• Tidak ada hasil yang ditemukan

bukti persangkaan dalam peradilan Islam

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "bukti persangkaan dalam peradilan Islam"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

PERSANGKAAN SEBAGAI SALAH SATU ALAT BUKTI

DALAM PERADILAN ISLAM

MAKALAH

Disusun untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Peradilan Islam II

Program Studi Ahwal Al-Syakhsiyyah

Disusun oleh :

SITI SADIAH 12214110217

FAKULTAS AGAMA ISLAM

(2)

KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr. Wb.

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah

melimpahkan nikmat dan karunia-Nya berupa iman, Islam dan ilmu serta

bimbingann-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul

“Persangkaan sebagai salah alat bukti dalam Peradilan Islam”. Makalah ini disusun untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Peradilan Islam II.

Penyusun mengucapkan banyak terima kasih kepada Ibu dosen yang telah

memberikan ilmunya, bimbingan dan kesabarannya hingga akhirnya makalah ini

dapat selesai tepat pada waktunya.

Tentunya makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh sebab itu, penulis

tidak menutup diri untuk menerima kritik dan saran yang membangun dari semua

pihak demi penyempurnaan makalah ini. Penulis berharap, makalah ini dapat

bermanfaat bagi pembaca dan rekan-rekan Mahasiswa lainnya. Aamiin.

Wassalamualaikum Wr. Wb.

Bogor, April 2015

(3)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...ii

DAFTAR ISI...iii

PENDAHULUAN...1

A. Latar Belakang Masalah...1

B. Perumusan Masalah...2

C. Tujuan Penulisan...2

PEMBAHASAN...3

A. Pengertian Bukti Persangkaan...3

B. Dasar Hukum Persangkaan...5

1. Al-Qur’an...5

2. Putusan Rasulullah SAW...6

3. Kisah Nabi Sulaiman...6

4. Hukum Positif...7

C. Pembagian Bukti Persangkaan...8

5. Qarinah Qanuniyyah / Praesumptiones Juris...8

6. Qarinah Qadla’iyyah/ Praesumptiones Facti...10

D. Penggunaan dan Posisi Persangkaan sebagai Alat Bukti...13

KESIMPULAN DAN SARAN...15

A. Kesimpulan...15

B. Saran...15

(4)

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Untuk memperoleh kepastian bahwa suatu peristiwa/ fakta yang diajukan

benar terjadi, yang dibuktikan kebenarannya, sehingga nampak adanya hubungan

hukum antara para pihak, maka diharuskan adanya bukti. Membuktikan artinya

mempertimbangkan secara logis kebenaran suatu fakta/peristiwa berdasarkan

alat-alat bukti yang sah menurut hukum pembuktian yang berlaku.

Untuk membuktikan itu, para pihaklah yang aktif berusaha mencarinya,

menghadirkan atau mengetengahkannya ke muka sidang. Persangkaan merupakan

salah satu yang dapat dijadikan sebagai alat bukti guna membuktikan suatu

peristiwa/kejadian adalah benar atau tidaknya .

Apabila dalam suatu pemeriksaan perkara perdata sukar untuk

mendapatkan saksi yang melihat, mendengar, atau merasakan sendiri, maka

peristiwa hukum yang harus dibuktikan diusahakan agar dapat dibuktikannya

dengan persangkaan-persangkaan1.

Maka dari itulah penulis mencoba untuk menyajikan makalah ini yang

membahas tentang bukti persangkaan.

(5)

B. Perumusan Masalah

1) Apa yang dimaksud dengan bukti persangkaan? 2) Apa saja dasar hukum persangkaan?

3) Ada berapa macam bukti persangkaan?

4) Bagaimanakah penggunaan dan posisi persangkaan sebagai alat bukti?

C. Tujuan Penulisan

Tujuan penulisan makalah ini adalah :

1) Untuk mengetahui arti alat bukti persangkaan 2) Untuk mengetahui dasar hukum persangkaan

3) Untuk mengetahui pembagian alat bukti persangkaan

4) Untuk mengetahui penggunaan dan posisi persangkaan sebagai alat

(6)

PEMBAHASAN

A. Pengertian Bukti Persangkaan

Alat bukti persangkaan (Belanda, Ver Moeden) yang di dalam Hukum

Acara Peradilan Islam disebut al Qarinah menurut bahasa artinya “istri” atau

“hubungan” atau “pertalian”, sedangkan menurut istilah hukum ialah hal-hal yang

mempunyai hubungan atau pertalian yang erat demikian rupa terhadap sesuatu

sehingga memberikan petunjuk.2

Persangkaan adalah kesimpulan yang oleh undang-undang atau Hakim

ditarik dari suatu peristiwa yang nyata/terang kearah peristiwa (kejadian) lain

yang belum terang kenyataannya.3 Pada hakekatnya, persangkaan merupakan alat

bukti yang bersifat tidak langsung.

Persangkaan adalah kesimpulan yang ditarik dari suatu peristiwa yang

telah dianggap terbukti, lalu peristiwa yang dikenal, kearah suatu peristiwa yang

belum terbukti. Yang menarik kesimpulan tersebut adalah Hakim atau

Undang-undang. Misalnya apabila seorang anak yang telah dipelihara, dikhitan, dan

dikawinkan oleh keluarga A, dan meskipun ia sesungguhnya adalah orang lain, ia

memanggil “ma” dan “bapa” kepada A dan B, hal itu memberi persangkaan

Hakim bahwa anak tersebut adalah anak angkat dari A dan B.4

Pasal 1915 B.W. menyatakan bahwa : “Persangkaan ialah kesimpulan

yang oleh undang-undang atau oleh Hakim ditarik dari suatu peristiwa yang 2 Roihan A. Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama , (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1998), hlm. 166.

3 Umar mansyur Syah, “Hukum Acara Perdata Peradilan Agama Menurut Teori dan Praktek”, (Bandung : Sumber Bahagia, 1991), hlm. 151.

(7)

diketahui umum ke arah suatu peristiwa yang tidak diketahui umum. Ada dua

persangkaan, yaitu persangkaan yang berdasarkan undang-undang dan

persangkaan yang tidak berdasarkan undang-undang.”

Dalam hukum acara perdata Islam, persangkaan disebut Qarinah yang

dijadikan sebagai salah satu alat pembuktian. Qarinah yaitu isyarat, indikasi, atau

tanda-tanda yang dapat memberikan kesimpulan kepada hakim. Qarinah secara

bahasa diambil dari kata “muqaranah” yang berarti musahabah dalam bahasa

Indonesia diterjemahkan dengan pengertian atau petunjuk.5Secara istilah, qarinah

diartikan dengan :

ىوعدلا عئاقو نم ىضاقلا اهطبنتسي ىتلا ةلادلا

اداهتجاب اهلاوحاو

6

Menurut Raihan Rasyid, yang dimaksud dengan qarinah di dalam istilah hukum adalah hal-hal yang mempunyai hubungan atau pertalian yang erat sedemikian

rupa terhadap sesuatu sehingga dapat memberikan petunjuk.7

Jadi, Persangkan ialah kesimpulan yang ditarik dari suatu peristiwa yang

telah dikenal atau dianggap terbukti dari suatu peristiwa yang dikenal atau

dianggap terbukti ke arah suatu peristiwa yang tidak dikenal atau belum terbukti,

baik yang berdasarkan undang-undang atau kesimpulan yang ditarik oleh Hakim.

5 Anshoruddin, Hukum Pembuktian Menurut Hukum Acara Islam dan Hukum Positif, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2004), hlm.88.

6Nashr Farid Washil, Nazhariyyah ad Da’wa wa al Istbat fii al-Fiqhi…, (Kairo : Daaru asy Syuruq. 2002), hlm.147.

(8)

D. Dasar Hukum Persangkaan 1. Al-Qur’an

Dalam Al-Quran terdapat beberapa ayat yang dijadikan sebagai landasan

hukum ataupun dasar pijakan dari Qarinah sebagai alat bukti di dalam hukum

acara peradilan Islam. Yaitu :

1. surah 12 ayat 26, Qarinah diabadikan dalam kisah Nabi Yusuf dan

Zulaikha :

      



Artinya : Yusuf berkata: "Dia menggodaku untuk menundukkan diriku (kepadanya)", dan seorang saksi dari keluarga wanita itu memberikan kesaksiannya: “Jika baju gamisnya koyak di muka, Maka wanita itu benar dan Yusuf Termasuk orang-orang yang dusta.”

2. Surah Al-Hijr ayat 75

   

“Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang-orang yang memperhatikan tanda-tanda.” (QS. Al-Hijr/15:75)

3. Surah Muhammad ayat 30

      

(9)

“(Berinfaqlah) kepada orang-orang fakir yang terikat (oleh jihad) di jalan Allah; mereka tidak dapat (berusaha) di bumi; orang yang tidak tahu menyangka mereka orang Kaya karena

memelihara diri dari minta-minta. kamu kenal mereka dengan melihat sifat-sifatnya, mereka tidak meminta kepada orang secara mendesak. dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan (di jalan Allah), Maka Sesungguhnya Allah Maha Mengatahui.” (QS. Al-Baqarah/2:273)

2. Putusan Rasulullah SAW

Menurut Muhammad Salam Madzkur, bahwa dalam yurisprudensi yang pernah dilakukan oleh Rasulullah SAW, beliau menggunakan Qarinah dalam

putusannya. Disebutkan bahwa Rasulullah SAW pernah menahan orang dan

menghukum tertuduh setelah timbul persangkaan karena nampak tanda-tanda

mencurigakan pada diri tertuduh. Nabi SAW juga pernah memerintahkan orang

yang menemukan sesuatu agar menyerahkan barang temuannya kepada orang

yang ternyata tepat dalam menyebutkan sifat-sifat barangnya yang hilang, dan

beliau memerintahkan agar orang tersebut (pihak yang kehilangan) menyebutkan

sifat-sifat barangnya yang hilang, wadahnya, dan tutupnya.

3. Kisah Nabi Sulaiman

Contoh lainnya yaitu ketika Nabi Sulaiman as yang didatangi dua orang

perempuan yang bersengketa memperebutkan seorang anak, yang masing-masing

mengakui bahwa anak tersebut adalah anak kandungnya. Kemudian perkara

tersebut diadili oleh Nabi Daud as dan diputus dengan kemenangan di pihak

perempuan yang muda. Lalu Nabi Sulaiman as yang ikut hadir dalam Majlis

Pengadilan tersebut berkata : “berilah aku sebilah pisau yang akan kupergunakan

untuk membelah anak ini menjadi dua bagian untuk masing-masing pihak yang

bersengketa”, kemudian perempuan yang tua memperkenankan tindakan Nabi

(10)

lakukan itu, semoga Allah memberikan rahmatNya atasmu, berikanlah anak itu

kepadanya (kepada perempuan tua itu).” Kemudian atas dasar kejadian (qarinah)

itu maka diputuslah dengan diberikannya anak tersebut kepada perempuan yang

muda berdasarkan adanya qarinah, bahwa dialah yang menampakkan rasa belas

kasihan kepadanya dan mencegah dipotongnya anak tersebut menjadi dua bagian,

dimana perempuan yang tua justru mengijinkannya, dan perempuan muda itupun

merelakan anak itu untuk diserahkan kepada yang tua. Disini nampak sekali

bahwa alat bukti qarinah lebih diutamakan daripada iqrar (pengakuan).

4. Hukum Positif

Dalam Pasal 54 UU No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama

menentukan bahwa hukum acara yang berlaku pada Pengadilan di lingkungan

Peradilan Agama adalah Hukum Acara Perdata yang berlaku pada Pengadilan

dalam lingkungan Peradilan Umum, kecuali yang telah diatur khusus dalam UU

ini. Ketentuan-ketentuan tersebut terdapat pada Pasal 164 HIR, Pasal 284 Rbg,

dan Pasal 1866 BW. Berikut alat-alat bukti tersebut:

1. Alat Bukti Surat (Pasal 164 HIR)

2. Alat Bukti Saksi (Pasal 164 HIR)

3. Alat Bukti Persangkaan (Pasal 164 HIR)

4. Alat Bukti Pengakuan (Pasal 164 HIR)

5. Alat Bukti Sumpah (Pasal 164 HIR)

6. Pemeriksaan Ditempat (Pasal 153 HIR)

(11)

8. Pembukuan (Pasal 167 HIR)

9. Pengetahuan Hakim (Pasal 178 (1) HIR dan UU-MA No. 14/1985)

Pasal 164 HIR (ps. 284 Rbg, 1866 BW) menyebut persangkaan sebagai

alat bukti sesudah saksi : persangkaan-persangkaan (vermoedens, presumptions).

Sedangkan di Mesir, Undang-undang Nomor 147 Tahun 1949 tentang Acara

Perdata, qarinah diterima sebagai alat bukti. Begitu pula dalam Undang-undang

Nomor 78 Tahun 1931 tentang Mahkamah Syari’ah, qarinah dipakai sebagai alat

bukti.

E. Pembagian Bukti Persangkaan

Ada dua macam persangkaan, yaitu persangkaan berdasarkan

undang-undang/hukum (Qarinah Qanuniyyah, Praesumptiones Juris), dan persangkaan

berdasarkan atas kesimpulan yang ditarik oleh Hakim (Qarinah Qadla’iyyah,

Praesumptiones Facti).

5. Qarinah Qanuniyyah / Praesumptiones Juris

Praesumptiones Juris atau wettelijke atau rechtsvermoedens,

Praesumptiones Juris adalah persangkaan yang berdasarkan suatu ketentuan

khusus undang-undang/hukum yang dihubungkan dengan perbuatan-perbuatan

tertentu atau peristiwa-peristiwa tertentu. Maka undang-undanglah yang

menetapkan hubungan antara peristiwa yang tidak diajukan. Persangkaan menurut

(12)

pembuktian lebih lanjut (ps. 1921 ayat 1 BW). Kekuatan pembuktiannya bersifat

memaksa.

Menurut pasal 1916 B.W., Persangkaan yang berdasarkan undang-undang

ialah persangkaan yang dihubungkan dengan perbuatan tertentu atau peristiwa

tertentu berdasarkan ketentuan undang-undang. Persangkaan semacam itu antara

lain adalah;

a. perbuatan yang dinyatakan batal oleh undang-undang, karena perbuatan itu

semata-mata berdasarkan dari sifat dan wujudnya, dianggap telah

dilakukan untuk menghindari suatu ketentuan undang-undang;

b. pernyataan undang-undang yang menyimpulkan adanya hak milik atau

pembebasan utang dari keadaan tertentu;

c. kekuatan yang diberikan oleh undang-undang kepada suatu putusan Hakim

yang memperoleh kekuatan hukum yang pasti;

d. kekuatan yang diberikan oleh undang-undang kepada pengakuan atau

kepada sumpah salah satu pihak.

Menurut M. Nur Rasaid, tentang menarik persangkaan menurut undang-undang ini haruslah dianggap sebagai perbandingan saja, yang oleh Hakim harus

dipertimbangkan apakah dalam suatu kasus tertentu berlaku ketentuan tersebut.8

Persangkaan berdasarkan Undang-undang ini terbagi dua, yaitu :

a. Praesumptiones Juri Tantum

adalah persangkaan berdasarkan hukum yang memungkinkan adanya pembuktian

lawan. Contohnya adalah pasal 159, 633, 658, 662, 1394, 1439 B.W, 42, 44

Peraturan Kepailitan.

(13)

b. Praesumptiones Juris et De Jure

adalah persangkaan berdasarkan hukum yang tidak memungkinkan pembuktian

lawan. Persangkaan menurut undang-undang diatur dalam pasal 1921 ayat 2 B.W.

yang dapat menjadi dasar untuk membatalkan perbuatan-perbuatan tertentu.(lihat

pasal 184, 911, 1681 B.W). pasal 1921 ayat 2 B.W :

“(2) Terhadap suatu persangkaan menurut undang-undang, tidak boleh diadakan pembuktian, bila berdasarkan persangkaan itu undang-undang menyatakan batalnya perbuatan-perbuatan tertentu atau menolak diajukannya suatu gugatan ke muka

Pengadilan, kecuali bila undang-undang memperbolehkan pembuktian sebaliknya, tanpa mengurangi ketentuan-ketentuan mengenai sumpah di hadapan Hakim.”

6. Qarinah Qadla’iyyah/ Praesumptiones Facti

Adalah persangkaan berdasarkan kenyataan (Feitelijke atau Rechterlijke

vermoedens, Praesumptiones Facti) atau bisa diartikan kesimpulan-kesimpulan

yang ditarik oleh Hakim. Persangkaan yang didasarkan atas suatu kesimpulan

yang ditarik oleh Hakim adalah persangkaan-persangkaan yang berdasarkan

kenyataan-kenyataan yang ada, yang dilihat oleh Hakim dalam proses persidangan

sehingga tersusunlah suatu kesimpulan persangkaan-persangkaan.

Dalam hal ini, Hakimlah yang memutuskan berdasarkan kenyataannya,

apakah mungkin dan sampai berapa jauhkah kemungkinannya untuk

membuktikan peristiwa tertentu dengan membuktikan peristiwa lain. Misalnya

peristiwa a yang diajukan, maka Hakim memutuskan apakah peristiwa b ada

hubungannya yang cukup erat dengan peristiwa a. Untuk menganggap peristiwa a

terbukti dengan terbuktinya peristiwa b. Contoh lainnya adalah persoalan

(14)

sudah dua puluh tahun lebih tinggal diam tanpa ada sesuatu alasan yang sah, hal

itu memberi persangkaan (Hakim) yang beralasan, bahwa penggugat

sesungguhnya tidak berhak atas sawah/tanah yang dipersengketakan lagi.

Hakim tidak boleh sembarangan dalam menarik kesimpulan dari adanya

berbagai peristiwa. Persangkaan hanya dapat dibenarkan apabila persangkaan itu

timbul dari adanya kesaksian, surat-surat, pengakuan dari salah satu pihak. 9

Persangkaan Hakim juga adalah sehubungan dengan adanya gugatan

perceraian yang didasarkan atas perzinahan. Tidak mudah untuk menemukan

saksi-saksi yang melihat sendiri ketika perzinahan itu terjadi. Oleh karena itu,

sudah menjadi yurisprudensi tetap bahwa apabila dua orang, pria dan wanita

dewasa yang bukan suami-istri itu tidur bersama dalam satu kamar yang hanya

mempunyai satu tempat tidur maka untuk perbuatan perzinahan telah terdapat satu

persangkaan Hakim. Persangkaan-persangkaan diatur dalam pasal 1915 BW.

Pengertian persangkaan Hakim sangat luas. Segala peristiwa, keadaan

dalam sidang, bahan-bahan yang didapat dari pemeriksaan perkara tersebut,

semuanya itu dapat dijadikan bahan untuk menyusun persangkaan Hakim.

Imam Abu Hanifah, Imam Syafi’i dan Imam Ahmad berpendapat bahwa

jika hanya Qarinah (sangkaan) yang ada, sedangkan saksi atau iqrar (pengakuan)

tidak ada, maka Hakim tidak dapat memutuskan perkara itu. Menurut ulama

Hanafiah, Qarinah sebagi alat bukti dan penilainnya tergantung kepada

pertimbangan Hakim. Sedangkan menurut Ibnu Al-Qayyim, Qarinah sebagai alat

bukti sama dengan kedudukan saksi.10

9 Mardani, “Hukum Acara Perdata Peradilan Agama & Mahkamah Syar’iyah”, (Bandung : Sinar Grafika, 2009) cet.1 hlm. 112

(15)

Dalam Pasal 311 HIR adalah adanya isyarat atau petunjuk hanya dapat

dibuktikan oleh saksi-saksi, surat-surat, pemeriksaan sendiri, walaupun diluar

Pengadilan. Pasal 173 HIR berbunyi : “dugaan-dugaan yang tidak berdasarkan

suatu peraturan undang-undang, hanya boleh diperhatikan oleh Hakim dalam

menjatuhkan keputusannya, jika dugaan-dugaan itu penting, saksama, tertentu

dan sesuai satu sama lain”. (KUHPerd. 1916, 1921, dst).

Persangkaan Hakim sebagai alat bukti mempunyai kekuatan bukti bebas,

yaitu terserah kepada penilaian Hakim yang bersangkutan, kekuatan bukti apa

yang akan diberikan kepada persangkaan Hakim tertentu itu, apakah akan

dianggap sebagai alat bukti yang berkekuatan sempurna, atau sebagai bukti

permulaan atau akan tidak diberi kekuatan apapun juga. Apabila hanya ada satu

persangkaan Hakim saja, maka persangkaan tersebut tidaklah dianggap cukup

untuk menganggap dalil yang bersangkutan itu terbukti. Artinya, persangkaan

Hakim itu baru merupakan bukti lengkap apabila saling berhubungan dengan

persangkaan-persangkaan Hakim yang lain yang terdapat dalam perkara itu.

F. Penggunaan dan Posisi Persangkaan sebagai Alat Bukti

Persangkaan atau qarinah di dalam hukum acara peradilan Islam adalah

merupakan salah satu alat bukti yang sah di antara sekian banyak alat bukti yang

ada dalam hukum acara Islam. Menurut Roihan Rasyid, tidak semua qarinah dapat dijadikan sebagai alat bukti, melainkan hanya qarinah yang jelas saja, yang

dalam hukum acara peradilan Islam disebut qarinah wadihah yang dapat

(16)

tanpa didukung oleh alat bukti yang lain. Dengan kata lain bahwa qarinah

wadihah ini dapat berdiri sendiri, tidak memerlukan perantara alat bukti lain

dalam penerapannya sebagai alat bukti di dalam persidangan.

Suatu putusan yang dijatuhkan berdasarkan bukti persangkaan dari

indikatornya yang nyata tidak dapat dikatakan sebagai putusan yang menyimpang.

Karena, sekiranya gugatan Penggugat tidak benar, tentulah gugatan itu ditolak

oleh Tergugat dengan sumpahnya. Dan jika tergugat menolak mengangkat

sumpah, maka penolakannya itu merupakan indikator nyata yang menunjukkan

kebenaran gugatan Penggugat. Dengan demikian asas praduga tak bersalah harus

dikalahkan. Banyak implikasi dan indikasi yang lebih kuat, selain sikap menolak

mengangkat sumpah, yang dapat ditangkap oleh indra.11

Para Hakim yang cerdas serta arif bijaksana dapat membebaskan hak-hak

rakyat yang terampas dengan memperhatikan qarinah-qarinah yang jelas adanya,

maka para hakim tidak lagi meminta bukti kesaksian dan juga tidak meminta

suatu pengakuan.12Hakim wajib untuk selalu mencari kebenaran, sehingga hakim

harus menjauhkan segala sesuatu yang dapat mengganggu fikirannya. Dia tidak

boleh memutus dikala amat marah ataupun lapar, dikala sedih yang mencemaskan,

amat takut, mengantuk, panas dingin atau sibuk hatinya sehingga hal hal itu akan

memalingkannya dari pengetahuan yang benar dan pemahaman yang cermat.13

Telah disebutkan diatas bahwa menurut Ibnul Qayyim, bahwa qarinah

sebagai alat bukti adalah sama dengan kedudukan saksi. Ulama Madinah

11Muhammad Salam Madkur, Peradilan dalam Islam, alih bahasa Imron A.M, cet.ke-4, (Surabaya: PT Bina ilmu, 1993), hlm. 120.

12 Ibid, hlm.121.

(17)

berpendapat bahwa tidaklah dapat diterima pernyataan seorang perempuan yang

mengatakan bahwa suaminya tidak membelanjainya dan tidak memberikan

pakaian kepadanya, berdasarkan qarinah secara lahiriah (sebab ia ternyata masih

hidup dan juga berpakaian), kecuali jika ia dapat membuktikan atas

keterangannya tersebut. Fuqaha beranggapan bahwa qarinah adalah alat bukti, yaitu tentang anggapan sahnya jual beli dengan semata-mata saling menyerahkan

(antara penjual dan pembeli) tanpa ada keterangan kata-kata apapun, adalah

karena berpegangan dengan qarinah-qarinah dan tanda-tanda yang menunjukkan

atas kerelaan masing-masing pihak yang merupakan syarat sahnya jual beli.

Imam Malik dan sebagian Fuqaha tidak membenarkan gugatan yang tidak nampak adanya kebenaran dan penggugatnya tidak usah diminta sumpahnya

(18)

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Persangkan ialah kesimpulan yang ditarik dari suatu peristiwa yang telah

dikenal atau dianggap terbukti dari suatu peristiwa yang dikenal atau dianggap

terbukti ke arah suatu peristiwa yang tidak dikenal atau belum terbukti, baik yang

berdasarkan undang-undang atau kesimpulan yang ditarik oleh Hakim.

Ada dua macam persangkaan, yaitu persangkaan berdasarkan

undang-undang/hukum (Qarinah Qanuniyyah, Praesumptiones Juris), dan persangkaan

berdasarkan atas kesimpulan yang ditarik oleh Hakim (Qarinah Qadla’iyyah,

Praesumptiones Facti).

Berdasarkan pembahasan diatas, dapat disimpulkan bahwa

persangkaan/qarinah merupakan salah satu alat bukti yang dapat membuktikan

suatu kejadian benar atau tidak. Namun, persangkaan itu sendiri tidak dapat

langsung menjadi bukti tanpa bukti lain atau persangkaan-persangkaan Hakim

yang lain. Kecuali persangkaan yang jelas saja (qarinah wadihah).

B. Saran

Mengingat keterbatasan pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki oleh

penyusun, maka untuk mendapatkan pemahaman yang lebih mendasar dan luas

lagi disarankan kepada pembaca untuk membaca referensi-referensi lain yang

(19)

DAFTAR PUSTAKA

Madkur, M. S. (1993). Peradilan dalam Islam. Surabaya: PT. Bina Ilmu.

Mardani. (2009). Hukum Acara Perdata Peradilan Agama & Mahkamah

Syar'iyah. Jakarta: Sinar Grafika.

Mertokusumo, S. (1993). Hukum Acara Perdata Indonesia. Yogyakarta: Liberty.

Rasyid, R. A. (1998). Hukum Acara Peradilan Agama. Jakarta: PT. RajaGrafindo

Persada.

Sutantio, R., & Oeripkartawinata, I. (2009). Hukum Acara Perdata dalam Teori

dan Praktek. Bandung: Mandar Maju.

Syah, U. M. (1991). Hukum Acara Perdata Peradilan Agama Menurut Teori dan

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian menunjukan bahwa alat bukti petunjuk sebagai salah satu alat bukti yang sah dalam hukum acara pidana di Indonesia memiliki peran dan fungsi yang sangat

Berkenaan dengan hal itu, dalam proses peradilan pidana alat bukti merupakan segala sesuatu yang ada hubungannya dengan suatu perbuatan, dimana dengan alat-alat bukti tersebut, dapat

Dalam hukum acara pidana Islam keterangan saksi ahli dapat dijadikan sebagai alat bukti, karena kesaksian saksi ahli dapat digunakan sebagai petunjuk dalam perkara

Alat bukti informasi atau dokumen elektronik dalam perkara pidana korupsi merupakan jenis alat bukti yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang

1 Masuknya penyadapan dalam alat bukti yang sah dan adanya pasal yang mengatur tentang penyadapan, yaitu dalam Pasal 83 RUU KUHAP yang menyatakan bahwa penyadapan dilakukan harus

Pembuktian terhadap suatu alat bukti berupa data digital juga menyangkut aspek validasi yang dijadikan alat bukti, karena bukti elektronik mempunyai karakteristik

Dari hasil pembahasan dapat disimpulkan, bahwa bukti elektronik dalam hukum acara pidana berstatus sebagai alat bukti yang berdiri sendiri dan alat bukti yang tidak berdiri sendiri

Dalam proses penegakan hukum khususnya peradilan pidana di indonesia, alat bukti keterangan saksi merupakan salah satu alat bukti yang sangat menentuan untuk menemukan