• Tidak ada hasil yang ditemukan

PARADIGMA EKOKRITIK GREG GARRARD DALAM PUISI KETIKA BURUNG MERPATI SORE MELAYANG DAN KOTAK SUARA PADA ANTOLOGI PUISI MALU (AKU) JADI ORANG INDONESIA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "PARADIGMA EKOKRITIK GREG GARRARD DALAM PUISI KETIKA BURUNG MERPATI SORE MELAYANG DAN KOTAK SUARA PADA ANTOLOGI PUISI MALU (AKU) JADI ORANG INDONESIA"

Copied!
113
0
0

Teks penuh

(1)

PARADIGMA EKOKRITIK GREG GARRARD DALAM PUISI

“KETIKA BURUNG MERPATI SORE MELAYANG” DAN

“KOTAK SUARA” PADA ANTOLOGI PUISI MALU (AKU) JADI ORANG INDONESIA KARYA TAUFIQ ISMAIL :

PENDEKATAN EKOLOGI SASTRA SKRIPSI

OLEH:

ELLA ASESTI 180701005

PROGRAM STUDI SASTRA INDONESIA FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2022

(2)
(3)
(4)
(5)

ABSTRAK

Puisi adalah salah satu bentuk karya sastra yang menjadi media bagi penyair untuk menyampaikan gagasannya. Gagasannya tersebut salah satunya didasarkan pada hasil pengamatan terhadap lingkungan. Hal tersebut mengisyaratkan bahwa puisi juga terkait dengan keilmuan lain. Salah satu bidang ilmu yang dapat terkait dengan karya sastra adalah ekologi. Paradigma ekologi terhadap kajian sastra merupakan bentuk penerapan pendekatan ekologi dalam memandang sebuah karya sastra. Perjumpaan konsep ekologi dan karya sastra tersebut melahirkan suatu bentuk konsep ekokritik. Ekokritik merupakan kajian hubungan antara sastra dan lingkungan fisik. Kajian ini difokuskan pada dua judul puisi yaitu puisi

“Ketika Burung Merpati Sore Melayang”, dan “Kotak Suara”. Kerusakan lingkungan merupakan masalah yang penting untuk diperhatikan. Kerusakan lingkungan dapat terjadi karena keseimbangan ekosistem terganggu. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengkaji struktur lahir dan struktur batin serta wujud ekokritik terhadap puisi karya Taufiq Ismail berjudul “Ketika Burung Merpati Sore Melayang”, dan “Kotak Suara”. Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah deskriptif kualitatif. Hasil dari penelitian ini adalah terdapat empat wujud ekokritik dalam puisi “Ketika Burung Merpati Sore Melayang” dan “Kotak Suara”, yaitu, pertama, kritik terhadap persoalan bencana alam. Kedua, kritik terhadap persoalan kebakaran hutan. Ketiga kritik terhadap pencemaran udara.

Keempat kritik terhadap persoalan kerusakan lahan pertanian. Kesimpulan dalam penelitian ini adalah, melalui pendekatan ekokritik, puisi “Ketika Burung Merpati Sore Melayang” dan “Kotak Suara” karya Taufiq Ismail ini dapat terlihat wujud ekokritik, penyebab rusaknya ekosistem karena ulah manusia dan sikap manusia yang ditimbul terhadap fenomena alam tersebut.

Kata Kunci: Sastra, Puisi, dan Ekokritik.

(6)

PRAKATA

Segala puji dan syukur penulis ucapkan kepada Allah Swt atas rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penyusunan skripsi yang berjudul “Paradigma Ekokritik dalam Puisi “Ketika Burung Merpati Sore Melayang” dan “Kotak Suara” Karya Taufiq Ismail: Pendekatan Ekologi Sastra”. Skripsi ini disusun dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk memeroleh gelar Sarjana Sastra di Program Studi Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara.

Dalam proses penyelesaian skripsi ini, penulis banyak menerima bantuan, bimbingan, arahan, dan saran-saran dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan rasa hormat dan terima kasih kepada:

1. Rektor Universitas Sumatera Utara Dr. Muriyanto Amin, S.Sos., M.Si.

serta segenap wakil rektor beserta jajarannya yang telah menyediakan segala fasilitas, sarana, dan prasarana selama penulis mengenyam pendidikan di Universitas Sumatera Utara.

2. Dr. Dra. T. Thyrhaya Zein, M.A. sebagai Dekan Fakultas Ilmu Budaya serta segenap Wakil Dekan beserta jajarannya yang turut mendukung, memotivasi, serta menyediakan segala sarana dan prasarana di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara.

3. Dr. Dwi Widayati, M.Hum. sebagai Ketua Program Studi Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya dan Dra. Nurhayati Harahap, M.Hum. sebagai

(7)

4. Prof. Dr. Ikhwanuddin Nasution, M.Si. sebagai Pembimbing yang telah meluangkan waktu dalam memberikan bimbingan, saran, evaluasi, ilmu yang membangun, dan motivasi serta kesediaan dan kesabarannya selama proses penulisan skripsi.

5. Dr. Dwi Widayati, M.Hum. dan Dra. Nurhayati Harahap, M.Hum. Sebagai Dosen Penguji yang telah memberikan evaluasi, masukan serta saran yang membangun terhadap penelitian ini demi kesempurnaan penelitian skripsi ini.

6. Seluruh Dosen dan Staf Pengajar Program Studi Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya, yang selalu memberi dukungan, ilmu, penanaman nilai-nilai universal, dan nasihat kepada penulis selama mengikuti kegiatan akademis di Program Studi Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara.

7. Bapak Joko Santoso, A.Md. yang begitu sabar dan piawai dalam mempermudah administrasi maupun sirkulasi prosedur akademik selama penulis mengenyam pendidikan.

8. Ayah penulis Anas Nasrul yang telah mendidik, merawat, memberi segala kebutuhan hidup penulis, atas doa, dan dukungan serta kesabaran dalam mendidik penulis. Mama penulis Yulidarni, yang telah melahirkan dan merawat penulis, senantiasa sabar serta tulus membesarkan, mendidik bahkan mencurahkan kehangatannya pada penulis. Segala kesuksesan yang penulis raih sampai saat ini adalah berkat doa-doa yang Ayah dan Mama panjatkan di setiap sujud. Terima kasih Ayah dan Mama atas semua

(8)

harapan dan doa terbaik yang selalu ada untuk penulis.

9. Adik-adik penulis Jaka Mahendra dan Ahmad Zikri Solihin yang selalu memberi semangat dan dukungan kepada penulis.

10. Segenap Himpunan Mahasiswa Jurusan Keluarga Bahasa dan Sastra Indonesia (KBSI) khususnya kepengurusan periode 2021-2022 yang begitu totalitas dan penuh dedikasi serta kepercayaannya sehingga penulis memimpin kepengurusan ini dengan keikhlasan untuk senantiasa berproses, berbagi ilmu, pemahaman, mengasah kemampuan sosial, dan komunikasi.

11. Segenap Keluarga Besar KAMMI Merah Putih USU khususnya kepengurusan periode 2021-2022 yang telah memberi ruang dan kesempatan belajar kepada penulis untuk berproses dan mengembangkan potensi selama mengemban amanah.

12. Segenap Keluarga Besar penerima beasiswa BADA USU dan para Pembina beasiswa BADA USU atas dukungan yang telah diberikan baik berupa moril maupun materil.

13. Segenap Keluarga Besar Akademi Mahasiswa Berprestasi Universitas Sumatera Utara khususnya kepengurusan periode 2021-2022 yang telah memberi wadah untuk penulis belajar, berproses dan mengembangkan potensi yang dimiliki selama menjadi mahasiswa di Universitas Sumatera Utara.

14. Kakanda Latifah Yusri Nasution, S.S., M.Si. yang telah banyak membantu penulis dalam proses menyelesaikan penelitian skripsi ini.

(9)

15. Teman-teman angkatan 2018 dan sahabat penulis khusunya, Widiya Utari Sinaga, Lisa Aprillia, Dedhe Yusfi Rangkuti, Fatimah Azzahra, Siti Rohani, May Salamah Purba yang telah membersamai dari awal PKKMB hingga saat ini. Menjadi bagian dari cerita penempahan potensi selama di bangku kuliah.

16. Teman-teman kos penulis yaitu Jihan Lestari Saragih, Cyndi Patika Sari, dan Dwi Varah Mayzura Nasution yang telah membersamai dalam suka maupun duka dan juga memberi semangat dan dukungan penulis sejak awal kuliah hingga menyelesaikan pendidikan Sarjana Sastra di Universitas Sumatera Utara.

17. Seluruh keluarga besar Universitas Sumatera Utara dan seluruh pihak yang telah membantu secara langsung maupun tidak langsung selama penulis mengenyam pendidikan di kampus tercinta.

Akhirmya, penulis berharap skripsi ini dapat menambah wawasan dan pengetahuan pembaca mengenai “Paradigma Ekokritik dalam Puisi “Ketika Burung Merpati Sore Melayang” dan “Kotak Suara” Karya Taufiq Ismail:

Pendekatan Ekologi Sastra”.

Medan, 18 Februari 2022

Ella Asesti

(10)

DAFTAR ISI

HALAMAN PERSETUJUAN...i

HALAMAN PENGESAHAN...ii

HALAMAN PERNYATAAN...iii

ABSTRAK...iv

PRAKATA...v

DAFTAR ISI...ix

BAB 1 PENDAHULUAN ...1

1.1 Latar Belakang...1

1.2 Batasan Masalah...5

1.3 Rumusan Masalah ...5

1.4 Tujuan Penelitian...5

1.5 Manfaat Penelitian...6

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA...8

2.1 Konsep...8

2.1.1 Sastra... 8

2.1.2 Puisi... 8

2.1.3 Ekologi Sastra...9

2.2 Landasan Teori... 10

2.2.1 Ekokritik... 10

2.2.2 Paradigma Ekokritik...14

2.2.3 Ekologi Sastra sebagai Ilmu Bantu dalam Kritik Sastra...15

(11)

2.2.4 Puisi... 21

2.3 Tinjauan Pustaka...35

BAB III METODE PENELITIAN...38

3.1 Metode Penelitian...38

3.2 Data dan Sumber Data...39

3.2.1 Data...38

3.2.2 Sumber Data Primer... 38

3.3 Teknik Pengumpulan Data... 40

3.4 Teknik Analisis Data... 40

BAB IV PEMBAHASAN... 43

4.1.Puisi "Ketika Burung Merpati Sore Melayang"... 43

4.2. Struktur Lahir dan Struktur Batin yang Membangun dalam Puisi KBMSM. 49 4.2.1 Struktut Lahir dalam Puisi "Ketika Burung Merpati Sore Melayang"...48

4.2.2 Struktur Batin dalam Puisi "Ketika Burung Merpati Sore Melayang" ..51

4.3 Puisi "Kotak Suara" ... 54

4.4 Struktur Lahir dan Struktur Batin yang Membangun dalam Puisi KS ...58

4.4.1 Struktut Lahir dalam Puisi "Kotak Suara" ...58

4.4.2 Struktur Batin dalam Puisi "Kotak Suara" ... 70

4.5 Wujud Ekokritik dalam Puisi KBMSN dan KS... 73

4.5.1 Wujud Ekokritik dalam Puisi "Ketika Burung Merpati Sore Melayang" 74 4.5.2 Wujud Ekokritik dalam Puisi "Kotak Suara"... 77

(12)

BAB V SIMPULAN DAN SARAN ... 95 DAFTAR PUSTAKA ... 98

(13)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sastra sebagai cabang dari seni yang merupakan unsur integral dari kebudayaan usianya sudah cukup tua. Sastra telah menjadi bagian dari pengalaman hidup manusia sejak dahulu, baik dari aspek manusia sebagai penciptanya maupun aspek manusia sebagai penikmatnya. Bagi manusia sebagai pencipta karya sastra, dalam hal ini pengarang dalam sastra tulis dan pawang atau pelipur lara dalam sastra lisan, karya sastra merupakan curahan pengalaman batinnya tentang fenomena kehidupan sosial dan budaya masyarakat pada masanya. Ia juga merupakan ungkapan peristiwa, ide, gagasan, serta nilai-nilai kehidupan yang diamanatkan di dalamnya. Sastra mempersoalkan manusia dalam segala aspek kehidupannya sehingga karya itu berguna baik untuk mengenal manusia dan budayanya dalam kurun waktu tertentu. Karya sastra dimanfaatkan oleh sastrawan guna menciptakan fungsi terhadap pembaca, baik itu berupa fungsi estetik maupun berupa fungsi karya sastra sebagai cerminan dari masyarakat.

Karya sastra merupakan suatu bentuk ungkapan pengarang berupa pemikiran, gagasan, maupun pengalaman yang diwujudkan dalam suatu gambaran konkret sebagai suatu bentuk kreativitas. (Sumardjo dan Saini, 1997:3-4) menyatakan bahwa sastra adalah ungkapan pribadi manusia berupa pengalaman pemikiran, perasaan, ide, semangat, keyakinan dalam suatu bentuk gambaran konkret yang membangkitan pesona dengan alat bahasa. Berdasarkan hal tersebut,

(14)

jelas bahwa karya sastra mempunyai unsur-unsur berupa pemikiran, ide, dan gagasan. Sebagai bentuk pemikiran atas sebuah gagasan, karya sastra mampu menjadi media bagi pengarang untuk menyampaikan berbagai hal yang dianggap penting. Keberadaan sastra yang demikian dapat diposisikan sebagai dokumen (Pradopo dalam Jabrohim 2001: 59).

Pada dasarnya kehidupan manusia sangatlah kompleks dengan berbagai persoalan dan problematikanya. Pada kehidupan yang kompleks tersebut, terdapat beberapa permasalahan kehidupan yang mencakup hubungan antarmanusia, antarmasyarakat, antarmanusia dengan Tuhannya, antarmanusia dengan lingkungan dan antarperistiwa yang terjadi dalam batin seseorang. Bagi seorang pengarang yang peka terhadap permasalahan-permasalahan tersebut, dengan hasil perenungan, penghayatan, dan hasil imajinasinya, kemudian penyampaian gagasan tersebut dapat diwujudkan dalam berbagai bentuk karya sastra, salah satunya adalah puisi. Sebagai salah satu bentuk dari karya sastra, puisi menggunakan kata-kata indah dan kaya makna (Kosasih, 2012:97). Pendapat itu sejalan dengan pernyataan bahwa puisi disebut sebagai ekspresi kreatif atau yang mencipta (Pradopo, 2009:12).

Pengertian lain menyatakan bahwa puisi merupakan pernyataan perasaan yang imajinatif, yaitu perasaan yang direkakan atau diangankan (Wordsworth melalui Pradopo, 2009:6). Coleridge berpendapat juga bahwa puisi adalah kata- kata yang terindah dalam susunan terindah (Pradopo, 2009: 6). Seperti yang dikemukakan oleh Semi (1988:19), bahwa karya sastra banyak terkait dengan bidang ilmu pengetahuan yang lain. Di dalam sebuah bentuk karya sastra yang

(15)

baik, maka akan ditemui unsur-unsur ilmu pengetahuan lain seperti ilmu psikologi, filsafat, sains, ekologi, dan lain sebagainya. Salah satu bidang ilmu yang dapat terkait dengan karya sastra adalah ekologi. Ekologi adalah ilmu mengenai hubungan timbal balik antara makhluk hidup dan lingkungannya. Sedangkan ekologi sastra adalah sebuah cara pandang memahami persoalan lingkungan hidup dalam perspektif sastra. Atau sebaliknya, bagaimana memahami kesastraan dalam perspektif lingkungan hidup.

Ekologi sastra juga dapat diartikan sebagai studi mengenai pedoman yang berkaitan dengan menulis dan membaca yang menggambarkan serta mempengaruhi interaksi makhluk hidup dengan alam sekitar pada sebuah karya sastra. Hal ini sejalan dengan Endraswara (2016:90) yang berpendapat bahwa ekologi sastra merupakan studi yang berkaitan dengan cara-cara mengenai membaca dan menulis baik mencerminkan serta mempengaruhi interaksi manusia dengan alam. Ekologi sastra merupakan kajian interdisipliner yang membahas masalah dari sudut pandang ekologi dan sastra. Kedua disiplin ilmu tersebut digunakan untuk mengkaji hubungan antara makhluk hidup atau manusia dengan lingkungannya. Hal tersebut saling berkaitan, karena setiap karya sastra pasti memiliki suatu peristiwa yang melibatkan lingkungan sekitarnya.

Adanya bidang keilmuan ekologi sastra tersebut menunjukkan bahwa sebagai salah satu bentuk karya sastra, puisi juga dapat berkaitan dengan alam sekitar. Penyair dapat mengeksploitasi alam serta lingkungan yang ada di sekitarnya sebagai inspirasi penciptaan puisi maupun media penyalur pesan-pesan tertentu kepada pembaca.

(16)

Pada penelitian ini akan dibahas mengenai wujud ekokritik di dalam beberapa puisi yang ada di antologi puisi Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia yaitu puisi yang berjudul “Ketika Burung Merpati Sore Melayang” dan “Kotak Suara”

dengan menggunakan paradigma Gred Garrard. Puisi tersebut merupakan puisi dari penyair yang bernama Taufiq Ismail. Dalam antologi puisi Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia merupakan salah satu bentuk ungkapan penyair yang menjadikan lingkungan sebagai salah satu sumber inspirasi dalam berkarya yang diwujudkan dalam bentuk puisi yang menyajikan pesan-pesan tertentu yang terkait dengan alam.

Pembahasan ini memanfaatkan teori ekokritik paradigma Greg Garrad, karena menurut peneliti dengan menggunakan paradigma Greg Garrard mengenai ekokritik sangat tepat untuk membantu peneliti menemukan wujud ekokritik yang terdapat dalam puisi “Ketika Burung Merpati Sore Melayang” dan “Kotak Suara”

karya Taufiq Ismail ini dan kajian ekokritik digunakan sebagai pengungkap pesan dalam puisi yang memanfaatkan permasalahan terkait dengan lingkungan tersebut. Hal itu sejalan dengan menurut Garrard (2004:14) mengatakan bahwa pentingnya pengetahuan ekologi bukan hanya untuk melihat harmoni dan stabilitas lingkungan, tetapi juga untuk mengetahui sikap dan perilaku manusia.

Oleh karena itu, analisis ekokritik bersifat interdisipliner yang merambah disiplin lain, yaitu sastra, budaya, filsafat, sosiologi, psikologi, sejarah lingkungan, politik dan ekonomi, dan studi keagamaan..

(17)

1.2 Batasan Masalah

Pembatasan masalah digunakan agar peneliti fokus terhadap masalah yang akan dikaji. Dalam penelitian ini, peneliti membatasi penelitian pada struktur lahir dan struktur batin yang membangun puisi Taufiq Ismail yang berjudul “Ketika Burung Merpati Sore Melayang” dan “Kotak Suara”, serta membatasi pada wujud ekokritik yang terkandung dalam puisi “Ketika Burung Merpati Sore Melayang” dan “Kotak Suara” karya Taufiq Ismail.

1.3 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah:

1. Bagaimanakah struktur lahir dan struktur batin yang membangun dalam puisi karya Taufiq Ismail yang berjudul “Ketika Burung Merpati Sore Melayang”

dan “Kotak Suara”?

2. Bagaimanakah wujud ekokritik yang terkandung dalam puisi karya Taufiq Ismail yang berjudul “Ketika Burung Merpati Sore Melayang” dan “Kotak Suara” ?

1.4 Tujuan Penelitian

Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah :

1. Mendeskripsikan struktur lahir dan struktur batin yang terkandung dalam puisi karya Taufiq Ismail yang berjudul “Ketika Burung Merpati Sore Melayang” dan “Kotak Suara”.

(18)

2. Mendeskripsikan wujud ekokritik dalam puisi karya Taufiq Ismail yang berjudul “Ketika Burung Merpati Sore Melayang”, dan “Kotak Suara”.

1.5 Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian dibedakan menjadi dua macam yaitu manfaat teoretis dan manfaat praktis (Ratna, 2016:273):

a) Manfaat Teoretis

1. Hasil penelitian ini, secara teoretis diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran dalam memperkaya wawasan ilmu ekokritik.

2. Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dalam mendeskripsikan struktur lahir, struktur batin dan ekokritik dalam karya sastra, khususnya dalam puisi karya Taufiq Ismail yang berjudul “Ketika Burung Merpati Sore Melayang”, dan “Kotak Suara”.

3. Penelitian ini diharapkan mampu menambah informasi baru dan menambah variasi penelitian di bidang sastra, khususnya dalam analisis mengenai kajian ekokritik dalam sebuah puisi.

b) Manfaat Praktis 1. Bagi Peneliti

Penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan peneliti mengenai ekologi sastra (ekokritik) dalam puisi “Ketika Burung Merpati Sore Melayang

“ dan “Kotak Suara” karya Taufiq Ismail.

(19)

2. Bagi Mahasiswa

Penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai dasar dan salah satu acuan untuk penelitian-penelitian yang relevan di masa yang akan datang.

3. Bagi Pembaca Sastra

Penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan pembelajaran kepada pembaca untuk mengetahui ekologi sastra (ekokritik) dalam puisi “Ketika Burung Merpati Sore Melayang”, dan “Kotak Suara” karya Taufiq Ismail.

(20)

BAB II

KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep

Pada dasarnya konsep merupakan abstraksi dari suatu gambaran ide, atau menurut Kant yang dikutip oleh Harifudin Cawidu yaitu gambaran yang bersifat umum atau abstrak tentang sesuatu. Fungsi dari konsep sangat beragam, akan tetapi pada umumnya konsep memiliki fungsi yaitu mempermudah seseorang dalam memahami suatu hal. Karena sifat konsep sendiri adalah mudah dimengerti, serta mudah dipahami. Melalui konsep, peneliti diharapkan akan dapat menyederhanakan pemikirannya dengan menggunakan satu istilah untuk beberapa kejadian (events) yang berkaitan satu dengan lainnya (Djojosuroto dan Sumaryati, 2000:10).

2.1.1 Sastra

Menurut Wellek & Warren (2016:3) sastra merupakan suatu karya seni, karya kreatif manusia yang mengandung nilai estetik. Sebagai wujud seni budaya, sastra memiliki dunia tersendiri yang merupakan pengejawantahan kehidupan sebagai hasil pengamatan sastrawan terhadap kehidupan sekitarnya.

2.1.2 Puisi

Menurut Pradopo (2012: 7) menyatakan bahwa puisi sebagai rekaman dan

(21)

berkesan. Puisi disebut sebagai ekspresi kreatif (yang mencipta) (Pradopo, 2009:

12). Pengertian lain menyebutkan bahwa puisi merupakan pernyataan perasaan yang imajinatif, yaitu perasaan yang direkakan atau diangankan (Wordsworth melalui Pradopo, 2009: 6). Coleridge berpendapat juga bahwa puisi adalah katakata yang terindah dalam susunan terindah (Pradopo, 2009: 6).

2.1.3 Ekokritik

Menurut Garrard (2004:5) ecocriticism meliputi studi tentang hubungan antara manusia dan nonmanusia, sejarah manusia dan budaya yang berkaitan dengan analisis kritis tentang manusia dan lingkungannya. Lebih lanjut, Garrard (2004) menegaskan ecocriticism mengeksplorasi cara-cara manusia membayangkan dan menggambarkan hubungan antara manusia dengan lingkungan dalam segala hasil budaya.

2.1.4 Paradigma

Menurut Nyoman Kutha Ratna (2011:21) secara luas paradigma didefinisikan sebagai seperangkat keyakinan mendasar, pandangan dunia yang berfungsi untuk menuntun tindakan-tindakan manusia yang disepakati bersama, baik dalam kehidupan sehari-hari maupun penelitian ilmiah. Bagi seorang ilmuwan paradigma dengan demikian dianggap sebagai konsep-konsep kunci dalam melaksanakan suatu penelitian tertentu, sebagai jendela dari mana ia dapat menyaksikan dunianya secara jelas.

(22)

Senada dengan Ratna, pengertian lain mengenai paradigma dikemukakan oleh M. Atar Semi (1993:51), paradigma adalah orientasi teori yang membimbing peneliti dalam berpikir dan meneliti dinamakan paradigma. Dari batasan paradigma yang dikemukakan oleh Ratna dan Semi di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa paradigma merupakan landasan dasar suatu penelitian bagi seorang peneliti. Pendekatan, metode, teknik dan langkah- langkah penelitian lainnya, masing-masing elemen tidak akan terjalin selaras dan memiliki relevansi penelitian tanpa paradigma peneletian.

2.2 Landasan Teori

Landasan teori adalah sebuah konsep dengan pernyataan yang tertata rapi dan sistematis mempunyai variabel dalam penelitian karena landasan teori menjadi landasan yang penting dalam penelitian yang akan dilakukan. Landasan teori merupakan bagian dari penelitian yang memuat teori-teori dan hasil-hasil penelitian yang berasal dari studi kepustakaan yang memiliki fungsi sebagai kerangka teori untuk menyelesaikan pekerjaan penelitian.

2.2.1 Ekokritik

Istilah ekokritik (ecocriticism) berasal dari bahasa Inggris yang merupakan bentukan kata ecology dan criticism. Ekologi merupakan bentukan dari kata oikos dan logos. Dalam bahasa Yunani, oikos berarti rumah-tempat tinggal: tempat tinggal semua perempuan dan laki-laki, hewan, tumbuhan, air, tanah, udara, dan matahari. Ekologi mempelajari hubungan antarmanusia dan lingkungan hidup,

(23)

dapat diartikan sebagai kajian ilmiah tentang pola hubungan tumbuh-tumbuhan, hewan-hewan, dan manusia terhadap satu sama lain dan terhadap lingkungan- lingkungannya. Sedangkan ‘kritik’ berasal dari kata ‘krinein’ dalam bahasa Yunani, yang diartikan sebagai bentuk ‘menghakimi’ dan ‘ekspresi penilaian’

tentang kualitas-kualitas baik atau buruk.

Teori ekokritik bersifat multidisiplin. Di satu sisi ekokritik menggunakan teori sastra dan di sisi lain menggunakan teori ekologi. Teori sastra merupakan teori yang multi disiplin begitu pula teori ekologi. Dalam aras teori sastra, teori ekokritik dapat dirunut dalam paradigma teori mimetik yang memiliki asumsi dasar bahwa kesusastraan memiliki keterkaitan dengan kenyataan. Sejak zaman Yunani hingga kini, paradigma teori mimetik mengalami berbagai peralihan.

Mulai dari paradigma imitasi Plato, rekreasi Aristoteles, refleksi Stendhat, refraksi Levin, defleksi Trotsky, difraksi Baudrillard, sampai paradigma deformasi. Di samping itu ekokritik dapat dirunut dalam paradigma triade Taine tentang ras, momen dan milieu yang menjelaskan bagaimana proses kreasi digerakan oleh faktor sosial, iklim, dan biologis (Wellek dan Warren, 1989:126-127). Berkat perjumpaan dengan teori ekologi, teori sastra semakin berkembang dan menumbuhkan ekokritik.

Kata "ekologi" merupakan ciptaan kata baru, yang pertama-tama diusutkan oleh ahli biologi bangsa Jerman Ernest Haeckel pada tahun 1869.

Biasanya ekologi didefinisikan sebagai kajian hubungan organisme-organisme atau kelompok-kelompok organisme terhadap lingkungannya, atau ilmu yang mengkaji hubungan timbal balik antara organisme-organisme hidup dan

(24)

lingkungan. Dalam paradigma biologi, ekologi dibagi menjadi dua bidang:

autekologi yang membahas pengkajian individu organisme atau spesies dengan menekankan sejarah hidup dan perilaku sebagai cara-cara penyesuaian diri terhadap lingkungan, dan synekologi yang membahas pengkajian golongan atau kumpulan yang berasosiasi bersama sebagai satu satuan (Odum, 1996:5). Akan tetapi ekologi bukan sekedar cabang biologi.

Ekologi mencakup rangkaian ilmu alam, ilmu sosial, filsafat, dan pengetahuan secara menyeluruh. Pendekatan holistiknya membuat ilmu ini menjadi luas. Pokok utama yang dibahas adalah kesalingtergantungan semua makhluk hidup (Croall dan Rankin, 1997:1261). Seperti ilmu-ilmu lainnya, ekologi bisa digunakan untuk tujuan baik dan buruk, tergantung pada pelakunya.

Ekologi dapat digunakan untuk melindungi atau mengekploitasi alam, untuk menentukan apa yang dapat dan tidak dapat dilakukan jika jaringan hidup ingin tetap dijaga utuh atau untuk menjustifikasi rasisme atau mengacaukan isu dan memunculkan kesenjangan, dan dapat pula digunakan untuk mengkritik masyarakat secara radikal, (Croall, dan Rankin, 1997:130-131). Teori ekologi dapat digunakan sebagai alat kritik, maka perjumpaannya dengan teori sastra melahirkan ekokritik.

Menurut Garrard (2004:5) ecocriticism meliputi studi tentang hubungan antara manusia dan nonmanusia, sejarah manusia dan budaya yang berkaitan dengan analisis kritis tentang manusia dan lingkungannya. Lebih lanjut, Garrard (2004) menegaskan ecocriticism mengeksplorasi cara-cara manusia membayangkan dan menggambarkan hubungan antara manusia dengan

(25)

lingkungan dalam segala hasil budaya. Ecocriticism diilhami oleh (juga sebagai sikap kritis dari) gerakan-gerakan lingkungan modern. Garrard menelusuri perkembangan gerakan itu dan mengekplorasi konsep-konsep yang terkait tentang ekokritik, sebagai berikut: (a) pencemaran (polution), (b) hutan belantara (wilderness), (c) bencana (apocalypse), (d) perumahan/tempat tinggal (dwelling), (e) binatang (animals), dan (f) bumi (earth).

Ecocriticism memusatkan analisis data pada ‘green’ moral dan political agenda. Dalam hubungan ini, ecocriticism berhubungan erat dengan pengembangan dalam teori filsafat dan politik yang berorientasikan pada lingkungan. Richard Kerridge mengajukan definisi ecocriticism sebagaimana Richard Kerridge dan Neil Sammells dalam bukunya Writing the Enviroment (1998). Definisi yang dibuat Richard Kerridge tampak lebih luas, yaitu ecocriticism kultural. Mengacu pada definisi ini, ecocriticism menggarap gagasan- gagasan dan representasi-representasi lingkungan di mana saja muncul dalam berbagai ruang budaya yang besar. Cheryll Glotfelty and Harold Fromm mengajukan gagasan tentang ‘ecocriticism’ melalui esai bertajuk The Ecocriticism Reader: Landmarks in Literary Ecology (1996). Kedua pakar tersebut berusaha menjelaskan konsep ‘back to nature’ (kembali ke alam) terhadap karya sastra dengan menggunakan pendekatan yang berpusat pada bumi.

Kerusakan lingkungan sebenarnya bersumber pada filosofi atau cara pandang manusia mengenai dirinya, lingkungan atau alam, dan tempatnya dalam keseluruhan ekosistem. Beberapa cara pandang tersebut adalah cara pandang antroposentris, biosentris, dan ekosentris (Naess dalam Keraf, 2010a:2-4).

(26)

Antroposentris memandang manusia sebagai penguasa atau pusat dari alam semesta, dan hanya manusia yang mempunyai nilai, dan isinya sekadar alat bagi pemuasan. Manusia berhak melakukan apa saja terhadap alam. Nilai moral hanya berlaku bagi manusia yang berakal dan berkehendak bebas. Dengan demikian, bagi mereka yang tidak berakal dan tidak bebas, yaitu budak, perempuan dan ras kulit berwarna dapat diberlakukan sesuai dengan kehendak majikan dan laki-laki.

Dominasi manusia atas alam yang berangkat dari firman Tuhan tersebut menimbulkan segala macam praktik mulai dari perlakuan yang bertanggung jawab sampai dengan eksploitasi terhadap alam.

Berbeda dengan antroposentrisme, biosentrisme dan ekosentrisme berpendapat manusia merupakan salah satu entitas di alam semesta. Manusia mempunyai kedudukan yang sama dalam kehidupan di alam semesta ini.

Kehidupan manusia tergantung pada dan terkait erat dengan semua kehidupan lain di alam semesta. Manusia dituntut untuk mempunyai tanggung jawab moral terhadap semua kehidupan di alam semesta. Semua kehidupan di bumi mempunyai status moral yang sama, dan karena itu harus dihargai dan dilindungi haknya secara sama (Naess dalam Keraf, 2010b:6-11). Selanjutnya, (Naess dalam Keraf, 2010a:2) menyatakan bahwa kasus kerusakan lingkungan bersumber pada perilaku manusia yang tidak bertanggung jawab, tidak peduli, dan mementingkan diri sendiri.

Krisis lingkungan hanya bisa diatasi dengan melakukan cara pandang dan perilaku manusia terhadap lingkungannya. Hal itu menyangkut pola hidup atau gaya hidup tidak hanya individu tetapi juga masyarakat pada umumnya. Pola

(27)

produksi dan konsumsi yang berlebihan dan tidak ramah lingkungan disebabkan kemajuan ekonomi dan industri modern yang menawarkan pola hidup yang konsumerisme. Para ekonom cenderung mereduksi kehidupan manusia dan maknanya hanya sebatas makna ekonomis. Mereka menganggap pertumbuhan ekonomi sebagai hal penting.

2.2.2 Paradigma Ekokritik

Ekokritik memiliki paradigma dasar bahwa setiap objek dapat dilihat dalam jaringan ekologis dan ekologi dapat dijadikan ilmu bantu dalam pendekatan kritik tersebut. Ekokritik memiliki cara pandang bahwa setiap objek dapat dilihat dalam jaringan ekologis. Ekologi dapat dijadikan ilmu bantu dalam pendekatan kritik sastra. Kemunculan ecocriticism merupakan konsekuensi logis dari keberadaan ekologis yang semakin menentukan perhatian manusia. Selama dalam dominasi orientasi kosmosentris, teosentris, antroposentris, dan logosentris, keberadaan ekologi terlalu jauh dari pusat orientasi pemikiran dan bahkan terpinggirkan sehingga pada akhirnya terlupakan. Kondisi demikian disebabkan oleh ketidakseimbangan dominasi budaya yang terlalu eksploitatif terhadap alam.

Hal itu tampaknya berangkat dari pola pikir dikotomis nature-culture (alam- budaya). Kebudayaan melawan alam.

Menurut Rousseau, pelopor zaman romantik, manusia justru terasingkan dari dirinya sendiri oleh kemajuan ilmiah dan oleh kebudayaan pada umumnya dan untuk menjadi sembuh dari alienasi ini, manusia harus kembali ke keadaan alamiah. Akan tetapi seruan romantik "retournons a lo nature" seperti ini tidak berkemampuan membalikkan laju kebudayaan industriat. Revolusi industri

(28)

menghabisi kekayaan alam dengan laju yang mengerikan, menghancurkan hubungan dengan tanah dan menyingkirkan petani ke belakang; kapitatisme industrial menghasilkan abad modern, dan mengeruk seluruh bahan baku tanpa mempedulikan akibat-akibat lingkungan; dan perilaku semodel itu memperoleh alibi ilmiah dari kredo Baconian bahwa pengetahuan ilmiah adalah kemenangan teknologi atas alam (Croatt dan Rankin, 1997:30-35). Pola pikir dikotomis menghasilkan binerisme yang secara jelas dipolakan oleh seorang antropolog struktural Claude Levi-Srauss (Appignanesi dan Garratt, 1997:67)

binerisme

Alam<--->budaya (non-manusia) (manusia)

Pola pikir dikotomis oposisional sudah selayaknya dirombak. Hal ini memerlukan keberanian dalam pembaharuan pola pikir. Dalam konteks ekokritik Amerika, dikotomi semodel itu sudah tampak semakin kurang memadai.

Dikotomi nature/culture (alam/budaya) perlu diganti dengan model triade trikotomis nature-nurture-culture (alam-pemetiharaan-budaya). Triade tersebut dapat dipolakan sebagai berikut:

(29)

Dalam paradigma nature-nurture-culture ini, jaringan ekologis membentuk keterkaitan antara alam, pemeliharaan, dan budaya dalam suatu ekosfer. Dengan triade tersebut paradigma ekokritik menjadi lebih memadai.

Dengan demikian objek kajian ekokritik harus dilihat dalam paradigma tersebut.

Melihat manusia merasa tersingkirkan baik secara fisik maupun budaya akibat kemajuan ilmu dan teknologi, yang mendorong dengan sangat kuat munculnya industrialisasi. Industrialisasi mendorong munculnya kapitalisme.

Dunia industri yang dipelopori kapitalis itu mampu menggeser kebudayaan dan peradaban yang telah mapan (established) sejak nenek moyang. Sebagai contoh, masyarakat petani yang selama ini mengandalkan tanah pertanian sebagai sumber mata pencaharian, harus merelakan tanahnya dibeli dengan ‘agak memaksa’ oleh pemilik modal untuk keperluan industri atau usahanya. Mereka harus menyingkir ke daerah-daerah pinggiran atau melibatkan diri dalam industri dan/atau usaha pemilik modal. Dengan demikian, bagi mereka yang meninggalkan pertanian, berarti mereka teralienasi secara budaya, yakni di antaranya, bergeser pola hidupnya: dari pola hidup sederhana ala petani ke pola konsumeris (mengikuti pola hidup orang-orang di sekitarnya).

2.2.3 Ekologi Sastra sebagai Ilmu Bantu dalam Kritik Sastra

Alam telah menjadi bagian dari sastra. Hal itu terbukti dari banyaknya sastrawan, khususnya di kalangan penyair, yang menggunakan diksi hutan, laut, pohon, satwa, dan lain-lain dalam karya mereka. Seiring dengan perkembangan, sastra telah banyak mengalami perubahan, begitu juga alam. Kedua elemen yang tidak terpisahkan itu seakan selalu berjalan beriringan. Sastra tempo dulu adalah

(30)

wajah alam masa lalu, dan sastra sekarang adalah wajah alam masa kini. Sastra membutuhkan alam sebagai inspirasinya, sedangkan alam membutuhkan sastra sebagai alat konservasinya. Glotfelty and Fromm (1996) mengetengahkan gagasan tentang ecocriticism (ekokritik) bermaksud mengaplikasikan konsep ekologi ke dalam sastra, pendekatan yang dilakukan yaitu menjadikan bumi (alam) sebagai pusat studinya. Ecocriticism didefinisikan sebagai sebuah studi tentang hubungan antara sastra dan lingkungan hidup (Glotfelty, dan Fromm, 1996).

Ecocriticism (kajian hijau) muncul di USA pada akhir tahun 1980-an dan di Inggris pada tahun 1990-an, serta gerakan Glotfelty yang juga co-founder (salah satu pendiri) The Association for the Study of Literature and Environment (ASLE), menerbitkan jurnal ISLE (Interdisciplinary Studies in Literature and Enviroment) pada tahun 1993 sebagai upaya untuk mengkampanyekan gerakan tersebut. Ecocriticism yang dikembangkan Glotfelty berbeda bentuk pendekatannya dengan kritik-kritik yang muncul sebelumnya. Ecocriticism dikenal secara luas sebagai serangkaian asumsi, doktrin, atau prosedur yang tampaknya muncul dalam batas-batas akademis. Itulah sebabnya, mengapa Ecocriticism tampak menjadi gerakan terkuat di universitas-universitas di wilayah barat Amerika Serikat, di luar kota-kota besar, dan dari pusat-pusat kekuatan akademis di wilayah pantai Timur dan Barat (Barry, dalam Glotfelty 2010).

Kajian ekologi sastra dapat memanfaatkan beberapa teori turunan, di antaranya: teori ekofeminisme, teori ekoimperalisme, teori ekopolitik, teori, ekologi budaya, dan lain-lain. Selain itu, ekologi sastra juga melahirkan implikasi metodologi yang memiliki karakteristik yang berbeda dengan kajian sosiologi

(31)

sastra, antropologi sastra, psikologi sastra, filsafat sastra, maupun kajian budaya (cultural studies). Shoba (2013:85) dalam Indian Journal of Applied Research menyatakan bahwa “Eco-criticism is a study of culture and cultural products (art works, writings, scientific theories, etc ) in some way is connected with the human relationship to the natural world”. Maksudnya bahwa ekokritik adalah ilmu tentang budaya dan produk budaya (seni, sastra, teori ilmiah dan lain- lain) dalam hubunganya dengan manusia dan alam. Ekokritik bukan saja sebagai alat untuk mengkritik bagaimana lingkungan direpresentasikan dalam karya, tetapi ekokritik adalah pemahaman tentang kebiasaan hidup dan manusia yang ada di dalamnya.

Dengan kajian ekologi sastra akan dapat terungkap dan diketahui bagaimana peran sastra dalam memanusiakan lingkungan dan alam.

Menurut Harsono (2008:35), teori ekokritik bersifat multidisiplin, disatu sisi ekokritik menggunakan teori sastra dan disisi lain menggunakan teori ekologi.

Menurut Garrard (2004:20), ekokritisisme mengeksplorasi cara- cara mengenai bagaimana kita membayangkan dan menggambarkan hubungan antara manusia dan lingkungan dalam segala bidang hasil budaya. Ekokritisisme diilhami oleh (juga sebagai sikap kritis dari) gerakan-gerakan lingkungan modern. Greg Garrard menelusuri perkembangan gerakan itu dan mengeksplorasi konsep-konsep yang terkait tentang ekokritik, sebagai berikut.

1) Pencemaran

Menurut Garrard (2004:6) pencemaran adalah masalah ekologis karena tidak menyebutkan substansi atau kelas zat, tetapi lebih merupakan klaim normatif implisit bahwa terlalu banyak sesuatu hadir di lingkungan, biasanya di

(32)

tempat yang salah. Pencemaran lingkungan adalah sumber masalah, yang semakin penting untuk diselesaikan karena menyangkut kesehatan, keselamatan, dan kehidupan. Siapapun bisa berperan aktif dalam menyelesaikan masalah pencemaran lingkungan ini, mulai dari lingkungan yang terkecil sampai ke lingkungan yang lebih luas. Pencemaran berasal dari bahasa Latin polluere yang berarti mengotori.

2) Hutan Belantara

Hutan adalah masyarakat tumbuh-tumbuhan yang dikuasai pohon-pohon dan mempunyai keadaan lingkungan yang berbeda dengan keadaan di luar hutan.

Menurut Fenomena Garrard (2004:4), konsep hutan mengacu pada keadaan alam yang tidak terkontaminasi oleh peradaban dan merupakan sebuah konstruksi alam yang kuat. Hal tersebut dilakukan untuk melindungi ekosistem dan spesies tertentu, dan agar tidak tercemar oleh manusia, orang berharap untuk lari dari ketidaksopanan dan tendensi material kota dapat melarikan diri ke sana. Hutan penting untuk ekokritik karena menjanjikan sebuah pembaharuan, hubungan antara manusia dan lingkungan yang sebenarnya.

3) Bencana

Bencana adalah keadaan berupa kondisi dari alam dan lingkungan yang tidak seperti biasanya, terjadinya perubahan iklim, kerusakan, kemerosotan hayati, kepunahan ekosistem dan meningkatnya bencana alam. Greg Garrard menunjukkan kesadaran bahwa dunia tidak akan berakhir dan bahwa manusia

(33)

seperti pemuda masa kini, seperti lingkungan cenderung bertahan bahkan jika peradaban tidak dibangun (Garrard, 2004:107). Menurut Garrard, bencana melibatkan psikologi sosial yang cenderung ke arah paranoid dan kekerasan, dualisme moral yang ekstrim dan pengikut kanonisasi, dan karena itu selalu ada, selalu berupa tindakan imajinatif. Sebenarnya tidak semua masalah lingkungan disebabkan oleh manusia, malah sebagian besar terjadi di luar campur tangan manusia, seperti gempa bumi, gunung meletus, tsunami, meteor yang jatuh, dan sebagainya. Namun, perlu menjadi catatan bahwa lingkungan memiliki daya lenting, yaitu kemampuan untuk kembali ke keadaan seimbang setelah terjadi gangguan. Proses ini disebut konsep homeostatis. Oleh karena itu, masalah lingkungan yang disebabkan oleh alam, maka alam sendiri yang akan mengembalikan lingkungan ke keadaan seimbang atau homeostatis.

4) Perumahan/Tempat Tinggal

Menurut Garrard (2004:108) tempat tinggal/ perumahan bukanlah hal yang sementara, sebaliknya ini menyiratkan penumpukan jangka panjang dari memori landskap manusia, leluhur dan kematian, ritual, kehidupan dan pekerjaan.

Tanah sebagai tempat tinggal bagi semua masyarakat adalah sumber kehidupan, baik bagi manusia maupun bagi hampir semua makhluk hidup lain. Bahkan dalam arti tertentu, tanah bukan hanya sekadar sebagai sumber kehidupan. Ia adalah kehidupan itu sendiri. Ia adalah ibu yang memberi hidup dan memancarkan kehidupan. Tanah sebagai tempat tinggal mempunyai dan memberi makna ekologis, sosial, spiritual, dan moral bagi manusia dan makhluk hidup lain.

(34)

Seperti dikatakan Vandana Shiva, tanah bukan sekadar rahim bagi reproduksi kehidupan biologis, melainkan juga reproduksi kehidupan budaya dan spiritual.

5) Binatang

Menurut Garrard (2004:136), studi tentang hubungan antara binatang dan manusia dalam ilmu humaniora terbagi antara pertimbangan filosofis hak-hak binatang dan analisis budaya representasi binatang. Fenomena yang luar biasa baru-baru ini, ia memperoleh dorongan terutama dari Peter Singer Revolutionary Animal Liberation (1975), yang meneliti suatu masalah hingga kemudian dibahas secara sepintas oleh para filsuf moral tetapi jarang dieksplorasi sepenuhnya.

Singer (dalam Garrard, 2004:136) menarik argumen yang pertama kali dikemukakan oleh filsuf Utilitarian Jeremy Bentham (1748–1832), yang menyatakan bahwa kekejaman terhadap binatang analog dengan perbudakan dan mengklaim bahwa kapasitas untuk merasakan rasa sakit, bukan kekuatan akal, berhak menjadi makhluk untuk pertimbangan moral. Sama seperti, katakanlah, wanita atau orang Afrika telah diperlakukan buruk dengan alasan perbedaan fisiologis yang tidak relevan secara moral, sehingga binatang menderita karena mereka jatuh pada sisi yang salah dari garis yang tidak dapat dicegah.

6) Bumi

Menurut Garrard menyelamatkan bumi mencakup isi yang ada di dalamnya terkait hewan dan tumbuhan, upaya pelestarian yang ada di bumi dapat dilakukan dengan cara bersama-sama mengambil tugas dan tanggung jawab untuk

(35)

menjaga bumi. Salah satu keberhasilan merawat bumi menurut Garrard (2004:166) adalah diadakannya Protokol Montreal tahun 1987 yang memperkenalkan control global terhadap penggunaan CFC (ozon- depleting Chloro-Fluoro-Carbon).

Kesepakan ini sering dikutip sebagai bukti betapa sains sangat berperan dalam mengatasi masalah lingkungan. Ada dua tantangan utama untuk masa depan.

Salah satunya adalah hubungan antara globalisasi dan ekokritisisme. Perhatian yang berkelanjutan terhadap gagasan tentang kearifan lingkungan harus diimbangi dengan proses globalisasi yang berdampak positif bagi bumi dan makhluk di dalamnnya. Yang kedua adalah kesulitan mengembangkan hubungan konstruktif antara green humanities dan ilmu lingkungan.

Kemudian Keraf (2010:15) membagi bentuk kerusakan lingkungan menjadi lima yakni, pencemaran lingkungan, lahan kritis, kerusakan ekosistem, kerusakan hutan, dan kepunahan keanekaragaman hayati. Garrard (2004:20) menyatakan bahwa ekokritik dapat membantu menentukan, mengeksplorasi, dan bahkan menyelesaikan masalah ekologi. Berkaitan dengan kriteria ekokritik, Lawrence Buell (1995:78) mengingatkan bahwa kriteria ekokritik cenderung tampak terlalu luas karena menggabungkan apapun dari sekian banyak karya sastra di mana alam yang menggambarkan semuanya, atau kriteria yang terlalu sempit karena tidak semua termasuk, kecuali karya yang paling jelas berorientasi ekologis. Kearifan lingkungan merupakan sebuah kesadaran untuk menjadi bagian dari alam sehingga tercipta suatu kesatuan harmoni (Amrih, 2008: 33)

(36)

2.2.4 Puisi

Puisi diartikan sebagai pembangun, pembentuk atau pembuat karena memang dasarnya memang pada dasarnya dengan mencipta sebuah puisi maka seorang penyair telah membangun, membuat, atau membentuk sebuah dunia baru secara lahir maupun batin (Tjahjono, 1988:50). Sebuah puisi adalah sebuah struktur yang terdiri dari unsur-unsur pembangun. Unsur-unsur pembangun tersebut dinyatakan bersifat padu karena tidak dapat berdiri sendiri tanpa mengaitkan unsur satu dengan unsur yang lainnya.

Unsur-unsur puisi dibangun oleh dua unsur, masing-masing unsur struktur fisik dan struktur batin. Analisis lebih lanjut mengenai kedua unsur puisi di atas akan disajikan pada bagian berikut.

1) Struktur Fisik Puisi

Struktur fisik puisi adalah unsur pembangun puisi dari luar. Struktur fisik puis dinamakan juga dengan struktur lahiriah puisi. Puisi disusun dari kata dengan bahasa yang indah dan bermakna yang dituliskan dalam bentuk bait-bait. Orang dapat membedakan mana puisi dan mana yang bukan puisi berdasarkan bentuk lahir atau fisik yang terlihat (Rokhmansyah, 2014:14). Di dalam kajian sastra, struktur fisik puisi meliputi: diksi, imajinasi, kata konkret, bahasa figuratif, verifikasi, dan tipografi. Puisi disusun dalam bentuk bait-bait dengan bahan dasar kata atau bahasa yang indah dan bermakna.

a) Diksi

Diksi adalah pemilihan kata yang dilakukan secara cermat oleh penyair dalam puisinya agar ia dapat mengekspresikan nuansa jiwa dan pikirannya dengan

(37)

setepat-tepatnya kepada pembaca. Pemilihan kata dalam puisi berhubungan erat dengan makna, keselarasan bunyi, dan urutan kata (Siswanto, 2008:114-115).

Menurut Aminuddin (2010:143) bahwa kata-kata dalam puisi tidak diletakkan secara acak, tetapi dipilih, ditata, diolah, dan diatur penyarnya secara cermat. Tiap penyair memiliki diksi yang khas yang seringkali tidak dimiliki oleh penyair lain.

Diksi adalah salah satu komponen puisi yang selalu ditonjolkan penyair. Melalui diksi, penyair ingin mencurahkan pengalaman batin dan pikirannya dengan setepat-tepatnya kepada pembaca. Selain itu, ia juga ingin mengungkapkan pengalaman-pengalamannya itu dengan ekspresi kata yang dapat menjelmakan pengalaman jiwanya. Karena itulah, diksi menjadi hal penting yang harus dikuasai penyair. Penyair harus cermat memilih kata-kata. Mereka harus mempertimbanghkan makna, kompisisi bunyi, rima dan irama, serta kedudukan kata-kata itu di tengah konteks kata lainnya, dan kedudukan kata dalam keseluruhan puisi itu.

Diksi yang baik tentu berhubungan dengan pemilihan kata yang padat, tepat, dan kaya akan nuansa makna dan suasana sehingga mampu mengembangkan dan mengajuk daya imajinasi pembaca. Kecermatan penyair dalam pemilihan kata berkaitan dengan keberadaan bahasa dalam puisi yang kaya akan makna simbolik, konotatif, asosiatif, dan sugesif.

Dengan uraian si ngkat di atas, semakin jelaslah betapa pentingnya diksi bagi suatu puisi. Menurut Tarigan (1984:30), pilihan kata yang tepat dapat mencerminkan ruang, waktu, falsafah, amanat, efek, dan nada suatu puisi dengan tepat. Ada hubungan yang erat antara pemilihan kata (diksi), pengimajian, dan

(38)

kata konkret. Pemilihan kata adalah upaya memilih atau menyaring penggunaan kata oleh penyair ke dalam karyanya agar dia dapat menghadirkan sesuatu dengan jelas dan terang-benderang di dalam imaji pembaca. Apabila penyair berhasil melakukan hal di atas, maka kata-katanya akan menjadi lebih konkret seperti yang kita hayati dalam penglihatan, pendengaran atau cita rasa.

b) Imajinasi

Struktur fisik puisi lainnya adalah imajinasi. Rokhmansyah (2014:18), menyatakan imajinasi sebagai susunan kata-kata yang dapat mengungkapkan pengalaman sensoris sehingga pembaca seolah-olah dapat melihat, mendengar, merasakan seperti apa yang dilihat, didengar dan dirasakan penyair dalam puisinya secara imajinatif melalui pengalaman dan rasa. Pemilihan serta penggunaan kata-kata dengan tepat dapat memperkuat serta memperjelas daya imajinasi (daya bayang pikiran) pembaca. Daya imajinasi yang kuat memudahkan pembaca mewujudkan gambaran yang nyata untuk tiap kata yang digunakan penyair. Dengan pemilihan kata yang tepat, penyair mencoba menarik perhatian pembaca kepada beberapa perasaan jasmaniah yang ia rasakan. Melalui cara itu, penyair berusaha membangkitkan pikiran dan perasaan pembaca sehingga seakan- akan pembacalah yang benar-benar mengalami peristiwa jasmaniah tersebut (Tarigan, 1984:30). Pada titik ini, pembaca akan merasakan sesuatu yang lain yang belum pernah ia rasakan sebelumnya.

Sesuatu yang dirasakan atau dialami secara imajinatif oleh pembaca inilah yang biasa dikenal dengan imagery atau imaji atau pengimajian (Tarigan,

(39)

1984:30). Di dalam kajian puisi dikenal bermacam-macam imajinasi, yakni (a) imajinasi visual, yakni imajinasi yang menyebabkan pembaca seolah-olah seperti melihat sendiri apa yang dikemukakan atau diceritakan oleh penyair, (b) imajinasi auditori, yakni imajinasi yang menyebabkan pembaca seperti mendengar sendiri apa yang dikemukakan penyair, (c) imajinasi artikulatori, yakni imajinasi yang menyebabkan pembaca seperti mendengar bunyi-bunyi dengan artikulasiartikulasi tertentu, (d) imajinasi olfaktori, yakni imajinasi penciuman, (e) imajinasi gustatori, yakni imajinasi pencicipan, (f) imajinasi faktual, yakni imajinasi rasa kulit yang menyebabkan pembaca seperti merasakan rasa nyeri, dingin, panas, dan sebagainya, (g) imajinasi kinestetik, yakni imajinasi gerakan tubuh, dan (h) imajinasi organik, yakni imajinasi yang berkaitan dengan kondisi tubuh.

Imajiimaji ini tidak digunakan secara terpisah oleh penyair, melainkan digunakan bersama-sama, saling memperkuat dan saling menambah kepuitisannya.

c) Kata Konkret

Kata konkret termasuk unsur struktur fisik puisi jiuga. Salah satu cara penyair membengkitkan daya imajinasi para pembaca karya sastra, khususnya puisi, adalah dengan menggunakan kata-kata yang tepat, kata-kata yang konkret yang dapat mengarah kepada suatu pengertian menyeluruh. Semakin tepat penyair menggunakan kata-kata atau bahasa dalam karya puisinya, maka akan semakin kuat pula daya pikat puisi bagi pembacanya sehingga pembaca akan merasakan sensasi yang berbeda. Pembaca puisi akan merasakan bahwa mereka benar-benar melihat, mendengar, merasakan, dan mengalami segala sesuatu yang dialami oleh

(40)

sang penyair (Tarigan,1984:32). Penjelasan sebelumnya menegaskan bahwa kata konkret sesungguhnya adalah kata-kata yang seakan-akan dapat ditangkap atau dicerna oleh indra manusia.

d) Majas atau Bahasa Figuratif

Majas juga merupakan bagian dari struktutr fisik puisi. Penyair menggunakan bahasa yang bersusun-susun atau berpigura sehingga disebut bahasa figuratif. Bahasa figuratif menyebabkan puisi menjadi prismatis karena dengan gaya bahasa semacam itu puisi memancarkan banyak makna atau kaya akan makna. Bahasa figuratif adalah bahasa yang digunakan oleh penyair untuk menyatakan sesuatu dengan cara yang tidak biasa, yakni secara tidak langsung mengungkapkan makna kata atau bahasanya bermakna kias atau makna lambang (Waluyo, 1991:83).

Bahasa kias merupakan wujud penggunaan bahasa yang mampu mengekspresikan makna dasar ke asosiasi lain. Kiasan yang tepat dapat menolong pembaca merasakan dan melihat seperti apa yang dilihat atau apa yang dirasakan penulis. Seperti yang diungkapkan Pradopo (1990:80), kias dapat menciptakan gambaran angan/citraan (imagery) dalam diri pembaca yang menyerupai gambar yang dihasilkan oleh pengungkapan penyair terhadap obyek yang dapat dilihat mata, saraf penglihatan, atau daerah otak yang bersangkutan.

Bahasa figuratif dipandang lebih efektif untuk menyatakan apa yang dimaksudkan penyair karena: (1) Bahasa figuratif mampu menghasilkan kesenangan imajinatif, (2) Bahasa figuratif dalah cara untuk menghasilkan imaji

(41)

tambahan dalam puisi sehingga yang abstrak menjadi kongret dan menjadikan puisi lebih nikmat dibaca, (3) Bahasa figuratif adalah cara menambah intensitas, (4) Bahasa figuratif adalah cara untuk mengkonsentrasikan makna yang hendak disampaikan dan cara menyampaikan sesuatu yang banyak dan luas dengan bahasa yang singkat (Waluyo, 1991:83). Bahasa kias yang biasa digunakan dalam puisi ataupun karya sastra lainnya, yaitu (a) perbandingan/perumpamaan atau simile, (b) metafora, (c) personifikasi atau mempersamakan sesuatu dengan manusia, (d) hiperbola, yakni gaya bahasa berlebih-lebihan, (e) metonimia, (f) sinekdot, dan (g) alegori.

e) Verifikasi

Unsur struktur fisik puisi lainnya adalah verifikasi. Verifikasi tidak lain adalah nada, intonasi, atau irama yang amat terasa ketika puisi disuarakan atau dibaca. Verifikasi terdiri atas rima, ritme, dan metrum. Verifikasi dalam puisi terdiri dari rima, ritme dan metrum yang diuraikan sebagai berikut:

1) Rima

Rima merupakan persamaan bunyi pada puisi yang terdapat di awal, tengah, maupun akhir baris puisi. Rima juga adalah pengulangan bunyi dalam puisi untuk membentuk musikalisasi atau orkestrasi sehingga puisi menjadi menarik untuk dibaca. Rima kembali dibedakan berdasarkan bunyi, kombinasi bunyi yang dihasilkan, dan letaknya. Pertama, berdasarkan bunyinya rima dibedakan menjadi: (a) rima sempurna bila seluruh suku akhir sama; (b) rima tak sempurna bila sebagian suku akhir sama bunyinya; (c) rima mutlak jika seluruh

(42)

bunyi kata itu sama; (d) asonansi, yaitu perulangan bunyi vocal dalam satu kata;

(e) aliterasi, yaitu perulangan bunyi konsonan di depan setiap kata secara berurutan; dan (f) pisonansi (rima rangka), yaitu bila konsonan yang membentuk kata itu sama, tapi vokalnya berbeda.

Kedua, berdasarkan kombinasi bunyi yang dihasilkannya rima dibedakan menjadi: (a) eufoni, yakni kombinasi bunyi yang merdu dan indah dan (b) kakofoni, yakni kombinasi bunyi yang memperkuat suasana tidak menyenangkan.

Ketiga, berdasarkan letaknya rima dibedakan menjadi: (a) rima depan, apabila kata depan pada permulaan baris sama; (b) rima tengah, apabila kata atau suku kata di tengah baris suatu puisi itu sama; (c) rima akhir, apabila perulangan kata terletak pada akhir baris; (d) rima tegak, apabila kata pada akhir baris sama dengan kata pada permulaan baris berikutnya; dan (e) ria datar, apabila perulangan itu terdapat pada satu baris.

2) Ritme

Ritme atau ritma adalah cepat-lambat irama dalam puisi yang biasanya dibangun melalui kata-kata yang bervokal dua, tiga, atau empat. Jumlah vokal pada kata selalu menetukan lambat atau cepat irama puisi. Ritme juga merupakan pertentangan bunyi yang dapat berupa tinggi rendah, panjang-pendek, dan keras- lemah yang teratur yang memberi kesan indah. Ritme sangat berhubungan dengan pengulangan bunyi, kata, frasa, dan kalimat.

(43)

3) Metrum

Metrum adalah perulangan kata yang tetap; bersifat statis. Metrum adalah irama yang tetap, artinya pergantiannya sudah tetap dan menurut pola tertentu (Pradopo, 2010: 40).

f) Tipografi

Unsur penting struktur fisik puisi lainnya adalah tipografi atau perwajahan.

Tipografi menurut Aminuddin (2010: 146) merupakan cara penulisan suatu puisi sehingga menampilkan bentuk-bentuk tertentu yang dapat diamati secara visual.

Selain untuk menampilkan aspek artistik visual, tipografi juga berperan untuk menciptakan nuansa makna dan suasana tertentu. Ciri-ciri yang dapat dilihat sepintas dari puisi adalah perwajahannya atau tipografinya. Melalui indera mata tampak bahwa puisi tersusun atas kata-kata yang membentuk larik-larik puisi.

Larik-larik itu disusun ke bawah dan terikat dalam bait-bait. Banyak kata, larik maupun bait ditentukan oleh keseluruhan makna puisi yang ingin dituliskan penyair. Dengan demikian, satu bait puisi bisa terdiri dari satu kata bahkan satu huruf saja. Dalam hal cara penulisannya, puisi tidak selalu harus ditulis dari tepi kiri dan berakhir di tepi kanan, seperti bentuk tulisan umumnya. Susunan penulisan dalam puisi disebut tipografi (Pradopo, 1990:210).

(44)

2) Struktur Batin Puisi

Struktur batin puisi atau struktur makna merupakan pikiran atau perasaan yang diungkapkan penyair. Dan struktur batin puisi merupakan wacana teks puisi secara utuh yang mengandung arti atau makna yang hanya dapat dilihat atau dirasakan melalui penghayatan (Siswanto, 2008:26). Struktur batin puisi juga dikatakan sebagai isi atau makna sesungguhnya yang ingin diekspresikan penyair melalui puisinya. Struktur batin puisi merupakan metawacana puisi secara utuh yang mengandung arti atau makna yang hanya dapat dilihat atau dirasakan melalui penghayatan. Menurut Richards, struktu batin puisi dibangun melalui empat pilar, yaitu : tema (sense), perasaan penyair (feeling), nada atau sikap penyair terhadap pembaca (tone), dan amanat (intention) (dalam Waluyo, 1991:180-181).

a) Tema (Sense)

Tema adalah pokok pembicaraan atau sesuatu yang hendak disampaikan penyair kepada pembaca melalui puisinya. Sesuatu itu dapat berupa penglihatan, pengalaman, kejadian yang pernah dialami, atau kejadian yang pernah menimpa suatu masyarakat. Tema yang disampaikan penyair bukanlah sesuatu yang kosong atau hampa, melainkan sesuatu yang di dalamnya tercermin sikap atau pendirian penyair atas sesuatu. Tema merupakan gagasan pokok yang ingin disampaikan oleh penyair. Pokok pikiran itu begitu kuat mendesak dalam jiwa penyair sehingga menjadi landasan utama pengucapannya. Misalnya jika desakan yang kuat itu berupa rasa belas kasih atau kemanusiaan, maka puisinya bertema

(45)

kemanusiaan. Waluyo (1987:107) menjelaskan bahwa tema puisi bersifat lugas, objektif dan khusus. Tema puisi harus dihubungkan dengan penyairnya dengan konsep-konsep yang terimajinasikan. Oleh karena itu, tema bersifat khusus (penyair), tetapi objektif (bagi semua penafsir), dan lugas (tidak dibuat-buat).

b. Perasaan Penyair (Feeling)

Rasa merupakan sikap penyair terhadap pokok persoalan yang ditampilkannya. Rasa dapat berupa gambaran perasaan yang dialami penyair pada saat menciptakan puisinya. Penyair satu memiliki perasaan berbeda dengan penyair lainnya dalam menciptakan puisi dengan tema yang sama, sehingga hasil puisi yang diciptakan pun berbeda. Sikap atau pendirian penyair atas sesuatu itulah yang disebut feeling atau perasaan penyair. Feeling dapat dikenali melalui penggunaan ungkapan-ungkapan tertentu di dalam puisi. Ungkapan-ungkapan di dalam puisi sesungguhnya mengekspresikan suasana hati penyair, mungkin berupa kegelisahan, kegundahan, kebencian, atau rasa senang atas sesuatu.

Apabila feeling merujuk kepada sesuatu yang dibicarakan, maka nada atau tone merujuk kepada sikap penyair kepada pembacanya. Sebagaimana feeling, tone juga dapat diidentifikasi dari ungkapan-ungkapan yang digunakan penyair di dalam puisinya. Melalui ungkapan-ungkapan itu akan diketahui apakah penyair marah atau merayu pembaca dan sebagainya.

(46)

c. Nada (Tone)

Nada merupakan sikap penyair terhadap pembaca berkenaan dengan pokok persoalan dalam puisinya. Penyair memiliki sikap tertentu terhadap pembaca, apakah dia ingin bersikap menggurui, menasehati, mengejek, menyindir, atau bersikap lugas hanya menceritakan sesuatu kepada pembaca. Jika nada merupakan sikap penyair terhadap pembaca, maka suasana adalah keadaan jiwa pembaca setelah membaca puisi itu atau akibat psikologis yang ditimbulkan puisi itu terhadap pembaca (Waluyo, 1987: 125).

d. Amanat (Intention)

Amanat atau tujuan, yakni maksud yang hendak disampaikan penyair melalui puisinya. Amanat adalah maksud, himbauan, pesan, tujuan yang hendak disampaikan oleh penyair kepada pembaca melalui puisinya. Amanat menurut Waluyo (1987: 130) merupakan hal yang mendorong penyair untuk menciptakan puisinya. Amanat tersirat di balik kata-kata yang disusun, dan juga berada di balik tema yang diungkapkan. Amanat terkait dengan makna yang berhubungan dengan orang perorangan, konsep seseorang, dan situasi ketika penyair mengimajinasikan karyanya.

Amanat sebuah puisi bersifat interpretatif, artinya setiap orang mempunyai penafsiran makna yang berbeda dengan yang lain. Penyair sebagai sastrawan dan anggota masyarakat, baik secara sadar atau tidak, merasa bertanggung jawab menjaga keberlangsungan hidup sesuai dengan hati nuraninya. Karena itu, puisi selalu mengandung amanat (pesan). Meskipun penyair tidak secara khusus dan

(47)

sengaja mencantumkan amanat dalam puisinya amanat tersirat di balik kata dan tema yang diusung penyair (Waluyo, 1991:130).

2.3 Tinjauan Pustaka

Sejauh pencarian yang dilakukan, belum ditemukan penelitian yang membahas ekokritik pada puisi karya Taufiq Ismail yang berjudul “Ketika Burung Merpati Sore Melayang” dan “Kotak Suara”. Namun, penelitian terhadap karya sastra menggunakan teori ekokritik sudah banyak dilakukan. Beberapa penelitian menggunakan teori ekokritik tersebut dijadikan tinjauan pustaka dalam penelitian ini.

Atfalusoleh, Safrudin (jurnal, 2014) dengan judul “Kajian Ekokritik Sastra Cerpen Harimau Belang Karya Guntur Alam dalam Kumpulan Cerpen Kompas 2014 “Karma Tanah & Cerita Lainnya”. Dalam penelitian tersebut, mendeskripsikan struktur cerpen Harimau Belang karya Guntur Alam, dan mendiskripsikan ekokritik dalam cerpen Harimau Belang karya Guntur Alam.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa data cerpen ini memiliki struktur yang utuh dan selalu berkaitan dan saling berhubungan. Hal tersebut terlihat dalam perpaduan antara fakta (meliputi karakter/tokoh cerita, alur, dan setting), tema, dan sarana pengucapan (sastra). Melalui kajian ekokritik sastra ditemukan unsur ekologi alam dimana pengarang mengaitkan sastra dalam upaya pelestarian dan alam sebagai sumber kehidupan.

Rahayu, Putri (jurnal, 2017) dengan judul “Kajian Sastra Ekologi (Ekokritik) terhadap Novel Sebuah Wilayah yang Tidak Ada di Google Earth

(48)

Karya Pandu Hamzah”. Dalam penelitian tersebut, menganalisis permasalahan lingkungan yang disebabkan oleh manusia, penguasaan pihak asing, keresahan masyarakat dan pelestarian pohon di gunung Ciremai dengan pendekatan penelitian kualitatif. Hasil penelitian tersebut menyimpulkan pentingnya hubungan selaras antara manusia, hewan dan makhluk Tuhan lainnya, dengan alam, dengan hutan, dengan pohon di wilayahnya.

Sulistijani, Endang (jurnal, 2018) dengan judul “Kearifan Lokal dalam Kumpulan Puisi Kidung Cisadane Karya Rini Intama (Kajian Ekokritik Sastra)”.

Dalam penelitian tersebut mendeskripsikan kearifan lokal yang terdapat dalam kumpulan puisi Kidung Cisadane karya Rini Intama.

Fatmawati, Ira (Jurnal, 2018) dengan judul “Tinjauan Ekokritik dalam Kumpulan Puisi “Serinai Hujan” Karya Himmah Mufidah”. Dalam penelitian tersebut, tercermin bahwa kerusakan ekosistem hutan telah terjadi dan juga ditemukan nilai-nilai kearifan lokal yang diungkapkan dalam puisi karya Himmah Mufidah.

Asyifa, Nurul (jurnal, 2021) dengan judul “Kajian Ekologi Sastra (Ekokritik) dalam Antologi Puisi Merupa Tanah di Ujung Timur Jawa”. Dalam penelitian tersebut difokuskan pada dua judul puisi yang terdapat dalam antologi puisi Merupa Tanah di Ujung Timur Jawa. Puisi yang dikaji berjudul “Hodo” dan

“Dialog Keluarga Petani”. Kedua puisi tersebut menggambarkan adanya usaha yang dilakukan oleh manusia ketika alam atau lingkungan yang menjadi tempat mereka hidup berada dalam kondisi yang tidak menguntungkan bagi kelansungan hidup mereka.

(49)

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa terdapat jelas perbedaan penelitian yang dilakukan oleh masing-masing peneliti dalam karya tulisnya.

Namun, penelitian-penelitian di atas sama-sama menggunakan pendekatan ekologi sastra untuk menganalisis penelitiannya. Maka dari itu, penelitian di atas memberikan kontribusi dalam penelitian ini. Peneliti akan menggunakan pendekatan ekologi sastra sebagai pendekatan untuk membahas mengenai ekokritik yang terdapat dalam puisi “Ketika Burung Merpati Sore Melayang” dan

“Kotak Suara”. Untuk menambah wawasan baru dalam dunia sastra mengenai pendekatan ekologi sastra yang membahas wujud ekokritik dalam puisi.

(50)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Metode Penelitian

Dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode penelitian kualitatif deskriptif. Penelitian kualitatif deskriptif, data kualitatif diperoleh dari rekaman, pengamatan, wawancara, atau bahan tertulis, dan data ini tidak berbentuk angka (Djojosuroto dan Sumaryati, 2000:9). Menurut Bogdan dan Taylor (dalam Moleong, 2013:4) metode penelitian kualitatif adalah prosedur penelitian yang menghasilkan sebuah data deskriptif yang berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang diamati.

Menurut Aminuddin (1990:16), metode deskriptif kualitatif artinya menganalisis bentuk deskripsi, tidak berupa angka atau koefisien tentang hubungan antarvariabel. Metode deskriptif merupakan metode yang membicarakan beberapa kemungkinan untuk memecahkan berbagai masalah secara aktual, dengan mengumpulkan data, mengklasifikasikan dan mengeneralisasikannya, serta menganalisis dan menginterpretasikan karya.

Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif untuk memperoleh gambaran ekokritik dalam puisi karya Taufiq Ismail yang berjudul “Ketika Burung Merpati Sore Melayang”, dan “Kotak Suara”. Pemilihan metode ini didasarkan atas pertimbangan bahwa metode ini digunakan untuk menganalisis dan menemukan ekokritik pada puisi karya Taufiq Ismail yang berjudul “Ketika

(51)

3.2 Data dan Sumber Data

Data dan sumber data dalam penelitian kualitatif dibagi menjadi dua yaitu sumber data primer dan sumber data sekunder. Namun untuk penelitian ini peneliti hanya menggunakan sumber data primer.

3.2.1 Data

Data adalah semua informasi atau bahan yang harus dicari dan disediakan dengan sengaja oleh peneliti yang sesuai dengan permasalahan yang diteliti (Sudaryanto, 1993:3). Data yang digunakan dalam penelitian ini berupa kata, frasa, kalimat, dan bait.

3.2.2 Sumber Data Primer

Data primer merupakan sumber data penelitian yang diperoleh secara langsung dari sumber utama itu sendiri, data yang didapatkan dari hasil analisis isi dalam novel yang dikaji untuk menentukan pesan serta gagasan yang akan diteliti sesuai dengan fokus penelitian. Sumber data primer dari penelitian ini adalah puisi “Ketika Burung Merpati Sore Melayang”, dan “Kotak Suara” yang terdapat di dalam buku antologi puisi Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia karya Taufiq Ismail.

Judul : “Ketika Burung Merpati Sore Melayang”, dan “Kotak Suara” yang terdapat dalam buku antologi puisi Malu (Aku) Jadi

Orang Indonesia Penulis : Taufiq Ismail Penerbit : Yayasan Ananda Tahun Terbit : 2005

(52)

3.3 Teknik Pengumpulan Data

Teknik merupakan suatu cara atau alat yang dipakai untuk dapat mencapai sebuah tujuan. Sugiyono (2016:24) mengatakan bahwa, teknik mnegumpulkan data merupakan langkah yang paling strategis dalam penelitian, karena tujuan utama dari penelitian adalah mendapatkan data. Tanpa mengetahui teknik pengumpulan data, maka peneliti tidak akan mendapatkan data yang memenuhi standar data yang ditetapkan.

Dalam penelitian ini peneliti dalam mengumpulkan data menggunakan teknik studi dokumen. Studi dokumen merupakan salah satu teknik pengumpulan data dengan memperoleh dan menganalisis yang terdapat pada dokumen tertulis yang berbentuk puisi. Studi dokumen dalam penelitian ini yaitu dengan teknik membaca dan mencatat. Kegiatan pembacaannya secara berulang-ulang karena dokumen tersebut berupa data nonverbal. Teknik dalam studi dokumen ini yaitu membaca dengan cermat dan teliti keseluruhan isi dalam puisi sebagai sumber penelitian, membaca puisi yang akan diteliti dengan pemahaman dan ketelitian, menafsirkan dan membuat gambaran dari data sehingga dapat diperoleh data mengenai kerusakan-kerusakan terhadap lingkungan.

3.4 Teknik Analisis Data

Teknik Analisis Data Sagindu (2007:73) mengatakan bahwa, teknik analisis data bertujuan untuk menyederhanakan data ke dalam bentuk yang lebih mudah dibaca dan interpretasikan. Analisis dalam penelitian kualitatif terdiri atas tiga komponen yaitu reduksi data, sajian data, dan verifikasi serta simpulan.

(53)

1. Reduksi Data

Menurut Sagindu (2007:73), reduksi data adalah merampingkan dengan memilih data yang dipandang penting, menyederhanakan, dan mengabstraksikannya. Analisis data dimulai setelah membaca dan mencatat data- data berupa kata, larik, maupun bait puisi yang mengandung struktur batin dan mengandung struktur fisik dan juga mengandung wujud ekokritik . Setelah itu mengumpulkan data-data dari puisi “Ketika Burung Merpati Sore Melayang” dan

“Kotak Suara” yang meliputi struktur lahir dan struktur batin dan wujud ekokritik.

Contohnya ditemukan wujud ekokritik pada larik /gempa bumi, banjir, tanah longsor dan orang kelaparan /, /kemarau panjang, kebakaran hutan berbulan- bulan/. Setelah semua data telah diperoleh, selanjutnya dilakukan reduksi data dengan tepat.

2. Penyajian Data

Menurut Sagindu (2007:74), sajian data adalah menyajikan data secara analitis dan sintesis dalam bentuk uraian dari data-data yang terangkat disertai dengan bukti-bukti tekstual yang ada. Pada penelitian ini sajian data tersebut mengenai deskripsi struktur lahir dan struktur batin dan juga wujud ekokritik yang terdapat pada puisi “Ketika Burung Merpati Sore Melayang”, dan “Kotak Suara”

karya Taufiq Ismail agar data yang disajikan lebih jelas.

(54)

3. Menarik kesimpulan/verifikasi

Menurut Sagindu (2007:74), verifikasi dan simpulan adalah melihat kembali (diverifikasi) pada catatan-catatan yang telah dibuat oleh peneliti dan selanjutnya membuat simpulan-simpulan sementara. Penarikan simpulan merumuskan apa yang telah didapatkan dari reduksi data maupun pengumpulan data. Pada penelitian ini penarikan simpulan memerlukan pengulangan proses terhadap data-data berupa kata, frasa, kalimat maupun bait dalam puisi “Ketika Burung Merpati Sore Melayang” dan “Kotak Suara” yang telah diperoleh agar hasil yang didapatkan sesuai dan tepat yaitu deskripsi struktur lahir dan struktur batin dalam puisi “Ketika Burung Merpati Sore Melayang” dan “Kotak Suara”

serta adanya wujud ekokritik dalam kedua puisi tersebut.

(55)

BAB IV PEMBAHASAN

Pada bab ini dibahas beberapa hal terkait permasalahan yang diuraikan pada bab sebelumnya. Pembahasan diawali dari mendeskripsikan struktur lahir dan struktur batin dalam puisi “Ketika Burung Merpati Sore Melayang dan

“ Kotak Suara”, kemudian mendeskripsikan bentuk kerusakan lingkungan atau wujud ekokritik dalam puisi “Ketika Burung Merpati Sore Melayang” dan “Kotak Suara”.

4.1 Puisi “Ketika Burung Merpati Sore Melayang”

“Ketika Burung Merpati Sore Melayang”

Langit akhlak telah roboh di atas negeri Karena akhlak roboh, hukum tak tegak berdiri Karena hukum tak tegak, semua jadi begini

Negeriku sesak adegan tipu-menipu

Bergerak ke kiri, dengan maling kebentur aku Bergerak ke kanan, dengan perampok ketabrak aku Bergerak ke belakang, dengan pencopet kesandung aku Bergerak ke depan, dengan penipu ketanggor aku Bergerak ke atas, di kaki pemeras tergilas aku

(56)

Kapal laut bertenggelaman, kapal udara berjatuhan Gempa bumi, banjir, tanah longsor dan orang kelaparan Kemarau panjang, kebakaran hutan berbulan-bulan Jutaan hektar jadi jerebu abu-abu berkepulan Bumiku demam berat, menggigilkan air lautan

Beribu pencari nafkah dengan kapal dipulangkan Penyakit kelamin meruyak tak tersembuhkan Penyakit nyamuk membunuh bagai ejekan Berjuta belalang menyerang lahan pertanian Bumiku demam berat, menggigilkan air lautan

Lalu berceceran darah, berkepulan asap dan berkobaran api Empat syuhada melesat ke langit dari bumi Trisakti

Gemuruh langkah, simaklah, di seluruh negeri Beribu bangunan roboh, dijarah dalam huru-hara ini Dengar jeritan beratus orang berlarian dikunyah api Mereka hangus-arang, siapa dapat mengenal lagi Bumiku sakit berat, dengarlah angin menangis sendiri

Kukenangkan tahun ‘47 lama aku jalan di Ambarawa dan Salatiga Balik kujalani Clash I di Yogya, Clash II di Bukittinggi

Kuingat-ingat pemboman Sekutu dan Belanda seantero negeri

(57)

Seluruh korban empat tahun revolusi Dengan Mei '98 jauh beda, jauh kalah ngeri Aku termangu mengenang ini

Bumiku sakit berat, dengarlah angin menangis sendiri

Ada burung merpati sore melayang Adakah desingnya kau dengar sekarang

Ke daun telingaku, jari Tuhan memberi jentikan Ke ulu hatiku, ngilu tertikam cobaan

Di aorta jantungku, musibah bersimbah darah

Di cabang tangkai paru-paruku, kutuk mencekik nafasku Tapi apakah sah sudah, ini murkaMu?

Ada burung merpati sore melayang Adakah desingnya kau dengar sekarang.

1998

Referensi

Dokumen terkait