaan kerajaan. Raja Louis XIV kemudian memperkuat aspek agama dengan memerintahkan pendeta Katolik untuk menarik penganut baru dan mendorong bangsawan untuk ikut menjadi penganut Katolik dengan menjadikan keturunan mereka sebagai biarawan atau biarawati4.

Pada tahun 1661 sampai 1720, Louis XIV melipatgandakan kegiatan keagamaan seperti retret5, katekismus6, dioses7, dan perkumpulan gereja lainnya. Sekitar tahun 1700, gereja memberi pelatihan keagamaan hampir di setiap wilayah dioses yang berjumlah 130 buah. Kerajaan menyiapkan para pendeta dengan baik untuk memberikan pelayanan dalam kegiatan keagamaan sehingga kekuasaan gereja semakin berkembang8. Di samping itu, dogma-dogma gereja

dijadikan norma di segala bidang agar langsung menyentuh golongan masyarakat bawah. Masyarakat bawah memang tidak mengeyam pendidikan sehingga mudah dirasuki dogma-dogma gereja. Meskipun demikian, kerajaan mengalami hambatan pada sumber daya manusia khususnya dalam penguasaan ilmu teologi. Hadiwijono menjelaskan, bahwa pengetahuan kalangan pendeta mengenai

4

Carpentier dan Lebrun, Ibid., hlm.227-232.

5

Retret : kegiatan menyendiri di suatu daerah bersama komunitas spiritual.

6

Katekismus : doktrin manual berbentuk tanya jawab.

7

Dioses : keuskupan atau bagian dari umat katolik yang tinggal di wilayah dengan batasan tertentu

8

(4)

4 rumusan dogmatis hanya fokus pada nilai suatu simbol, yaitu kitab suci. Hadiwijono menambahkan bahwa pengetahuan dogmatis adalah ortodoksi tradisional yang mengacu pada kitab, tanpa mempertimbangkan unsur atau bagian dari luar kitab. Dengan demikian, ortodoksi tradisional menyebabkan para pendeta seolah paling mengetahui soal tulisan kitab, sementara para ahli teologi masih memperdebatkan dogma Gereja pada abad ke-179.

Fenomena tersebut menjadi perhatian seorang aktor sekaligus sutradara drama, yaitu Molière yang pada masa kecilnya tumbuh di lingkungan kerajaan. Ketika beranjak dewasa, Molière berkeliling dari desa ke desa untuk melatih ketrampilan aktor dalam drama. Drama Molière bernuansa komedi dan bersifat

absurd atau tidak masuk akal dengan menampilkan ketidakjelasan maksud dan

tujuan melalui alur dan penokohan dalam pementasannya. Hawcroft menjelaskan, bahwa tokoh-tokoh tersebut berfungsi menjadi juru bicaranya dalam peranan tokoh dengan ucapan dan tindakannya10.

Molière yang menyinggung kehidupan sosial masyarakat, beranggapan bahwa perilaku individu yang bertindak di luar norma kebiasaan adalah suatu kekonyolan. Maka, kekonyolan di mata Molière adalah fenomena kemanusiaan di luar norma-norma dalam kehidupan sosial masyarakat. Selama puluhan tahun,

9

Carpentier dan Lebrun, Ibid., hlm. 3

10

Michael Hawcroft, Moliére Reasoning With Fools ( New York: Oxford University Press, 2007), hlm. 27.

(5)

5 pengalamannya mengilhami sang sutradara untuk mengolaborasi unsur sosial yang bergaya satirik dalam pementasannya11.

Salah satu karya Molière yang populer adalah L’Ecole des Femmes (1662), mengisahkan sepasang suami istri yang berbeda usia sehingga menyebabkan ketimpangan sifat dan kedewasaan. Molière kemudian menulis

Tartuffe (1664), mengisahkan kemunafikan seorang pendeta yang memanfaatkan

ajaran Katolik sebagai senjata penguras harta kekayaan. Molière mengelaborasi hasil pengamatannya ke dalam sebuah drama terbuka yang ditonton oleh pihak istana, gereja, dan masyarakat. Akibatnya, Tartuffe hanya dipentaskan sebanyak 3 kali karena dikecam oleh kalangan gereja. Dalam kondisi tertekan, Molière menjalankan pementasannya sebagai sumber penghasilan bagi keluarga dan kelompok drama (Du Fresne) miliknya.

Salah satu karya Molière yang lain yakni Dom Juan (1665), mengisahkan kehidupan seorang bangsawan Prancis bernama Dom Juan yang tidak percaya kepada Tuhan. Drama tersebut berlatar ketika era Perdana Menteri Mazarin dan Raja Louis XIV. Dom Juan memiliki pengikut, yaitu Sganarelle yang merupakan karakter pendamping dengan latar belakang dari masyarakat bawah sehingga memiliki pola pikir yang berbeda.

Dom Juan memiliki sifat yang gemar membohongi wanita dan orang di sekitarnya dengan tipu muslihat agama. Tak terkecuali, seorang wanita bangsawan yaitu, Done Elvire yang meninggalkan hidupnya sebagai biarawati

11

Ida Sundari Husen, Mengenal Pengarang-Pengarang Prancis Dari Abad ke Abad (Jakarta : Gramedia Widiasarana Indonesia, 1999), hlm. 53-54.

(6)

6 untuk menjadi istri Dom Juan. Ironisnya, ia diceraikan karena Dom Juan tidak berhasrat lagi kepadanya setelah dipersunting.

Tokoh Dom Juan memiliki keraguan dalam pandangan seputar agama dan Tuhan. Menurut tokoh Sganarelle, apa yang dipandang Dom Juan merupakan kesalahan sehingga sanksi Tuhan akan datang kepadanya. Perbedaan pola pikir tersebut menjelaskan lingkup antara kepercayaan dan ketidakpercayaan pada eksistensi Tuhan.

(1) Sganarelle - et n’y craignez-vous rien, Monsieur, de la mort de ce

commandeur que vous tuâtes il y a six mois ?

(2) Dom Juan - et pourquoi craindre ? ne l’ai-je pas bien tué ? (Molière, 1666 : 11)

(1) Monsieur, Anda tidak khawatir sama sekali dengan kematian dari seorang komandan yang Anda bunuh 6 bulan yang lalu ?

(2) Kenapa takut ? Saya telah benar-benar membunuhnya, bukan ?

Dari penggalan di atas tampak bahwa Dom Juan merasa tidak perlu mengkhawatirkan pembunuhan tersebut karena komandan itu tidak akan datang kembali untuk membalaskan dendamnya. Sebaliknya, Sganarelle percaya pada sanksi Tuhan yang mampu menghukum perbuatan Dom Juan.

Dalam adegan terakhir, Dom Juan masuk ke lubang neraka akibat mendatangi arwah dalam patung komandan yang telah dibunuhnya. Kematian datang kepada Dom Juan secara tidak logis dan sulit dipahami. Akan tetapi, kematian tersebut menjadi penghakiman bagi seorang kafir yang tidak percaya kepada Tuhannya. Hal ini merupakan penghormatan Molière kepada bangsawan atas kepercayaan mereka dalam mendukung berjalannya pementasan Dom Juan.

(7)

7 Molière memancing rasa tertawa dengan kekonyolan melalui karakter Dom Juan dengan keraguannya kepada Tuhan, seakan ini sebagai sindiran halus bahwa bangsawan munafik merupakan representasi kegagalan kekuasaan gereja Katolik. Di samping itu, pandangannya menggambarkan bahwa kekuasaan gereja Katolik tergerus oleh perkembangan zaman. Menurut Hadiwijono, pendewasaan pemikiran manusia tumbuh secara alami akibat dari pengalaman kehidupan, bukan tindakan manusia yang sengaja meninggalkan agama dan Tuhan12.

Manusia tidak sengaja meninggalkan agama, tetapi terbawa oleh naluri dan pikiran yang tumbuh dari pengalaman kehidupannya.

Dom Juan merasa tidak perlu memikirkan dogma gereja Katolik, karena tidak dapat dicerna dengan logika berfikir. Oleh sebab itu, Dom Juan berfikir secara logis sehingga membuatnya dalam posisi berseberangan ketika gereja berkolaborasi dengan kerajaan yang mempraktikkan agama Katolik di kehidupan masyarakat Prancis. Alhasil, pementasan Dom Juan dilarang oleh gereja, tetapi dilakukan kembali setelah Molière wafat13.

Dengan alasan tersebut, penelitian ini menggunakan metode analisis wacana kritis atau Critical Discourse Analysis untuk mengulas makna wacana sekularisme dalam drama Dom Juan. Penelitian ini mengambil makna fenomena sosial dalam drama Molière, yakni proses perubahan pola pikir manusia yang mengaplikasikan nilai sekularisme untuk hidup tanpa campur tangan agama.

12

Harun Hadiwijono, Teologi Reformatoris pada Abad ke 20 (Jakarta : Gunung Mulia, 2004), hlm. 55.

13

(8)

8 Teks berhubungan dengan lingkungan sosial. Dalam kaitan ini, Fairclough mendasarkan antara teks (drama) dan masyarakat memiliki hubungan dan pengetahuan yang melahirkan fenomena sosial melalui penggunaan bahasa dalam teks14.

Wacana merupakan bentuk praktik sosial yang menyusun dunia. Misalnya hubungan antara tokoh Dom Juan (bangsawan) dan tokoh Sganarelle (masyarakat bawah) sebagai pengikutnya. Hubungan tersebut menciptakan interaksi antar kelas sosial dan ketimpangan kekuasaan antara bangsawan dan masyarakat bawah.

1.2. Rumusan Masalah

Kerajaan Prancis yang berkolaborasi dengan gereja Katolik merupakan fenomena yang menarik untuk ditelusuri pengaruhnya dalam kehidupan masyarakat Prancis. Molière melihat fenomena tersebut sebagai bahan yang dapat dielaborasi ke dalam pementasan dramanya. Akan tetapi, Pementasan Molière memberikan sudut pandang berbeda tentang kehidupan beragama di Prancis, yaitu tokoh bangsawan yang tidak percaya pada dogma gereja.

Dari uraian di atas, muncul pertanyaan sebagai topik utama pembahasan dalam penelitian ini, yaitu:

1. Bagaimana makna dari bentuk perubahan sosial masyarakat dalam drama Dom

Juan?

14

Norman Fairclough, Critical Discourse Analysis The Critical Study of Language (New York : Addison Wesley Longman Inc, 1995), hlm. 24.

(9)

9 2. Bagaimana Molière menyampaikan pandangannya melalui karyanya dalam pementasan teater?

3. Apakah wacana yang terkandung dalam drama Dom Juan?

4. Bagaimana proses sekularisme dalam drama Dom Juan?

1.3. Tujuan Penelitian

Penelitian ini menjelaskan makna dari drama Dom Juan yaitu, fenomena sosial mengenai perubahan pola pikir bangsawan yang mengarah pada nilai-nilai sekularisme sehingga dapat disebut wacana sekularisme. Wacana sekularisme mengindikasikan terjadi perubahan pandangan mengenai tatanan kehidupan beragama yang semakin berkembang ke arah modernisasi, misalnya, manusia semakin berfikir secara logis. Sementara, fenomena sosial ini terjadi di tengah ekspansi kekuasaan gereja, oleh karena itu, beberapa faktor yang muncul akan menjadi alasan bagaimana proses kerajaan Prancis menjadi salah satu negara sekular.

1.4. Landasan Teori

1.4.1. Analisis Wacana Kritis

Analisis Wacana Kritis atau dalam bahasa Inggris disebut Critical

Discourse Analysis (CDA) adalah analisis untuk mengetahui suatu

wacana. CDA bertujuan untuk memperlihatkan wacana dan perkembangan kehidupan sosial masyarakat.

Penelitian ini menggunakan teori CDA Norman Fairclough, yaitu wacana adalah satu bentuk praktik sosial. Praktik sosial memiliki bentuk

(10)

10 terpenting yaitu, praktik kewacanaan tentang hubungan interaksi antar manusia. Fairclough mendefinisikan praktik kewacanaan melingkupi produksi, konsumsi, dan distribusi dari teks15. Di samping itu, praktik

sosial serupa didefinisikan untuk memproduksi pengetahuan, identitas, dan hubungan sosial yang tidak imbang. Misalnya, hubungan antar kelas, gender, dan kelompok mayoritas sehingga perbedaan membentuk struktur sosial16. Wacana kemudian dianalisis berdasarkan bukti-bukti dari

peristiwa aktual sesuai dengan konteksnya, serta menjadi bagian latar belakang wacana. Fairclough menambahkan bahwa CDA adalah sumber bagi masyarakat yang menolak pengaruh dari perubahan yang dipaksakan oleh kalangan tertentu17.

1.4.1.2. Teks dan Bahasa

Teks adalah suatu bagian dari bahasa tertulis, seperti puisi, novel, dan bagian yang berhubungan seperti kumpulan bab-bab yang disatukan. Fairclough menjelaskan bahwa teks berkaitan dengan analisis wacana dimana teks menjadi wacana yang tertulis atau pun lisan18. Akan tetapi, teks tidak mesti dibutuhkan secara

linguistik, misalnya, beberapa artifak budaya seperti gambar, bangunan, dan lagu dilihat sebagai teks. Oleh sebab itu, teks secara

15

Norman Fairclough, Ibid., hlm.13.

16

Eriyanto, Pengantar Analisis Wacana Teks Media (Yogyakarta : LKIS, 2001), hlm. 7-14.

17

Norman Fairclough, op.cit., hlm. 88-89.

18

(11)

11 linguistik dan kultural berkaitan untuk saling melengkapi19.

Fairclough menjelaskan bahwa analisis kontekstual akan memberikan pandangan menarik tentang apa yang ada di dalam teks dan yang tidak ada dari teks yang dapat terisi oleh perspektif analisis sosiokultural.

1.4.1.3. Genre dan Orde Wacana

Orde wacana memiliki perbedaan tipe wacana yang diatur dalam hubungan antara beberapa aspek tertentu. Hubungan ini diatur dalam lingkup dominasi antar kelas sosial seperti kelas yang mendominasi dan termarjinalkan. Fairclough menjelaskan bahwa kategori kekuasaan dalam kelas sosial dibutuhkan untuk merasakan aturan dan hubungan dominasi dalam praktik kewacanaan, serta masyarakat dapat mengetahui untuk mempraktikkannnya dalam suatu kesempatan tertentu. Fairclough menambahkan bahwa kategori ideologi dibutuhkan untuk mengetahui perbedaan makna dalam praktik kewacanaan. Di samping itu, keragaman praktik kewacanaan merupakan bagian dari perjuangan ideologis20. Ketika

teks diarahkan ke penggambaran ideal (tujuan), belum tentu penggambaran itu sesuai referensi yang diberikan. Oleh sebab itu, teks belum tentu sesuai dengan penggambaran idealnya.

19

Norman Fairclough, Ibid., hlm. 4.

20

(12)

12 1.4.1.4. Masyarakat dan Budaya

Ideologi erat kaitannya dengan kekuasaan dan dominasi. Fairclough menjelaskan bahwa peristiwa ideologis dalam reproduksi sosial mempunyai konseptualisasi kekuasaan seperti konsep hegemoni Gramsci, yaitu menggunakan daya kekuasaan. Fairclough menambahkan bahwa struktur kelas sosial memiliki peranan ideologi penguasa dalam mengamankan dominasi, khususnya hubungan gender, suku etnik, dan budaya21.

Teori CDA berupaya memunculkan perubahan sosial dan peran praktik kewacanaan dalam melestarikan hubungan sosial atau kekuasasan yang tak setara. Hubungan interaksi secara linguistik dengan struktur sosial, memiliki hubungan mendalam seperti wacana tidak memiliki makna tanpa makna sosial (Kress dan Hodge, 1979). Dialog dalam drama Dom Juan dihubungkan dengan interaksi dan relasi kekuasaan pada abad ke-17. Di samping itu, hubungan ini menjelaskan wacana berdasarkan dimensi sosial yang saling berkaitan.

Pengamatan CDA menjelaskan mengenai wacana sekularisme, serta relasi ketimpangan kekuasaan antar kelompok dan kelas sosial yang melibatkan kalangan bangsawan dan masyarakat. Wacana muncul melalui teks sehingga praktik sosial disimulasikan dalam dialog antar tokoh. Tokoh-tokoh drama dari

21

(13)

13 dialog yang perlu dianalisis dan diketahui wacana yang terbentuk karena susunan praktik-praktik sosial. Berikut bagan 3 dimensi (Teks, Praktik Kewacanaan, Praktik Sosial) wacana menurut Fairclough22.

Bagan wacana di atas menjelaskan proses analisis teks. Teks adalah media analisis melalui proses interpretasi teks yaitu, proses analisis atau praktek kewacanaan dari wacana di dalam teks. Kemudian, proses analisis atau wacana mengaitkan dengan konteks

22

Norman Fairclough, Ibid., hlm. 127.

Proses Produksi Teks Proses Interpretasi Praktik Wacana Praktik Sosiokultural Interpretasi Institusional Kemasyarakatan

(14)

14 sebagai penyesuaian dalam hubungannya dengan praktik sosiokultural yang melibatkan institusi maupun kondisi sosial.

1.4.2. Sekularisme

Seorang filsuf Inggris yang bernama George Holyoake, menemukan istilah sekularisme pada tahun 1846. Sekularisme merupakan suatu paham yang memisahkan unsur agama dengan unsur duniawi. Oleh sebab itu, urusan agama merupakan hak setiap individu di dalam masyarakat.

Ajaran agama mempengaruhi kehidupan sosial di masyarakat sehingga masyarakat terpengaruh dalam memandang sesuatu berdasarkan pandangan agama. Tetapi, Istilah sekularisme muncul akibat pandangan yang mempertimbangkan sikap dalam kehidupan yang tidak menerima ajaran Theology atau tentang ketuhanan23. Kerajaan Prancis ketika masih

bersandar pada agama Katolik, memiliki andil besar dalam mengarahkan Kebijakan negara yang menyisipkan ideologi agama. Meskipun demikian, hal ini berbentangan dengan konsepsi negara menurut G. Jellinek (filsuf positivis Jerman), yakni sebuah ikatan atas kumpulan masyarakat yang terdiri dari kumpulan komunitas-komunitas dan suku bangsa, ditambah keberadaan pemerintahan sebagai pengatur negara. Oleh sebab itu, perbedaan latar suku bangsa akan memunculkan pertentangan terhadap kebijakan negara yang cenderung memihak.

23

George Jacob Holyoake, The Principles of Secularism Ilustrated (London: Book Store, 282, 1871), hlm. 7.

(15)

15 Di sisi lain, Kepercayaan agama dapat dibuat tersusun rapi seperti struktur sosial yang dapat saling berpengaruh kepada satu sama lain. Raja Louis XIV melandaskan kekuasaan gereja yaitu, masyarakat sebagai penganut Katolik untuk menggapai suatu tujuan tertentu. Masyarakat terhimpit untuk memilih dan berperilaku sesuai hati nuraninya. Oleh sebab itu, masyarakat dipaksa berperilaku sesuai dengan dogma gereja, namun bangsawan lebih memilih munafik pada gereja, daripada menjadi penganut Katolik. Kemunafikan muncul akibat dari keraguan terhadap otoritas agama dan perubahan pola pikiran manusia yang cenderung mengacu pada lingkup sekularisme.

Secularism is a series of principles intended for the guidance of those who find Theology indefinite, or inadequate, or deem unreliable

Sekularisme adalah sebuah prinsip bimbingan bagi seseorang yang menemukan definisi Teologi yang tidak pasti, atau tidak memadai, atau dianggap tidak dipercaya24

Gereja berkolaborasi dengan kerajaan demi memperluas kekuasaannya. Oleh sebab itu, sekularisme terlahir untuk membimbing penelusuran jawaban atas pemikiran-pemikiran berlandaskan agama atau gereja. Sekularisme juga disebut kebebasan untuk berfikir di luar konteks agama.

1.5. Tinjauan Pustaka

Berdasarkan pengamatan yang telah dilakukan, penelitian lain tentang karya sastra Dom Juan pernah dilakukan oleh Nurul Choirini Soedarso (1980) dengan judul ‘Aspek Agama pada Drama Dom Juan Karya Molière dalam

Hubungannya dengan Kondisi Penciptaannya’. Penelitian ini menghasilkan

24

(16)

16 bahwa tema atau pokok persoalan suatu karya ada hubungannya dengan kondisi penciptaan dan penerimaan cipta sastra tersebut. Kemudian, kekuasaan agama Katolik sangat berpengaruh dalam kehidupan masyarakat, sedangkan golongan Protestan termajinalkan akibat dari dukungan kerajaan yang berpihak kepada golongan Katolik. Di samping itu, penelitian ini menelusuri fenomena sosial ketika drama Dom Juan diterbitkan, yaitu bangsawan yang munafik merupakan fenomena di kehidupan masyarakat. Metode yang digunakan adalah sosiologi sastra yang mengungkapkan hubungan timbal balik antara cipta sastra, pengarang, dan masyarakatnya.

Sejauh yang diketahui, penelitian lain terhadap karya-karya Moliére telah dilakukan oleh Hastomo Mawadya Sulistiyandi pada tahun 2010, yang berjudul “Satire Tentang Hipokrisi dalam Naskah Drama Le Tartuffe” Karya Moliére (Pendekatan Analisis Wacana)”. Penelitian ini menyimpulkan konsep rasionalitas dan realitas drama Prancis pada abad ke-17, kemudian tingkah laku psikologis tokoh utama yaitu Tartuffe mewakili kaum agamis sebagai seorang munafik berkedok topeng agama. Tartuffe menggunakan agama sebagai senjata untuk mengambil keuntungan dari orang lain. Moliére menempatkan tokoh utama Tartuffe sebagai sindiran bagi kaum gereja pada saat itu.

Penelitian lain pada drama Dom Juan dilakukan oleh Félix Guirand, Léon Lejealle, dan Jean-Pol Caput yang dimulai pada tahun 1933. Drama tersebut diteliti secara bertahap dalam jangka waktu yang berbeda. Penelitian ini menekankan analisa sosial pada naskah drama yang disertai catatan biografi pengarang (Molière), sejarah dan sastra Prancis, dokumentasi tematik, dsb.

(17)

17 Selain penelitian mengambil objek karya-karya Moliére, juga telah meninjau terhadap penelitian yang menggunakan pendekatan Analisis Wacana Kritis. Salah satunya adalah skripsi Retno Iswandari, pada tahun 2010 yang berjudul ”Kegilaan dalam Empat Novel Indonesia: Analisis Wacana Kritis”. Penelitian ini menganalisis bahwa wacana kegilaan dari empat novel Indonesia seperti Saman, Kalatidha, Dadaisme, dan Bako menyimpulkan persamaan dan perbedaan latar sosial munculnya suatu kegilaan.

Penelitian kali ini menekankan pada drama Dom Juan yang mengupas proses fenomena sosial yang terkandung dalam wacana di dalam teks berdasarkan peristiwa dan tingkah laku tokoh utama. Selanjutnya, pada penelitian ini akan mengkaji hubungan karya sastra Dom Juan dengan kondisi dan situasi kehidupan masyarakat Prancis dan Eropa, dimulai dari abad kegelapan sampai abad pencerahan, khususnya berhubungan dengan kekuasaan gereja. Dengan demikian, wacana ini dapat menjelaskan fenomena sosial, yakni nilai-nilai sekularisme sebagai dasar perkembangan pemikiran akal dan nalar manusia dari penggambaran tokoh bangsawan dalam naskah drama Dom Juan. Oleh sebab itu, hal ini menjadi sebab melemahnya pengaruh kekuasaan gereja. Dengan demikian, penelitian ini akan menganalisis wacana sekularisme yang terjadi dalam naskah drama Dom Juan.

1.6. Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup penelitian meliputi aspek unsur intrinsik dan ekstrinsik.

• Unsur intrinsik dalam drama Dom Juan, terdiri atas alur, penokohan, dan latar drama.

(18)

18 • Unsur ekstrinsik berkaitan dengan unsur dari luar yang ditemukan dalam naskah drama Dom Juan,yaitu berkaitan dengan wacana sekularisme dalam perwatakan tokoh utama yang menggambarkan kemunafikan terhadap ajaran agama Katolik, kemudian lingkup kehidupan sosial dan politik dalam kekuasaan gereja Katolik, sekitar pada abad kegelapan hingga abad pencerahan di Eropa.

1.7. Metode Penelitian

Metode penelitian ini terbagi dalam tiga tahap. Tahap pertama merupakan tahap pengumpulan data dari objek material. Tahapan ini menggunakan teknik untuk menyimak populasi dari drama Dom Juan. Selanjutnya, sampel yang diambil dari naskah drama akan menjadi data penelitian.

Tahap selanjutnya yaitu menganalisis data dengan menggunakan teori yang telah dipilih melalui pengklasifikasian data-data tersebut. Tahap analisis data menggunakan kerangka metode Fairclough tentang konsep tataran praktik diskursif atau praktik kewacanaan, yaitu hubungan antara teks dan praktik sosial. Praktik diskursif berkaitan dengan aspek sosio-kognitif produksi dan interpretasi teks. Analisis praktik diskursif tidak hanya mencakup penjelasan mengenai cara menginterpretasikan dan menghasilkan teks dalam suatu interaksi, tetapi juga berhubungan dengan peristiwa-peristiwa antara teks dan praktik sosial (diskursif) sehingga dapat disebut praktik interdiskursif. Praktik diskursif berhubungan dengan tatanan wacana yang merupakan masalah interdiskursivitas25, sehingga

25

Tischer, Mayer, Wodak, dan Vetter. Metode Analisis Teks & Wacana (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), hlm. 245.

(19)

19 dalam hal ini Fairclough menggabungkan fakta historis dan sosial26. Berikut

kutipan Fairclough mengenai pendekatan wacana kritis :

the critical approach has its theoretical underpinnings in views of the relationship between ‘micro’ events (including verbal events) and ‘macro’ structures which see the latter as both the conditions for and the products of the former (Fairclough, 1996: 28).

Pendekatan wacana kritis memiliki teori dalam pandangan mengenai hubungan antar peristiwa 'mikro' (termasuk peristiwa lisan) dan struktur 'makro' dimana melihat keduanya sebagai kondisi dan produk dari sang pencipta (Fairclough, 1996: 28).

Fairclough mengungkapkan sebab peristiwa sebagai bagian kecil dari penciptaan struktur kewacanaan. Maka, muncul bagian-bagian berkesinambungan membentuk sebuah struktur. Unsur-unsur di dalam maupun luar naskah drama

Dom Juan membentuk sebuah struktur yang berkaitan satu sama lain, sehingga

struktur kewacanaan akan menjadi relevan dalam analisis dan interpretasi wacana tersebut. Analisis intertekstual atau interdiskursif lebih bersifat interpretatif karena menelaah penciptaan hubungan antara teks dan peristiwa sosial, sehingga akan memberikan pemahaman sosial dan kultural27.

Tahap selanjutnya adalah menggunakan metode interdiskursivitas untuk mengupas aspek wacana sekularisme melalui hubungan antara konteks realita sosial, ilmu pengetahuan (ilmiah), dan praktik sosial dalam dialog antar tokoh

Dom Juan. Misalnya, drama ini terhubung dengan praktik sosial yang terjadi di

dalam catatan sejarah, yaitu kehidupan beragama di masyarakat Eropa dan Prancis.

Metode interdiskursivitas mengaitkan dengan beberapa bidang ilmu (ilmiah) yaitu bidang sejarah, sosial, politik, filsafat (sekularisme), dan agama

26

Tischer, Mayer, Wodak, dan Vetter, Ibid. hlm. 245.

27

(20)

20 sebagai faktor-faktor pendukung wacana sekularisme dalam naskah teater Dom

Juan. Bidang sejarah akan menjelaskan fenomena historis pada masa drama Dom Juan sebelum, sesaat, dan sesudah dipentaskan. Selanjutnya, kekuasaan gereja

dianalisis agar terungkap cara dalam memuluskan tujuannya. Aspek ilmu filsafat adalah nilai-nilai sekularisme yang dihubungkan dengan praktik sosial dalam drama tersebut sehingga wacana sekularisme teranalisa secara komprehensif.

Tahap terakhir adalah penyajian hasil analisis data. Pada tahap ini menggunakan metode deskriptif kualitatif yang nantinya hasil akan dipaparkan dan dimasukkan pada bagian Kesimpulan. Daftar kutipan dan rekam jejak pengarang disajikan pada bagian Lampiran.

1.8. Sistematika Penyajian

Penelitian ini terdiri dari 4 bab, sebagai berikut.

BAB I berupa Latar Belakang, Rumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Landasan Teori yang terbagi menjadi sub-Analisis Wacana Kritis dan sub-Sekularisme, Ruang Lingkup Penelitian, Tinjauan Pustaka, Metode dan Analisis data, dan Sistematika Penyajian.

BAB II berupa tinjauan Historis Pengaruh Gereja dan Sekularisme di Eropa: Sejarah Politik Gereja, Sejarah Penindasan oleh Gereja, Sejarah Prancis pada Abad Pencerahan, Cara Pandang Gereja, dan Hubungan Sejarah Gereja dan Industrialisasi.

BAB III berupa Latar Belakang dan Wacana Sekularisme: Latar Belakang Drama Dom Juan yang terbagi menjadi sub-Peranan Molière, sub-Latar Sosial Drama Dom Juan dan Representasi Wacana Sekularisme yang

(21)

21 terbagi menjadi Tindakan dan Relasi. Selanjutnya, terdapat sub-Hubungan antara Pengarang, Latar Sosial, dan Representasi Wacana.

Referensi

Dokumen terkait

Edisi kali ini akan banyak sekali hal-hal baru yang kalian dapat ketahui dimulai dari apa sih itu semangat, kalau di dalam bahasa Pali kita kenal sebagai Viriya,

Hasil yang didapat cukup baik untuk menyediakan layanan transfer file karena koneksi transfer tidak terputus saat terjadi gangguan dan waktu yang dibutuhkan untuk. transfer

Untuk menjaga tubuh tetap dalam kondisi yang baik saat berpuasa, orang perlu asupan makanan dan minuman yang cukup agar imunitas tubuh tetap terjaga.. Menurut Ketua Departemen Ilmu

Kesimpulan penelitian ini adalah bahwa praktik pendayagunaan zakat untuk usaha produktif sebagai pinjaman modal usaha di LAZISMA Jawa Tengah sesuai dengan syari’at Islam,

[r]

Nugroho SN, M.Si selaku Kasi Pembinaan Perdagangan dan Pemasaran , bahwa Kampoeng Bebek dan telur Asin Desa Kebonsari Sidoarjo dahulu hanya mempunyai satu prodak olahan

Ruang lingkup masalah dalam proyek akhir ini adalah aplikasi ini digunakan sebagai simulasi pemasangan dan pembongkaran scaffolding  yang digunakan pada saat

Penyebab syok neurogenik antara lain: Trauma medula spinalis dengan quadriplegia atau paraplegia (syok spinal), rangsangan hebat yang kurang menyenangkan seperti rasa nyeri hebat