KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Warrahmatullahi Wabarakatuh.
Puji syukur saya panjatkan kepada Allah SWT, karena atas rahmat dan karunia Nya saya dapat menyelesaikan makalah ini. Dimana, makalah ini dibuat untuk memenuhi persyaratan Ujian Akhir Semester dalam mata kuliah IdeIde Politik Barat. Dimana bahan atau sumbersumber yang saya dapatkan atau diperoleh, berasal dari sumbersumber yang baik dan terpercaya. Baik dari buku, referensi, media massa, hingga website. Sehingga kualitas makalah ini sesuai dengan standar penulisan ilmiah.
Saya mengakui bahwa saya adalah manusia yang mempunyai keterbatasan dalam berbagai hal. Oleh karena itu tidak ada hal yang dapat diselesaikan dengan sangat sempurna. Begitu pula dengan tugas ini. Sehingga saya berharap untuk kritikan dan saran yang membangun terhadap makalah ini. Dan penulis ingin mengucapkan terima kasih banyak kepada Bapak Dr. Ujang Komarudin M.Si dan Bapak Heri Herdiawanto, S.Pd, M.Si selaku dosen dalam mata kuliah IdeIde Politik Barat yang selalu memberikan ilmu serta pengetahuan baru kepada penulis sehingga penulis bisa menerapkan ilmu serta pengetahuan tersebut dalam makalah ini. Akhir kata, Penulis berharap semoga makalah ini bisa bermanfaat dan berguna bagi para pembaca makalah ini. sekian dan terimakasih.
Wassalamu’alaikum Warrahmatullahi Wabarakatuh.
Hormat Saya,
Ahmad Idham
DAFTAR ISI
Kata Pengantar...1
BAB I...3
1.1. Latar Belakang Masalah...3
1.2. Rumusan Masalah...4
1.3. Tujuan Penulisan...4
1.4. Manfaat Penulisan...4
1.5. Sistematika Penulisan...5
BAB II ...6
2.1 Kerangka Pemikiran...6
BAB III ...8
3.1. Pemahaman Syi’ah Tentang Negara dan Politik………..8
3.2. Implikasi Pemikiran Syi’ah di Indonesia……...……….……10
3.3. Konflik Dan Konsensus Antar Umat Islam………....12
3.2. Biografi Ayatullah Ruhullah Al Musawi Khomeini……...………13
BAB IV...17
Kesimpulan...17
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Sejak kemenangan kaum revolusioner Islam Syi’ah di Iran pada tahun 1979, pengaruh ajaran dan pemikiran mazhab Syi’ah cukup besar dikalangan masyarakat Indonesia. Hal ini antara lain bisa dilihat dari lahirnya buku-buku karya para pemikir Syi’ah seperti Ali Syari’ati dan Murtadha Mutahhari maupun buku-buku yang mengkaji mazhab Syi’ah. Kelompok-kelompok studi yang mengkhususkan diri pada kajian tentang mazhab Syi’ah juga bermunculan di berbagai daerah di Indonesia. Di Bandung, Jawa Barat berdiri Yayasan Mutahhari yang mengambil nama tokoh Syi’ah. Di Pekalongan, Jawa Tengah terdapat pesantren Al-Hadi yang dipimpin Ahmad Baragbah, lulusan Qum, Iran. Dia secara jelas mengakui, “ini pesantren Syi’ah satu-satunya di Pekalongan”. Sementara itu, di Ujungpandang, Sulawesi Selatan sejak April 1994 berdiri Yayasan Al-Islah, sebuah forum social yang secara khusus mendalami ajaran Syi’ah.1
Derasnya perkembangan ajaran Syi’ah, akan banyak menciptakan suatu “ketegangan” di kalangan umat Islam Indonesia yang biasanya menganut mazhab Sunni. Ketegangan ini dapat muncul terutama karena perbedaan mereka dalam memahami imamah (kepemimpinan). Majelis Ulama Indonesia (MUI) ketika di bawah pimpinan K.H. Sukri Ghazali pernah membuat rumusan yang cukup tegas mengenai perbedaan antara Sunni dan Syi’ah. Salah satunya adalah Syi’ah pada umumnya tidak mengakui kekhalifahan (empat pimpinan Islam pasca Nabi Muhammad) selain Ali bin Abi Thalib yang sekaligus dianggap sebagai imam mereka. Sementara itu, Sunni mengakui otoritas empat Khalifah (Abu Bakar, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib). Dengan perumusan itu, MUI mengeluarkan fatwa bahwa Syi’ah tidak cocok untuk masyarakat Islam Indonesia. Sementara itu, hubungan antara agama dan politik akan muncul sebagai suatu permasalahan hanya pada bangsa-bangsa yang tidak homogen
secara agama.2 Hal ini bisa diartikan dalam masyarakat yang homogen secara agama, permasalahan politik dan agama tidak begitu diperbincangkan. Kehomogenan agama itu sendiri akan menyebabkan pembicaraan masalah politik sudah termasuk dalam wacana agama itu sendiri. Dan politik bukanlah suatu wacana yang terpisah dari agama.
Sehubungan dengan tema yang diangkat makalah ini tentang Politik Islam : Implikasi Perkembangan Syi’ah Dalam Kehidupan Politik Umat Islam di Indonesia. Makalah ini berusaha membahas pertanyaanpertanyaan sebagai berikut: Bagaimana sebenarnya perkembangan Syi’ah dalam kehidupan politik umat Islam di Indonesia? Dan benarkah kehadiran Syi’ah merupakan suatu ancaman terhadap kemapanan politk mazhab Sunni di Indonesia? Yang mana mayoritas masyarakat di Indonesia dalam berpolitik menggunakan mazhab Sunni. Dan apakah kedua mazhab itu bisa hidup berdampingan secara damai di Indonesia? Dan kontribusi apa yang Syi’ah berikan untuk Indonesia? Makalah ini akan membahas pertanyaanpertanyaan tersebut secara mendetail dan lebih mendalam.
1.2.Rumusan Masalah
1. Mengapa perbedaan mazhab di Indonesia bisa menyebabkan konflik dan konsesus politik antar umat Islam di Indonesia?
1.3. Tujuan Pembahasan
1. Untuk memahami apa saja permasalahan yang bisa menyebabkan konflik dan konsesus dalam politik antar umat Islam di Indonesia.
1.4. Manfaat Penulisan
Pembaca diharapkan mendapat wawasan dan pengetahuan yang lebih ketika membaca makalah yang berjudul Politik Islam : Implikasi Perkembangan Syi’ah Dalam Kehidupan Politik Umat Islam di Indonesia dan tentang bagaimana dan apa saja permasalahan serta konflik dan konsensus politik antar umat islam di Indonesia.
1.5. Sistematika Penulisan
BAB I
Berisikan tentang latar belakang masalah yang terdapat dalam Implikasi Perkembangan Syi’ah Dalam Kehidupan Politik Umat Islam di Indonesia. Beserta rumusan masalah, tujuan pembahasan, manfaat penulisan, dan sistematika penulisan yang akan dijelaskan secara rinci dan teratur.
BAB II
Berisikan kerangka pemikiran sebagai pembuka sebelum memasuki isi dari makalah.
BAB III
Berisikan Isi / Pembahasan dari makalah ini yang membahas tentang Politik Islam : Implikasi Perkembangan Syi’ah Dalam Kehidupan Politik Umat Islam di Indonesia.
BAB IV
BAB II
2.1. Kerangka Pemikiran
Syi’ah dilihat dari bahasa berarti pengikut, pendukung, partai, atau kelompok, sedangkan secara terminologis adalah sebagian kaum muslimin yang dalam bidang spiritual dan keagamaannya selalu merujuk kepada keturunan Nabi Muhammad saw. atau orang yang disebut sebagai ahl albait. Menurut Thabathbai, istilah Syi’ah untuk pertama kalinya ditujukan pada para pengikut Ali (Syi’ah Ali), pemimpin pertama ahl albait pada masa Nabi Muhammad Saw. para pengikut Ali yang disebut Syi’ah itu di anratanya adalah Abu Dzar AlGhiffari, Miqadi bin AlAswad, dan Ammar bin Yasir.3
Syi’ah adalah segolongan dari umat Islam yang sangat mencintai Ali bin Abi Thalib dan keturunannya secara berlebihlebihan. Golongan syi’ah berpendapat bahwa yang paling berhak memangku jabatan khalifah adalah Ali bin Abi Thalib dan keturunannya, sebab dialah yang diwasiatkan oleh Nabi SAW untuk menjadi khalifah setelah beliau wafat.4 Dari sini Syi’ah dimaksudkan sebagai suatu golongan dalam Islam
yang beranggapan bahwa Sayydina Ali bin Abi Thalib ra. adalah orang yang berhak sebagai khalifah pengganti Nabi, berdasarkan wasiatnya. Sedangkan khalifahkhalifah Abu Bakar asShiddiq, Umar bin Khattab, dan Utsman bin Affan adalah penggasab (perampas) kedudukan khalifah.5
Mengenai kemunculan Syi’ah dalam sejarah, terdapat perbedaan pendapat dikalangan para ahli. Menurut Abu Zahrah, Syi’ah mulai muncul pada masa akhir pemerintahan Usman bin Affan kemudian tumbuh dan berkembang pada masa pemerintahan Ali bin Abi Thalib. Adapun menurut Watt, Syi’ah baru benarbenar muncul kertika berlangsung peperangan antara Ali dan Mu’awiyah yang dikenal dengan Perang Siffin. Dalam peperangan ini, sebagai respon atas penerimaan Ali terhadap arbitrase yang ditawarkan Mu’awiyah, pasukan Ali diceritakan terpecah menjadi dua, satu kelompok
3 Rosihon Anwar dan Abdul Rozak, Ilmu Kalam, hlm. 89.
4 Abdul Wahab Khallaf, Sejarah Pembentukan dan Perkembangan Hukum Islam, Jakarta: PT. Raja Grafindo, 2002, hlm. 61.
mendukung sikap Ali kelak disebut Syi’ah dan kelompok lain yang menolak sikap Ali, kelak disebut Khawarij.
Kalangan Syi’ah sendiri berpendapat bahwa kemunculan Syi’ah berkaitan dengan masalah pengganti (khalifah) Nabi Muhammad Saw. mereka menolak kekhalifahan Abu Bakar, Umar bin Khattab dan Usman bin Affan karena dalam pandangan mereka hanya Ali bin Abi Thaliblah yang berhak menggantikan Nabi Muhammad Saw.6
BAB III PEMBAHASAN 3.1. Pemahaman Syi’ah Tentang Negara dan Politik
Jika “politik” diartikan sebagai suatu bentuk “perjuangan” atau “perlawanan” aktif dan real terhadap suatu tatanan yang dinilai tidak adil, maka agaknya benar klaim bahwa Syi’ah “lebih politis” ketimbang Sunni. Syi’ah memang lahir karena factor politik dalam arti kekuasaan. Yaitu, menyangkut masalah siapa yang berhak menggantikan Nabi Muhammad Saw. Sebagai pemimpin umat Islan, Syi’ah yang dimaksud penulis disini adalah Syi’ah Imamiah, karena seperti ditulis oleh Thabathaba’i, mayoritas penganut Syi’ah yang menjadi sumber dari cabangcabang Syi’ah, adalah Syi’ah Imam Dua Belas
yang disebut juga sebagai kaum imamiah.7
Sementara negara bagi mazhab Syi’ah dilihat dari konsep Wilayah AlFaqih.
Menurut Ayatullah Khomeini, ada keterkaitan yang erat antara agama dan politik. Pemerintah sebagai penguasa Negara mestinya dimpimpin oleh para ulama. Negara Islam akan menjamin keadilan social, demokrasi yang sebenarnya dan kemerdekaan yang murni dari imperialism. Islam dan pemerintahan Islam adalah fenomena Ilahi yang penggunaannya menjamin kebahagiaan manusia di dunia dan di akhirat.8
Khomeini menerangkan gagasannya ini sebagaimana tercantum dalam bukunya yang terkenal AlHukumah AlIslamiyah (Pemerintahan Islam). Buku yang merupakan kumpulan pidatonya ini berisi empat tema pokok. Pertama, kritikan yang tajam terhadap lembaga monarki. Hal ini mengingat betapa Ayatullah Khomeini menentang rezim Reza Syah Pahlevi yang dapat dia tumbangkan. Kedua, negara Islam, yang didasarkan pada Al Quran dan dibentuk setelah umat Islam diperintah oleh Nabi pada abad ketujuh, bukanlah merupakan suatu gagasan yang hanya bisa dicapai jauh di masa mendatang, tetapi sebagai suatu bentuk pemerintahan yang praktis dan dapat direalisasikan pada masa sekarang sampai generasi berikutnya. Ketiga, ulama memegang pernan penting dalam
7 Allamah M.H. Thabathaba’i, 1989, Islam Syi’ah, Jakarta: Grafiti, hlm. 88
kepemimpinan umat Islam. Keempat, umat Islam harus berjuang melawan setiap bentuk penindasan dan tirani.9
AlQuran telah memuat hukum Tuhan yang dapat mengatur seluruh kehidupan manusia. Oleh karena itu, suatu tatanan social politik akan hancur bila masih mencari hukum lain dan melaksanakan hukum buatan manusia yang lahir dari gagasan yang sempit dan menyesatkan. Hukum Tuhan yang telah dicantumkan dalam AlQuran itu, hanya dapat dilaksanakan oleh seorang penguasa yang dipilih oleh para mujtahid. Dia dapat mengenal perintah Tuhan dan mengamalkan keadilan tanpa terpenjara oleh tekanan dan ambisi dunia. Suatu sistem pemerintahan yang mengamalkan hukum Tuhan, yang mendapatkan pengawasan dari para ahli hukum agama (faqih), akan mengungguli semua system pemerintahan yang tidak adil di dunia ini.10
Hukum Islam telah menyediakan suatu tatanan bagi negara dan masyarakat. Eksekutif bertugas melindungi dan mengawal masyarakat. Yudikatif berfungsi menerapkan hukum Islam tersebut. Sementara Legislatif tidak diperlukan karena hanya Tuhan yang berwenang membuat undangundang dan kaum Muslim pada hakikatnya sudah memiliki hukum Tuhan.11
Menurut Khomeini, pemerintah Islam merupakan sesuatu yang mungkin terjadi dan penting. Dia mengutip perkataan imam Ali ArRidha : “Bahwa tidak logis kalau Tuhan Yang Maha Tinggi dan Maha Bijaksana membiarkan rakyatNya, makhlukNya, tanpa mendapat pentunjuk ataupun pelindung”. Kebijakan Tuhan tidak dapat dibatasi hanya dalam ruang dan waktu tertentu saja, karena itu sejak saat ini sampai saat mendatang sangatlah diperlukan seorang imam yang dapat melaksanakan hukum Islam.12
Sifat Tuhan ini yang disebut sebagai Luthf (Kebaikan/Kehalusan Tuhan). Dengan sifat ini, manusia akan dibimbing oleh Tuhan dengan “diturunkannya” para imam dan faqih. Dan pemerintahan Islam menurut Syi’ah haruslah adil. Dengan demikian, pemegang kekuasaan mestinya yang mempunyai pengetahuan yang luas mengenai syariat yang berlaku. Para faqihlah yang mendapat memenuhi keriteria ini, karena mereka
9 Khomeini, AlHukumah AlIslamiyah, Teheran: Dar Kutub Islamiyyah. 10 Ibid, Hlm 132
mendalami hukum yang ada dalam ajaran Islam. Akan tetapi, menurut Khomeini, tidak setiap faqih mempunyai kualifikasi sebagai pemimpin. Setidaknya ada 8 (delapan) persyaratan yang harus dipenuhi oleh seorang faqih untuk bisa memimpin sebuah pemerintahan Islam. Yakni : Pertama, mempunyai pengetahuan yang luas tentang hukum islam. Kedua, harus adil, dalam arti memiliki iman dan akhlak yang tinggi. Ketiga, dapat dipercaya dan berbudi luhur. Keempat, jenius. Kelima, memiliki kemampuan administratif. Keenam, bebas dari segala pengaruh asing. Ketujuh, mampu mempertahankan hakhak bangsa, kemerdekaan dan integritas territorial tanah islam, sekalipun harus dibayar dengan nyawanya. Dan kedelapan, hidup sederhana.13
3.2. Implikasi Pemikiran Syi’ah di Indonesia adalah kelompok moderat yang dapat mentolerir (perbedaan) pandangan Syi’ah yang spesifik, meskipun tidak berarti dapat menerima keseluruhan dari ajaran Syi’ah. Dengan
13 Ibid. hlm 136
kata lain, ada ajaran tertentu yang bisa diterima khususnya yang menyangkut peranan berhasil mempelopori revolusi untuk menggulingkan tirani dan hagemoni Syi’ah Iran tidak dimiliki oleh mayoritas Sunni di Arab Saudi maupun di Indonesia. Di Indonesia, rezim Soeharto berhasil mempertahankan kekuasaan absolut selama puluhan tahun tanpa ada seorang pun ulama yang mampu menentangnya secara terbuka.
Diakui, khususnya oleh kalangan Sunni moderat, konsep kepemimpinan yang menempatkan ulama di atas umara sebagai pengontrol eksekutif merupakan sesuatu yang ideal dalam pemerintahan. Bagi Sunni, model kepemimpinan ini menjadi wishful thinking
atau utopia yang relatif sulit diterapkan dalam kehidupan politik Indonesia. Hal ini diantaranya disebabkan oleh kondisi masyarakat Indonesia yang majemuk yang diwarnai suatu konsep doctrinal (doctrinal concept) dan Islam sebagai suatu fenomena kultural (cultural phenomena). Budaya local sangat berpengaruh terhadap manifestasi pelaksanaan syariat Islam. Di beberapa wilayah tertentu masih banyak terdapat praktikpraktif
keagamaan yang berbaur dengan kebudayaan setempat. Fenomena Islam nominal (abangan)16 dan Islam santri di Jawa17, Islam Wetu Telu dan Waktu Lima di Lombok,18
membuktikan derajat pemahaman dan penerapan Islam di Indonesia banyak sekali dipengaruhi oleh varianvarian budaya etnik yang bersifat lokalistik (local cultural variations).19
3.3. Konflik dan Konsesus AntarUmat Islam (Sunni dan Syi’ah)
dipikirkan, ketimbang mengurusi perbedaanperbedaan “kecil”. Dengan lain perkataan, mereka mengadakan consensus untuk berkiprah demi kemajuan umat Islam di Indonesia.
PascaRevolusi Islam Iran pada tahun 1979, aliran Syi’ah merebak ke seluruh dunia, tidak terkecuali ke Indonesia.21 Kedatangan aliran
“baru” ini menimbulkan polarisasi baru di kalangan umat Islam. Penganut Sunni, ada yang menerima kedatangan aliran ini dan bahkan menjadi penganut dan penganjur aliran Syi’ah. Ada yang bersikap kagum dan simpati, tetapi masih menganut mazhab Sunni, ada pula yang menentang dengan keras kedatangan aliran Syi’ah. Berbagai sikap ini tentunya akan menimbulkan konsekuensi tersendiri bagi adanya suatu consensus atau konflik.
Penganut Sunni kelompok pertama jelas tidak bermasalah bagi penganut Syi’ah, karena mereka telah mengganti mazhab dan bahkan menjadi penganjur aliran Syi’ah. Kelompok Sunni kedua juga tidak begitu bermasalah dengan Syi’ah. Mereka cukup toleran dalam menyikapi ajaran Syi’ah dan bahkan dalam beberapa kesempatan “membela” kepentingan Syi’ah. Sementara itu, Sunni kelompok ketiga yang disebut juga sebagai “ekstrem” akan selalu bertolak belakang dengan ajaran Syi’ah. Mereka akan berusaha sekuat tenaga untuk membentengi beredarnya ajaran Syi’ah dengan lebih luas. Sikap “keras” yang diperlihatkan oleh sebagian penganut Islam Sunni di Indonesia ternyata tidak disepakati oleh sebagian Sunni yang lain. Dr. Said Agil Siradj misalnya, dengan “gigih” menentang kelompok Sunni yang memusuhi Syi’ah. Sudah tentu pembelaan terhadap ajaran Syi’ah akan dilakukan oleh penganut Sunni yang sudah “mengagumi” Syi’ah. Dr. Jalaludin Rakhmat, misalnya, merasa yakin pemerintah Indonesia tidak akan melarang Syi’ah berkembang di Indonesia. Malah, dia mengadakan serangan balik dengan mengharapkan pemerintah akan meneliti orangorang yang meminta agar Syi’ah dilarang. Hal ini, menurutnya, karena mereka telah membuat resah dan memperuncing konflik Sunni dan Syi’ah di Indonesia.22
3.4. Biografi Ayatullah Ruhullah Al Musawi Khomeini (Imam Besar Syi’ah)
21 John L. Esposito, 1990, The Iranian Revolution: It’s Global Impact, Miami: Florida International University Press.
Syeikh A’zam Ansari. Di kota Najaf inilah, Imam Khomeini untuk pertama kalinya mengungkapkan dasardasar teori pemerintahan Islam dalam rangkaian pelajaran wilayatulfaqihnya. santri revolusioner Iran. Yelyel ‘Hidup Khomeini dan matilah dinasti Pahlevi’ terus membahana selama dua hari berturutturut. Padahal, sebelum peristiwa ini, banyak organisasaiorganisasi perjuangan rakyat yang telah dilumpuhkan, para tokoh keagamaan terpaksa melangkah mundur dan membatalkan penggunaan kalender nasional versi pemerintah.
BAB IV
KESIMPULAN
Perkembangan Syi’ah di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari kesuksesan Revolusi Islam Iran pada tahun 1979. Ada beberapa indikasi yang menunjukan hal tersebut. Pertama, tidak lama setelah revolusi Iran, beberapa kalangan mengirimkan pemuda untuk belajar di Qum, Iran. Sekembalinya dari Iran, beberapa di antara mereka mendirikan lembaga pendidikan yang bernafaskan ajaran Syi’ah. Kedua, lembaga pendidikan yang tersebar di berbagai daerah di Indonesia ini mempunyai hubungan yang cukup erat. Lembaga ini kemudian mencetak kaderkader Syi’ah baru. Beberapa kader ini dikirim ke Iran untuk meningkatkan pengetahuan mereka tentang Syi’ah. Sekembalinya mereka dari Iran, Syi’ah generasi baru ini kemudian mengembangkan pahamnya di lingkungan baru. Keadaan ini berputar terus secara lebih luas dan Syi’ah pun berkembang. Banyaknya dukungan kalangan muda Muslim di Indonesia pada mazhab Syi’ah menimbulkan keresahan di kalangan lain. Potensi konflik antar kelompok ini mulai terlihat. Contohnya seperti Seminar “Anti Syi’ah” adalah salah satu bukti nyata adanya potensi konflik itu. Kelompok itu secara terbuka menuntut Syi’ah untuk dilarang keras di Indonesia. Tentunya, bila ada perlawanan keras dari kelompok Syi’ah, maka akan terjadinya gesekan serta konflik yang akan merepotkan berbagai pihak.
Menurut pendapat penulis pribadi, Sunni dan Syi’ah, adalah khazanah peradaban Islam. Keduanya memiliki kontribusi dan memiliki keunggulan. Perbedaan antara mazhab Sunni dan Syi’ah tidak menyebabkan masingmasing orang yang memeluk salah satu mazhab tersebut keluar dari Islam. Mazhab sekadar pemahaman dan pilihan dalam upaya menjadi orang Islam yang sejati. Agama Islam melalui Rasulullah Saw mengajarkan bahwa perbedaan merupakan anugerah dan sesama umat Islam bersaudara sehingga yang terpenting ukhuwah (persaudaraan) dan tasamuh (toleransi).
DAFTAR PUSTAKA BUKU :
1. Anwar, Rosihon dan Rozak, Abdul, Ilmu Kalam.
2. Cederroth, Sven, 1981, The Spell of The Ancestors and The Power of Mekkah: A Sasak Community on Lombok, Sweden: Acta Universitatis Goyhoburgenesis.
3. Esposito, John L., 1990, The Iranian Revolution: It’s Global Impact, Miami: Florida International University Press.
4. Esposito, John L., 1991, Islam and Politics, Syracause: Syracause University Press. 5. Geertz, Clifford, 1960, The Religion of Java, New York : Free Press.
6. Khallaf, Abdul Wahab, 2002, Sejarah Pembentukan dan Perkembangan Hukum Islam, Jakarta: PT. Raja Grafindo.
7. Khomeini, AlHukumah AlIslamiyah, Teheran: Dar Kutub Islamiyyah.
8. Nasir, Salihun A., Pemikiran Kalam (Teologi Islam).
9. Robertson, Roland,1995, Agama: Dalam Analisa dan Interpretasi Sosiologis, Jakarta: Raja Grafindo Persada.
10. Silhbudi, Riza, 1996, Biografi Politik Imam Khomeini, Jakarta: Gramedia dan Ismes. 11. Thabathaba’i, Allamah M.H., 1989, Islam Syi’ah, Jakarta: Grafiti.
ARTIKEL DAN JURNAL :
1. Harian Terbit, 6 november 1997.
WEBSITE :