• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 1 PENDAHULUAN

1.5 Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian dibedakan menjadi dua macam yaitu manfaat teoretis dan manfaat praktis (Ratna, 2016:273):

a) Manfaat Teoretis

1. Hasil penelitian ini, secara teoretis diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran dalam memperkaya wawasan ilmu ekokritik.

2. Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dalam mendeskripsikan struktur lahir, struktur batin dan ekokritik dalam karya sastra, khususnya dalam puisi karya Taufiq Ismail yang berjudul “Ketika Burung Merpati Sore Melayang”, dan “Kotak Suara”.

3. Penelitian ini diharapkan mampu menambah informasi baru dan menambah variasi penelitian di bidang sastra, khususnya dalam analisis mengenai kajian ekokritik dalam sebuah puisi.

b) Manfaat Praktis 1. Bagi Peneliti

Penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan peneliti mengenai ekologi sastra (ekokritik) dalam puisi “Ketika Burung Merpati Sore Melayang

“ dan “Kotak Suara” karya Taufiq Ismail.

2. Bagi Mahasiswa

Penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai dasar dan salah satu acuan untuk penelitian-penelitian yang relevan di masa yang akan datang.

3. Bagi Pembaca Sastra

Penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan pembelajaran kepada pembaca untuk mengetahui ekologi sastra (ekokritik) dalam puisi “Ketika Burung Merpati Sore Melayang”, dan “Kotak Suara” karya Taufiq Ismail.

BAB II

KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep

Pada dasarnya konsep merupakan abstraksi dari suatu gambaran ide, atau menurut Kant yang dikutip oleh Harifudin Cawidu yaitu gambaran yang bersifat umum atau abstrak tentang sesuatu. Fungsi dari konsep sangat beragam, akan tetapi pada umumnya konsep memiliki fungsi yaitu mempermudah seseorang dalam memahami suatu hal. Karena sifat konsep sendiri adalah mudah dimengerti, serta mudah dipahami. Melalui konsep, peneliti diharapkan akan dapat menyederhanakan pemikirannya dengan menggunakan satu istilah untuk beberapa kejadian (events) yang berkaitan satu dengan lainnya (Djojosuroto dan Sumaryati, 2000:10).

2.1.1 Sastra

Menurut Wellek & Warren (2016:3) sastra merupakan suatu karya seni, karya kreatif manusia yang mengandung nilai estetik. Sebagai wujud seni budaya, sastra memiliki dunia tersendiri yang merupakan pengejawantahan kehidupan sebagai hasil pengamatan sastrawan terhadap kehidupan sekitarnya.

2.1.2 Puisi

Menurut Pradopo (2012: 7) menyatakan bahwa puisi sebagai rekaman dan

berkesan. Puisi disebut sebagai ekspresi kreatif (yang mencipta) (Pradopo, 2009:

12). Pengertian lain menyebutkan bahwa puisi merupakan pernyataan perasaan yang imajinatif, yaitu perasaan yang direkakan atau diangankan (Wordsworth melalui Pradopo, 2009: 6). Coleridge berpendapat juga bahwa puisi adalah katakata yang terindah dalam susunan terindah (Pradopo, 2009: 6).

2.1.3 Ekokritik

Menurut Garrard (2004:5) ecocriticism meliputi studi tentang hubungan antara manusia dan nonmanusia, sejarah manusia dan budaya yang berkaitan dengan analisis kritis tentang manusia dan lingkungannya. Lebih lanjut, Garrard (2004) menegaskan ecocriticism mengeksplorasi cara-cara manusia membayangkan dan menggambarkan hubungan antara manusia dengan lingkungan dalam segala hasil budaya.

2.1.4 Paradigma

Menurut Nyoman Kutha Ratna (2011:21) secara luas paradigma didefinisikan sebagai seperangkat keyakinan mendasar, pandangan dunia yang berfungsi untuk menuntun tindakan-tindakan manusia yang disepakati bersama, baik dalam kehidupan sehari-hari maupun penelitian ilmiah. Bagi seorang ilmuwan paradigma dengan demikian dianggap sebagai konsep-konsep kunci dalam melaksanakan suatu penelitian tertentu, sebagai jendela dari mana ia dapat menyaksikan dunianya secara jelas.

Senada dengan Ratna, pengertian lain mengenai paradigma dikemukakan oleh M. Atar Semi (1993:51), paradigma adalah orientasi teori yang membimbing peneliti dalam berpikir dan meneliti dinamakan paradigma. Dari batasan paradigma yang dikemukakan oleh Ratna dan Semi di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa paradigma merupakan landasan dasar suatu penelitian bagi seorang peneliti. Pendekatan, metode, teknik dan langkah- langkah penelitian lainnya, masing-masing elemen tidak akan terjalin selaras dan memiliki relevansi penelitian tanpa paradigma peneletian.

2.2 Landasan Teori

Landasan teori adalah sebuah konsep dengan pernyataan yang tertata rapi dan sistematis mempunyai variabel dalam penelitian karena landasan teori menjadi landasan yang penting dalam penelitian yang akan dilakukan. Landasan teori merupakan bagian dari penelitian yang memuat teori-teori dan hasil-hasil penelitian yang berasal dari studi kepustakaan yang memiliki fungsi sebagai kerangka teori untuk menyelesaikan pekerjaan penelitian.

2.2.1 Ekokritik

Istilah ekokritik (ecocriticism) berasal dari bahasa Inggris yang merupakan bentukan kata ecology dan criticism. Ekologi merupakan bentukan dari kata oikos dan logos. Dalam bahasa Yunani, oikos berarti rumah-tempat tinggal: tempat tinggal semua perempuan dan laki-laki, hewan, tumbuhan, air, tanah, udara, dan matahari. Ekologi mempelajari hubungan antarmanusia dan lingkungan hidup,

dapat diartikan sebagai kajian ilmiah tentang pola hubungan tumbuh-tumbuhan, hewan-hewan, dan manusia terhadap satu sama lain dan terhadap lingkungan-lingkungannya. Sedangkan ‘kritik’ berasal dari kata ‘krinein’ dalam bahasa Yunani, yang diartikan sebagai bentuk ‘menghakimi’ dan ‘ekspresi penilaian’

tentang kualitas-kualitas baik atau buruk.

Teori ekokritik bersifat multidisiplin. Di satu sisi ekokritik menggunakan teori sastra dan di sisi lain menggunakan teori ekologi. Teori sastra merupakan teori yang multi disiplin begitu pula teori ekologi. Dalam aras teori sastra, teori ekokritik dapat dirunut dalam paradigma teori mimetik yang memiliki asumsi dasar bahwa kesusastraan memiliki keterkaitan dengan kenyataan. Sejak zaman Yunani hingga kini, paradigma teori mimetik mengalami berbagai peralihan.

Mulai dari paradigma imitasi Plato, rekreasi Aristoteles, refleksi Stendhat, refraksi Levin, defleksi Trotsky, difraksi Baudrillard, sampai paradigma deformasi. Di samping itu ekokritik dapat dirunut dalam paradigma triade Taine tentang ras, momen dan milieu yang menjelaskan bagaimana proses kreasi digerakan oleh faktor sosial, iklim, dan biologis (Wellek dan Warren, 1989:126-127). Berkat perjumpaan dengan teori ekologi, teori sastra semakin berkembang dan menumbuhkan ekokritik.

Kata "ekologi" merupakan ciptaan kata baru, yang pertama-tama diusutkan oleh ahli biologi bangsa Jerman Ernest Haeckel pada tahun 1869.

Biasanya ekologi didefinisikan sebagai kajian hubungan organisme-organisme atau kelompok-kelompok organisme terhadap lingkungannya, atau ilmu yang mengkaji hubungan timbal balik antara organisme-organisme hidup dan

lingkungan. Dalam paradigma biologi, ekologi dibagi menjadi dua bidang:

autekologi yang membahas pengkajian individu organisme atau spesies dengan menekankan sejarah hidup dan perilaku sebagai cara-cara penyesuaian diri terhadap lingkungan, dan synekologi yang membahas pengkajian golongan atau kumpulan yang berasosiasi bersama sebagai satu satuan (Odum, 1996:5). Akan tetapi ekologi bukan sekedar cabang biologi.

Ekologi mencakup rangkaian ilmu alam, ilmu sosial, filsafat, dan pengetahuan secara menyeluruh. Pendekatan holistiknya membuat ilmu ini menjadi luas. Pokok utama yang dibahas adalah kesalingtergantungan semua makhluk hidup (Croall dan Rankin, 1997:1261). Seperti ilmu-ilmu lainnya, ekologi bisa digunakan untuk tujuan baik dan buruk, tergantung pada pelakunya.

Ekologi dapat digunakan untuk melindungi atau mengekploitasi alam, untuk menentukan apa yang dapat dan tidak dapat dilakukan jika jaringan hidup ingin tetap dijaga utuh atau untuk menjustifikasi rasisme atau mengacaukan isu dan memunculkan kesenjangan, dan dapat pula digunakan untuk mengkritik masyarakat secara radikal, (Croall, dan Rankin, 1997:130-131). Teori ekologi dapat digunakan sebagai alat kritik, maka perjumpaannya dengan teori sastra melahirkan ekokritik.

Menurut Garrard (2004:5) ecocriticism meliputi studi tentang hubungan antara manusia dan nonmanusia, sejarah manusia dan budaya yang berkaitan dengan analisis kritis tentang manusia dan lingkungannya. Lebih lanjut, Garrard (2004) menegaskan ecocriticism mengeksplorasi cara-cara manusia membayangkan dan menggambarkan hubungan antara manusia dengan

lingkungan dalam segala hasil budaya. Ecocriticism diilhami oleh (juga sebagai sikap kritis dari) gerakan-gerakan lingkungan modern. Garrard menelusuri perkembangan gerakan itu dan mengekplorasi konsep-konsep yang terkait tentang ekokritik, sebagai berikut: (a) pencemaran (polution), (b) hutan belantara (wilderness), (c) bencana (apocalypse), (d) perumahan/tempat tinggal (dwelling), (e) binatang (animals), dan (f) bumi (earth).

Ecocriticism memusatkan analisis data pada ‘green’ moral dan political agenda. Dalam hubungan ini, ecocriticism berhubungan erat dengan pengembangan dalam teori filsafat dan politik yang berorientasikan pada lingkungan. Richard Kerridge mengajukan definisi ecocriticism sebagaimana Richard Kerridge dan Neil Sammells dalam bukunya Writing the Enviroment (1998). Definisi yang dibuat Richard Kerridge tampak lebih luas, yaitu ecocriticism kultural. Mengacu pada definisi ini, ecocriticism menggarap gagasan-gagasan dan representasi-representasi lingkungan di mana saja muncul dalam berbagai ruang budaya yang besar. Cheryll Glotfelty and Harold Fromm mengajukan gagasan tentang ‘ecocriticism’ melalui esai bertajuk The Ecocriticism Reader: Landmarks in Literary Ecology (1996). Kedua pakar tersebut berusaha menjelaskan konsep ‘back to nature’ (kembali ke alam) terhadap karya sastra dengan menggunakan pendekatan yang berpusat pada bumi.

Kerusakan lingkungan sebenarnya bersumber pada filosofi atau cara pandang manusia mengenai dirinya, lingkungan atau alam, dan tempatnya dalam keseluruhan ekosistem. Beberapa cara pandang tersebut adalah cara pandang antroposentris, biosentris, dan ekosentris (Naess dalam Keraf, 2010a:2-4).

Antroposentris memandang manusia sebagai penguasa atau pusat dari alam semesta, dan hanya manusia yang mempunyai nilai, dan isinya sekadar alat bagi pemuasan. Manusia berhak melakukan apa saja terhadap alam. Nilai moral hanya berlaku bagi manusia yang berakal dan berkehendak bebas. Dengan demikian, bagi mereka yang tidak berakal dan tidak bebas, yaitu budak, perempuan dan ras kulit berwarna dapat diberlakukan sesuai dengan kehendak majikan dan laki-laki.

Dominasi manusia atas alam yang berangkat dari firman Tuhan tersebut menimbulkan segala macam praktik mulai dari perlakuan yang bertanggung jawab sampai dengan eksploitasi terhadap alam.

Berbeda dengan antroposentrisme, biosentrisme dan ekosentrisme berpendapat manusia merupakan salah satu entitas di alam semesta. Manusia mempunyai kedudukan yang sama dalam kehidupan di alam semesta ini.

Kehidupan manusia tergantung pada dan terkait erat dengan semua kehidupan lain di alam semesta. Manusia dituntut untuk mempunyai tanggung jawab moral terhadap semua kehidupan di alam semesta. Semua kehidupan di bumi mempunyai status moral yang sama, dan karena itu harus dihargai dan dilindungi haknya secara sama (Naess dalam Keraf, 2010b:6-11). Selanjutnya, (Naess dalam Keraf, 2010a:2) menyatakan bahwa kasus kerusakan lingkungan bersumber pada perilaku manusia yang tidak bertanggung jawab, tidak peduli, dan mementingkan diri sendiri.

Krisis lingkungan hanya bisa diatasi dengan melakukan cara pandang dan perilaku manusia terhadap lingkungannya. Hal itu menyangkut pola hidup atau gaya hidup tidak hanya individu tetapi juga masyarakat pada umumnya. Pola

produksi dan konsumsi yang berlebihan dan tidak ramah lingkungan disebabkan kemajuan ekonomi dan industri modern yang menawarkan pola hidup yang konsumerisme. Para ekonom cenderung mereduksi kehidupan manusia dan maknanya hanya sebatas makna ekonomis. Mereka menganggap pertumbuhan ekonomi sebagai hal penting.

2.2.2 Paradigma Ekokritik

Ekokritik memiliki paradigma dasar bahwa setiap objek dapat dilihat dalam jaringan ekologis dan ekologi dapat dijadikan ilmu bantu dalam pendekatan kritik tersebut. Ekokritik memiliki cara pandang bahwa setiap objek dapat dilihat dalam jaringan ekologis. Ekologi dapat dijadikan ilmu bantu dalam pendekatan kritik sastra. Kemunculan ecocriticism merupakan konsekuensi logis dari keberadaan ekologis yang semakin menentukan perhatian manusia. Selama dalam dominasi orientasi kosmosentris, teosentris, antroposentris, dan logosentris, keberadaan ekologi terlalu jauh dari pusat orientasi pemikiran dan bahkan terpinggirkan sehingga pada akhirnya terlupakan. Kondisi demikian disebabkan oleh ketidakseimbangan dominasi budaya yang terlalu eksploitatif terhadap alam.

Hal itu tampaknya berangkat dari pola pikir dikotomis nature-culture (alam-budaya). Kebudayaan melawan alam.

Menurut Rousseau, pelopor zaman romantik, manusia justru terasingkan dari dirinya sendiri oleh kemajuan ilmiah dan oleh kebudayaan pada umumnya dan untuk menjadi sembuh dari alienasi ini, manusia harus kembali ke keadaan alamiah. Akan tetapi seruan romantik "retournons a lo nature" seperti ini tidak berkemampuan membalikkan laju kebudayaan industriat. Revolusi industri

menghabisi kekayaan alam dengan laju yang mengerikan, menghancurkan hubungan dengan tanah dan menyingkirkan petani ke belakang; kapitatisme industrial menghasilkan abad modern, dan mengeruk seluruh bahan baku tanpa mempedulikan akibat-akibat lingkungan; dan perilaku semodel itu memperoleh alibi ilmiah dari kredo Baconian bahwa pengetahuan ilmiah adalah kemenangan teknologi atas alam (Croatt dan Rankin, 1997:30-35). Pola pikir dikotomis menghasilkan binerisme yang secara jelas dipolakan oleh seorang antropolog struktural Claude Levi-Srauss (Appignanesi dan Garratt, 1997:67)

binerisme

Alam<--->budaya (non-manusia) (manusia)

Pola pikir dikotomis oposisional sudah selayaknya dirombak. Hal ini memerlukan keberanian dalam pembaharuan pola pikir. Dalam konteks ekokritik Amerika, dikotomi semodel itu sudah tampak semakin kurang memadai.

Dikotomi nature/culture (alam/budaya) perlu diganti dengan model triade trikotomis nature-nurture-culture (alam-pemetiharaan-budaya). Triade tersebut dapat dipolakan sebagai berikut:

Dalam paradigma nature-nurture-culture ini, jaringan ekologis membentuk keterkaitan antara alam, pemeliharaan, dan budaya dalam suatu ekosfer. Dengan triade tersebut paradigma ekokritik menjadi lebih memadai.

Dengan demikian objek kajian ekokritik harus dilihat dalam paradigma tersebut.

Melihat manusia merasa tersingkirkan baik secara fisik maupun budaya akibat kemajuan ilmu dan teknologi, yang mendorong dengan sangat kuat munculnya industrialisasi. Industrialisasi mendorong munculnya kapitalisme.

Dunia industri yang dipelopori kapitalis itu mampu menggeser kebudayaan dan peradaban yang telah mapan (established) sejak nenek moyang. Sebagai contoh, masyarakat petani yang selama ini mengandalkan tanah pertanian sebagai sumber mata pencaharian, harus merelakan tanahnya dibeli dengan ‘agak memaksa’ oleh pemilik modal untuk keperluan industri atau usahanya. Mereka harus menyingkir ke daerah-daerah pinggiran atau melibatkan diri dalam industri dan/atau usaha pemilik modal. Dengan demikian, bagi mereka yang meninggalkan pertanian, berarti mereka teralienasi secara budaya, yakni di antaranya, bergeser pola hidupnya: dari pola hidup sederhana ala petani ke pola konsumeris (mengikuti pola hidup orang-orang di sekitarnya).

2.2.3 Ekologi Sastra sebagai Ilmu Bantu dalam Kritik Sastra

Alam telah menjadi bagian dari sastra. Hal itu terbukti dari banyaknya sastrawan, khususnya di kalangan penyair, yang menggunakan diksi hutan, laut, pohon, satwa, dan lain-lain dalam karya mereka. Seiring dengan perkembangan, sastra telah banyak mengalami perubahan, begitu juga alam. Kedua elemen yang tidak terpisahkan itu seakan selalu berjalan beriringan. Sastra tempo dulu adalah

wajah alam masa lalu, dan sastra sekarang adalah wajah alam masa kini. Sastra membutuhkan alam sebagai inspirasinya, sedangkan alam membutuhkan sastra sebagai alat konservasinya. Glotfelty and Fromm (1996) mengetengahkan gagasan tentang ecocriticism (ekokritik) bermaksud mengaplikasikan konsep ekologi ke dalam sastra, pendekatan yang dilakukan yaitu menjadikan bumi (alam) sebagai pusat studinya. Ecocriticism didefinisikan sebagai sebuah studi tentang hubungan antara sastra dan lingkungan hidup (Glotfelty, dan Fromm, 1996).

Ecocriticism (kajian hijau) muncul di USA pada akhir tahun 1980-an dan di Inggris pada tahun 1990-an, serta gerakan Glotfelty yang juga co-founder (salah satu pendiri) The Association for the Study of Literature and Environment (ASLE), menerbitkan jurnal ISLE (Interdisciplinary Studies in Literature and Enviroment) pada tahun 1993 sebagai upaya untuk mengkampanyekan gerakan tersebut. Ecocriticism yang dikembangkan Glotfelty berbeda bentuk pendekatannya dengan kritik-kritik yang muncul sebelumnya. Ecocriticism dikenal secara luas sebagai serangkaian asumsi, doktrin, atau prosedur yang tampaknya muncul dalam batas-batas akademis. Itulah sebabnya, mengapa Ecocriticism tampak menjadi gerakan terkuat di universitas-universitas di wilayah barat Amerika Serikat, di luar kota-kota besar, dan dari pusat-pusat kekuatan akademis di wilayah pantai Timur dan Barat (Barry, dalam Glotfelty 2010).

Kajian ekologi sastra dapat memanfaatkan beberapa teori turunan, di antaranya: teori ekofeminisme, teori ekoimperalisme, teori ekopolitik, teori, ekologi budaya, dan lain-lain. Selain itu, ekologi sastra juga melahirkan implikasi metodologi yang memiliki karakteristik yang berbeda dengan kajian sosiologi

sastra, antropologi sastra, psikologi sastra, filsafat sastra, maupun kajian budaya (cultural studies). Shoba (2013:85) dalam Indian Journal of Applied Research menyatakan bahwa “Eco-criticism is a study of culture and cultural products (art works, writings, scientific theories, etc ) in some way is connected with the human relationship to the natural world”. Maksudnya bahwa ekokritik adalah ilmu tentang budaya dan produk budaya (seni, sastra, teori ilmiah dan lain- lain) dalam hubunganya dengan manusia dan alam. Ekokritik bukan saja sebagai alat untuk mengkritik bagaimana lingkungan direpresentasikan dalam karya, tetapi ekokritik adalah pemahaman tentang kebiasaan hidup dan manusia yang ada di dalamnya.

Dengan kajian ekologi sastra akan dapat terungkap dan diketahui bagaimana peran sastra dalam memanusiakan lingkungan dan alam.

Menurut Harsono (2008:35), teori ekokritik bersifat multidisiplin, disatu sisi ekokritik menggunakan teori sastra dan disisi lain menggunakan teori ekologi.

Menurut Garrard (2004:20), ekokritisisme mengeksplorasi cara- cara mengenai bagaimana kita membayangkan dan menggambarkan hubungan antara manusia dan lingkungan dalam segala bidang hasil budaya. Ekokritisisme diilhami oleh (juga sebagai sikap kritis dari) gerakan-gerakan lingkungan modern. Greg Garrard menelusuri perkembangan gerakan itu dan mengeksplorasi konsep-konsep yang terkait tentang ekokritik, sebagai berikut.

1) Pencemaran

Menurut Garrard (2004:6) pencemaran adalah masalah ekologis karena tidak menyebutkan substansi atau kelas zat, tetapi lebih merupakan klaim normatif implisit bahwa terlalu banyak sesuatu hadir di lingkungan, biasanya di

tempat yang salah. Pencemaran lingkungan adalah sumber masalah, yang semakin penting untuk diselesaikan karena menyangkut kesehatan, keselamatan, dan kehidupan. Siapapun bisa berperan aktif dalam menyelesaikan masalah pencemaran lingkungan ini, mulai dari lingkungan yang terkecil sampai ke lingkungan yang lebih luas. Pencemaran berasal dari bahasa Latin polluere yang berarti mengotori.

2) Hutan Belantara

Hutan adalah masyarakat tumbuh-tumbuhan yang dikuasai pohon-pohon dan mempunyai keadaan lingkungan yang berbeda dengan keadaan di luar hutan.

Menurut Fenomena Garrard (2004:4), konsep hutan mengacu pada keadaan alam yang tidak terkontaminasi oleh peradaban dan merupakan sebuah konstruksi alam yang kuat. Hal tersebut dilakukan untuk melindungi ekosistem dan spesies tertentu, dan agar tidak tercemar oleh manusia, orang berharap untuk lari dari ketidaksopanan dan tendensi material kota dapat melarikan diri ke sana. Hutan penting untuk ekokritik karena menjanjikan sebuah pembaharuan, hubungan antara manusia dan lingkungan yang sebenarnya.

3) Bencana

Bencana adalah keadaan berupa kondisi dari alam dan lingkungan yang tidak seperti biasanya, terjadinya perubahan iklim, kerusakan, kemerosotan hayati, kepunahan ekosistem dan meningkatnya bencana alam. Greg Garrard menunjukkan kesadaran bahwa dunia tidak akan berakhir dan bahwa manusia

seperti pemuda masa kini, seperti lingkungan cenderung bertahan bahkan jika peradaban tidak dibangun (Garrard, 2004:107). Menurut Garrard, bencana melibatkan psikologi sosial yang cenderung ke arah paranoid dan kekerasan, dualisme moral yang ekstrim dan pengikut kanonisasi, dan karena itu selalu ada, selalu berupa tindakan imajinatif. Sebenarnya tidak semua masalah lingkungan disebabkan oleh manusia, malah sebagian besar terjadi di luar campur tangan manusia, seperti gempa bumi, gunung meletus, tsunami, meteor yang jatuh, dan sebagainya. Namun, perlu menjadi catatan bahwa lingkungan memiliki daya lenting, yaitu kemampuan untuk kembali ke keadaan seimbang setelah terjadi gangguan. Proses ini disebut konsep homeostatis. Oleh karena itu, masalah lingkungan yang disebabkan oleh alam, maka alam sendiri yang akan mengembalikan lingkungan ke keadaan seimbang atau homeostatis.

4) Perumahan/Tempat Tinggal

Menurut Garrard (2004:108) tempat tinggal/ perumahan bukanlah hal yang sementara, sebaliknya ini menyiratkan penumpukan jangka panjang dari memori landskap manusia, leluhur dan kematian, ritual, kehidupan dan pekerjaan.

Tanah sebagai tempat tinggal bagi semua masyarakat adalah sumber kehidupan, baik bagi manusia maupun bagi hampir semua makhluk hidup lain. Bahkan dalam arti tertentu, tanah bukan hanya sekadar sebagai sumber kehidupan. Ia adalah kehidupan itu sendiri. Ia adalah ibu yang memberi hidup dan memancarkan kehidupan. Tanah sebagai tempat tinggal mempunyai dan memberi makna ekologis, sosial, spiritual, dan moral bagi manusia dan makhluk hidup lain.

Seperti dikatakan Vandana Shiva, tanah bukan sekadar rahim bagi reproduksi kehidupan biologis, melainkan juga reproduksi kehidupan budaya dan spiritual.

5) Binatang

Menurut Garrard (2004:136), studi tentang hubungan antara binatang dan manusia dalam ilmu humaniora terbagi antara pertimbangan filosofis hak-hak binatang dan analisis budaya representasi binatang. Fenomena yang luar biasa baru-baru ini, ia memperoleh dorongan terutama dari Peter Singer Revolutionary Animal Liberation (1975), yang meneliti suatu masalah hingga kemudian dibahas secara sepintas oleh para filsuf moral tetapi jarang dieksplorasi sepenuhnya.

Singer (dalam Garrard, 2004:136) menarik argumen yang pertama kali dikemukakan oleh filsuf Utilitarian Jeremy Bentham (1748–1832), yang menyatakan bahwa kekejaman terhadap binatang analog dengan perbudakan dan mengklaim bahwa kapasitas untuk merasakan rasa sakit, bukan kekuatan akal, berhak menjadi makhluk untuk pertimbangan moral. Sama seperti, katakanlah, wanita atau orang Afrika telah diperlakukan buruk dengan alasan perbedaan fisiologis yang tidak relevan secara moral, sehingga binatang menderita karena mereka jatuh pada sisi yang salah dari garis yang tidak dapat dicegah.

6) Bumi

Menurut Garrard menyelamatkan bumi mencakup isi yang ada di dalamnya terkait hewan dan tumbuhan, upaya pelestarian yang ada di bumi dapat dilakukan dengan cara bersama-sama mengambil tugas dan tanggung jawab untuk

menjaga bumi. Salah satu keberhasilan merawat bumi menurut Garrard (2004:166) adalah diadakannya Protokol Montreal tahun 1987 yang memperkenalkan control global terhadap penggunaan CFC (ozon- depleting Chloro-Fluoro-Carbon).

Kesepakan ini sering dikutip sebagai bukti betapa sains sangat berperan dalam mengatasi masalah lingkungan. Ada dua tantangan utama untuk masa depan.

Salah satunya adalah hubungan antara globalisasi dan ekokritisisme. Perhatian yang berkelanjutan terhadap gagasan tentang kearifan lingkungan harus diimbangi dengan proses globalisasi yang berdampak positif bagi bumi dan makhluk di dalamnnya. Yang kedua adalah kesulitan mengembangkan hubungan konstruktif antara green humanities dan ilmu lingkungan.

Salah satunya adalah hubungan antara globalisasi dan ekokritisisme. Perhatian yang berkelanjutan terhadap gagasan tentang kearifan lingkungan harus diimbangi dengan proses globalisasi yang berdampak positif bagi bumi dan makhluk di dalamnnya. Yang kedua adalah kesulitan mengembangkan hubungan konstruktif antara green humanities dan ilmu lingkungan.