KAJIAN DAMPAK TERHADAP PERSAINGAN USAHA
TERKAIT PELAKSANAAN FREE TRADE AREA ( FTA )
DI PROVINSI BANTEN
Oleh:
i
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2-1 Teori 5 Kekuatan Porter ... 19
Gambar 4-1 Peta Provinsi Banten ... 39
Gambar 4-2 Bangunan MEA 2015 ... 46
Gambar 4-3 Logo AFTA ... 48
Gambar 4-4 Ilustrasi Kesepakatan ACFTA ... 53
ii
DAFTAR TABEL
Tabel 1-1 Indikator dari Faktor ... 20
Tabel 3-1 Jadwal Pelaksanaan Kajian ... 37
Tabel 4-1 Data IPM Provinsi Banten ... 41
Tabel 4-2 Penduduk Berusia 15 Tahun ke Atas yang Bekerja ... 44
iii
INTI SARI
Makalah ini memiliki tujuan antara lain sebagai berikut: 1)
Menjelaskan hubungan MEA 2015, AFTA dan FTA dan memaparkan negara
mana saja yang menjadi partner perjanjian ini. 2)Menjabarkan konsekuensi/dampak FTA terhadap persaingan usaha di Provinsi Banten.
3)Menjelaskan peran-peran yang dibutuhkan untuk menghadapi FTA dan
menentukan siapa yang menjalankannya. Pengumpulan data dilakukan
dengan observasi ke lokasi produksi UMKM/IKM; wawancara dengan
iv
1.3 Maksud dan Tujuan Kajian ... 6
1.4 Sasaran Kajian ... 7
BAB II ... 8
TINJAUAN PUSTAKA ... 8
2.1 UU No. 5 Tahun 1999 ... 8
2.2 HaKI vs UU Persaingan Usaha ... 14
2.3 Teori Persaingan ... 17
2.4 Tantangan Implementasi ... 22
2.5 Standardisasi dan Sertifikasi ... 30
BAB III ... 34
METODOLOGI KAJIAN ... 34
3.1 Pendekatan Kajian ... 34
3.2 Metode Analisis ... 34
3.3 Jenis Data ... 36
v
3.5 Waktu dan Lokus Kajian ... 37
3.6 Kredibilitas dan Dependabilitas ... 38
BAB IV ... 39
PEMBAHASAN ... 39
4.1 Gambaran Umum Wilayah Kajian ... 39
4.1.1 Geografis ... 39
4.1.2 Sumber Daya Manusia ... 40
4.1.3 Ekonomi ... 44
4.2 Hubungan MEA 2015, AFTA dan FTA ... 46
4.2.1 MEA 2015 ... 46
4.2.2 AFTA ... 48
4.2.3 FTA ... 52
4.3 Dampak terhadap Provinsi Banten ... 54
4.4 Identifikasi Peran yang Dibutuhkan ... 57
1
BAfB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Sehubungan dengan pilar pertama dari AEC 2015, percepatan proses
pencapaian AFTA dilakukan secara bertahap, yaitu melalui pencapaian
tarif 0 s.d. 5 persen sebesar 85 persen dari Inclusion List (selanjutnya
disebut IL) 2000, 90 persen dari IL 2001, dan 100 persen dari IL di 2002
dengan fleksibilitas. Langkah tersebut dikenal dengan nama Bold
Measures. Di samping itu dilakukan juga pemindahan produk Temporary
Exlusion List (TEL) ke IL, mengurangi daftar pengecualian umum
(General Exception List-Ge), serta pemindahan produk Sensitive List (SL)
ke TEL dan penghapusan hambatan non-tarif.
Adapun untuk negara-negara anggota baru ASEAN seperti Kamboja,
Laos, Myanmar dan Vietnam, pencapaian tarif 0 s.d. 5 persen pada tahun
2003 untuk Vietnam; pada tahun 2005 untuk Laos dan Myanmar
sedangkan untuk Kamboja pada tahun 2007. Sesuai kesepakatan ASEAN
bahwa tingkat tarif nol persen pada 2003 bagi 60 persen sejumlah pos tarif
dalam IL, kecuali Singapura, Brunei Darussalam dan Malaysia. Oleh
2
Thailand) harus bekerja keras untuk menurunkan tarif sehingga mencapai
target dimaksud. Indonesia baru mencapai 54,63 persen yang sebagian
besar terdiri dari sektor textile and apparel, machinery and appliancem,
serta chemicals.
Dampak dari penurunan tarif pada rentang 0 s.d.5 persen pada tahun
2003 akan mendorong peningkatan perdagangan intra-ASEAN. Tarif
impor yang rendah akan mendorong harga pengadaan barang impor lebih
rendah, di mana hal ini akan meningkatkan daya beli konsumen baik
konsumen industri maupun konsumen akhir. Bagi konsumen industri, ini
berarti peningkatan efisiensi pengadaan bahan baku, sehingga produk
akhirnya akan memiliki daya saing yang lebih tinggi karena harga jual bisa
lebih rendah. Bagi konsumen akhir, penurunan harga barang konsumsi asal
impor akan menambah variasi alternatif produk pemenuh kebutuhan dan
akan meningkatkan persaingan yang pada gilirannya akan menurunkan
harga produk, sehingga meningkatkan pemenuhan kebutuhan dan
kesejahteraan konsumen.
Penurunan tarif impor perlu dibarengi dengan penghapusan nontarif
barriers (selanjutnya disebut NTB). Penghapusan NTB ini sudah disepakati
dalam sidang ke delapan Dewan AFTA (tingkat menteri) pada tanggal 10
3
menghapus NTB-nya paling lambat tahun 2003. Adapun semua faktor di
atas akan meningkatkan kegiatan ekonomi, perdagangan, dan investasi
yang bakal menimbulkan suasana dan iklim kondusif bagi pengusaha.
Pada KTT Infomal ASEAN ke tiga tanggal 28 November 1999 di
Manila, para pemimpin ASEAN sepakat mempercepat penghapusan bea
masuk seluruh produk yang diperdagangkan di kawasan AFTA yang
semula tahun 2015 menjadi 2010 untuk enam negara ASEAN. Sedangkan
untuk empat negara ASEAN lainnya (Kamboja, Myanmar, Laos, Vietnam)
dipercepat dari tahun 2018 menjadi 2015. Pencapaian tingkat tarif nol
persen bagi seluruh produk di tahun 2010/2015 akan dilakukan secara
bertahap dan dimulai dengan pencapaian tingkat tarif nol persen pada 2003
sebanyak minimal 60 persen sejumlah pos tarif dalam IL-nya. Tahun
2010/2015 ASEAN merupakan wilayah perdagangan bebas tanpa
hambatan tarif (nol persen) yang mencakup seluruh batas-batas negara
anggotanya.
Sementara itu, pada KTT Informal ASEAN ke empat di Singapura
tanggal 24 s.d. 25 November 2000, para kepala negara menyoroti masalah
integrasi kawasan sebagai tantangan yang dihadapi ASEAN, mengingat
masih adanya kesenjangan antara negara-negara anggota lama dan anggota
4
diperhatikannya solidaritas ASEAN, agar dalam persaingan yang terjadi di
ASEAN tidak ada negara-negara anggota yang ditinggalkan.
Fakta percepatan implementasi AFTA dan tahapan penurunan
hambatan tarif, merupakan fenomena yang akan memaksa provinsi di
seluruh Indonesia pada umumnya, dan Provinsi Banten pada khususnya,
untuk segera menyiapkan langkah preventif terhadap potensi ancaman
dengan adanya AFTA. Sekaligus menyiapkan langkah proaktif dalam
mengambil potensi peluang dengan adanya AFTA termaksud.
Sehubungan dengan tujuan AFTA yang menjadi bagian dari
kesepakatan komunitas Masyarakat Ekonomi ASEAN, sektor ekonomi
negara-negara anggota ASEAN harus dijadikan pertimbangan utama
dalam implementasi AFTA. Hilangnya hambatan tarif selain
menguntungkan bagi pihak konsumen, juga dapat meningkatkan intensitas
dan kualitas persaingan antarpengusaha. Bagi pengusaha yang memiliki
daya saing rendah, secara kompetitif akan tergerus oleh tuntutan konsumen
yang semakin powerfull dengan berlimpahnya penawaran dari perusahaan
lain.
Sementara itu, sedikit berbeda dengan AFTA yang berlaku pada
hubungan dagang intra-ASEAN, Free Trade Area (selanjutnya disebut
5
salah satu partner FTA. Secara umum, Indonesia masih membutuhkan
banyak persiapan untuk menghadapi FTASecara khusus, Provinsi Banten
memiliki PR yang banyak terkait kesiapan masyarakatnya dalam
menghadapi FTA.
Berdasarkan hasil wawancara rahasia dengan informan, masalah belum
siapnya masyarakat menghadapi FTA sebenarnya sudah menjadi rahasia
umum. Ketidaksiapan ini terbukti dari kesadaran akan eksistensi dan
hakikat FTA. Lebih jauh lagi, AFTA, MEA 2015, bahkan ASEAN pun
tidak diketahui dan difahami secara tepat. Tidak sedikit masyarakat
Banten, dari beragam profesi, salah mengartikan dan sering
memertukarkan penggunaan istilah-khususnya FTA vs AFTA- tersebut di
atas secara salah. Kesiapan harus dimulai dari kesadaran tentang apa yang
sebenarnya dihadapi oleh masyarakat Banten itu sendiri.
Sebagaimana telah disinggung di atas, persaingan usaha dalam situasi
arus bebas perdagangan, investasi, tenaga kerja terampil, akan
meningkatkan intensitas persaingan dan pada gilirannya juga melahirkan
potensi persaingan yang tidak sehat antarpemangku kepentingan. Untuk
menghindarinya, perlu dibuat langkah antisipasi. Di sinilah peran KPPU
dibutuhkan sebagai lembaga pengawas persaingan usaha di Indonesia.
6
seluruh pelaku bisnis baik dalam negeri maupun luar negeri. Dengan apa
yang sudah dipaparkan di atas, disadari atau tidak, Provinsi Banten perlu
menyiapkan diri dalam menghadapi dampak dari FTA terhadap persaingan
usaha di Banten. Pada akhirnya, diperlukan sebuah kajian untuk menutupi
celah ini.
1.2
Perumusan Masalah
Berdasarkan pemaparan situasi terkini dan permasalahan yang terkait
pelaksanaan FTA, maka ditetapkanlah sejumlah topik untuk dijadikan
rumusan masalah kajian ini, antara lain:
1. Apa yang dimaksud dengan MEA 2015, AFTA dan FTA dan negara
mana saja yang menjadi partner FTA?
2. Bagaimana konsekuensi/dampak dari perjanjian tersebut terhadap
persaingan usaha di Provinsi Banten?
3. Peran apa saja yang dibutuhkan untuk menghadapi FTA dan siapa
pemangku kepentingan di Banten yang menjalankan peran tersebut?
1.3
Maksud dan Tujuan Kajian
Kajian ini dimaksudkan untuk memberi arahan bagi pembuatan
kebijakan yang mendorong pertumbuhan ekonomi dan pemerataannya,
mengurangi kemiskinan dan meningkatkan standar hidup penduduk
7
Secara operasional, kajian ini bertujuan sebagai berikut:
1. Menjelaskan hubungan MEA 2015, AFTA dan FTA dan
memaparkan negara mana saja yang menjadi partner perjanjian
ini.
2. Menjabarkan konsekuensi/dampak FTA terhadap persaingan usaha
di Provinsi Banten.
3. Menjelaskan peran-peran yang dibutuhkan untuk menghadapi FTA
dan menentukan siapa yang menjalankannya.
1.4
Sasaran Kajian
Hasil kajian ini dapat dimanfaatkan oleh semua pemangku
kepentingan, khususnya Satuan Kerja Perangkat Dinas –selanjutnya
disebut- SKPD di Provinsi Banten baik di tingkat provinsi maupun
kabupaten/kota. Manfaat kajian diambil dengan cara menjadikannya
rujukan dalam pembuatan kebijakan dan/atau program kerja mulai tahun
8
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Pada bagian ini dipaparkan sejumlah konsep, istilah dan teori yang
dianggap penting serta berhubungan dengan topik kajian yaitu FTA dan
persaingan usaha di Provinsi Banten.
2.1
UU No. 5 Tahun 1999
Undang-undang ini mengatur tentang monopoli dan persaingan tidak
sehat, dengan kata lain Indonesia telah memutuskan bahwa persaingan
usaha yang sehat akan menjadi instrumen ekonomi yang akan
diimplementasikan dalam pengelolaan ekonomi Indonesia untuk
mewujudkan terciptanya kesejahteraan rakyat. Dalam berbagai literatur
diketahui bahwa keberhasilan persaingan yang sehat sebagai instrumen
ekonomi akan muncul dalam berbagai bentuk antara lain:
munculnya berbagai alternatif produk yang berguna bagi
masyarakat
semakin murahnya harga/tarif produk barang dan jasa bagi
masyarakat
keberpihakan pemerintah (national interest) untuk pemberdayaan
9
ekspor dalam berbagai aspek usahanya untuk menjadi efisien dan
produktif.
Pada akhirnya yang terpenting adalah semakin efisiennya sebuah
sektor ekonomi sehingga memiliki peran yang lebih baik bagi masyarakat.
Namun jika ditilik dari proses deregulasi dan penerapan kebijakan
persaingan yang baru 10 tahun berjalan, tentulah masih belum mampu
merubah perilaku pelaku usaha di seluruh sektor perekonomian.
Keberhasilan KPPU dan seluruh stakeholder terkait lainnya seperti
pemerintah, pengadilan, mahkamah agung, kepolisian, lembaga-lembaga
lainnya dalam konteks persaingan adalah terjadinya persaingan usaha yang
sehat sebagai budaya nasional yang masal.
Pengaturan oleh pemerintah, grand strategy dan komitmen yang kuat
terhadap sektor menyangkut hajat hidup rakyat banyak di pasar domestik
dan sektor industri produk dan pengolahan yang unggul untuk pasar
ekspor. Dalam hal ini mainstreaming UU No. 5 dan kelembagaan KPPU
dalam grand strategy dan kebijakan pemerintah dalam konteks Indonesia
incorporated menjadi sangat penting. KPPU dapat lebih diberdayakan
dalam forum internasionalnya seperti UNCTAD, OECD, ICN, ASEAN
dan sebagainya untuk mensosialisasikan bahwa pelaku usaha yang akan go
global dari Indonesia telah memiliki kualifikasi sebagai pemain yang
10
Dalam teori perdagangan internasional, tekanan persaingan akan lebih
tinggi dibanding kondisi pasar domestik. Dengan demikian, bagi pelaku
usaha yang ingin go global dan memenangkan persaingan di dunia
internasional, efisiensi dan kemampuan inovasi menjadi modal utama.
Efisiensi dan inovasi merupakan wujud perilaku perusahaan yang
kompetitif dan berbudaya atau menerapkan prinsip-prinsip persaingan
usaha yang sehat. Perilaku kompetitif ini harus diimplemetasikan secara
nyata oleh pelaku usaha di pasar domestik. Apabila di pasar domestik telah
terbiasa dengan tekanan persaingan, maka kemungkinan besar untuk
berhasil di pasar internasional juga menjadi lebih besar.
Memahami kondisi persaingan diantara pelaku usaha di industri
barang dan jasa di Indonesia yang beorientasi ekspor menjadi penting
untuk diamati oleh pemerintah dan dikaji oleh KPPU dalam kapasitas
persaingannya. Pencermatan oleh pemerintah akan menghasilkan
rekomendasi untuk memperbaiki kinerja ekspor industri barang dan jasa
yang berorientasi ekspor.
Peta Persaingan Industri
Dari hasil penelitian LPEM-UI dengan pemetaan industri pengolahan
berorientasi ekspor dengan menggunakan metoda CR4 dan PCM dan
11
pada industri penerbangan dan telekomunikasi, hasil menunjukan sebagai
berikut:
Trend industri pengolahan berorientasi ekspor di Indonesia
bertambah dalam rentang waktu 2003 sampai 2006 dari 20 sektor
industri menjadi 40 sektor industri pada tahun 2006. Namun mulai
tahun 2007 jumlah industri pengolahan berorientasi ekspor menurun
drastis menjadi 22 sektor industri. Karena jumlah industri
berorientasi ekspor berubah-ubah dari 2003-2007, maka sampel
diambil yang memiliki jumlah ekspor 50% dari jumlah output
selama 2003-2007. Menurut data BPS, sampel ini berjumlah 20
sektor industri pengolahan dari 377 sektor industri pengolahan
(ISIC5 2007).
Hasil perhitungan rata-rata CR4 dari 20 sektor industri dalam 5
tahun, menunjukkan bahwa 17 sektor industri memiliki struktur
pasar yang cenderung oligopolistik (CR4>40%), 3 sektor industri
pengolahan memiliki CR4 di bawah 40% adalah industri karet
remah (crumb rubber), industri moulding dan komponen bahan
bangunan, dan industri furniture dari kayu. Hasil perhitungan
rata-rata PCM menunjukkan bahwa sebagian besar industri pengolahan
memperoleh keuntungan/margin lebih tinggi dari 10% dari harga
12
Hasil survei persepsi pelaku usaha menunjukkan secara umum tidak
terdapat persoalan persaingan usaha di sektor industri pengolahan
berorientasi ekspor, baik dalam persaingan sesama pelaku usaha di
pasar domestik maupun dalam jasa logistik khususnya
kepelabuhanan.
Peran pemerintah dalam pembangunan infrastruktur, perbaikan operasi
jasa logistik dan pasar tenaga kerja dalam mewujudkan pasar domestik
yang efisien yang akan berdampak pada industri yang beorientasi ekspor
juga efisien, dalam hal ini berdasarkan banyak kajian dan pemberitaan
dimedia mengenai:
Ketersediaan infrastruktur yang sangat memprihatinkan seperti
jalan, jembatan, listrik, air minum, dan sebagainya yang
menyebabkan jasa logistik input dan output industri nasional
menjadi berbiaya sangat tinggi bahkan tertinggi di dunia. Dalam hal
ini peran dan komitmen pemerintah serta grand strategy yang jelas
dan konsekuen dilaksanakan menjadi sangat penting. Pemerintah
harus memiliki perioritas dan kepemimpinan untuk merealisasikan
dalam jangka pendek dan membuka private investment partnership
(misal 30% investasi infrastruktur diberikan pada swasta). Dana
infrastruktur yang demikian besar pada tahun mendatang perlu
13
maksimal sehingga pembangunan berjalan secara efisien dan
bersaing secara sehat pada giliran jasa yang diwujudkan oleh
infrastruktur bisa wajar tarifnya.
Pasar tenaga kerja perlu mendapat perhatian karena terlalu kakunya
regulasi ketenaga kerjaan, yaitu gaji murah tapi sistem tenaga kerja
industrial sangat tinggi biayanya (sebagai contoh pesangon bisa
mencapai 25 sampai 30 kali gaji, dan biaya-biaya sistem tenaga
kerja lainnya di Indonesia). Industrialisasi di Cina dan India bisa
berjalan dengan baik karena pasar tenaga kerja sangat kondusif,
berbagai tingkatan tenaga kerja sampai tenaga ahli mudah didapat,
dan biaya sistem tenaga kerja bagi industri murah, yang berdampak
pada gaji yang kompetitif, perkembangan kompetensi sehat dan
kesejahteraan pekerja terjamin serta tidak terjadi gejolak politik
dikalangan pekerja. Dengan demikian akan menjamin stabilitas,
efisiensi dan produktivitas ketenaga kerjaan.
Perlunya memperhatikan jaringan produksi regional (logistic
production network).
Jika hal-hal prioritas di atas dapat direalisasikan dengan keberpihakan
dan komitmen pemerintah yang tinggi, dengan secara tegas menerapkan
budaya persaingan usaha yang sehat melalui penegakan hukum dan
14
menerapkan hal yang sama maka program industri unggulan berorientasi
ekspor yang mengakar pada struktur industri domestik yang kuat maka
Indonesia akan mendapatkan manfaat yang besar dari pasar bebas dan
globalisasi ekonomi.
2.2
HaKI vs UU Persaingan Usaha
Khusus terkait dengan masalah Hak atas Kekayaan Intelektual (HaKI)
dan hukum persaingan usaha, banyak sebagian orang berpandangan bahwa
kedua hukum tersebut saling bertolak belakang. Padahal, sesungguhnya
tidaklah demikian. Keberadaan rezim hukum HaKI dan Hukum Persaingan
Usaha hendaknya dipandang sebagai ketentuan hukum yang bersifat
komplementer atau saling mengisi untuk keharmonisan sistem hukum
nasional Indonesia. Kesamaan yang dimiliki oleh kedua rezim hukum
tersebut diantaranya ialah pada tujuannya yaitu untuk memajukan sistem
perekonomian nasional di era perdagangan bebas dan globalisasi,
mendorong inovasi dan kreatifitas serta untuk meningkatkan kesejahteraan
rakyat.
Pada satu sisi HaKI berbicara tentang perlindungan hak intelektual
sebagai bentuk insentif dan penghargaan (incentive and reward) agar
memacu kreatifitas dan inovasi dalam mengembangkan seni, ilmu
pengetahuan, teknologi dan perdagangan yang diharapkan akan
15
kesempatan kepada si kreator dan/atau si pemegang haknya atau bahkan
mengambil keuntungan dari padanya. Rezim hukum HaKI dengan
demikian dapat dikatakan berada pada sisi pro persaingan usaha. Pada sisi
lain, rezim hukum persaingan usaha berbicara tentang perlindungan
terhadap iklim berkompetisi yang fair guna terbukanya peluang ekonomi,
inovasi, dan kesempatan berusaha bagi semua pihak.
Pada prinsipnya hukum ini akan memberikan kesempatan untuk
kepastian berusaha bagi semua orang dengan cara membebaskan pasar
guna efisien dan kompetisi yang fair untuk memberikan konsumen
alternatif pilihan yang terbaik dalam pasar. Kacamata UU No. 5 Tahun
1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak
Sehat, HaKI adalah termasuk pasal yang dikecualikan yaitu Pasal 50 huruf
b, yang berbunyi : ”perjanjian yang berkaitan dengan hak atas
kekayaan intelektual seperti lisensi, paten, merek dagang, hak cipta, desain produk industri, rangkaian elektronik terpadu dan rahasia dagang serta perjanjian yang berkaitan dengan waralaba”.
Hendaknya setiap pihak memaknai ketentuan Pasal 50 huruf b tersebut
sebagai berikut : pertama, bahwa perjanjian yang berkaitan dengan hak
kekayaan intelektual yang dimaksud dalam pasal tersebut adalah perjanjian
lisensi yang berada dalam lingkup hak paten, hak merek, hak cipta, hak
16
bahwa istilah ”rangkaian elektronik terpadu” hendaknya dimaknai sebagai
desain tata letak sirkuit terpadu. Pandangan KPPU dalam pedomannya,
penerapan pengecualian tentang lisensi HaKI, setiap orang hendaknya
memandang bahwa pengecualian perjanjian lisensi HaKI dari ketentuan
hukum persaingan usaha hanya dapat dilakukan sepanjang perjanjian
lisensi HaKI tersebut tidak bertentangan dengan asas dan tujuan dalam
pasal 2 dan 3 UU No. 5 tahun 1999.
Untuk mencegah penyalahgunaan HaKI yang menyebabkan terjadinya
praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat maka indikator utama
pengecualian adalah penguasaan pasar atas produk atau jasa yang
dilakukan dengan lisensi HaKI tidak memiliki pengaruh yang signifikan
terhadap pasar.
Dari sudut pandang akademisi, UU No.5 Tahun 1999 perlu direvisi.
Hal ini setidaknya disampaikan oleh ekonom UGM Mudrajad Kuncoro
"Revisi ini penting demi melindungi usaha domestik dari persaingan usaha
yang tidak sehat ketika memasuki Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)".
Melalui revisi Undang-Undang (UU) Persaingan Usaha tersebut,
diharapkan akan memperkuat serta memperluas jangkauan Komisi
Pengawasan Persaingan Usaha (KPPU) dalam mengawasi transaksi bisnis.
Sang ekonom juga menyatakan "Agar KPPU dapat secara tegas menindak
17
2.3
Teori Persaingan
Kemajuan teknologi dalam bidang produksi, telah memungkinkan
tercapainya kondisi ideal economies of scale dan economies of scope. Pada
gilirannya, kedua kondisi tersebut mendorong kemunculan beberapa
perusahaan dominan yang mengarah pada adanya hubungan praktek
persaingan monopolistik dan contestable market. Secara makro,
munculnya perusahaan dominan namun mampu bekerja dengan low cost
menjadi penting karena memudahkan untuk meningkatkan output industri
secara progresif seperti contoh perusahaan otomotif Jepang yang lebih
efisien dibandingkan perusahaan Amerika sehinggi dinilai sukses pada saat
meningkatkan penjualan di banyak negara.
Tentang contestability, menurut Baumol, Panzar, and Willing (1982)
dipraktekan dengan menghindarkan sunk cost dan menjadikan perusahaan
mudah melakukan hit-and run entry, seperti dipraktekan oleh perusahaan
baru yang masuk industri penerbangan di Indonesia saat ini yang
melakukan leasing pesawat untuk menekan biaya total untuk tujuan
penetapan harga bersaing dan jika perlu harga termurah. Strategi
contestable market diartikan sebagai suatu praktek persaingan melalui low
cost yang dilakukan oleh beberapa perusahaan yang bersaing ketat satu
sama lain sehingga harga yang terbentuk adalah harga bersaing
18
Dari uraian di atas, praktek persaingan dinamis berpengaruh positif
terhadap pertumbuhan daya saing perusahaan, industri, dan negara.
Pertumbuhan dan pembangunan daya saing industri dijelaskan lebih rinci
oleh Porter (1996) melalui model persaingan seperti pada Gambar 2.1. Ada
4 kekuatan yang terlibat dalam menentukan kekuatan/tingkat persaingan
antarperusahaan di suatu industri, yaitu posisi tawar konsumen, posisi
tawar pemasok sumberdaya, ancaman perusahaan pendatang baru dan
ancaman produk substitusi. Respon terhadap kelima faktor kekuatan ini
akan memengaruhi besaran laba yang diperoleh perusahaan dalam jangka
pendek dan jangka panjang.
Porter mengungkapkan faktor-faktor tersebut merujuk pada teori
mikroekonomi yang menjelaskan faktor-faktor struktur pasar yaitu jumlah
pembeli (konsumen), jumlah dan ukuran perusahaan atau penjual, sifat
produk (identik atau terdeferensiasi), dan hambatan masuk atau keluar
pasar yang merupakan ancaman dari calon perusahaan baru.
Dalam teori mikroekonomi, struktur pasar diklasifikasikan menjadi
apakah persaingan sempurna, persaingan monopolistik, oligopoli, atau
monopoli. Dapat disimpulkan bahwa model five forces dari Porter dapat
pula digunakan untuk menjelaskan struktur industri yang meliputi struktur
19
struktur pasar secara konseptual menentukan karakteristik permintaan dan
ketersediaan sumberdaya menentukan karakteristik penawaran.
Gambar 2-1 Teori 5 Kekuatan Porter
Terdapat kritik terkait teori persaingan dari Michael E. Porter ini,
misalnya, mengapa teori ini tidak mengakomodasi fakta bahwa calon
pesaing dan juga pemasok dengan kekuatan tawarnya, bisa saja
berkoneksi? Selain itu pada strategi persaingan yang coba dijelaskan oleh
teori ini, peran pemerintah tidak ada sama sekali. Jika dikaitkan dengan
adanya kekuatan regulasi baik di tingkat nasional dan regional seperti
ASEAN, penggunaan teori 5 Forces Porter ini memerlukan sejumlah
modifikasi pada modelnya. Sekalipun demikian, teori persaingan ini tetap
memiliki relevansi yang cukup untuk menggambarkan bagaimana jalannya
persaingan, siapa yang terlibat di dalamnya, dan apa saja yang menentukan
kekuatan masing-masing faktor tersebut.
Berikut ini disajikan tabel yang berisi tentang bagaimana mengukur
20
1.1 di atas, kelima faktor kekuatan dari persaingan industri diukur oleh
sejumlah indikator yang sifatnya dinamis.
Tabel 1-1 Indikator dari Faktor
No Faktor Pengertian Indikator pengukuran
1 Ancaman
Ukuran asset perusahaan baru
Efisiensi perusahaan baru
Penguasaan sumberdaya khususnya
material, penolong dan capital
Akses pada jalur distribusi
2 Posisi
Jumlah volume pembelian. Semakin
besar volume pembelian maka
kapasitas industri yang dibutuhkan semakin besar
Sifat produk apakah standard atau
sedikit berbeda
Elastisitas permintaan yang diukur
dari besarnya proporsi pengeluaran konsumen (proporsi kuantitas yang dibeli dan besarnya biaya pembelian) untuk produk industri. Semakin kecil proporsi maka pembeli tidak akan sensitf terhadap perubahan harga
Tingkat kualitas produk industri
3 Posisi
Tingkat dominasi beberapa pemasok
Posisi tawar pemasok (jumlah
pemasok dibandingkan jumlah
perusahaan pencari input)
Besarnya switching cost merespon
keleluasaan memilih pemasok
Sifat keterkaitan dan kemitraan
pemasok dan industri pengguna input 4 Produk
Perbedaan harga antarproduk yang
dapat disubstitusikan
Elastisitas substitusi yang juga dapat
mendeskripsikan market power
Perbedaan manfaat antarproduk yang
21
Jumlah pesaing dan konsentrasi pasar
Pertumbuhan industri
Tingkat diferensiasi produk
Tingkat switching cost
Besarnya fixed cost untuk produksi
Tingkat utilitas kapasitas
Tingkat hambatan (barrier) keluar
pasar
Variasi strategi yang dilakukan
pesaing
Sumber: Diadaptasi dari berbagai referensi
Praktek persaingan dinamik mutlak dibutuhkan oleh suatu
perekonomian yang mengalami pertumbuhan daya beli atau perbesaran
ukuran pasar karena praktek persaingan dinamik akan mendorong
pertumbuhan output industri dan pertumbuhan daya saing industri. Praktek
persaingan dinamik berbasis inovasi akan mendorong perusahaan dan
industri bekerja lebih efisien saat meningkatkan jumlah output produksi
dan memperbesar ukuran pasar. Efek makro keuntungan persaingan
dinamik adalah peningkatan surplus social (konsumen plus produsen).
Hasil penelitian Cuilenburd and Slaa (1995) menunjukan ada
korelasi positif antara persaingan dan inovasi untuk industry
telekomunikasi menggunakan data negara-negara OECD. Untuk
mempromosikan inovasi, tingkat perkembangan ekonomi suatu negara
menjadi mediasi penting, atau diartikan sebagai penjamin terjadinya
persaingan dinamik. Di lain pihak, jika persaingan dipraktekan tidak
22
dikatakan masih bersifat statik maka perusahaan akan mengalami
inefisiensi sehingga mengalami penurunan daya saing relatif terhadap
pesaing. Implikasinya bagi negara yang mencatat perkembangan kondisi
ekonomi maka secara teoritis akan kondusif untuk mendorong praktek
efisiensi dinamis. Jikapun praktek efisiensi dinamis sulit
diimplementasikan maka banyak perusahaan di suatu negara akan
mengalami penurunan daya saing maka industri tersebut akan kalah
bersaing dengan industry dari negara lain yang mempraktekan persaingan
dinamik.
2.4
Tantangan Implementasi
Indonesia memiliki tiga tantangan dalam mengimplementasikan AFTA
menuju AEC. Pertama, pendekatan lintas sektoral untuk meningkatkan
daya saing. Kendala yang dihadapi oleh Indonesia dalam menggerakkan
sektor industri dan perdagangan memunculkan tantangan bagi Indonesia
dalam menghadapi AEC. Agar bersaing dalam pasar perdagangan
internasional, pemerintah harus memprioritaskan pengembangan industri
yang berbasis pada bahan baku lokal. Oleh karena itu, pemerintah dan
dunia usaha perlu menyatukan visi (Soewandi 2004, 10).
Ketua Badan Kerjasama dan Penanaman Modal (BKPM) Theo F.
Toemion mengungkapkan bahwa tantangan dalam penyatuan visi ini dapat
23
2003). Theo melihat adanya satu kecenderungan dari masing-masing
departemen yang merasa ketakutan jika kewenangannya diambil. Padahal,
yang diperlukan saat ini adalah penyatuan visi bahwa Indonesia
memerlukan aliran investasi masuk. Pendapat ini diperkuat oleh mantan
Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu dalam presentasinya mengenai
AEC blue print di CSIS (2007). Ia menyebutkan bahwa pembinaan
sektoral yang telah terjadi dalam pembangunan Indonesia harus
ditingkatkan berdasarkan pendekatan lintas-sektoral untuk meningkatkan
daya saing ekonomi secara holistik. Menurutnya, pendekatan yang
ego-sektoral akan menghambat pelaksanaan komitmen Indonesia dalam AEC
blue print. Apabila hal ini terjadi, maka akan sangat menurunkan
kredibilitas Indonesia dalam ASEAN (Pangestu, 2007).
Jika dilihat dari pernyataan ketiga figur yang memiliki posisi penting
dalam pelaksanaan poin-poin AFTA di Indonesia tersebut, maka semakin
jelaslah bahwa tantangan berupa penyatuan visi antardepartemen memang
hal yang harus diperhatikan.
Kedua, persiapan matang pada sektor fasilitasi perdagangan. Aspek lain
yang menjadi tantangan bagi Indonesia dalam menerapkan AEC blue print
adalah fasilitasi perdagangan. Fasilitasi perdagangan menjadi salah satu
fokus yang diprioritaskan oleh pemerintah dalam memperlancar arus
24
sektor utama yang menunjang sektor perdagangan akan dapat
meningkatkan perdagangan internasional. Empat sektor itu adalah
pelabuhan, kepabeanan, peraturan, dan jasa infrastruktur
Pada aspek fasilitasi, Indonesia telah memiliki Direktorat Jenderal Bea
dan Cukai (DJBC) yang secara teratur telah menerbitkan segala informasi
mengenai kepabeanan. DJBC sekaligus menjadi National Single Window
yang bertugas melayani segala prosedur mengenai perdagangan ke luar
kawasan Indonesia. Namun, pusat informasi dan pelayanan yang mudah
diakses bagi masyarakat umum belum dapat direalisasikan. Akibatnya,
akses masyarakat yang berkepentingan dalam sektor perdagangan menjadi
terhambat. Kondisi ini diperparah oleh belum lengkapnya informasi yang
tersedia di DJBC, sebab DJBC hanya menyediakan informasi mengenai
peraturan kepabeanan (Damuri, 2006). Peraturan lain seperti kebijakan
perdagangan terbaru, peraturan transportasi dan lain-lain juga belum
tersedia lengkap di DJBC yang seharusnya menjadi pusat informasi
perdagangan ini. Sehingga, untuk mendapatkan informasi lengkap,
masyarakat umum yang berkepentingan dalam sektor perdagangan harus
mencari di tempat yang berbeda. Kondisi semacam ini bisa jadi
memperlambat terjadinya perdagangan internasional.
Sementara itu, di antara empat sektor fasilitasi perdagangan yang telah
25
kebijakan, dan pembiayaan), hanya beberapa sektor saja yang disediakan
dalam e-service DJBC melalui situs resminya.
Dari keseluruhan pelaksanaan fasilitasi perdagangan di Indonesia
terlihat bahwa masih terdapat kelemahan dalam pelaksanaannya. Hasil
survei yang disampaikan dalam Asia Pasific Research and Training
Network on Trade (ARTNet) Working Paper No.10 menunjukkan bahwa
kondisi fasilitasi perdagangan di Indonesia masih jauh dari yang
diharapkan (Damuri, 2006). Kelemahan utama dalam pemberian fasilitasi
perdagangan di Indonesia menurut Damuri adalah tingginya ketidakpastian
dan rendahnya keseragaman dalam penerapan aturan yang terkait dengan
perdagangan internasional.
Ketiga, antisipasi persiapan dan fleksibilitas sektor sensitif atau
menguasai hajat hidup orang banyak. Sebagaimana dikemukakan, bahwa
sejak awal periode pembangunan hingga saat ini, produk ekspor Indonesia
masih berbasis pada sumber daya alam dan produk manufaktur yang
berteknologi rendah serta padat karya. Karakteristik dan spesialisasi
produk ekspor Indonesia untuk sektor industri didominasi produk tekstil,
kayu, dan minyak kelapa sawit merupakan produk yang minim sentuhan
teknologi.
Konsentrasi pada produk tersebut tidak saja karena faktor sumber daya
26
yang ada (Nurhemi, 2007). Maka, dengan keunggulan di sektor tersebut
perlu pula diperhitungkan agar celah yang sensitif ini tidak sampai tergilas
oleh laju industrialisasi yang modern hingga meminggirkan sektor yang
masih menjadi tumpuan hidup rakyat. Antisipasi dan persiapan perlu
diadakan secara koheren dan terkait antara produk dan faktor yang
mendukung seperti pendidikan, pelatihan, dan dukungan teknologi, agar
sektor unggulan ini menjadi lebih siap bersaing. Pengalaman menunjukkan
bahwa kurangnya persiapan dalam mengantisipasi liberalisasi
perdagangan menyebabkan lemahnya daya saing Indonesia.
Nurhemi (2007) menyebutkan adanya tiga sektor unggulan yang
menjadi celah sensitif bagi Indonesia. Pertama, tekstil dan produk tekstil
(TPT). Ekspor TPT Indonesia menjadi industri strategis dan andalan
penghasil devisa negara untuk sektor non-migas. Yang menjadi sisi sensitif
pada sektor ini adalah ekonomi biaya tinggi, yakni biaya bongkar muat
Indonesia yang jauh lebih mahal dibandingkan biaya di Singapura,
Thailand, Malaysia, dan Vietnam (Kompas, 2003).
Kedua, kayu. Pangsa pasar produk kayu Indonesia pada tahun 2004
cenderung turun dibandingkan dengan tahun 2003 Penurunan tersebut
antara lain disebabkan oleh berkurangnya produksi sebagai dampak
terbatasnya bahan baku, serta tekanan dari China dan Malaysia yang berani
27
Tantangan yang dihadapi oleh sektor produksi kayu Indonesia yang utama
dalah permasalahan di sektor hulu, yakni kelangkaan bahan baku akibat
maraknya illegal logging serta ekspor ilegal (Nurhemi, 2007). Maka,
diperlukan kebijakan yang ketat pula dalam mengawasi produksi ekspor
kayu. Selain itu, kondisi permesinan Indonesia yang kuno dan boros
menjadi titik lemah dibandingkan negara pesaing. Kemampuan yang
terbatas inilah yang menyebabkan ekspor produk jadi Indonesia juga
rendah.
Ketiga, minyak kelapa sawit (CPO). Pada pasar dunia, produk minyak
kelapa sawit Indonesia menghadapi saingan utama dari Malaysia. Kinerja
ekspor Malaysia juga lebih baik dibandingkan Indonesia disebabkan
karena pemerintah Malaysia mendukung ekspor CPO dengan
membebaskan secara penuh pajak terhadap komoditi CPO. Hal ini berbeda
dengan Indonesia yang hanya memberikan subsidi pupuk. Dari sisi
kebijakan Indonesia juga tidak memiliki kebijakan nasional
perkelapasawitan, misalnya pada bidang promosi. Malaysia, dalam hal ini
memiliki konsep integrasi pemasaran yang melancarkan promosi di tujuh
negara yang didanai oleh pemerintah (Nurhemi, 2007).
Dari penjelasan mengenai kendala dan tantangan yang dihadapi oleh
Indonesia dalam implementasi AFTA menuju AEC tersebut, terlihat
28
pelaksanaannya. Kendala yang terkait dengan peran pemerintah adalah
besarnya campur tangan pemerintah dalam perdagangan inernasional. Hal
ini menjadikan swasta merasa tidak leluasa melakukan perdagangan
internasional. Akibatnya juga berpengaruh pada rendahnya daya saing
produksi Indonesia. Kedua hal ini menjadi kendala bagi Indonesia dalam
pengimplementasian AFTA menuju MEA 2015.
Adapun tantangan yang muncul bagi Indonesia adalah mewujudkan
visi yang satu antar departemen melalui pendekatan lintas sektoral untuk
kemajuan perdagangan internasional Indonesia. Selain itu, penyempurnaan
fasilitasi perdagangan bagi kelancaran arus perdagangan serta persiapan
sektor sensitif menjadi hal yang tak kalah pentingnya untuk diperhatikan
sebagai tantangan bagi Indonesia.
Adapun tiga faktor yang dapat mempengaruhi daya saing produksi
suatu negara adalah akses pasar, kualitas produk, infrastruktur hukum dan
kebijakan dalam negeri (Dwisaputra dan Aryaji 2007).
Pertama, pada sisi akses pasar, Indonesia sebenarnya telah memiliki
pasar ASEAN yang tidak kecil. Setidaknya 550 juta penduduk ASEAN
merupakan pasar yang amat potensial bagi produk Indonesia. Namun,
komoditi dagang yang relatif sama antarnegara ASEAN menjadikan pasar
29
Kedua, di samping persaingan pasar, ternyata kualitas daya saing
produk Indonesia juga tertinggal dibanding negara ASEAN-5 yang
memiliki kelebihan pada inovasi dan teknologinya. Ekspor Indonesia pada
produk dengan dasar sumber daya alam memiliki nilai tertinggi dibanding
negara ASEAN-5 dengan nilai mencapai 75,20 persen pada tahun 1985,
38,80 persen tahun 1998, dan 33,70 persen pada tahun 2000. Namun, pada
produk dengan basis teknologi tinggi, Indonesia memiliki nilai terendah
yakni hanya 3 persen pada tahun 1985, 9,70 persen tahun 1998, serta 17,40
persen pada tahun 2000. Jika dibandingkan dengan Singapura, maka
Indonesia tertinggal jauh dengan nilai ekspor Singapura yang mencapai
61,20 persen pada tahun 2000 (Nurhemi, 2007).
Ketiga, infrastruktur hukum dan kebijakan tidak semapan negara
tetangga ASEAN lain. Kondisi ini mempengaruhi iklim perekonomian di
Indonesia, terutama sektor investasi yang menjadi pondasi ketersediaan
modal. Sebagai akibat dari ketidakpastian kebijakan perdagangan dan
kondisi yang menjadi masalah investasi tersebut, Indonesia tidak lepas dari
jeratan masalah investasi luar negeri. Dari data ASEAN Economic
Chartbook 2007 tampak bahwa ternyata nilai investasi langsung ke
Indonesia pernah mengalami minus. Bahkan, nilainya lebih fluktuatif
dibandingkan negara ASEAN lainnya. Seperti yang diungkapkan Rini
30
masih belum dapat meyakinkan investor dan banyaknya kasus pungutan
liar merupakan penyebab fluktuatifnya investasi di Indonesia (Soewandi,
2004).
Selain berdampak pada investasi, tidak mapannya kebijakan
pemerintah dalam sektor perdagangan khususnya juga berdampak pada
pemasaran hasil produksi dalam negeri. Salah satu contoh adalah gagalnya
account trade yang hendak dilakukan oleh PT Dirgantara Indonesia, PT
INKA, dan Pupuk Sriwijaya (PUSRI) dengan Thailand pada tahun 2004.
Pada saat itu, ketiga perusahaan ini telah mempersiapkan produksinya
dengan matang hingga siap diekspor ke Thailand. Namun, karena
pergantian pemerintahan pada waktu itu, proses ini terus ditunda dan
akhirnya tidak terlaksana hingga sekarang. Kerugian yang disebabkan oleh
kebijakan yang tidak berlanjut antarmasa pemerintahan ini mengakibatkan
produk yang telah dihasilkan harus dialihkan pada pasar yang lain.
Padahal, untuk mendapatkan pasar luar negeri bukanlah perkara yang
mudah.
2.5
Standardisasi dan Sertifikasi
Berkaitan dengan daya saing, menurut Kepala BSN Bambang Prasetya
(2005) “standardisasi menjadi pilar yang strategis untuk meningkatkan
daya saing terutama dalam melindungi pasar domestik, memperkuat
31
menjamin keselamatan, keamaanan, kesehatan, dan kelestarian
lingkungan”. Dari pernyataan di atas dapat disimpulkan bahwa pembakuan
atau standardisasi suatu hal akan berdampak pada kemampuan daya
saingnya.
Standar, atau lengkapnya standar teknis, adalah suatu norma atau
persyaratan yang biasanya berupa suatu dokumen formal yang
menciptakan kriteria, metode, proses, dan praktik rekayasa atau teknis
yang seragam. Suatu standar dapat pula berupa suatu artefak atau
perangkat formal lain yang digunakan untuk kalibrasi. Suatu standar
primer biasanya berada dalam yurisdiksi suatu badan standardisasi
nasional. Standar sekunder, tersier, cek, serta bahan standar biasanya
digunakan sebagai rujukan dalam sistem metrologi. Suatu kebiasaan,
konvensi, produk perusahaan, atau standar perusahaan yang telah diterima
umum dan bersifat dominan sering disebut sebagai "standar de facto”.
Oleh karenanya, standardisasi adalah penyesuaian bentuk (ukuran,
kualitas, dan sebagainya) dengan pedoman (standar) yang ditetapkan; bisa
juga diartikan pembakuan sesuatu. Sehubungan dengan standardisasi,
sertifikasi adalah pernyataan kesesuaian dengan standar tertentu.
Sertifikasi diberikan oleh lembaga pihak ketiga yang sudah diakreditasi
32
Komite Akreditasi Nasional (KAN) merupakan lembaga nonstruktural
yang berada di bawah dan bertanggungjawab kepada Presiden. Para
anggota KAN merupakan perwakilan dari para pemangku kepentingan
yang terdiri dari: instansi pemerintah, dunia usaha, konsumen,
cendekiawan dan kalangan profesional. KAN dibentuk berdasarkan
Keputusan Menteri Negara Riset dan Teknologi selaku Ketua DSN No.:
465/IV.2.06/HK.01.04/9 Tahun 1992 tentang Komite Akreditasi Nasional,
jucnto Keputusan Presiden Nomor 13 tahun 1997 tentang Badan
Standardisasi Nasional, juncto Keputusan Presiden Nomor 78 tahun 2001
tentang Komite Akreditasi Nasional.
KAN adalah satu-satunya lembaga yang diberi otoritas untuk
menyediakan jasa layanan akreditasi lembaga penilaian kesesuaian
(laboratorium, lembaga inspeksi, lembaga sertifikasi) di Indonesia. Secara
umum dapat dikatakan bahwa akreditasi adalah pengakuan formal yang
diberikan oleh badan akreditasi terhadap kompetensi suatu lembaga atau
organisasi dalam melakukan kegiatan penilaian kesesuaian tertentu.
Sertifikasi adalah pernyataan kesesuaian dari pihak ke tiga terkait dengan
produk, proses, sistem manajemen atau personal terhadap standar tertentu.
Lembaga Sertifikasi Sistem Manajemen Mutu (LSSM) adalah suatu
lembaga yang menerbitkan sertifikat ISO 9001 kepada organisasi. LSSM
33
dan IAF GD 2:2005 (IAF Guidance 62 Issued 4). Ketentuan itu berlaku
hingga 15 Maret 2008, setelah tanggal tersebut seluruh LSSM harus
memenuhi ketentuan yang terdapat dalam ISO/IEC 17021:2006 dan Annex
dari IAF GD 2:2005. Berdasarkan Nace Code, terdapat 39 ruang lingkup
akreditasi bagi LSSM. Ruang lingkup tersebut dapat dilihat pada Annex
IAF GD 2:2005.
Sertifikat ISO 9001 berlogo LSSM dan KAN diakui secara
internasional khususnya di negara- negara yang menandatangani MLA
PAC/IAF karena KAN juga merupakan penandatangan MLA PAC/IAF.
Untuk melakukan sertifikasi, tujuannya harus jelas, apakah pengajuan
sertifikasi untuk produk (SNI Produk) atau hanya sistem manajemen saja
(SNI ISO 9001:2008, SNI ISO 14000)? Setelah itu, apakah standar untuk
produk atuapun tersebut sudah ada atau belum di sini, jika belum ada
standar terkait, maka belum bisa dilakukan sertifikasi. Jika sudah ada
standar SNI nya, maka tinggal mencari LS-PRO mana yang memiliki
kompetensi sesuai dengan ruang lingkup SNI yang telah terakreditasi oleh
Komite Akreditasi Nasional (KAN). LS PRO tersebut akan memberikan
34
BAB III
METODOLOGI KAJIAN
3.1
Pendekatan Kajian
Pendekatan kajian lebih kepada pendekatan pragmatis di mana sifat
kemamputerapan hasil kajian pada tataran operasional, lebih diutamakan
daripada sifat keilmiahan penelitian pada umumnya. Penelitian kebijakan
tetap mengikuti prosedur umum penelitian yang berlaku, disertai dengan
sifat spesifiknya. Oleh karena tujuan penelitian kebijakan adalah
mendukung kebijakan, maka penelitian ini bersifat khas, namun tidak
berarti mengada-ada. Penelitian kebijakan hadir untuk mengilmiahkan
kebijakan atau menghasilkan kebijakan yang dapat
dipertanggungjawabkan secara ilmiah, dalam batas-batas yang tidak
berbenturan keras dengan political will atau lingkungan sosial politik di
suatu negara.
3.2
Metode Analisis
Penelitian dilakukan dengan mereview literatur-literatur relevan yang
aktual terkait FTA dan dampaknya terhadap persaingan usaha di Banten.
Selain FTA, literatur tentang AFTA dan MEA juga menjadi objek kajian
35
dilakukan secara deduktif dimana pola yang terjadi secara nasional, coba
diterapkan pada kasus lokal yaitu Provinsi Banten. Deduktif di kajian ini
juga dilakukan dengan menganalisis berdasarkan teori Five Force’s Porter
yangj dimodifikasi terkait dengan persaingan usaha.
Studi literatur adalah teknik yang dipilih kajian ini di mana review
secara kritis dan hati-hati dilakukan terhadap literatur-literatur pada topik
terkait. Studi literatur dipilih sebagai teknik kajian karena penelitian
terkait dampak FTA terhadap persaingan usaha di Banten, belum pernah
dilakukan dan dipublikasikan. Akan tetapi, referensi terkait FTA dan
referensi tentang persaingan usaha Provinsi Banten sudah tersedia cukup
banyak. Referensi-referensi ini berupa artikel jurnal sehubungan dengan
topik FTA, artikel media elektronik, data fisik maupun elektronik dari
instansi berwenang dan juga makalah ilmiah. Lebih spesifik lagi, objek
kajian penelitian adalah FTA dan dampaknya bagi persaingan usaha di
Provinsi Banten.
Analisis data dilakukan dengan menglasifikasi data, menguraikan dan
menjelaskan istilah, mencari hubungannya dan menentukan polanya,
terakhir dilakukan penarikan kesimpulan dari pola itu untuk dijadikan
36
3.3
Jenis Data
Data dalam kajian ini terdiri dari dua jenis, yaitu data primer dan
sekunder. Data primer bersumber dari pemangku kepentingan utama kajian
ini yaitu Biro Ekonomi dan Administrasi Pembangungan Provinsi Banten.
Selain itu, data primer juga diambil dari informan yang memiliki
pengalaman praktis 25 tahun berkecimpung di dunia UMKM secara
struktural di Dinas Koperasi dan UMKM Provinsi, Disperindag Provinsi
Banten, dan BPTSI Banten. Pelaku bisnis dan akademisi juga dimintai
pendapatnya. Data sekunder bersumber dari artikel ilmiah, opini pakar
ekonomi, versi cetak regulasi persaingan usaha dari KPPU, laporan BPS
Provinsi Banten.
3.4
Teknik Pengumpulan Data
Data primer dikumpulkan dengan mewawancara secara mendalam
(indept interview) para pemangku kepentingan khususnya dari para
pembuat kebijakan di Biro Ekonomi dan Administrasi Pembangunan
Provinsi Banten. Selain wawancara mendalam, dengan subyek yang sama,
dilakukan juga small group discussion. Wawancara rahasia dilakukan
untuk mengondisikan suasana perbincangan yang hangat agar informan
37
Data sekunder dikumpulkan dengan menelusur seluruh artikel ilmiah,
berita dari surat kabar, opini para ekonom, yang semuanya terdapat di
dunia maya. Selain itu, data dari Badan Pusat Statistik Provinsi Banten
yang menjadi rujukan utama khususnya dalam penggambaran wilayah
kajian.
3.5
Waktu dan Lokus Kajian
Kajian dilaksanakan selama dua bulan dengan mengambil lokus utama
adalah Provinsi Banten. Kajian selesai akhir bulan Oktober tahun 2015.
Secara lebih rinci, garis besar kegiatan selama kajian berlangsung dapat
dilihat pada tabel di bawah ini.
Tabel 3-1 Jadwal Pelaksanaan Kajian
No Kegiatan Pekan ke
38
3.6
Kredibilitas dan Dependabilitas
Kredibilitas data ditentukan dengan melihat sumbernya, menambah
artikel pendukung lain, atau membandingkan dengan data dari sumber lain.
Selain itu, penilaian subjektif peneliti juga digunakan untuk menentukan
tingkat kredibilitas data. Kajian ini tetap memiliki dependabilitas yang
cukup dengan sistematika pelaksanaan yang bisa direplikasi oleh peneliti
lain. Walaupun hasilnya bisa jadi sangat berbeda karena permasalahan
yang dikaji dalam kajian ini merupakan permasalahan aktual yang masih
39
BAB IV
PEMBAHASAN
4.1
Gambaran Umum Wilayah Kajian
Provinsi Banten terbentuk pada Tahun 2000 melalui Undang-undang
Nomor 23 Tahun 2000 tentang Pembentukan Provinsi Banten, dimana
sebelumnya merupakan bagian dari wilayah Provinsi Jawa Barat. Pada
Tahun 2012. Provinsi ini terdiri dari 4 kabupaten dan 4 kota, antara lain:
Kabupaten Pandeglang, Kabupaten Lebak, Kabupaten Tangerang,
Kabupaten Serang, Kota Tangerang, Kota Cilegon, Kota Serang, Kota
Tangerang Selatan. Pusat pemerintah Banten terletak di Ibukota Provinsi
yaitu Kota Serang, secara spesifik, terletak di Kawasan Pusat Pemerintahan
Provinsi Banten (KP3B)
4.1.1 Geografis
Wilayah Banten terletak di
antara 5º7'50"-7º1'11" Lintang
Selatan dan 105º1'11"-106º7'12"
Bujur Timur, berdasarkan
Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 23 tahun 2000 luas
40
wilayah Banten adalah 9.160,70 km². Provinsi Banten terdiri dari 4 kota, 4
kabupaten, 154 kecamatan, 262 kelurahan, dan 1.273 desa. Wilayah laut
Banten merupakan salah satu jalur laut potensial, Selat Sunda merupakan
salah satu jalur lalu lintas laut yang strategis karena dapat dilalui kapal
besar yang menghubungkan Australia dan Selandia Baru dengan kawasan
Asia Tenggara misalnya Thailand, Malaysia, dan Singapura. Di samping
itu Banten merupakan jalur penghubung antara Jawa dan Sumatera. Bila
dikaitkan posisi geografis, dan pemerintahan maka wilayah Banten
terutama daerah Tangerang Raya (Kota Tangerang, Kabupaten Tangerang,
dan Kota Tangerang Selatan) merupakan wilayah penyangga bagi Jakarta.
Wilayah Provinsi Banten juga memiliki beberapa pelabuhan laut yang
dikembangkan sebagai antisipasi untuk menampung kelebihan kapasitas
dari pelabuhan laut di Jakarta, dan ditujukan untuk menjadi pelabuhan
alternatif selain Singapura.
4.1.2 Sumber Daya Manusia
Penanda bagi kualitas sumber daya manusia sebuah daerah, dapat
dilihat dari kualitas pendidikan, kesehatan dan penghasilan masyarakatnya.
Secara eksplisit ketiga hal ini diakumulasi ke dalam persentase dan
41 Indeks Pembangunan Manusia (IPM)
Indeks Pembangunan Manusia (IPM) mengukur capaian
pembangunan manusia berbasis sejumlah komponen dasar kualitas hidup.
Sebagai ukuran kualitas hidup, IPM dibangun melalui pendekatan tiga
dimensi dasar. Dimensi tersebut mencakup umur panjang dan sehat;
pengetahuan, dan kehidupan yang layak. Ketiga dimensi tersebut memiliki
pengertian sangat luas karena terkait banyak faktor. Untuk mengukur
dimensi kesehatan, digunakan angka harapan hidup waktu lahir.
Selanjutnya untuk mengukur dimensi pengetahuan digunakan gabungan
indikator angka melek huruf dan rata-rata lama sekolah. Adapun untuk
mengukur dimensi hidup layak digunakan indikator kemampuan daya beli
masyarakat terhadap sejumlah kebutuhan pokok yang dilihat dari rata-rata
besarnya pengeluaran per kapita sebagai pendekatan pendapatan yang
mewakili capaian pembangunan untuk hidup layak.
Tabel 4-1 Data IPM Provinsi Banten
42
Pada tabel 4-1 di atas, dapat disimpulkan bahwa dari semua wilayah
administrasi pembangunan Provinsi Banten, Kabupaten Pandeglang dan
Kabupaten Lebak memiliki IPM yang paling rendah dibandingkan dengan
kabupaten atau kota lain di Banten. Keduanya sampai saat ini belum pernah
mencapai angka IPM 70. Hal ini mengindikasikan bahwa pada saat MEA
2015 dilaksanakan, kedua kabupaten ini merupakan kabupaten yang harus
sesegera mungkin meningkatkan kualitas SDMnya. Sementara itu,
Kabupaten Serang juga mengalami hal serupa di lima tahun berjalan ke
belakang. Hanya saja pada tahun 2013 Kabupaten Serang berhasil
memerolah capaian IPM sebesar 70,25.
Ketenagakerjaan
Ketenagakerjaan suatu provinsi bisa dilihat dari banyak sisi. Pada
umumnya, angka angkatan kerja, jumlah tenaga kerja, dan juga tingkat
pengangguran, menjadi 3 indikator utama bagaimana kondisi
ketenagakerjaan sebuah provinsi. Pada kajian ini, lapangan pekerjaan
utama dipilih untuk menggambarkan kondisi ketengakerjaan Banten. Hal
ini dilakukan karena pada situasi persaingan karena adanya MEA 2015,
AFTA dan FTA, dapat diantisipasi secara faktual di persaingan lapangan
kerja berdasarkan lapangan pekerjaan apa yang banyak didiami oleh tenaga
43
Stuktur penduduk Provinsi Banten yang bekerja menurut lapangan
pekerjaan utama selama satu tahun terakhir tidak berubah secara
signifikan, hanya terjadi pergeseran sektor yang paling banyak menyerap
tenaga kerja dari sektor perdagangan menjadi sektor industri. Hal tersebut
dapat dilihat pada Tabel 2. Penyerapan tenaga kerja sektor Industri
sebanyak 1.322 ribu orang (25,38 persen) disusul oleh sektor perdagangan
yang menyerap 1.259 ribu orang atau 24,18 persen penduduk yang bekerja.
Secara keseluruhan, terjadi perubahan jumlah penduduk yang bekerja di
masing masing sektor (lapangan pekerjaan utama).
Kenaikan jumlah penduduk yang bekerja secara total, tidak disertai
dengan kenaikan jumlah orang bekerja di setiap sektor. Selama periode
Februari 2014 – Februari 2015, kenaikan jumlah pekerja didukung oleh
kenaikan pekerja di sektor industri, konstruksi dan jasa kemasyarakatan.
Untuk lebih memerjelas kondisi ketenagakerjaan Banten dari sisi lapangan
44 Tabel 4-2 Penduduk Berusia 15 Tahun ke Atas yang Bekerja
Menurut Lapangan Pekerjaan Utama 2014–2015 (ribu orang)
Lapangan Pekerjaan Utama
2014 2015
Februari Agustus Februari
Pertanian 712 605 695
Jasa Kemasyarakatan 939 885 1.020
Lainnya 66 92 49
Jumlah 4.938 4.854 5.208 Sumber: Bank Indonesia cabang Banten
4.1.3 Ekonomi
Kondisi perekonomian global yang masih belum stabil berdampak
pada penurunan kinerja ekspor-impor Provinsi Banten. Ekspor ke negara
tujuan utama seperti Amerika Serikat dan Jepang mengalami penurunan di
triwulan II-2015 melanjutkan tren penurunan sejak triwulan IV-2014.
Ekspor ke Tiongkok yang pada triwulan I-2015 sempat membaik saat ini
kembali mengalami penurunan. Sementara ekspor yang menunjukkan
45
Sedangkan kinerja impor tumbuh positif berdasarkan negara mitra dagang
utama hanya Tiongkok sebesar 5,46%. Berdasarkan jenis barang,
penurunan impor terjadi di ketiga jenis penggunaan baik barang modal,
barang konsumsi maupun bahan baku.
Tabel 4-3 Negara Tujuan Ekspor Banten
Sumber: Bank Indonesia cabang Banten
Dari tabel tabel 4-3 di atas, dapat disimpulkan bahwa jumlah
terbeser ekspor Banten ke luar negeri baik pada tahun 2014 maupun 2015,
adalah ke negara-negara ASEAN. Walaupun jika diperhatikan lebih jauh
lagi, pembandingan triwulan I dan II antara tahun 2014 dan 2015, terjadi
46
4.2
Hubungan MEA 2015, AFTA dan FTA
4.2.1 MEA 2015
ASEAN Economic Community (AEC) 2015 atau yang lebih dikenal
MEA 2015, adalah sebuah kesepahaman dan kesepakatan geografis yang
didorong oleh kepentingan yang sama dari para anggotanya. Bangunan
MEA 2015 ditopang oleh 4 pilar sebagaimana digambarkan berikut ini.
Sumber: diambil dari http://bsn.go.id/main/berita/berita_det/4492#.VjLmWzYVjDc
Gambar 4-2 Bangunan MEA 2015
Bangunan AEC 2015/MEA 2015 di atas, ditopang oleh empat tiang
antara lain: pertama, menjadikan ASEAN sebagai pasar tunggal dan basis
47
untuk melakukan investasi dan meningkatkan perdagangan di ASEAN
dalam bentuk barang, jasa, tenaga kerja, investasi dan modal.
Pilar kedua, menjadikan ASEAN sebagai wilayah yang kompetitif,
di mana masing-masing anggota ditargetkan untuk memiliki
kebijakan-kebijakan di bidang persaingan usaha, perlindungan konsumen, dan
pengembangan hak cipta. Pilar kedua ini lebih kepada capacity building,
di mana masing-masing anggota diharapkan mampu mengembangankan
aspek-aspek tersebut, sehingga dengan demikian dia menjadi lebih
kompetitif.
Pilar ketiga, menjadikan ASEAN sebagai wilayah yang
pertumbuhan ekonominya merata. Dalam hal ini ada dua program yang
dikembangkan, pertama adalah pengembangan industri kecil dan
menengah (IKM), dimana Indonesia mendapat tugas untuk
mengembangkan common curriculumnya, dan sudah diselesaikan.
Common curriculum tentang UKM tidak diwajibkan bagi semua anggota
ASEAN, ini hanya sebagai referensi jika ada anggota ASEAN yang ingin
mengembangkan jiwa entrepreneur kepada para pelajar atau
mahasiswanya maka bisa merujuk kurikulum tersebut.
Pilar keempat, menjadikan ASEAN sebagai kawasan yang
terintegrasi dengan kawasan ekonomi global. Implementasinya dilakukan
48
Zealand, Korea dan Jepang, di mana ke depan mungkin juga dilakukan
dengan UE dan AS.
4.2.2 AFTA
AFTA disepakati pada
tanggal 28 Januari 1992 di
Singapura. Pada awalnya ada
enam negara yang menyepakati
AFTA, yaitu; Brunei
Darussalam, Indonesia,
Malaysia, Filipina, Singapura dan
Thailand. Vietnam bergabung dalam AFTA tahun 1995, sedangkan Laos
dan Myanmar pada tahun 1997, kemudian Kamboja pada tahun 1999.
Tujuan AFTA adalah meningkatkan daya saing ekonomi negara-negara
ASEAN dengan menjadikan ASEAN sebagai basis produksi pasar dunia,
untuk menarik investasi dan meningkatkan perdagangan antar anggota
ASEAN.
Awalnya dalam kesepakatan, AFTA direncanakan beroperasi penuh
pada tahun 2008 namun dalam perkembangannya dipercepat menjadi
tahun 2003. Mekanisme utama untuk mencapai tujuan di atas adalah skema
“Common Effective Preferential Tariff” (CEPT) yang bertujuan agar
barang-barang yang diproduksi di antara negara-negara ASEAN yang
49
memenuhi ketentuan setidak-tidaknya 40% kandungan lokal akan dikenai
tarif hanya 0-5%. Anggota ASEAN mempunyai tiga pengecualian CEPT
dalam tiga kategori:
1. Pengecualian sementara
2. Produk pertanian yang sensitif
3. Pengecualian umum lainnya.
Untuk kategori pertama, pengecualian bersifat sementara karena pada
akhirnya diharapkan akan memenuhi standar yang ditargetkan, yakni
0-5%. Sedangkan untuk produk pertanian sensitif akan diundur sampai 2010.
Dapat disimpulkan, paling lambat 2015 semua tarif di antara negara
ASEAN diharapkan mencapai titik 0%. AFTA dicanangkan dengan
instrumen CEPT, yang diperkenalkan pada Januari 1993. ASEAN pada
2002, mengemukakan bahwa komitmen utama dibawah CEPT-AFTA
hingga saat ini meliputi 4 program, yaitu:
1. Program pengurangan tingkat tarif yang secara efektif sama di
antara negara-negara ASEAN hingga mencapai 0-5%.
2. Penghapusan hambatan-hambatan kuantitatif (quantitative
restrictions) dan hambatan-hambatan non tarif (non tarif barriers).
3. Mendorong kerjasama untuk mengembangkan fasilitasi
perdagangan terutama di bidang bea masuk serta standar dan
50
4. Penetapan kandungan lokal sebesar 40%.
Untuk Indonesia, kerjasama AFTA merupakan peluang yang cukup
terbuka bagi kegiatan ekspor komoditas pertanian yang selama ini
dihasilkan dan sekaligus menjadi tantangan untuk menghasilkan
komoditas yang kompetitif di pasar regional AFTA. Upaya ke arah tersebut
nampaknya masih memerlukan perhatian serta kebijakan yang lebih serius
dari pemerintah maupu para pelaku agrobisnis, mengiungat beberapa
komoditas pertanian Indonesia saat ini maupun di masa yang akan datang
masih akan selalu dihadapkan pada persoalan-persoalan dalam
peningkatan produksi yang berkualitas, permodalan, kebijakan harga dan
nilai tukar serta persaingan pasar di samping iklim politis yang tidak
kondusif bagi sektor pertanian.
Secara umum produk Indonesia siap berkompetisi. Misalnya, minyak
kelapa sawit, tekstil, alat-alat listrik, gas alam, sepatu dan garmen. Tetapi,
banyak pula yang akan tertekan berat memasuki AFTA, diantaranya
produk otomotif, teknologi informasi dan produk pertanian. Era AFTA,
peran negara dalam perdagangan sebenarnya akan direduksi secara
signifikan. Sebab, mekanisme tarif yang merupakan wewenang negara
dipangkas.
Oleh karena itu, diperlukan perubahan paradigma yang sangat
51
negara menjadi kemampuan perusahaan untuk bersaing. Tidak saja secara
nasional atau regional dalam AFTA, namun juga secara global. Karena itu,
kekuatan manajemen, efisiensi, kemampuan permodalan dan keunggulan
produk menjadi salah satu kunci keberhasilan. Sebagai salah satu anggota
ASEAN, Indonesia masih menghadapi beberapa kendala diantaranya
adalah : dari segi penegakan hukum, lembaga-lembaga yang seharusnya
memperlancar perdagangan dan dunia usaha masih dilanda KKN, luasnya
wilayah mempersulit pengawasan keluar masuknya barang selundupan,
dan sebagainya. Selain itu juga masih relatif lemah dalam hal infrastruktur,
pengelolaan Pendidikan Tingkat Tinggi, penguasaan teknologi serta
inovasi bisnis.
Padahal untuk parameter pasar yang efisien tentunya terdapat
subindikator yang sangat penting yaitu intensity of local competition,
effectiveness of antimonopoli policy dan Extent of market dominance.
Untuk Indonesia, ketiga subindikator tersebut dikategorikan kompetitif,
sehingga secara keseluruhan peringkat produk barang Indonesia lebih baik
dibandingkan negara China, India dan negara lain di ASEAN (kecuali
Singapura dan Malaysia).
Namun, selain menghadapi berbagai persoalan, AFTA jelas juga
membawa sejumlah keuntungan. Pertama, barang-barang yang semula
52
harga lebih murah. Kedua, sebagai kawasan yang terintegrasi secara
bersama-sama, kawasan ASEAN akan lebih menarik sebagai lahan
investasi. Indonesia dengan sumber daya alam dan manusia yang
berlimpah mempunyai keunggulan komparatif. Namun, peningkatan SDM
merupakan keharusan. Ternyata, kemampuan SDM kita sangat rendah
dibandingkan dengan Filipina atau Thailand.
4.2.3 FTA
Sebagai bagian dari masyarakat dunia, ASEAN perlu untuk
mengintegrasikan diri dengan kawasan kerja sama lain atau negara lain di
luar anggotanya. Sehubungan juga dengan pilar keempat dari bangunan
MEA 2015, yang menitikberatkan tentang pentingnya integrasi ekonomi
dengan pihak luar, maka negara anggota ASEAN membina partnerhip
dengan sejumlah negara seperti Cina dalam ACFTA; Jepang dalam
AJCEP; Korea dalam AKFTA; India dalam AIFTA, dan Australia serta
Selandia Baru dalam AANZFTA; menjadi mutlak diperlukan. Kondisi ini
telah menempatkan semua pihak yang bekerja sama dalam posisi yang
dapat meningkatkan level perekonomiannya dengan negosiasi yang
komprehensif.
Secara spesifik –misalnya untuk kasus ACFTA- Indonesia dan
ASEAN saat ini sedang dalam proses mengintegrasikan ekonomi