Partai Politik Di Indonesia Pasca Reformasi
A. Pendahuluan
Selama masa orde baru dibawah kepemimpinan Soeharto, kehidupan
kepartaian di Indonesia seakan mati tak terdengar gemanya. Meskipun pada saat
itu bukan sistem partai tunggal yang diterapkan, namun seakan partai tunggal.
Partai-partai lain lawan politik Soeharto dengan Golkarnya mengalami
pengkerdilan habis-habisan. Pengkerdilan ini misalnya dilakukan dengan
penyederhanaan partai untuk mengurangi lawan politiknya. Pada saat itu partai
dikelompokkan menjadi dua, yaitu yang berhaluan agama dan berhaluan
nasionalis. Selain itu juga dengan pelarangan kampanye sampai level desa, partai
hanya diperbolehkan kampanye sampai level kabupaten. Oleh sebab itu massa di
desa dapat dikeruk oleh Golkar, sebab Golkar bukan partai.
Pengkerdilan-pengkerdilan tersebut masih diperkuat dengan pemerintahan yang di backing oleh
miiter, tindakan-tindakan represif terhadap masyarakat dan juga kontrol media
yang sangat ketat. Ini yang mengakibatkan Soeharto dan Golkar mampu bertahan
cukup lama di kursi kekuasaan.
Krisis ekonomi yang melanda Indonesia pada tahun 1997 serta
kemuakkan-kemuakkan yang terjadi pada masyarakat memaksa Soeharto untuk turun dari
jabatannya. Setelah runtuhnya masa orde baru tersebut, kehidupan kepartaian di
Indonesia semakin berwarna. Hal ini ditandai dengan maraknya partai yang
muncul dan turut bersaing untuk merebut hati masyarakat dan tentu saja tujuan
Tak dapat dipungkiri bahwa setiap partai yang hidup dan berkembang di
Indonesia saat ini mewakili ideologi serta pandangan politiknya masing-masing.
Itulah yang menjadi dasar arah pergerakan serta landasan partai. Ideologi inilah
yang diusung serta diperjuangkan dalam rangka memperoleh kekuasaan untuk
menerapkan kebijakan-kebijakannya. Namun apakah saat ini demikian adanya?.
Apakah ideologi yang diusung oleh masing-masing partai tersebut dipegang
B. Pembahasan
1. Ideologi Partai Kian Memudar
Kita meyakini bahwa pada dasarnya semua partai politik dibangun dengan
harapan mampu membawa keadilan serta kesejahteraan bagi masyarakat. Dengan
jalan yang konstitusional yaitu pemilu. Semua itu harus diperjuangkan dengan
sungguh-sungguh serta kerja yang ekstra keras. Dan yang lebih penting,
perjuangan tersebut harus didasarkan pada ideologi yang dibawa, agar rasa
memiliki serta keterikatan setiap anggota terhadap partainya tidak perlu
dipertanyakan lagi.
Coba kita tengok kembali ke pemilu di Indonesia beberapa puluh tahun ke
belakang. Kita bisa melihat ke pemilu tahun 1955 yang biasa disebut sebagai
pemilu yang paling demokratis yang pernah terselenggara di Indonesia. Pada masa
itu tiap partai memiliki ideologi yang jelas serta diperjuangkan mati-matian. Ada
nasionalis, Islam, Komunis, tradisionalisme, sosialis, dan sebagainya. Dimana di
antara masing-masing ideologi tersebut ada batas yang jelas. Atau kita bisa
menengok pada masa orde baru dimana partai politik dibatasi dengan dua partai
yaitu PDI dan PPP yang mewakili faham nasionalisme dan agama (Islam) serta
Golkar, dimana semuanya harus didasarkan pada azas tunggal Pancasila.
Pada saat ini bisa kita lihat pada pemilu 2009 yang lalu, dimana diikuti oleh
partai politik dengan jumlah yang sangat banyak yaitu 38 partai politik. Hal ini
merupakan imbas dari demokrasi yang sering digembor-gemborkan pasca
runtuhnya rezim orde baru. Sejak saat itu setiap orang dapat mendirikan sebuah
ideologi. Ini dapat ditinjau dari hanya 9 dari 38 partai yang mendapatkan suara
dari pemilu legislatif. Ini disebabkan antara lain oleh adanya kesenjangan antara
banyaknya partai yang berideologi tidak jelas dan kehidupan politik masyarakat
Indonesia yang mempunyai faham nasionalisme, agama (Islam), dan sosialisme.
Yang terlihat pada saat ini hanya perang antar partai politik yang saling
jegal-menjegal berusaha menjatuhkan satu sama lain. Hal ini yang membuat
gelisah banyak orang saat ini yang melihat partai hanya sebagai alat untuk
memupuk kekuasaan tanpa adanya kewajiban untuk mendidik anggotanya agar
lebih paham tentang keadaan dan cita-citanya. Padahal parpol berkewajiban
mendidik kadernya untuk dapat memahami tentang perjuangan yang harus
dilakukan. Yang menjadi permasalahannya adalah banyaknya ideologi partai yang
tidak jelas atau bahkan tidak mempunyai ideologi. Parpol tanpa ideologi yang
memihak aspirasi dan kepentingan rakyat banyak ibarat makhluk tanpa jiwa.
Target perjuangannya tidak jelas. Ironisnya, ideologi sederet parpol besar di tanah
air nyaris serupa.
Krisis identitas dan tak memiliki ideologi sebagaimana disebutkan di atas
lah gambaran dari parpol di Indonesia dewasa ini. Krisis identitas dan tak adanya
ideologi ini membuat arah partai tak jelas dan sulit membedakan partai satu
dengan yang lain. Para tokoh dan elite parpol pun tak mampu memberikan contoh
panutan yang baik bagi kader dan masyarakat. Mereka justru sibuk berkelahi dan
berebut kekuasaan ketimbang mengembangkan konsep pemikiran alternatif
mengenai bagaimana memperjuangkan bangsa ini agar dapat berkembang lebih
Fenomena krisis ideologi ini bisa kita lihat bahkan terjadi pada beberapa
partai besar. Misalnya pada Partai Demokrat yang sejak awal telah mengklaim diri
sebagai partai yang menampung semua kalangan untuk masuk ke dalam partai.
Hai ini mengakibatkan garis batas ideologi menjadi semakin kabur dan orientasi
partai pun menjadi lebih populis serta berbasis pada seberapa besar suara yang
diraih. Atau bisa kita lihat juga dari Partai Keadilan Sejahtera, dimana pada
Munas PKS 16-20 Juni 2010 banyak muncul beragam gagasan baru, antara lain
gagasan mengenai “partai terbuka”, “PKS untuk semua”, hingga arah baru partai
yang mencoba untuk bertransformasi menjadi catch-all party. Atau juga tercermin
dalam tubuh PDI-P yang sering disebut sebagai partai paling nasionalis diantara
banyak partai yang mengklaim dirinya nasionalis. Hal ini terlihat dari banyaknya
usulan untuk menjadi koalisi pemerintahan daripada oposisi dalam rapat-rapat
besar partai ini.
Berdasarkan kenyataan-kenyataan di atas kita akan dapat menarik sebuah
kesimpulan sederhana. Pada hari ini, fenomena yang muncul di banyak partai
politik adalah berlomba-lombanya mereka untuk menginklusifkan diri dan
mewadahi semua basis pemilih, sedangkan ideologi tidak lagi menjadi variabel
utama dalam pembuatan keputusan di internal partai. Fenomena ini disebut oleh
Giovanni Sartori (1996) sebagai kecenderungan sentrifugal dalam partai politik.
Menurut Sartori, dalam demokrasi yang sudah terinstitusionalisasi secara baik,
ideologi partai akan mengarah ke tengah dan membuat penyekat ideologi
antarpartai akan semakin memudar. Dengan kata lain, partai-partai politik akan
pertanyaan adalah kenapa fenomena sentrifugal ini justru menyerang partai-partai
yang terkenal dengan basis massa yang paling ideologis seperti PKS dengan
religiusnya dan PDI-P dengan nasionalismenya?.
Politik tanpa ideologi hanya membentuk kegagapan bagi kadernya saat
memegang kekuasaan. Sehingga wajarlah bila partai politik perlu menanamkan
ideologi politik kepada para kadernya. Harapannya, para kader berideologi akan
melahirkan sosok yang punya cita-cita politik. Sehingga ideologi dapat dijadikan
landasan dan arah kebijakan politik sewaktu memegang kekuasaan. Cita-cita
politik dari parpol pada dasarnya adalah membangun sebuah struktur negara untuk
menggerakkan dan menciptakan kebaikan bersama. Jika dalam benak kader
terdapat cita-cita politik maka kekuasaan tidak lebih hanya sebagai alat semata.
Karena perwujudan cita-cita politik yang dijadikan tujuan utamanya. Sehingga
jika menjadi penguasa maka akan mempunyai kerangka yang mendasar dan
terarah untuk menciptakan kebaikan bersama.
2. Fenomena Menjamurnya Partai-Partai Baru
Tak berlebihan jika kita sebut demokrasi kita saat ini telah menjadi pasar
bebas parpol. Siapa pun bisa mendirikan parpol dan berkompetisi dalam pemilu
setelah melewati berbagai syarat formal dan lolos menjadi kontestan, baik karena
menyiapkan diri maupun karena keahlian para politikus meretas beragam celah
aturan main yang tersedia. Kini banyak parpol baru pun mulai menampakkan diri
Republik (Nasrep),Partai Persatuan Nasional (PPN), dan Partai Kedaulatan
Bangsa Indonesia (PKBI).
Namun coba kita amati parpol-parpol baru tersebut satu persatu. Partai
Nasdem misalnya, sebagaimana kita ketahui Nasdem tak terpisahkan dari sosok
Surya Paloh meskipun secara formal tak diketuai langsung olehnya. Konteks
kelahiran Nasdem diawali histori kontestasi Paloh vs Aburizal Bakrie dalam
pemilihan Ketua Umum Partai Golkar. Saat Paloh tersisih, dia mulai
mengejawantahkan hasrat politisnya lewat Nasdem. Memang, secara
organisasional Partai Nasdem dipimpin oleh Patrice Rio sebagai ketua dan Ahmad
Rofiq sebagai sekretaris jenderal. Namun publik juga sangat paham bahwa
genealogi politik Nasdem bisa dirunut ke Paloh. Strategi ini mirip posisi SBY di
awal kelahiran Partai Demokrat, tak duduk sebagai ketua umum parpol, tetapi
berada di puncak hierarki kebijakan organisasi sehingga memiliki kuasa
menentukan arah perjalanan parpol.Paloh dalam konteks ini sedang menjalankan
two step models of leadership.
Selanjutnya kita dapat menengok ke PKBI, parpol baru yang muncul dari
konflik organisasional yang menyebabkan dualisme kepengurusan. PKBI
merupakan parpol produk konflik terbuka antara kubu Muhaimin Iskandar dan
putri kedua almarhum Gus Dur,Yenny Wahid. Tertutupnya islah melahirkan
keputusan pendirian parpol baru yang sama-sama akan menggarap basis masa
kaum nahdliyin. Tentu, modal awal PKBI adalah reference power dari figur Gus
Dur yang dilekatkan dengan sosok Yenny sehingga diharapkan menjadi katalisator
Atau kita juga bisa menengok pada PPN yang merupakan hasil fusi dari 10
partai kecil. Dalam UU No 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik muncul sejumlah
pengetatan aturan,misalnya verifikasi parpol yang harus selesai paling lambat
akhir 2011, keharusan memiliki kepengurusan di 33 provinsi, 75% kabupaten/kota
yang ada di provinsi, serta minimal 50% kecamatan di kabupaten/ kota seluruh
Indonesia. Belum lagi polemik soal peningkatan angka PT dalam pembahasan
RUU Pemilu Legislatif yang dirasakan kian mengancam eksistensi parpol-parpol
kecil.Maka,setelah mengalkulasi hitung-hitungan politik ke depan,10 parpol kecil
C. Penutup
Partai politik memang sebagai alat perjuangan untuk mengoranisir rakyat
dengan tujuan merebut kekuasaan. Tetapi kekuasaan itu seharusnya didasarkan
pada suatu ideologi, suatu impian yang membuat kesejahteraan bagi seluruh
rakyat Indonesia. Ideologi dalam partai politik tidak hanya sekedar pengikat lahir
dan batin antara para anggotanya, tetapi merupakan rohnya suatu partai poitik
untuk mencapai suatu tujuan besar, bukan tujuan pribadi atau golongan yang
sesaat (istilah sekarang pragmatis). Tidak adanya ideologi partai-partai politik
sekarang ditunjukkan juga oleh adanya segelintir dari kaum intelektual yang
dengan mudahnya berpindah-pindahnya partai (dikenal dengann bajing loncat),
yang tidak pernah terjadi pada masa lalu. Atau jika tidak puas dengan partainya
mereka dengan mudahnya juga keluar dan mendirikan partai baru.
Anggota-anggota partai politik seperti ini, tidak bisa diandalakan untuk memperjuangkan
kepentingan orang banyak, karena motivasinya hanya sekedar kepentingan
pribadi/kelompok.
Salah satu indikator dari kuatnya ideologi sebuah parpol adalah konsistensi
bersikap untuk menentukan nilai yang profan sesuai dengan ideologi. Meskipun
akan berubah dalam konteks strategi taktis di lapangan. Efeknya adalah, politisi
yang lahir dari sebuah parpol yang memiliki ideologi yang kuat adalah politisi
yang berkarakter kuat dan sikap serta tutur katanya terjiwai oleh prinsip dan
idealisme politik yang mereka anut. Seperti halnya Soekarno yang dikenal sebagai
politisi dari kelompok nasionalis dan M. Natsir sebagai politisi ulung dari
Parpol didirikan dan dideklarasikan sejatinya berawal dari sebuah ideologi
politik yang kuat kemudian bermetamorfosis menjadi idealisme di setiap individu
anggota dan pengurus. Seharusnya, setiap artikulasi parpol seperti halnya
menentukan koalisi semuanya akan menimbang dan merujuk pada idealisme
parpol yang termaktub dalam ideologi mereka. Dalam pemilu 1955 misalnya,
melihat konfigurasi kekuatan politik ketika itu di mana PNI (Nasionalis), PKI
(Komunis) dan Masyumi (Islam) sebagai kekuatan politik paling kuat
menunjukkan bahwa kekuatan parpol kala itu masih digerakkan oleh ideologi
parpol yang kuat. Bahkan, sisa ideologisasi ketiga parpol tersebut masih cukup
terasa sampai saat ini di mana banyak parpol baru mengklaim titisan dari
Masyumi dan PNI.
Pada saat ini posisi ideologi politik sebuah parpol dalam kancah kontestasi
tidak memiliki arti apa-apa. Singkatnya, ideologi tersimpan rapi di dalam rak
meja, selanjutnya para politisi duduk berhadapan di atas meja menyatukan