• Tidak ada hasil yang ditemukan

Identifikasi Parasit Dalam Sel Darah Merah

Penelitian mengenai jenis parasit dalam sel darah merah musang luak saat ini masih sangat sedikit. Oleh karena itu, dalam penelitian kali ini hasil yang didapat dibandingkan dengan jenis parasit dalam sel darah merah anjing. Hal ini dikarenakan musang luak masih dalam satu Ordo dengan anjing yaitu ordo Carnivora sehingga terdapat kekerabatan diantara keduanya. Berdasarkan hasil pengamatan terhadap 24 preparat ulas darah musang luak dapat ditemukan dua jenis golongan parasit yang berhabitat di dalam sel darah merah yaitu protozoa (Babesia sp. dan Theileria sp.) dan Rickettsia (Anaplasma sp.). Pada satu preparat ulas darah musang luak dapat ditemukan lebih dari satu jenis parasit dalam sel darah merah. Pada hari ke-1 hingga ke-37 ditemukan adanya infeksi Babesia sp.,

Theileria sp., dan Anaplasma sp., sedangkan pada hari ke-44 hanya ditemukan Anaplasma sp. dan Theileria sp. Penzhorn (2006) juga menyatakan parasit dalam

sel darah merah yang umum ditemukan pada hewan domestik dan hewan liar adalah Babesia sp., Theileria sp., dan Anaplasma sp. (Dyachenko 2012). Infeksi

Babesia sp., Theileria sp., dan Anaplasma sp. telah terlihat saat pengambilan

darah pada hari ke-1 (Tabel 1). Diduga musang luak telah terinfeksi parasit dalam sel darah merah sejak di habitat aslinya.

Morfologi parasit dalam sel darah merah yang pertama ditemukan berbentuk bulat atau oval dan berpasangan dengan warna yang lebih gelap dibandingkan dengan sitoplasma sel darah merah. Karakteristik tersebut sesuai dengan morfologi Babesia sp. (Boozer & Douglass 2005). Dalam hal kekerabatan dengan anjing, morfologi tersebut sesuai dengan Babesia canis yang memiliki bentuk seperti buah pir dengan diameter 2.5-5.0 mikron, meruncing pada satu ujung dan tumpul pada ujung yang lain, dan berpasangan (Hunfeld et al. 2008). Selain berhabitat di dalam sel darah merah, Babesia sp. juga dapat ditemukan dalam sel-sel makrofag. Hal ini berhubungan dengan proses fagositosis sel-sel darah merah yang terinfeksi parasit oleh makrofag (Ashadi & Handayani 1992). Menurut Penzhorn (2006) terdapat spesies tersendiri yang menyerang bangsa musang yaitu

21

Babesia civettae, akan tetapi belum terdapat studi yang mempelajari tentang

morfologi dan penyebarannya secara lebih dalam.

Gambar 9 A. Babesia sp. (Pembesaran 1000x dengan pewarnaan Giemsa), B. Babesia canis (Kaufmann 2001)

Jenis kedua parasit dalam sel darah merah yang ditemukan berbentuk koma atau batang dan memiliki warna yang lebih gelap dibandingkan dengan sitoplasma sel darah merah. Morfologi tersebut sesuai dengan morfologi Theileria sp. yang memiliki bentuk batang dengan ukuran kira-kira 1.5-2.0 x 0.5–1.0 µm (Kaufmann 2001). Bentuk lain yang umum dijumpai pada sel darah merah adalah bundar, oval, dan dapat juga berbentuk koma.

Gambar 10 A. Theileria sp. (Pembesaran 1000x dengan pewarnaan Giemsa), B. Theileria sp. (Stockham et al. 2000)

Parasit darah lainnya juga ditemukan dengan bentuk bulat berwarna merah terang yang terletak di tepi maupun di tengah sel darah merah dengan ukuran yang lebih kecil dari Babesia sp. Morfologi tersebut sesuai dengan Anaplasma sp.

A B

A

A B

22

yang memiliki bentuk bulat dengan diameter 0.2-0.5 mikron, tidak memiliki sitoplasma namun terdapat lingkaran terang tidak nyata yang berada di sekitarnya (Ashadi & Handayani 1992). Spesies Anaplasma sp. yang dapat menyerang karnivora adalah Anaplasma platys (Ferreira et al. 2007). Anaplasma sp. pada awalnya termasuk ke dalam golongan protozoa, namun dari hasil penelitian-penelitian tidak menunjukkan bahwa Anaplasma sp. memiliki karakteristik yang signifikan dengan protozoa, sehingga Anaplasma sp. dimasukkan ke dalam golongan Rickettsia (Rajput et al. 2005, Sparagano et al. 2003). Perubahan tersebut berdasarkan analisis terhadap kombinasi ribosom 16S RNA, groESL, dan protein permukaan (Dumler et al. 2001).

Gambar 11 A. Anaplasma sp. (Pembesaran 1000x dengan pewarnaan Giemsa), B. Anaplasma sp. (Kaufmann 2001)

Rata-rata persentase parasitemia (Babesia sp., Theileria sp., dan Anaplasma sp.) bervariasi tiap individu. Perbedaan tersebut dipengaruhi oleh jumlah parasit yang menginfeksi. Jumlah parasit itu sendiri dipengaruhi oleh berbagai faktor diantaranya adalah keberadaan vektor yaitu caplak keras yang tergolong ke famili Ixodidae (Soulsby 1982), misalnya Boophilus spp., dan Rhipicephalus spp. yang berperan dalam penyebaran Babesia sp. Pada penyebaran Theileria sp. vektor yang berperan selain Boophilus spp., dan Rhipicephalus spp. adalah

Haemaphysalis, Amblyomma, dan Hyalomma. Sesuai dengan hasil penelitian

Aroon et al. (2009) yang berhasil mengidentifikasi jenis ektoparasit pada musang luak di Sakaerat Environmental Research Station, Thailand yaitu Hemaphysalis sp., Ixodes sp., dan Amblyomma sp. Oleh karena itu terdapat kemungkinan caplak tersebut dapat pula menginfeksi musang luak di Jawa yang masih satu spesies

A B

23

dengan musang luak di Thailand sehingga dapat berperan sebagai vektor Babesia sp. dan Theileria sp. Penyebaran Anaplasma sp. selain melalui vektor caplak dapat juga melalui nyamuk, lalat kandang dan lalat penghisap darah dari famili Tabanidae (Hornok et al. 2008). Pada negara yang memiliki empat musim, caplak akan muncul pada musim panas, sedangkan di Indonesia yang memiliki iklim tropis dapat terjadi sepanjang tahun. Caplak akan melekat secara kuat pada inang dalam periode waktu yang lama. Pada saat makan caplak sering mengalami regurgitasi yang memungkinkan terjadinya perpindahan patogen melalui air liur ke dalam tubuh inang termasuk parasit dalam sel darah merah (Babesia sp.,

Theileria sp., dan Anaplasma sp.). Oleh karena itu, makin banyak caplak yang

melekat pada tubuh hewan makin tinggi pula kemungkinan infeksi parasit dalam sel darah merah.

Faktor lain yang dapat meningkatkan infeksi parasit dalam sel darah merah adalah geografi, umur, tingkat stres, dan managemen pemeliharaan (Brotowidjoyo 1987). Managemen pemeliharaan mengambil peranan dalam tingkat stres yang dialami musang luak. Kondisi kandang penelitian yang berbeda dari tempat asal dapat menimbulkan stres pada musang luak. Pada awal tahap adaptasi, semua musang luak terlihat gelisah dan anoreksia hingga minggu ke-2. Hal ini mengindikasikan musang luak mengalami stres. Kondisi stres dapat menurunkan kondisi tubuh sehingga daya tahan dan kekebalan akan menurun pula sehingga lebih rentan terhadap infeksi parasit dalam sel darah merah (Direktorat Keswan 1980). Tingkat stres yang berbeda tiap musang luak akan mengakibatkan perbedaan dalam persentase parasitemia tiap individu.

Persentase Parasit Dalam Sel Darah Merah

Keberadaan dan tingkat keparahan infeksi parasit dalam sel darah merah digambarkan dalam nilai persentase parasitemia. Rata-rata persentase parasitemia (Babesia sp., Theileria sp., dan Anaplasma sp.) pada musang luak dapat dilihat sebagai berikut :

24

Tabel 1 Rata-rata persentase parasitemia (Babesia sp., Theileria sp., dan

Anaplasma sp.) pada musang luak tiap waktu pengambilan darah

Keterangan : huruf superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata pada taraf (P>0.05). Satuan dalam persen (%).

Berdasarkan hasil analisis statistik, rata-rata persentase parasitemia (Babesia sp., Theileria sp., dan Anaplasma sp.) pada musang luak tiap waktu pengambilan darah menunjukkan nilai yang berbeda nyata (Tabel 1). Babesia sp., Theileria sp., dan Anaplasma sp. memiliki kemampuan infeksi yang berbeda-beda. Pada tiap hari pengambilan darah rata-rata persentase parasitemia tertinggi terjadi pada infeksi Anaplasma sp. Nilai infeksi tertinggi terjadi pada hari ke-1 dan ke-30 yaitu sebesar 0.38% (Tabel 1). Tingginya persentase Anaplasma sp. dapat disebabkan oleh vektor yang berperan dalam penyebaran Anaplasma sp. lebih bervariasi dibandingkan Babesia sp. dan Theileria sp. yaitu terdiri dari 20 spesies caplak, lalat tabanus, nyamuk, dan lalat kandang (Ashadi & Handayani 1992, Hornok et

al. 2008).

Babesia sp.

Rata-rata persentase Babesia sp. pada musang luak disajikan sebagai berikut Tabel 2 Rata-rata persentase Babesia sp. pada musang luak selama 44 hari

Pengambilan darah hari ke- Persentase Babesia sp. (%)

1 0.03 ± 0.08a

30 0.05 ± 0.05a

37 0.02 ± 0.04a

44 0 ± 0a

Keterangan : huruf superskrip yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada taraf (p>0.05)

Parasit dalam sel darah merah

Pengambilan darah pada hari ke- Rata-rata (%)

1 30 37 44

Babesia sp. 0.03 ± 0.08b 0.05 ± 0.05 b 0.02 ± 0.04 b 0 ± 0 b 0.03±0.02

Theileria sp. 0.05 ± 0.08 b 0.12 ± 0.19 b 0.12 ± 0,13 b 0.17 ± 0.10 a 0.12±0.05

25 0 0.02 0.04 0.06 0.08 0.1 1 30 37 44 Per sen tase (% ) Hari

ke-Gambar 12 Rata-rata persentase Babesia sp. pada musang luak selama 44 hari Berdasarkan hasil analisis statistik rata-rata persentase Babesia sp. selama 44 hari menunjukkan nilai yang tidak berbeda nyata (Tabel 2). Infeksi Babesia sp. telah terlihat pada hari ke-1 sebesar 0.03% sehingga dapat dikatakan bahwa infeksi telah memasuki sekitar minggu kesatu hingga minggu kelima setelah penularan dari vektor selama di habitat aslinya (Boozer & Douglass 2005). Pada hari ke-1 hingga hari ke-30 terjadi peningkatan persentase parasitemia menjadi 0.05% sehingga diduga tahap pertumbuhan Babesia sp. masih terjadi. Tahap pertumbuhan Babesia sp. ditandai dengan pembelahan biner pada trofozoit membentuk merozoit pada stadium merogoni (Bock et al. 2004). Pembelahan parasit yang cepat di dalam sel darah merah induk semang mengakibatkan rusaknya sel darah merah, hemoglobinaemia, hemoglobinuria, dan krisis hemolitik akut. Pada hari ke-37 hingga hari ke-44 terjadi penurunan nilai persentase parasitemia hingga tidak ditemukan sama sekali adanya Babesia sp. Selama penelitian tidak dilakukan upaya pengobatan terhadap parasit dalam sel darah merah sehingga diduga infeksi Babesia sp. bersifat self limiting disease atau dapat sembuh dengan sendirinya tanpa pengobatan. Hal ini didukung dengan pernyataan Taylor et al. (2007) yang menyatakan infeksi Babesia sp. yang bersifat tidak fatal dapat terjadi persembuhan dengan jangka waktu yang panjang. Selain itu, peristiwa ini mirip dengan infeksi Babesia canis pada anjing yang akan menghilang dari darah perifer selama 10 hari (Ashadi & Handayani 1992).

26

Theileria sp.

Rata-rata persentase Theileria sp. pada musang luak disajikan sebagai berikut :

Tabel 3 Rata-rata persentase Theileria sp. pada musang luak selama 44 hari. Pengambilan darah hari ke- Persentase Theileria sp. (%)

1 0.05 ± 0.08a

30 0.12 ± 0.05a

37 0.12 ± 0.04a

44 0.17 ± 0a

Keterangan : huruf superskrip yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada taraf (p>0.05)

Gambar 13 Rata-rata persentase Theileria sp. pada musang luak selama 44 hari Adanya infeksi Theileria sp. pada musang luak yang termasuk ordo Carnivora tidak sesuai dengan pernyataan Taylor et al. (2007) yang menyatakan

Theileria sp. memiliki induk semang ruminansia atau wild ruminant. Akan tetapi,

pada studi lain di tahun 2003 telah ditemukan spesies dari Theileria yang menyerang karnivora yaitu Theileria annae (Fornelio et al. 2003). Infeksi

Theileria sp. telah terjadi pada hari ke-1 sehingga dapat dikatakan bahwa infeksi

telah memasuki minggu ke-9. Hal ini dikarenakan mikromerozoit yang dihasilkan dari pembelahan mikroskizon pada stadium merogoni akan dilepaskan dari limfosit dan menyerang sel darah merah yang disebut piroplasma saat memasuki minggu ke-9 setelah penularan dari vektor (Shaw et al. 1993). Tabel 3 dan gambar 13 menunjukkan adanya peningkatan nilai rata-rata persentase Theileria sp. dari

27

hari ke-1 hingga ke-44. Akan tetapi berdasarkan hasil analisis statistik peningkatan persentase Theileria sp. tersebut tidak menunjukkan nilai yang berbeda nyata. Infeksi Theileria sp. telah melewati masa inkubasi (1-3 minggu) dengan persentase parasitemia yang rendah yaitu antara 0.01-1% sehingga diduga infeksi telah berjalan kronis dan dapat menjadi carrier (Altay et al. 2008). Musang luak yang bertindak sebagai carrier dapat menjadi sumber infeksi bagi caplak yang berperan sebagai vektor Theleria sp. (Oliveira et al. 1995).

Anaplasma sp.

Rata-rata persentase Anaplasma sp. pada musang luak disajikan sebagai berikut :

Tabel 4 Rata-rata persentase Anaplasma sp. pada musang luak selama 44 hari Pengambilan darah hari ke- Persentase Anaplasma sp. (%)

1 0.38 ± 0.08a

30 0.38 ± 0.05a

37 0.35 ± 0.04a

44 0.27 ± 0a

Keterangan : huruf superskrip yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada taraf (p>0.05)

Gambar 14 Rata-rata persentase Anaplasma sp. pada musang luak selama 44 hari Berdasarkan hasil pengamatan, rata-rata persentase Anaplasma sp. menunjukkan nilai yang sama pada pengamatan hari ke-1 dan ke-30 yaitu sebesar 0.38 %. Infeksi Anaplasma sp. telah terlihat pada hari ke-1 pengambilan darah

28

sehingga dapat dikatakan infeksi telah terjadi sekitar 2-6 minggu setelah penularan dari vektor selama dihabitat aslinya (OIE 2012). Pada hari ke-37 hingga hari ke-44 terjadi penurunan rata-rata persentase Anaplasma sp. (Tabel 4, Gambar 14). Penurunan ini mengindikasikan infeksi Anaplasma sp. mencapai stadium penyembuhan yang dimulai lebih kurang 28 hari setelah infeksi (Bakken et al. 2006). Pada stadium penyembuhan jumlah sel darah merah, PCV, dan hemoglobin akan meningkat hingga rentang nilai normal (Merck Veterinary Manual 2011). Hal ini didukung oleh hasil pengamatan Purnomo (2012) yang menunjukkan adanya peningkatan nilai rata-rata jumlah sel darah merah, PCV, dan hemoglobin musang luak selama 4 kali pengamatan. Setelah tahap penyembuhan dari infeksi awal, hewan yang terinfeksi Anaplasma sp. cenderung akan menjadi carrier (OIE 2012).

Persentase Parasit Dalam Sel Darah Merah Musang Luak Jantan dan Betina

Rata-rata persentase parasitemia (Babesia sp., Theileria sp., Anaplasma sp.) pada musang luak jantan dan betina disajikan sebagai berikut :

Tabel 5 Rata-rata persentase parasitemia (Babesia sp., Theileria sp., Anaplasma sp.) pada musang luak jantan dan betina

Keterangan : huruf superskrip yang sama pada kolom dan baris dalam 1 jenis parasit menunjukkan tidak berbeda nyata pada taraf (p>0.05).

Berdasarkan hasil analisis statistik rata-rata persentase parasitemia (Babesia sp., Theileria sp., dan Anaplasma sp.) antara musang luak jantan dan betina menunjukkan nilai yang tidak berbeda nyata sehingga diduga infeksi parasit tidak dipengaruhi oleh jenis kelamin karena umur musang luak yang masih muda (di bawah 1 tahun). Temuan ini didukung dengan pernyataan Atif et al. (2012) yang menyatakan jenis kelamin berpengaruh terhadap persentase infeksi parasit pada saat memasuki umur dewasa yaitu pada betina. Hewan betina lebih rentan

Pengambilan darah pada

hari ke-

Babesia sp. (%) Theileria sp. (%) Anaplasma sp. (%)

Jantan Betina Jantan Betina Jantan Betina

1 0.00 ± 0.00b 0.07 ± 0.12 b 0.10 ± 0.10c 0.00 ± 0.00c 0.27 ± 0.06a 0.50 ± 0.17a

30 0.07 ± 0.06 b 0.03 ±0.06 b 0.03 ± 0.06c 0.20 ± 0.26c 0.33 ± 0.12a 0.43 ± 0.06a

37 0.03 ± 0.06b 0.00 ± 0.00 b 0.10 ± 0.17c 0.13 ± 0.12c 0.40 ± 0.17a 0.30 ± 0.17a

29

terhadap imunosupresi saat stres dan laktasi sehingga dapat meningkatkan infeksi parasit dalam sel darah merah.

Berdasarkan hasil penelitian Purnomo (2012), dari awal hingga akhir penelitian kondisi ke-6 musang luak tidak menunjukkan gejala sakit. Selain itu jumlah butir darah merah, nilai PCV, HB, dan indeks eritrosit (MCV, MCH, dan MCHC) masih dalam rentang nilai normal sehingga dapat dikatakan persentase parasitemia yang diperoleh dari hasil pengamatan tidak menimbulkan anemia pada musang luak. Hal ini dikarenakan musang luak yang digunakan masih berumur muda yaitu kurang dari 1 tahun sehingga lebih tahan terhadap infeksi parasit dalam sel darah merah (Levine 1995).

Dokumen terkait