• Tidak ada hasil yang ditemukan

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kondisi Umum Kota Tegal

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kondisi Umum Kota Tegal"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kondisi Umum Kota Tegal

Wilayah Kota Tegal merupakan kota yang terletak di pesisir utara Jawa dan secara geografis terletak pada 06050’ – 06053 LS dan 109008’ – 109010’ BT. Kota Tegal merupakan bagian dari Provinsi Jawa Tengah yang mempunyai luas wilayah 38,85 km2 dengan panjang pantai 7,5 km dan memiliki 4 kecamatan yaitu : Kecamatan Tegal Barat, Kecamatan Tegal Timur, Kecamatan Tegal Selatan dan Kecamatan Margadana. Nelayan Kota Tegal sebagian besar bermukim di Kelurahan Tegalsari dan Muarareja Kecamatan Tegal Barat. Batas administrasi wilayah Kota Tegal adalah sebagai berikut :

- Sebelah Utara : Laut Jawa - Sebelah Selatan : Kabupaten Tegal - Sebelah Timur : Kabupaten Tegal - Sebelah Barat : Kabupaten Brebes

Jumlah penduduk Kota Tegal pada tahun 2004 tercatat sebanyak 242.067 jiwa. Dari jumlah penduduk tersebut 11.107 orang (8,40%) berprofesi sebagai nelayan. Nelayan Kota Tegal merupakan penduduk asli dan selebihnya merupakan nelayan pendatang yang berasal dari Brebes, Pemalang dan Cirebon. Perkembangan jumlah nelayan Kota Tegal sejak tahun 2000 mengalami peningkatan kecuali tahun 2004. Peningkatan terbesar terjadi pada tahun 2003 yaitu sebesar 13,66%. Seiring dengan penurunan jumlah armada penangkapan pada tahun 2004 jumlah nelayan juga mengalami penurunan yang cukup besar (BPS Kota Tegal, 2005). Perkembangan jumlah nelayan dari tahun ke tahun disajikan pada Gambar 2.

(2)

8.175 11.254 14.578 11.107 13.343 9.381 8.652 6.321 8.216 5.748 0 2 4 6 8 10 12 14 16 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 tahun jumlah (ribuan)

Gambar 2 Perkembangan jumlah nelayan Kota Tegal tahun 1995 – 2004

2.2 Daerah dan Musim Penangkapan Ikan

Perairan Utara Jawa termasuk wilayah pengelolaan perikanan (WPP III) dan merupakan wilayah perairan yang telah mengalami kondisi tangkap lebih. Selain masalah tangkap lebih, di perairan utara Jawa juga telah mengalami tekanan yang sangat berat yaitu terjadinya kerusakan ekosistem pesisir dan laut yang disebabkan oleh kegiatan di darat maupun di laut yang berakibat pada penurunan stok ikan (Dahuri, 2002).

Wilayah perairan Kota Tegal merupakan bagian dari paparan Sunda yang memiliki kedalaman relatif dangkal yaitu berkisar 10-40 m dengan substrat perairan berupa lumpur atau lumpur berpasir. Di perairan ini terdapat banyak muara sungai besar dan kecil, hal ini menjadikan perairannya merupakan habitat yang baik bagi udang (Dinas Pertanian dan Kelautan Kota Tegal, 2003).

Daerah penangkapan ikan nelayan Kota Tegal dibedakan berdasarkan jenis armada penangkapan. Nelayan yang menggunakan perahu tanpa motor dan motor tempel, daerah penangkapannya disepanjang pesisir utara Jawa yaitu mulai dari daerah Pemalang sampai dengan Subang. Nelayan yang menggunakan armada kapal motor, daerah penangkapannya berada di wilayah perairan Kalimantan, Sulawesi, perairan Jawa bagian timur, disekitar Karimun Jawa, Pulau Bawean dan Pulau Natuna (Dinas Pertanian dan Kelautan Kota Tegal, 2001).

Berdasarkan Keputusan Menteri Pertanian No. 392/kpts/IK.120/4/99 jalur-jalur penangkapan ikan di wilayah perikanan Indonesia dibagi menjadi 3 jalur-jalur (Tabel 1).

(3)

Tabel 1 Jalur-jalur penangkapan ikan di Indonesia berdasarkan Kepmentan No. 392/1999

Jalur Jarak dari pantai (mil)

Kriteria

0 - 3

• Perahu tanpa motor yang mempunyai panjang maksimum 10 m.

• Alat penangkap ikan yang menetap.

• Alat penangkap ikan yang tidak menetap dan tidak dimodifikasi.

IA

IB >3 - 6

• Motor tempel maksimum 5 GT dan mempunyai panjang maksimum 12 m.

• Alat penangkap ikan yang tidak menetap yang dimodifikasi.

• Pukat cincin panjang maksimum 150 m.

• Jaring insang hanyut panjang maksimum 1000 m.

II >6 – 12 • Kapal motor maksimum 60 GT.

• Pukat cincin panjang maksimum 600 m (satu kapal) atau,

• Pukat cincin panjang maksimum 1000 m (dua kapal).

• Jaring insang hanyut panjang maksimum 2500 m.

III >12 - ZEE • Kapal motor maksimum 200 GT, kecuali

purse seine pelagis besar di Teluk Tomini,

Laut Maluk u, Laut Seram, Laut Banda, Laut Flores dan Laut Sawu dilarang.

• ZEE Indonesia Selat Malaka boleh untuk kapal berbendera Indonesia maksimum 200 GT, kecuali pukat ikan minimal 60 GT.

• ZEE di luar Selat Malaka;

o Kapal perikanan Indonesia dan asing maksimum 350 GT.

o Kapal purse seine 350-800 GT, di luar 100 mil dari garis pangkal kepulauan Indonesia.

o Kapal purse seine sistem grup hanya boleh di luar garis 100 mil dari garis pangkal kepulauan Indonesia.

Musim penangkapan ikan di perairan Kota Tegal sama dengan musim penangkapan di Laut Jawa dan pada umumnya sangat dipengaruhi oleh perubahan pola arah angin. Pola angin sangat erat hubungannya dengan keadaan

(4)

iklim muson di Indonesia (BPPP, 1996). Menurut Nontji (1987) iklim muson dibagi menjadi 3 periode yaitu musim barat (Desember – Maret), musim Timur (Juni – Agustus) dan musim peralihan (April – Mei dan September – Nopember). Pola angin tersebut berimplikasi terhadap perubahan suhu, arah arus, kecepatan arus, salinitas.

Pada musim barat gelombang yang terjadi lebih besar dibandingkan pada musim timur, sehingga puncak upaya penangkapan ikan yang terbesar terjadi pada musim timur. Pada saat itu banyak armada penangkapan yang beroperasi, hal ini disebabkan karena armada penangkapan di wilayah perairan Kota Tegal terutama nelayan kecil sebagian besar menggunakan perahu berukuran berukuran kecil (< 10 GT). Nelayan jaring arad beroperasi sepanjang tahun, namun intensitas operasinya dipengaruhi oleh musim penangkapan. Hal ini karena nelayan kecil Kota Tegal tidak memp unyai pilihan lain dalam mencukupi kebutuhan ekonominya selain melaut (Puslitbang Perikanan, 1991).

2.3 Perkembangan Unit Penangkapan Ikan dan Produksi

Perahu/kapal penangkapan ikan yang digunakan oleh nelayan Kota Tegal ada tiga macam yaitu perahu tanpa motor, perahu motor tempel dan kapal motor. Jumlah perahu/kapal penangkapan disajikan pada Tabel 2. Jumlah total perahu/kapal penangkapan dari tahun ke tahun menunjukkan peningkatan kecuali pada tahun 2004. Perkembangan perahu/kapal penangkapan menunjukkan peningkatan yang berbeda untuk setiap jenis nya. Kapal motor mengalami peningkatan yang cukup besar yaitu terjadi pada tahun 1998 sebesar 165,07 %, sedangkan pada tahun 2003 kapal motor mengalami jumlah yang tertinggi dan peningkatannya yaitu sebesar 22,43% dibandingkan tahun sebelumnya. (Dinas Pertanian dan Kelautan Kota Tegal, 2005).

Perahu motor tempel jumlahnya cenderung menurun sejak tahun 2001, penyebabnya adalah nelayan menjual perahu karena makin tingginya biaya operasional terutama biaya BBM dan berkurangnya hasil tangkapan (BPPP Tegal, 2005).

(5)

Tabel 2 Jumlah perahu/kapal penangkapan di Kota Tegal tahun 1997 – 2004 Tahun Perahu Tanpa

Motor (Unit) Perahu Motor Tempel (Unit) Kapal Motor (Unit) Jumlah (Unit) 1997 21 505 146 672 1998 14 535 387 936 1999 10 393 419 822 2000 12 469 455 936 2001 17 538 467 1022 2002 27 424 602 1053 2003 36 413 767 1216 2004 3 418 636 1057

Sumber : Dinas Pertanian dan Perikanan Kota Tegal (2005)

Alat tangkap yang dipergunakan oleh nelayan Kota Tegal dala m melakukan operasi penangkapan sangat beragam. Jenis-jenis alat tangkap tersebut disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3 Jenis dan jumlah alat tangkap yang beroperasi di Kota Tegal tahun 1997 – 2004

No. Janis Alat Tangkap 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 1 Purse seine 65 66 89 122 154 202 243 201 2 Gill net 20 17 18 16 27 28 25 21 3 Jaring dogol/cantrang 286 365 380 368 343 327 321 347 4 Payang 30 9 9 9 9 9 9 9 5 Trammel net 79 86 64 26 22 36 29 36 6 Pukat pantai 29 18 27 27 27 24 21 8 7 Pancing rawai 57 70 78 64 26 36 41 36

8 Jaring insang lingkar 12 9 9 7 5 5 4 0

9 Jaring kerang garuk 12 9 9 9 8 8 8 0

10 Jaring rampus 48 40 30 12 12 12 12 0

11 Jaring cumi 0 0 0 1 0 0 0 0

12 Jaring arad 39 48 101 274 402 359 361 339

13 Alat tangkap lain 101 58 32 24 6 7 5 32

Jumlah 778 795 846 959 1041 1053 1079 1029

Sumber : Dinas Pertanian dan Kelautan Kota Tegal (2005)

Jumlah alat tangkap yang digunakan oleh nelayan yang terbanyak yaitu jenis purse seine, jaring dogol/cantrang dan jaring arad. Berdasarkan desain dan cara pengoperasiannya jaring dogol, cantrang dan jaring arad merupakan trawl. Pada tahun 2004 alat tangkap yang identik dengan trawl jumlahnya sekitar 686 unit (67%), sedangkan jaring arad sebesar 33% dari total alat tangkap yang ada di Kota Tegal. Nelayan yang menggunakan armada motor tempel sebagian besar menggunakan alat tangkap jaring arad yang dioperasikan di perairan pantai

(6)

dengan tipe dasar perairan lumpur berpasir dan topografi datar, kedalaman perairan berkisar 5 – 10 m (BPPP Tegal, 2005).

Dari keseluruhan alat tangkap yang digunakan, jaring arad merupakan alat tangkap dengan jumlah nomor dua terbesar setelah jaring dogol dan cantrang yaitu 339 unit pada tahun 2004. Perkembangan jaring arad mengalami peningkatan yang sangat pesat terjadi pada tahun 2000 sebesar 171,29%, jumlah terbanyak terjadi pada tahun 2001 sejumlah 402 unit. Akan tetapi sejak tahun 2002 alat tangkap jaring arad mengalami penurunan. Hal ini seiring dengan penurunan jumlah perahu motor tempel yang sebagian besar digunakan dalam pengoperasian jaring arad (Dinas Pertanian dan Kelautan Kota Tegal 2005).

Dalam mendukung kegiatan perikanan tangkap di Kota Tegal terdapat tiga Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI), yaitu PPI Pelabuhan, PPI Tegalsari dan PPI Muarareja yang dilengkapi dengan Tempat Pelelangan Ikan (TPI), (Dinas Pertanian

dan Kelautan Kota Tegal, 2005).

Dari ketiga PPI yang ada aktifitas pelelangan ikan hanya berlangsung di TPI Pelabuhan dan TPI Tegalsari, sedangkan di TPI Muarareja tidak ada aktifitas pelelangan ikan. Produksi perikanan tangkap di tiga PPI tersebut disajikan pada Tabel 4.

Tabel 4 Produksi perikanan tangkap disetiap PPI tahun 1995 – 2004

Produksi (kg) Tahun

PPI Pelabuhan PPI Tegalsari PPI Muarareja

Jumlah 1995 18.545.177 2.021.001 61.752 20.627.930 1996 19.008.390 2.800.553 25.207 21.834.150 1997 21.900.585 2.550.578 14.638 24.465.801 1998 19.934.228 2.844.891 14.561 22.793.680 1999 19.594.516 2.577.776 5.448 22.177.740 2000 21.851.351 1.693.981 4.629 23.549.961 2001 29.753.871 1.264.701 1.839 31.020.411 2002 30.461.082 1.278.987 1.018 31.741.087 2003 26.790.740 923.445 783 27.714.968 2004 24.776.131 2.340.648 536 27.117.315

Sumber : Dinas Pertanian dan Kelautan Kota Tegal (2005)

Hasil tangkapan nelayan yang didaratkan PPI Pelabuhan merupakan hasil tangkapan yang berasal dari alat tangkap purse seine dan gill net yang menggunakan armada kapal motor yang berukuran > 10 GT. Armada tersebut dalam satu kali trip membutuhkan waktu lebih dari dua minggu karena daerah

(7)

penangkapannya sudah sangat jauh. Alat tangkap pukat pantai, payang, dogol, cantrang dan jaring lingkar, hasil tangkapannya didaratkan di PPI Tegalsari, sedangkan PPI Muarareja hanya mendaratkan hasil tangkapan alat tangkap jaring arad, bundes dan trammel net yaitu berupa udang yang langsung di jual ke bakul. Apabila nelayan menghasilkan tangkapan ikan dalam jumlah besar mereka menjualnya di TPI Tegalsari, tetapi jumlahnya tidak terdata dalam laporan hasil tangkapan di TPI, (Dinas Pertanian dan Kelautan Kota Tegal, 2005 ).

2.4 Sumberdaya Wilayah Pesisir

Wilayah pesisir berdasarkan Naskah Akademik Pengelolaan Wilayah Pesisir dapat didefenisikan melalui tiga pendekatan, yaitu pendekatan ekologis, pendekatan administratif dan pendekatan perencanaan. Berdasarkan aspek ekologis wilayah pesisir adalah wilayah yang masih dipengaruhi oleh proses-proses laut seperti pasang surut ke arah darat dan sedimentasi ke arah laut. Dari aspek administratif wilayah pesisir adalah wilayah yang secara administrasi pemerintahan memp unyai batas terluar sebelah hulu dari kecamatan atau kabupaten/kota yang mempunyai laut dan kearah laut sejauh 12 mil dari garis pantai untuk provinsi atau sepertiga untuk kabupaten/kota yaitu sekitar 4 mil. Ditinjau dari aspek perencanaan, wilayah pesisir adalah wilayah perencanaan pengelolaan yang difokuskan pada isu-isu yang akan ditangani secara bertanggungjawab (Bengen, 2004).

Wilayah pesisir adalah unik, memiliki nilai ekonomi tinggi, namun terancam keberlanjutannya. Di wilayah pesisir terdapat berbagai habitat dan ekosistem seperti estuari, terumbu karang, padang lamun (sea grass), dan hutan mangrove. Ekosistem wilayah pesisir berperan penting sebagai penyedia pangan, tempat perlindungan dan tempat berkembangbiak berbagai jenis ikan, udang, kerang dan biota laut lainnya selain itu ekosistem mangrove dan terumbu karang juga memiliki fungsi yang sangat penting yaitu sebagai pelindung pantai dan pemukiman pesisir dari hantaman gelombang, badai dan erosi pantai (Bengen, 2002). Wilayah pesisir juga merupakan tempat kompetisi antara pemangku kepentingan (stakeholders) dalam pemanfaatan wilayah dan sumberdaya yang ada dan sering berujung pada konflik dan kerusakan integritas fungsi ekosistem (BAPPENAS, 2004).

(8)

Ekosistem wilayah pesisir mempunyai keterkaitan ekologis yang erat antara satu dengan lainnya, sehingga mempunyai produktivitas yang tinggi dan berperan penting dalam menunjang sumberdaya ikan. Hal ini dapat dilihat dari kenyataan bahwa kehidupan dari sekitar 85% biota laut tropis, termasuk Indonesia, bergantung pada ekosistem pesisir. Demikian pula sekitar 90% dari total hasil tangkapan ikan dunia berasal dari perairan pesisir (Berwick, 1993; FAO, 2000 diacu dalam Bengen 2004).

Menurut Dahuri (2004) dalam mencapai keberlanjutan sumberdaya di wilayah pesisir diperlukan adanya keterpaduan (integration) yang mengandung tiga dimensi yaitu : sektoral, bidang ilmu dan keterkaitan ekologis. Keterpaduan secara sektoral berarti bahwa perlu adanya koordinasi tugas, wewenang dan tanggung jawab antar sektor atau instansi pemerintah tertentu (horizontal

integration) dan antar tingkat pemerintahan mulai dari tingkat desa, kecamatan,

kabupaten dan provinsi sampai pusat (vertical integration). Keterpaduan dari sudut pandang keilmuan mensyaratkan bahwa di dalam pengelolaan wilayah pesisir hendaknya dilaksanakan atas dasar pendekatan interdisiplin ilmu (interdisciplinary approaches),yang melibatkan bidang ilmu: ekonomi, ekologi, teknik, sosiologi, hukum, dan lainnya yang relevan. Ini wajar karena wilayah pesisir pada dasarnya terdiri dari sistem sosial yang terjalin secara kompleks dan dinamis. Seperti diketahui bahwa wilayah pesisir pada dasarnya tersusun dari berbagai macam ekosistem (mangroves, terumbu karang, estuaria, pantai berpasir, dan lainnya) yang satu sama lainnya saling terkait, tidak berdiri sendiri. Perubahan atau kerusakan yang menimpa satu ekosistem akan menimpa pula ekosistem lainnya. Selain itu, wilayah pesisir juga dipengaruhi oleh berbagai macam kegiatan manusia maupun proses-proses alamiah yang terdapat di lahan atas (upland areas) maupun laut lepas (oceans).

2.5 Gambaran Umum Trawl

Trawl adalah alat penangkapan ikan yang berbentuk kantong, terbuat dari

jaring dengan mesh size (mata jaring) yang berbeda-beda pada setiap bagian, mempunyai sepasang sayap yang merupakan perpanjangan dari dinding kiri dan kanan badan (body) jaring. Trawl dioperasikan dengan cara menarik jaring secara horizontal dengan menggunakan kapal, dan jaring bergerak bersama-sama kapal

(9)

(Nedelec, 1982). Menurut Subani dan Barus (1989) trawl adalah suatu jaring kantong yang ditarik di belakang kapal menelusuri permukaan dasar perairan untuk menangkap udang dan ikan demersal. Ikan (termasuk udang) tertangkap karena penyaringan air oleh mulut jaring. Luas bukaan mulut jaring berbanding lurus dengan hasil tangkapan.

Berdasarkan kedudukan jaring dalam air selama operasi penangkapan,

trawl dibedakan menjadi surface trawl (trawl permukaan), mid-water trawl (trawl

pertengahan) dan bottom trawl (trawl dasar). Dari letak penarikannya oleh kapal,

trawl dibedakan menjadi side trawl, stern trawl dan double rig trawl (Ayodhyoa,

1981).

Trawl merupakan alat tangkap udang yang paling efektif dibandingkan

dengan alat tangkap lain seperti jaring trammel dan jaring klitik. Dalam pengoperasiannya, selain udang yang menjadi sasaran penangkapan (target

species) dari trawl, tertangkap pula berbagai jenis ikan dan organisme dasar

lainnya sebagai hasil tangkap sampingan, HTS (by-catch). Banyaknya HTS yang tertangkap dan tidak dimanfaatkan serta dibuang kembali ke laut telah menjadi permasalahan perikanan trawl di dunia. Hasil tangkapan sampingan maupun udang berukuran kecil (immature size) yang mati tertangkap dan dibuang kembali ke laut, dapat memberikan dampak buruk terhadap lingkungan perairan maupun kelestarian sumberdaya ikan (Pascoe,1997).

Dwiponggo (1998) melalui publikasi penelitiannya berjudul “Recovery of

over-exploited demersal resource and growth of its fishery on the north coast of Java” menyimpulkan bahwa penghapusan trawl di perairan utara Jawa mulai

tahun 1980 mempunyai dampak positif terhadap sumberdaya ikan demersal. Sumberdaya ikan demersal yang telah dimanfaatkan secara berlebih sebelum penghapusan trawl, telah kembali pulih pada kondisi semula setelah penghapusan

trawl berjalan selama lima tahun.

Keragaman ukuran jaring (pukat) yang termasuk kategori trawl adalah tidak begitu beragam, karena di perairan Jawa (WPP III) hanya berkembang pada kelas ukuran mini (mini trawl), sedangkan di Sibolga didominasi oleh pukat ikan yang masuk kategori ukuran besar (fish net) dan stern trawl, untuk tipe cungking di pantai Barat Bengkulu juga berkembang stern trawl sedang (senso) tetapi dari

(10)

macam dan jenisnya bervariasi (Suhariyanto, 2005). Keragaman jenis alat tangkap trawl yang berkembang di WPP III dan IX ditampilkan pada Tabel 5.

Tabel 5 Jenis, ukuran dan penyebaran trawl di WPP III dan WPP IX

Ukuran Macam-macam

Jenis Trawl

Tipe Penyebaran dan

Kondisinya Mini/Kecil

Kapal < 10 GT

Arad berpalang Modifikasi Krakat

(pukat pantai)

Pantura Jateng (sudah tidak ada) ukuran kapal <5 GT ukuran mesin 15-33 PK

Arad berpapan Modifikasi Krakat

(pukat pantai)

Pantura Jateng (Brebes dilarang) ukuran kapal <5 GT ukuran mesin 15-33 PK Cantrang berpalang Modifikasi cantrang

Pantura Jateng (sudah tidak ada)

ukuran kapal <5 GT ukuran mesin 15-33 PK

Cotok (otok) Modifikasi garuk

cantrang Pantura Jawa Ukuran kapal <5 GT Ukuran mesin 15-33 PK Lampara dasar berpalang Modifikasi lampara dasar

Kalsel dan Kalteng (sudah tidak ada) ukuran kapal <5 GT ukuran mesin 15-33 PK Lampara dasar berpapan Modifikasi lampara dasar

Kalsel dan Kalteng ukuran kapal <5 GT ukuran mesin 15-33 PK

Dogol berpapan Modifikasi dogol Pati, Rembang (sudah

dilarang)

ukuran kapal <5 GT ukuran mesin 15-33 PK Mini beam

trawl

Asli Probolinggo (sudah tidak

ada), Kalteng dan Kalsel ukuran kapal >5 GT ukuran mesin 15-33 PK Sedang

(Kapal 10-30 GT)

Trawl Asli Cilacap (sejak tahun 1990

dilarang), Sibolga dan Bengkulu

ukuran kapal 20-30 GT ukuran mesin 75-250 PK Besar

(Kapal > 30 GT)

Pukat ikan Modif ikasi payang Sibolga

ukuran kapal 60-105 GT ukuran mesin >300 PK Sumber : BPPI Semarang (2005)

(11)

2.6 Jaring Arad dan Hasil Tangkapan

Jaring arad merupakan jaring kantong yang terdiri dari sepasang sayap (wing), badan jaring (body), kantong (cod-end), pembuka mulut jaring (otter

board) dan tali selambar (warp), bahan jaring seluruhnya terbuat dari polyethylene

panjang total jaring arad 16-22 m (Manadiyanto et al., 2000). Ilustrasi jaring arad dapat dilihat pada Gambar 3

Prinsip pengoperasiannya adalah jaring arad dihela atau diseret di atas dasar perairan selama jangka waktu tertentu (1-3 jam) untuk setiap kali operasi menggunakan perahu motor tempel (perahu compreng) bermesin ganda dengan ukuran yang bervariasi. Lamanya trip operasi adalah satu hari trip (one day

fishing ) dan dua hari trip (two day fishing) (Purbayanto et al.,2003).

Target utama jaring arad adalah udang. Secara umum jaring arad dioperasikan pada waktu musim udang yang berukuran relatif sempit, dan pada waktu udang berukuran besar biasanya nelayan lebih memilih menggunakan

trammel net karena hasilnya lebih selektif, kualitas hasilnya baik karena jarang

yang rusak dan harganya lebih mahal. Pola operasi penangkapan dilakukan pada malam hari dengan tujuan agar dapat menangkap udang windu (Suhariyanto, 2005).

Gambar 3 Alat tangkap jaring arad yang digunakan nelayan Kota Tegal(BPPI,1996)

Keterangan :

1. Kantong 8. Tali ris atas 2. Badan 9. Tali pendant 3. Tali penguat 10. Papan pembuka 4. Sayap 11. Bridle line 5. Pemberat 12. Danleno 6. Tali ris bawah 13. warp 7. Pelampung

(12)

Jenis krustase yang tertangkap jaring arad adalah udang windu (Penaeus

monodon), udang jerbung (Penaeus merguensis), udang dogol (Metapenaeus ebarocensis) dan udang krosok (Trachypenaeus fulvus) serta kepiting (Scylla serata) dan rajungan (Portunus pelagicus). Jenis hasil tangkapan ikan adalah

pepetek (Leiognathus spp), gulamah (Argyrosomus amoyensis), beloso (Saurida

tumbil), tenggiri (Scomberomorus spp), kembung (Rastrellinger spp), cumi cumi

(Loligo spp), manyung (Arius thalassinus), lidah (Cynoglossus lingua), (Manadiyanto et al., 2000; Purbayanto et al., 2003). Komposisi hasil tangkapan nelayan jaring arad di Kota Tegal yaitu ikan campuran 80%, ikan beloso, pepetek, gulamah dan tiga waja 18%, dan udang 1-2% (BPPP Tegal, 2005).

Menurut Suharyanto (2005), jumlah hasil tangkapan per setting jaring arad berkisar 4-9 kg dengan CPUE sekitar 30-54 kg/trip /unit. Untuk nelayan Kota Tegal one-day fishing, jumlah trip per tahun sebanyak 240 trip (Suharyanto, 2005; BPPP Tegal, 2005).

2.7 Selektivitas Alat Tangkap

Selektivitas dapat didefinisikan sebagai ukuran kuantitatif kemampuan alat untuk menangkap ikan terhadap spesies dan ukuran ikan tersebut (Losanes et al., 1992). Kemampuan tersebut berkaitan dengan menghindarnya ikan dari jaring yang merupakan proses penentu peluang tertangkapnya ikan. Peluang ini bervariasi menurut karakteristik ikan seperti bentuk badan, bagian yang terjerat dan ukuran mata jaring.

Fridman (1986) menyatakan bahwa selektivitas merupakan sifat alat dalam menangkap ukuran dan jenis ikan tertentu dalam suatu populasi. Sifat ini tergantung pada prinsip yang digunakan dalam operasi penangkapan ikan, tetapi tergantung juga pada parameter desain alat tangkap seperti mata jaring, bahan dan ukuran benang, hanging ratio dan kecepatan penarikan jaring. Selain cara penangkapan, ukuran mata jaring memiliki pengaruh yang besar terhadap selektivitas alat.

Selektivitas umumnya digambarkan sebagai suatu ukuran relatif. Dalam metode perhitungan tidak langsung (indirect estimation method) nilai selektivitas 100 % bukan berarti bahwa semua ikan tertangkap dalam operasi penangkapan. Hal tersebut hanya menandakan bahwa alat tangkap tersebut memiliki efisiensi

(13)

relatif tertinggi. Selektivitas merupakan fungsi dari suatu alat penangkapan ikan dalam menangkap`organisme dalam jumlah spesies tertentu dan selang ukuran tertentu pada suatu populasi di daerah penangkapan ikan. Selektivitas alat penangkapan terdiri dari dua komponen yaitu selektivitas ukuran dan selektivitas spesies (Matsuoka, 1995).

Perbaikan teknologi trawl sehingga memenuhi kriteria ramah lingkungan dapat dilakukan melalui peningkatan selektivitas di bagian kantong (cod-end) dari

trawl. Berbagai cara dapat dilakukan untuk meningkatkan selektivitas trawl

seperti penggunaan BED (Evans dan Wahyu, 1996).

Masing- masing metode tersebut perlu diteliti secara cermat sehingga ditemukan suatu metode yang paling sesuai dengan kondisi sumberdaya dan lingkungan serta kebiasaan ne layan. Kalau tidak maka perbaikan selektivitas trawl tersebut akan sia-sia sebagaimana halnya dengan penerapan BED pada pukat udang di Indonesia timur yang tidak efektif sehingga nelayan enggan menggunakannya (Evans dan Wahyu, 1996).

2.8 Karakteristik Sosial Ekonomi Masyarakat Nelayan

Secara sosiologis karakteristik masyarakat nelayan berbeda dengan masyarakat petani seiring dengan perbedaan sumberdaya alam yang tersedia. Masyarakat petani memiliki sumberdaya yang terkontrol, yaitu pengelolaan lahan untuk memproduksi suatu komoditas dengan output yang dapat diprediksi menyebabkan mobilitas usaha yang relatif rendah dan elemen resiko yang tidak besar. Sementara itu nelayan mengakses sumberdaya alam yang bersifat open

access. Karakteristik sumberdaya ini menyebabkan nelayan mesti

berpindah-pindah untuk memperoleh hasil tangkapan yang maksimal sehingga resiko nelayan sangat tinggi. Hal ini berpengaruh pada karakter nelayan yang keras, tegas dan terbuka (Satria et al., 2002).

Menurut Kusnadi (2002), penggolongan sosial masyarakat nelayan dapat ditinjau dari tiga sudut pandang yaitu :

(1) Ditinjau dari penguasaan alat-alat produksi atau peralatan tangkap (perahu, jaring dan perlengkapan yang lain), struktur masyarakat nelayan terbagi kedalam kategori nelayan pemilik dan nelayan buruh. Nelayan buruh

(14)

tidak memiliki alat-alat produksi dan hanya menyumbangkan jasa tenaganya dengan memperoleh hak-hak yang sangat terbatas. Secara kuantitatif jumlah nelayan buruh lebih besar dibandingkan nelayan pemilik.

(2) Ditinjau dari skala investasi modal usahanya, struktur masyarakat nelayan terbagi kedalam kategori nelayan besar dan nelayan kecil. Disebut nelayan besar karena modal yang diinvestasikan dalam usaha perikanan relatif banyak, sedangkan pada nelayan kecil modal usahanya sedikit. (3) Ditinjau dari teknologi peralatan tangkap yang digunakan, struktur

masyarakat nelayan terbagi dalam kategori nelayan modern dan nelayan skala kecil. Perbedaan-perbedaan tersebut membawa implikasi pada tingkat pendapatan dan kemampuan atau kesejahteraan sosial ekonomi. Nelayan buruh dapat bekerja pada unit penangkapan yang dimiliki nelayan skala besar atau nelayan skala kecil. Tingkat pendapatan nelayan buruh yang bekerja pada nelayan skala besar tidak menjamin tingkat kesejahteraan yang lebih baik dibanding bila bekerja pada nelayan skala kecil. Hal ini karena ketimpangan sistem bagi hasil antara nelayan pemilik dengan nelayan buruh lebih besar terjadi pada unit penangkapan yang lebih modern.

Masyarakat nelayan umumnya dicirikan dengan kuatnya ikatan patron-klien. Ikatan tersebut merupakan konsekuensi dari sifat kegiatan penangkapan ikan yang penuh dengan resiko dan ketidakpastian. Bagi nelayan menjalin ikatan dengan patron merupakan langkah yang penting untuk menjaga kelangsungan kegiatannya karena patron-klien merupakan institusi jaminan sosial ekonomi. Menurut Legg (1983) diacu dalam (Satria et al., 2002), tata hubungan patron-klien umumnya berkaitan dengan :

(1) Hubungan diantara pelaku yang menguasai sumberdaya yang tidak sama; (2) Hubungan yang bersifat khusus yang merupakan hubungan pribadi yang

mengandung keakraban; dan

(3) Hubungan yang didasarkan pada asas saling menguntungkan.

Kemiskinan dan tekanan-tekanan sosia l ekonomi yang dihadapi oleh nelayan disebabkan oleh fluktuasi musim- musim penangkapan, terbatasnya daya

(15)

jangkau teknologi penangkapan, ketimpangan dalam sistem bagi hasil dan tidak adanya jaminan sosial tenaga kerja yang pasti, lemahnya penguasaan jaringa n pemasaran dan masalah permodalan (Kusnadi, 2002).

2.9 Pengelolaan Perikanan Berkelanjutan

Keberlanjutan (sustainability) menurut konsep pembangunan berkelanjutan diartikan sebagai keadilan antar generasi yang menjamin bahwa generasi- generasi mendatang me miliki warisan barang modal buatan, sumberdaya alam, human capital, dan social capital. Kondisinya paling tidak sama dengan yang dimiliki oleh generasi sekarang. Hal ini sukar atau bahkan tidak mungkin dapat dicapai jika proses perencanaan dan pengambilan keputusan hanya didasarkan pada konsep ekonomi konvensional yaitu memaksimalisasi kesejahteraan (Dahuri, 2003).

Permasalahan perikanan tangkap baik berupa permasalahan sosial ataupun kerusakan lingkungan dan menurunnya stok sumberdaya ikan sebenarnya telah lama timbul sejak manusia menggunakan laut atau perairan umum sebagai sumber untuk mendapatkan bahan pangan. Namun saat itu bobot permasalahan yang timbul tidak seberat apa yang dihadapi pada saat sekarang ini, dimana baik konflik sosial yang timbul akibat kompetisi besar-besaran dalam memperebutkan ikan yang menjadi tujuan penangkapan, ataupun kerusakan lingkungan serta punahnya beberapa spesies ikan yang diakibatkannya telah menunjukkan indikator yang sangat memprihatinkan bagi kelangsungan hidup gene rasi mendatang (Purbayanto dan Baskoro, 1998).

Fauzi dan Anna (2002) menyatakan bahwa kegiatan produksi untuk memanfaatkan sumberdaya perikanan secara berkelanjutan memiliki tiga komponen, yaitu (a) komponen biologis, (b) pengelolaan sumberdaya dan (c) sosial-ekonomi perikanan. Ketiga komponen tersebut saling berkaitan satu sama lain. Komponen biologis menjelaskan dinamika stok ikan, komponen pengelolaan sumberdaya menjelaskan dinamika kebijakan dalam pengelolaan sumberdaya perikanan, pengaturan armada pena ngkapan ikan (fishing effort), dan komponen sosial-ekonomi menjelaskan dinamika biaya dan keuntungan juragan pemilik asset dan pendapatan ABK (anak buah kapal) dalam operasi penangkapan ikan.

(16)

Kalau ketiga komponen tersebut dapat terkontrol dengan baik, maka pengembangan perikanan tangkap dapat dilakukan secara berkelanjutan.

Menurut Martasuganda (2002) teknologi penangkapan ikan yang berwawasan lingkungan adalah upaya yang terencana dalam penggunaan alat tangkap untuk mengelola sumberdaya perikanan secara bijaksana dan berkelanjutan dalam upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat tanpa mengganggu kualitas lingkungan. Berdasarkan Undang-Undang No. 31 tahun 2004 tentang pengaturan kegiatan dan pengelolaan perikanan di Indonesia, sasaran pengaturan dan pengelolaan tidak saja terpusat pada pencegahan terjadinya tangkap lebih tetapi juga cara-cara penangkapannya yang tidak mengganggu lingkungan hidup ikan (DKP, 2005).

Pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya perikanan pada dasarnya memiliki tujuan untuk meningkatkan kesejahteraan seluruh masyarakat, khususnya masyarakat pesisir. Oleh karena itu kelestarian sumberdaya harus dipertahankan sebagai landasan untuk mencapai kesejahteraan tersebut. Pengelolaan dan pemanfaatan yang dimaksud hendaknya tidak menyebabkan rusaknya daerah penangkapan ikan (fishing ground), daerah pemijahan (spawning

ground) maupun daerah asuhan (nursery ground) ikan. Selain itu tidak pula

merusak hutan mangrove, terumbu karang dan padang lamun yang memiliki keterkaitan ekologis dengan ikan. Aspek kelestarian sumberdaya juga berkaitan dengan kegiatan monitoring, controling dan evaluation terhadap ketersediaan sumberdaya ikan termasuk kondisi lingkungan perairan. Dengan demikian, pemerintah daerah dapat menentukan jumlah total sumberdaya ikan yang diperbolehkan untuk ditangkap atau total allowable catch (TAC) untuk setiap tahunnya (Satria et al., 2002).

Proses pemanfaatan sumberdaya ikan disamping perlu menjamin produk yang kompetitif juga perlu memenuhi persyaratan sebagai produk yang berwawasan lingkungan, sehingga teknologi penangkapan ikan yang digunakan dalam proses produksi akan dihadapkan pada beberapa persyaratan yaitu : (1) tidak membahayakan kelestarian target spesies; (2) tidak mengakibatkan tertangkapnya kehidupan biota yang dilindungi; (3) tidak mengganggu

(17)

keseimbangan ekologis; (4) tidak merusak habitat dan; (5) tidak membahayakan keselamatan nelayan dan konsumen (Monintja, 1996).

Arimoto et al. (2000) diacu dalam Sudirman (2003) menyarankan perlunya melakukan evaluasi untuk melihat dampak suatu alat tangkap terhadap lingkungan. Evaluasi ini dapat dilakukan dalam 2 tahap yaitu; (1) analisis data tangkapan (catch data analysis) jangka panjang terhadap ukuran dan spesies hasil tangkapan; (2) melakukan evaluasi dampak negatif penangkapan terhadap lingkungan (fishing ground), hilangnya alat tangkap, polusi yang ditimbulkan, dampak bio-diversity (komposisi hasil tangkapan, by-catch dan discard catch) dan dampak terhadap target sumberdaya (penangkapan yang intensif dan tertangkapnya ikan- ikan muda).

Perikanan yang ramah lingkungan harus mempunyai kriteria sebagai berikut : selektivitasnya tinggi, by-catch rendah, tangkapan segar, tidak merusak habitat, bio-degradable, legal, aman bagi spesies yang dilindungi, aman bagi

biodiversity, aman bagi nelayan, konsumsi terhadap BBM rendah, investasi

rendah, menguntungkan dan secara sosial diterima masyarakat (FAO, 1999). Berdasarkan pengalaman pengelolaan perikanan di negara maju dalam memanfaatkan sumberdaya ikan yang optimal, beberapa hal berikut ini perlu menjadi perhatian sebagai acuan pengelolaan, sebagai berikut (Sukardi et al., 1995)

(1) Pemahaman bahwa pengelolaan sumberdaya ikan yang optimal adalah mutlak perlu diupayakan oleh pemerintah.

(2) Sejak perencanaan sampai evaluasi pengelolaan digunakan cara kerja yang transparan, demokratis serta melibatkan pihak yang berperanserta baik pengelola maupun industri dan nelayan.

(3) Strategi isu yang berkembang selalu diikuti dengan seksama dan melakukan pendekatan partisipatori dan keterpaduan.

(4) Pemanfaatan dilakukan dalam konteks pengelolaan lokal, regional maupun internasional.

(18)

(5) Perencanaan pengelolaan berdasarkan pada data dan informasi yang berkualitas tinggi yang dikumpulkan secara terus menerus untuk keperluan perencanaan, implementasi dan evaluasi pengelolaan.

(6) Menggunakan kelompok masyarakat para pendukung (seperti ilmuwan/pakar, pengelola dan masyarakat nelayan/industri) untuk kemudahan masukan bagi pengelolaan.

(7) Membangun kemampuan pengelolaan sumberdaya ikan tingkat lokal (community based management).

(8) Menggunakan sumber data dan informasi yang terkelola dengan baik untuk membuat keputusan dan langkah- langkah pengelolaan.

Gambar

Gambar 2  Perkembangan jumlah nelayan Kota Tegal tahun 1995 – 2004  2.2 Daerah  dan Musim  Penangkapan Ikan
Tabel  1 Jalur-jalur penangkapan ikan di Indonesia berdasarkan Kepmentan No.
Tabel  2 Jumlah perahu/kapal penangkapan di Kota Tegal tahun 1997 – 2004  Tahun  Perahu Tanpa
Tabel 4 Produksi perikanan  tangkap disetiap PPI tahun 1995 – 2004   Produksi (kg)
+3

Referensi

Dokumen terkait

Dengan tidak mengurangi tugas dan tanggung jawab Menteri dalam pembinaan teknis dan pengawasan teknis, kepada Daerah diserahkan sebagian urusan pemerintahan dalam bidang lalu lintas

Skala motivasi beragama disusun peneliti dengan menggunakan Teori dari Adrew, Abdullah Hadziq, dan Nico Syukur Dister, dan dari teori tersebut aspek yang dipakai dalam

 Al-Badi' adalah Dia yang menciptakan segala sesuatu pertama kali sehingga tidak ada yang dapat menyerupai ciptaan-Nya, baik dalam zatnya, sifatnya, tindakannya,

Dalam realisasinya terlebih dahulu dibentuk model LP yang terdiri dari fungsi tujuan yang diperoleh dari hasil perhitungan perkembanngan keuntungan penjulan susu pasteurisasi

Ekspresi tuntutan adalah suatu upaya yang dilakukan oleh penerima manfaat dalam suatu program kepada organisasi pelaksana sebagaimana apa yang dirasakan oleh

Program Studi Teknik Elektro Universitas Nusa Putra mendorong penggiat  hobi dan teknik siswa SMA, SMK, dan MA lulusan 2020 untuk berinovasi  melalui: ide, solusi, produk, hobi

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mempelajari pengaruh variasi perekat terhadap massa bahan baku pada daur ulang karton kemasan aseptik, menganalisa kualitas fisik

Keterbukaan negara Malaysia menyambut baik kehadiran warganegara asing untuk membantu meningkatkan ekonomi negara mendapat perhatian khususnya warga Bangladesh yang sentiasa