• Tidak ada hasil yang ditemukan

KEBIJAKAN KRIMINALISASI TERHADAP TINDAK PIDANA PENODAAN AGAMA DALAM PERSPEKTIF HAM

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "KEBIJAKAN KRIMINALISASI TERHADAP TINDAK PIDANA PENODAAN AGAMA DALAM PERSPEKTIF HAM"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

KEBIJAKAN KRIMINALISASI TERHADAP TINDAK PIDANA

PENODAAN AGAMA DALAM PERSPEKTIF HAM

Oleh :

Muhammad Farid, S.H., M.H.1 Gunawan Jatmiko, S.H., M.Hum.

Damanhuri W.N, S.H., M.H.

Abstrak

Perumusan tindak pidana Penodaan Agama dalam Pasal 156a KUHP masih sering menimbulkan permasalahannya ketika diaplikasikan dalam kondisi yang konkrit. Hal ini disebabkan terlalu lenturnya perbuatan-perbuatan yang dikategorikan sebagai penodanaan agama. Berdasarkan hal tersebut dirumuskan dua permasalahan : bagaimanakah kebijakan kriminalisasi ketika dirumuskannya perbuatan yang dikategorikan penodaan agama menjadi tindak pidana ? dan bagaimanakah kebijakan aplikatif tindak pidana penodaan agama dalam penegakan hukum saat ini ?. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kebijakan kriminalisasi terhadap perbuatan yang dikategorikan sebagai tindak pidana penodaan agama didasarkan pada perbuatan-perbuatan tersebut dianggap menghambat nation building pada waktu itu. Sedangkan dalam aplikasinya masih banyak penafsiran tentang perumusan perbuatan yang dikategorikan sebagai penodaan agama.

Kata Kunci : Kriminalisasi, Penodaan Agama

(2)

I. PENDAHULUAN

Agama merupakan hal yang penting bagi kehidupan seorang manusia, bahkan agama merupakan kebutuhan fitrah bagi manusia. Pemeluk agama menganggap dan meyakini bahwa agama yang dianutnya merupakan pedoman tingkah laku dalam pergaulan dengan sesama maupun dengan Tuhannya dan seandainya pemeluk agama tersebut telah melakukan ataupun tidak melakukan sesuai dengan perintah dan larangan agamanya akan terjamin keselamatannya baik di dunia maupun di akhirat. Oleh karena itu keadaan agama bagi seseorang begitu penting dan berarti, dengan bimbingan agama manusia menjadi terhormat dan bermartabat.2

Masalah kebebasan beragama di Indonesia merupakan issue yang sangat sensitive, hal ini mengingat kultur bangsa Indonesia yang sangat religius, Muladi mengatakan merupakan “nation state” yang religius, disamping itu pula di Indonesia terdapat pluralitas yang menyangkut agama dan keagamaan serta berkeyakinan. Keberagaman berbagai hal termasuk dalam agama terpateri dalam semboyan negara Bhinneka Tunggal Ika artinya berbeda-beda tapi tetap satu juga.

2 Imam Syafei, M.Ag, Manusia, Ilmu dan Agama, Quantum, Press, Ciputat – Jakarta, 2009, hlm 53 : Secara umum manusia mempunyai dua kebutuhan, yaitu: kebutuhan Spiritual dan kebutuhan Materiil.... Kebutuhan manusia yang bersifat spiritual atau agama dalam arti adanya Tuhan dan aturan-aturan yang berasal darinya dapat dilihat dari sifat besar yang dimiliki manusia, yang keadaan psikologis dan sosiologisnya.

Secara Psikologis, manusia mempunyai akan adanya “SESUATU” yang mencipta, menguasai dan memelihara alam semesta. Kesan pertama bahwa “ADA” yang maha kuasa itu merata pada semua umat manusia, yang timbul saat mereka memfungsikan akalnya, kepada kekuatan di luar jangkauan itu.

Hukum menjamin terhadap kebebasan memeluk agama dan meyakini suatu kepercayaan di Indonesia yang diatur dalam Pasal 28E Ayat (1), 29 Ayat (2) UUD 1945.Kebebasan beragama merupakan salah satu HAM yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun. Hal ini terlihat dalam ketentuan Pasal 28 I Ayat (1) yang mengatakan :

“Hak untuk hidup, hak untuk tidak

disiksa, hak kemerdekaan, pikran dan hati nurani, hak untuk tidak diperbudak hak untuk diakui sebagai pribadi dihadapan hukum dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang

tidak dapat dikurangi.”

Jaminan kebebasan beragama juga terdapat dalam Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang HAM dalam mentukan Pasal 4 yang menentukan :

“Hak untuk hidup, hak untuk tidak

disiksa, hak kebebasan pribadi, pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dan persamaan dihadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan

apapun dan oleh siapapun.”

(3)

diskriminatif atas dasar agama yang diyakini dan ibadat yang dijalankan.

Tanggung jawab negara dalam menjamin kebebasan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya, sebagaimana di amanatkan dalam Pasal 29 UUD 1945, maka pemerintah mengeluarkan UU No 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan atau Penodaan Agama yang dikukuhkan oleh UU No. 5 Tahun 1969 tentang pernyataan berbagai Penetapan Presiden dan Peraturan Presiden sebagai Undang-undang. Dalam Pasal 4 No. 1/PNPS/1965 disebutkan adanya penambahan pasal baru dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), yaitu pasal 156a, pasal tersebut menentukan :

“Dipidana penjara selama-lamanya lima tahun barang siapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau perbuatan :

a. Yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia;

b. Dengan maksud agar supaya orang tidak menganut agama apapun juga, yang bersendika Ke- Tuhanan yang

Maha Esa.”

Perbuatan yang dilarang dalam Pasal 156a KUHP adalah perbuatan, perasaan yang bersifat permusuhan, menyalahgunakan agama dan melakukan penodaan terhadap agama yang dianut di Indonesia.Disamping itu, Pasal tersebut juga melarang perbuatan yang mengajak seorang untuk tidak menganut agama apapun juga, yang bersendikan Ke- Tuhanan yang Maha Esa.

Agama yang diakui di Indonesia adalah Islam, Kristen, Katolik, Hindu, dan Budha. Hal tersebut didasarkan pada Surat Edaran

Menteri Dalam Negeri No. 477/74054/1978. Pada Era Pemerintahan Abdulrachman Wahid dengan Keputusan Presiden No. 6 Tahun 2000 Tentang Pengakuan Khong Hu Chu sebagai agama telah mencabut pelarangan Khong Hu Chu sebagai agama. Berdasarkan Keppres tersebut berarti pada saat ini terdapat 6 (enam) agama resmi yang diakui pemerintah. Sebelum agama Khong Hu Chu dilarang oleh pemerintah Orde Baru berdasarkan Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967 Tentang Agama, Kepercayaan, dan adat istiadat Cina.

Pasal 156a KUHP dalam prakteknya memang menjadi semacam peluru yang mengancam, daripada melindungi warga negara. Ancaman itu terutama bila digunakan oleh kekuatan yang anti demokrasi dan anti pluralism, sehingga orang dengan mudah menuduh orang lain telah melakukan penodaan agama.3

Salah satu faktor yang menyebabkan timbulnya ketegangan dalam masyarakat adalah ketidak jelasan kebijakan formulasi perbuatan yang dilarang oleh Pasal 156a KUHP tersebut, khususnya dalam kata permusuhan, penyalahgunaan dan perbuatan penodaan agama. Kata permusuhan, penyalahgunaan terhadap suatu agama tidak cukup untuk menjelaskan perbuatan-perbuatan apa yang dimaksud atau dikategorikan sebagai permusuhan, penyalahgunaan dan penodaan. Bahkan setelah melihat penjelasannya tidak dapat diketahui secara jelas maksud dari kata ini. Kata permusuhan, penyalahgunaan ataupun penodaan agama merupakan tindakan yang tidak terukur karena terkait dengan suatu proses penilaian sifat, perasaan atas agama, kehidupan beragama dan beribadah yang sifatnya subjektif.

(4)

Dalam prakteknya pasal ini seperti “pasal

karet” (rubber articelen) yang bisa ditarik ulur untuk menjerat siapa saja yang dianggap menodai agama, Pasal ini bisa digunakan untuk menjerat penulis komik, wartawan, pelaku ritual yang berbeda dengan mainstream, aliran sempalan dan sebagainnya. Karena kelenturan itu, “pasal

karet” bisa direntangkan hampir tanpa

batas.4

Disamping ketidak jelasan formulasi tindak pidana penodaan penodaan agama, eksistensi pasal 156a KUHP yang cakupannya terlalu luas, seperti dikatakan Musdah Mulia di atas justru menyebabkan timbulnya pelanggaran hak. Konflik horisontal berlatar belakang agama sering terjadi baik secara factual maupun potensial dan akan berujung pada pelanggaran hak.

Kekerasan yang berkaitan dengan agama yang terjadi pada awal tahun 2011 adalah kekerasan terhadap jemaah Ahmadiyah di Cikeusik Pandeglang Provinsi Banten dan pembakaran gereja di Temanggung sebagai akibat ketidak puasan terhadap Vonis Hakim Pengadilan Negeri Temanggung yang menjatuhkan tersangka penistaan agama AR. Bawengan dengan pidana maksimal 5 tahun penjara. Para pelaku kerusuhan saat ini sedang dalam proses persidangan di Pengadilan Negeri Tangerang dan Pengadilan Negeri Semarang. Mengakhiri tahun 2011 kekerasan berbau agama pun mencul kembali yaitu dengan adanya pembakaran pondok Pesantren pengikut aliran Syiah di Sampang Madura. Banyaknya konflik horisontal antar warga dilatar belakangi oleh tuduhan penodaan agama akan membawa konsekuensi terganggunya keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia, karena bagaimanapun konflik berbau sara berpotensial untuk menggoyang stabilitas negara dan bisa

4 Ibid

menelan banyak korban jiwa. Karena sebuah iman atau keyakinan akan membawa penganutnya untuk melakukan apapun yang diyakininya.5

Terjadinya konflik yang berlatar belakang keagamaan merupakan kondisi ironis di Indonesia karena jaminan kebebasan beragama telah diatur baik dalam filosofis, konstitutif, maupun yuridis. Jaminan hukum terhadap kebebasan agama melalui kebijakan hukum pidana merupakan hal yang controversial. Kebijakan hukum pidana dalam menjamin kebebasan beragama dan kepercayaan diwujudkan dengan melakukan kebijakan kriminalisasi terhadap perbuatan-perbuatan yang dianggap menodai agama. Hal ini dipandang controversial karena kehadiran hukum pidana dalam menjamin kebebasan beragama dan kepercayaan justru dipandang sebagai faktor yang menghambat kebebasan beragama dan kepercayaan yang merupakan salah satu HAM.

Keterlibatan hukum pidana dalam menjamin kebebasan beragama yaitu dengan adanya kriminalisasi terhadap perbuatan yang dipandang menodai agama. Sehingga jaminan kebebasan beragama dan kepercayaan dengan melibatkan hukum pidana melalui suatu kebijakan kriminal dianggap bertentangan dengan HAM itu sendiri. Disamping itu juga adanya ketidak jelasan formulasi perbuatan yang dipandang sebagai penodaan agama.

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas maka yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah:

1. Bagaimanakah kebijakan kriminalisasi tindak pidana penodaan agama ditinjau dari Hak Asasi Manusia ?

(5)

2. Bagaimanakah kebijakan Aplikatif tindak pidana penodaan agama ?

II. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Kebijakan Kriminalisasi Terhadap Tindak Penodaan Agama :

Kriminalisasi terhadap suatu perbuatan yang dikatakan penodaan agama, yang telah diformulasi pada tahun 1965 dengan diundangkannya UU No. 1/PNPS/1965 Tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama di dasarkan pada peristiwa-peristiwa yang terjadi pada waktu itu.

Alinea di atas menjelaskan bahwa dalam Pasal 4 undang-undang tersebut menyebutkan ada penambahan pasal baru dalam KUHP, yaitu Pasal 156a KUHP. Secara faktual keberadaan Pasal 156a KUHP maupun penerapan pasal lainnya dalam UU No. 1/PNPS/1965 sering menimbulkan permasalahan, disamping itu eksistensi pengaturan tindak pidana Penodaan Agama sebagaimana diatur dalam Pasal 156a KUHP maupun pasal lainnya dalam UU No. 1/PNPS/1965 dianggap oleh sebagian masyarakat melanggar HAM khususnya hak kebebasan beragama dan berkeyakinan. Hal ini terbukti walaupun dengan adanya gugatan uji materiil terhadap undang-undang tersebut di Mahkamah Konstitusi walaupun pada akhirnya gugatan uji materiil tersebut ditolak oleh Mahkamah Konstitusi.

Politik hukum yang melatarbelakangi kebijakan kriminalisasi penodaan agama pada saat itu dapat dilihat dari penjelasan maupun konsideran undang-undang

tersebut.6 Dari penjelasan tersebut terlihat beberapa peristiwa yang terjadi pada waktu

itu dan menjadi alasan

dikriminalisasikannya perbuatan yang dipandang sebagai penodaan agama Berdasarkan hasil penelitian terlihat bahwa faktor yang mempengaruhi kriminalisasi terhadap suatu perbuatan yang dipandang sebagai penodaan agama karena berkembangnya alairan kepercayaan waktu itu. Aliran kepercayaan tersebut dalam hal tertentu dapat mengganggu akidah agama khususnya agama Islam. Eksistensi aliran-aliran kepercayaan atau kebatinan yang berkembang pesat pada masa itu dianggap dapat membahayakan agama dan akhirnya dapat membayakan persatuan Bangsa dan Negara.

Kondisi tersebut memunculkan gagasan tuntutan dari DPR pada sidangnya tahun 1952 agar aliran kebatinan dilarang keberadaannya. Hal ini menunjukkan adanya upaya kriminalisasi terhadap aliran-aliran kebatinan dan kepercayaan masyarakat yang berkembang saat itu. Berdasarkan formulasi tindak pidana penodaan agama sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 156a sub a KUHP terlihat adanya tiga perbuatan yang dilarang yaitu perbuatan permusuhan, penyalahgunaan dan penodaan yang ditujukan kepada agama. ketiga perbuatan tersebut bersifat alternative dalam arti untuk menjerat suatu perbuatan sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 156 a (Pasal 4) tidak harus melakukan tiga perbuatan tersebut melainkan salah satu atau dua perbuatan saja bisa menjerat berdasarkan Pasal tersebut, baik itu

6 Esmi Warassih, Pranata Hukum Sebuah Telaah Sosiologis, PT Suryandaru Utama, 2005, hlm, 134: Pada umumnya isi kebijaksanaan yang dituangkan dalam sistem hukum diletakkan di bagian

(6)

permusuhan saja, penyalahgunaan dan penodaan saja yang ditujukan pada agama.

Sedangkan tindak pidana agar seseorang tidak menganut agama diformulasikan dalam Pasal 156a sub b KUHP. Pengaturan ini menunjukkan bahwa di Indonesia tidak dimungkinkan adanya atheism. Hal ini sesuai dengan landasan filosofis sebagaimana terdapat dalam sila pertama

Pancasila “Ke-Tuhanan Yang Maha Esa”. Dapatlah diartikan bahwa dengan dasar Pancasila Indonesia adalah negara beragama bukan negara agama.

Tindak pidana penodaan agama Pasal 4 ditempatkan menjadi Pasal 156a KUHP yang dikelompokkan ke dalam kejahatan terhadap ketertiban umum, yaitu dalam Bab V. Apabila dilihat dari teori delik agama dikaitkan dengan factor yang melandasi kebijakan kriminalisasi terhadap perbuatan yang dipandang sebagai penodaan agama maupun formulasi deliknya, maka penempatan Pasal 4 UU No 1/PNPS/1965 ke dalam Bab V Tentang Ketertiban Umum maka tidak tepat. Hal ini disebabkan yang hendak dilindungi dalam kriminalisasi perbuatan yang dipandang sebagai penodaan agama adalah agama itu sendiri, sedangkan menempatkannya pada Pasal 4 dalam Bab V KUHP menimbulkan kesan bahwa bukan agama yang dilindungi melainkan ketertiban umum. Oleh karena itu untuk dapat mempidana Pasal 4 UU No. 1/PNPS/1965 atau Pasal 156a KUHP harus dibuktikan bahwa perbuatan tersebut mengganggu ketertiban umum. Jadi dengan ditempatkannya tindak pidana penodaan agama dalam Bab V menunjukkan bahwa sebetulnya yang hendak dilindungi adalah kedamaian/ketentraman umat beragama.

Berdasarkan uraian di atas apabila dilihat dari proses pembentukan hukum terlihat bahwa berkembangnya aliran kepercayaan/kebatinan yang berkembang

pada waktu itu serta adanya tindakan masyarakat yang menginjak-injak Al Qur’an pada waktu itu merupakan problem sosial yang dapat membangkitkan orang banyak untuk melakukan tindakan terhadap problem-problem itu. Usulan anggota DPR yang meminta Departemen Agama untuk mendefisikan agama serta usulan untuk melarang aliran kepercayaan serta pendirian Bakorpakem merupakan suatu tahapan politis karena pada saatu problem sosial telah diidentifikasi dan dirumuskan lebih lanjut. Tahapan yuridis terlihat dengan ditetapkannya Penetapan Presiden No. 1 Tahun 1965 yang telah ditingkatkan menjadi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1965.

Apabila perbuatan-perbuatan yang dipandang sebagai penodaan agama dianggap telah mengganggu nation building maka salah satu kriteria kriminalisasi yaitu bahwa suatu perbuaan dapat dikriminalisasi apabila perbuatan tersebut dapat menghambat pembangunan ini telah terpenuhi ssehingga layaklah apabila perbuatan-perbuatan tersebut ditetapkan sebagai suatu perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana. Berdasarkan pada penjelasan UU No. 1/PNPS/1965 di atas perbuatan-perbuatan yang dapat menodai agama adalah ajaran-ajaran, perbuatan-perbuatan dari pemeluk aliran kebatinan aau kepercayaan yang bertentangan dengan ajaran-ajaran dan hukum agama.

(7)

B. Kebijakan Aplikatif Tindak Pidana Penodaan Agama

Kebijakan aplikatif terhadap Pasal 156a KUHP menunjukkan keberagaman berkaitan dengan suatu perbuatan yang di kategorikan sebagai penodaan agama oleh Pengadilan seperti permusuhan, penyalahgunaan dan penodaan yang ditujukan kepada agama.

Pengadilan Negeri Sampang Nomor 69/Pid.B/2012/PN. Spg. Telah menjatuhkan pidana penjara 2 tahun kepada Tajul Muluk als. H. Ali Murtadho karena dinyatakan bersalah melakukan tindak pidana

“Melakukan perbuatan yang pada pokoknya

bersifat penodaan agama terhadap agama

islam” sebagaimana dimaksud dalam Pasal

56a KUHP. Adapun perbuatan yang dilakukan oleh Tajul Muluk adalah mengajarkan kepada para santrinya diantaranya bahwa kitab Al-Qur’an yang berada di tangan kaum muslimin saat ini dianggap tidak autentik atau tidak orisinil dengan mengistilahkan “aqidah tafsir Al

Qur’an yang orisinal sedang dibawa oleh Ak

Imam Akhdiy Al Munthadhor yang saat ini sedang gaib.

Pengadilan Negeri Temanggung dalam Keputusannya No.06/Pid.B/2011/PN.TMG telah menjatuhkan kasus penodaan agama terhadap Antonius Richmond Bawengan bin Drs. Gerson Wardez Bawengan, SH yang menyatakan terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan

tindakan pidana “Melakukan perbuatan dianut di Indonesia”. Perbuatan konkrit yang

dilakukan terdakwa berupa menyebarkan buku – buku yang pada pokoknya berisi penghujatan terhadap agama – agama yang dianut di Indonesia. Judul buku – buku

tersebut yaitu “Ya Tuhanku, Tertipu Aku” dan “Saudara perlukan Sponsor” serta brosur yang berjudul “Selamatkan Diri Dari Dajjal dan Qiamat”. “Putusan Hakim Bebas”, dan “Tiga Agenda –Tiga Hasil”.

III. SIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian maka dapat ditarik kesimpulan yang dapat diuraikan sebagai berikut:

1.Kebijakan kriminalisasi tindak pidana penodaan agama dalam UU No. 1/PNPS/1965 dan Pasal 156a bertujuan Melindungi agama dan ketentraman hidup beragama. Hal ini terlihat dari kebijakan yang melatar belakangi kriminalisasi tindak pidana penodaan agama dikaitkan dengan penempatannya di dalam Pasal 156a KUHP tentang ketertiban umum. Kebijakan kriminalisasi yang melatar belakangi formulasi tindak pidana penodaan agama dalam undang-undang didasarkan pada perkembangan aliran kebatinan/kepercayaan yang menyimpang dari ajaran-ajaran pokok agama yang dianut di Indonesia pada waktu itu. Disamping itu juga didasarkan pada adanya perbuatan-perbuatan yang dipandang mengganggu kesucian agama seperti perbuatan merobek-robek Al-Qur’an dan pebuatan-perbuatan yang menghina simbol-simbol agama yang lain. Adapun mengenai formulasi perbuatan yang dikategorikan sebagai penodaan agama khususnya Pasal 156a KUHP terlihat belum memenuhi syarat lex certa maupun lex stricta.

(8)

Saran yang diberikan penulis berkaitan dengan Penodaan Agama ini adalah Reformulasi tindak pidana penodaan agama harus jelas. Kejelasan pengertian ini akan mempermudah penerapan pasal tentang tindak pidana penodaan agama dalam kasus yang konkrit.

DAFTAR PUSTAKA

A Titaley, John, 2005, Asian Model of Religion Diversity, : The Uniqueness of Indonesian Religiosity, ed. Alef Theria Wasil et al., religious Harmony Problems, Practice and Education, Yogyakarta : Oasis Publicher.

Adjie, Oemar Seno, 1981, Herzeining Ganti Rugi, Suap, Perkembangan Delik, Erlangga. Jakarta.

Alfian, 1991, Pancasila sebagai Idiologi dalam kehidupan politik, BP 7 Pusat.

Amin, Idi, 2007, Kebijakan Formulasi Hukum Pidana Terhadap Penanggulangan Delik Agama dalam Rangka Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia, Magister Ilmu Hukum Universitas Diponegoro Semarang.

Arief, Barda Nawawi, 1996, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti.

Bosko, Edi Dan Abduh. M. Rifai, 2010, Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan Seberapa Jauh?, Penerbit Kanisius;

Latif, Yudi, 2011, Negara Paripurna Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila, Kompas Gramedia – Jakarta

Monib, Mohammad, 2011, Islam dan Hak Asasi Manusia dalam Pandangan Nurcholis Madjid, Kompas Gramedia,

Maroni, 2012, Rekonstruksi Birokrasi Peradilan Pidana Berbasis Pelayanan Publik Untuk Mewujudkan Keadilan, Program Doktor Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Diponegoro Semarang,

Rumadi, “Delik Agama dan Kehidupan

Beragama dalam R-KUHP”

Susanto, Harri, 2006, Memeluk Agama, Menemukan Kebebasan, Dalam I Wibowo dan B Hery Priyono (edt), Esai-Esai untuk Franz Magnis Suseno, Yogyakarta, Kanisisus,

Syafei, Imam, 2009, Manusia, Ilmu dan Agama Sebuah Pendekatan Konseptual, Jakarta-Quantum Press;

Referensi

Dokumen terkait

Pada pertemuan kedua kelas eksperimen, dalam kategori sedang siswa paham konsep persamaan linear satu variabel dengan bantuan alat peraga kartu persamaan, sebagian besar

Pada model ini kelas merupakan satu kelompok diskusi, proses pemecahan masalah dilakukan oleh seluruh anggota kelas. Aplikasi diskusi model ini seluruh siswa duduk

manakah yang menghasilkan prestasi yang lebih baik, siswa dengan gaya belajar visual, auditori, atau kinestetik, (3) pada masing-masing model pembelajaran, manakah

belajaran IPS yang aktif dan kreatif. Maka perlu ada perbaikan nilai dengan cara pembelajaran yang aktif agar seluruh siswa kelas 4 SD Negeri Kopeng 03 mendapat

bekas pemotongan hewan yang berasal dari Rumah Pemotongan Hewan, ada juga sebagian masyarakat yang tinggal di BTN Dian Resky III dengan memilik SPAL yang sangat

Ključne besede: borza, delnice, teorija učinkovitega trga kapitala, analiza vrednostnih papirjev, temeljna analiza delnic, podcenjena delnica, precenjena delnica, tveganje,

Hasil penelitian ini, diharapkan dengan dibentuknya Account Representative dapat merubah pandangan negatif Wajib Pajak/masyarakat, menjadi Kantor Pelayanan Pajak sebagai

7.3. Kontraktor / Pemborong berkewajiban menjaga keamanan dan kebersihan los Pemborong, los Pengawas beserta inventarisnya. Pagar Pengaman Proyek. Untuk keamanan