• Tidak ada hasil yang ditemukan

SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL DAN KURIKULUM

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL DAN KURIKULUM"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL DAN KURIKULUM

DALAM PERSPEKTIF FILSAFAT ANTROPOLOGI

Dr. Hipolitus K. Kewuel, M.Hum Universitas Brawijaya Malang

hipopegan@ub.ac.id

ABSTRAK

Pendidikan di negeri ini hampir selalu menjadi perbincangan tanpa kata sepakat. Selalu saja ada sisi yang tertinggal bahkan terlupakan pada setiap pembicaraan tentangnya. Sistem pendidikan Nasional dan Kurikulum adalah dua bentuk upaya formal tata kelola pemerintahan yang idealnya diharapkan mampu melahirkan generasi manusia Indonesia yang berwawasan Pancasila dan berkharakter Bhineka Tunggal Ika. Tulisan ini tidak dimaksudkan untuk menganalisis benang ruwet pendidikan saat ini, tetapi lebih dimaksudkan untuk memberi sumbangan pemikiran dari kaca mata filsafat antropologi dengan asumsi bahwa melalui sistem pendidikan nasional dan kurikulum, aktivitas pendidikan harus dimulai dari dan diproses terus menerus dalam pemahaman yang benar tentang siapakah makhluk manusia itu dan bagaimana seharusnya ia didekati melalui aktivitas pendidikan. Pertama-tama, manusia harus didekati sebagai makhluk hidup yang memiliki kharakter khas yang berbeda satu dari yang lain dengan kompleksitas afektivitas yang beragam ditambah faktor budaya dan sejarah hidup masing-masing pribadi yang berbeda-beda pula. Kedua, manusia harus didekati sebagai makhluk berpikir yang mengerti, memiliki pengetahuan, dan mampu berbicara mengungkapkan pengetahuan itu sebagai hasil olah pikir yang terus berproses dalam hidupnya dari saat ke saat. Ketiga, manusia harus didekati sebagai makhluk yang memiliki kebebasan dalam menjalani hidupnya sendiri sekaligus sebagai tanda bahwa masing-masing manusia itu unik dan khas. Singkatnya, tulisan ini mau menegaskan bahwa sistem pendidikan nasional dan kurikulum harus juga selalu mempertimbangkan sisi filsafat antropologi sebagai dasar dan patokan dalam setiap program pengembangannya.

Kata Kunci: Sistim Pendidikan Nasional, Kurikulum, Filsafat Antropologi

ABSTRACT

(2)

Pancasila and Bhineka Tunggal Ika mind set. The article prefers contributing some idea of anthropology philosophy point of view to analyzing the complicated problem of education nowadays. It means that national education system and curriculum must be started and processed continually in the good understanding about who people are and how they must be approached by education activities. Firstly, the people must be viewed as unique human being having various complicated affectivity, culture, and story of life. Surely, it is very important to begin the real education process. Secondly, the people must be approach as cognitive human being having understanding, knowledge, and capability to explore what they have known and understood in their whole life.

Thirdly, people must be approached as free will human being in developing and creating their own life. Thus, the appropriate national education system and curriculum are based on the anthropology philosophy point of view.

Key Word: National education system, Curriculum, Philosophy of Anthropology

1. Pengantar

Pendidikan adalah aktivitas khas manusia untuk semakin memperadab hidupnya sendiri. Dalam bahasa lain yang lebih tersohor, pendidikan adalah proses sadar manusia untuk memanusiakan dirinya sendiri. Ini berarti kegiatan pendidikan dapat dipahami sebagai suatu bentuk tanggungjawab yang melekat dalam kemanusiaan masing-masing pribadi manusia. Setiap manusia bertanggungjawab atas dirinya sendiri untuk semakin sempurna dalam kemanusiaanya. Setiap manusia harus terus berproses menuju kesempurnaan hidupnya sendiri dan itulah sesungguhnya makna dari prinsip long life education. Singkatnya, dalam kegiatan pendidikan, setiap manusia adalah pendidik utama bagi dirinya sendiri sebagai tugas dan tanggungjawab kemanusiaannya yang tidak bisa terwakilkan.1

Persoalannya, demi tata hidup bersama, makna pendidikan kemudian dengan sengaja direduksi demi kepentingan hidup bersama pula. Hal ini membawa konsekuensi bahwa pendidikan dalam arti tertentu beralih makna dari tugas yang melekat pada masing-masing pribadi manusia (alat peradaban dari dalam diri manusia sendiri) menjadi alat bantu di tangan penguasa atau otoritas untuk memperadab manusia dari luar diri manusia itu sendiri. Hal lain lagi, pendidikan yang dirancang demi memperadab manusia itu tentu memiliki tujuan dan ideologi tertentu yang harus dicapai dalam kegiatan pendidikan itu juga. Dalam konteks ini, ada hal penting yang seharusnya terus diwaspadai bahwa meskipun tujuan pendidikan itu berwawasan universal, ia tetap harus memiliki orientasi pertimbangan dan perhatian demi

(3)

perkembangan yang otentik dari setiap individu manusia yang terlibat di dalamnya. Tanpa pertimbangan ini, pendidikan demi hidup bersama hanya akan melahirkan problem kemanusiaan yang lebih ruwet lagi.2

Tulisan ini dimaksudkan untuk memberi pertimbangan-pertimbangan dari sudut pandang filsafat antropologi agar rancangan pendidikan dalam tata hidup bernegara di Indonesia tetap berjalan di atas rel essensi pendidikan yang sesungguhnya. Hal ini penting agar tujuan luhur Pancasila dan UUD 1945 yang tertuang dalam konsep pendidikan nasional Indonesia tidak berkembang dalam pemahaman yang semakin menjauh dari essensi dasar pendidikan yakni, menjadi alat bantu bagi manusia Indonesia untuk semakin menjadi diri sendiri yang dijiwai oleh Pancasila dan disemangati dengan semboyan Bhineka Tunggal Ika.

2. Manusia adalah Makhluk Hidup.

Sebagai makhluk hidup, manusia memiliki beberapa ciri khas yang tidak dimiliki oleh makhluk bukan hidup. Hal ini berarti bahwa segala model pendekatan terhadap manusia harus mempertimbangkan hal-hal tersebut sebagai dasar perlakukan terhadap manusia secara benar dan tepat. Pendidikan adalah salah satu proses kegiatan untuk memanusiakan manusia yang harus dilaksanakan di atas dasar kesadaran ini. Tanpa hal ini, proses pendidikan hanya akan memperlakukan manusia sebagai objek (benda mati), tanpa jiwa, tanpa kemampuan internal untuk membentuk dan memanusiakan dirinya sendiri. Atas dasar itulah perlu dikenal ciri-ciri manusia sebagaimana makhluk hidup pada umumnya3.

Ciri pertama, manusia memiliki kemampuan untuk melakukan asimilasi.4 Hal ini mau menjelaskan bahwa manusia adalah makhluk hidup yang memiliki kemampuan internal dalam dirinya sendiri untuk melakukan kegiatan pengembangan diri (self development) dengan mengubah atau mengolah setiap stimulus yang diterimanya dari luar untuk kemudian dicerna sampai menemukan substansinya dalam diri manusia itu sendiri. Dalam hal pertumbuhan fisik, hal ini mudah dimengerti. Tubuh manusia telah dilengkapi mekanisme khas untuk mengubah setiap makanan yang dimakan dan minuman yang diminum untuk membuat manusia berkembang secara fisik dari hari ke hari sejak lahir hingga akhir hidupnya. Makanan dan minuman yang berguna diolah menjadi daging dan secara signifikan membawa pertumbuhan bagi fisik manusia. Makanan dan minuman yang tidak berguna telah diatur juga

2 Tentang hal ini, Driyarkara mengupasnya dengan sangat mendasar dalam tulisan-tulisannya mengenai ‘Problematika Pendidikan’, khususnya sub pembahasan tentang ‘Pendidikan dan Eksistensia Manusia’. Bdk. Sudiardja, SJ, A., Dkk. (Penyunting), 2006. Karya Lengkap Driyarkara: Esai-esai Filsafat Pemikir yang Terlibat Penuh dalam Perjuangan Bangsanya, Gramedia: Jakarta. Hal. 272.

3 Tema ini secara menarik diuraikan dalam; Leahy, Louis, 1989. Manusia: Sebuah Misteri, Gramedia: Jakarta, hal. 44-52. Ciri khas makhluk hidup ditegaskan dalam perbandingannya dengan cara kerja mesin yang dewasa ini diciptakan seolah-olah untuk menduplikasi pola kerja makhluk hidup. Namun, menurut Leahy, upaya duplikasi ini tetap tidak bisa menghilangkan secara total ciri khas makhluk hidup.

(4)

oleh mekanisme tubuh manusia untuk dikeluarkan kembali dari dalam tubuh dan dibuang ke tempat sampah yang dibuat khas dan eksklusif.

Dalam konteks pendidikan, perlu ada kesadaran bahwa ilmu atau informasi apa pun yang diberikan kepada manusia, betapa pun bodohnya dia, masih terdapat kemampuan asimilasi miliknya yang tidak bisa dicampuri atau ditembusi oleh siapa pun. Sebagaimana makanan dan minuman yang disortir secara alamiah tanpa seorang pun tahu secara persis cara kerjanya, demikian pula, ilmu atau informasi yang masuk dalam diri seorang manusia, pasti ada proses asimilasi yang mengikutinya untuk membuatnya menjadi semakin manusiawi. Ini berarti dalam proses pendidikan ada suatu mekanisme internal milik pribadi setiap manusia yang tidak bisa dicampuri oleh siapa pun.

Salah satu aspek penting dalam pendidikan yang nampaknya menjadi penanda utama adalah kegiatan belajar mengajar yang cenderung diatur secara formal dan bersifat mengikat. Tanpa ada pemahaman yang benar tentang kemampuan asimilasi yang ada pada setiap manusia, pengajaran sebagai bagian yang tidak terlepas dari pendidikan akan cenderung membawa dampak yang kurang mengungtungkan karena ia berubah fungsi menjadi ‘alat pemaksaan’ yang tidak mempedulikan proses alamiah asimilasi. Skinner, seorang psikolog yang juga tekun mengembangkan teori-teori tentang teknologi pembelajaran bahkan pernah berpendapat bahwa mengajar adalah proses mempercepat kegiatan belajar siswa. Namun menurutnya, siswa sesungguhnya dapat belajar tanpa pengajaran. Mengajar adalah kegiatan di mana guru menciptakan kondisi agar siswa dapat belajar lebih efektif dan lebih cepat.5 Dengan ini, secara tidak langsung, Skinner hendak mengatakan bahwa kegiatan mengajar adalah suatu aktivitas percepatan pemerolehan pengetahuan yang secara essensial bertolak belakang dengan proses asimilasi yang ada dalam diri manusia.

Ciri kedua, manusia memiliki kemampuan untuk memperbaiki dan memulihkan berbagai hal yang tidak beres dalam dirinya sendiri.6 Manusia sebagaimana makhluk hidup pada umumnya memiliki kemampuan luar biasa ini dari dalam (substansi) dirinya sendiri yang melekat dan dibawanya sejak lahir. Kemampuan itu lahir dari proses organismenya sendiri tanpa dibutuhkan campur tangan dari luar, kecuali Tuhan dari sudut pandang Agama.

Maka, campur tangan pihak luar, kecuali Tuhan, betapa pun hebatnya hanya menjalani fungsi supporting yang tidak mungkin menggantikan kemampuan dasar ini. Hal ini sangat nampak ketika tubuh manusia mengalami luka fisik. Secara otomatis, ada mekanisme dalam tubuh manusia yang spontan bereaksi untuk memulihkan luka itu. Temuan dunia kedokteran untuk mengobati luka adalah hal yang sangat penting dan berguna. Namun, temuan-temuan itu tidak secara sempurna bisa menggantikan obat utama (inner power) yang berasal dari dalam diri manusia sendiri. Untuk memaksimalkan temuan-temuan itu tetap diperlukan adanya aturan main dan mekanisme pengobatan yang memerlukan waktu studi dan pendalaman yang seksama. Misalnya komposisi racikan, pengaturan dosis dan lain-lain.

5 Skinner, Burrhus Frederic, 1968. The Technology of Teaching, Appleton-Century-Crofts: New York. Hal. 101

(5)

Semua ini dimaksudkan supaya bisa mencapai hasil maksimal, yakni luka menjadi sembuh lebih cepat dan manusia tidak lagi terganggu dalam menjalani aktivitasnya.

Dalam konteks pendidikan, dengan ini perlu disadari bahwa sebagai makhluk hidup, manusia sesungguhnya memiliki kemampuan untuk melakukan seleksi atas setiap informasi yang menghampiri dirinya termasuk informasi dalam konteks pendidikan. Dengan demikian, informasi pendidikan haruslah tetap dipandang sebagai hamparan informasi, alternatif tawaran yang hadir dan dihadirkan begitu saja di depan peserta didik. Di hadapan peserta didik yang adalah manusia, informasi pendidikan tidaklah lebih tinggi tingkatannya dibanding dengan informasi-informasi lain pada umumnya. Semua informasi itu di hadapan manusia mempunyai potensi yang sama untuk ditanggapi atau tidak ditanggapi, diakui atau ditolak.7

Tanggapan dan pengakuan terhadap informasi-informasi yang datang silih berganti itu, sekaligus bisa menjadi proses perbaikan dan pemulihan atas informasi-informasi sebelumnya. Perbaikan dan pemulihan itu pasti juga melewati proses seleksi dan pertimbangan yang berjalan alami dalam diri manusia sebagai makhluk hidup. Maka, format pendidikan yang cenderung memaksakan kehendak demi penyeragaman manusia yang bervariasi adalah model pendidikan yang asing dan jauh dari prinsip kemanusiaan. Format pendidikan yang dirancang melalui sistem pendidikan nasional dan kurikulum harus memberi ruang yang seluas-luasnya bagi tanggapan peserta didik untuk mengakui atau menolak informasi-informasi itu.

Ciri ketiga, manusia sebagaimana makhluk hidup pada umumnya memiliki kemampuan untuk mereproduksi atau melipatgandakan dirinya.8 Jalan pelipatgandaan diri manusia pun unik, tidak sekedar melipatganda, tetapi selalu karena didorong oleh perasaan cinta, rasa saling menyatu satu sama lain sebagai awal pelipatgandaan diri. Tanpa cinta dan ketertarikan, mustahil proses reproduksi di antara manusia berjalan baik dan normal. Ciri pelipatgandaan diri beserta seluruh prosesnya ini penting demi pelestarian hidup manusia dan keturunannya. Kualitas proses pelipatgandaan yang kurang baik dan sempurna akan membawa pengaruh pada kualitas hidup manusia-manusia yang terlibat di dalamnya, termasuk kualitas manusia baru hasil direproduksi dan demikian selanjutnya proses reproduksi akan mengalirkan kualitas reproduksi baru yang semakin jauh dari apa yang diharapkan.

Dalam konteks pendidikan, kemampuan reproduksi manusia ini dapat dimengerti sebagai bagian penting dari proses memanusiakan manusia. Dengan demikian, pendidikan adalah salah satu proses reproduksi untuk menghasilkan manusia unggul yang dalam konteks Indonesia berarti menghasilkan manusia yang berjiwa Pancasila dan berkharakter Bhineka Tunggal Ika. Persoalannya, proses reproduksi manusia yang khas ini, dalam konteks pendidikan perlu didukung oleh adanya “relasi cinta” antara pendidik dan peserta didik. Relasi cinta yang dimaksudkan di sini adalah relasi di mana pendidik dan peserta didik sama-sama merasa nyaman dan terutama merasa saling membutuhkan satu sama-sama lain dalam proses pendidikan itu. Kedua belah pihak harus saling memperhatikan untuk memberi yang terbaik bagi partnernya. Tentu saja, sesuatu yang baik itu tidak hanya dalam pandangan sepihak,

7 Hal ini akan lebih didalami pada point pembahasan 4 di naskah ini juga tentang manusia sebagai makhluk bebas.

(6)

tetapi terlebih adalah yang terbaik untuk partnernya. Bahkan, kadang-kadang demi yang terbaik untuk partnernya, dirinya sendiri menjadi tidak nyaman dan boleh jadi terganggu. Relasi cinta yang demikian inilah yang akan memberi kulitas pada apa yang akan dihasilkan dalam proses pendidikan. Tanpa kualitas relasi semacam ini, proses pendidikan akan berlangsung hambar, tanpa rasa, membosankan, dan tidak menghasilkan buah bernas. Yang akan ada hanyalah protes, keluhan, dan sejenisnya yang akhir-akhir ini banyak kita temukan dalam proses pendidikan di tanah air kita.9

Ciri keempat, manusia sebagaimana makhluk hidup pada umumnya memiliki kepekaan dan kemampuan untuk bereaksi terhadap pengaruh-pengaruh yang diterimanya, terhadap keadaan-keadaan yang mengkondisikan eksistensinya.10 Tumbuhan bereaksi terhadap cahaya, cuaca dingin, dan hawa panas. Binatang bersikap hati-hati terhadap semua hal yang mengancamnya.

Dalam konteks pendidikan, manusia sangat dihadapkan pada situasi pengkondisian. Dia diikat oleh sejumlah aturan, diidentifikasi secara fisik dengan adanya seragam yang hampir selalu melekat di tubuhnya, setiap pertemuannya dengan guru selalu dibingkai atas nama dan demi tercapainya tujuan kurikulum, dan lain-lain. Terhadap atmosfir pendidikan semacam ini, wajarlah kalau dunia pendidikan selalu menuai protes, komentar, dan tanggapan. Semua itu adalah model reaksi manusia terhadap segala bentuk pengkondisian.

3. Manusia adalah Makhluk Berpikir

Sebagai makhluk berpikir, manusia memiliki beberapa kemampuan turunan yang jelas tidak dimiliki oleh makhluk lain yang tidak bisa berpikir. Kemampuan-kemampuan itu mencirikan manusia sebagai makhluk mahakaya sekaligus misterius. Mahakaya karena ia berada di tengah hamparan realitas fisik maupun non fisik yang siap diberi makna, siap diinterpretasi setiap saat. Misterius karena interpretasinya terhadap berbagai fenomena yang ditemui tidak pernah tuntas, selalu ada interpretasi di atas interpretasi yang susul menyusul terus menerus. Berpikir adalah kemampuan manusia untuk mengolah pengetahuan yang telah diterimanya untuk diproses menjadi suatu kebenaran. Dengan demikian, berpikir menunjuk pada suatu kegiatan akal yang khas dan terarah. Menurut Plato dan Aristoteles, berpikir berarti berbicara dengan diri sendiri dalam hati. Berpikir adalah kegiatan akal manusia untuk mempertimbangkan, merenungkan, menganalisa, membuktikan sesuatu, menunjukkan alasan-alasan, menarik kesimpulan, meneliti suatu jalan pikiran, mencari hubungan berbagai hal, mencari tahu mengapa sesuatu terjadi, membahasakan suatu realitas, dan lain-lain.11

9 Oleh karena itu, untuk menanggapi berbagai persoalan pendidikan di negeri ini, tidak cukup hanya berkutat pada hal-hal teknis metodis, tetapi harus juga mulai dipikirkan penyelesaian masalah pendidikan dari akarnya, dari kedalaman persoalannya yang essensial. Bdk. Bruner, Jerome S., 1996. The Culture of Education, Harvard University Press: Cambridge, Massachusetts, p. 43

10 Louis Leahy, Op.Cit. 46

(7)

Secara umum dikenal adanya kemampuan-kemampuan turunan dari manusia sebagai makhluk berpikir yang mencakup kemampuan untuk mengerti, kemampuan untuk memiliki pengetahuan dari apa yang dimengerti, dan kemampuan untuk mengungkap isi pengetahuannya melalui aktivitas berbicara. Pertama, sebagai makhluk berpikir, manusia memiliki kemampuan untuk mengerti.12 Aktivitas mengerti merupakan salah satu hal mendasar bagi manusia dalam melakukan kegiatan-kegiatannya. Maka, setiap manusia, berapa pun tingkat IQ-nya, ia tetap memiliki potensi untuk mengerti setiap fenomena yang hadir di hadapannya. Tingkat kedalaman pengertian setiap orang menjadi hal yang unik juga oleh sebab di sanalah dapat lebih dimengerti realitas manusia sebagai misteri itu.13

Dengan demikian, rancangan sistem pendidikan nasional, kurikulum, dan pola pendekatan pengajaran sebagai ujung tombak seharusnya mempertimbangkan bahwa peserta didik sebagai manusia tidak boleh ditempatkan sebagai objek didik yang tanpa modal atau tabularasa sebagaimana yang diungkapkan dalam teori John Lock. Dengan konsep dasar bahwa sebagai makhluk hidup, manusia memiliki kemampuan untuk mengerti, itu berarti bahwa setiap peserta didik dalam proyek pendidikan tidak hadir tanpa apa-apa. Peserta didik selalu hadir di hadapan para pendidik dengan modal pengertiannya sehingga ia bisa saja melakukan perbandingan, pengujian, dan pengambilan kesimpulan untuk dirinya sendiri atas berbagai informasi yang diterimanya termasuk informasi yang diterimanya dalam proses belajar mengajar di kelas.

Ini berarti pentinglah bagi para pendidik untuk menyiapkan tempat dalam setiap pelajarannya bagi eksplorasi pengertian peserta didik. Peserta didik tidak bisa diperlakukan sebagai manusia tanpa pengertian karena memang ia dari kodratnya memiliki pengertian itu dan itu adalah hak miliknya yang tidak boleh dibungkam oleh siapa pun. Sistem pendidikan dan pengajaran yang membungkam hak milik ‘pengertian’ ini hanya akan menimbun rasa tidak puas yang dapat meledak sewaktu-waktu, entah di sekolah, di rumah, atau di masyarakat.

Kedua, sebagai makhluk berpikir, manusia memiliki pengetahuan.14 Pengetahuan manusia tidak semata-mata diperoleh lewat jalur pendidikan formal. Sejak lahir, manusia telah mempunyai cara sendiri yang khas untuk memperoleh pengetahuan bagi hidupnya. Melalui kemampuan indrawi lahir, manusia mencapai pengetahuan-pengetahuan langsung lewat hamparan kenyataan yang mengelilinginya. Melalui kemampuan indrawi batin, manusia mencapai pengetahuan berkat ingatan dan khayalannya akan apa yang pernah ada, belum ada, bahkan apa yang terdapat jauh di luar jangkauannya.

Manusia juga secara kodrati memiliki kemampuan (pengetahuan) perseptif yang telah memungkinkannya untuk menyesuaikan diri secara spontan dan langsung dengan situasi yang disajikan kepadanya. Melalui kemampuan refleksif terhadap berbagai objek yang ditemuinya,

12 Ibid. hal. 114-142

13 Bdk. Darling-Hammond, “Reframing the School Reform Agenda: Developing the Capacity for School Transformation” Phi Delta Kappan, June, 1993, p. 754

(8)

manusia mampu mengungkapkan hasil refleksinya itu dalam bentuk ide, tingkah laku, sikap, simbol, karya seni, dan lain-lain. Melalui kemampuan diskursif dan intuitif, manusia dimampukan untuk berpikir lebih dari sekedar apa yang dia lihat untuk menelusurinya dari keseluruhan ke bagian-bagian, dari bagian-bagian ke keseluruhan, dari akibat ke sebab, dari sebab ke akibat, dari prinsip ke konsekuensi, dari konsekuensi ke prinsip, dan lain-lain. Melalui kemampuan induktif, manusia dimampukan untuk menarik kesimpulan dari sesuatu yang khusus atau individual ke sesuatu yang umum atau universal dan sebaliknya, kemampuan deduktif untuk menarik kesimpulan dari sesuatu yang umum atau universal ke sesuatu yang khusus atau individual. Melalui kemampuan kontemplatif, manusia memiliki kemampuan untuk menimbang dan merenungkan apa saja yang ada dalam dirinya. Melalui kemampuan spekulatif, manusia dimampukan untuk menimbang dan merenungkan realitas lain di luar dirinya dalam bentuk idea atau konsep. Melalui kemampuan praktis, manusia dimampukan untuk mempertimbangkan apa saja yang hadir di hadapan atau di sekitarnya dari sisi kemanfaatannya.

Dengan demikian, pengetahuan yang ada dalam diri manusia tampil dalam beragam bentuk sehingga tidak baiklah kalau pengetahuan manusia itu direduksikan hanya ke dalam salah satu bentuk atau cara tertentu saja. Jalan ini hanya akan merugikan manusia sendiri karena menekan potensi pengetahuan dari sisi yang lainnya. Ini berarti, jalan pendidikan formal yang cenderung mengklaim diri sebagai jalan tunggal atau sekurang-kurangnya sebagai jalan terbaik bagi pembentukan pengetahuan manusia harus direnungkan kembali. Sistem pendidikan nasional dan kurikulum perlu memberi tempat yang seluas-luasnya bagi berkembangnya jalan-jalan pengetahuan yang bermacam ragam itu. Guru dan sekolah perlu membuka akses bagi peserta didik untuk mengeksplorasi pengetahuan-pengetahuannya yang didapat di luar sekolah.

Ketiga, sebagai makhluk hidup, manusia memiliki kemampuan berbicara sebagai cara khas untuk mengungkapkan apa yang dimengerti dan diketahuinya.15 Berbicara adalah cara khas manusia untuk mengisyaratkan sesuatu. Manusia berbicara karena dia punya sesuatu yang hendak diungkapkan dan sesuatu itu adalah pengetahuan yang dipunyainya. Maka, dalam konteks pendidikan, kesempatan berbicara bagi peserta didik adalah sesuatu yang tidak bisa ditawar-tawar lagi.16 Dengan berbicara, para pendidik menjadi tahu apa yang sedang terjadi dalam diri para peserta didiknya, apa yang sudah diketahui dan apa yang belum diketahui oleh peserta didiknya. Dengan berbicara, komunikasi antara pendidik dengan peserta didik mulai terjalin dan menemukan keselarasannya. Pendidik, dengan demikian dimudahkan untuk memilah materi mana yang perlu lebih diprioritaskan dan materi mana yang tidak perlu terlalu diulang-ulang lagi. Keputusan pendidik dalam hal ini hanya mungkin karena peserta didik diberi ruang untuk berbicara mengungkapkan apa yang sesungguhnya sedang terjadi dalam dirinya. Tanpa hal ini, pendidik hanya akan tekun menjalankan tugas atas

15 Ibid, hal. 24-43

(9)

bimbingan pemikirannya sendiri untuk mengejar target kurikulum, sementara peserta didik semakin tersiksa dalam situasinya yang tidak diperhitungkan.

Perjalanan sejarah kurikulum di negeri ini sangat menampakan dinamika pencarian pola komunikasi antara pendidik dengan peserta didiknya. Satu hal yang sangat menarik adalah bahwa dalam dinamika-dinamika itu, selain persoalan materi sebagai titik fokus yang cenderung berubah-ubah dari waktu ke waktu, soal pola relasi pendidik dengan peserta didiknya menjadi materi dasar kurikulum yang tetap menjadi jiwa perbincangan tentang kurikulum hingga saat ini. Teacher learning centre, student learning centre, competence learning centre atau apapun lagi namanya adalah pilihan-pilihan pola relasi yang berkembang dalam konteks pendidikan kita.

4. Manusia adalah Makhluk Bebas

Kebebasan manusia sangat dimungkinkan oleh adanya akal budi atau rasio yang dimiliki sebagai makhluk istimewa.17 Dengan akal, manusia mampu melakukan pertimbangan terhadap segala bentuk tawaran yang diberikan kepadanya baik oleh alam sekitar maupun oleh sesamanya manusia. Dengan akal, manusia mampu merenungkan berbagai peristiwa sedih atau bahagia yang dialami dalam perjalanan hidupnya. Dengan akal, manusia bisa menganalisa dan melihat hubungan antara satu hal dengan hal lainnya, antara suatu peristiwa dengan peristiwa lainnya. Dengan akal, manusia mampu membuktikan kepada sesamanya manusia sesuatu yang diyakininya maupun hal yang ditolaknya dengan jalan membeberkan sejumlah alasan dan argument yang menurutnya kuat dan dapat dipertanggungjawabkan. Dengan akal, manusia mampu meneliti suatu jalan pikiran, melihat hubungan satu sama lain, dan mengambil kesimpulan atasnya. Dengan akal, manusia mampu melacak dan mencari tahu mengapa sesuatu terjadi baik dalam hidupnya sendiri maupun dalam hidup orang lain. Dengan akal, manusia bisa mendeskripsikan berbagai realitas yang hadir di hadapannya.

Kesadaran ini penting untuk membantu kita dalam merumuskan berbagai hal yang berkaitan dengan pengembangan pendidikan dan pengajaran. Di satu sisi, dengan penjelasan di atas, nampak jelas sekali bahwa memang manusia adalah makhluk yang berdaulat dan bebas. Dialah yang paling bertanggungjawab atas dirinya sendiri. Dialah yang paling berhak menentukan masa depannya sendiri.18 Namun di sisi lain, tidak bisa dipungkiri bahwa sangat terbuka kemungkinan bagi manusia yang berdaulat itu untuk salah atau keliru dalam mengimplementasikan kebebasan atau kedaulatannya.

Pendidikan atau pengajaran, entah formal maupun non formal mengambil porsi dalam konteks ini. Pendidikan atau pengajaran adalah sekedar alat bantu untuk mengarahkan proses setiap anak manusia menuju kesempurnaan kemanusiaannya masing-masing. Dengan

17 Menurut Henry Bergson, semua makhluk hidup memiliki evolusi kesadaran dengan tingkatan pencapaian yang berbeda-beda. Tumbuhan berhenti pada situasi tanpa kesadaran, hewan berhenti pada naluri, manusia mencapai puncaknya tertinggi pada akal atau rasionya. Bergson, Henry, 1977. Creative Evolution (terjemahan Arthur Mitchell dengan kata pengantar oleh Irwin Edman), Greenwood & Press, Publishers Westport: Conecticut.

(10)

demikian, sistem pendidikan dan kurikulum tidak dimaksudkan untuk mengungkung atau membatasi kedaulatan peserta didik. Dalam proses belajar mengajar, para peserta didik adalah subjek mandiri yang harus diikuti dan dikawal oleh guru ke arah mana ia akan pergi. Peran guru, dengan demikian adalah di depan memberi teladan (ing ngarsa sung tuladha), di tengah memberi motivasi (ing madya mangun karsa), dari belakang memberi dorongan (tut wuri handayani) sebagaimana telah dicita-citakan Hi Hadjar Dewantara.19 Prinsip inilah yang sesungguhnya menjadi cita-cita pendidikan kita. Ki Hadjar Dewantara sadar betul akan hak mendasar manusia untuk menentukan nasib dirinya sendiri. Hidupnya adalah milik pribadinya yang tidak boleh direnggut atau dimanipulasi oleh siapa pun.

5. Penutup

Bagian penutup ini berisi kesimpulan dan saran. Beberapa kesimpulan utama dapat diungkapkan sebagai berikut; Pertama, pendidikan dalam arti upaya memanusiakan manusia pertama-tama haruslah dimengerti sebagai tanggungjawab masing-masing orang karena merekalah yang harus bertanggungjawab menentukan masa depannya sendiri. Pada tempat kedua barulah pendidikan menjadi tanggungjawab orang-orang lain di sekitarnya sebagai konsekuensi penyamaan visi dan misi untuk hidup bersama dalam masyarakat. Ketiga, keruwetan aktivitas pendidikan selama ini terjadi karena dominannya peran luar (negara dan masyarakat) yang terlalu menempatkan peserta didik sebagai pihak yang harus dibentuk tanpa mempedulikan kemampuan bawaan sebagai makhluk hidup yang dimiliki peserta didik untuk mendidik dirinya sendiri. Kealpaan dalam hal ini harus ditangkap sebagai persoalan utama dalam dunia pendidikan.

Berdasarkan kesimpulan-kesimpulan di atas, dua saran utama dapat disampaikan sebagai berikut; Pertama. aktivitas pendidikan yang dikendalikan melalui lembaga-lembaga pendidikan formal baik negeri maupun swasta haruslah dijalankan di atas dasar pemikiran sebagai kegiatan supporting dan bukannya kegiatan utama ‘memanusiakan manusia’ karena penanggungjawab utama ada di dalam tangan masing-masing orang sebagai manusia. Kedua, oleh karena itu, adalah wajib bagi lembaga-lembaga pendidikan formal untuk membangun panduan pendidikannya (sistem pendidikan dan kurikulum) di atas pemahaman yang benar tentang manusia sebagai makhluk hidup, manusia sebagai makhluk berpikir, dan manusia sebagai makhluk bebas.

Daftar Pustaka

Bergson, Henry, 1977. Creative Evolution (terjemahan Arthur Mitchell dengan kata pengantar oleh Irwin Edman), Greenwood & Press, Publishers Westport: Conecticut

Bruner, Jerome S., 1996. The Culture of Education, Harvard University Press: Cambridge, Massachusetts

Cushman, K., “Less is More: The Secret of Being Essential’, Horace, 11, 1, 1994

(11)

Darling-Hammond, “Reframing the School Reform Agenda: Developing the Capacity for School Transformation” Phi Delta Kappan, June, 1993, p. 754

Freire, Paulo, 1982. Pedagogy of the Oppressed, Harmondsworth: Peguin

Habermas, Jurgen, 1984. The Theory of Communicative Action.Volume One: Reason and the Rationalization of Society (terjemahan T. McCarthy, Boston: Beacon Press.

Leahy, Louis, 1989. Manusia, Sebuah Misteri, Gramedia: Jakarta

Neil, Sutherland, Alexander, 1968. Summerhill, Penguin Books: Harmondsworth

Postman, Neil, 1985. Amusing Ourselfes to Death, Public Discourse in the Age of Show Business, Penguin: New York

Roger, Carl, 1983. Freedom to Learn for the 80’s, Charles Merril: Colombus

Saksono, Ign, Gatut, 2008. Pendidikan yang Memerdekakan Siswa, Rumah Belajar Yabinkas: Yogyakarta

Sizer, Theodore, R., 1996. Horace’s Hope: What Works for the American High School,

Boston, Massachusetts: Houghton Mifflin

Skinner, Burrhus Frederic, 1968. The Technology of Teaching, Appleton-Century-Crofts: New York

Sudiardja, SJ, A., Dkk. (Penyunting), 2006. Karya Lengkap Driyarkara: Esai-esai Filsafat Pemikir yang Terlibat Penuh dalam Perjuangan Bangsanya, Gramedia: Jakarta.

Referensi

Dokumen terkait

Hasil uji LSD menunjukkan terdapat per- bedaan yang bermakna pada kekerasan mikro resin komposit nanofil antara teknik penyinaran konvensional dibandingkan ramped dan dan teknik

Secara singkat kalimat imperatif bahasa Indonesia dapat diklasifikasikan menjadi lima macam, yakni (a) kalimat imperatif biasa, (b) kalimat imperatif permintaan,(c)

Kestabilan tegangan merupakan kemampuan dari sistem tenaga mempertahankan tegangan untuk tetap stabil pada semua bus setelah terjadi gangguan. Hal ini tergantung dari

Pengertian demokratis dimaksud berjalan aman dan tertib, juga pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah, baik gubernur dan wakilnya maupun bupati dan

Teknik analisis data dalam penelitian ini melalui tiga tahapan, yaitu: (1) tahap reduksi data, (2) tahap penyajian data, dan (3) tahap penarikan kesimpulan. Hasil

KOLABORASI MUSIK BAND DAN GAMELAN PADA LAGU BLUE SUEDE SHOES KARYA CARL PERKIN YANG DIPOPULERKAN OLEH..

Teori perilaku terencana sebelumnya telah diterapkan pada penelitian-penelitian terdahulu untuk memprediksi perilaku konsumen terhadap produk hijau dan ketahanan teori

Shirley Taylor yang menyatakan bahwa Customer Delight berkontribusi dalam menambah kepuasan pelanggan, komunikasi words of mouth, pembelian ulang dan lebih banyak