• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III METODE PENELITIAN

3.4 Teknik Analisis Data

Teknik Analisis Data Sagindu (2007:73) mengatakan bahwa, teknik analisis data bertujuan untuk menyederhanakan data ke dalam bentuk yang lebih mudah dibaca dan interpretasikan. Analisis dalam penelitian kualitatif terdiri atas tiga komponen yaitu reduksi data, sajian data, dan verifikasi serta simpulan.

1. Reduksi Data

Menurut Sagindu (2007:73), reduksi data adalah merampingkan dengan memilih data yang dipandang penting, menyederhanakan, dan mengabstraksikannya. Analisis data dimulai setelah membaca dan mencatat data-data berupa kata, larik, maupun bait puisi yang mengandung struktur batin dan mengandung struktur fisik dan juga mengandung wujud ekokritik . Setelah itu mengumpulkan data-data dari puisi “Ketika Burung Merpati Sore Melayang” dan

“Kotak Suara” yang meliputi struktur lahir dan struktur batin dan wujud ekokritik.

Contohnya ditemukan wujud ekokritik pada larik /gempa bumi, banjir, tanah longsor dan orang kelaparan /, /kemarau panjang, kebakaran hutan berbulan-bulan/. Setelah semua data telah diperoleh, selanjutnya dilakukan reduksi data dengan tepat.

2. Penyajian Data

Menurut Sagindu (2007:74), sajian data adalah menyajikan data secara analitis dan sintesis dalam bentuk uraian dari data-data yang terangkat disertai dengan bukti-bukti tekstual yang ada. Pada penelitian ini sajian data tersebut mengenai deskripsi struktur lahir dan struktur batin dan juga wujud ekokritik yang terdapat pada puisi “Ketika Burung Merpati Sore Melayang”, dan “Kotak Suara”

karya Taufiq Ismail agar data yang disajikan lebih jelas.

3. Menarik kesimpulan/verifikasi

Menurut Sagindu (2007:74), verifikasi dan simpulan adalah melihat kembali (diverifikasi) pada catatan-catatan yang telah dibuat oleh peneliti dan selanjutnya membuat simpulan-simpulan sementara. Penarikan simpulan merumuskan apa yang telah didapatkan dari reduksi data maupun pengumpulan data. Pada penelitian ini penarikan simpulan memerlukan pengulangan proses terhadap data-data berupa kata, frasa, kalimat maupun bait dalam puisi “Ketika Burung Merpati Sore Melayang” dan “Kotak Suara” yang telah diperoleh agar hasil yang didapatkan sesuai dan tepat yaitu deskripsi struktur lahir dan struktur batin dalam puisi “Ketika Burung Merpati Sore Melayang” dan “Kotak Suara”

serta adanya wujud ekokritik dalam kedua puisi tersebut.

BAB IV PEMBAHASAN

Pada bab ini dibahas beberapa hal terkait permasalahan yang diuraikan pada bab sebelumnya. Pembahasan diawali dari mendeskripsikan struktur lahir dan struktur batin dalam puisi “Ketika Burung Merpati Sore Melayang dan

“ Kotak Suara”, kemudian mendeskripsikan bentuk kerusakan lingkungan atau wujud ekokritik dalam puisi “Ketika Burung Merpati Sore Melayang” dan “Kotak Suara”.

4.1 Puisi “Ketika Burung Merpati Sore Melayang”

“Ketika Burung Merpati Sore Melayang”

Langit akhlak telah roboh di atas negeri Karena akhlak roboh, hukum tak tegak berdiri Karena hukum tak tegak, semua jadi begini

Negeriku sesak adegan tipu-menipu

Bergerak ke kiri, dengan maling kebentur aku Bergerak ke kanan, dengan perampok ketabrak aku Bergerak ke belakang, dengan pencopet kesandung aku Bergerak ke depan, dengan penipu ketanggor aku Bergerak ke atas, di kaki pemeras tergilas aku

Kapal laut bertenggelaman, kapal udara berjatuhan Gempa bumi, banjir, tanah longsor dan orang kelaparan Kemarau panjang, kebakaran hutan berbulan-bulan Jutaan hektar jadi jerebu abu-abu berkepulan Bumiku demam berat, menggigilkan air lautan

Beribu pencari nafkah dengan kapal dipulangkan Penyakit kelamin meruyak tak tersembuhkan Penyakit nyamuk membunuh bagai ejekan Berjuta belalang menyerang lahan pertanian Bumiku demam berat, menggigilkan air lautan

Lalu berceceran darah, berkepulan asap dan berkobaran api Empat syuhada melesat ke langit dari bumi Trisakti

Gemuruh langkah, simaklah, di seluruh negeri Beribu bangunan roboh, dijarah dalam huru-hara ini Dengar jeritan beratus orang berlarian dikunyah api Mereka hangus-arang, siapa dapat mengenal lagi Bumiku sakit berat, dengarlah angin menangis sendiri

Kukenangkan tahun ‘47 lama aku jalan di Ambarawa dan Salatiga Balik kujalani Clash I di Yogya, Clash II di Bukittinggi

Kuingat-ingat pemboman Sekutu dan Belanda seantero negeri

Seluruh korban empat tahun revolusi Dengan Mei '98 jauh beda, jauh kalah ngeri Aku termangu mengenang ini

Bumiku sakit berat, dengarlah angin menangis sendiri

Ada burung merpati sore melayang Adakah desingnya kau dengar sekarang

Ke daun telingaku, jari Tuhan memberi jentikan Ke ulu hatiku, ngilu tertikam cobaan

Di aorta jantungku, musibah bersimbah darah

Di cabang tangkai paru-paruku, kutuk mencekik nafasku Tapi apakah sah sudah, ini murkaMu?

Ada burung merpati sore melayang Adakah desingnya kau dengar sekarang.

1998

4.2 Struktur Lahir dan Struktur Batin yang Membangun dalam Puisi Karya Taufiq Ismail yang Berjudul “Ketika Burung Merpati Sore Melayang”

4.2.1 Struktur Lahir dalam Puisi “Ketika Burung Merpati Sore Melayang”

1. Diksi

Diksi adalah pilihan kata yang paling tepat untuk mengungkapkan gagasan.

Dengan menggunakan kata-kata yang terseleksi dengan apik, Penyair ingin menyampaikan perasaannya melalui puisi ini mengenai Indonesia yang dianggapnya sakit karena penuh dengan pelanggaran terhadap hukum, bencana, tragedi kemanusiaan, dan penyakit. Dengan menggunakan kata-kata yang diseleksi luar biasa, Penyair mampu menampilkan kesan tentang situasi yang terjadi di negara Indonesia. Hal ini dapat diamati pada bait di bawah ini.

Langit akhlak telah roboh di atas negeri Karena akhlak roboh, hukum tak tegak berdiri Karena hukum tak tegak, semua jadi begini (KBMSM, hlm.7)

Diksi yang merepresentasikan kekuasaan dalam puisi “Ketika Burung Merpati Sore Melayang“ adalah /langit akhlak/, /akhlak roboh/ dan /hukum/.

Langit adalah tempat yang tertinggi, sedangkan pemimpin adalah orang memiliki kedudukan tertinggi dalam suatu struktur organisai terkecil hingga sebuah negara.

Jadi, langit dapat dimaknai sebagai lambang pemimpin. Akhlak adalah budi

akhlak atau budi pekerti para pejabat atau pemimpin yang mengakibatkan hukum tidak diberlakukan sebagaimana mestinya.

Larik /langit akhlak telah roboh di atas negeri/ merupakan metafora yang memiliki makna akhlak pemimpin sudah tidak ada lagi ketika menjalankan roda kepemimpinannya di sebuah pemerintahan. Karena akhlak sudah tidak ada, maka hukum pun sudah tidak berlaku atau sudah tidak ditegakkan lagi untuk menegakkan kebenaran dan keadilan. Para pejabat yang berwenang menjalankan hukum tidak lagi bekerja menjalankan hukum, melainkan melakukan pembiaran bahkan melanggar hukum. Akibat pembiaran dan pelanggaran hukum, kejahatan merajalela di mana-mana. Penjahat menjadi orang yang berkuasa seperti yang terdapat dalam data bait berikut.

Negeriku sesak adegan tipu-menipu

Bergerak ke kiri, dengan maling kebentur aku Bergerak ke kanan, dengan perampok ketabrak aku Bergerak ke belakang, dengan pencopet kesandung aku Bergerak ke depan, dengan penipu ketanggor aku Bergerak ke atas, di kaki pemeras tergilas aku

(KBMSM, hlm.7)

Diksi /tipu-menipu/, /kebentur/, /ketabrak/, /kesandung/, /ketanggor/, dan /tergilas/ dalam bait di atas menunjukkan bahwa sang aku lirik selalu bertemu dengan orang-orang jahat yang disampaikan dengan diksi seperti maling,

perampok, pencopet, penipu yang menggambarkan sudah tidak ada lagi ditemukan keamanan dimana pun ia berada.

2.Imajinasi

Imajinasi adalah daya pikir untuk membayangkan atau menciptakan sesuatu kejadian berdasarkan kenyataan. Imajinasi ini timbul dalam ruang pikiran pembaca ketika ia membaca puisi. Imajinasi yang dominan dalam puisi “Ketika Burung Merpati Sore Melayang” adalah :

1. Imajinasi Visual

Imajinasi visual yaitu imajinasi yang menyebabkan pembaca seolah-olah seperti melihat sendiri apa yang dikemukakan atau diceritakan oleh penyair. Atau imaji yang digunakan oleh penyair menggunakan indera penglihatan.Pada bait berikut berimajinasi visual.

Kapal laut bertenggelaman, kapal udara berjatuhan Gempa bumi, banjir, tanah longsor dan orang kelaparan Kemarau panjang, kebakaran hutan berbulan-bulan Jutaan hektar jadi jerebu abu-abu berkepulan Bumiku demam berat, menggigilkan air lautan

(KBMSM, hlm.7)

Dari kutipan bait puisi di atas terdapat imaji penglihatan seperti pada larik /Kapal laut bertenggelaman, kapal udara berjatuhan/ merupakan suatu

akan melihat banyak kapal laut yang tenggelam dan banyak pesawat yang berjatuhan.

2. Imajinasi Faktual

Pada puisi ini juga terdapat imajinasi faktual, imajinasi faktual sendiri memiliki pengertian imajinasi rasa kulit yang menyebabkan pembaca seperti merasakan nyeri, dingin, panas, dan sebagainya.. Imaji faktual juga disebut dengan imaji perabaan,yang mana merupakan imaji yang dapat dirasakan oleh indera peraba atau kulit manusia. Imajinasi faktual atau perasaan dapat digambarkan melalui bait pada puisi berikut ini.

Ada burung merpati sore melayang Adakah desingnya kau dengar sekarang

Ke daun telingaku, jari Tuhan memberi jentikan Ke ulu hatiku, ngilu tertikam cobaan

Di aorta jantungku, musibah bersimbah darah

Di cabang tangkai paru-paruku, kutuk mencekik nafasku Tapi apakah sah sudah, ini murkaMu?

(KBMSM, hlm.8)

Pada kutipan bait di atas terdapat imajinasi perasaan dan perabaan, sang penyair menggambarkan bahwa dirinya merasakan betapa beratnya menghadapi cobaan tak henti-hentinya dari segala sisi yang diberikan oleh Tuhan. Dalam

dalam menjalani hidupnya. Imajinasi perabaan juga digambarkan pada kutipan bait di atas, dimana penulis menggambarkan bahwa dirinya merasakan ada sesuatu yang menyentuh dirinya.

3. Imajinasi Auditori

Terdapat pula imajinasi auditori pada puisi ini, imajinasi auditori adalah imajinasi yang menyebabkan pembaca seperti mendengar sendiri apa yang dikemukakan penyair. Imaji auditori juga disebut dengan imaji pendengaran yang memiliki arti imaji yang digunakan oleh penyair menggunakan indera pendengaran. Imajinasi auditori tersebut dapat dilihat dari kutipan larik di bawah ini.

Dengar jeritan beratus orang berlarian dikunyah api

(KBMSM, hlm.7)

Pada kutipan larik di atas menggambarkan, bahwa penulis telah mendengarkan banyak sekali jeritan orang yang tidak selamat ketika terjadi peperangan atau kebakaran, atau ketika pemboman, sehingga banyak sekali orang yang tewas dan tidak dapat menyelamatkan dirinya ketika kejadian seperti yang digambarkan berlangsung.

3.Kata Konkret

Apabila penyair berhasil menggunakan diksi yang menghadirkan sesuatu dengan jelas dan terang-benderang di dalam imajinasi pembaca, maka kata-katanya akan menjadi lebih konkret seperti yang kita hayati dalam penglihatan, pendengaran, atau cita rasa. Kata konkret merupakan kata-kata yang sangat memungkinkan dapat memunculkan Imajinasi. Seperti pada kata berikut.

/langit akhlak/, /akhlak roboh/, /hukum tak tegak berdiri/, /negeriku sesak/, /kapal laut bertenggelaman/, /kapal udara berjatuhan/, /bumiku demam berat/, /menggigilkan air lautan/, /dikunyah api/, /angin menangis sendiri/, /ada burung merpati sore melayang/, /adakah desingnya kau dengar sekarang/, /jari Tuhan memberi jentikan/, /penyakit kelamin meruyak tak tersembuhkan/, /penyakit nyamuk membunuh bagai ejekan/, /berjuta belalang menyerang lahan pertanian/, /empat syuhada melesat ke langit/, /gemuruh langkah/, /mereka hagus-arang/, /bumiku sakit berat/, /demgarlah angin menangis sendiri/, /ngilu tertikam cobaan/,

Di atas adalah kata-kata konkret yang dapat menimbulkan imajinasi. Pada kata di atas seperti /langit akhlak/, akhlak manusia yang berada di bumi ini sudah tidak ada lagi, apapun bisa didapatkan meski dengan cara yang salah. Kemudian pada larik /penyakit kelamin meruyak tak tersembuhkan/, /penyakit nyamuk membunuh bagai ejekan/, /berjuta belalang menyerang lahan pertanian/

menggambarkan bahwa pada saat itu manusia sedang mengalami banyak sekali cobaan dan ancaman bukan saja ancaman berupa penyakit, tetapi di bidang pertanian karena banyak hama menyerang lahan pertanian.. Lalu seperti kata /bumiku demam berat/ menggambarkan bahwa bumi ini juga dapat merasa

sudah tua dan merasa sakit pula ketika banyak dari bagian dirinya dirusak oleh manusia dengan membakarnya, dan lain-lain.

4.Verifikasi

Verifikasi tidak lain adalah nada, intonasi, atau irama yang amat terasa ketika puisi disuarakan atau dibaca. Verifikasi terdiri atas rima, ritme, dan metrum.

Rima atau irama merupakan pengolah kata dalam setiap lariknya sehingga terjadi persamaan bunyi baik di awal, tengah atau pada bagian akhir larik puisi.

1.Rima Awal

Rima awal merupakan rima yang terdapat pada awal kata.Rima awal dalam puisi ini terlihat pada kutipan di bawah ini.

Bergerak ke kiri, dengan maling kebentur aku Bergerak ke kanan, dengan perampok ketabrak aku Bergerak ke belakang, dengan pencopet kesandung aku Bergerak ke depan, dengan penipu ketanggor aku (KBMSM, hlm.7)

Dari kutipan larik di atas terdapat rima awal pada kata /bergerak/ karena terdapat kesamaan pada segi kata, suku kata dan terletak di awal larik. Maka dari itu kutipan larik tersebut termasuk ke dalam rima awal.

Rima akhir merupakan rima yang terdapat pada akhir kata. Di dalam puisi ini didominasi dengan akhiran yang berbunyi (i), (u), (n) dan (ng). Hal itu dapat dilihat dalam kutipan di bawah ini.

Langit akhlak telah roboh di atas negeri Karena akhlak roboh, hukum tak tegak berdiri Karena hukum tak tegak, semua jadi begini (KBMSM, hlm.7)

Dari kutipan di atas terdapat rima akhir yang memiliki kesamaan pada penggunaan sajak i-i-i. Maka dari itu kutipan larik di atas termasuk ke dalam rima akhir.

Negeriku sesak adegan tipu-menipu

Bergerak ke kiri, dengan maling kebentur aku Bergerak ke kanan, dengan perampok ketabrak aku (KBMSM, hlm.7)

Dari kutipan di atas terdapat rima akhir yang memiliki kesamaan pada penggunaan sajak u-u-u. Maka dari itu kutipan larik di atas termasuk ke dalam rima akhir.

Kapal laut bertenggelaman, kapal udara berjatuhan Gempa bumi, banjir, tanah longsor dan orang kelaparan Kemarau panjang, kebakaran hutan berbulan-bulan (KBMSM, hlm.7)

Dari kutipan di atas terdapat rima akhir yang memiliki kesamaan pada penggunaan sajak n-n-n. Maka dari itu kutipan larik di atas termasuk ke dalam rima akhir.

Ada burung merpati sore melayang Adakah desingnya kau dengar sekarang (KBMSM, hlm.8)

Dari kutipan di atas terdapat rima akhir yang memiliki kesamaan pada penggunaan sajak n-n-n. Maka dari itu kutipan larik di atas termasuk ke dalam rima akhir. Kemudian untuk irama dalam puisi “Ketika Burung Merpati Sore Melayang”, pada puisi tersebut irama yang hadir ketika membaca terjadinya penurunan nada. Di baris pertama terjadi nada tinggi kemudian di baris kedua nadanya menurun. Di baris ketiga nadanya tinggi dan di baris keempat nadanya menurun dan seterusnya. Selanjutnya adalah mentrum, metrum sendiri merupakan pengulangan tekanan kata yang tetap dan pada puisi ini terdapat metrum.

5. Perwajahan Puisi (Tipografi)

Tipografi atau perwajahan adalah tatanan larik, bait, kalimat, frasa, kata dan bunyi untuk menghasilkan suatu bentuk fisik yang mampu mendukung isi, rasa dan suasana dalam sebuah puisi. Tipografi merupakan aspek visual puisi dengan mengetahui tata hubungan dan tata baris dalam sebuah puisi. Pada puisi Taufik Ismail yang berjudul “Ketika Burung merpati Sore Melayang“ penulisan

rata kiri dan penulis selalu menggunakan huruf kapital pada setiap awal larik. Hal itu terlihat pada kutipan bait di bawah ini.

Beribu pencari nafkah dengan kapal dipulangkan Penyakit kelamin meruyak tak tersembuhkan Penyakit nyamuk membunuh bagai ejekan Berjuta belalang menyerang lahan pertanian Bumiku demam berat, menggigilkan air lautan (KBMSM, hlm.7)

Dari kutipan bait di atas menggambarkan bahwa setiap awal larik menggunakan huruf kapital. Dalam puisi ini juga menggunakan tanda baca. Hal itu terlihat pada kutipan bait di bawah ini.

Ke daun telingaku, jari Tuhan memberi jentikan Ke ulu hatiku, ngilu tertikam cobaan

Di aorta jantungku, musibah bersimbah darah

Di cabang tangkai paru-paruku, kutuk mencekik nafasku Tapi apakah sah sudah, ini murkaMu?

(KBMSM, hlm.8)

Dari kutipan bait di atas menggambarkan secara keseluruhan dalam puisi tersebut menggunakan tanda baca seperti koma untuk menjeda, dan tanda tanya

yang digunakan pada akhir kalimat tanya, tetapi terdapat pula bait yang tidak menggunakan tanda baca. Hal itu terlihat pada kutipan di bawah ini.

Ada burung merpati sore melayang Adakah desingnya kau dengar sekarang (KBMSM, hlm.8)

Dalam puisi ini penyair juga menata puisinya dengan satu bait yang terdiri atas beberapa baris, ini kemungkinan besar dimaksudkan oleh penyair untuk lebih menekankan pada makna dan pembaca agar lebih mengerti makna yang disampaikan pada puisi tersebut. Hal itu terlihat pada kutipan bait di bawah ini.

Kapal laut bertenggelaman, kapal udara berjatuhan Gempa bumi, banjir, tanah longsor dan orang kelaparan Kemarau panjang, kebakaran hutan berbulan-bulan Jutaan hektar jadi jerebu abu-abu berkepulan Bumiku demam berat, menggigilkan air lautan

Beribu pencari nafkah dengan kapal dipulangkan Penyakit kelamin meruyak tak tersembuhkan Penyakit nyamuk membunuh bagai ejekan Berjuta belalang menyerang lahan pertanian Bumiku demam berat, menggigilkan air lautan (KBMSM, hlm.7)

6. Gaya Bahasa

Gaya bahasa atau majas merupakan penggunaan bahasa yang bersifat seolah-olah menghidupan dan menimbulkan makna konotasi dengan menggunakan bahasa yang figuratif. Gaya bahasa dalam puisi ini yang digambarkan oleh penulis yaitu terdapat pada /hukum tak tegak berdiri/, /bumiku demam berat/, /bumiku sakit berat/, /angin menangis sendiri/, /musibah bersimpuh darah/, dan /kutuk mencekik napasku/.

Pada frasa /hukum tak tegak berdiri/ mengandung majas personifikasi.

Majas personifikasi adalah gaya bahasa yang memberikan sifat atau perilaku manusia kepada benda mati, itu terlihat karena menjadikan hukum seperti manusia tua yang lemah dan sudah tidak dapat berdiri lagi dengan tegap dan kokoh sehingga sulit untuk beraktivitas. Majas ini dapat dimaknai bahwa hukum sudah hilang, tidak berlaku lagi, dan tidak dijalankan sesuai dengan fungsinya.

/Bumiku demam berat/ dan /bumiku sakit berat/ membandingkan bumi seperti manusia yang sedang menderita sakit parah. Sakit parah itu menyebabkan manusia tidak dapat berbuat apa-apa, dapat dimaknai negara atau bangsa yang sudah tidak mamatuhi hukum atau aturan yang berlaku menyebabkan malapetaka menimpa bangsa Indonesia. Terdapat pula majas ironi dalam puisi ini, dapat dilihat dari bait berikut.

Beribu pencari nafkah dengan kapal dipulangkan Penyakit kelamin meruyak tak tersembuhkan Penyakit nyamuk membunuh bagai ejekan

Berjuta belalang menyerang lahan pertanian Bumiku demam berat, menggigilkan air lautan

(KBMSM, hlm.7)

Larik-larik di atas merupakan sindiran bagi pemerintah bahwa tenaga kerja Indonesia banyak yang dipulangkan dari luar negeri. Kepulangan mereka mengisyaratkan bahwa pemerintah tidak bisa mengelola tenaga kerja, tidak bisa membuka lapangan pekerjaan. Pemerintah juga mendapat sindiran tidak dapat menjaga masyarakat dari ancaman penyakit, terutama penyakit kelamin. Hal ini mengindikasi bahwa akhlak masyarakat sudah buruk, sehingga mereka bisa dengan bebas melakukan hubungan seksual yang berakibat banyak penyakit kelamin.

/Negeriku sesak adegan tipu menipu/ merupakan majas metafora. Dalam puisi Taufiq Ismail ini hanya sedikit gaya bahasa yang digunakan. Ada beberapa gaya bayasa yang dominan yaitu gaya bahasa personifikasi, penyair mencoba mengumpamakan benda mati seolah olah hidup atau menyamakaan sesuatu dengan manusia, tujuannya agar penyampaiannya lebih mengena langsung kepada pembaca.

4.2.2 Struktur Batin dalam Puisi “Ketika Burung Merpati Sore Melayang”

1. Tema (Sense)

Tema adalah pokok pembicaraan atau sesuatu yang hendak disampaikan penyair kepada pembaca melalui puisinya. Tema puisi “Ketika Burung Merpati Sore Melayang”, adalah ketidakadilan pemimpin negara terhadap rakyat Indonesia. Hal itu dapat dilihat dalam kutipan bait di bawah ini.

Langit akhlak telah roboh di atas negeri

Karena akhlak roboh, hukum tak tegak berdiri

Karena hukum tak tegak, semua jadi begini

(KBMSM, hlm.7)

Pada kutipan larik /karena akhlak roboh, hukum tak tegak berdiri/

mengandung makna bahwa akhlak dari seorang pemimpin yang telah hilang hingga menyebabkan hukum tidak ditegakkan. Hal itulah yang menjadi penyebab awal mulanya dari semua masalah-masalah yang terjadi di Indonesia. Dalam puisi ini penyair memberikan gambaran tentang bangsa yang sedang mengalami krisis moneter dan kekacauan di mana-mana. Hal itu terlihat pada kutipan di bawah ini.

Kukenangkan tahun ‘47 lama aku jalan di Ambarawa dan Salatiga Balik kujalani Clash I di Yogya, Clash II di Bukittinggi

Kuingat-ingat pemboman Sekutu dan Belanda seantero negeri Seluruh korban empat tahun revolusi

Dengan Mei '98 jauh beda, jauh kalah ngeri Aku termangu mengenang ini

Bumiku sakit berat, dengarlah angin menangis sendiri (KBMSM, hlm.8)

Pada kutipan bait di atas penyair mengungkapkan bahwa bumi benar-benar sedang tidak baik saja. Hal itu dapat dimaknai dari penggalan larik /bumiku sakit berat, dengarlah angin menangis sendiri/. Hal tersebut terjadi diakibatkan karena pemimpinnya yang tidak memiliki akhlak yang baik, bijaksana dan tidak memberikan keadilan bagi setiap orang dalam menerima haknya. Sehingga banyak orang yang tidak dapat bertahan hidup karena tidak mendapatkan hak yang sama ketika terjadi musibah, ancaman dan kejahatan di Indonesia.

2. Perasaan Penyair (feeling)

Dalam puisi “Ketika Burung Merpati Sore Melayang” karya Taufiq Ismail mengungkapkan tentang kejahatan dan musibah yang dialami rakyat Indonesia.

Kejahatan dan musibah ini terjadi karena penguasa tidak menjalankan kekuasaan hukum dengan benar. Melalui puisi ini pengarang ingin menyampaikan bahwa akibat hukum tidak dijalankan dengan benar menyebabkan bencana kemanusiaan.

Hal itu terlihat pada kutipan bait di bawah ini.

Langit akhlak telah roboh di atas negeri Karena akhlak roboh, hukum tak tegak berdiri

Langit akhlak telah roboh di atas negeri Karena akhlak roboh, hukum tak tegak berdiri