• Tidak ada hasil yang ditemukan

SOSIALISASI IMPLEMENTASI KEBIJAKAN risbang TENTA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "SOSIALISASI IMPLEMENTASI KEBIJAKAN risbang TENTA"

Copied!
35
0
0

Teks penuh

(1)

SOSIALISASI IMPLEMENTASI KEBIJAKAN TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN PADA MAKANAN DAN MINUMAN

( UU NO. 8 TAHUN 1999)

A. Latar Belakang Masalah

Perlindungan konsumen adalah bagian dari hukum yang memuat asas-asas atau kaidah-kaidah yang bersifat mengatur dan juga mengandung sifat yang melindungi kepentingan konsumen. Adapun hukum konsumen diartikan sebagai keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah hukum yang mengatur hubungan dan masalah antara berbagai pihak satu sama lain yang berkaitan dengan barang dan/atau jasa konsumen dalam pergaulan hidup.

Pengawasan pangan merupakan kegiatan pengaturan wajib oleh pemerintah pusat maupun daerah untuk memberika nperlindungan kepada konsumen dan menajamin bahwa semua produk pangan sejak produksi, penanganan, penyimpanan, pengelolahan dan distribusi adalah aman, layak dan sesuai untuk dikonsumsi manusia, memenuhi persyaratan keamanan dan mutupangan, dan telah diberi label dengan jujur, dan tepat sesuai hukum yang berlaku.

(2)

Di kota Pekanbaru telah beredar produk makanan dan minuman sebanyak 10.635 produk yang datang dari luar daerah maupun dari luar negeri. Perubahan teknologi produksi, sistem perdagangan internasional dan gaya hidup konsumen tersebut pada realitasnya meningkatkan resiko dengan implikasi yang luas padakesehatan dan keselamatan konsumen. Apabila terjadi produk sub standar, rusak atau terkontaminasi oleh bahan berbahaya maka risiko yang terjadi akan berskala besar dan luas serta berlangsung secara amat cepat.

Mutu pangan menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan Pasal 1 angka (13) adalah nilai yang ditentukan atas dasar kriteria keamanan pangan, kandungan gizi dan standar perdagangan terhadap bahan makanan dan minuman. Saat ini makanan yang beredar di pasaran, tidak sedikit mengandung zat yang dapat membahayakan tubuh manusia seperti zat pewarna tekstil, pemanis buatan, formalin, boraks dan bahan berbahaya lainnya. Dinas terkait seperti Badan Pengawasan Obat dan Makanan, Dinas Kesehatan, Dinas Perindustrian dan Perdagangan sudah rutin melakukan sidak, pengawasan, dan pembinaan terhadap industri rumah tangga. Namun makanan dengan zat yang berbahaya tetap saja ditemukan. Agar seluruh proses pengolahan makanan tersebut memenuhi persyaratan keamanan, mutu dan gizi pangan, maka perlu diwujudkan suatu sistem pembinaan dan pengawasan yang efektif dibidang keamanan, mutu dan gizi pangan. Pembinaan terhadap produsen mengandung makna mendorong pelaku usaha supaya bertindak sesuai aturan yang berlaku, baik aturan yang diharuskan undang-undang, kebiasaan maupun kepatutan.

(3)

memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang tidak mencantumkan tanggal kadarluarsa atau jangka waktu penggunaan/ pemanfaatan yang paling baik atas barang tertentu, tidak mengikuti ketentuan produksi secara halal,sebagaimana pernyataan “halal” yang dicantumkan dalam label. Dengan demikian, secara normatif telah ada ketentuan yang mengatur tanggung jawab pelaku usaha, sebagai upaya melindungi pihak konsumen.

Sebagai konsekuensi hukum dari pelanggaran yang dilakukan oleh pelaku usaha, maka setiap pelanggaran yang dilakukan oleh pelaku usaha yang merugikan konsumen memberikan hak kepada konsumen yang dirugikan atas pengurangan berat timbangan pada produk makanan dalam kemasan tersebut untuk meminta pertanggungjawaban dari pelaku usaha yang telah merugikannya. Tetapi apabila pelaku usaha menolak dan/atau tidak memberikan tanggapan bahkan tidak memenuhi ganti rugi atas tuntutan konsumen, maka konsumen diberikan hak untuk menggugat pelaku usaha dan menyelesaikan perselisihan yang timbul melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen atau dengan cara mengajukan gugatan kepada badan peradilan di tempat kedudukan konsumen.

Praktek-praktek penjualan makanan yang merugikan konsumen di Indonesia seperti :

1. Manipulasi Harga. Konsumen di Indonesia seringkali mendapatkan kenaikan harga pangan yang tiba-tiba manakala terjadi kenaikan gaji pegawai negeri atau manakala menghadapi hari-hari raya. Seringkali permainan harga

(4)

2. Promosi Pengurangan Harga yang tidak benar.Seringkali pedagang memberikan potongan harga seolah-olah harga telah dikurangi, padahal kenyataannya harga masih tetap seperti semula.

3. Biaya kemasan. Biaya kemasan meningkatkan harga makanan, biaya ini bisa mencapai 11 % dari harga makanan. Seringkali produsen membuat berbagai rupa kemasan menarik agar konsumen tertarik untuk membeli produk, yang bagi konsumen merupakan hal yang berlebih-lebihan.

4. Shortweighting and slackfilling. Shortwighting adalah berat makanan yang sebenarnya adalah lebih kecil dari berat yang tertera pada label kemasan. Slackfilling suatu impresi yang diberikan oleh kemasan yang seolah-olah produk yang terisi penuh, padahal kenyataannya tidak penuh, yaitu terdapatnya

ruang kosong yang tidak berguna dalam kemasan.

5. Penempatan Produk yang Mentah atau Rusak. Konsumen seringkali begitu cepat tergiur untuk membeli buah-buahan yang tampak matang pada bagian atas kemasan. Tetapi begitu tiba di rumah kita kecewa, karena sebagian besar buah-buahan yang kita beli belum matang atau bahkan rusak. Ini tidak terlihat karena para pedagang menempatkannya pada bagian bawah kontainer.

6. Manipulasi Timbangan. Para pedagang seringkali melakukan berbagai macam modifikasi pada alas timbang, sehingga makanan yang dibeli beratnya tampak lebih besar dari yang sebenarnya.

(5)

92 atau Rp 25, tetapi adalah sepotong permen. Bayangkan berapa keuntungan pedagang apabila 2000 orang konsumen dirugikan setiap harinya.

8. Tanya Tanggal Kadaluarsa. Konsumen menghadapi resiko yang sangat besar dalam mengkonsumsi makanan atau minuman, karena masih banyak produk-produk makanan yang tidak mencantumkan tanggal kadaluarsa. Produsen seharusnya mencantumkan salah satu alternatif tanggal berikut: Pull date (tanggal produk harus sudah terjual),expiration date (tanggal produk harus sudah dikonsumsi).

(6)

(produsen). Selain itu, konsumen dapat menggugat pelaku usaha untuk menuntut ganti rugi

Bertolak dari keadaan yang demikian, maka perlindungan hukum terhadap hak-hak konsumen tidak dapat diberikan oleh satu aspek hukum saja, melainkan oleh seperangkat sistim hukum yang mampu memberikan perlindungan yang terus menerus sehingga terjadi persaingan yang jujur yang secara langsung maupun tidak langsung akan menguntungkan konsumen.

Hal ini juga tercantum didalam Undang-Undang No 8 Tahun 1999 mengenai perlindungan konsumen yang menyebutkan bahwa “ Perlindungan Konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen.”Oleh karena itu, berbicara mengenai perlindungan konsumen berarti mempersoalkan mengenai jaminan ataupun kepastian mengenai terpenuhinya hak-hak konsumen.Sebagaimana yang diketahui bahwa dengan adanya Globalisasi dan perkembangan-perkembangan perekonomian yang terjadi secara pesat di dalam era perekonomian modern ini telah menghasilkan berbagai jenis dan variasi dari barang dan/atau jasa yang dapat dikonsumsi oleh masyarakat.

(7)

pada kesadaran semua pihak, baik pengusaha, pemerintah maupun konsumen itu sendiri tentang pentingnya perlindungan konsumen seharusnya konsumen dan pelaku usaha sesuai dengan UU No.8 Tahun 1999 pasal 3. bahwa tujuan dari UU PK adalah melindungi kepentingan konsumen, dan di satu sisi menjadi pecut bagi pelaku usaha untuk meningkatkan kualitasnya.Berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen pasal 3, bahwa perlindungan Konsumen bertujuan untuk :

a) Meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri;

b) Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari akses negatif pemakaian barangdan/atau jasa

c) Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memili, menentukan, dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen;

d) Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk medapatkan informasi;

e) Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam berusaha;

(8)

Demi mendapatkan kembali hak-hak sebagai konsumnen dan Piranti hukum yang melindungi konsumen tidak dimaksudkan untuk mematikan usaha para pelaku usaha, tetapi justru sebaliknya perlindungan konsumen dapat mendorong iklim berusaha yang sehat yang mendorong lahimya perusahaan yang tangguh dalam menghadapi persaingan melalui penyediaan barang dan/atau jasa yang berkualitas.Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) adalah : Badan yang bertugas menangani dan menyelesaikan sengketa antara pelaku usaha dengan konsumen. (Pasal I ayat 2 UU No.8 Thn 1999) di luar Pengadilan, karena cukup Banyaknya permasalahan di Pengadilan Negeri sehingga tidak dapat terselesaikan maka pemerintah memberikan kewenangan kepada Suatu Badan ADHOG disebut BPSK (Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen) dibawah binaan Kementerian Perdagangan / Pemerintah Kota Pekanbaru.

BPSK merupakan suatu Badan/Lembaga independent, badan publik yang mempunyai tugas dan wewenang diatur dalam pasal 52 UUPK Jo SK Memperindag Nomor 350/MPP/Kep/12/2001 tanggal 10 desember 2001 antara lain :

A. Melaksanakan penanganan dan penyelesaian sengketa konsumen dengan cara Konsiliasi, Mediasi atau Arbitrase.

B. Memberikan konsultasi perlindungan Konsumen.

C. Melakukan pengawasan terhadap pencantuman klausula baku.

D. Melaporkan kepada penyidik umum apabila terjadi pelanggaran ketentuan Undang-undang Nomor 8 tahun 1999 tentang perlindungan Konsumen. E.Menerima pengaduan baik tertulis maupun lisan, dari konsumen tentang

(9)

F. Melakukan penelitian dan pemeriksaan sengketa perlindungan konsumen. G. Memanggil pelaku usaha yang diduga telah melakukan pelanggaran

perlindungan konsumen.

H. Memanggil dan menghadirkan saksi, saksi ahli dan atau setiap orangyang dianggap mengetahui pelanggaran terhadap Undang-undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.

I. Meminta bantuan penyidik untuk menghadirkan pelaku usaha, saksi, saksi ahli, atau setiap orang sebagai mana dimaksud pada huruf g dan huruf h, yang tidak bersedia memenuhi panggilan BPSK.

J. Mendapatkan, meneliti dan/atau menilai surat, dokumen, atau alat bukti lain guna penyelidikan dan atau pemeriksaan.

K. Memutuskan dan menetapkan ada dan /atau tidak adanya kerugian dipihak konsumen.

L. Memberitahukan putusan kepada pelaku usaha yang melakukan pelanggaran pelanggaran terhadap perlindungan konsumen.

M. Menjatuhkan sanksi administratif kepada pelaku usaha yang melanggar ketentuan Undang-undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.

(10)

Pengaduan konsumen pada kantor Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen pada tahun 2013 adalah sebagai berikut :

Tabel I.1 : Data jumlah penyelesaian sengketa konsumen tehadap

makanan dan minuman di Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen

N

kasus Daging ayam yang tidak layak

4 Minyak

kemasan 5 kasus Daging sapi yang sudah tidak layak

6 Bakso kemasan 2 kasus Kadarluarsa

7 nugget 1 kasus Kadarluarsa

8 parsel 1 kasus - Gugatan ditolak

(11)

10 Makanan

Sumber : Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen, 2014

Dari data tabel diatas tersebut maka dapat diketahui bahwa jumlah penyelesaian konsumen terdapat 9 kasus tanpa putusan yang mana penyebabnya adalah setelah diteliti perkara tersebut bukanlah menjadi kewenangan anggota Majelis BPSK kota Pekanbaru dan pelapor tidak diberitahu tata cara dalam mengajukan persyaratan sengketa dan terdapat gugatan ditolak 2 kasus di karnakan pengaduan konsumen hanya secara lisan.

Dalam melayani penyelesaian sengketa konsumen semestinya BPSK harus lah memiliki anggota. Yang mana sudah tertulis jelas di Undang-Undang No 8 Tahun 1999 pasal 49 ayat 4 yaitu : anggota setiap unsur sebagaimana dimaksud pada ayat 3 adalah anggota sebagaimana terdiri atas unsur pemerintah, unsur konsumen, dan unsur pelaku usaha berjumlah sekurang-kurangnya 3 orang, dan sebanyak-banyaknya 5 orang.

Kenyataannya anggota Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Pemerintah Kota Pekanbaru melebihi dari yang mana sudah tertulis di Undang-Undang No 8 Tahun 1999 pasal 49 ayat 4. Namun untuk melihat jumlah anggota Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen dapat dilihat pada data berikut ini :

I. UNSUR PEMERINTAH

(12)

II. UNSUR KONSUMEN

1. Drs. Rizal Furdail(LPKSM Pekanbaru) : Wakil Ketua BPSK 2. Santoso,S.H( Pengacara) :Anggota BPSK 3. Vera Lusiana,S.E (Wartawati) :Anggota BPSK III. UNSUR PELAKU USAHA

1. Erawati,S.H(Pengusaha / Pengacara) :Anggota BPSK 2. Aidil Fitsen,S.H (Pengusaha / Pengacara) : Anggota BPSK 3. Mahlil,S.Ag (Pengusaha /Ketua Ikaboga) : Anggota BPSK IV SEKETARIAT

. KEPALA SEKETARIAT : Wijaya

ANGGOTA : Dra. Hj. Yettiniza,M.Pd

Zulkarnain,S.Sos Riswenti, SE

Dari data diatas tersebut maka dapat diketahui bahwa jumlah anggota Badan Penyelsaian Sengketa Konsumen mencapai 9 orang. Agar terciptanya pelayanan masyarakat yang maksimal sesuai dengan Undang-Undang No 8 tahun 1999 pasal 51 ayat 1 yaitu : Badan Penyelesian Sengketa Konsumen dalam menjalankan tugasnya dibantu oleh seketariat.

(13)

Konsumen adalah Badan yang diberi tugas mengawal Implementasi Undang-Undang 8 tahun 1999 Tentang Perlingdungan Konsumen. Anggaranyang di tetapkan Pemerintah Kota Pekanbaru saat sekarang sangat tidak memadai atau sangat-sangat kurang untuk biaya Operasional ataupun biaya untuk Gaji/Honorarium. Berikut ini adalah daftar Gaji/Honorarium menurut jabatan

TABEL 1.2 Gaji/Honorarium anggota BPSK Sumber : Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen, 2013

Dari data tabel diatas berdampak kepada anggota Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen yang mana anggotanya tidak datang lagi/masuk ke kantor sedangkan pengaduan semakin bertambah sehingga akan menjadi beban. Kendala lainnya yaitu kantor Badan Penyelesaian Sengketa harus memeliki ruangan tersendiri dan tidak bersatu dengan ruangan atau kantor Dinas lainnya. Sebagai mana kelihatannya kantor Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen bersatu dengan Kantor Dinas Perindustian dan Perdangan Kota Pekanbaru.

Bedasarkan fenomena yang ditemukan oleh penulis di lapangan, maka dapat dirincikan sebagai berikut :

(14)

tidak hanya sebatas agar pelaku Usaha tidak melakukan kecurangan, melainkan juga memberi perlindungan kepada setiap konsumen.

2. Kurangnya dukungan dari pemerintah kota pekanbaru dalam mengimplementasikan Undang-Undang No.8 Tahun 1999 dalam segi sarana dan biaya operasional

3. Dalam jumlah keanggotaan BPSK melebihi sebagai mana yang telah ditetapkan oleh Undang-Undang No 8 Tahun 1999 pasal 49 ayat 4.

Bertitik tolak dari gejala-gejala diatas maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul :“implementasi Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Tengtang perlindungan Konsumen Terhadap Makanan dan Minumandi

BPSK Kota Pekanbaru”.

B. PerumusanMasalah

Suatu organisasi tidak terlepas dari adanya unsur menejemen yang merupakan penggerak agar tujuan dari organisasi dapat tercpai secara defektif dan efisien.

(15)

dari beberapa sebab antara lain kurang instasi terkait untuk melakukan secara langsung, dan suatu harapan yang ingin dicapai dari penelitian ini dan bagaimana setiap tugas dapat dijalankan dengan baik dan dilakukan dengan ekstra. Maka dapat dirumuskan permasalahan pokok dalam penelitian ini yaitu ;

a) Bagaimana Implementasi UU Nomor 8 tahun 1999 tentang perlindungan Konsumen terhadap makanan dan minuman di BPSK kota Pekanbaru b) Faktor – faktor yang mempengaruhi implementasi UU Nomor 8 Tahun

1999 tentang perlindungan Konsumen terhadap makanan dan minuman di BPSK Kota Pekanbaru

C. Tujuan Penelitian dan Kegunaan Penelitian

1. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui pelaksanaan implementasi UU Nomor 8 tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen terhadap makanan dan minuman di BPSK Kota Pekanbaru

2. Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi Implementasi UU Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen terhadap makanan dan minuman di BPSK Kota Pekanbaru

2. Kegunaan Penelitian

Adapun kegunaan dari penelitian ini adalah :

1. Secara teoritis penelitian ini diharapkan berguna untuk :

(16)

b) Bagi pembaca lain dan peneliti lain, dapat memberikan sumbangan pengetahuan tambahan dan memahami masalah yang berkenan dengan masalah implementasi UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen terhadapt makanan dan minuman di kota pekanbaru.

2. Secara praktis penelitian ini diharapkan berguna untuk :

a) Sebagai masukan bagi pengambilan keputusan Pemerintah yan g pembinaan dan pengawasannya dilakukan oleh Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Kota Pekanbaru dalam pelaksanaan Undang-Undang No.8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen.

b) Bagi penulis sebagai sarana dalam menrapkan untuk mendapatkan data dan informasi dalam Ilmu Administrasi pada Impelementasi Kebijakan.

c) Sebagai bahan referensi bagi lain dalam melakukan penelitian dengan permasalahan yang sama.

D. Konsep Teoritis

Untuk mengetahui solusi dalam penyelesaian permasalahan yang ada dalam penelitian ini. Maka perlu adanya teori-teori yang sesuai dengan permasalahan yang dikaji, sehingga permasalahan ini mampu diselesaikan sesuai yang diharapkan.

1.Konsep implementasi kebijakan

(17)

terlebih di era globalisasi yang semakin maju dewasa ini. Demikian pula organisasi pemerintah di fungsikan untuk mencapai tujuan negara.

Implementasi adalah sebagai suatu proses, hasil dan sebagai akibat. Sebagai suatu proses implementasi merupakan rangkaian keputusan dan tindakan. Maksudnya, untuk menempatkan suatu keputusan otoriatif awal dari legislatif pusat dalam suatu akibat atau efek

Kebijakan (policy) dalam pemerintahan hendaknya dibedakan dengan kebijaksanaan (wisdom) karena kebijaksanaan merupakan pengejawantahan aturan yang sudah ditetapkan sesuai situasi dan kondisi setempat oleh person pejabat yang berwenang. Disamping itu kebijakan atau policy dapat juga kita katakan atau kita pergunakan untuk menunjuk perilaku seorang, aktor (misalnya seorang pejabat, suatu kelompok maupun suatu mbaga pemerintah) ataupun sejumlah aktor dalam suatu bidang kegiatan tertentu menurut, (Inu Kencana 1999:105).

Kebijakan pemerintah adalah apa yang diputuskan oleh pemerintah pusat. Perhatian utama kepemimpinan pemerintahan public policy (kebijakan pemerintah) yaitu apapun yang di pilih pemerintah dalam mengatasi berbagai permasalahan yang timbul di tengah masyarakat.

(18)

Disamping itu Willy N menyatakan bahwa kebijakan public adalah suatu rangkaian pilihan-pilihan yang saling berhubungan yang dibuat oleh lembaga atau pejabat pemerintah seperti pertahanan dan keamanan, energi, kesehatan, pendidikan, kesejahteraan masyarakat, kriminalitas, perkotaan dan lain-lain. (Dunn, dalan Inu Kencana 1999:107).

Proses pelaksanaan kebijakan yang bersifat self execuiting artinya begitu suatu kebijakan dirumuskan maka otomatis kebijakan itu terimplementasikan misalnya saja peraturan perundangan, keputusan, ketetapan atau yang sejenis melalui proses implementasi berbagai pihak sehingga nampak dampaknya, ada beberapa paihak yang terlibat dan mempunyai kewajiban untuk melaksanakan kebijakan tersebut, pejabat pemerintah yang ada dimacam-macam lembaga negara selain berfungsi sebagai perumus kebijakan sekaligus sebagai pelaksana kebijakan.

Badan-badan pemerintah adalah pelaksana utama daripada kebijakan, badan-badan ini pulalah yang setiap hari secara langsung berhubungan dengan rakyat dalam melaksanakan kebijakan. Contohnya lembaga legislatif yang mempunyai peranan dalam melaksanakan kebijakan pemerintah, pimpinan partai politik dan warga negara juga mempunyai fungsi sebagai pelaksana kebijakan. Pelaksana kebijakan memang bisa bervariasi sesuai dengan jenis masing-masing kebijakan dengan kata lain tergantung kepada mereka yang terkena dampak langsung atas pelaksanaan kebijakan tersebut.

(19)

mengadaptasikan mekanisme yang lazim didalam manajemen, khususnya manajemen sektor publik

Pada prinsipnya tujuan kebijakan adalah melakukan intervensi. Implementasi kebijakan sebenarnya adalah tindakan (action) dari interventasi itu sendiri. Mazmanian dan Sabatier dalam Nugroho (2005) memberikan gambaran bagaimana melakukan intervensi Implementasi kebijakan dalam langkah urutan sebagai berikut:

1. Identifikasi masalah yang harus diintervensi

Yaitu melakukan identifikasi terhadap setiap permasalahan yang akan di ambil penyelesaiannya.

2. Menegaskan tujuan yang hendak dicapai

Yaitu megetahui apa tujuan yang ingin di capai dari pengambilan suatu kebijakan tersebut.

3. Merancang struktur proses Implementasi

Yaitu menyusun secara jelas setiap proses pengambilan kebijakan dari pemerintah

Pelaksanaan atau implementasi kebijakan didalam konteks manajemen berada didalam kerangka organizing, leading, controling. Jadi ketika kebijakan sudah dibuat, maka tugas selanjutnya adalah mengorganisasikan, melaksanakan kepemimpinan pelaksanaan dan melakukan pengendalian pelaksanaan tersebut.

Meter and Horn dalam Sujianto (2008) mencoba mengadopsi model

(20)

kebijaksanaan. Terdapat enam variable yang mempengaruhi keberhasilan implementasi kebijaksanaan sebagai berikut:

1. Standar dan tujuan kebijakan

Yaitu memberikan perhatian utama yang menentukan hasil kerja. Maka identifikasi indikator-indikator hasil kerja merupakan hal yang penting karena indikator ini menilai sejauh mana standar dan tujuan menjelaskan keseluruhan kebijakan.

2. Sumber daya kebijakan

Yaitu kebijaksanaan mencakup lebih dari sekedar standard dan sasaran, tapi juga menuntut ketersediaan sumber daya yang akan memperlancar implementasi. Sumberdaya ini dapat berupa dana maupun insentif lainya yang akan mendukung implementasi secara efektif.

3. Kondisi ekonomi, sosial dan politik

Yaitu pengaruh variable lingkungan terhadap implementasi program, diantaranya sumberdaya ekonomi yang dimiliki organisasi pelaksana, bagaimana sikap opini publik, dukungan elit, peran dan kelompok-kelompok kepentingan dan swasta dalam menujang keberhasilan program

4. .Disposisi sikap para pelaksana

Yaitu persepsi pelaksana dalam organisasi dimana program itu diterapkan, hal ini dapat berubah sikap menolak, netral dan menerima yang berkaitan dengan sistim nilai pribadi, loyalitas, kepentingan pribadi dan sebagainya.

(21)

sebuah intisari dan menanyakan apakah prakondisi untuk implementasi kebijakannya yang berhasil? Apakah rintangan primer untuk implementasi

kebijakannya sukses? Untuk itu perlu dipertimbangkan empat faktor kritis dalam mengimplementasikan kebijakan publik yaitu:

1) Komunikasi

Komunikasi adalah alat kebijakan untuk menyampaikan perintah-perintah dan arahan-arahan (informasi) dari sumber pembuat kebijakan kepada mereka-mereka yang diberikan wewenang dan tanggung jawab untuk melaksanakan kebijakan tersebut. Untuk itu perlu memahami arah penyampaian kebijakan. Tipe komunikasi yang diajukan oleh Edward III termasuk kepada tipe komunikasi vertikal. Menurut karz dan Kahnkomunikasi vertikal mencakup lima hal:

a. Petunjuk-petunjuk tugas yang spesifik (perintah kerja)

b. Informasi dimaksudkan untuk menghasilkan pemahaman mengenai tugas dan hubungannya dengan tugas-tugas organisasi lainnya (rasionalisasi pekerjaan)

c. Informasi tentang praktek-praktek dan prosedur keorganisasiannya d. Perintah-perintah

e. Arahan-arahan dan pelaksanaan yang dikirimkan kepada pelaksana program

Terdapat tiga indikator yang dapat dipakai dalam mengukur keberhasilan variabel komunikasi yaitu :

a) Transmisi; penyaluran komunikasi yang baik akan dapat menghasilkan suatu

(22)

b) Kejelasan; komunikasi yang diterima oleh para pelaksana kebijakan (street-level-bureuarats) haruslah jelas dan tidak membingungkan (tidak ambigu/mendua) ketidakjelasan pesan kebijakan tidak selalu mengahalangi impelementasi, pada tataran tertentu, para pelaksana membutuhkan fleksibelitas dalam melaksanakan kebijakan. Tetapi pada tataran yang lain hal tersebut justru akan menyelewengkan tujuan yang hendak dicapai oleh kebijakan yang telah ditetapkan.

c) Konsistensi; perintah yang diberikan dalam melaksanakan suatu komunikasi

haruslah konsisten dan jelas untuk diterapkan atau dijalankan. Karena jika perintah yang diberikan sering berubah-ubah, maka dapat menimbulkan kebingungan bagi pelaksana di lapangan,

2) Sumber daya manusia

(23)

baik teknis maupun manajerial. Indikator sumber daya terdiri dari beberapa elemen, yaitu :

a) Staf; sumberdaya utama dalam implementasi kebijakan dalah staf. Kegagalan

yang sering terjadi dalam implementasi kebijakan salah satunya disebabkan oleh karena staf yang tidak mencukupi, memadai, ataupun tidak kompeten dibidangnya. Penambahan jumlah staf dan implementor saja tidak cukup, tetapi diperlukan juga kecukupan staf dengan keahlian dan kemampuan yang diperlukan (kompeten dan kapabel) dalam mengimplementasikan kebijakan atau melaksanakan tugas yang diinginkan oleh kebijakan itu sendiri.

b) Informasi; dalam implementasi kebijakan, informasi mempunyai dua bentuk,

yaitu pertama informasi yang berhubungan dengan cara melaksanakan kebijakan. Implementor harus mengetahui apa yang harus mereka lakukan saat mereka diberi perintah. Kedua, informasi mengenai data kepatuhan dari para pelaksana terhadap peraturan dan regulasi pemerintah yang telah ditetapkan. Implementer harus mengetahui apakah orang yang terlibat di dalam pelaksanaan kebijakan tersebut patuh terhadap hukum.

c) Wewenang; pada umumnya kewenangan harus bersifat formal agar perintah dapat

(24)

d) Fasilitas; fasilitas fisik juga merupakan faktor penting dalam implementasi

kebijakan. Implementor mungkin memiliki staf yang mencukupi, mengerti apa yang harus dilakukan dan memiliki wewenang untuk melaksanakan tugasnya, tetapi tanpa adanya fasilitas pendukung (sarana dan prasarana) maka implementasi kebijakan tersebut tidak akan berhasil.

3) Sikap (disposisi)

Variabel ketiga yang mempengaruhi keberhasilan implementasi kebijakan adalah disposisi. Hal-hal penting yang perlu dicermati pada variabel disposisi, menurut Goerge C.Edward III (dalam Agustino, 2008:152-154), adalah :

a. Pengangkatan birokrat; disposisi atau sikap pelaksana akan menimbulkan hambatan-hambatan yang nyata terhadap implementasi kebijakan apabila personil yang ada tidak melaksanakan kebijakan-kebijakan yang diinginkan oleh pejabat-pejabat tinggi. Karena itu, pemilihan dan pengangkatan personil pelaksana kebijakan haruslah orang-orang yang memiliki dedikasi pada kebijakan yang telah ditetapkan.

(25)

4) Struktur Birokrasi

Menurut Edward III (dalam Agustino,2008 : 153-154 ), yang mempengaruhi keberhasilan implementasi kebijakan publik adalah struktur birokrasi. Walaupun sumber daya untuk melaksanakan suatu kebijakan tersedia, atau para pelaksana kebijakan mengetahui apa yang seharusnya dilakukan, dan mempunyai keinginan untuk melaksanakan suatu kebijakan, kemungkinan kebijakan tersebut tidak dapat dilaksanakan atau direalisasikan karena terdapatnya kelemahan dalam struktur birokrasi. Kebijakan yang begitu kompleks menuntut adanya kerjasama banyak orang, ketika stuktur birokrasi tidak kondusif pada kebijakan yang tersedia, maka hal ini akan menyebabkan sumber daya-sumber daya menjadi tidak efektif dan menghambat jalannya kebijakan. Birokrasi sebagai pelaksana sebuah kebijakan harus dapat mendukung kebijakan yang telah diputuskan secara politik dengan jalan melakukan koordinasi dengan baik.

Dua karakteristik, menurut Edward III, yang dapat mendongkrak kinerja struktur birokrasi/organisasi kearah yang lebih baik, yaitu dengan melakukan :

a) Standar Operating Prosedures (SOPs); adalah suatu kegiatan rutin yang memungkinkan para pegawai (atau pelaksana kebijakan/administrator/birokrat) untuk melaksanakan kegiatan-kegiatannya setiap hari sesuai dengan standar yang ditetapkan atau standar minimum yang dibutuhkan.

b) Fragmentasi; adalah upaya penyebaran tanggungjawab kegiatan-kegiatan atau aktivitas-aktivitas pegawai diantara beberapa unit kerja.

2. Perlindungan Kosumen

(26)

tidak untuk diperdagangkan. Menurut Ellwood dalam Suprihanto (1991: 5-7) bahwa hak-hak konsumen meliputi :

a) Kebutuhan pokok, yaitu memperoleh barang atau jasa yang dibutuhkan untuk mempertahankan kehidupan seperti pangan cukup, sandang, perumahan, pelayanan kesehatan, pendidikan dan sanitasi;

b) Keamanan, yaitu hak untuk dilindungi dari pemasaran barang-barang atau pelayanan jasa yang berbahaya terhadap kesehatan dan kehidupan;

c) Informasi, yaitu hak untuk dilindungi dari merek atau iklan-iklan yang menipu dan mengelabui. Hak untuk memperoleh informasi yang diperlukan untuk keperluan memilih dan membeli;

d) Pilihan, yaitu hak untuk memilih barang atau jasa pada tingkat harga dan jaminan mutu yang setara;

e) Perwakilan, yaitu hak untuk menyewakan kepentingan sebagai konsumen dalam pembuatan dan pelaksanaan pemerintah;

f) Ganti rugi, yaitu hak untuk memperoleh ganti rugi terhadap barang-barang yang jelek dan pelayanan jasa yang buruk;

g) Pendidikan konsumen, yaitu hak untuk memperoleh pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan untuk menjadi seorang konsumen yang baik; h) Lingkungan, yaitu hak untuk hidup dan bekerja pada lingkungan yang tidak tercemar dan tidak berbahaya, yang memungkinkan suatu kehidupan yang lebih manusiawi.

(27)

yang melakukan akad dengan pihak lain dalam suatu bisnis untuk memperoleh barang dan jasa dari pihak yang mengadakannya). Menurut Janus Sidabalok, perlindungan konsumen adalah perlindungan hukum yang diberikan kepada konsumen dalam usahanya memenuhi kebutuhannya dari hal-hal yang dapat merugikan konsumen itu sendiri.

Philip Kotler “konsumen adalah semua individu dan rumah tangga yang

membeli maupun memperoleh barang atau jasa untuk dikonsumsi pribadi”.

Hornby “konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/ atau jasa yang

tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan”.

(28)

E. Kerangka Pikiran

(29)

Sumber George Edward III

F. Konsep Operasional

Untuk menghindari salah penafsiran persepsi atas istilah yang digunakan, maka diberikan konsep yang dioperasionalkan sebagai berikut :

1. Implementasi adalah sebagai suatu proses, hasil dan sebagai akibat. Sebagai suatu proses implementasi merupakan rangkaian keputusan dan tindakan. Maksudnya, untuk menempatkan suatu keputusan otoriatif awal dari legislatif pusat dalam suatu akibat atau efek

a) .Standar dan tujuan kebijakanyaitu memeberikan perhatian utama pada indentifikasi indikator-indikator hasil kerja pada setiap pegawai Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen dalam Mengimplementasikan Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen Terhadap makanan dan minuman .

b) .Keuangan yaitu suatu badan tidak bisa berdiri dan berjalan begitu saja tanpa adanya pendanaan/kuangan yang baik, dalam hal ini BPSK dalam menjalan kan tugas memerlukan pendanaan yang baik.

(30)

2.Faktor-faktor yang mempengaruhi implementasi dengan menggunakan teori

George Edward III dalam Winarno yaitu :

a .Komunikasi, yaitu alat kebijakan untuk menyampaikan informasi, perintah dan arahan yang mana hal ini berkenaan dengan bagaimana kebijakan di sosialisasikan kepada organisasi atau publik dan adanya efek atau dampak yang timbul dari komunikasi tersebut dalam mengimplementasikan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999

b .Sumber daya adalah mencakup jumlah staff pelaksana yang memadai dengan keahlian yang memadai, informasi, wewenang atau kewenangan dan fasilitas-fasilitas yang diperlukan untuk menjamin kebijakan dijalankan sesuai dengan apa yang dibutuhkan. Adanya fasilitas yang mendukung kelancaran pelaksanaan Implementasi mengenai perlindungan Konsumen dan pelimpahan wewenang dari atasan kepada bawahan.

c .Disposisi adalah sikap dari pelaksana untuk mempunyai kemauan atau motivasi untuk menjalankan Undang-undang sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan. Adanya pemahaman dan pengetahuan.

(31)

G. Metode Penelitian

1. Lokasi Penelelitian

Penelitian ini berlokasi di kantor Badan Penyelesaian sengketa Konsumen Kota Pekanbaru, pemilihan lokasi penelitian ini karena pertimbangan bahwa kantor Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen merupakan Badanyang tugas pokok dan fungsi pada perlindungan konsumen. Hal ini berdasarkan pertimbangan karena belum optimalnya Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen dalam melaksanakan tugas dan fungsi serta perlu dianalisa untuk mengetahui sejauh mana telah dilaksanakan tugas dan fungsi Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen tentang perlindungan konsumen.

2. Informanpenelitian

Dalam penelitian ini, menggukan informan sebagai objek informasi mengenai Implementasi UU No.8 Tahun 1999 di Kota Pekanbaru. Dalam menentukan informan, selanjutnya dilakukan dengan snowball sampling, yaitu tekni penentuan sample yang mula-mula jumlahnya sedikit kemudian membesar, ibarat bola salju yang menggelinding yang lama-lama makin membesar. Dalam penentuan sample, pertama-tama dipilih satu atau dua orang tetapi karna informasi yang di dapat dari kedua orang ini dirasa belum lengkap maka penelliti mencari orang lain yang dipandang lebih tau dan dapat melengkapi data yang diberikan oleh dua orang sebelumnya, begitu selanjutnya hingga jumlah sample semakin banyak Sugiono (2003 : 97).Maka informan penelitian sebagai berikut :

(32)

2. Masyarakat/Konsumen

3. Jenis dan Sumber Data

a. Data primer

Data primer adalah data yang diperoleh dari hasil pengamatan secara langsung pada data yang dibutuhkan terdiri dari:

1. Informan mengenai proses implementasi UU No 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen

2. Wawancara 3. observasi b. Data sekunder

Data sekunder adalah data yang diperoleh dari dokumen-dokumen dan laporan yang ada kaitannya dengan masalah penelitian dan juga buku-buku yang berkenaan dengan penelitian ini yang terdiri dari:

1. Profil BPSK kota Pekanbaru 2. Laporan penyelesaian sengketa 4. Teknik Pengumpulan Data

Data dalam teknik ini pengumpulan data ini adalah menggunakan proses pengumpulan data agar dapat sesuai dengan penelitian yang penulis lakukan dalam teknik ini adalah :

1. Wawancara

(33)

teknik ini juga dilakukan pengedaran sejumlah pertanyaan yang diberikan pada masing-masing responden, menyangkut pada indikator variable permasalahan dalam penelitian tersebut.

2. Observasi

Yaitu teknik pengumpulan data dengan melakukan pengamatan secara langsung terhadap objek yang akan di teliti. Langkah ini dilakukan sebagai tahap akhir dalam pengumpulan data agar objektifitas dari data yang telah diberikan pada koresponden benar-benar teruji kebenarannya. Observasi ini merupakan pengmatan langsung secara berkesinambungan, dalam beberapa hari.

3. Studi kepustakaan

Yaitu mengadakan studi terhadap sejumlah literatur yang ada kaitannya dengan judul penelitian ini. Dilakukan dengan mengumpulkan data-data keperpustakaan berupa buku-buku yang materialnya berkaitan dengan permasalahan yang diteliti.

5. Analisa Data

(34)
(35)

DAFTAR KEPUSTAKAAN

Boy, Robert, 1992, pengantar metode penelitian kualitatif, Surabaya, Usaha

Edward III, Merilee S. 1980. Implementing Public Policy. Congressional Quarterly Press, Washington.

Islamy. M. Irfan. 1992. Prinsip – Prinsip Perumusan Kebijaksanaan Negara. Jakarta. Bumi Aksara.

Rakyat, Dian, 2003, Perlindungan Konsumen, jakarta

Soejono, 2005, metode penelitian. Jakarta , Rineka Cipta

Widja, Gunawan, 2000, Hukum Tentang Perlindungan Konsumen. Jakarta,Gramedia Pustaka

DOKUMEN

Gambar

Tabel I.1 : Data jumlah penyelesaian sengketa konsumen tehadap
TABEL 1.2 Gaji/Honorarium anggota BPSK

Referensi

Dokumen terkait

dari berbagai film animasi kartun yang kita lihat sekarang ini.. Mereka

mengetahui bagaimana jenis produk setoran awal Bipih dan implikasinya terhadap calon jamaah haji serta memberikan analisis hukum ekonomi syariah tentang penentuan

Penelitian ini bertujuan melihat hubungan variabel gaya pengasuhan orang tua authoritarian dan kemandirian emosional remaja yang terdiri dari tiga dimensi

Ketika pengguna menekan tombol accept pada pilihan video, maka pengguna lagi ditawarkan pilihan kategori video. Pengguna dapat memilihnya dengan menekan tombol left atau right

Segala puji bagi Allah SWT karena atas rahmat, taufik dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini dengan judul “Kepadatan

Berdasarkan pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa ”Sistem informasi adalah suatu sistem yang terdiri dari komponen-komponen dalam organisasi yang

Iskandar (2009) mengemukakan pula bahwa hasil belajar dapat diukur dalam bentuk perubahan perilaku siswa yaitu semakin bertambahnya pengetahuan dan

Implementasi kebijakan menurut Agustino (2008;139) adalah merupakan suatu proses yang dinamis, dimana pelaksana kebijakan melakukan suatu aktifitas atau kegiatan, sehingga