Makalah sejarah peradilan islam
Seejarah peradilan islam pada masa rosulullah Dosen pengampu
Finta Fajar Fadillah, SH., MH
Disususn oleh kelompok 5 1. M.nurhilal (12320111945)
2. M.faisal (12320112621) 3. Ilham muchlisin hadi (12320113364)
Semester 3/C
FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM
HUKUM KELUARGA ISLAM (AHWAL SYAKHSHIYYAH) UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTAN SYARIF KASIM RIAU
PEKANBARU 1445H/2024M
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh
Puji syukur saya ucapkan atas kehadirat allah swt yang telah memberikan rahmat, hidayah, dan taufiqnya kepa kita semua sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul tentang “sejarah peradilan islam pada masa rosulullah” dengan tepat waktu. Shalawat dan salam penulis kirimkan kepada baginda nabi muhammad saw tang telah memberikan tuntunanumat kepadda jalan yang diridhai oleh allah swt untuk mencapai kebahagiaan dunia maupun di akhirat.
Makalah ini disususn untuk memenuhi tugas mata kuliaah “ sejarah peradilan islam”. Selain itu, makalah ini bertujuan untuk memenuhi wawasan tentang sejarah peradilan islam pada masa rosulullah kepada pembaca maupun penulis. Penulos mengucapkan terimakasih kepada bapak FINTA FADILLAH,SH.,MH selaku dosen pengampu yang telah memberikan dukunagn dan kepercayaan yangt begitu besar.
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karenna itu, penulis mengharapkan saran dan kritik kepada semua pembaca demi kesempurnaan makalah ini bisa menjadi lebih baiuk lagi dimasa yang akan datang.
Akhir kata, penulis berharap makalah ini dapat bermanfaat bagi semua pembaca.
Wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh
Pekanbaru, 20oktober 2024
penulis
DAFTAR ISI
BAB I...iv
PENDAHULUAN... iv
1.2 rumusan masalah...v
1.3 tujuan penulisan... v
BAB II... 1
PEMBAHASAN...1
2.1 SISTEM PERADILAN PADA MASA ROSULULLAH...1
a. Nabi SAW sebagai Satu-satunya Pemegang Otoritas Jurisdiksi...1
b. Nabi SAW sebagai Satu-satunya Pemegang Otoritas Jurisdiksi...3
2.2 sumber hukum peradilan pada masa Rasulullah saw...4
2.3 proses peradilan pada masa rosulullah...5
2.4 perkembangan peradilan islam... 6
1. periode mekkah...6
2. periode Madinah... 7
BAB III...8
PENUTUP...9
kesimpulan...9
iii
BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG
Manusia adalah makhluk sosial, yangdalam menjalani sebuah kehidupan tidak dapat lepas dari hubungan dengan manusia yang lain. Dalam menjalani kehidupan dengan orang lain, diperlukan sebuah aturan agar bisa menjamin hak-hak dan kewajiban bagi masing-masing agar rasa keadilan dapat dirasakan. Untuk dapat menjamin itu,diperlukan sebuah perangkat peradilan, diantaranya,pemimpin yang memiliki fungsi sebagai penegak hukum dan produk hukum itu sendiri demi terciptanya keadilan di tengah-tengah Masyarakat.
Dengan tegaknya atau terciptanya rasa keadilan yang ada ditengah Tengah Masyarakat, maka akan menciptakan rasa kenyamanan dan ketentraman. Hal innilah yang tidak didapati pada zaman sebelum rosulullah saw diutus menjadi seorang nabi, bangsa arab yang paada waktu itu lebih dikenal sebagai bangsa jahiliyyah,yang dalam menjalani kehidupannya memiliki watak dan sikap yang amat keras, ditambah lagi dengan mereka memposisikan Wanita sebagai budak pemuashawa nafsu saja, sampai sampai Wanita pada zaman itu tidak dapat menjadi seorang yang dapat mewarisi dan bahkan menjadi barang warisan itu sendiri.hal ini sangat bertolak belakang dengan posisi laki laki yang cenderung memiliki kehidupan yang bebas sehingga laki laki pada waktu itu bolwh menikahi Wanita mana saja yang mnereka mau dan berapapun jumlahnya. Dengan keadaan yang sedemikian ittu , membuat perlunya hukum atau aturan yang harus segera ditegakkan sebagai sebuah jalan keluar dari kezholiman bangsa jahiliyyah pada waktu itu.
Dalam menyampaikan ajaran-ajaran Islam, Rasulullahseringkali menggunakan metode yang berbeda-beda. Salah satu metodenya adalah dengancara berdakwah secara sembunyi-sembunyi. Pendekatan personal kepada orang- orang terdekat inilah dakwah yang pertama kali dilakukan oleh Rasulullah.
Pendekatan ini dilakukan untuk menghindari penolakan dari kaum kafir Quraisydan agar tidak menimbulkan kegaduhan di dalam masyarakat.3Baru setelah pemeluk Islam sudah mulai banyak dan kuat, maka dakwah diteruskan dengan cara terang-terangan.
Dalam menyampaikan ajaran Islam, Rasulullah seringkali menghadapi tantangan dan rintangan dari masyarakat di sekitarnya. Namun, dengan kekuatan iman dan keyakinan yang kuat, Rasulullah dan para sahabatnya terus berjuang untuk menyebarkan ajaran Islam dan mengubah cara hidup masyarakat Arab jahiliyahmenjadi masyarakat yang lebih baik.
1.2 rumusan masalah
berdasarkan latar belakang yang ada diatas, rumusan masalah pada makalah ini adalah:
1. bagaimana system peradilam pada masa rosulullah saw 2. apa sumber hukum peradilan islam pada masa rosulullah saw 3. bagaimana proses peradilan islam pada masa rosulullah saw 4. perkembangan peradilan pada masa mekkah dan Madinah 1.3 tujuan penulisan
2. untuk mengetahui bagaimana system peradilan yang dilakukan rosulullah 3. untuk menjelaskan sumber hukum peradilan islam pada masa rosulullah 4. supaya mengetahuiproses peradilan pada masa rosulullah
5. untuk mengetahui perkembangan peradilan di mekkah dan madinah
v
BAB II PEMBAHASAN
2.1 SISTEM PERADILAN PADA MASA ROSULULLAH
a. Nabi SAW sebagai Satu-satunya Pemegang Otoritas Jurisdiksi
Sejarah kenabian dimulai ketika Nabi Muhammad SAW menerima wahyu pertama kali di Gua Hira, kira-kira saat beliau berusia 40 tahun. Setelah kurang lebih 13 tahun menyampaikan risalahnya di Mekah dengan fokus da‟wah mengajak manusia untuk bertauhid kepada Allah secara murni dan meninggalkan berhala- berhala. Kemudian sesampainya di Madinah, Rasulullah SAW mulai membangun sebuah masyarakat dan negara dengan menegakkan hukum-hukum dan syariat Allah yang nantinya akan menjadi pedoman bagi manusia sepanjang sejarah. Prinsip kehidupan yang dibangun Nabi SAW sendiri basisnya didasarkan pada prinsip Tauhid.
Maka dari itu keadilan dipandang sebagai satu elemen yang sangat mendasar dan senantiasa ditegaskan oleh Allah dalam beberapa ayat-ayat Al-Quran seperti dalam QS. Al-Nisā: 57, QS. Al-Māidah : 8 , QS. Al-An`ām:153 dan lain-lain.
Keberadaan Nabi SAW sendiri di masyarakat-negara Madinah saat itu jika dilihat dari konsep ketatanegaraan modern menggabungkan ketiga institusi trias politica yaitu kekuasaan legislatif (sulţah tashrī`iyah), kekuasaan eksekutif (sulţah tanfīdziah) dan kekuasaan judikatif (sulţah qadlāiyah) sekaligus. Sebagai seorang penerima sekaligus penyampai wahyu dari Allah, Nabi Muhamad SAW merupakan satu-satunya sumber segala hukum dan tata aturan. Bahkan segala perbuatan dan ucapannya juga diposisikan sebagai sumber legislasi yang harus ditaati. Sedangkan unsur kekuasaan eksekutif Rasulullah dapat dilihat dari pelaksanaan beliau dan pengejawantahan hukum-hukum Allah/syariat Islam serta menegakkannya dalam berbagai aspek kehidupan sosial, ekonomi maupun politik.1
Pada era kenabian, Muhammad saw. menempati posisi yang sangat sentral.Setelah hijrah ke Madinah dan terbentuknya tatanan sebuah negara, ia bukan saja seorang Nabi tapi juga kepala Negara, komandan pasukan, sekaligus seorang hakim. Persoalan-persoalan masyarakat akan merujuk kepadanya. Ia tercatat sebagai hakim pertama dalam sejarah Islam. Kedudukan sebagai hakim, tidak lain adalah bagian dari kenabiannya, yang berfungsi untuk memutuskan perkara di antara manusia. Hal tersebut tertulis dalam Alquran pada surat an-nisa ayat 65, 105, dan al- Maidah 48. Ia menjadi tempat pengambil keputusan bagi perselisihan-perselisan yang terjadi pada masyarakat Madinah, tempat segala pengaduan, penerapan saksi,
1 `Abd al-Wahhāb Khallāf, Al-Sultāt al-Ṡalāṡ fī al-Islām: Al-Tasyrī`, al-Qaḍā’, al-Tanfīż (Cet. II Kuwait: Dār al-Qalam, 1985), h. 27
sengketa tanah, harta, jiwa, kewarisan, ekonomi bahkan beliau sendiri pembuat undang-undang kenegaraan (legislator) yang tampak pada piagam Madinah.2
Karekteristik kehakiman yang dijalankan Muhammad saw. tentu berbeda dengan kehakiman pada umumnya, hal ini disebabkan bahwa putusan yang diberikannya ada kaitannya dengan kenabian dan ajaran agama. Pada dirinya tergabung dua kekuasaan yaitu kekuasaan sebagai kepala negara dan kekuasaan keagamaan. Keputusan Muhammad saw. yang terkait kenabiannya (ajaran agama) menjadi landasan dan sumber hukum dalam Islam atau yang disebut dengan sunnah.
Dalam hal ini, ia seorang hakim sekaligus hukum itu sendiri. Perkara-perkara tersebut wajib untuk ditaati oleh seluruh umat Islam. Adapun hal-hal yang terkait dengan tatacara, tekhnik pengambil keputusan, pengangkatan hakim maka hal tersebut menjadi sesuatu yang dapat berkembang sesuai dengan kondisi dan tempat.3
Adapun jenis perkara yang diselesaikan Rasulullah meliputi segala jenis perkara,mulai perkara keluarga, perdata, pidana, hukum acara hingga masalah hukum internasional. Dalam kapasitas sebagai hakim, tidak jarang Rasulullah saw.
melimpahkan wewenang kepada sahabat yang dipercayainya, seperti, `Alī bin Abī Ṭālib, Ḥużaifah bin al-Yaman, `Uqbah bin `Amr, Ma`qil bin Yasār, `Amr bin al-Āṣ,
`Alqamah dan sebagainya, baik ketika Rasulullah saw. sedang berada di tempat tersebut maupun tidak,beberapa di antara mereka diutus ke daerah-daerah kekuasaan Islam.4
Dianatara bukti keimanan seseorang pada waktu itu adalah mwnterahkan segala macam perkara yang diperselisihkan kepada rosulullah saw. Dengan menjadikan beliau sebagai hakim diantara mereka, kemudian mereka dengan sepenuh hati menerima Keputusan rosulullah saw. Allah swt berfirman yang artinya :
“ Terjemahnya: “Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikann dan mereka menerima dengan sepenuhnya”5
Di zaman Nabi saw., setelah perkara diputuskan oleh Rasulullah, para pihak melaksanakan dengan sukarela. Dalam hal gugatan hak, pihak yang kalah dengan sukarela memenuhi tuntutan dan memenuhi hak pihak yang menang. Tidak pernah terdengar adanya pihak yang bersengketa untuk menentang putusan Rasulullah saw.
Hal ini dimungkinkan karena yang memutus perkara adalah pribadi al-Amīn (terpercaya), dan merupakan pemegang mandat dari Allah swt. untuk menyelesaikan sengketa di tengah masyarakat dengan putusan yang adil.6
2 Muhammad az-Zuhaili, Tārȋkh al-Qadhā’ fi al-Islām (Beirut: Dar al-Fikri, 1995/1415 H), 42
3 Aidil Susandi, “Sistem Peradilan Islam Dari Masa Nabi Saw. Sampai Masa Khulafaurrasyidin,”
TAQNIN: Jurnal Syariah dan Hukum 4, no. 02 (2022): 110, https://doi.org/10.30821/taqnin.v4i02.13385.
4 Awal Rifai Wahab, Asni Asni, dan Muh. Saleh Ridwan, “Peradilan Islam pada Masa Rasulullah dan Khulafaurasyidin: Studi Komparatif Peradilan Islam Era Klasik,” BUSTANUL FUQAHA: Jurnal Bidang Hukum Islam 3, no. 1 (2022): 37, https://doi.org/10.36701/bustanul.v3i1.461.
5 Kementerian Agama Republik Indonesia, Al-Quran dan Terjemahnya, h. 129
6 Hadi Daeng Mapuna, “Hukum dan Peradilan dalam Masyarakat Muslim Periode Awal”, Jurnal vii
Dalam menangani perkara, Nabi saw. selalu mendengar keterangan kedua belah pihak. Nabi saw. tidak akan menetapkan sebuah putusan sebelum mendengar kedua belah pihak. Hal ini dilakukan agar perkara tersebut menjadi jelas baginya dan ia dapat memutuskan secara adil. Sebagai contoh dalam hal ini, beliau pernah berpesan kepada
‘Alī bin Abī Ṭālib secara khusus dan kepada para hakim secara umum agar tidak tergesa- gesa memutuskan perkara sebelum mendengar pembicaraan kedua belah pihak. Berdasarkan keterangan para pihak, Nabi saw. memutuskan berdasarkan pertimbangan dengan hukum Allah swt. meskipun demikian, perlu untuk ditegaskan bahwa apa yang diputuskan oleh Nabi saw. semata-mata berdasarkan zahirnya perkara, sumpah, atau berdasar bukti-bukti yang dikemukakan dalam persidangan.
Oleh karena itu, keputusan yang ditempuh oleh Nabi saw. dalam hal seperti ini adalah berdasarkan ijtihadnya.22 Ijtihad beliau sebagai manusia biasa tentu berdasarkan wahyu Allah swt., baik itu secara langsung maupun tidak langsung.7
b. Nabi SAW sebagai Satu-satunya Pemegang Otoritas Jurisdiksi
Sebagaimana disingggung di muka, bahwa Nabi SAW merupakan satu- satunya pemegang otoritas jurisdiksi saat itu. Namun beberapa riwayat yang ada menunjukkan bahwa Nabi SAW pernah menunjuk beberapa orang sahabatnya untuk menyelesaikan kasus-kasus persengkataan tertentu. Rasulullah saw mengizinkan sahabat untuk melakukan fatwa untuk melatih mereka dibidang kehakiman. Apabila wilayah islam semakin meluas Rasulullah saw melantik dan mengutus beberapa orang sahabat menjadi gubernur dan juga merangkap sebagai qadi (hakim). Walaupun bagaimanapun ini bukanlah bermakna setiaap gubernur itu bebas menghukum suatu masala, sebaliknya Rasulullah saw yang memegang trampuk kehakiman utama.
Ini terbukti dengan pengantara muadz bin Jabal ke yaman. Sebelum menghantarkannya, Rasulullah saw terlebih dahulu bertanya kepada muadz. Sabdanya yang bermaksud “ bagaimana engkau akan menghukum di kalangan manusia? Muadz menjawab :” dengan kitab allah.” Baginda menyoal lagi: "Sekiranya tidak ada di dalam kitab Allah?" Mu'adh menjawab: "Maka aku akan menghukum dengan sunnah Rasulullah s.a.w." Baginda menyoal lagi: "Sekiranya tidak terdapat di dalam sunnah Rasulullah?" Mu'adh menjawab: "Aku akan berijtihad dengan pendapatku sendiri”.
Berdasarkan hadis diatas, jelaslah bahwa Rasulullah saw telah memberi peluang kepada para sahabat untuk berijtihad, mentadbir dan mengendalikan pembicaraan. Dari perbuatan Rasulullah saw ini juga menunjukkan telah ada usaha yang dibuat untuk menentukan pengkhusussan diantara tugas tugas pemerintahan dengan tugas kehakiman.8
Al-Qadāu 2, no. 1 (2015): 1-12, doi:https://doi.org/10.24252/al-qadau.v2i1.2636
7 Awal Rifai Wahab, Asni, dan Muh. Saleh Ridwan, “Peradilan Islam pada Masa Rasulullah dan Khulafaurasyidin: Studi Komparatif Peradilan Islam Era Klasik,” 38.
8 Muhammad Salam Madkur, al-Madkhal li al-Fiqh al-Islam, Matba'ah Dar al-Nahdah al- 'Arabiyyah, Misr, 1963, him. 332. 10
Tercatat Rasulullah saw. pernah mengangkat Ali bin Thalib, Abu Musa al- Asy’ari, Muaz bin Jabal, Mu’qal bin Yasar sebagai hakim (qadhi) untuk wilayah Yaman, Atab bin Usaid untuk Mekah, Abu Ubaidah untuk Nejran, Utsman bin al- ‘Ash untuk Thaif, Muhajir bin Umayyah untuk Sana’a, Ya’ala bin Umayyah untuk Khaulan, Ziyad bin Labid untuk Hadramaut, ‘Ala’ bin al-Hadrami untuk Bahrain.
Naum terdapat pula hakim yang diangkat Rasulullah tanpa memegang jabatan eksekutif seperti umar bin ktatab, zaid bin haritsah, amru bin al as, uqbah bin amirdan huzaifah bin yaman.
Pada era ini, kekuasaan yudikatif masih menyatu dengan kekuasaan eksekutif.
para penguasa sekaligus menjadi hakim. Sebab-sebab tidak adanya pemisahan kekuasaan pada masa ini dikarenakan oleh beberapa hal diantaranya:
1. Islam baru mulai berkembang, nabi saw dan para sahabat yang lain masih disibukkan oleh urusan dakwah dan pengajaran
2. Wilayah islaam belum begitu luas, sehingga perosalan persoalan yang terjadi di tenagh Masyarakat masih sederhana dan dapat ditangani sekaligus oleh eksekutif 3. Tingginya kesadaran hukum Masyarakat waktu itu terhadap perintah allah dan juga
Rasulullah, sehingga pemisahan kekuasaan dan keehakiman belum mendesak.
Meski demikian, bibit bibit pemisahan anatar kkuasaan eksekutif dan yudikatif mulai tersemai. Itu terlihat dalam penunjukan umar menjadi hakim di Madinah dan Rasulullah memberikan upah terhadap pekerjaan tersebut.9
Pada masa ini tempat persidangan dapat Dimana saja , tidak ada kekhususan tempat, akan tetapi persidangan sering dilakukan di masjid, Masyarakat dapat mendenagar langsung proses persidangan yang terjadi. Masing masing pihak berperkara daoppat menyelesaikan perkaranya kepada orang lain yang lebih cakap dalam memberikan arghumentasinya.
Dan pada masa ini pula, penjara sudah dikenal. Namun masih belum memiliki tempat khusus untuk itu. Riwayat menjelaskan pernah terjad kerusuhan berdarah diantara pendududk hijaz, kemudian Rasulullah saw mengirim utusan untuk menangkap dan memenjarakan mereka. Dan Rasulullah pun juga pernah memenjarakan seorang Wanita yaitu ibnah hatim ath thai . dan penjara Wanita dibedakan antara penjara untuk laki laki.10
2.2 sumber hukum peradilan pada masa Rasulullah saw
9 Salamah Muhammad al-Harafi, al-Qadhā fi ad-Daulah al-Islāmiyah Tārȋkhuhu wa Nuzhumuhu (Riyadh: Markaz Arabi, 1415 H), 140.
10 Salamah Muhammad al-Harafi, al-Qadhā fi ad-Daulah al-Islāmiyah Tārȋkhuhu wa Nuzhumuhu (Riyadh: Markaz Arabi, 1415 H), 134-135.
ix
Pada masa nabi Muhammad saw, sumber hukum dalam peradilan islam didasarkan pada wahyu yang dioterima Rasulullah serta praktik praktik kehidupan yang beliau tunjukkan.
Alquran merupakan sumber hukum yang utama pada masa Rasulullah saw . wahyu ini diyakini sebagai firman allah yang disampaikan langsung kepada nabi Muhammad melalui perantara malaikat Jibril. Sebagai kitab suci, alquran berisi petunjuk hidup dan aturan yang harus diikuti oleh umat islam. Beberapa ayat dalam alquran mmemberikan pedoman tentang tata cara ibada, muamalah, serta hukuman terhadap kejahatan dan pelanggaran.
Sebagai seorang Qādli (pemegang otoritas jurisdiksi) Nabi SAW telah menjalankan perannya dengan baik dalam memutuskan berbagai persoalan yang terjadi pada zaman itu. Diantara putusan Nabi ada diantaranya yang merupakan implementasi langsung dari aturanaturan wahyu yang terdapat dalam al-Quran, seperti saat Nabi SAW memerintahkan pemotongan tangan seorang perempuan Bani Makhzūm yang mencuri, sebagai pelaksanaan kandungan ayat QS. Al-Mā‟idah:38.
Namun, Nabi SAW terkadang juga memutuskan suatu perkara dengan ijtihad belaiu dalam beberapa hal ketika tidak terdapat naş-nya secara eksplisit dalam al- Quran seperti ketika beliau memberikan kebebasan kepada seorang anak yang telah dewasa untuk memilih ikut ibu atau bapaknya ketika keduanya bercerai.15 Mengenai keberadaan ijtihad sebagai salah satu sumber hukum peradilan di zaman ini secara lebih tegas diungkapkan oleh Nabi sendiri ketika memberikan putusan kepada dua orang yang bersengketa tentang sebuah masalah waris. Nabi SAW bersabda:
هِيفِ ىَلَعَ لْزَنْيُ مْلَ امَيفِ ىَبِارَبِ مْكُنْيبِ ىَضِقْأَ امَنَّإِ ينَّإِ
“ sesungguhnya aku memutuskan berdasarkan pandanganku, dalam perkara yang belum ada wahyu yang diturunkan kepadaku”
Putusan nabi berdasarkan ijtihad ini bagi ummatnya dengaan sendirinya tentu saja menjadi bagian dari sumber hukum itu sendiri karena posisi nabi sebagai penyampai tasri dari allah sebagai musharri. Persoalan ini bisa lebih dilihat secara lebih jelas melalui sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Mu‟ādz ibn Jabal. Salah seorang sahabat yang pernah ditugaskan oleh Nabi sebagai qādli ini meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW ketika akan mengirimnya ke Yaman bertanya: “Bagaimana caranya engkau memutuskan perkara yang dibawa orang kepadamu?”. “Saya akan memutuskannya menurut yang tersebut dalam Kitabullah.” Jawab Mu‟ādz.
Rasulullah SAW bertanya lagi: “Kalau engkau tak menemukan hal itu dalam Kitabullah, bagaimana?”. Mu‟ādz menjawab: “Saya akan memutuskannya menurut Sunah RasulNya”. Lalu Rasulullah SAW bertanya lagi: “Kalau hal itu tidak ditemukan juga dalam Sunnah Rasulullah dan tidak pula dalam Kitabullah, bagaimana?” Lalu Mu‟adz menjawab: “Jika tidak terdapat dalam keduanya saya akan berijtihad sepenuh kemampuan saya.” Mendengar jawaban itu, Rasulullah SAW lalu menepukkan kedua tangannya ke dada Mu‟ādz dan berkata: “Segala puji bagi Allah yang telah memberi taufiq utusan Rasulullah, kepada apa yang diridlainya.”
2.3 proses peradilan pada masa rosulullah
Pada zaman nabi saw proses peradilan berlangsung dengan sangat sederhana.
Jika ada seseorang yang menemui satu permasalahan maka ia dapat bersegera datang kepada Nabi untuk meminta putusan tanpa harus menunggu waktu tertentu maupun mencari tempat tertentu pula. Bahkan kebanyakan dari putusan-putusan (qadlā’) yang dilakukan oleh Nabi lebih bersifat sebagai “fatwa” dengan model tanya-jawab, dibandingkan dengan proses sebuah “pengadilan” dalam bahasa yang sering dipahami di masa sekarang.11.
Namun walaupun proses peradilan saat itu sederhana, , mensyaratkan bahwa ketika terjadi persengketaan antara dua pihak yang saling mengklaim kebenaan sebuah keputusan tidak boleh diambil kecuali setelah sang pengambil keputusan ( qadi) mendengarkan pelaporann dari kedua belah pihak.
Adapun mengenai masa yang dibutuhkan bagi berlangsungnya proses mulai dari putusan hingga eksekusi tidak menunggu waktu melainkan dijalankan secara langsung. Kesimpulan ini bisa dipahami dari beberapa hadits seperti saat Nabi memutuskan persengketaan Ka`ab ibn Malik dengan Ibn Abi Hadrad mengenai piutangnya. Nabi memutuskan agar Ka`ab mengambil separuh dari piutangnya dan merelakan separuhnya. Saat itu juga Nabi memerintahkan Ka`ab untuk segera melaksanakan putusan tersebut dengan mengatakan “Qum fa iqdlihi” (Lekaslah berdiri wahai Ka`ab dan tunaikanlah!)
2.4 perkembangan peradilan islam 1. periode mekkah.
Bangsa Arab pada masa jahiliyah, sebelum datangnyaRasulullah, dapat dikatakan belum mempunyai perangkat peradilan yang mapan. Mereka belum mempunyai lembaga khusus yang mengatur tentang pembuatan hukum dan undang- undang yang dijadikan rujukan dalam penyelesaian permasalahan yang terjadi di antara kaum kafir Quraisy. Dengan belum adanya undang-undang yang menjadi dasar hukum , maka penyelesaian persengketaan yang terjadi di selesaikan secara adat dari masing masing suku.12
Penyelesaian perkara yang dilakukan dengan memakai hukum
adat dari masing-masing suku inilah yang membuat hukum yang ada berbeda-beda.
Dengan demikian, praktik penyelesaian hukum tidak dapat selaras dan sama antara suku satu dengan suku yang lain. Mengingat bahwa bangsa Arab memiliki tingkat kesukuan dan fanatisme yang tinggi, membuat hasil putusan dari qadhi masing- masing suku akan berbeda dan memiliki tingkat subjektivitas yang tinggi.
11 Abdul Wahhāb Khallāf, Al-Sultāt al-Tsalāts fī al-Islām: Al-Tashrī`, al-Qadlā’, al-Tanfīdz, Kuwait, Dār al-Qalam, Cet. 2, 1405H/1985M, hlm. 24
12 Mohammad Hendy Musthofa, “Perkembangan Peradilan Islam pada Masa Rasulullah,” Verfassung: Jurnal Hukum Tata Negara 2, no. 1 (2023): 30, https://doi.org/10.30762/vjhtn.v2i1.221.
xi
Setelah Rasulullah hadir di tengah-tengah kehidupan bangsa
Arab, khususnya di Makkah, Rasulullah mulai mengajarkan tentang pemahaman ketauhidan. Dengan bermacam-macamnya kepercayaan penduduk Makkah pada saat itu, membuat Rasulullah mendapatkan banyak perlawanan dari penduduk Makkah yang menganggap bahwa kepercayaan yang mereka yakini adalah sebuah harga diri dan wujud dari penghormatan mereka kepada nenek moyang.
Dalam proses penyebaran ajaran syariat Islam, Rasulullah telah
banyak melalui tantangan dan rintangan. Tantangan terberat adalah pada fase penyebaran dakwah pertama kali di Kota Makkah. Respon bangsa Arab yang pada saat itu masih belum mengenal Islam adalah sangat membenci Rasulullah. Segala macam cara dilakukan supaya dapat menghambat jalan dan kegiatan dakwah yang dilakukan oleh Rasulullah. Hal tersebut dimaksudkan dan dipaksakan agar Rasulullah mau menghentikan dakwahnya.
Selanjutya, Rasulullah mulai menyampaikan dakwahnya yang
awalnya dilakukan secara sembunyi-sembunyi, kemudian mulai dilakukan secara terbuka dan terang-terangan. Pada saat inilah mulai timbul banyak tantangan dan rintangan. Tantangan yang dihadapi oleh Rasulullah sangat bermacam-macam, mulai dari yang halus dan lunak, bahkan sampai ada yang bersifat keras, yaitu dengan cara mengganggu, menyakiti, menyiksa, dan memboikot Rasulullah beserta para pengikutnya.13
Di antara bentuk tantangan yang bersifat halus, seperti saat
pemimpin kaum Quraisy mendatangi Rasulullah secara langsung maupun dengan cara mendatangi paman beliau, Abu Thalib. Kemudian, Rasulullah juga mendapatkan bujukan lain berupa harta, kedudukan, dan rayuan wanita. Kaum kafir Quraisy menawarkan segala macam harta kepada Rasulullah, menawarkan agar Rasulullah dijadikan raja, serta menawarkan wanita sebagai imbalannya, asalkan Rasulullah berhenti berdakwah. Bahkan, Rasulullah juga ditawari untuk saling bertukar keyakinan, yaitu Rasulullah menyembah berhala untuk beberapa hari, kemudian mereka juga akan bersedia menyembah Allah SWT. Namun, Rasulullah tetap menolak tawaran tersebut.14
Selanjutnya, praktik peradilan dalam periode ini adalah masih
secara sangat sederhana. Apabila seseorang menghadapi permasalahan, maka dapat langsung menghadap Rasulullah dan meminta pendapat, sehingga dapat segera mendapatkan putusan. Dalam hal tempatnya, praktik peradilan pada masa ini masih belum berada di tempat yang khusus. Pelaksanaan peradilan dapat dilaksanakan di masjid, dalam perjalanan, atau di dalam rumah. Walaupun praktik peradilan masih secara sederhana, akan tetapi.
Rasulullah sudah mensyaratkan dalam proses peradilan adalah berimbang dalam menerima perkara dari kedua belah pihak yang bersengketa. Mengingat praktik
13 Hendy Musthofa, 31.
14 Hendy Musthofa, 31.
peradilan bangsa Arab pada masa itu adalah kental dengan nilai kesukuan dan tradisi yang jauh dari nilai keadilan. Peradilan pada masa Rasulullah menekankan pada aspek keadilan tanpa keberpihakan, yaitu masing-masing pihak diberikan kesempatan untuk membuktikan kebenarannya dan disertai dengan saksi, bukti, dan sumpah serta selalu berpegang teguh pada wahyu yang diturunkan oleh Allah SWT.15
2. periode Madinah
Pada saat Rasulullah hijrah ke Madinah, umat Islam telah
memiliki jumlah pengikut yang banyak, sehingga posisi umat Islam sudah cukup kuat.
Hal inilah yang mendorong perlu dibentuknya perundang-undangan atau hukum yang berlaku. Kondisi Kota Madinah yang majemuk dirasa perlu untuk dibentuk sebuah aturan yang mengatur tentang hubungan antarpenduduk, baik sesama umat Islam maupun non-Islam, serta pada saat kondisi damai ataupun dalam kondisi peperangan.
16
Penduduk Madinah sangat manyambut baik kedatangan
rombongan Rasulullah dari Kota Makkah, sehingga penyebaran Islam menjadi semakin meluas. Rasulullah menjadi tokoh yang sangat disegani di Kota Madinah.
Banyak langkah yang dilakukan Rasulullah dalam memperkuat dakwah Islam, di antaranya, dengan membangun masjid. Selain Rasulullah membangun penataan Kota Madinah, beliau juga mahir dalam hal diplomasi dan perjanjian dengan kelompok penduduk Madinah lainnya, salah satu yang terkenal adalah dibentuknya perjanjian Piagam Madinah. Piagam Madinah adalah sebuah lambang Kota Madinah saat itu menjadi kota yang maju dan modern. Bahkan, dapat dikatakan menjadi sebuah negara yang bercirikan demokrasi, yaitu dengan pasal-pasal yang menunjukkan kebebasan bagi penduduk madinah untuk memeluk dan menjalankan perintah agama tanpa ada yang boleh mengganggunya17
Keberadaan Rasulullah di tengah-tengah penduduk Kota
Madinah telah membuat sistem ketatanegaraan Kota Madinah menjadi lebih modern dan maju, yaitu adanya 3 (tiga) cabang kekuasaaan (eksekutif, legislatif, dan yudisial) dengan kepemimpinan langsung di bawah Rasulullah. Dengan posisi Rasulullah sebagai penerima sekaligus menjadi penyampai wahyu dari Allah SWT, maka Rasulullah menjadi satu-satunya sumber hukum pada masa itu. Dengan demikian, maka terlihat jelas peran Rasulullah sangat penting dalam perkembangan hukum dan peradilan di tengah-tengah masyarakat Arab pada masa itu18
15 Alaidin Koto, Sejarah Peradilan Islam (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2016), 39
16 Hendy Musthofa, “Perkembangan Peradilan Islam pada Masa Rasulullah,” 35.
17 Hendy Musthofa, 36.
18 Awal Rifai Wahab, Asni Asni, and Muh. Saleh Ridwan, “Peradilan
Islam Pada Masa Rasulullah Dan Khulafaurasyidin: Studi Komparatif Peradilan Islam Era Klasik,” Bustanul Fuqaha: Jurnal Bidang Hukum Islam 3, no. 1 (2022): 32–46
xiii
BAB III PENUTUP
3.1 kesimpulan
Dari paparan mengenai sejarah peradilan di zaman Nabi di atas, akhir tulisan ini akan ditutup dengan beberapa poin penting yang merepresentasikan saripati hasil kajian ini yaitu:
1. Peradilan pada zaman Nabi merupakan fase paling penting dalam sejarah peradilan Islam. Pada saat itu Nabi SAW merupakan merupakan pemegang otoritas jurisdiksi satu-satunya meskipun beliau juga pernah mendelegasikan tugas-tugas jurisdiksi tersebut kepada beberapa orang sahabat secara terbatas. Pada zaman itu lembaga peradilan merupakan bagian tidak terpisahkan dari pemegang kekuasaan pemeritahan secara umum (wilayah `ammah)
2. Sumber hukum yang menjadi referensi utama bagi pemegang otoritas jurisdiksi adalah wahyu - baik berupa al-Qur‟an maupun Sunnah Nabi SAW- serta ijtihad. Peradilan di zaman Nabi dan yang dilakukan oleh Nabi sendiri merupakan penerjemahan langsung dari ayat-ayat dan sunnah qawliyah Nabi yang diimplementasikan dalam praktik- praktik yang ideal.
3. Proses peradilan zaman Nabi SAW berlangsung sangat sederhana dan tidak berbelit- belit, namun justru lebih mementingkan substansi dari pada prosesi.
4. Periode petumbuhan hukum Islam pada masa Rasulullah terjadi
dalam 2 (dua) periode, yaitu periode perkembangan hukum Islam pada fase Makkah dan fase Madinah. Periode Makkah menjadi awal dakwah Rasulullah, di mana praktik peradilan masih belum banyak berjalan. Hal ini karena pada periode Makkah, Rasulullah sibuk berdakwah tentang ketauhidan dan mengajak untuk meninggalkan kepercayaan- kepercayaan terdahulu serta pemeluk Islam masih sedikit dan lemah.
Kemudian, periode Madinah menjadi puncak kejayaan umat Islam pada masa Rasulullah, dengan dibangunnya sebuah masjid dan pembangunan infrastruktur lainnya. Bukti lain perkembangan hukum pada fase Madinah adalah dibentuknya Piagam Madinah, yang menjadi simbol demokrasi penduduk Madinah pada masa lalu.
3.1 saran
semoga dengan adanya makalah ini kitab isa mengetahui dan lebih memahami tentang peradilan pada masa nabi. Dan semoga para pembaca makalah ini dapaty menerapkan ilmunya dalam kehidupan sehari hari.
Dalam proses pembuatan makalah ini pasti ada timbul ketidak sempurnaan dalam penyajian materi. Sewajarnya apabilaa tugas ini masih banyak kekurangan apalgi kelemahan. Kami sangat mengharapkan masukan, saran dan perbaikan dari pembaca yang sifatnya membangunn demi kemajuan kemampuan khususnya dalam tugas makalah yang diberikan oleh dosen pengampu mata kuliah
xv
DAFTAR PUSTAKA
Awal Rifai Wahab, Asni Asni, dan Muh. Saleh Ridwan. “Peradilan Islam pada Masa Rasulullah dan Khulafaurasyidin: Studi Komparatif Peradilan Islam Era Klasik.” BUSTANUL FUQAHA: Jurnal Bidang Hukum Islam 3, no. 1 (2022):
32–46. https://doi.org/10.36701/bustanul.v3i1.461.
Az-Zuhaili, Muhammad. Tārȋkh al-Qadhā’ fi al-Islām. Beirut: Dar al-Fikri, 1995 Hendy Musthofa, Mohammad. “Perkembangan Peradilan Islam pada Masa
Rasulullah.” Verfassung: Jurnal Hukum Tata Negara 2, no. 1 (2023): 25–40.
https://doi.org/10.30762/vjhtn.v2i1.221.
Kementerian Agama Republik Indonesia. Al-Quran dan Terjemahnya. Jakarta:
Yayasan Penyelenggara/ penerjemah Al-Qur’an, 1990
Khallāf, `Abd al-Wahhāb. Al-Sultāt al-Ṡalāṡ fī al-Islām: Al-Tasyrī`, al-Qaḍā’, al- Tanfīż. Cet. II; Kuwait: Dār al-Qalam, 1985 M
Koto, Alaidin. Sejarah Peradilan Islam. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2011.
Susandi, Aidil. “Sistem Peradilan Islam Dari Masa Nabi Saw. Sampai Masa Khulafaurrasyidin.” TAQNIN: Jurnal Syariah dan Hukum 4, no. 02 (2022):
108–17. https://doi.org/10.30821/taqnin.v4i02.13385.