• Tidak ada hasil yang ditemukan

MEKANIKA PUISI DIGITAL PADA ANTOLOGI PUISI DIGITAL CYBERPUITIKA YAYASAN MULTIMEDIA SASTRA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "MEKANIKA PUISI DIGITAL PADA ANTOLOGI PUISI DIGITAL CYBERPUITIKA YAYASAN MULTIMEDIA SASTRA"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

MEKANIKA PUISI DIGITAL PADA ANTOLOGI PUISI DIGITAL CYBERPUITIKA YAYASAN MULTIMEDIA SASTRA

Oleh

Encik Savira Isnah/120810408

Sejak peluncurannya, (APDC) telah mengundang perdebatan, bersumber pada buku Cyber Graffiti, Polemik Sastra Cyberpunk (2004) perdebatan tersebut berawal dari pernyataan Ridwan yakni “Lalu kalau keberadaan teks bisa saja dikesampingkan apakah masih pantas menyandang istilah sastra?”(2004:256) didukung pula oleh Ahmad Syubanuddin Alwy (2004:267) yang mempertanyakan pertanggungjawaban teks sebagai alat ekspresi, unsur penanda dan pemanfaatan elemen multimedia. Dengan memanfaatkan teori strukturalisme, teks puisi digital di parafrase untuk menemukan unsur intrinsik puisi dan slide dibongkar untuk menemukan unsur digitalnya. Selanjutnya dideskripsikan cara kerja puisi digital dan implikasi digitalisasi. Ditemukan hasil, puisi-puisi pada APDC memenuhi unsur intrinsik puisi yang dianggap bernilai sastra, sebagaimana dipertanyakan oleh Ridwan, yaitu pemilihan kata, penggunaan gaya bahasa, permainan bunyi dan pengolahan rasa (citraan) yang dijadikan sebagai pertanggungjawaban teks. Selanjutnya penggunaan media komputer dengan program Microsoft Power Point pada tiap puisi sebagai pertanggungjawaban istilah cyber yang disandang oleh APDC. Adanya unsur warna, bunyi dan gerak dengan penggunaan aplikasi pada Microsoft Power Point menunjukkan segi digital pada APDC sehingga pantas disebut puisi cyber

Kata kunci : puisi digital, polemic sastra cyber, strukturalisme, profil puisi

From the launch, APDC has invited debated, source from Cyber Graffiti, Polemik Sastra Cyberpunk (2004), that debated begin from Ridwan’s statement, “Lalu kalau keberadaan teks bisa saja dikesampingkan apakah masih pantas menyandang istilah sastra?” and supported by Ahmad Syubanuddin Alwy who ask the responsibility of text as expression, signed unsure and multimedia element advantage. By advantaging strukturalisme theory, digital poetrytext is paraphrased to find intrinsic poetry and slide has loaded to find digital unsure. Then, is described the mechanica digital poetry and the implication of digitallitation. Has founded the result, that poems of APDC containt intrinsic unsure of poetry which valued literature, as ask as by Ridwan that the way of chossing diction, the uses of majas, rhytem, and feel that become as text responsibility. There are unsure as colour, sounds, and motion with application using of Microsoft Power Point, show digital side of APDC that why it deserve called cyber poetry.

Keyword: digital poetry, sastra cyber polemic, structuralisme, poetry profile

(2)

dan dongeng yang diceritakan oleh pendongeng maupun orang zaman dahulu. Sastra dengan bahasa lisan dapat bertransformasi menjadi sastra tulis begitu pula sebaliknya.

Seiring dengan perkembangan pola pikir yang beriringan dengan kemajuan teknologi mau tidak mau berpengaruh pula terhadap perkembangan sastra.Bukan hanya sejarah, teori dan kritik, kini muncul karya sastra yang eksis namun bukan dengan media bahasa tulis maupun lisan.Sastra cyber, sastra yang memanfaatkan kemajuan teknologi komputer dan internet sebagai medianya.Salah satunya karya-karya dari Yayasan Multimedia Sastra.

Kehadiran sastra cyber Indonesia, seperti yang bisa dibaca di situs www.cybersastra.net, yang dikelola oleh Yayasan Multimedia Sastra (YMS), adalah sebuah realitas yang sangat menarik untuk dicermati. Bagi sebagian pihak, kehadiran sastra cyber merupakan angin segar, yang akan turut menumbuhsuburkan sastra di negeri ini, melalui sebuah media baru yang bernama internet, maka kehadirannya mesti

disambut dengan bangga hati. Namun bagi sebagian pihak yang lain kehadiran sastra cyber ditanggapi dengan sinis, dianggap mementahkan kreativitas dan tidak lebih dari sekadar taman kanak-kanak.

Ditelusuri melalui sejarah, penggunaan media pengungkapan seni pada umumnya dan sastra (dalam hal ini puisi) pada khususnya mulai berubah dengan adanya perkembangan teknologi. Walter Benjamin (1936) dalam The Work of Art in the Age of Mechanical Reproduction mencatat ada dua teknik pengungkapan seni yakni founding (mencetak dengan menggunakan bentuk cetakan seperti cara membuat kue) dan stamping (mengecap dengan cara menekankan bentuk cap seperti stempel atau dalam pembuatan batik yang mempunyai pola gambar yang dibuat dari logam dan dicapkan pada kain batik). Proses ini

(3)

tradisi lisan berkembang dalam bentuk cetak baik berupa buku ataupun majalah dan koran sebagai bentuk sastra tulis atau cetak.

Saat ini hal tersebut bergerak ke arah penggunaan program komputer (digitalisasi) yang umum disebut cyber sehingga muncullah istilah sastra cyber.Sastra cyber memanfaatkan kemampuan dan kemajuan teknologi komunikasi sebagai sarana dan prasarana berkarya. Penulis sastra cyber menemukan model baru cara berkreativitas, mengembangkan model lama yang terpaku pada bahasa tulis dan lisan.

Suwardi Endaswara (2003) menjelaskan istilah cybersastra dapat dirunut dari asal katanya.Cyber, dalam bahasa Inggris tidaklah berdiri sendiri, melainkan terjalin dengan kata lain seperti Cyberspace yang berarti ruang (berkomputer) yang saling terjalin membentuk budaya di kalangan mereka. Cybernate, berarti pengendalian proses menggunakan komputer. Dari pengertian tersebut, dapat dikemukakan bahwa cybersastra adalah aktivitas sastra yang memanfaatkan komputer atau internet.

Merujuk pada batasan puisi cyber yang dikemukakan Marthur menyebutkan puisi cyber adalah animasi teks dengan penggunaan program animasi komputer-the animated text maka APDC bisa dikategorikan sebagai puisi cyber.

Antologi APDC(APDC) merupakan karya sastra (dalam hal ini puisi) yang dikemas dalam bentuk compact disc.Menurut kulit luar compact disc yang ditulis oleh Tommy Prakoso (2002), ini merupakan terobosan karya sastra puisi yang menggunakan media program komputer Microsoft. Program itu bernama PowerPoint yang digunakan untuk menggantikan peran over head projector (OHP) karena kelebihannya dalam variasi huruf baik ukuran dan warna, dapat menampilkan gambar berupa foto, tabel, grafik bahkan gambar yang bergerak (animasi), serta dapat diiringi dengan suara.

(4)

pemikiran, ide dan emosi yang diungkapkan dalam bentuk tertentu yang menimbulkan kesan dengan media bahasa. Lebih lanjut diterangkan bahwa sifat kepuisian dapat ditunjukkan dalam bentuk visual dengan tipografi, penataan bunyi pilihan kata untuk menyusun bunyi persajakan, asonansi, aliterasi, kiasan bunyi, lambang rasa atau orkestrasi, pemilihan kata (diksi), bahasa kiasan, sarana retorika, susunan tatabahasa serta gaya bahasa atau majas.

APDC merupakan antologi puisi terbitan Yayasan Multimedia Sastra, diluncurkan pertama kali pada 3 Agustus 2002 di Lembaga Indonesia-Perancis, Yogyakarta yang berisi 169 puisi dari 55 penyair. APDC merupakan puisi dalam program komputer Microsoft Power Point berwujud rangkaian kata yang disajikan dengan memanfaatkan teknologi multimedia (Ridwan, 2004: 253). Pemanfaatan teknologi multimedia ini juga dicatat oleh Antonio (2001) yang melihat puisi digital dalam dua hal yang pokok yakni dipenuhi dengan gambaran grafis dan puisi dengan bayangan yang bergerak

dan bunyi dalam fasilitas program komputerseperti interactivity, hypertextuality, hypermedia, dan interface.

Sejak peluncurannya, (APDC) telah mengundang perdebatan di media surat kabar (Pikiran Rakyat Bandung) maupun internet (mailing list). Bersumber pada buku Cyber Graffiti, Polemik Sastra Cyberpunk (2004) perdebatan tersebut berawal dari pernyataan Ridwan yakni “Lalu kalau keberadaan teks bisa saja dikesampingkan apakah masih pantas menyandang istilah sastra?”(2004:256) dan didukung pula oleh Ahmad Syubanuddin Alwy (2004:267) yang mempertanyakan pertanggungjawaban teks sebagai alat ekspresi dan unsur penanda dan pemanfaatan elemen multimedia. Pernyataan tersebut menggelitik peneliti untuk meneliti permasalahan bahwa tidak hanya teks (kata dan

(5)

keberdaan ‘teks’ (gambar, motion, bunyi) juga ikut bertanggung jawab membentuk ekspresi dan penanda puisi digital.

Pada artikel ini objek yang akan dibahas adalah puisi digital. Yang dimaksud puisi digital adalah puisi yang dibuat dan dipublikasikan melalui dunia maya dengan memanfaatkan teknologi dan program-program komputer.

Antonio (2001) dalam artikelnya “A Map of Different Digital Poetries” menyebutnya sebagai hasil seni (dalam hal ini puisi) yang tidak hanya menggunakan komputer sebagai mediator tetapi juga sebagai pendukung.Komputer menawarkan berbagai program aplikasi di antaranya PowerPoint untuk penerapan teknologi pada sikap kreatif. Jakob Sumardjo (2002) menyatakan dalam artikelnya “Menggali Kekayaan Medium Cybersastra” bahwa dalam teknologi ini (komputer), puisi dapat diwujudkan melalui kekayaan medium tulisan, medium gambar, medium musik, medium bunyi-bunyian, dan gambar bergerak

Zervos (2002) membatasi puisi multimedia atau digital sebagai jenis puisi yang menggunakan program-program komputer. Puisi yang tidak lagi sederet huruf dan kumpulan kata-kata yang bermakna tetapi sudah menjadi sebuah animasi – bentuk yang bergerak, berwarna, berbunyi dan berlatar belakang lukisan atau foto, “… a significant contribution to the genre of writing called poetry and he called that writing cyber poetry.”

Deskripsi Struktur Puisi “Ingat Lesli Basuki”

Di sini tak ada lagi tanya basa-basi Tentang kata yang mencairkan waktu Dan kalimat pun tersimpan dalam kelu Apakah setiap mata menjalarkan duri Yang selalu datang pada setiap sendu?

(6)

tidak akan pernah layu Hanya dibuai ragu. Kita menjabat tangan

Sambil melepaskan sejumlah angan-angan

Dan kemudian silang tatap ke akar bisu

Sungguh! Di sini aku menangkap lagi impian

Ya. Semuanya mengalir ke pintu zaman dan membalikan makna. Siapa pun risi

saat mampir menjamah hari Betul. Kita semakin rentan melewati semua ini

“Ingat Lesli Basuki” secara umum menyajikan unsur-unsur sebagaimana puisi konvensional, seperti gaya bahasa, ritme, pesan, dan tema. Hal tersebut dapat ditunjukkan melalui analisis frasa dan diksi pada setiap baitnya.

Pada bait pertama, puisi tersebut menyampaikan tentang si aku yang menegaskan

kegamangannya terhadap situasi yang dihadapinya. Keberadaan frasa /tak ada lagi basa-basi/ bisa dipahami sebagai upaya si aku menunjukkan betapa sedikit waktu yang ada dan hal ini berimplikasi pada kualitas kata yang dituturkan, hanya kalimat penting saja yang berhak muncul dalam percakapan kehadiran larik /Tentang kata yang mencairkan waktu/ dan /Dankalimat pun tersimpan dalam kelu/ yang memuat frasa bermajaskan personifikasi mempertegas rasa gamang dan kaku yang dihadirkan pada bait pertama. Kemudian diksi duri pada larik /Apakah setiap mata menjalarkan duri/ mengandung gaya bahasa hiperbola dan citraan gerak menjalar yang hadir pada bait pertama tersebut menunjukkan suasana saat itu menimbulkan rasa sakit seperti sakit tertusuk duri yang bergerak dari mata ke hati. Larik /yang selalu datang pada setiap sendu?/ yang memuat citraan rasa sendu menunjukkan waktu

(7)

Pada bait kedua si aku menyampaikan tentang rasanya yang akan selalu subur melalui larik /mawar hati tidak akan pernah layu/. Frasa mawar hati menghadirkan makna sesuatu yang indah yang tumbuh di hati, yaitu cinta sebab mawar banyak digunakan sebagai simbol cinta. Kekukuhan cintanya tersebut semakin kuat terasa dengan hadirnya diksi layu dan citraan rasa ragu pada frasa /tidak akan pernah layu/, /hanya dibuai ragu/. Si aku menggunakan citraan gerak menjabat tangan dan melepaskan, dua diksi kontradiktif yang memperlihatkan rasa enggan berpisah pada jabat tangan yang menyiratkan perpisahan, tetapi mau tidak mau itulah yang terjadi.Citraan rasa bisu menguatkan rasa sedih dan pasrah si aku yang tidak bisa berkata apa-apa menghadapi situasi tersebut.

Pada bait ketiga si aku menegaskan dengan kesimpulan atas apa yang ia rasakan pada bait pertama dan kedua yaitu rasa gamang dan kekukuhan cinta bergerak pada waktu entah masa depan atau lalu (maju atau mundur) dan memberi makna yang berlawanan, yang rindu jadi hambar yang hambar jadi rindu, hal tersebut kuat terasa sebab keberdaan citraan gerak

mengalir yang diikuti dengan frasa pintu zaman dan diakhiri dengan kata ganti kita diikuti dengan citraan rasa pada diksi rentan yang memperjelas kerapuhan keadaan si aku dan seseorang tersebut.

Selain gaya bahasa dan citraan, dalam puisi ini juga dipergunakan sarana kepuitisan yaitu keselarasan bunyi atau ritme. Keselarasan bunyi tampak pada ritme puisi yang berulang. Pada bait pertama ritmenya a-a-b-b

“Di sini tak ada lagi tanya basa-basi

Tentang kata yang mencairkan waktu Dan kalimat pun tersimpan dalam kelu”

Begitu seterusnya hingga bait terakhir ritme berubah menjadi a-b-a

“Siapa pun risi saat mampir menjamah hari Betul.

(8)

Penggunaan vokal tertutup /u/ dan /i/ memperkuat kesan kerdil, sedih, dan galau pada puisi “Ingat Lesli Basuki” ini

Dalam puisi “Ingat Lesli Basuki” dipilih kata-kata yang biasa dalam pemakaian sehari-hari, kata-kata perbendaharaan dasar hingga menjadi abadi, dalam arti dapat dipahami sepanjang masa, tidak kabur maknanya, seperti mawar, duri, akar, bisu dan pintu.

Puisi ini merupakan tuturan si aku kepada seseorang, si aku bertutur pada seseorang (kekasih?), ia mengungkapkan apa yang dirasakan ketika terjadi pertemuan dengannya, yaitu bahwa masih ada rasa di hati si aku, namun semua rasa itu hanya sebuah rasa yang akan berujung pada sebuah angan-angan dan perpisahan. Si aku pasrah pada kenyataan bahwa mereka, terutama aku akan galau melewati situasi yang mengingatkan pada impian masa lalu. Puisi tersebut berisi pesan, sebesar apa pun keinginan kita, apa daya jika tak bisa berbuat apa pun, berbesar hati menerima kenyataan bisa menjadi solusinya. Dari keseluruhan

isi puisi disimpulkan bahwa tema dari puisi ini ialah kepasrahan.

(9)

Gambar 1

Kedua, warna pada setiap larik berubah-ubah yaitu warna putih pada bait pertama, kuning pada bait kedua, bait pertama dan kedua berlatar lukisan Jeihan, gradasi warna hijau pada bait ketiga dengan perubahan latar berwarna krem. Ketiga, unsur bunyinya yaitu whoosh, under.wav, glass, camera, projctor, typewriter, dan chime.Latar suara karya Sapto Raharjo 2 hingga puisi selesai.Yang keempat ialah unsur gerak, unsur gerak inilah yang membentuk tipografi pada setiap slide/bait puisi.Unsur geraknya ialah kiri ke kanan atas dan sebaliknya, lalu atas ke bawah. Aplikasi gerak pada slide sebagai berikut, aplikasi slide pertama ialah dissolve slide transitions, slide keduaaplikasi slide transition checkerboard, dan slide ketiga slide transition push from top. Selanjutnya unsur gerak pada puisi, yaitu aplikasi effect zoom,random bars, strips, fly in, swivel,dan center revolve unsur gerak tersebut berlaku untuk tiap bait dan gambar yang muncul pada slide.

1. “Jantan”

Puisi ini terdiri atas delapan slide, setiap slide memiliki latar belakang dengan warna dan corak yang sama yang garis-garis diagonal dengan warna biru, nila dan merah.

Keberadaan warna-warni tersebut memancarkan keceriaan pada tiap slidenya.Puisi ini mengandung lukisan Popo Iskandar 4 Mimpi.

Gambar 45

(10)

Sapto Raharjo dengan warna pelangi muncul pada sudut kanan bawah slide berbarengan dengan teks lukisan popo iskandar berwarna biru dengan posisi vertikal pada bagian kanan slide dengan efek zoom-strips dan teks sajak: Tommy R berwarna nila dengan posisi vertikal pada sudut kanan atas slide dengan efek fly in.

Gambar 46

Slide kedua, teks

Darah suci deras memuncak dari kejantananku Menyirami dinding dan taman di rahimmu Saat menggelepar engkau dalam pangkuanku

ber-font enviro muncul dengan word art follow part up berwarna gradasi oranye kuning dengan efek dissolve in menghadirkan rasa si aku yang bergairah menyala-nyala.

Gambar 47

Slide ketiga, teks Sejuta bintang Seribu bulan Oh alam raya

(11)

muncul dengan word art wrap parareldengan font jokerman berwarna gradasi biru ungu dan efek random bars, menghadirkan keadaan langit yang pada malam hari

Gambar 48

Slide keempat teks Waktu berlari kencang melesat bagai esok pagi menyambut kiamat

muncul dengan font enviro dan word art follow part berwarna kuning serta efek zoom menghadirkan bayangan bentuk dan warna matahari yang memvisualisasikan teks.

Gambar 49

Slide kelima teks

Perutmu kini kian membengkak Meski kita belum diikat

oleh tambat tali yang sakral

(12)

Gambar 50

Slide keenam terdapat dua teks dengan isi yang sama, pengulangan tersebut menghadirkan penegasan si aku akan pembuktiaanya

Oh mama Oh papa

Oh takdir manusia Kubuktikan

bahwa aku sempurna

teks yang pertama muncul dengan font jokermanword art circle dan reflection berwarna putih dengan refleksi hijau dan teks kedua dengan word art pararel dengan warna putih dengan font algerian yang berefek checkerboard.

Gambar 51

Slide ketujuh, teks Sebagai lelaki aku setia

Dan aku ingin mengembara bersamanya Di atas perahu membelah samudra seiring takdir sang pencipta

muncul dengan efek random bars dengan posisi center text menghadirkan bait tersebut

(13)

Gambar 52

Slide terakhir, terdapat delapan teks JANTAN dengan warna berbeda-beda, urut dari kiri atas ke kanan bawah, oranye, hijau tosca, putih, nila, putih, merah, hijau muda dan biru. Terdapat empat lukisan dengan ukuran berbeda pula dua kecil dan dua lebih besar, kemudian teks muncul dengan efek fly in, masing-masing bait berbeda warna bait pertama hijau muda, kedua nila, ketiga biru, keempat kuning, kelima merah, dibarengi dengan teks Lukisan Popo Iskandar berwarna biru pada sudut kanan atas slide, sajak Tommy R berwarna putih pada sudut kiri atas slide dan Musik Sapto Raharjo dengan word art reflection berwarna putih pada sudut kiri bawah slide.

Penutup

Dari penampilan slide terlihat puisi digital bermula dari puisi yang lebih dominan dengan unsur bahasa yang kemudian diberi warna dan animasi serta dimasukkannya efek bunyi. Unsur bahasa masih berperan untuk mengungkapkan gagasan walaupun ada huruf-huruf yang dianimasi tertutup oleh foto atau lukisan yang digunakan sebagai bahan inspirasi.Penggunaan fasilitas animasi pada huruf serta ukuran huruf membatasi usaha pembacaan puisi karena kecepatan gerak yang dinamis atau berubah-ubah.

Memaknai puisi secara umum adalah membaca kata-kata yang menunjukkan pada emosi, imajinasi, pemikiran dari pengalaman batin penyair.Unsur visual (tipografi, tata baris) yang sejak semula sebagai perwakilan bunyi dari bahasa lisan menjadi tidak sekadar susunan huruf atau kata tetapi juga gambaran dari benda nyata yang kemudian dikenal sebagai puisi

(14)

Dengan hadirnya perangkat komputer yang menawarkan program Microsoft Power Point puisi konkret dapat diprogramkan secara digital dengan fasilitas animasi (gerak), bunyi dan warna. Puisi digital tidak lagi memerlukan ruang pameran lukisan untuk mengkolaborasikan lukisan dengan puisi, maupun pertunjukan teaterikal di gedung kesenian karena fasilitas gerak, warna dan bunyi dapat diaplikasikan melalui program Microsoft Power Point yang dapat disimpan dalam compact disc atau flash disc, tetapi tidak dapat dicetak dalam bentuk buku karena ada unsur bunyi dan gerak (animasi).

Pemaknaan gerak atau animasi yang ditawarkan program Microsoft Power Point yang diaplikasikan bergantung pada unsur bahasa yang muncul pada puisi digital yang terkumpul dalam APDC. Beberapa fasilitas tersebut dimaknai oleh penikmat secara personal maka sukar diharapkan kesamaan pemahaman dan interpretasi. Hal ini tidak terjadi dalam medium bahasa yang mempunyai keseragaman makna, sebuah kata akan memiliki makna seragam, meskipun tidak seragam setidaknya ada keterkaitan makna satu sama lain, misalnya kata

jatuh bermakna gerakan ke bawah, menuju ke bawah, dan lain sebagainya yang menunjukkan makna ke bawah. Warna, misalnya, memberikan makna yang bisa jadi tidak behubungan.Misalnya warna merah, bisa diartikan berani, marah, romantis yang ketiganya tidak saling bersinggungan. Oleh karena itu puisi digital akan lebih dimaknai unsur bahasanya (kata) dibandingkan dengan keseluruhan karya kolaborasinya, maksudnya teks diamaknai terlebih dahulu kemudian diperkuat pemaknaannya dengan berbagai ukuran font dan warna seta gerak yang diikuti dengan bunyi dimaksudkan lebih menjelaskan gagasan yang muncul pada puisi.

Sebagai contoh puisi Rumah Tua karya Sutan Iwan Soekri Munaf yang menggunakan latar belakang dengan warna hitam dan lukisan Herry Dim dengan aplikasi fly in pada judul

(15)

terbaring mati. Lukisan yang dihadirkan dengan gerak perlahan tersebut memvisualisasikan frasa “nenek tidur dengan tenang” dan “bernisankan batu sunyi”. Ditambah dengan latar musik yang menambah rasa sedih,

Hal tersebut menjelaskan bahwa yang sedang terbaring adalah sang nenek dan gambar yang muncul sengaja diperlihatkan hanya seorang dari tiga orang yang ada dalam lukisan adalah si aku yang sedang bersedih meratapi sang nenek. Kolaborasi teks, gambar, warna dan bunyi pada slide tersebut menghasilkan citraan rasa yang kuat sebagaimana yang diharapkan oleh teks, yaitu rasa yang sedih dan kehilangan.

Puisi “Jantan” dari slide pembuka sudah menawarkan kegagahan dengan keberadaan teks ‘Jantan’ yang berwarna garadasi merah-oranye menyala. Makna jantan menjadi sangat lugas disampaikan melalui warna dan musik/suar yang menghentak pada pembukaan. Pada slide-slide selanjutnya bentuk dan warna teks disesuaikan dengan maksud dan tujuan teks, misalnya pada slide kedua bait yang dimulai dengan kata darah, berwarna merah menyerupai

darah. Kemudian bait selanjutnya yang dimulai dengan kata bintang, berwarna gradasi biru-ungu yang menggambarkan malam hari, bintang hanya terlihat jelas di malam hari. Lalu bait selanjutnya yang memuat kata pagi, berwarna kuning dan berbentuk menyerupai matahari, matahari berwarna kuning dan dapat dilihat manusia pada pagi hari. Digitalisasi tersebut membantu merangsang penglihatan menemukan maksud pada teks.

Sebagaimana telah dijelaskan di atas, masing puisi memiliki gagasan masing-masing yang ingin ditunjukkan atau diperjelas dengan keberadaan kolaborasi aplikasi yang dapat dimanfaatkan dari program Microsoft Power Point.Tidak semua efek digital yang terdapat pada puisi bekerja seimbang, selalu ada hal yang memang sengaja dikhususkan atau diunggulkan untuk mencapai harapan, maksud dan tujuan teks, misalkan lebih pada

(16)

tersebut, sehingga maksud dan tujuan teks tepat sasaran dan mengurangi resiko multi interpretasi puisi oleh pembaca.

Pada penjelasan diatas disampaikan bagian-bagian yang mendukung eksistensi puisi digital, tetapi di sisi lain digitalisasi mengakibatkan fokus puisi terpecah. Hal tersebut dikarenakan tidak menyatunya unsur-unsur digital sehingga memunculkan interpretasi baru. Misalnya pada puisi ingat lesli basuki, unsur gerak memunculkan interpretasi yang melenceng dari unsur rasa yang dihasilkan oleh teks, nuansa yang ditawarkan oleh teks adalah rasa rindu dan kesedihan yang membaur, namun dengan kemunculan gerak yang cepat menyarankan rasa menggebu-gebu atau terburu-buru tidak lagi halus sebagaimana diinginkan teks.

Begitu pula yang terjadi pada puisi Ombak Malam, penggunaan unsur warna dan suara pada puisi tersebut tidak menyarankan nuansa sebagaimana dimaksudkan oleh teksnya.Pada teks rasa yang ingin disampaikan adalah rasa rindu yang mendayu-dayu seperti

ombak, namun keberadaan warna yang mencolok dan suara boom yang menggertak memecah nuansa sendu yang ingin disampaikan oleh teks.

Keberadaan unsur digital di satu sisi membantu teks untuk menyampaikan maksud dan tujuannya, namun di sisi lain sebagaimana dijelaskan, semakin mempersulit teks menyampaikan gagasan karena unsur-unsur tersebut menyuguhkan banyak variasi yang belum bisa menyatu dengan teksnya

Berdasar pada penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa puisi-puisi pada APDC memenuhi unsur teks puisi yang dianggap bernilai sastra sebagaimana dipertanyakan oleh Ridwan pada buku Cyber Graffiti, Polemik Sastra Cyberpunk (2004) yaitu pemilihan kata, penggunaan gaya bahasa, permainan bunyi dan pengolahan rasa

(17)

Selanjutnya penggunaan media komputer dengan program Microsoft Power Point pada tiap puisi sebagai pertanggungjawaban istilah cyber yang disandang oleh APDC. Adanya unsur warna, bunyi dan gerak dengan penggunaan aplikasi pada Microsoft Power Point menunjukkan segi digital pada APDC sehingga pantas disebut puisi cyber.Hal-hal tersebut juga semakin menghidupkan nyawa pada puisi-puisi tersebut, bukan hanya sebagai tempelan yang tidak bermakna.

Perpaduan antara unsur puisi konkret seperti pemilihan kata, penggunaan gaya bahasa, permainan bunyi, pengolahan rasa dan fasilitas aplikasi pada program Microsoft Power Point menghasilkan karya yang ketika dilihat (dibaca) puisi digital seperti menikmati sebuah pertunjukan. Karena beragam fasilitas yang ditawarkandan diaplikasikan pada sebuah puisi digital maka tidak jarang penikmat hanya mendapatkan gambaran global tanpa detil yang rinci kecuali mulai menelusuri setiap slide yang dibuat penyairnya. Layaknya menikmati musik,tarian dan pementasan drama maupun

film, karena eksistensi kewaktuan berjalan maju, artinya penikmat tidak dapat kembali ke bagian pembuka atau sebelumnya.

(18)

DAFTAR PUSTAKA

Anon. 1998 Encarta 98 Encyclopedia.CD-ROM. New York: Microsoft Corporation Arisel Ba. 2005. “Definisi Puisi” (dari berbagai sumber bacaan)

http://ariselba.blogdrive.com/comments?id=26, Wednesday, Mei 06, 2005 Benjamin, Walter. 1936. “The Work of Art in the Age of Mechanical Reproduction”.

http://bid.berkeley.edu/bidclass/readings/benjamin.html

Damono, Sapardi Djoko. 1978. Sosiologi Sastra; Sebuah Pengantar. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa

Endaswara, Suwardi. 2003. Metodologi Penelitian Sastra. Yogjakarta: Pustaka Widyatama. Jatman, Darmanto, Drs. 1985.Sastra, Psikologi dan Masyarakat. Bandung: Penerbit Alumni Nunuk Suraja, Cunong, 2005. Kajian Reproduksi Digital pada APDC.Tesis. Universitas

Indonesia Jakarta

Perrine, Laurence. 1969.Sound and Sense, An Introduction to Poetry, third edition. New York: Harcourt, Brace & World, Inc.

Pradopo, Rachmat Djoko, 2000. Pengkajian Puisi, Analisis Strata Norma dan Analisis Struktural dan Semiotik. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Prakoso, Tommy. 2002. “Pengantar Antologi Puisi Digital”, Cyberpuitika, CD-ROM, Jakarta: Yayasan Mulimedia Sastra.

Puspita Dewi, Erna. 2008. “Sistem Tanda dalam Puisi Digital Cyberpuitika”, Skripsi. Universitas Brawijaya Malang

Ridwan, Juniarso. 2004. “Menggugat Cyberpuitika” dalam Saut Situmorang,

2004. Cyber Graffiti, Polemik Sastra Cyberpunk, Edisi Revisi. Yogyakarta: Penerbit Jendela.

Stensaas, Starla. 2000. “New Media, Old Art Forms: Art in the Age of Digital Reproduction”.

http://www.starlastensaas.net/resume/reproduction/index.html 13, Mei 12 2012.13:19 Sumardjo, Jakob.“Menggali Kekayaan Medium Cybersastra”,dapat

http://cybersastra.net/cgibin/naskah/viewesai.cgi?category=5&id= 10303620,Senin, Agustus 26, 2002

Toda, Dami, N. 1984. “Lampiran II: Kredo Puisi”Hamba-hamba Kebudayaan. Jakarta: Penerbit Sinar Harapan.

Waluyo, Herman J. 1987.Teori dan Apresiasi Puisi. Jakarta: Penerbit Erlangga ______. .2002. Apresiasi Puisi. Jakarta: Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama

Wellek, Rene dan Warren, Austin. 1989.Teori Kesusastraan, terjemahan Melani Budianta. Jakarta: Penerbit PT Gramedia.

Zervos, Komninos. 2002. “Are You Sure It's”,

http://pandora.nla.gov.au/pan/10267/20020306/www.uq.net.au/_zzkozerv ________. 2002. “Cyberpoetry”, thesis.

Gambar

Gambar 45
Gambar 46
Gambar 48
Gambar 50
+2

Referensi

Dokumen terkait