• Tidak ada hasil yang ditemukan

PARASIT DALAM SEL DARAH MERAH MUSANG LUAK (Paradoxurus hermaphroditus) DI JAWA MARITRANA PUTRI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PARASIT DALAM SEL DARAH MERAH MUSANG LUAK (Paradoxurus hermaphroditus) DI JAWA MARITRANA PUTRI"

Copied!
48
0
0

Teks penuh

(1)

PARASIT DALAM SEL DARAH MERAH MUSANG LUAK

(Paradoxurus hermaphroditus) DI JAWA

MARITRANA PUTRI

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2012

(2)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER

INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi Parasit Dalam Sel Darah Merah Musang Luak (Paradoxurus hermaphroditus) di Jawa adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, September 2012

Maritrana Putri

(3)

ABSTRACT

MARITRANA PUTRI. Intraerythrocytic Parasite of Java Common Palm Civet (Paradoxurus hermaphroditus). Under the guidance of UMI CAHYANINGSIH and ARYANI SISMIN SATYANINGTIJAS.

This research was conducted to observe the infection of intraerythrocytic parasite of Java common palm civet (Paradoxurus hermaphroditus). Blood sample was collected for four times during 7 weeks. The first blood sample was collected immediately after the common palm civet just arrived from its natural habitat, and then adapted for 30 days before the next blood sampling were taken every week. The results of this study found that the common palm civet was infected by Babesia sp., Theileria sp., and Anaplasma sp. The infection rate from the highest is Anaplasma sp. (0.35 ± 0.05) %, Theileria sp. (0.12 ± 0.05) %, and Babesia sp. (0.03 ± 0.02) % respectively. The mean percentage of Babesia sp. and Anaplasma sp. decreased during the study, while percentage of Theileria sp. increased until the end of study. The sex of common palm civet did not affect the infestation of intraerythrocytic parasites.

(4)

RINGKASAN

MARITRANA PUTRI. Parasit Dalam Sel Darah Merah Musang Luak

(Paradoxurus hermaphroditus) di Jawa. Di bawah bimbingan UMI CAHYANINGSIH dan ARYANI SISMIN SATYANINGTIJAS.

Musang luak (Paradoxurus hermaphroditus) di Jawa merupakan suatu hewan mamalia yang termasuk suku musang dan garangan (Viverridae) dengan banyak anggota subspesies. Dalam hubungannya dengan manusia, musang luak memiliki nilai ekologi yaitu sebagai agen peremajaan hutan dan nilai ekonomi yang didapatkan dari kopi hasil pencernaan musang luak yang dikenal sebagai kopi luak. Kopi luak termasuk salah satu kopi termahal dengan harga mencapai $100-$600 per pon atau sekitar Rp 1.000.000-Rp 6.000.000 per setengah kilogram dan di Amerika Serikat dijual sekitar $175 (Taye 2009). Upaya pengelolaan kesehatan sangat diperlukan untuk mencegah timbulnya penyakit yang dapat menurunkan kualitas dan daya hidup musang luak yang berdampak pada penurunan nilai ekologi dan nilai ekonomi musang luak itu sendiri. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi jenis parasit dalam sel darah merah musang luak di Jawa dan mengetahui persentase parasitemia tiap parasit darah. Pengambilan sampel darah dilakukan sebanyak empat kali pada enam musang luak selama tujuh minggu. Pengambilan sampel darah pertama dilakukan segera setelah musang luak didatangkan dari habitat aslinya. Oleh karena itu data yang diperoleh diasumsikan sebagai kondisi musang luak pada habitat aslinya. Musang luak kemudian diadaptasikan selama 30 hari sebelum pengambilan darah kedua dan seterusnya yang diambil dengan selang waktu 7 hari sebanyak 2 kali. Dari hasil penelitian dapat dilihat bahwa musang luak di Jawa terinfeksi parasit darah yaitu

Babesia sp., Theileria sp., dan Anaplasma sp. Persentase parasitemia tertinggi

secara berurutan adalah Anaplasma sp. sebesar (0.35 ± 0.05) %, Theileria sp. sebesar (0.12 ± 0.05) %, dan Babesia sp. sebesar (0.03 ± 0.02) %. Persentase

Babesia sp. dan Anaplasma sp. menunjukkan penurunan hingga pengambilan

darah keempat, sedangkan Theileria sp. meningkat hingga pengambilan darah keempat. Tidak terdapat pengaruh jenis kelamin musang luak terhadap infeksi parasit dalam sel darah merah.

(5)

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2012 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

(6)

PARASIT DALAM SEL DARAH MERAH MUSANG LUAK

(Paradoxurus hermaphroditus) DI JAWA

MARITRANA PUTRI

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada

Fakultas Kedokteran Hewan

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2012

(7)

Judul Skripsi : Parasit Dalam Sel Darah Merah Musang Luak (Paradoxurus

hermaphroditus) di Jawa

Nama : Maritrana Putri

NIM : B04080051

Disetujui,

Dr. drh. H. Umi Cahyaningsih, MS. Dr. drh. Aryani S. Satyaningtijas, MSc, AIF.

Pembimbing I Pembimbing II

Diketahui,

drh. H. Agus Setiyono, MS, Ph.D., AP.Vet. Wakil Dekan Fakultas Kedokteran Hewan

(8)

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah memberikan rahmat, petunjuk, kemampuan, dan kasih sayang-Nya, sehingga skripsi dengan judul Parasit Dalam Sel Darah Merah Musang Luak (Paradoxurus

hermaphroditus) di Jawa ini dapat terselesaikan dan dapat dipergunakan sebagai

salah satu prasyarat untuk mendapatkan gelar Sarjana pada Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.

Pada kesempatan kali ini, penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada semua pihak yang terlibat secara langsung ataupun tidak langsung dalam menyelesaikan skripsi ini, yaitu :

1. Dr. drh. H Umi Cahyaningsih, MS dan Dr. drh. Aryani Sismin Satyaningtijas, M.Sc., AIF. sebagai dosen pembimbing yang dengan penuh kesabaran memberikan bimbingan, motivasi, waktu, dan pemikiran selama proses penelitian dan penyusunan skripsi ini.

2. Kedua orang tua (Papa Budi Cahyono dan Mama Susialis Budi Utami) dan kakak-kakakku (Femi Souvranita Hayuningtyas, Yulita Dwi Puspasari, dan Syaiful Aliem) yang senantiasa mendoakan, membimbing, dan memberikan dukungan dalam menyelesaikan skripsi ini, serta kepada keponakan tersayang Alif Pirata Muhammad dan Cinta Alfela Alisha yang selalu menghibur penulis.

3. Staf Parasitologi FKH atas bantuan dan kerja sama selama penelitian. 4. Purnomo dan Mursyid yang telah memberikan kesempatan kepada

penulis untuk bergabung dalam penelitian ini, dan teman terbaikku Ajeng Kandynesia dan Khansaa Mirajziana yang selalu menemani, mendukung, dan memberi semangat kepada penulis, serta teman-teman Avenzoar FKH 45 (B04080001-B04080168) yang telah memberi pelajaran hidup terbaik bagi penulis. Terima kasih atas kebersamaan dan semangatnya selama ini.

5. Semua pihak yang terlibat secara langsung ataupun tidak langsung dalam menyelesaikan skripsi ini.

Penulis menyadari penyusunan skripsi ini tidak luput dari kekurangan, oleh karena itu penulis berterima kasih atas kritik dan saran-saran yang bersifat membangun dari semua pihak demi kesempurnaan skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat.

Bogor, September 2012

(9)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Pamekasan-Madura pada tanggal 19 Mei 1989 dari ayah yang bernama Budi Cahyono dan ibu Susialis Budi Utami. Penulis merupakan anak ketiga dari tiga bersaudara. Pendidikan formal penulis ditempuh di SMA Negeri 1 Pamekasan dan lulus pada tahun 2008. Pada tahun 2008, penulis diterima sebagai mahasiswa Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor melalui Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI).

Selama perkuliahan, penulis aktif di berbagai organisasi kampus, antara lain sebagai anggota Keluarga Mahasiswa Madura (GASISMA), anggota Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) FKH kabinet Katalis-Departemen Sosial tahun 2009/2010, dan Himpunan Minat dan Profesi Hewan Kesayangan, Satwa Aquatik dan Eksotik (HKSA).

(10)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... xi

DAFTAR GAMBAR ... xii

PENDAHULUAN ... 1

Latar Belakang ... 1

Tujuan Penelitian ... 2

Manfaat Penelitian ... 2

TINJAUAN PUSTAKA ... 3

Taksonomi dan Morfologi Musang Luak (Paradoxurus hermaphroditus) 3 Populasi dan distribusi ... 4

Perilaku dan Reproduksi ... 5

Darah ... 7 Parasit Darah ... 8 Babesia sp. ... 9 Siklus Hidup ... 10 Gejala Klinis ... 12 Theleria sp. ... 12 Siklus Hidup ... 13 Gejala Klinis ... 15 Anaplasma sp. ... 15 Siklus Hidup ... 16 Gejala Klinis ... 17

BAHAN DAN METODE ... 18

Waktu dan Tempat Penelitian ... 18

Tahap Persiapan ... 18

Alat dan Bahan Penelitian ... 18

Metode Penelitian ... 18

Pembuatan Sediaan Ulas Darah ... 19

Analisis Data ... 19

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 20

Identifikasi Parasit Dalam Sel Darah Merah ... 20

Persentase Parasit Dalam Sel Darah Merah... 23

Babesia sp. ... 24

Theleria sp. ... 26

Anaplasma sp. ... 27

Persentase Parasit Dalam Sel Darah Merah Musang Luak Jantan dan Betina ... 28

(11)

SIMPULAN DAN SARAN ... 30

Simpulan ... 30

Saran ... 30

(12)

DAFTAR TABEL

Halaman

1 Rata–rata persentase parasitemia (Babesia sp., Theleria sp., dan Anaplasma sp.) pada musang luak tiap waktu pengambilan

darah ... 24 2 Rata–rata persentase Babesia sp. pada musang luak selama

44 hari ... 24 3 Rata-rata persentase Theileria sp. pada musang luak selama

44 hari. ... 26 4 Rata–rata persentase Anaplasma sp. pada musang luak selama

44 hari ... 27 5 Rata–rata persentase parasitemia (Babesia sp., Theileria sp., dan

(13)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Musang luak ... 3

2 Wilayah distribusi musang luak ... 4

3 Babesia sp. ... 9

4 Siklus hidup Babesia sp. ... 10

5 Theleria sp. ... 12

6 Siklus hidup Theleria sp. ... 13

7 Anaplasma sp. ... 15

8 Siklus hidup Anaplasma sp. ... 16

9 A. Babesia sp. (Pembesaran 1000x dengan pewarnaan Giemsa) B. Babesia canis ... 21

10 A. Theleria sp. (Pembesaran 1000x dengan pewarnaan Giemsa) B. Theleria sp. ... 21

11 A. Anaplasma sp. (Pembesaran 1000x dengan pewarnaan Giemsa) B. Anaplasma sp. ... 22

12 Rata–rata persentase Babesia sp. pada musang luak selama 44 hari ... 25

13 Rata–rata persentase Theleria sp. pada musang luak selama 44 hari ... 26

14 Rata–rata persentase Anaplasma sp. pada musang luak selama 44 hari ... 27

(14)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Musang luak (Paradoxurus hermaphroditus) merupakan suatu hewan mamalia yang termasuk suku musang dan garangan (Viverridae) dengan banyak anggota subspesies. Genus Paradoxurus terdiri dari 4 (empat) spesies yaitu common palm civet atau musang luak (Paradoxurus hermaphroditus), brown palm civet (Paradoxurus jerdoni), golden palm civet (Paradoxurus zeylonensis), dan Mentawai palm civet (Paradoxurus Zignicolor) (Schreiber et al. 1989). Dalam hubungannya dengan manusia, musang luak memiliki nilai ekologi dan ekonomi. Nilai ekologi dari seekor musang luak diperoleh dari peranannya sebagai agen peremajaan hutan yaitu sebagai pemencar biji-biji tanaman hutan. Spesies ini merupakan nokturnal omnivora, pakan utama musang luak adalah kopi, palem, dan buah-buahan yang telah masak. Terkadang spesies ini juga memakan vertebrata kecil, reptil, ataupun serangga (Abebe 2003). Musang luak memiliki sistem pencernaan yang kurang sempurna. Biji-bijian yang keras seperti biji kopi umumnya dikeluarkan kembali dari pencernaan berupa feses atau kotoran. Kotoran yang berupa biji-bijian akan tersebar disetiap tempat yang dilalui oleh musang luak sehingga memberikan implikasi positif bagi ekosistem hutan berupa peremajaan hutan (Mudappa et al. 2010).

Selain memiliki nilai ekologi, musang luak juga memiliki nilai ekonomi. Biji-biji kopi yang keluar bersamaan dengan kotoran musang luak memiliki nilai ekonomi yang tinggi sebagai biji kopi dengan kualitas tinggi. Dewasa ini, kopi yang berasal dari biji kopi hasil pencernaan musang luak dikenal sebagai kopi luak. Kopi luak merupakan salah satu kopi termahal di pasaran dunia, dijual dengan harga $100-$600 per pon atau sekitar Rp 1.000.000-Rp 6.000.000 per setengah kilogram dan di Amerika Serikat dijual sekitar $175 (Taye 2009). Selain penghasil biji kopi berkualitas tinggi, musang luak juga berperan dalam industri parfum. Beberapa parfum taraf dunia menggunakan bahan baku dari hormon musang yang mengandung zat kimia tertentu dengan aroma yang sangat harum. Ekstraksi hormon ini dikenal sebagai civet musk, yang bernilai ekonomi tinggi (Taye 2009, Tsegaye et al. 2008, Daniel et al. 2011). Civet musk di beberapa

(15)

2

negara Afrika merupakan bahan komoditas ekspor yang penting, bahkan di Ethiopia menyumbang sekitar 90% civet musk dunia (Taye 2009). Nilai ekonomi lain dari seekor musang luak juga terdapat pada dagingnya yang diduga memiliki khasiat untuk menyembuhkan penyakit asma (Panggabean 2011).

Upaya pengelolaan kesehatan musang luak ini sangat diperlukan agar musang luak dapat tetap dimanfaatkan bagi kesejahteraan manusia dan lingkungan. Adanya penyakit pada musang luak dapat menurunkan kualitas dan daya hidup musang luak sehingga berdampak pada penurunan nilai ekologi dan nilai ekonomi musang luak itu sendiri. Salah satu penyakit yang dapat terjadi pada musang luak adalah adanya infestasi endoparasit berupa parasit darah misalnya, infestasi protozoa. Protozoa yang umum ditemukan pada hewan domestik dan hewan liar adalah Babesia sp., Theileria sp. (Penzhorn 2006), dan Anaplasma sp. (Dyachenko et al. 2012). Identifikasi parasit tersebut sangat penting berkaitan dengan evaluasi kesehatan dan sebagai indikasi adanya penyakit pada musang luak. Oleh karena itu berdasarkan latar belakang di atas, dilakukan penelitian mengenai “Parasit Dalam Sel Darah Merah Musang Luak (Paradoxurus

hermaphroditus) Di Jawa”.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi jenis parasit dalam sel darah merah musang luak di Jawa dan mengetahui persentase parasitemia tiap parasit darah.

Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai jenis parasit darah pada musang luak di Jawa dan memberikan gambaran persentase parasitemia tiap parasit darah. Hal ini untuk membantu dalam upaya pencegahan dan menentukan cara pengobatan terhadap adanya infeksi parasit darah berupa protozoa tersebut pada musang luak sehingga terhindar dari penyakit yang disebabkan oleh parasit darah.

(16)

TINJAUAN PUSTAKA

Taksonomi dan Morfologi Musang Luak (Paradoxurus hermaphroditus)

Musang luak merupakan salah satu jenis mamalia liar yang termasuk suku musang dan garangan (Viverridae) (Vaughan et al. 2000). Di dunia terdapat sekitar 65 subspesies, termasuk subspesies rindjanicus dan sumbanus di Indonesia. Musang luak memiliki beberapa nama lain, diantaranya civet dan luak atau musang (Panggabean 2011).

Taksonomi musang luak diklasifikasikan sebagai berikut (Schreiber et al. 1989) :

Kingdom : Animalia Filum : Chordata Subfilum : Vertebrata Kelas : Mammalia Ordo : Carnivora Famili : Viverridae Subfamili : Paradoxurinae Genus : Paradoxurus Species : Paradoxurus

hermaphroditus Gambar 1 Musang luak

(Purnomo 2012)

Menurut Abebe (2003) musang luak memiliki berat 4-11 pound. Memiliki tubuh yang ramping dengan ukuran panjang tubuh sekitar 17-28 inci (43,2-71 cm), telinga kecil, dan kaki pendek. Menurut Kitchener et al. (2002) ukuran panjang tubuh musang luak dari kepala hingga pangkal ekor sebesar 38 cm, dari pangkal ekor hingga ujung ekor sebesar 40 cm, daun telinga 34 cm, serta panjang kaki 70 cm. Musang luak memiliki warna rambut abu-abu kecoklatan dengan variasi warna dari warna coklat merah tua hingga hitam hijau lumut pada daerah punggung. Di sepanjang kedua sisi tubuhnya terdapat deretan bintik-bintik hitam (Wilson & Reeder 2005). Rambut di sekitar mata, telinga, kaki, hidung, dan ekor berwarna hitam. Akan tetapi, terkadang ditemukan juga musang luak dengan ujung ekor berwarna putih. Selain itu, dahi dan sisi samping wajah hingga di bawah telinga berwarna keputih-putihan seperti beruban (Navephap & Orawan

(17)

4

1998). Ciri-ciri musang luak betina adalah memiliki delapan puting susu, sedangkan musang luak jantan memiliki sepasang testis seperti kucing (Panggabean 2011).

Populasi dan Distribusi

Gambar 2 Wilayah distribusi musang luak (Panggabean 2011).

Musang luak merupakan salah satu dari tiga spesies musang dari marga Paradoxurus yang normal ditemukan di Ceylon, Bangladesh, Brunei Darussalam, Singapura, Myanmar, India, Pakistan, Burma, Cina bagian selatan, Filipina bagian timur, dan Borneo (Navephap & Orawan 1998). Selain itu, musang luak juga tersebar luas mulai dari Sri Lanka, Asia Tenggara, Tiongkok Selatan, semenanjung Malaya hingga ke Filipina. Di Indonesia musang luak berada hampir di setiap provinsi dengan jumlah yang bervariasi. Sebaran populasi yang paling banyak terdapat di provinsi Sumatera Utara, Lampung, Bali, pulau Sumba, pulau Lombok, serta beberapa lokasi di pulau Jawa, Sulawesi, dan Kalimantan (Panggabean 2011). Populasi musang luak dinilai belum terlalu mengkhawatirkan. Kini telah banyak dilakukan budi daya musang luak dan pemanfaatan daging musang luak untuk dikonsumsi masih minim sehingga kelestariannya masih dapat terjaga. Akan tetapi, perburuan populasi hewan ini juga harus diwaspadai agar dapat mempertahankan populasi musang luak. Musang luak belum masuk di dalam undang-undang hewan yang harus dilindungi berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan no.461/Kpts-11/1999 tentang penetapan

(18)

5

musim berburu jenis-jenis satwa buru di taman buru dan areal buru (Panggabean 2011).

Perilaku dan Reproduksi

Musang luak banyak dijumpai mulai dari hutan primer di ketinggian 2000-2400 meter di atas permukaan laut (dpl) hingga hutan sekunder dan sekitar perkebunan. Musang luak termasuk hewan yang bersifat soliter dengan berbagai gaya hidup dan adaptasi, sebagai contohnya mereka sangat pandai memanjat pohon untuk mencari makan (Aroon et al. 2009, Borah & Karabi 2011). Pada beberapa lokasi yang terdapat pohon aren, dapat dipastikan terdapat musang luak yang hidup di lokasi tersebut. Hal ini dikarenakan musang luak sangat menyukai buah aren (Panggabean 2011). Selain itu, musang luak juga bersifat arboreal yaitu sebagian besar hidupnya dihabiskan di atas pohon, terutama pada pohon tertinggi dan terbesar sebagai tempat hidupnya. Akan tetapi, mereka juga dapat beradaptasi dan mencari makan di permukaan tanah (Jothish 2011). Walaupun musang luak berhabitat asli di hutan, mereka kerap ditemui di sekitar pemukiman manusia (Aroon et al. 2009). Hal ini berkorelasi positif dengan pendapat Panggabean (2011) yang menyatakan musang luak sesekali ditemukan di sekitar lingkungan permukiman, khususnya lingkungan rumah yang masih terdapat banyak pepohonan.

Selain bersifat soliter dan arboreal, musang luak juga bersifat nokturnal atau hidup di malam hari dengan periode aktifitas pada pukul 18.00-04.00 WIB. Pada siang hari musang luak tidur di lubang-lubang kayu atau di ruang gelap di bawah atap rumah penduduk sekitar. Hubungan sosial dan pola aktifitas musang luak terbentuk berdasarkan distribusi sumber makanan dan kegiatan predator mamalia yang lebih besar.

Musang luak termasuk ke dalam famili Viverridae, akan tetapi tidak termasuk ke dalam golongan karnivora sejati. Berbeda dengan keluarga kucing yang merupakan karnivora sejati, struktur gigi musang tidak dirancang sebagai pemangsa yang harus memakan daging sebagai pakan utamanya (Jothish 2011). Musang luak lebih tepat disebut frugivora dari pada karnivora dalam batasan perilaku makannya, yaitu akan memilih buah sebagai pakan utamanya selama

(19)

6

persediaan masih tersedia dan beralih memangsa vertebrata kecil, reptil, ataupun serangga disaat terjadi kelangkaan buah-buahan (Mudappa et al. 2010). Proses pencarian makanan dilakukan pada malam hari, hal ini bertujuan untuk menghindari predator, misalnya buaya. Pencarian makanan terjadi pada suatu tempat yang sama secara berulang kali, musang luak akan menggunakan pohon yang sama untuk beristirahat, yaitu pada pohon dengan tanaman merambat atau lubang-lubang kayu untuk beberapa hari berturut-turut (Su & John 2007). Sebagaimana berbagai kerabatnya dari Viverridae, musang luak mengeluarkan semacam bau dari kelenjar di dekat anusnya. Samar-samar bau ini menyerupai harum daun pandan, namun dapat pula menjadi pekat dan menyebabkan mual. Kemungkinan bau ini digunakan untuk menandai batas-batas teritorinya dan mengumumkan kehadirannya baik pada pasangan maupun musuh (Taye 2009).

Dalam hal reproduksi, hingga saat ini perkembangbiakan musang luak terjadi tanpa melalui perkawinan buatan tetapi masih melalui perkawinan alami yang terjadi di alam. Kematangan seksual terjadi pada umur 11-12 bulan. Musang luak hanya memiliki masa berahi selama dua hari. Pada masa diluar masa berahi, musang luak sangat beresiko saling membunuh (kanibal) jika jantan dan betina disatukan (Panggabean 2011). Proses perkawinan umumnya terjadi di cabang pohon. Perkawinan dimulai saat jantan melakukan kopulasi yang terjadi selama lima menit dan berulang kali hingga empat sampai lima kali kopulasi. Setelah proses perkawinan selesai, pasangan musang luak akan bermain-main selama beberapa saat, kemudian masing-masing akan menempati cabang pohon yang berbeda sekitar enam menit untuk beristirahat. Selama periode perkawinan yang singkat, saat betina bunting maka jantan akan menempati pohon yang sama dengan betinanya sebagai tempat tinggal. Umur kebuntingan musang luak sekitar empat bulan, kelahiran anak terjadi diantara bulan Oktober hingga Desember. Kelahiran anak musang luak umumnya terjadi di pohon berongga, celah-celah batu atau ruang diantara bebatuan dengan jumlah anak sekitar dua hingga lima anakan. Selanjutnya, induk musang luak akan mengasuh anakan hingga dapat mencari makan sendiri. Dalam penangkaran, musang luak dapat bertahan hidup selama 22 tahun (Borah & Karabi 2011).

(20)

7

Darah

Darah merupakan suatu jaringan khusus yang terdiri dari plasma darah yang kaya akan protein (55%) dan sel-sel darah (45%). Sel-sel darah terdiri dari sel darah merah atau eritrosit, sel darah putih atau leukosit, dan trombosit (keping darah atau platelet). Masing-masing sel-sel darah memiliki fungsi yang berbeda-beda. Sel darah merah atau eritosit berfungsi sebagai 1) pembawa nutrient dari saluran pencernaan menuju ke jaringan tubuh, 2) pembawa oksigen dari paru-paru ke jaringan dan kanbondioksida (CO2) dari jaringan ke paru-paru, 3) pembawa

produk buangan dari jaringan menuju ke ginjal untuk dieksresikan, 4) mempertahankan sistem keseimbangan dan buffer. Trombosit berfungsi dalam penggumpalan dan pembekuan darah sehingga mencegah terjadinya kehilangan darah yang berlebihan pada saat terjadi luka. Sel darah putih atau leukosit memiliki dua fungsi, yaitu menghancurkan agen penyerang dengan proses fagositosis dan pembentukan antibodi atau kekebalan tubuh (Guyton 1996). Menurut Corwin (2000) sel darah putih berfungsi untuk melindungi tubuh dari infeksi dan membantu dalam proses persembuhan. Sel darah putih dibagi menjadi dua kelompok yaitu, agranulosit dan granulosit. Kelompok agranulosit merupakan leukosit yang tidak memiliki granul pada sitoplasmanya. Agranulosit terdiri dari monosit dan limfosit yang berperan dalam proses fagositosis. Kelompok granulosit merupakan leukosit yang memiliki granul pada sitoplasmanya. Granulosit terdiri dari eosinofil yang mengindikasikan adanya infeksi parasit, neutrofil yang mengindikasikan adanya infeksi bakteri, dan basofil yang mengindikasikan adanya respon alergi (Guyton 1996).

Salah satu pemeriksaan darah dapat dilakukan melalui ulas darah. Pemeriksaan dengan ulas atau apus darah yang diwarnai dengan Giemsa dapat digunakan untuk berbagai macam tujuan, antara lain untuk memeriksa dan menghitung persentase jenis leukosit, menghitung jumlah trombosit secara tidak langsung, dan memeriksa adanya infestasi endoparasit berupa parasit darah seperti protozoa. Terdapat beberapa jenis protozoa yang dapat ditemukan pada darah, contohnya Anaplasma sp., Babesia sp., Theileria sp., Leukocytozoon sp.,

(21)

8

Parasit Darah

Berdasarkan habitatnya, parasit dibagi menjadi dua yaitu endoparasit dan ektoparasit. Ektoparasit merupakan parasit makroskopis dan berkembang di luar sel tubuh, sedangkan endoparasit merupakan parasit yang berukuran kecil, mikroskopis, dan berkembang di dalam sel tubuh. Salah satu contoh endoparasit adalah protozoa yang dapat hidup di dalam sel darah merah (Penzhorn 2006). Protozoa berasal dari kata Proto yang memiliki arti pertama dan zoon yang memiliki arti hewan. Oleh karena itu, protozoa dapat diartikan sebagai hewan bersel satu yang hidup sendiri atau dalam bentuk koloni. Protozoa memiliki berbagai bentuk yaitu bulat, lonjong, simetris, bilateral atau tidak teratur dengan ukuran hanya beberapa mikron sampai 40 mikron. Protozoa terdiri dari inti dan sitoplasma. Inti dibagi menjadi dua tipe yaitu inti tipe vesikular dan tipe granular. Jumlah inti pada protozoa dapat berjumlah satu atau lebih dan terdiri atas selaput inti atau membran inti yang meliputi retikulum halus (serabut inti) yang akromatik, kariosom (karyosoma, endosoma, nukleolus), cairan inti, dan butir-butir kromatin. Pada inti vesikular butir-butir-butir-butir kromatin menyatu membentuk satu masa dan pada inti tipe granular butir-butir kromatin menyebar secara merata. Sitoplasma terdiri dari endoplasma, bagian luar yang tipis, bagian dalam yang lebih besar, dan ektoplasma. Endoplasma berbentuk butir-butir dan mengandung inti yang berperan dalam reproduksi dan gizi. Endoplasma mengandung vakuol makanan, makanan cadangan, benda asing, vakuol kontraktil, dan benda kromatoid. Ektoplasma pada protozoa akan terlihat jernih dan homogen. Ektoplasma memiliki fungsi sebagai alat pergerakan, mengambil makan, ekskresi, bertahan diri, dan respirasi (Ballweber 2001).

Protozoa dibagi menjadi tiga subfilum, yaitu Sarchomastigophora, Ciliophora, dan Apicomplexa (Ballweber 2001). Subfilum Apicomplexa merupakan parasit obligat intraseluler dengan tipe reproduksi aseksual dan seksual (Foreyt 2001). Apicomplexa yang memiliki peranan penting dalam dunia kesehatan hewan adalah Coccidians dan Hemosporidian. Kelompok Coccidians memiliki habitat di sel epitel usus yang dapat menyebabkan coccidiosis enteritis. Kelompok Hemosporidian memiliki habitat di dalam sel darah merah dan dapat menyebabkan anemia hemolitik (Ballweber 2001). Parasit darah berupa protozoa

(22)

9

dapat menyerang hewan domestik dan hewan liar. Beberapa jenis protozoa yang dapat ditemukan di hewan domestik dan hewan liar adalah Babesia sp., Theileria sp. (Penzhorn 2006), dan Anaplasma sp. (Dyachenko et al. 2012).

Babesia sp.

Babesia sp. merupakan parasit darah yang termasuk filum Apicomplexa. Babesia sp. tersebar ke seluruh dunia dan ditemukan pertama kali oleh Babes

1888 USA; Australia, Asia, Eropa. Morfologi berbentuk bulat seperti buah pir, oval, piriform, dan berpasangan dengan ukuran sebesar 1.5-2.5 µm atau 3.0–5.0 µm (de Sá et al. 2006).

Gambar 3 Babesia sp. (Duh et al. 2004).

Taksonomi Babesia menurut Bock et al. (2004) adalah sebagai berikut : Filum : Apicomplexa Kelas : Sporozoasida Ordo : Eucoccidiorida Subordo : Piroplasmorina Famili : Babesiidae Genus : Babesia

(23)

10

Siklus Hidup

Gambar 4 Siklus hidup Babesia sp. (Hunfeld et al. 2008).

Babesia sp. merupakan parasit obligat intraseluler dengan induk semangnya

adalah ruminansia, anjing, dan satwa liar. Pada induk semang, Babesia sp. akan berhabitat di dalam sel darah merah. Penyebaran Babesia sp. terjadi melalui gigitan vektor yaitu caplak keras yang tergolong ke famili Ixodide, misalnya

Dermacentor spp., Haemaphysalis spp., Hyalomma spp., dan Rhipicephalus spp. Babesia sp. dapat berpindah atau bertransmisi dari satu generasi caplak ke

generasi lainnya sehingga caplak dari stadium larva, nympha, dan dewasa berpotensi sebagai vektor.

Siklus hidup Babesia sp. dapat terjadi di dalam tubuh vektor dan induk semang. Babesia sp. melakukan reproduksi secara aseksual dan seksual. Reproduksi aseksual terdiri dari stadium merogoni yang terjadi di dalam sel darah merah induk semang. Reproduksi seksual terdiri dari stadium sporogoni dan gametogoni yang dimulai dari terbentuknya makrogamet dan mikrogamet di dalam tubuh caplak. Stadium merogoni diawali pada saat caplak baik pada

Caplak Ixodide Vetebrata

sporozoit trofozoit merozoit gametosit gametosit Gametogoni

(pada usus caplak)

ray bodies zigot Sporogoni (hemolymph) kinet telur Kelenjar saliva Merogoni (intra eritrosit)

(24)

11

stadium larva, nympha, dan dewasa yang mengandung sporozoit pada salivanya menggigit hewan vertebrata. Sporozoit akan masuk ke dalam sel darah merah melalui penetrasi mekanis. Di dalam sel darah merah, sporozoit akan berubah menjadi trofozoit yang mengalami pembelahan biner menjadi dua atau empat individu merozoit. Hal ini akan menyebabkan desakan mekanis sehingga sel darah merah ruptur. Bersamaan dengan rupturnya sel darah merah, merozoit akan mencari sel darah merah baru dan berpenetrasi ke dalam sel darah merah dalam tubuh induk semang yang sama (Kumar et al. 2008). Di dalam sel darah merah merozoit akan mengalami perubahan menjadi pre-gametosit.

Caplak dewasa yang menghisap darah hewan vertebrata yang terinfeksi

Babesia sp. secara tidak langsung akan menghisap pula sel darah merah yang

mengandung pre-gametosit. Pre-gametosit yang dibawa akan berperan dalam reproduksi seksual yang terjadi di dalam tubuh caplak. Pre-gametosit akan berubah menjadi gametosit yang akan menjadi awal dari stadium gametogoni atau gamogoni. Gametosit yang terbentuk akan menghasilkan ray bodies atau gamet yang terbagi menjadi mikrogamet (gamet jantan) dan makrogamet (gamet betina) dimana keduanya akan berdifusi menjadi zigot. Tahap selanjutnya adalah zigot berkembang menjadi ookinet atau vermiculus (Uilenberg 2006). Ookinet yang dihasilkan dapat berpindah secara transovarial ke caplak stadium larva, dan secara transstadial ke caplak stadium nympha dan dewasa (Bock et al. 2004). Ookinet ini akan mengalami diferensiasi dalam proses sporogoni membentuk kinet. Menurut Taylor et al. (2007) kinet akan masuk ke kelenjar saliva pada masing-masing stadium caplak dan akan mengekspansi sel sehingga terjadi hipertrofi sel kelenjar saliva dan berkembang menjadi sel multinukleat sporoblast. Satu sporoblast matang akan menjadi 5000-10000 sporozoit. Sporozoit-sporozoit dari setiap stadium caplak inilah yang dapat menginfeksi induk semang melalui gigitan caplak sehingga terjadi kembali stadium merogoni. Terdapat berbagai spesies dari

Babesia yang dapat menyerang hewan liar. Spesies yang menyerang musang luak

juga telah berhasil diidentifikasi secara genetik dan merupakan spesies tersendiri yaitu Babesia civettae. Beberapa spesies yang menyerang hewan domestik juga dilaporkan mampu menyerang hewan liar (Penzhorn 2006).

(25)

12

Gejala Klinis

Induk semang yang berumur muda relatif resisten terhadap infeksi Babesia sp. dan tidak selalu menunjukkan gejala klinis. Pada fase akut gejala klinis diawali oleh demam, diikuti ikterus, haus, anemia (Duh et al. 2004), petechi dan hemorhagi pada gusi atau ventral abdomen, dan anemia (Taylor et al. 2007). Anemia merupakan faktor yang menyebabkan terjadinya kelemahan dan penurunan kondisi tubuh. Anemia yang terjadi secara cepat mengakibatkan 75% atau lebih sel darah merah rusak dalam waktu beberapa hari. Keadaan anemia biasanya bersamaan dengan hemoglobinemia dan hemoglobinuria. Pada kasus kronis, gejala demam dan ikterus terjadi secara ringan (Duh et al. 2004). Jika hewan dapat bertahan, hewan akan mengalami penurunan berat badan dan produksi (Taylor et al. 2007).

Theileria sp.

Genus Theleria merupakan penyebab penyakit Theleriosis. Penyakit tersebut menyerang sapi dan domba dengan persebaran di Afrika, Asia, Eropa, dan Australia (Taylor et al. 2007). Salah satu siklus hidup protozoa ini berada dalam sel darah merah. Penyebarannya dilakukan dengan perantara vektor

Riphicephalus, Haemaphysalis, Amblyomma dan Hyalomma (Urquhart et al.

2003).

(26)

13

Taksonomi Theileria menurut Bishop et al. (2004) adalah sebagai berikut : Filum : Sporozoa (Apicomplexa)

Kelas : Sporozoea Ordo : Haemosporidia Subordo : Aconoidina Family : Theileriidae Genus : Theileria

Spesies : Theileria annae, Theileri parva, Theileria annulata

Siklus Hidup

Gambar 6 Siklus hidup Theileria sp. (Bishop et al. 2004)

Siklus hidup Theileria sp. melibatkan induk semang, yaitu ruminansia, anjing, dan satwa liar dengan penyebaran yang melibatkan vektor biologis yaitu caplak dari famili Ixodidae. Reproduksi Theileria sp. hampir mirip dengan

sporozoit limfosit skizon limfoblast Merogoni (intra limfosit) merozoit piroplasma gamont gamet zigot kinet sporoblast sporozoit

Caplak Ixodide Vetebrata

Sporogoni (hemolymph)

Gametogoni (pada usus caplak)

(27)

14

Babesia sp. yaitu secara aseksual dan seksual. Reproduksi aseksual terdiri dari

stadium skizogoni dan merogoni yang terjadi di dalam tenunan limfoid, sirkulasi limfosit, dan pada sel darah merah atau eritrosit induk semang. Reproduksi seksual terdiri dari stadium gametogoni dan sporogoni yang terjadi di dalam tubuh vektor. Stadium skizogoni diawali pada saat caplak yang mengandung sporozoit pada salivanya menggigit induk semang. Pada tahap inilah terdapat perbedaan antara Theileria sp. dengan Babesia sp. Pada Babesia sp., sporozoit akan langsung menyerang sel darah merah, sedangkan pada Theileria sp. sporozoit akan mengikuti sistem limfe menuju limfonodus dan limpa, kemudian berubah menjadi trofozoit yang menetap di limfosit (Shaw et al. 1993). Pada hari 9 hingga ke-22 setelah gigitan caplak trofozoit akan membentuk badan yang berinti banyak yang disebut dengan skizon. Skizon memiliki dua bentuk yaitu makroskizon dan mikroskizon. Tahap selanjutnya adalah stadium merogoni. Pada stadium merogoni makroskizon akan menyerang limfosit dan membentuk makromerozoit, sedangkan mikroskizon akan menghasilkan mikromerozoit melalui proses pembelahan yang kemudian akan dilepaskan dari limfosit dan menyerang sel darah merah yang disebut dengan piroplasma. Piroplasma tersebut yang akan masuk ke dalam tubuh caplak saat caplak menghisap darah induk semang (Bishop

et al. 2004).

Piroplasma yang berada dalam tubuh caplak akan mengalami reproduksi seksual (Bishop et al. 2004). Reproduksi seksual terjadi di dalam usus caplak yang diawali dengan stadium gametogoni. Pada stadium gametogoni piroplasma yang mengandung ray bodies yaitu gamet jantan dan gamet betina akan berdifusi menjadi zigot. Zigot akan masuk ke dalam epitel usus dan mengalami transformasi membentuk kinete. Kemudian kinete bergerak mengikuti aliran limfe dan memasuki sel kelenjar saliva caplak dan mengalami perubahan menjadi sporoblast (Bishop et al. 2004). Satu sporoblast akan menghasilkan 30.000-50.000 sporozoit. Sporozoit inilah yang akan menginfeksi mamalia melalui gigitan caplak yang terinfeksi sehingga terjadi kembali stadium merogoni (Urquhart et al. 2003). Pada Theileria sp. tidak terjadi transmisi kinete ke ovarium caplak dewasa. Oleh karena itu, transmisi yang terjadi di tubuh caplak hanya transmisi transstadial.

(28)

15

sel darah merah mengalami kerusakan dan pergantian sel yang baru atau memang terbawa oleh caplak untuk perkembangan seksual (Kaufmann 2001).

Gejala Klinis

Gejala klinis yang ditimbulkan oleh Theleriosis berbeda-beda antar spesies. Spesies Theileria yang dapat menyerang karnivora adalah Theileria annae.

Theileris annae dapat menyebabkan penyakit dengan gejala klinis demam,

anoreksia, kehilangan berat badan, dan anemia. Parasitemia pada umumnya rendah dan jarang menimbulkan anemia. Pada kasus kronis dapat terjadi trombositopenia, dan pembesaran limfonodus (Zahler et al. 2000).

Anaplasma sp.

Anaplasma sp. merupakan organisme obligat intraseluler yang terikat

dengan membran vakuola dalam sitoplasma sel inang. Anaplasma sp. merupakan anggota dari filum Proteobakteria, kelas Alphaproteobacteria, ordo Rickettsiales, dan famili Anaplasmataceae (Kocan et al. 2004). Penyebaran Anaplasma sp. dapat terjadi di daerah tropis, sub tropis, Eropa selatan, dan Amerika (Ashadi & Handayani 1992).

(29)

16

Taksonomi Anaplasma Dumler et al. (2001) adalah sebagai berikut : Filum : Protobacteri

Kelas : Alpha Protobacteria Ordo : Rickettsiales

Famili : Anaplasmataceae Genus : Anaplasma

Spesies : Anaplasma marginale, Anaplasma central, dan Anaplasma platys

Siklus Hidup

Gambar 8 Siklus hidup Anaplasma sp. (Kocan et al. 2004).

Anaplasma sp. merupakan parasit obligat intraseluler dengan induk

semangnya adalah sapi, kerbau, kambing, domba, anjing, hewan liar, kuda bahkan manusia. Anaplasma sp. memiliki siklus hidup yang sama dengan Babesia sp. Akan tetapi, pada penularannya Anaplasma sp. memiliki beberapa vektor diantaranya yaitu caplak, nyamuk, lalat kandang, dan serangga penggigit. Di Australia ditemukan 20 species caplak Boophilus microplus yang berperan sebagai vektor sedangkan di Amerika ditemukan lalat penghisap darah sebagai vektor (Taylor et al. 2007). Lalat penghisap darah dari famili Tabanidae

sporozoit trofozoit merozoit gametosit ray bodies zigot Merogoni (intra eritrosit) kinet telur Sporogoni

Caplak ixodide Vetebrata

Gametogoni (pada usus caplak) (hemolymph)

(30)

17

dilaporkan mampu menjadi vektor mekanik dari Anaplasma marginale di kawasan Eropa-Timur (Hornok et al. 2008).

Gejala klinis

Adanya Anaplasma sp. dalam sel darah merah induk semang dapat mengakibatkan berbagai penyakit. Gejala klinis pada umumnya bersifat tidak spesifik dan ringan yaitu anoreksia, depresi, pembengkakan limfonodus, anemia, dan demam (Dyachenko et al. 2012). Gejala klinis yang terlihat berbeda-beda pada tiap stadium infeksi. Pada stadium inkubasi hewan tidak menunjukkan gejala klinis. Gejala klinis mulai terlihat pada stadium perkembangan. Jika anemia yang terjadi pada tahap perkembangan semakin parah, hewan akan mengalami gejala klinis berupa ikterus, penurunan berat badan, dehidrasi, peningkatan aktifitas respirasi, mulut menjadi kering, dan anoreksia (Arulkanthan et al. 1999). Pada fase akut akan terjadi demam selama 3-7 hari. Selama demam, terjadi penurunan produksi, depresi hingga kematian akibat hipoksia. Tanda klinis terlihat ringan pada usia muda. Setelah itu, pada hewan berumur dua sampai tiga tahun penyakit rentan menjadi perakut dan sering fatal (Taylor et al. 2007).

(31)

BAHAN DAN METODE

Waktu dan Tempat Penelitian

Pembuatan preparat ulas darah dilakukan selama 7 minggu dari tanggal 2 September 2010 sampai dengan 15 Oktober 2010 di Laboratorium Fisiologi, Departemen Anatomi Fisiologi dan Farmakologi, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor. Pembacaan preparat ulas darah dilakukan di Laboratorium Protozologi, Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor, selama 5 minggu dari tanggal 24 Januari 2012 sampai dengan 25 Februari 2012.

Tahap Persiapan

Penelitian ini menggunakan hewan coba musang luak sebanyak 6 ekor (3 ekor jantan dan 3 ekor betina). Musang luak yang digunakan adalah musang remaja dengan kisaran umur dibawah 1 tahun dengan bobot badan rata-rata 2-2,5 kilogram. Selama penelitian dilakukan, musang luak dirawat dikandang penelitian SHIGETA. Masing-masing musang luak dikandangkan secara terpisah dengan ukuran kandang sebesar 50cm x 75cm x 75cm. Kandang selalu dijaga kebersihannya dengan pembersihan kotoran setiap hari. Musang luak diberi pakan berupa buah pisang sebanyak 5-7 buah perekor tiap hari, kepala ayam sebanyak 3-4 buah perekor tiap 2 hari dan air minum ad libitum.

Alat dan Bahan Penelitian

Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu disposable syringes 3 ml, termos es, jarum suntik, gunting, tabung reaksi, objek glass, cover glass,

counter, dan mikroskop. Bahan yang digunakan adalah darah musang luak

(Paradoxurus hermaphroditus), Giemsa, EDTA (Ethylene Diamine Tetraacetic

Acid), alkohol 70%, methanol, es, minyak emersi, dan larutan xylol.

Metode Penelitian

Dari keenam musang luak diambil sampel darah sebanyak empat kali. Pengambilan sampel darah pertama dilakukan segera setelah musang luak

(32)

19

didatangkan dari habitat aslinya. Oleh karena itu data yang diperoleh diasumsikan sebagai kondisi musang luak pada habitat aslinya. Musang luak kemudian diadaptasikan selama 30 hari sebelum pengambilan darah kedua dan seterusnya yang diambil dalam selang waktu 7 hari sebanyak 2 kali. Pengambilan darah dimulai dengan mencukur rambut musang luak pada bagian femoralis untuk memudahkan penentuan letak dari vena femoralis. Pengambilan darah dilakukan dengan dysposable syringes 3 ml sebanyak lebih kurang 1 ml kemudian darah dimasukkan ke dalam tabung reaksi yang sudah diberikan antikoagulan EDTA (Ethylene Diamine Tetraacetic Acid). Setelah itu darah dimasukkan ke dalam termos es dan dibawa ke Laboratorium Fisiologi untuk dilakukan pemeriksaan lebih lanjut.

Pembuatan Sediaan Ulas Darah

Darah diteteskan pada salah satu ujung objek glass yang telah disediakan, kemudian ulas dengan objek glass yang lain, dikeringkan dan difiksasi selama 5 menit dalam metanol. Setelah difiksasi, direndam dalam zat warna Giemsa selama 30 menit kemudian dicuci dengan air mengalir untuk menghilangkan sisa zat warna yang tidak ikut mewarnai sediaan, kemudian dikeringkan (Aroon et al. 2009). Sediaan ulas darah yang telah diberi pewarnaan kemudian diamati di bawah mikroskop dengan perbesaran objektif 100x dan okuler 10x untuk mengidentifikasi parasit darah dan menghitung persentase parasit. Persentase parasitemia dihitung sesuai dengan hari pengambilan darah untuk keenam musang luak dengan rumus (Lehtinen et al. 2008) :

Persentase parasitemia = jumlah parasit/1000 RBC x 100%

Analisis Data

Data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan Analisa Sidik Ragam (ANOVA) kemudian dilanjutkan dengan uji wilayah berganda Duncan (Duncan’s

Multiple Range Test) untuk menguji perbedaan diantara perlakuan yang ada (Steel

(33)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Identifikasi Parasit Dalam Sel Darah Merah

Penelitian mengenai jenis parasit dalam sel darah merah musang luak saat ini masih sangat sedikit. Oleh karena itu, dalam penelitian kali ini hasil yang didapat dibandingkan dengan jenis parasit dalam sel darah merah anjing. Hal ini dikarenakan musang luak masih dalam satu Ordo dengan anjing yaitu ordo Carnivora sehingga terdapat kekerabatan diantara keduanya. Berdasarkan hasil pengamatan terhadap 24 preparat ulas darah musang luak dapat ditemukan dua jenis golongan parasit yang berhabitat di dalam sel darah merah yaitu protozoa (Babesia sp. dan Theileria sp.) dan Rickettsia (Anaplasma sp.). Pada satu preparat ulas darah musang luak dapat ditemukan lebih dari satu jenis parasit dalam sel darah merah. Pada hari ke-1 hingga ke-37 ditemukan adanya infeksi Babesia sp.,

Theileria sp., dan Anaplasma sp., sedangkan pada hari ke-44 hanya ditemukan Anaplasma sp. dan Theileria sp. Penzhorn (2006) juga menyatakan parasit dalam

sel darah merah yang umum ditemukan pada hewan domestik dan hewan liar adalah Babesia sp., Theileria sp., dan Anaplasma sp. (Dyachenko 2012). Infeksi

Babesia sp., Theileria sp., dan Anaplasma sp. telah terlihat saat pengambilan

darah pada hari ke-1 (Tabel 1). Diduga musang luak telah terinfeksi parasit dalam sel darah merah sejak di habitat aslinya.

Morfologi parasit dalam sel darah merah yang pertama ditemukan berbentuk bulat atau oval dan berpasangan dengan warna yang lebih gelap dibandingkan dengan sitoplasma sel darah merah. Karakteristik tersebut sesuai dengan morfologi Babesia sp. (Boozer & Douglass 2005). Dalam hal kekerabatan dengan anjing, morfologi tersebut sesuai dengan Babesia canis yang memiliki bentuk seperti buah pir dengan diameter 2.5-5.0 mikron, meruncing pada satu ujung dan tumpul pada ujung yang lain, dan berpasangan (Hunfeld et al. 2008). Selain berhabitat di dalam sel darah merah, Babesia sp. juga dapat ditemukan dalam sel-sel makrofag. Hal ini berhubungan dengan proses fagositosis sel-sel darah merah yang terinfeksi parasit oleh makrofag (Ashadi & Handayani 1992). Menurut Penzhorn (2006) terdapat spesies tersendiri yang menyerang bangsa musang yaitu

(34)

21

Babesia civettae, akan tetapi belum terdapat studi yang mempelajari tentang

morfologi dan penyebarannya secara lebih dalam.

Gambar 9 A. Babesia sp. (Pembesaran 1000x dengan pewarnaan Giemsa), B. Babesia canis (Kaufmann 2001)

Jenis kedua parasit dalam sel darah merah yang ditemukan berbentuk koma atau batang dan memiliki warna yang lebih gelap dibandingkan dengan sitoplasma sel darah merah. Morfologi tersebut sesuai dengan morfologi Theileria sp. yang memiliki bentuk batang dengan ukuran kira-kira 1.5-2.0 x 0.5–1.0 µm (Kaufmann 2001). Bentuk lain yang umum dijumpai pada sel darah merah adalah bundar, oval, dan dapat juga berbentuk koma.

Gambar 10 A. Theileria sp. (Pembesaran 1000x dengan pewarnaan Giemsa), B. Theileria sp. (Stockham et al. 2000)

Parasit darah lainnya juga ditemukan dengan bentuk bulat berwarna merah terang yang terletak di tepi maupun di tengah sel darah merah dengan ukuran yang lebih kecil dari Babesia sp. Morfologi tersebut sesuai dengan Anaplasma sp.

A B

A

A B

(35)

22

yang memiliki bentuk bulat dengan diameter 0.2-0.5 mikron, tidak memiliki sitoplasma namun terdapat lingkaran terang tidak nyata yang berada di sekitarnya (Ashadi & Handayani 1992). Spesies Anaplasma sp. yang dapat menyerang karnivora adalah Anaplasma platys (Ferreira et al. 2007). Anaplasma sp. pada awalnya termasuk ke dalam golongan protozoa, namun dari hasil penelitian-penelitian tidak menunjukkan bahwa Anaplasma sp. memiliki karakteristik yang signifikan dengan protozoa, sehingga Anaplasma sp. dimasukkan ke dalam golongan Rickettsia (Rajput et al. 2005, Sparagano et al. 2003). Perubahan tersebut berdasarkan analisis terhadap kombinasi ribosom 16S RNA, groESL, dan protein permukaan (Dumler et al. 2001).

Gambar 11 A. Anaplasma sp. (Pembesaran 1000x dengan pewarnaan Giemsa), B. Anaplasma sp. (Kaufmann 2001)

Rata-rata persentase parasitemia (Babesia sp., Theileria sp., dan Anaplasma sp.) bervariasi tiap individu. Perbedaan tersebut dipengaruhi oleh jumlah parasit yang menginfeksi. Jumlah parasit itu sendiri dipengaruhi oleh berbagai faktor diantaranya adalah keberadaan vektor yaitu caplak keras yang tergolong ke famili Ixodidae (Soulsby 1982), misalnya Boophilus spp., dan Rhipicephalus spp. yang berperan dalam penyebaran Babesia sp. Pada penyebaran Theileria sp. vektor yang berperan selain Boophilus spp., dan Rhipicephalus spp. adalah

Haemaphysalis, Amblyomma, dan Hyalomma. Sesuai dengan hasil penelitian

Aroon et al. (2009) yang berhasil mengidentifikasi jenis ektoparasit pada musang luak di Sakaerat Environmental Research Station, Thailand yaitu Hemaphysalis sp., Ixodes sp., dan Amblyomma sp. Oleh karena itu terdapat kemungkinan caplak tersebut dapat pula menginfeksi musang luak di Jawa yang masih satu spesies

A B

(36)

23

dengan musang luak di Thailand sehingga dapat berperan sebagai vektor Babesia sp. dan Theileria sp. Penyebaran Anaplasma sp. selain melalui vektor caplak dapat juga melalui nyamuk, lalat kandang dan lalat penghisap darah dari famili Tabanidae (Hornok et al. 2008). Pada negara yang memiliki empat musim, caplak akan muncul pada musim panas, sedangkan di Indonesia yang memiliki iklim tropis dapat terjadi sepanjang tahun. Caplak akan melekat secara kuat pada inang dalam periode waktu yang lama. Pada saat makan caplak sering mengalami regurgitasi yang memungkinkan terjadinya perpindahan patogen melalui air liur ke dalam tubuh inang termasuk parasit dalam sel darah merah (Babesia sp.,

Theileria sp., dan Anaplasma sp.). Oleh karena itu, makin banyak caplak yang

melekat pada tubuh hewan makin tinggi pula kemungkinan infeksi parasit dalam sel darah merah.

Faktor lain yang dapat meningkatkan infeksi parasit dalam sel darah merah adalah geografi, umur, tingkat stres, dan managemen pemeliharaan (Brotowidjoyo 1987). Managemen pemeliharaan mengambil peranan dalam tingkat stres yang dialami musang luak. Kondisi kandang penelitian yang berbeda dari tempat asal dapat menimbulkan stres pada musang luak. Pada awal tahap adaptasi, semua musang luak terlihat gelisah dan anoreksia hingga minggu ke-2. Hal ini mengindikasikan musang luak mengalami stres. Kondisi stres dapat menurunkan kondisi tubuh sehingga daya tahan dan kekebalan akan menurun pula sehingga lebih rentan terhadap infeksi parasit dalam sel darah merah (Direktorat Keswan 1980). Tingkat stres yang berbeda tiap musang luak akan mengakibatkan perbedaan dalam persentase parasitemia tiap individu.

Persentase Parasit Dalam Sel Darah Merah

Keberadaan dan tingkat keparahan infeksi parasit dalam sel darah merah digambarkan dalam nilai persentase parasitemia. Rata-rata persentase parasitemia (Babesia sp., Theileria sp., dan Anaplasma sp.) pada musang luak dapat dilihat sebagai berikut :

(37)

24

Tabel 1 Rata-rata persentase parasitemia (Babesia sp., Theileria sp., dan

Anaplasma sp.) pada musang luak tiap waktu pengambilan darah

Keterangan : huruf superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata pada taraf (P>0.05). Satuan dalam persen (%).

Berdasarkan hasil analisis statistik, rata-rata persentase parasitemia (Babesia sp., Theileria sp., dan Anaplasma sp.) pada musang luak tiap waktu pengambilan darah menunjukkan nilai yang berbeda nyata (Tabel 1). Babesia sp., Theileria sp., dan Anaplasma sp. memiliki kemampuan infeksi yang berbeda-beda. Pada tiap hari pengambilan darah rata-rata persentase parasitemia tertinggi terjadi pada infeksi Anaplasma sp. Nilai infeksi tertinggi terjadi pada hari ke-1 dan ke-30 yaitu sebesar 0.38% (Tabel 1). Tingginya persentase Anaplasma sp. dapat disebabkan oleh vektor yang berperan dalam penyebaran Anaplasma sp. lebih bervariasi dibandingkan Babesia sp. dan Theileria sp. yaitu terdiri dari 20 spesies caplak, lalat tabanus, nyamuk, dan lalat kandang (Ashadi & Handayani 1992, Hornok et

al. 2008).

Babesia sp.

Rata-rata persentase Babesia sp. pada musang luak disajikan sebagai berikut Tabel 2 Rata-rata persentase Babesia sp. pada musang luak selama 44 hari

Pengambilan darah hari ke- Persentase Babesia sp. (%)

1 0.03 ± 0.08a

30 0.05 ± 0.05a

37 0.02 ± 0.04a

44 0 ± 0a

Keterangan : huruf superskrip yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada taraf (p>0.05)

Parasit dalam sel darah merah

Pengambilan darah pada hari ke- Rata-rata (%)

1 30 37 44

Babesia sp. 0.03 ± 0.08b 0.05 ± 0.05 b 0.02 ± 0.04 b 0 ± 0 b 0.03±0.02

Theileria sp. 0.05 ± 0.08 b 0.12 ± 0.19 b 0.12 ± 0,13 b 0.17 ± 0.10 a 0.12±0.05

(38)

25 0 0.02 0.04 0.06 0.08 0.1 1 30 37 44 Per sen tase (% ) Hari

ke-Gambar 12 Rata-rata persentase Babesia sp. pada musang luak selama 44 hari Berdasarkan hasil analisis statistik rata-rata persentase Babesia sp. selama 44 hari menunjukkan nilai yang tidak berbeda nyata (Tabel 2). Infeksi Babesia sp. telah terlihat pada hari ke-1 sebesar 0.03% sehingga dapat dikatakan bahwa infeksi telah memasuki sekitar minggu kesatu hingga minggu kelima setelah penularan dari vektor selama di habitat aslinya (Boozer & Douglass 2005). Pada hari ke-1 hingga hari ke-30 terjadi peningkatan persentase parasitemia menjadi 0.05% sehingga diduga tahap pertumbuhan Babesia sp. masih terjadi. Tahap pertumbuhan Babesia sp. ditandai dengan pembelahan biner pada trofozoit membentuk merozoit pada stadium merogoni (Bock et al. 2004). Pembelahan parasit yang cepat di dalam sel darah merah induk semang mengakibatkan rusaknya sel darah merah, hemoglobinaemia, hemoglobinuria, dan krisis hemolitik akut. Pada hari ke-37 hingga hari ke-44 terjadi penurunan nilai persentase parasitemia hingga tidak ditemukan sama sekali adanya Babesia sp. Selama penelitian tidak dilakukan upaya pengobatan terhadap parasit dalam sel darah merah sehingga diduga infeksi Babesia sp. bersifat self limiting disease atau dapat sembuh dengan sendirinya tanpa pengobatan. Hal ini didukung dengan pernyataan Taylor et al. (2007) yang menyatakan infeksi Babesia sp. yang bersifat tidak fatal dapat terjadi persembuhan dengan jangka waktu yang panjang. Selain itu, peristiwa ini mirip dengan infeksi Babesia canis pada anjing yang akan menghilang dari darah perifer selama 10 hari (Ashadi & Handayani 1992).

(39)

26

Theileria sp.

Rata-rata persentase Theileria sp. pada musang luak disajikan sebagai berikut :

Tabel 3 Rata-rata persentase Theileria sp. pada musang luak selama 44 hari. Pengambilan darah hari ke- Persentase Theileria sp. (%)

1 0.05 ± 0.08a

30 0.12 ± 0.05a

37 0.12 ± 0.04a

44 0.17 ± 0a

Keterangan : huruf superskrip yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada taraf (p>0.05)

Gambar 13 Rata-rata persentase Theileria sp. pada musang luak selama 44 hari Adanya infeksi Theileria sp. pada musang luak yang termasuk ordo Carnivora tidak sesuai dengan pernyataan Taylor et al. (2007) yang menyatakan

Theileria sp. memiliki induk semang ruminansia atau wild ruminant. Akan tetapi,

pada studi lain di tahun 2003 telah ditemukan spesies dari Theileria yang menyerang karnivora yaitu Theileria annae (Fornelio et al. 2003). Infeksi

Theileria sp. telah terjadi pada hari ke-1 sehingga dapat dikatakan bahwa infeksi

telah memasuki minggu ke-9. Hal ini dikarenakan mikromerozoit yang dihasilkan dari pembelahan mikroskizon pada stadium merogoni akan dilepaskan dari limfosit dan menyerang sel darah merah yang disebut piroplasma saat memasuki minggu ke-9 setelah penularan dari vektor (Shaw et al. 1993). Tabel 3 dan gambar 13 menunjukkan adanya peningkatan nilai rata-rata persentase Theileria sp. dari

(40)

27

hari ke-1 hingga ke-44. Akan tetapi berdasarkan hasil analisis statistik peningkatan persentase Theileria sp. tersebut tidak menunjukkan nilai yang berbeda nyata. Infeksi Theileria sp. telah melewati masa inkubasi (1-3 minggu) dengan persentase parasitemia yang rendah yaitu antara 0.01-1% sehingga diduga infeksi telah berjalan kronis dan dapat menjadi carrier (Altay et al. 2008). Musang luak yang bertindak sebagai carrier dapat menjadi sumber infeksi bagi caplak yang berperan sebagai vektor Theleria sp. (Oliveira et al. 1995).

Anaplasma sp.

Rata-rata persentase Anaplasma sp. pada musang luak disajikan sebagai berikut :

Tabel 4 Rata-rata persentase Anaplasma sp. pada musang luak selama 44 hari Pengambilan darah hari ke- Persentase Anaplasma sp. (%)

1 0.38 ± 0.08a

30 0.38 ± 0.05a

37 0.35 ± 0.04a

44 0.27 ± 0a

Keterangan : huruf superskrip yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada taraf (p>0.05)

Gambar 14 Rata-rata persentase Anaplasma sp. pada musang luak selama 44 hari Berdasarkan hasil pengamatan, rata-rata persentase Anaplasma sp. menunjukkan nilai yang sama pada pengamatan hari ke-1 dan ke-30 yaitu sebesar 0.38 %. Infeksi Anaplasma sp. telah terlihat pada hari ke-1 pengambilan darah

(41)

28

sehingga dapat dikatakan infeksi telah terjadi sekitar 2-6 minggu setelah penularan dari vektor selama dihabitat aslinya (OIE 2012). Pada hari ke-37 hingga hari ke-44 terjadi penurunan rata-rata persentase Anaplasma sp. (Tabel 4, Gambar 14). Penurunan ini mengindikasikan infeksi Anaplasma sp. mencapai stadium penyembuhan yang dimulai lebih kurang 28 hari setelah infeksi (Bakken et al. 2006). Pada stadium penyembuhan jumlah sel darah merah, PCV, dan hemoglobin akan meningkat hingga rentang nilai normal (Merck Veterinary Manual 2011). Hal ini didukung oleh hasil pengamatan Purnomo (2012) yang menunjukkan adanya peningkatan nilai rata-rata jumlah sel darah merah, PCV, dan hemoglobin musang luak selama 4 kali pengamatan. Setelah tahap penyembuhan dari infeksi awal, hewan yang terinfeksi Anaplasma sp. cenderung akan menjadi carrier (OIE 2012).

Persentase Parasit Dalam Sel Darah Merah Musang Luak Jantan dan Betina

Rata-rata persentase parasitemia (Babesia sp., Theileria sp., Anaplasma sp.) pada musang luak jantan dan betina disajikan sebagai berikut :

Tabel 5 Rata-rata persentase parasitemia (Babesia sp., Theileria sp., Anaplasma sp.) pada musang luak jantan dan betina

Keterangan : huruf superskrip yang sama pada kolom dan baris dalam 1 jenis parasit menunjukkan tidak berbeda nyata pada taraf (p>0.05).

Berdasarkan hasil analisis statistik rata-rata persentase parasitemia (Babesia sp., Theileria sp., dan Anaplasma sp.) antara musang luak jantan dan betina menunjukkan nilai yang tidak berbeda nyata sehingga diduga infeksi parasit tidak dipengaruhi oleh jenis kelamin karena umur musang luak yang masih muda (di bawah 1 tahun). Temuan ini didukung dengan pernyataan Atif et al. (2012) yang menyatakan jenis kelamin berpengaruh terhadap persentase infeksi parasit pada saat memasuki umur dewasa yaitu pada betina. Hewan betina lebih rentan

Pengambilan darah pada

hari ke-

Babesia sp. (%) Theileria sp. (%) Anaplasma sp. (%)

Jantan Betina Jantan Betina Jantan Betina

1 0.00 ± 0.00b 0.07 ± 0.12 b 0.10 ± 0.10c 0.00 ± 0.00c 0.27 ± 0.06a 0.50 ± 0.17a

30 0.07 ± 0.06 b 0.03 ±0.06 b 0.03 ± 0.06c 0.20 ± 0.26c 0.33 ± 0.12a 0.43 ± 0.06a

37 0.03 ± 0.06b 0.00 ± 0.00 b 0.10 ± 0.17c 0.13 ± 0.12c 0.40 ± 0.17a 0.30 ± 0.17a

(42)

29

terhadap imunosupresi saat stres dan laktasi sehingga dapat meningkatkan infeksi parasit dalam sel darah merah.

Berdasarkan hasil penelitian Purnomo (2012), dari awal hingga akhir penelitian kondisi ke-6 musang luak tidak menunjukkan gejala sakit. Selain itu jumlah butir darah merah, nilai PCV, HB, dan indeks eritrosit (MCV, MCH, dan MCHC) masih dalam rentang nilai normal sehingga dapat dikatakan persentase parasitemia yang diperoleh dari hasil pengamatan tidak menimbulkan anemia pada musang luak. Hal ini dikarenakan musang luak yang digunakan masih berumur muda yaitu kurang dari 1 tahun sehingga lebih tahan terhadap infeksi parasit dalam sel darah merah (Levine 1995).

(43)

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

1. Pada musang luak dapat ditemukan dua jenis golongan parasit yang berhabitat di dalam sel darah merah yaitu protozoa (Babesia sp. dan Theileria sp.) dan Rickettsia (Anaplasma sp.).

2. Persentase parasitemia tertinggi terjadi pada infeksi Anaplasma sp., diikuti oleh Theileria sp. dan Babesia sp.

3. Jenis kelamin musang luak tidak mempengaruhi infeksi parasit dalam sel darah merah.

Saran

Perlu dilakukan uji lanjut mengenai cara identifikasi jenis parasit dalam sel darah merah dengan jumlah sampel yang lebih banyak. Uji lanjut yang dapat dilakukan adalah PCR, reverse line blot hybridization, DNA sequencing, dan

(44)

31

DAFTAR PUSTAKA

Abebe YD. 2003. Sustainable utilization of the African civet (Civettictis civetta) in Ethiopia. Di dalam: Bihini Won wa Musiti, editor. Second pan-African

symposium on the sustainable use of natural resources in Africa. UK:

Thanet press limited. hlm 197-208.

Altay K, Fatih A, Nazir D, Munir A. 2008. Molecular detection of Theileria and Babesia infections in cattle. Vet Parasitol. 158:295–301.

Aroon S, Artchawakom T, Hill JG, Kupittayanant S, Thanee N. 2009. Ectoparasites of the common palm civet (Paradoxurus Hermaphroditus) at Sakaerat Environmental Research Station, Thailand. Suranaree J. Sci.

Technol. 16(4):277-281.

Arulkanthan A, Wendy CB, Travis CM, Donald PK. 1999. Biased immunoglobulin G1 isotype responses induced in cattle with DNA expressing msp1a of Anaplasma marginale. Infection And Immunity. 67(7):3481–3487.

Ashadi G, Handayani SU. 1992. Protozoologi veteriner I. Bogor: IPB Pr.

Atif FA, Muhammad SK, Hafiz JI, Ghulam MA, Ejaz A, Sami U. 2012. Prevalence of Anaplasma marginale, Babesia bigemina and Theileria

annulata infections among cattle in Sargodha District, Pakistan. African J.

Agric Res. 7(22):3302-3307.

Bakken S, Dumler S, Chen SM, Eckman, Mark R, Van Etta L, Walker H. 2006. Human granulocytic ehrlichiosis in the upper midwest United States.

JAMA. 272:212–218.

Ballweber LR. 2001. The Practical Veterinarian. USA: Butterwoerth- Heinemann.

Bishop R, Musoke A, Morzaria S, Gardner M, Nene V. 2004. Theileria: intracellular protozoan parasites of wild and domestic ruminants transmitted by Ixodid ticks. Parasitol. 129:271-283.

Bock R, Jackson L, De Vos A, Jorgensen W. 2004. Babesiosis of cattle.

Parasitol. 129:247-269.

Boozer L, Douglass M. 2005. Babesia gibsoni: an emerging pathogen in dogs.

Compendium. hlm 33-41.

Borah J, Karabi D. 2011. An observation of common palm civet Paradoxurus

(45)

32

Brotowidjoyo MD. 1987. Parasit dan Parasitisme. Edisi pertama. Jakarta : Media Pr.

Corwin, JE. 2000. Buku Saku Patofisiologi. Edisi 3. Yudha EK, Wahyuningsih E, Yulianti D, Karyuni PE, penerjemah; Jakarta: EGC. Terjemahan dari :

Handbook of pathophysiology,3rd Ed.

Daniel W, Afework B, Balakrishnan, Gurja B. 2011. Collection of African civet

civettictis civetta perineal gland secretion from naturally scent-marked

sites. Small Carniv Cons. 44:14–18.

de Sá AG, Cerqueira A de MF, O’Dwyer LH, Macieira D de B, Abreu F da S, Ferreira RF, Pereira AM, Velho PB, Almosny NR. 2006. Detection and molecular characterization of Babesia canis vogeli from naturally infected Brazilian dogs. Intern J Appl Res Vet Med. 4(2):163-168.

Direktorat Keswan. 1980. Pedoman Pengendalian Penyakit Hewan Menular. Jilid

II. Jakarta : Direktorat Kesehatan Hewan, Direktorat Jenderal Peternakan

Departemen Pertanian.

Duh D, Natasa T, Miroslav P, Katja S,Tatjana AZ. 2004. Canine babesiosis in Slovenia: Molecular evidence of Babesia canis canis and Babesia canis

vogeli. Vet Res. 35:363–368.

Dumler JS, Barbet AF, Bekker CPJ, Dasch GA, Palmer GH, Ray SC, Rikihisa Y, Rurangirwa FR. 2001. Reorganization of the genera in the families Rickettsiaceae and Anaplasmataceae in the order Rickettsiales: unification of some species of Ehrlichia with Anaplasma, Cowdria with

Ehrlichia and Ehrlichia with Neorickettsia, descriptions of six new species

combinations and designation of Ehrlichia equi and “HGE agent” as subjective synonyms of Ehrlichia phagocytophila. Int J. Syst Evol

Microbiol. 51:2145-2165.

Dyachenko V, Nikola P, Hans-Joerg B, Ariane M, Reinhard KS. 2012 First case of Anaplasma platys infection in a dog from Croatia.[ARTIKEL]. 5(49):1-7.

Ferreira RF, Aloysio de MFC, Ananda MP, Cecília MG, Alexandre G de Sá, Fabricio da SA, Carlos LM, Nadia RPA. 2007. Anaplasma platys diagnosis in dogs: comparison between morphological and molecular tests. Int J. Appl Res Vet Med. 5(3):113-119.

Foreyt WJ. 2001. Veterinary Parasitology Reference Manual. 5th Edition. Iowa : Iowa State Pr.

Fornelio AC, A Martinez M, A Buling S, JC Barba C. 2003. Molecular studies on Babesia, Theileria and Hepatozoon in Southern Europe Part I. epizootiological aspects. Vet Parasitol. 113:189–201.

Gambar

Gambar 2 Wilayah distribusi musang luak (Panggabean 2011).
Gambar 3 Babesia sp. (Duh et al. 2004).
Gambar 4 Siklus hidup Babesia sp. (Hunfeld et al. 2008).
Gambar 5 Theileria sp. (Stockham et al. 2000)
+6

Referensi

Dokumen terkait

Dikarenakan belum adanya aturan perundangan ( Hukum Positif ) yang mengatur transaksi perdagangan dengan model transaksi elektronik ( Electronic Commerce ) tersebut maka

Pada Ultrasonic Testing (UT) Ultrasonic Testing (UT) , untuk memeriksa tebal bahan dan atau adanya , untuk memeriksa tebal bahan dan atau adanya cacat dalam bahan dengan

atau gangguan pendengaran pada karyawan sehingga perlu adanya pengamatan langsung pada lingkungan fisik. 2) Beberapa faktor lingkungan fisik yang diukur meliputi

Dari beberapa studi kasus pengalaman risiko konstruksi pembangkit listrik konvensional dan identifikasi risiko yang terjadi, maka langkah- langkah yang diperlukan

Berdasarkan dari hasil penelitian yang telah penulis uraikan pada bab terdahulu, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut bahwa dari hasil yang diperoleh

Kelompok- komoditas yang memberikan andil/sumbangan terhadap inflasi Banten berturut-turut sebagai berikut: kelompok bahan makanan sebesar -0,0143 persen; kelompok

Tujuan dari program Paket C itu sendiri salah satunya adalah untuk memenuhi kebutuhan belajar masyarakat yang tidak dapat terpenuhi dalam jalur pendidikan

[r]