I
NDONESIA DALAMF
ILMB
ALIBOF
IVEI
NDONESIA INB
ALIBOF
IVEM
OVIENalal Muna
Program Studi Manajemen Pemasaran, Politeknik APP Jakarta
Jl. Timbul No. 34 Cipedak Jagakarsa Jakarta Selatan, Indonesia. (021) 7270215 Email:
nalal.muna@gmail.com
diterima tanggal 15 Desember 2016 | direvisi tanggal 02 Mei 2017 | disetujui tanggal 08 Juni 2017
ABSTRACT
Indonesia is described as cold-blooded, brutal, sadistic, cruel and inhumanity like a monster in Australian film, Balibo Five. This research aims to describe the representation of Indonesian in cinematography package and to find the dominant ideology. Semiotic is used to answer these objectives by observing three level of signs e.g. reality, representations and ideology. The result shows that there are some forms of violation which committed by Indonesian special forces troops such as assassination, torture, persecution and other cruel and human degrading treatment that violate human rights and accused them as war criminal. In addition, dominant ideology which operates is in form of demonization, dehumanization and sentiment towards Indonesia. Based on the result, this film become propaganda which potentially influence its viewer the spirit of anti-Indonesia especially amongst Australian to sympathize and uphold justice for the victims.
Keywords:
indonesia, balibo five, film, representation, semiotics
ABSTRAK
Indonesia dalam film Balibo Five digambarkan sebagai yang kejam, brutal dan tidak manusiawi seperti sosok monster. Penelitian ini mengungkap penggambaran Indonesia dan makna di balik penggambaran sinematografi film. Analisis semiotika digunakan untuk membaca tanda-tanda sinematografi yang menyusun film tersebut dengan melihat pada tigal level tanda yakni level reality, representations dan ideology. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dalam Balibo Five banyak sekali menonjolkan tindak kekerasan yang dilakukan oleh tentara Indonesia seperti pembunuhan, penyiksaan, penganiayaan dan lain sebagainya yang merujuk pada pelanggaran HAM dan kejahatan perang. Dominan ditampilkan dalam bentuk penyerupaan terhadap setan, merendahkan martabat manusia dan penyebaran kebencian. Ini merupakan media propaganda anti-Indonesia yang menyulut sentimen terhadap Indonesia serta mempengaruhi warga Australia agar bersimpati dan berpartisipasi untuk menegakkan keadilan terhadap para korban tersebut.
Kata kunci : indonesia, balibo five, film, representasi, semiotika
I.
PENDAHULUAN
Pada tahun 2014, Australian Federal Police
(AFC) memutuskan untuk mengakhiri penyelidikan
kasus Balibo Five atas Indonesia dikarenakan
bukti-bukti yang tidak cukup untuk membukti-buktikan adanya
pelanggaran hukum. Keputusan ini mendapat protes
dari berbagai pihak khususnya International
Federations of Journalist (IFJ) Australia yang
menyurakan penegakan hukum atas lima jurnalis
Australia yang dibunuh dengan kejam oleh tentara
Indonesia di Timor Leste pada tahun 1975.
Meskipun sudah lebih dari empat puluh tahun
tragedi tersebut berlalu, namun, kejadian tersebut
masih membekas di hati keluarga dan warga
Australia (BBC, 2014).
Perjuangan penegakan hukum terus berlanjut
hingga sekarang, beberapa usaha untuk mengenang
dan mengobarkan semangat penegakan HAM
dilakukan dari pihak keluarga dan jurnalis
Australia, diantaranya adalah Balibo House Trust
merupakan yayasan kemanusiaan yang didirikan
oleh pemerintahan Victoria pada tahun 2002 untuk
mengenang lima jurnalis Australia yang terbunuh di
Balibo. Sedangkan film Balibo Five merupakan
film semi dokumenter yang dibuat oleh Arenamedia
pada tahun 2009.
Awal diperkenalkan ke pasar pada tahun 2009,
Balibo Five telah menuai berbagai kontorversi dan
berujung pada pelarangan izin tayang oleh Lembaga
Sensor Film (LSF). LSF secara khusus menilai
adegan pembunuhan lima wartawan asing dalam
kemelut Balibo, pada awal masuknya militer
Indonesia ke Timor Leste (dulu Timor-Timur)
sebagai sadisme. LSF juga menilai skenario film ini
dianggap tidak dapat dipertanggungjawabkan
(Tempo, 2009).
Film Balibo Five mengisahkan tentang
tewasnya lima wartawan Australia saat meliput
invasi Indonesia ke Balibo, Timor-Timur pada
tahun 1975. Invasi tentara Indonesia ke
Timor-Timur bertujuan untuk memusnahkan gerakan
komunis di Timor Leste yang dipimpin oleh
Fretilin. Bagi Indonesia, pada saat Fretilin
mengumumkan pemerintahan atas Timor Timur,
dianggap sebagai suatu ancaman karena Fretilin
berhaluan komunis dan Indonesia khawatir akan
muncul negara Kuba yang baru di Asia Tenggara.
Invasi besar-besaran di Balibo merupakan usaha
menyukseskan propaganda US anti-communism
yang sedang gencar-gencarnya digalakkan pada
masa itu.
Munculnya kontroversi Balibo Five
membuktikan bahwa film tersebut sempat menjadi
agenda di beberapa media massa dan memunculkan
perbedaan interpretasi atau pemaknaan bagi
beberapa pihak. Beberapa pihak menganggap
kemunculan Balibo Five sebagai ancaman bagi
bangsa Indonesia. Namun di lain pihak, Balibo Five
memiliki arti penting bagi penegakan HAM di
Indonesia. Kontrovesi ini terjadi karena muatan
sadisme yang digambarkan dalam Balibo Five
mengenai sosok tentara Indonesia.
Film sebagai produk media massa dapat
digunakan sebagai media untuk menyuntikkan
ideologi tertentu atau menyampaikan pesan dari
pembuatnya kepada khalayak. Film merupakan
media yang efektif untuk mempengaruhi perilaku
individu maupun sosial melalui muatan pesan
berupa adegan dan cerita yang disuguhkannya
(Jufry, 1994). Begitu juga dengan film Balibo Five
yang sarat makna tersembunyi yang hendak
disampaikan oleh sang sutradara kepada khalayak
melalui adegan-adegan, narasi, tokoh dan alur yang
menarik untuk dikaji lebih dalam.
Film merupakan bidang kajian yang amat
relevan bagi analisis semiotika. Seperti
dikemukakan oleh Van Zoest dalam Sobur (2003),
film dibangun melalui tanda. Pada film digunakan
tanda-tanda ikonis, yakni tanda-tanda yang
menggambarkan sesuatu. Gambar yang dinamis
dalam film merupakan ikonis bagi realitas yang
dinotasikannya. Unsur utama dalam film adalah
gambar dan suara. Film menuturkan ceritanya
dengan cara berbeda yaitu melalui bingkisan
sinematografi kamera dan pertunjukannya melalui
proyektor dan layar. Sehingga film seakan-akan
mengemas realita sehingga realita yang ditampilkan
dalam media massa adalah hal yang nyata.
Sebenarnya, realitas tersebut merupakan realita
yang sudah diseleksi dan merupakan cerminan dari
realitas yang ada.
Film ditinjau dari paradigma kritis,
membentuk sebuah realitas semu yang
Representasi adalah suatu proses menghadirkan
kembali suatu realita sesuai dengan kode-kode dan
konvensi yang ada dalam suatu masyarakat tentang
dunia di luar dirinya (external reality) (Rayner,
2001). Melalui representasi ini, film berusaha
bercerita dan memukau khalayak dengan bahasa
khusus sebagai suatu pesan yang dikonstruksikan
kepada penonton. Suatu proses seleksi yang jeli dari
suatu institusi pembuat film untuk menghadirkan
makna tetap dengan menampilkan suatu realitas
yang sudah ditandai dan ingin ditonjolkan ataupun
diacuhkan. Representasi inilah yang dapat
digolongkan sebagai suatu pesan yang
mencerminkan si pembuat pesan. Produser
memberikan apa yang penonton inginkan dan
penonton tentunya juga menginginkan kepuasan
saat menonton film. Sehingga representasi
merupakan gambaran dari masyarakat secara umum
yang menjadi tolok ukur norma sosial, nilai-nilai
dan kepentingan masyarakat secara umum (Croteau
& Hoynes, 2000).
Film dibuat bukan dengan ketidaksengajaan
juga bukan tanpa maksud. Film sengaja dibuat
dengan banyak tujuan. Di antaranya untuk tujuan
agar supaya ditonton, menghasilkan banyak uang
sebagai perputaran film, mendapat penghargaan,
menggugah kesadaran penonton tehadap isu global
yang sedang berkembang, bahkan untuk tujuan
pribadi seperti dokumentasi pernikahan, keluarga
dan lain-lain. Hal inilah yang menjadikan film
sebagai suatu alat pengaruh untuk merekayasa
pesan-pesan tertentu kepada khalayak. Pesan yang
ingin disampaikan kepada khalayak inilah tempat
bercokolnya ideologi. Ideologi adalah suatu sistem
pemaknaan yang membantu mengetahui dan
menjelaskan dunia agar dunia sekeliling kita
memiliki makna. Ideologi dalam pemahaman ini
berkenaan dengan suatu pandangan tentang
(worldview), sistem kepercayaan (belief system),
dan nilai-nilai (values). Film salah satunya
merupakan media penyebar ideologi, fasilitator
yang menjual pandangan hidup melalui perpaduan
produk, ide, personalitas dan worldview yang unik
yang dapat memengaruhi perilaku dan gaya hidup
masyarakat (Croteau & Hoynes, 2000).
Penelitian ini merupakan skripsi yang juga
ditulis dan diteliti oleh penulis yang sama dan telah
diterbitkan di repository Universitas Diponegoro.
II.
METODE PENELITIAN
Penelitian kualitatif ini berangkat pada hakikat
film yang dipahami sebagai bahasa yang tersusun
atas berbagai tanda yang mengandung makna. Data
yang dikumpulkan adalah berupa gambar-gambar
atau scene-scene, kata-kata atau dialog, narasi dan
unsur sinematik lainnya. Dalam menafsirkan sebuah
teks khususnya pada studi media massa (film), pada
dasarnya mencakup pencarian pesan dan
makna-makna dalam materinya, karena sesungguhnya basis
studi komunikasi adalah proses komunikasi, yang
intinya adalah makna. Semiotika digunakan sebagai
pisau bedah untuk mengungkap makna yang
terkandung dalam tanda-tanda sebagai wujud
representasi suatu objek dalam film (Endraswara,
2008).
Film merupakan gambar bergerak yang sama
dengan televisi. Oleh karenanya, kode-kode televisi
John Fiske digunakan untuk melihat gambaran
Indonesia dalam film Balibo Five serta makna pesan
yang terkandung dalam film ini. Kode-kode ini
nantinya akan diteliti sesuai dengan tahapan dalam
tiap levelnya. Gambaran dari tahapan dan
Sumber: Fiske, 2011 Source: Fiske, 2011
Gambar 1. Kode-Kode Televisi
Picture 1. The Television Codes
Semiotika televisi John Fiske memasukkan
kode-kode sosial ke dalam tiga level yaitu level
realitas (reality), representasi (representation) dan
level ideologi (ideology). Masing-masing level
memiliki kode-kode sosial yang mampu
mengonstruksi pesan dan juga membentuk ideologi
sebuah film.
III.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Film Balibo Five dianalisis secara sintagmatik
dan paradigmatik menggunakan kode televisi dari
Jhon Fiske. Analisis sintagmatik meliputi level
realitas dan representasi yang dilihat dari
tanda-tanda filmis yang menggambarkan Indonesia mulai
dari penampilan (appearance), kostum (dress) dan
riasan (make-up).
Analisis paradigmatik berusaha mengetahui
makna terdalam dari teks film tersebut dengan
menilik pada hubungan eksternal suatu tanda
dengan tanda lain. Bagaimana mitos-mitos
mengenai Indonesia ditampilkan dan bagaimana
posisi ideologis sang pengarang dalam
menggambarkan sosok Indonesia tersebut.
Dalam analisis ini, apa yang akan digali
sebagai makna laten adalah hadirnya mitos ataupun
pemitosan yang dilakukan sang pencipta film
terhadap Indonesia ataupun peristiwa yang
digambarkan dalam Balibo Five, di antaranya:
A.
Indonesia dan Pelanggaran HAM
Isu mengenai pelanggaran HAM yang
berujung pada kejahatan perang oleh tentara
Indonesia merupakan inti utama narasi yang ingin
ditonjolkan dalam Balibo Five. Kekerasan fisik
kepada para wartawan Australia ataupun kepada
rakyat Timor Portugis tergolong dalam pelanggaran
Hak Asasi Manusia (HAM) dan suatu kejahatan
perang. Semua warga dunia internasional harus
menghormati perlindungan HAM seperti diatur
dalam Piagam PBB Pasal 55 (c) yang
mengharuskan seluruh negara di dunia untuk
Level Satu: REALITY
Penampilan, busana, make-up, lingkungan, perilaku, dialog, gesture, ekspresi, suara dan lain-lain.
Kode ini ditransmisikan secara elektronik melalui kode-kode teknis seperti :
Level Dua:
REPRESENTATION
Kamera, Tata cahaya, editing, musik, sound yang mentransmisikan kode representasi konvensional yang membentuk representasi-representasi dari seperti : narasi, konflik, penokohan, action, dialog, setting, casting dan lain-lain.
Level Tiga: IDEOLOGY
Sumber: Frame Film Balibo Five, Hasil Penelitian Source: Frame on Balibo Five Movie, Research Result
Gambar 2. Beberapa Skena Penembakan Jurnalis Australia
Picture 2. Australian Journalist Shooting at few Scenes
menghormati dan taat terhadap HAM dan
kebebasan mendasar tanpa membedakan ras, jenis
kelamin, bahasa dan agama (Sujatmoko, 2005).
Dalam Balibo Five diceritakan tentara
Indonesia membunuh kelima wartawan asing yang
sedang bertugas meliput di Timor Portugis dengan
sadis. Pembunuhan merupakan suatu tindakan
menghilangkan nyawa seseorang dengan sengaja
atau melanggar hukum khususnya yang telah
direncanakan dan juga suatu penghilangan nyawa
dikarenakan suatu kebencian mendalam. Berbagai
motif pembunuhan bisa mendasari seseorang
menghilangkan nyawa orang lain. Dalam Balibo
Five, diceritakan bahwa tentara Indonesia
membunuh para wartawan asing untuk menutupi
kejahatan yang mereka perbuat. Pembunuhan
terhadap kelima wartawan Australia tersebut
dilakukan dengan berbagai cara, yang seperti pada
gambar 2.
Dalam gambar 2 diceritakan bahwa kelima
wartawan asing tersebut dibunuh dengan cara
ditembak oleh tentara Indonesia tanpa alasan yang
jelas. Baik Brian Peter, Gary Cunningham dan
Rennie Malcolm sudah mengangkat tangan yang
mengisyaratkan bahwa mereka menyerah dan tidak
akan berbuat apapun yang mengancam nyawa
mereka. Namun, tanpa belas kasihan pimpinan
tentara Indonesia dan tentara lainnya menjawab
isyarat mereka dengan peluru panas di kepala Brian
dan rentetan senapan ke Gary dan Rennie.
Penggunaan dialog yang menyertai adegan
tersebut ialah “bunuh dia!” dengan menggunakan bahasa Indonesia untuk menunjukkan identitas si
pembunuh yang berisi instruksi untuk membunuh
seseorang. Pemilihan kata “bunuh dia!” juga merupakan suatu kalimat perintah yang mengamini
pembunuhan para wartawan Australia tersebut yang
diasosiasikan dengan sifat bengis dan perilaku sadis
pelaku kejahatan. Meskipun pelanggar HAM ialah
tentara Indonesia seperti yang dituduhkan dalam
teks film, namun tanggung jawab tersebut ialah
tanggung jawab negara karena Indonesia sebagai
negara tidak mungkin dapat bertindak sendiri. Dan
seperti yang sudah diatur dalam commentary dari
draft ILC (International Law Commission) bahwa
negara bertanggung jawab terhadap segala
perbuatan yang dilakukan oleh organnya
(Sujatmoko, 2005).
Tindakan-tindakan sadisme dan kekejaman
Sumber: Frame Film Balibo Five, Hasil Penelitian Source: Frame on Balibo Five Movie, Research Result
Gambar 3. BeberapaSkena Penganiyayaan dan Penyiksaan
Picture 3. Abuse and torture on few Scenes
sudah melekat dalam diri tentara Indonesia
khususnya dalam Balibo Five merupakan
bentuk-bentuk pelanggaran berat terhadap HAM. Menurut
Peter Baehr dalam Sujatmoko (2005), pelanggaran
berat HAM (gross violation of human rights) adalah
Tindak kekerasan terhadap hak asasi manusia
yang mencakup masalah serius berkenaan
dengan apartheid, perbudakan, pembunuhan,
genosida, penghilangan paksa, penganiayaan
dan penyiksaan dan pembersihan etnis.
Cecilia Medina Quiroga dalam Harahap (2008)
menambahkan bahwa pelanggaran HAM yang
berkategori berat dan sistematik adalah pelanggaran
terhadap hak untuk hidup, hak atas integritas pribadi
dan hak atas kebebasan pribadi. Dalam situasi
sekarang ini, dimana penegakan HAM sudah
menjadi wacana nasional seperti diatur dalam UU
No. 26 Tahun 2000 tentang pelanggaran HAM yang
mencakup kejahatan atas kemanusian (crime
against humanity) yang menjelaskan bahwa Setiap
perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari
serangan yang meluas dan sistematik yang
diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan
secara langsung terhadap penduduk sipil, berupa: a)
pembunuhan; b) pemusnahan; c) perbudakan d)
pengusiran atau pemindahan penduduk secara
paksa; e) perampasan kemerdekaan atau
perampasan kebebasan fisik lain secara
sewenang-wenang yang melanggar (asas-asas) ketentuan
pokok hukum internasional; f) penyiksaan: g)
perkosaan, perbudakan seksual, pelacuran secara
paksa, pemaksaan kehamilan, pemandulan atau
sterilisasi secara paksa, atau bentuk-bentuk
kekerasan seksual lain yang setara; h)
penganiayaan terhadap suatu kelompok tertentu
atau perkumpulan yang didasari persamaan paham
politik, ras,
kebangsaan, etnis, budaya, agama,
jenis kelamin, atau alasan lain yang telah diakui
secara universal sebagai hal yang dilarang
menurut hukum internasional; i) penghilangan
orang secara, dan j) kejahatan apartheid.
Menilik pada ketentuan-ketentuan
internasional yang telah ditetapkan di atas,
Indonesia juga melanggar HAM melalui kekerasan
personal lainnya terhadap wartawan asing di
antaranya seperti pada gambar 3.
Penganiyayaan dan Penyiksaan merupakan
kekerasan serius terhadap HAM. Dalam Balibo Five
diceritakan bahwa Greg Schakleton dibunuh dengan
cara ditusuk para perutnya berkali-kali. Begitu juga
dengan penganiayaan yang diderita oleh Tony
Stewart yang dikeroyok oleh pasukan Indonesia dan
dipukuli hingga meninggal. Menurut Gustav Le
tindak kekerasan yang dilakukan oleh crowd
(kelompok aktor) yang memiliki kekuatan untuk
menghancurkan (Santoso, 2002 : 1). Digambarkan
pula tubuh Tony yang terngkurap ditanah dengan
dihujam pukulan senapan di punggungnya dan
dikelilingi oleh tentara Indonesia yang
mengacungkan senapan dan bersiap untuk
menembak jika ada perlawanan.
Perlakuan kasar juga dialami oleh Roger East
yang mencari tahu kebenaran peristiwa Balibo yang
berakhir dengan penyiksaan fisik oleh tentara
Indonesia saat invasi Dili. Roger East diseret secara
paksa dan digiring ke dermaga untuk dieksekusi
mati oleh tentara Indonesia. Diperlihatkan dalam
gambar 3, siksaan fisik yang ditandai dengan luka
memar dan darah bercucuran di seluruh wajahnya.
Dan akhirnya, dia ditembak oleh tentara Indonesia
dan mayatnya tercebur ke laut.
Semua perlakuan terhdap wartawan Australia
merupakan suatu pelanggaran berat atas HAM.
Wartawan Australia telah terdiskriminasi karena
perbedaan kebangsaan yang terlihat dalam
penampilan fisik mereka. Meskipun begitu, mereka
tetaplah manusia yang patut diperlakukan layaknya
manusia dari berbagai tindakan penyimpangan yang
mengganggu hak asasi mereka khususnya hak asasi
untuk hidup.
Dialog “I’m Journalist” dan “I’m Australia”
berkali-kali diucapkan oleh kelima wartawan
Australia tersebut, hal ini memberi penekanan untuk
menunjukkan identitas mereka bahwa mereka
adalah warga Australia dan profesi mereka adalah
wartawan. Berdasarkan Protokol I Konvensi Jenewa
1949, Perlindungan wartawan diatur pada Bagian
III tentang perlakuan atas orang-orang yang berada
dalam kekuasaan dari satu pihak dalam sengketa
Termasuk kategori yang harus dilindungi
adalah penduduk sipil, anggota angkatan bersenjata,
warga negara asing, orang asing pria atau wanita
pada setiap saat, baik dalam keadaan damai maupun
keadaan perang dalam wilayah negara sendiri
maupun di luar negeri (Sujatmoko, 2005).
Dengan status sebagai orang sipil dan berwaga
negara asing di daerah konflik, para pihak yang
bertikai wajib memberikan perlindungan kepada
wartawan yang melakukan tugas-tugas
jurnalistiknya.
B.
Indonesia Pelaku Kejahatan Peran
Balibo Five yang menggambarkan
pelanggaran berat HAM atas tindakan kejahatan
terhadap kemanusiaan (crime against humanity)
juga menyeret Indonesia dalam suatu tindak
kejahatan yakni pelanggaran berat atas hukum
humaniter internasional atau yang dikenal dengan
hukum perang internasional.
Dalam Balibo Five, terdapat beberapa adegan
yang menjadi klimaks cerita yakni saat invasi Dili,
Indonesia digambarkan menyerang Dili dari
berbagai penjuru udara, laut dan darat. Warga
Timor ditangkap dan dieksekusi secara massal.
Berdasarkan sejarah, Invasi yang dilakukan
Indonesia di Timor Leste pada tahun 1975 bertujuan
untuk memperluas wilayah Indonesia karena
kekosongan pemerintahan Timor Leste yang
ditinggalkan oleh Portugis. Dalam invasi ini,
Indonesia membawa misi untuk membersihkan
berbagai pemberontak yang beraliran komunis yang
berbahaya bagi Indonesia.
Invasi sendiripun merupakan tindakan
semena-mena yang melanggar hukum internasional,
karena kekosongan pemerintahan tidak mendapat
persetujuan dari PBB, bahkan PBB tidak
menganggap bahwa Timor Leste merupakan bagian
dari Indonesia. Seperti dijelaskan di atas, invasi juga
merupakan pelanggaran kedaulatan negara karena
masuknya negara lain ke dalam teritorinya serta
melakukan serangan secara berlebihan.
Sebagaimana diatur dalam asas-asas hukum
tradisional yang melarang segala bentuk campur
tangan luar seperti diuraikan bahwa
Tidak satu negara atau kelompok negarapun
berhak untuk melakukan invasi secara langsung
atau tidak langsung, dengan alasan apapun, dalam
urusan-urusan dalam negeri ataupun luar negeri
negara lain. Prinsip di atas tidak saja melarang
serangan bersenjata, tetapi juga setiap bentuk
campur tangan atau percobaan ancaman lain
terhadap kepribadian negara atau terhadap
unsur-unsur politik, ekonomi dan budaya. (Holsti &
Azhary, 1988).
Sebenarnya invasi bukanlah suatu perang.
Namun dapat memicu terjadinya perang. Seperti
dijelaskan dalam Just War Theory (teori perang
yang dibenarkan) yang menghalalkan aksi
peperangan atau segala tindak kekerasan namun
dengan syarat harus mematuhi tiga kriteria yakni jus
ad bellum (pertanggungjawaban saat perang), just in
bello (tata cara berperang) dan jus post bellum
(pertanggungjawaban setelah perang) (Lacewing,
2010).
Dilihat dari pelaku perang, jus in bello
mengatur bahwa perang haruslah antara sesama
combatant (prajurit) tidak terkecuali mereka yang
berstatus unlawful combatant (Lacewing, 2010).
Pada tingkat hubungan.
internasional, perang
digunakan untuk mempertahankan integritas
wilayah nasional dan kelangsungan hidupnya
merupakan alasan yang sudah baku dan sah,
sehingga kekerasan untuk melindungi
nilai-nilai bangsa, agama, kebudayaan, sistem politik
atau cara kehidupan bernegara juga sah. Namun
harus sesuai dengan hukum humaniter
internasional yang mengatur tata cara perang
(code of conduct) yang tidak merugikan banyak
pihak.
Combantant ialah prajurit angkatan bersenjata
negara yang memiliki hak untuk berpartisipasi
secara langsung dalam perang. Mereka dilindungi
oleh hukum dan memiliki izin untuk membunuh dan
melukai prajurit musuh atau objek militer lainnya
Sedangkan, Unlawful Combatant ialah seseorang
yang berpartisipasi langsung dalam perang tanpa
yang tidak memiliki hak sebagai angkatan bersejata
dan tidak termasuk dalam tahanan perang atau
berada di bawah kekuasan musuh. Seperti milisi
atau relawan perang (Dörmann, 2003).
Dalam traktat keempat Konvensi Jenewa yang
berisi mengenai "Relative to the Protection of
Civilian Persons in Time of War" menjelaskan
tentang perlindungan terhadap warga sipil selama
masa perang. Dalam hukum humaniter
Internasional juga mengandung prinsip sejenis
tentang larangan melancarakan serangan terhadap
penduduk sipil dan obyek-obyek sipil yang lain.
Prinsip ini mengandung dua elemen: absolut dan
relatif yang berarti semua obyek sipil harus tidak
pernah dijadikan sebagai target serangan
(Wagiman, 2005).
Invasi besar-besaran ke Dili selain telah
melanggar hukum humaniter internasional juga
melenceng dari kaidah just war theory. Balibo Five
Sumber: Frame Film Balibo Five, Hasil Penelitian Source: Frame on Balibo Five Movie, Research Result
Gambar 4. Kekerasan terhadap warga dan barang-barang sipil
Picture 4. Violance against civilians and civilian things
telah melakukan kejahatan perang (war crime)
yakni dengan sengaja menjadikan warga sipil
sebagai sasaran militernya. Seperti dalam skena
seperti pada gambar 4.
Skena dalam gambar 4 tidak merefleksikan
suatu perang yang dibenarkan (just war), seperti
dijelaskan dalam Konvensi Jenewa tentang
pelanggaran-pelanggaran yang termasuk dalam
kejahatan perang (war crime) di antaranya
Pembunuhan yang disengaja, Penganiayaan atau
tindakan yang merendahkan martabat manusia,
pemilikan dan perusakan harta benda secara meluas
milik waga sipil yang tidak sesuai dengan
kepentingan militer, memindahkan atau
mentransfer penduduk dengan paksa, hukuman
kurungan dan melakukan penyanderaan (Harahap,
2008).
Begitu juga dengan gambar yang menandakan
isyarat kekalahan pihak wartawan Australia yang
kemudian ditembak secara sengaja oleh tentara
Indonesia juga merupakan suatu tindak kejahatan
perang karena penyerangan atau tindak kekerasan
terhadap mereka yang mengibarkan bendera putih
dan orang lemah secara persenjataan.
Indonesia merupakan salah satu negara yang
meratifikasi Konvensi Jenewa yakni suatu konvensi
yang diadakan di Jenewa, Swiss, pada tahun 1949
yang mengatur tentang tata cara dan sarana perang
serta hukum yang mengatur perlindungan terhadap
korban perang. Prinsip utama penggunaan senjata
sebagaimana diatur dalam hukum humaniter adalah
bahwa selama perang nilai-nilai kemanusiaan harus
dihormati.agar korban perang tidak semakin
bertambah.
Sedangkan apa yang digambarkan dalam
Balibo Five, bertentangan dengan traktat keempat
Konvensi Jenewa tentang perlindungan (protecting)
dan menjamin (safeguarding) hak-hak sipil apapun
status hukum mereka. Dalam gambar 4,
digambarkan penangkapanwarga Timor yang
berstatus orang sipil secara paksa. Berdasarkan
aspek historis, penangkapan warga Timor tersebut
ialah untuk menangkap warga yang diduga
berhaluan komunisme yang menjadi alasan utama
adanya invasi Dili.
Pada praktiknya dalam Invasi Dili untuk
menggabungkan Timor Leste ke dalam wilayah
Indonesia, tentara Indonesia tidak menggubris
segala ketentuan yang sudah diputuskan dalam
Konvensi Jenewa ataupun hukum humaniter yang
ada.
Dalam Balibo Five pelanggaran-pelanggaran
hukum humaniter terhadap warga sipil ditunjukkan
Indonesia dengan melihat korban yakni warga sipil
serta barang-barang sipil sebagai objek sasaran
perang. Hal tersebut tidak hanya melanggar
Konvensi Jenewa dan hukum humaniter
internasional yang telah ditetapkan dan disetujui
dalam dunia internasional namun juga melanggar
just war theory (perang yang dibenarkan) yang bisa
dikategorikan dalam kejahatan perang (war crime).
C.
Perang Ideologi
Invasi Dili merupakan imbas propaganda
anti-comunism oleh Amerika akibat Perang Dunia yang
terjadi antara blok Barat dan blok Timur. Perang
Vietnam yang menguras energi dan materi Amerika
Serikat semakin menyulutkan propaganda tersebut
sampai Indonesia, karena kecemasan atau paranoiea
Amerika bahwa komunisme akan mewabah ke
Indonesia. Fretilin yang memiliki kecenderungan
komunis merupakan ancaman besar bagi Indonesia
yang masih trauma dengan kudeta terhadap
pemerintahan Indonesia yang saat itu dipimpin oleh
Soekarno yang dikenal dengan G30SPKI. Sehingga
Indonesia atas restu Amerika dan Australia
mengokupasi Timor Portugis untuk
mensterilkannya dari faham komunisme.
Perang Dingin (Cold War) adalah sebutan bagi
sebuah periode dimana terjadi konflik, ketegangan,
dan kompetisi antara Amerika Serikat (beserta
sekutunya yang disebut Blok Barat) dan Uni Soviet
(beserta sekutunya yang disebut Blok Timur) yang
terjadi antara tahun 1947-1991. Runtuhnya tembok
Berlin pada tahun 1989 merupakan simbol
berakhirnya Perang Dingin secara historis yang juga
merupakan akhir perang ideologi dan geopolitik
antara kedua negara tersebut (Hogan, 1992).
Berakhirnya Perang Dunia II telah mengubah
perkembangan politik dunia. Amerika Serikat
sebagai negara pemenang perang muncul menjadi
kekuatan raksasa. Dan berusaha meningkatkannya
menjadi penguasa dunia secara global dengan
menunjukkan dominasinya di beberapa negara di
dunia. Amerika Serikat (sebagai pengusung
ideologi kapitalisme), sedangkan Uni Soviet
(pengusung ideologi sosialisme). Antagonisme
kedua negara semakin memanas khususnya
mengenai ideologi politik yang memberi pengaruh
besar terhadap politik internasional dan berusaha
mencari pengikut dari negara-negara lain di dunia.
Ideologi sayap kanan yakni Amerika
mengusung doktrin yang menggambarkan bahwa
dunia yang tertib hukum akan melahirkan
masyarakat negara yang damai dan harmonis
dimana kewajiban perorangan atau kelompok
kepada masyarakat memberikan batas-batas
terhadap kebebasan Negara. Bertolak belakang
dengan ideologi sayap kiri yakni Uni Soviet yang
mengusung faham Komunisme yang menjadi opini
dunia dengan cita-cita menuju suatu masyarakat
dunia yang tidak berkelas tidak bernegara, dimana
manusia hidup satu sama lain sebagai saudara
(Nasution, 1991).
Sedangkan aspek utama yang membedakan
sayap kanan dan kiri adalah campur tangan negara
terhadap pembagian sosial dan ekonomi rakyatnya.
Menurut, pemikir liberal, dengan sistem ekonomi
kapitalisnya, pencapaian masyarakat yang
berkecukupan dengan cara evolusi. Antagonisme
sosial akan berkurang secara berangsur-angsur
sejalan dengan irama perkembangan/kemajuan
tekhnologi suatu masyarakat. Semakin maju
masyarakat, semakin kaya mereka, semakin merata
semakin memperlemah perbedaan sosial. menurut
para pemikir Marxis, masyarakat terintegrasi penuh
yang tanpa konflik dan tanpa antagonisme itu hanya
mungkin dicapai melalui proses pertentangan kelas
yang dahsyat. Melalui suatu revolusi yang
merombak cara-cara atau metode produksi serta
hubungan-hubungan sosial yang berkaitan dengan
itu (Pipes, 2003).
Polarisasi dua ideologi politik yang saling
bertentangan ini memberi sorotan besar pada dua
kubu Barat yakni Amerika Serikat dengan Liberal
Kapitalis dan Unisoviet dengan ideologi Sosialis
Komunisnya. Ketegangan keduanya memunculkan
berbagai perang di berbagai belahan dunia untuk
saling menghancurkan, khususnya agar dominasi
mereka sebagai negara adikuasa tetap kuat di
berbagai belahan dunia. Propaganda Amerika
menghegemoni negara-negara dunia untuk menaruh
kebencian dan antipati dengan faham komunisme.
Banyak definisi mengenai komunisme yang
disesuaikan berdasarkan perbedaan ide teori politik,
yang biasanya digunakan sebagai tambahan atau
interpretasi dari berbagai bentuk Marxisme.
Komunisme sejalan dengan Sosialisme, menurut
penganut Marxisme, terutama Friedrich Engels,
model dan gagasan sosialis dapat dirunut hingga ke
awal sejarah manusia dari sifat dasar manusia
sebagai makhluk sosial. Sistem ekonomi sosialisme
sebenarnya cukup sederhana. Berpijak pada konsep
Karl Marx tentang penghapusan kepimilikan hak
pribadi, prinsip ekonomi sosialisme menekankan
agar status kepemilikan swasta dihapuskan dalam
beberapa komoditas penting dan menjadi kebutuhan
masyarakat banyak.
Ideologi sayap kiri inilah yang ditentang oleh
Amerika yang dapat menghancurkan dominasinya
di dunia yang kemudian menyebarkan propaganda
anti-komunis ke berbagai belahan dunia. Indonesia
merupakan negara yang mencoba menyukseskan
propaganda anti-komunis tersebut. Pasca Gerakan
30 September atau yang sering disingkat G30SPKI
ini dimanfaatkan Amerika untuk membersihkan
segala faham komunisme di bumi Indonesia, tidak
terkecuali saat invasi Dili di Timor Leste yang
berhembus kabar bahwa tentara Fretilin merupakan
kelompok dengan kecenderungan komunisme. Oleh
karenanya, invasi dilakukan untuk menyelamatkan
Timor Leste dengan memasukkannya ke dalam
wilayah Indonesia, agar faham komunisme tidak
berkembang di Indonesia.
Konspirasi global blok Barat terkait dengan
masalah Timor Portugis yang terinfeksi aliran
Komunisme digambarkan dalam Balibo Five saat
Greg Shacketon, wartawan Channel 7 Australia,
merekam berita yang berisi simpatinya terhadap
Timor Portugis yang dicampakkan dunia. Isi berita
yang dikatakan oleh Greg Shacketon adalah sebagai
berikut:
“Mereka bertanya Mengapa….
Indonesia menyerang kita? jika lndonesia percaya bahwa Fretilin adalah komunis kenapa mereka tidak mengirim delegasi ke Dili
untuk mencari tahu?”
“Mengapa Australia tidak membantu kami? Ketika Jepang menyerbu, mereka membantu kami. Siapakah yang akan bertanggung jawab membayar
kerusakan parah rumah kami?”
Sumber: Monolog dalam Film Balibo Five, Hasil Penelitian
Source: Monolog on Balibo Five Movie, Research Result
Dominasi Amerika sebagai Negara adikuasa
sangat mempengaruhi tindakan politik internasional
Baratnya yaitu Australia. Australia yang menganut
faham demokrasi liberal sebagai kawan tidak akan
menunjukkan perlawanan apapun kepada Amerika
yang mendeklarasikan perang terhadap siapa saja
yang mendukung faham Komunisme apalagi
Australia sangat bergantung dengan Amerika. Tentu
saja, saat Timor Portugis dicap sebagai tanah
Komunis karena merupakan peninggalam Portugis
yang berideologi Komunis dan merebaknya isu
meningkatnya pergerakan Komunis di Asia.
Australia diam saja mengamini Indonesia atas izin
Amerika untuk menginvasi Timor Portugis.
Amerika terkenal dengan politik luar negeri standar
ganda yang berusaha mengayomi negara-negara
yang menguntungkan atau sekutu blok Baratnya dan
memusuhi mereka yang berbeda atau bertentangan
dengan ideologinya. Khususnya di sini ialah negara
yang berhaluan kiri.
Begitupula Indonesia yang tidak mau menjadi
salah satu negara dalam catatan hitam Amerika.
Indonesia menganut politik luar negeri bebas aktif
yaitu suatu tata cara yang mengatur pergaulan
internasional dengan Indonesia tidak memihak pada
kekuatan-kekuatan atau ideologi yang pada
dasarnya tidak sesuai dengan kepribadian Pancasila
serta keaktifannya dalam berempati melalui
sumbangan realistis serta giat menjalin
persahabatan dan kerjasama internasional dengan
menghormati kedaulatan negara lain (Leifer, 1989:
15). Disamping memendam ambisi pribadi atas
teritori Timor Portugis, Indonesia menjadi bidak
Amerika dengan donasi peralatan perang sepert
helikopter, senjata kepada Indonesia.
Indonesia yang merupakan anggota non-blok
yang tidak memihak Blok Barat ataupun blok Timur
namun berlindung dalam politik luar negerinya
secara tak langsung juga terlibat dalam konspirasi
global dengan blok Barat, karena keterlibatannya
dalam menyukseskan propaganda anti-komunisme
dengan mengalahkan pemberontakan tentara
Fretilin.
Dalam Balibo Five, Jose Ramos Horta
diceritakan merupakan sosok unggulan tentara
Fretilin juga berperan sebagai tokoh utama. Sosok
historis Timor yang merupakan presiden Timor
Leste kedua yang mulai menjabat di Timor Leste
sejak tahun 2007-2012. Perjuangan Jose Ramos
Horta membuahkan hasil bagi Timor Leste, dengan
pemberian nobel perdamaian oleh PBB kepada Jose
Ramos Horta pada tahun 1996 dan kemerdekaan
pada tahun 2002.
Jika dilihat dari sejarahnya, kebanyakan
pemimpin Fretilin (Revolutionary Front for an
Independent East Timor) adalah migran generasi
pertama ke Dili yang datang dari berbagai wilayah
serta berbagai kelompok bahasa. Tercatat beberapa
namabersejarah seperti Fransisco Xavier do
Amaral, Alarico Jorge Fernandes, Nicolaus dos Reis
Lobato, Mari Alkatiri, Rogerio Tiago de Fatima
Lobato, Jose Manuel Ramos Horta, Abilio Araujo,
Fransisco Borha da Costa dan lain-lain. Namun
dalam perkembangannya, nama-nama populer yang
mendominasi Republik Demokrasi Timor Leste
adalah Xanana Gusmao yang merupakan presiden
Timor Leste dengan Jose Ramos Horta sebagai
wakil presiden dan Mari Alkatiri sebagai perdana
menteri Timor Leste pertama (Hill, 2000).
Alasan utama Jose Ramos Horta memenangi
casting Balibo Five tidak lepas dari pengaruhi
polarisasi ideologi internasional khususnya
dominasi ideologi sayap kanan yang berhasil
mempropagandakan ideologi anti-komunis. Xanana
Gusmao dan Mari Alkatiri merupakan dua sosok
menafikan keberadaan ataupun campur tangan
mereka dalam Balibo Five sendiri untuk menepis
bias politik dalam film tersebut dan menonjolkan
ideologi sayap kanan yang masih berjaya dalam
perang ideologi tersebut.
Sedangkan Jose Ramos Horta sendiri
cenderung bukanlah orang dengan ideologi sayap
kiri, Ramos Horta terkenal sebagai sosok yang pro
Amerika dan Australia. Oleh karena itu, sang
sutradara lebih menyerahkan sepenuhnya image dan
representasi Timor Leste pada sosok Ramos Horta.
D.
Kebencian Terhadap Indonesia
Sebagai sebuah film, realitas yang diacu Balibo
Five adalah realitas historis karena menggunakan
sejarah invasi Indonesia ke Timor Leste yakni yang
dikenal dengan invasi Dili. Beberapa realitas dalam
film tersebut yang dapat ditemui di kehidupan nyata
dalah sosok Jose Ramos Horta yang sekarang
menjabat sebagai presiden Timor Leste saat ini.
Indonesia diperkenalkan sebagai sosok
antagonis yang terdiskreditkan karena perbuatan
immoral yang melanggar hukum dan tidak berperi
kemanusiaan. Penggambaran immoralitas dalam
Balibo Five merupakan salah satu bentuk kebencian
dan perilaku konflik melalui penggambaran citra
buruk tentang Indonesia. Yang mana wujud
kebencian terhadap Indonesia disimbolisasikan
melalui propaganda anti-Indonesia oleh
sekelompok orang Australia atau Timor-Timur
yang memiliki kepentingan pribadi untuk memicu
permusuhan dan konflik.
Kebencian yang memiliki kata dasar benci
(hate) menurut kamus Bahasa Indonesia, adalah
sifat tidak suka yang ekstrim terhadap sesuatu, bisa
terhadap barang atau seseorang. Dalam konteks
Balibo Five, film ini dibuat oleh oleh collective
hatred yakni sekelompok orang yang memiliki
kebencian yang sangat besar terhadap Indonesia
(Yanay, 2002).Kelompok-kelompok tersebut dapat
berasal dari warga Australia ataupun Timor Leste
yang memiliki permusuhan sejarah (historical
enmity) yang berlanjut pada manipulasi politik,
prasangka dan kecemasan atau ketakutan terhadap
suatu negara lain (Glover, 1999).
Extremist secara eksplisit menetralisasi
ancaman dan terkadang menunjukkan representasi
minoritas kelompok sebagai tindakan atas rasa
kebenciannya (Perry, 2001). Dalam hal ini,
wartawan Australia diposisikan sebagai subjek
minoritas atas dasar warga negara asing di Timor
Leste dan terdiskriminasikan karena
keminoritasannya. Berdasarkan target audience
dari Balibo Five, warga Australia adalah audience
utama yang hendak dituju melalui film ini untuk
mengkonstrukskan semangat kebencian berkenaan
dengan tindakan sadisme Indonesia terhadap
wartawan Australia.
Penggambaran brutal serta sadisme diciptakan
sedemikian rupa tentang Indonesia dalam film
tersebut yang tampak secara alamiah diterima oleh
penontonnya dengan tujuan tertentu dari sang
sutradara. Kampanye "penegakan HAM" yang
diusung dalam Balibo Five merupakan produk
propaganda anti-Indonesia melalui simbol berupa
kata-kata, gerakan, gambar, objek, figur dan
lain-lain yang disampaikan secara informatif, evaluatif
dan expresif yang ditujukan pada psikologis
penontonnya. Menurut Qualter (2011), propaganda
adalah Usaha sengaja oleh individu atau kelompok
tertentu untuk membentuk, mengendalikan atau
mengubah sikap kelompok lain dengan penggunaan
situasi tertentu reaksi orang atau kelompok yang
telah dipengaruhi akan berupa reaksi yang
diinginkan oleh propagandis.
Kimbal Young (1930) menambahkan definisi
propaganda yang lebih menekankan pada tindakan
bahwa propaganda adalah Penggunaan lambang
yang kurang lebih direncanakan dengan sengaja
atau sistematis, terutama melalui sarana dan teknik
psikologis yang berhubungan dengan maksud
mengubah dan mengendalikan pendapat, gagasan
dan nilai dan akhirnya mengubah tindakan terbuka
sepanjang garis yang telah ditetapkan lebih dahulu
(Holsti & Azhary, 1988).
Berkenaan dengan Balibo Five yang
menyudutkan Indonesia sebagai monster dengan
berbagai tindakan sadisme dapat digolongkan
sebagai suatu propaganda dalam bentuk kekerasan
simbolik dengan sasaran psikologis massa. Mereka
mengobok-obok perasaan masyarakat agar dapat
dimobilisasi untuk melawan kelompok-kelompok
tertentu (Pitaloka, 2004). Bagi orang Australia,
perlakuan sadisme terhadap wartawan Australia
membawa dampak serius pada psikologis bangsa
Australia. Sang Sutradara ingin menarik simpati
bahkan empati penontonnya dengan menyadarkan
identitas subjek dan objek dalam diri mereka
dengan menjadikan bangsa Australia sebagai subjek
untuk melawan kebrutalan Indonesia yang sebagai
objek.
Sehingga ideologi dominan yang diusung
dalam Balibo Five ialah sikap kebencian dengan
memburukkan citra Indonesia. Sikap kebencian ini
menekankan pada scene-scene terpilih yang
bermuatan sadisme dan mendiskreditkan Indonesia
atau menciptakan citra buruk Indonesia.
Propaganda anti-Indonesia yang merupakan produk
kebencian tersebut meliputi segala tindakan yang
ditujukan terhadap psikologi penonton khususnya
ialah penonton Australia ataupun Timor Leste.
Propaganda dalam Balibo Five ini dapat berwujud:
1.
Demonisasi
Demonisasi berasal dari kata “demon” yang
berarti “setan” atau “iblis.” Kata ini digunakan
untuk menunjukkan perilaku seseorang yang kerap
menganggap orang lain seperti “setan” atau “iblis.”
Menurut Julius, demonisasi adalah mekanisme
untuk memproyeksikan citra negatif kepada musuh,
terutama para pemimpinnya, untuk membuatnya
seperti demon (setan) (Assyaukanie, 2005).
Orang cenderung melakukan “penyetanan”
bukan demi kebenaran, tapi karena ia berusaha
membedakan dirinya dari yang lain: “saya” dan “mereka.” Saya adalah kebenaran sedangkan
mereka adalah setan yang sesat. Bagi pembuat film,
wartawan Australia dalam Balibo Five merupakan
simbol untuk memperjuangkan hak mereka yang
dirampas oleh tentara Indonesia. Contoh tindakan
demonisasi terhadap Indonesia adalah labelisasi
“pembunuh”, “pelanggar HAM” dan “monster” atas
kekejaman yang digambarkan dalam film ini.
Berdasarkan label tersebut, penonton digiring untuk
memilah-milah mana pihak yang benar dan salah.
Dalam Balibo Five, demonisasi ditunjukkan
dalam setiap tindak kekerasan yang dilakukan oleh
tentara Indonesia, yang berperan sebagai antagonis,
dalam dunia film ataupun dalam dunia realita.
Seperti dalam scene seperti gambar 5 dimana
Ramos Horta mengatakan “Savages! Savages!”
Sifat yang melekat dalam jiwa seorang
monster atau pembunuh ialah “savages” atau
“biadap” yang mengasosiasikan bahwa tentara
Indonesia
telah
melakukan
pembunuhan
immortalitasnya pantas disebut sebagai demon
atau setan.
Sumber: Frame Film Balibo Five, Hasil Penelitian Source: Frame on Balibo Five Movie, Research Result
Gambar 5. Demonisasi Terhadap Indonesia
Picture 5. Demonisation to Indonesian
2.
Dehumanisasi
Dehumanisasi selangkah lebih jauh dari
demonisasi. Dehumanisasi terjadi manakala musuh
atau pihak tertentu dianggap sebagai sesuatu di
bawah manusia (kurang dari tingkat manusia). Hal
ini berhubungan dengan pseudospeciation, yang
menganggap musuh kita sebagai species yang lain
yang derajat ataupun harkat martabatnya lebih
rendah dari manusia. Dalam Balibo Five,
penggambaran dehumanisasi terlihat dalam skena
sepertgi gambar 6, dimana Roger East mengatakan
“No… No… I’m Australian… I’m Australian.. You are Mongrels Dogs”
disinyalir dari penggunaan bahasa seperti
penggunaan kata “dog”, “mongrel” yang bermakna
“anjing” dalam jenis umum dan khusus. Penganalogian “anjing” dengan sosok Indonesia
tidaklah selalu bermakna tunggal. Selalu terdapat
kemungkinan kemajemukan makna sebagaimana
pernah diisyaratkan Barthes ketika ia menyatakan
bahwa teks ibarat ‘ruang multidimensional’ tempat
bercampuraduknya berbagai kontradiksi dan
pertentangan (Piliang, 1999).
Sumber: Frame Film Balibo Five, Hasil Penelitian Source: Frame on Balibo Five Movie, Research Result
Gambar 6. Dehumanisasi Terhadap Orang Indonesia
Picture 6. Dehumanisation to Indonesian
Pencitraan Indonesia, salah satunya dapat
Berdasarkan operasi sistem bahasa, “anjing”
menginformasikan tentang sesosok berkaki empat,
dimana rasio kita mengatakan bahwa sesosok anjing
itu adalah hewan. Anjing sebagai teks mengalami
‘sejarah’ dengan segala perubahan taksonominya.
Bahwa kemudian anjing menjadi ‘tanda’, yang tidak
lepas dari imanensi dan transendensinya. Di Barat,
anjing berfungsi banyak. Sebagai teman sekaligus
pengganti anak, penjaga rumah, peliharaan
kesayaan (untuk kesenangan) sampai prestige.
Sedangkan orang Barat tidak memaki dengan
menggunakan kata anjing. ‘Damn’, ‘Fuck’,
‘Bastard’, ‘Shit’ dan sebagainya lebih familiar
ketimbang ‘dog!’. Anjing disini mengalami
perubahan semantik sekaligus struktur pada bahasa,
turut mempengaruhi ‘nilai dan maknanya’. Seperti halnya dalam Islam, anjing hukumnya adalah najis
mughallazah begitu juga dalam kebudayaan Yahudi
yang melambangkan anjing sebagai kenajizan,
berbeda dengan kebudayaan Roma yang
3.
Psywar
Jika dilihat dari segi penontonnya, propaganda
anti-Indonesia melalui Balibo Five merupakan salah
satu bentuk psywar yang dikhususkan bagi bangsa
Australia dan Timor Leste. Berdasarkan sudut
pandang film tersebut, Australia dan Timor Leste
merupakan korban yang berteriak meminta
pertanggung jawaban. Psychological
warfare(psywar) adalah suatu aspek dasar dari
operasi psikologi dengan menggunakan seluruh
teknik propaganda atau non-propaganda dengan
tujuan untuk mempengaruhi sistem kepercayaan
audience, emosi, alasan, motif atau perilaku. Target
audience dapat berupa pemerintahan, organisasi,
kelompok dan individual. Perang ini juga untuk
memasukkan pengaruh aliran dan corak pemikiran,
serta memaksa pihak musuh menerima realita yang
dipaksakan bagaimanapun caranya (Wood, 2000).
Perang psikologis yang kentara untuk
mengobarkan semangat dan menggalang persatuan
bangsa Australia dan Timor Leste adakah dengan
menampilkan scene yang provokatif yang bertujuan
untuk menimbulkan kebencian dan hasutan
khususnya kepada penontonya. Disamping itu,
perang psikologi berusaha untuk
melemahkan moral spirit anggota suatu
masyarakat,
dan
mempengaruhi
taraf
keutuhannya dengan menumbuhkan rasa
gentar, ngeri, dan takut, serta memperjuangkan
keinginan pihak yang bersangkutan.
Seperti saat adegan pembunuhan kelima
jurnalis yang selalu meneriakkan “I’m Australian”.
Gambaran dramatis dari skena tersebut menyajikan
peristiwa yang seolah-olah penonton diajak
langsung menyaksikan pembunuhan tersebut.
Penggunaan kata-kata “I’m Australian”
memproduksi serangkaian asosiasi bahwa dalam
penyerangannya, tentara Indonesia tidak
menghiraukan identitas nasional yang dimiliki
bangsa lain.
Perlakuan diskriminasi tersebut melukai
kehormatan Australia khususnya perasaan penonton
yang beridentitas warga Austalia. Peneriakan,
repetisi dan kejadian ironis yang menyertai kata
“I’m Australian” mencoba memanggil penonton
sebangsa dan mereka yang memiliki identitas
sebagai orang Australia untuk merasakan
penderitaan dan kejahatan yang dialami oleh kelima
jurnalis dan Roger East yang tewas di tangan tentara
Indonesia. Kata “
I’m Australia
” seperti sebuah
lonceng yang mengusik perhatian dan emosi
bangsa Australia untuk menuntut Indonesia ke
pengadilan internasional.
Psywar beroperasi pada area heart and
mind, dalam gambar 7& 8, secara denotatif
dapat digambarkan bahwa tentara Indonesia
menembakkan peluru tepat di kepala Brian
yang mengangkat tangan setelah mengatakan
“orang Australia”. Hal ini mengagetkan dan
menciptakan
sensasi
miris
dalam
jiwa
penontonnya. Tindakan ini merupakan suatu
bentuk kekerasan yang melukai hati warga
Australia dengan menumbuhkan perasaan
kaget dan miris yang memprovokasi pikiran
mereka untuk membenci Indonesia dan
semakin menaturalisasikan bahwa Indonesia
adalah pembunuh dengan menafikan bahwa
adegan dalam film tersebut merupakan realitas
rekaan dari sang pembuat film.
Pada akhirnya, penarasian Balibo Five
Indonesia yang berwujud propaganda
anti-Indonesia melalui penggambaran anti-Indonesia
sebagai monster beserta sifat kemonsterannya
dalam melakukan pelanggaran terhadap hukum
HAM internasional dan kejahatan perang serta
perwujudan penggalangan semangat warga
Australia dalam menuntut keadilan atas
penegakan HAM terhadap wartawan Australia
sebagai korban dalam Balibo yang bunuh oleh
tentara Indonesia.
IV.
KESIMPULAN DAN SARAN
A.
Kesimpulan
Adapun kesimpulan yang dapat ditarik dalam
penelitian ini adalah: Pertama, tentara Indonesia
adalah simbol monster. Frekuensi dan peran
Indonesia yang selalu ditampilkan kejam, brutal dan
sadis melalui berbagai tindak kekerasan kepada
wartawan Australia dan warga Timor merupakan
wujud ideologi bahwa Indonesia merupakan negara
berdarah dingin.
Kedua, Indonesia terbukti telah melakukan
pelanggaran HAM dan kejahatan perang terhadap
wartawan Australia dan warga Timor. Balibo Five
menuduh Indonesia sebagai penjahat perang dan
pelanggaran HAM berupa pembunuhan, penyiksaan
dan penganiayaan yang diperbuat Indonesia pada
masa lalu melalui teks-teks film yang
menggambarkan kekejaman tentara Indonesia. Hal
inilah yang menjadi awal kontroversi Balibo Five di
Indonesia. Pemonsteran atau penyetanan
(demonisasi) sosok Indonesia dalam insiden Balibo
dan invasi Dili tentu saja ditentang oleh bangsa
Indonesia karena hal tersebut sangat sensitif bagi
Indonesia, Australia maupun Timor Leste.
Ketiga, Balibo Five merupakan produk
propaganda anti-Indonesia yang disampaikan oleh
Robert Connolly selaku sutradara film tersebut yang
mewakili kelompok tertentu yang memiliki
kebencian terhadap Indonesia. Terbukti dengan
pendiskreditan sosok Indonesia sebagai pemeran
antagonis dalam film tersebut yang ditampilkan
negatif secara terus menerus.
Keempat, Balibo Five merupakan film yang
menginterpelasi warga Australia untuk
berpartisipasi menegakkan keadilan atas wartawan
Asutralia yang dibunuh oleh tentara Indonesia dan
menggalang dukungan untuk menyeret Indonesia ke
pengadilan internasional atas kejahatan yang
dilakukan Indonesia pada masa lalu.
Kelima, Indonesia sebagai korban konspirasi
internasional. Invasi Dili tak terlepas dari campur
tangan Amerika dan Australia yang mengamini dan
mensponsori invasi tersebut. Namun, kesalahan
sepertinya hanya milik Indonesia karena dominasi
Amerika dan Australia yang terlalu kuat dalam film
ini.
B.
Saran
Efek media massa yang kuat membuat
penonton tanpa sadar terpengaruh oleh muatan
pesan yang dibawa film tersebut. Oleh karenanya,
sebagai penikmat film, sebaiknya lebih kritis dalam
memahami pesan yang diusung dalam suatu film.
Meskipun film melabeli diri sebagai “true story”
atau berdasarkan sejarah, film tidak lepas dari
subjektivitas dari pembuat film. Saran untuk
penelitian selanjutnya adalah perlu adanya
penelitian mengenai penilaian dan tanggapan
penonton mengenai penggambaran sosok Indonesia
penonton sesuai dengan yang diharapkan oleh
pembuat film.
UCAPAN TERIMA KASIH
Penulis mengucapkan terima kasih banyak atas
dukungan dan bantuan dari berbagai pihak
khususnya kepada Triyono Lukmantoro selaku
Dosen Ilmu Komunikasi dari Universitas
Diponegoro atas waktu dan dukungan dalam
penelitian ini. Begitu juga untuk Syukron Salam
selaku Dosen Ilmu Hukum dari Universitas Negeri
Semarang atas waktu dan diskusi terkait penelitian
ini.