• Tidak ada hasil yang ditemukan

Chapter II Hubungan Obesitas dengan Identitas Diri pada Remaja di SMA N13 Medan Tahun 2014

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Chapter II Hubungan Obesitas dengan Identitas Diri pada Remaja di SMA N13 Medan Tahun 2014"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Obesitas

Obesitas adalah kelebihan berat badan sebagai akibat dari penimbunan lemak tubuh

yang berlebihan. (Mumpuni & Wulandari, 2010). Secara ilmiah, obesitas terjadi akibat

mengkonsumsi kalori lebih banyak dari yang diperlukan tubuh. (Proverawati, 2010).

Ditinjau dari segi klinis, obesitas adalah kelebihan lemak di dalam tubuh, yang

umumnya ditimbun dalam jaringan subkutan (bawah kulit), sekitar organ tubuh dan

kadang terjadi perluasan ke dalam jaringan organnya (Misnadiarly, 2007). Terjadinya

obesitas secara umum berkaitan dengan keseimbangan energi di dalam tubuh.

Keseimbangan energi ditentukan oleh asupan energi yang berasal dari zat gizi penghasil

energi yaitu karbohidrat, lemak, protein serta kebutuhan energi yang ditentukan oleh

kebutuhan energi basal, aktifitas fisik dan thermic effect of food (TEF) yaitu energi yang

diperlukan untuk mengolah zat gizi menjadi energi (Soegih & Wiramihardja, 2009).

Kegemukan merupakan masalah kesehatan yang perlu mendapat perhatian dan harus

segera diatasi karena dapat menyebabkan timbulnya penyakit seperti jantung, tekanan

darah tinggi, penyakit saraf, penyakit metabolik, dan gangguan pernafasan yang dapat

menyebabkan kematian (Mumpuni & Wulandari, 2010). Di samping itu obesitas dapat

dikatakan merupakan salah satu faktor yang berdiri sendiri, khususnya terhadap

mortalitas (Misnadiarly, 2007). Dari beberapa defenisi diatas dapat disimpulkan bahwa

obesitas adalah keadaan dimana terjadinya penimbunan lemak secara berlebih sehingga

berat badan mengalami peningkatan dari batas normal. Hal ini disebabkan karena

(2)

1. Faktor-faktor Penyebab Obesitas

Secara ilmiah, obesitas terjadi akibat mengkonsumsi kalori lebih banyak dari

yang diperlukan tubuh. Meskipun penyebab utamanya belum diketahui, namun

obesitas pada remaja terlihat cenderung kompleks, multifaktorial, dan berperan

sebagai pencetus terjadinya penyakit kronis dan degenerative. Faktor resiko yang

berperan terjadinya obesitas antara lain sebagai berikut.

a. Faktor Genetik

Obesitas cenderung untuk diturunkan, sehingga diduga memiliki penyebab

genetik. Tetapi anggota keluarga tidak hanya berbagai gen, tetapi juga makanan dan

kebiasaan gaya hidup, yang biasa mendorong terjadinya obesitas. Seringkali sulit

untuk memisahkan faktor gaya hidup dengan faktor genetik. Penelitian menunjukkan

bahwa rata-rata faktor genetik memberikan kontribusi sebesar 33% terhadap berat

badan seseorang (Proverawati, 2010).

b. Faktor Fisiologis

Faktor fisiologis adalah faktor-faktor yang berasal dari berbagai variabel baik

yang bersifat herediter atau nonherediter, yang dapat menyebabkan individu tumbuh

menjadi seorang yang berbadan gemuk (obese) atau overweight. Adapun variabel

yang bersifat herediter (genetis), mengandung pengertian sebagai faktor keturunan

dari salah satu atau kedua orangtuanya yang memiliki badan gemuk, sehingga

mereka akan melahirkan anak yang gemuk juga. Sedangkan variabel yang

nonherediter (external factor) yakni faktor yang berasal dari luar individu, seperti

jenis makanan yang dikonsumsi dan taraf kegiatan yang dilakukan individu (Dariyo,

(3)

c. Faktor Lingkungan

Gen merupakan faktor yang penting dalam timbulnya obositas, namun

lingkungan seseorang juga memegang peranan yang cukup berarti. Yang termasuk

lingkungan dalam hal ini adalah perilaku atau pola gaya hidup, miasalnya apa yang

dinamakan dan berapa kali seseorang makan, serta bagaimana aktivitasnya setiap

hari. Seseorang tidak dapat mengubah pola genetiknya namun dapat mengubah pola

makan dan aktifitasnya (Proverawati, 2010). Penelitian di Amerika menunjukkan

bahwa anak-anak yang di sekitar sekolahnya terdapat restoran cepat saji atau fast

food akan memiliki kecendrungan kelebihan berat badan atau kegemukan (Mumpuni

& Wulandari, 2010).

d. Faktor Psikososial

Apa yang ada dalam pikiran seseorang dapat mempengaruhi kebiasaan

makannya. Banyak orang yang memberikan reaksi terhadap emosinya dengan

makan. Salah satu bentuk gangguan emosi adalah persepsi diri yang negatif.

Gangguan emosi ini merupakan masalah serius pada wanita usia muda penderita

obesitas, dan dapat menimbulkan kesadaran berlebih tentang kegemukannya serta

rasa tidak nyaman dalam pergaulan sosial.

e. Faktor Perkembangan

Penambahan ukuran atau jumah sel-sel lemak atau kedua-duanya dapat

menyebabkan bertambahnya jumlah lemak yang disimpan dalam tubuh. Penderita

kegemukan, terutama yang sudah gemuk sejak masa kanak-kanak, bisa memiliki sel

lemak sampai 5 kali lebih banyak dibandingkan dengan orang yang berat badannya

(4)

badan hanya dapat dilakukan dengan cara mengurangi jumlah sel lemak di dalam

setiap sel (Proverawati, 2010).

2. Dampak Obesitas

Obesitas tidak hanya berdampak pada medis, psikis maupun sosial, tetapi juga

erat hubungannya dengankelansungan hidup penderitanya (Misnadiarly, 2007).

Obesitas dapat mempengaruhi kualitas hidup akibat keterbatasan pergerakan tubuh

dan menurunkan ketahanan fisik (endurans). Obesitas berhubungan dengan

meningkatnya risiko untuk terjadinya beberapa jenis kanker seperti endometrium,

ginjal, dan kanker payudara (postmenopausal). Perempuan yang mengalami

peningkatan berat badan lebih sejak usia 18 tahun akan memiliki risiko dua kali lipat

untuk mengalami kanker payudara bila dibandingkan dengan perempuan yang BB

normal. (Soegih & Wiramihardja, 2009). Kegemukan pada remaja dalam jangka

panjang dapat memicu berbagai penyakit seperti, jantung koroner, diabetes mellitus,

fungsi paru, peningkatan kadar kolestrol, gangguan ortopedik karena menopang

tubuh yang berat, gangguan pernafasan saat tidur, dapat terserang infeksi pernafasan,

kelainan pada kulit, kegemukan yang terjadi pada masa kanak-kanak dapat berlanjut

hingga dewasa (Indika, 2010, ¶). Dampak obesitas yang dapat terjadi dalam jangka

pendek maupun jangka panjang adalah sebagai berikut :

a. Gangguan psiko-sosial

Rasa rendah diri, defresif dan menarik diri dari lingkungan. Hal ini

dikarenakan karena anak obesitas sering kali menjadi bahan hinaan teman

sepermainan dan teman sekolah. Akibat bentuk yang kurang menarik, sering

menimbulkan problem dalam pergaulan dan seseorang dapat menjadi rendah diri

(5)

pula karena ketidakmampuan untuk melaksanakan suatu tugas/kegiatan terutama

olahraga akibat adanya hambatan pergerakannya karena kegemukannya. Selain

itu, dinyatakan pula bahwa orang obesitas lebih responsif terhadap rasa, lebih

emosional, dan kurang aktif dibandingkan orang dengan berat badan normal

(Misnadiarly, 2007).

b. Gangguan kesehatan lain

Obesitas secara konsisten dihubungkan pula pada timbulnya penyakit

jantung, hipertensi, diabetes, stroke, hingga kematian dini. Gangguan kesehatan

lain yang mungkin muncul akibat obesitas adalah pertumbuhan fisik atau linier

yang lebih cepat dan usia tulang yang lebih cepat dan usia tulang yang lebih

lanjut dibanding usia biologinya dan masalah ortopedi akibat beban tubuh yang

terlalu berat. Selain itu, obesitas juga dapat menimbulkan gangguan pernafasan

seperti infeksi saluran nafas, mendengkur saat tidur, dan juga sering mengantuk

pada siang hari (Putri, 2012, ¶).

3. Pengukuran Obesitas dan Klasifikasinya

Cara menghitung kegemukan yang paling mudah adalah dengan membandingkan

antara tinggi badan (kg) dengan berat badan (m) yang dikenal dengan istilah Body

Mass Index atau (BMI) atau Indeks Masa Tubuh (IMT). BMI merupakan suatu

pengukuran yang menghubungkan atau membandingkan antara berat badan dan

tinggi badan. Walaupun dinamakan “indeks” sebanarnya IMT atau BMI adalah rasio

atau nisbah yang dinyatakan sebagai berat badan (dalam kilogram) dibagi dengan

kuadrat tinggi badan (dalam meter).

(6)

Klasifikasi yang digunakan di sini adalah kategori berdasarkan aturan untuk

orang-orang di Asia Pasific. Indonesia termasuk bagian dari Asia Pasific. Apabila

nilai IMT atau BMI telah diperoleh, maka hasilnya kemudian dibandingkan dengan

ketentuan sebagai berikut :

Tabel 3.1 Klasifikasi Berat Badan

No IMT Klasifikasi

1 < 18,5 Underweight

2 18,5 – 22,9 Normal

3 ≥ 23 Overweight

4 23,0 – 24,9 At Risk

5 25,0 – 29,9 Obesitas Tingkat I

6 ≥ 30 Obesitas Tingkat II

Sumber : Asia Pacific Cohort Studiest Collaboration, IOTF, WHO (2000)

Indeks massa tubuh (IMT) tidak dapat digunakan pada seseorang dengan

peningkatan massa otot, seperti pemain sepak bola, atlet angkat besi, dan lainnya

yang menggunakan angkat beban sebagai bagian dari program olah raganya (Soegih

& Wiramihardja, 2009). Karena jika seseorang termasuk dalam golongan berotot,

IMT nya mungkin berada pada rentang kegemukan, tetapi bukan berarti orang

tersebut termasuk kategori penderita kegemukan (Mumpuni & Wulandari, 2010).

B. Identitas Diri

Identitas diri adalah bagian dari konsep diri yang mencakup prinsip

pengorganisasian kepribadian yang bertanggung jawab terhadap kesatuan,

kesinambungan, konsistensi, dan keunikan individu. Pembentukan identitas dimulai

pada masa bayi dan terus berkembang sepanjang kehidupan dan merupakan tugas utama

pada masa remaja. Menurut Sunaryo identitas diri merupakan kesadaran akan diri

pribadi yang bersumber dari pengamatan dan penilaian, sebagai sintesis semua aspek

(7)

Pembentukan identitas diri tidak berlansung secara rapi maupun secara tiba-tiba

yang menimbulkan perubahan besar. Dalam bentuknya yang paling sederhana,

perubahan idantitas melibatkan komitmen pada suatu arah vokasional, sikap ideologis,

dan orientasi seksual. Mensintesakan komponen-komponen identitas dapat melibatkan

proses yang panjang, menyita banyak energi, yang disertai dengan dengan berbagai

negosiasi maupun afirmasi mengenai berbagai peran. Perkembangan identitas

berlansung secara sedikit demi sedikit. Keputusan tidak dibuat sekali untuk berlaku

seumur hidup, namun harus selalu diperbaharui dari waktu ke waktu (Santrock, 2007).

1. Hal-hal Yang Berkaitan Dengan Identitas Diri

Remaja selalu mencari identitas diri guna menjelaskan siapa dirinya, apa

peranannya, apakah dia masih kanak-kanak atau telah menjadi orang dewasa.

Persepsi identitas diri remaja berkembang secara perlahan melalui pengulangan

identifikasi saat masa kanak-kanak. Nilai dan standar moral orangtua akan

dikombinasikan dengan nilai dan standar moral menjadi nilai dan standar baru.

Remaja akan mensintesiskan ke dalam berbagai peran dan membentuk satu identitas

diri yang bias diterimanya sacara personal oleh kelompoknya. Konsep dasar seperti

ini membuat remaja selalu bereksperimen dalam menjalankan peran sesuai waktu

dan situasi (Pieter & Lumongga, 2011). Adapun hal penting yang berkaitan dengan

identitas diri adalah sebagai berikut (Damaiyanti, 2012) :

a. Berkembang sejak masa masa kanak-kanak, bersamaan dengan

berkembangnya konsep diri.

b. Individu yang memiliki perasaan identitas diri kuat akan memandang dirinya

tidak sama dengan orang lain, unik dan tidak ada duanya.

(8)

d. Identitas jenis kelamin dimulai dengan konsep laki-laki dan perempuan serta

banyak dipengaruhi oleh pandangan maupun perlakuan masyarakat.

e. Kemandirian timbul dari perasaan berharga, menghargai diri sendiri,

kemampuan, dan penguasaan diri.

f. Individu yang mandiri dapat mengatur dan menerima dirinya.

2. Status Identitas Diri

Perkembangan identitas remaja mengungkapkan gagasan-gagasan yang kaya

mengenai berbagai pikiran dan perasaan remaja. Menurut Erikson, teori

perkembangan identitas terdiri dari empat status identitas, atau cara yang ditempuh

dalam menyelesaikan krisis identitas, yaitu identity diffusion, identity foreclosure,

identity moratorium, dan identity achievement. Ia mendefenisikan krisis sebagai

suatu periode perkembangan identitas dimana individu berusaha melakukan

eksplorasi terhadap berbagai alternative yang bermakna. Komitmen diartikan sebagai

investasi pribadi mengenai hal-hal yang hendak individu lakukan. Status identitas

tersebut diantaranya sebagai berikut (Santrock, 2007) :

a. Identity diffusion adalah kondisi remaja yang belum pernah mengalami krisis

(belum pernah mengeksplorasi berbagai alternative yang bermakna) ataupun

membuat komitmen apapun. Mereka tidak hanya membuat keputusan yang

menyangkut pilihan pekerjaan atau ideology, mereke juga cenderung kurang

berminat terhadap hal-hal semacam itu.

b. Identity foreclosure adalah kondisi remaja yang telah menbuat komitmen namun

tidak pernah mengalami krisis identitas. Status ini sering kali terjadi jika

(9)

demekian, remaja dengan status identitas ini belum memiliki kesempatan untuk

mengeksplorasi berbagai pendekatan, ideologis, dan pekerjaannya sendiri.

c. Identity moratorium adalah kondisi remaja yang berada dipertengahan krisis

namun belum memiliki komitmen yang jelas terhadap identitas tertentu.

d. Identity achievement adalah kondisi remaja yang telah mengatasi krisis identitas

dan membuat komitmen.

3. Gangguan Identitas Diri

Identitas remaja didahului dengan identitas masa kanak-kanak, pertanyaan utama

seperti “Siapakah saya?” lebih sering muncul di masa remaja. Selama masa remaja,

identitas lebih banyak ditandai dengan upaya mencari keseimbangan antara

kebutuhan otonomi dan kebutuhan keterjalinan. Mereka dihadapkan pada berbagai

peran mulai dari peran pekerjaan hingga peran dalam relasi romantik. Sebagai

bagian dari eksplorasi identitasnya remaja mengalami psychosocial moratorium,

yaitu kesenjangan antara rasa aman masa kanak-kanak dengan otonomi di masa

dewasa. Dalam proses mengeksplorasi mereka sering kali bereksperimen dengan

berbagai peran. Anak muda yang berhasil mengatasi dan menerima peran-peran yang

saling berkonflik satu sama lain ini beridentifikasi dengan sebuah penghayatan

mengenai diri yang baru, yang menyegarkan dan dapat diterima. Remaja yang tidak

berhasil mengatasi krisis identitas akan menderita kebingungan identitas (identity

confusion). Mereka dapat menarik diri, mengisolasi diri dari kawan-kawan dan

keluarga, atau membenamkan dirinya dalam dunia kawan-kawan dan kehilangan

identitasnya sendiri (Santrock, 2007).

Gangguan identitas merupakan suatu kegagalan individu untuk mengintegrasikan

(10)

yang harmonis. Adapun perilaku yang berhubungan dengan kerancuan identitas

yaitu tidak ada kode moral, sifat kepribadian yang bertentangan, hubungan

interpersonal eksploitatif, perasaan hampa. Perasaan mengambang tentang diri

sendiri, tingkat ansietas yang tinggi, ketidakmampuan untuk empati terhadap orang

lain (Damaiyanti & Iskandar, 2012).

C. Usia Remaja

Kata remaja berasal dari bahasa latin adolescentia yang berarti remaja yang

mengalami kematangan fisik, emosi, mental, dan sosial. Piaget mengatakan bahwa masa

remaja ialah masa berintegrasi dengan masyarakat dewasa, usia dimana individu tidak

lagi merasa di bawah tingkatan orang dewasa, akan tetapi sudah dalam tingkatan yang

sama. Seseorang disebut remaja apabila perkembangan dan pertumbuhannya telah

mengarah kepada kematangan seksual dengan memantapkan identitas dirinya sebagai

individu yang terpisah dari keluarga, persiapan diri menghadapi tugas-tugas

perkembangan berikutnya, persiapan dalam menentukan masa depannya, dan akan

berkahir pada saat mencapai usia matang secara hukum (Pieter & Lumongga, 2011).

Remaja didefenisikan sebagai masa peralihan dari masa kanak-kanak ke masa dewasa.

Istilah ini menunjuk pada masa awal pubertas sampai tercapainya kematangan, biasanya

dimulai dari usia 14 tahun pada pria dan 12 tahun pada wanita. Menurut World Health

Organization (WHO), batasan remaja secara umum adalah mereka yang berusia 10

sampai 19 tahun (Proverawati, 2010).

Sekitar 1 miliar manusia atau setiap 1 di antara 6 penduduk dunia adalah remaja.

Sebanyak 85% diantaranya hidup di negara berkembang. Di Indonesia jumlah remaja

dan kaum muda berkembang sangat cepat. Antara tahun 1970 dan 2000, kelompok umur

(11)

dari total jumlah populasi penduduk Indonesia. Remaja merupakan suatu masa

kehidupan individu dimana terjadi eksplorasi psikologis untuk menemukan identitas diri.

Pada masa transisi dari masa kanak-kanak ke masa remaja, individu mulai

mengembangkan ciri-ciri abstrak dan konsep diri menjadi lebih berbeda. Remaja mulai

mengembangkan diri dengan penilaian dan standar pribadi, tetapi kurang dalam

interpretasi perbandingan sosial. Masa remaja adalah masa yang penting dalam

perjalanan kehidupan manusia. Golongan umur ini penting karena menjadi jembatan

antara masa kanak-kanak yang bebas menuju masa dewasa yang menuntut tanggung

jawab (Kusmiran, 2012).

1. Ciri-ciri Usia Remaja

Usia remaja (adolescence) merupakan masa transisi / peralihan dari masa

kanak-kanak menuju masa dewasa yang ditandai dengan adanya perubahan aspek fisik,

psikis, dan psikososial. Secara kronologis yang tergolong remaja berkisar antara usia

13 / 13-21 tahun. Untuk menjadi orang dewasa, menurut Erikson, maka remaja akan

melalui masa krisis dimana remaja berusaha untuk mencari identitas diri (search for

self identity). Hal ini berarti terjadi proses perubahan pada diri setiap individu.

Aspek-aspek perubahan yang dialami oleh setiap individu meliputi fisik, kognitif,

maupun psikososialnya. Menurut pandangan Gunarsa terdapat dua aspek yang dapat

dilihat sebagai ciri dari perkembangan usia remaja, yakni endogen dan exogen

(Dariyo, 2004).

a. Faktor endogen (nature). Dalam pandangan ini dinyatakan bahwa

perubahan-perubahan fisik maupun psikis dipengaruhi oleh faktor internal yang bersifat

herediter yaitu yang diturunkan orangtuanya, misalnya bakat-minat,

(12)

normal berarti ia berasal dari keturunan yang normal pula yaitu tidak

memiliki gangguan, dan orang tersebut akan memiliki pertumbuhan dan

perkembangan fisik yang normal. Hal itu menjadi modal bagi individu agar

mampu mengenbangkan kompetensi kognitif, afektif maupun kepribadian

dalam proses penyesuaian diri (adjustment) di lingkungan hidupnya.

b. Faktor exogen (nurture). Pandangan exogen menyatakan bahwa perubahan

dan perkembangan individu sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor yang

berasal dari luar diri individu itu sendiri. Faktor ini diantaranya berupa

lingkungan fisik maupun lingkungan sosial. Lingkungan fisik berupa

tersedianya sarana dan fasilitas, sedangkan lingkungan sosial yaitu

lingkungan dimana seseorang mengadakan relasi / interaksi dengan individu

atau sekelompok individu yang ada di dalam lingkungannya tersebut.

Menurut erikson, sebab lingkungan sosial budaya keluarga yang ditandai

dengan kehangatan kasih sayang dan perhatian akan menungkinkan anak

untuk mengembangkan rasa percaya diri (basic-trust) kepada lingkungannya.

Sebaliknya, mereka yang tidak memperoleh kasih sayang dengan baik,

cenderung menjadi anak yang sulit mempercayai lingkungannya. Dengan

demikian, rasanya akan sulit untuk mengembangkan potensi kognitif maupun

kemampuan yang lain.

2. Tugas Perkembangan Remaja

Masa remaja merupakan masa peralihan dari masa pubertas menuju masa

dewasa. Peralihan berarti terputus atau berubah dari apa yang pernah terjadi

sebelumnya. Peralihan adalah proses perkembangan dari satu tahap ke tahap

(13)

akan datang. Selama periode ini, mereka akan banyak mengalami perubahan baik

secara fisik, psikologis ataupun sosial (Lumongga & Pieter, 2011).

Menurut Havighurst (1988) dalam Kusmiran (2012), ada tugas-tugas yang harus

diselesaikan dengan baik pada setiap priode perkembangan. Tugas perkembangan

adalah hal-hal yang harus dipenuhi atau dilakukan oleh remaja dan dipengaruhi oleh

harapan sosial. Deskripsi tugas perkembangan berisi harapan lingkungan yang

merupakan tuntutan bagi remaja dalam bertingkah laku. Adapun tugas

perkembangan pada remaja adalah sebagai berikut (Kusmiran, 2012) :

a. Menerima keadaan dan penampilan diri, serta menggunakan tubuhnya secara

efektif.

b. Belajar berperan sesuai dengan jenis kelamin (sebagai laki-laki atau

perempuan).

c. Mencapai relasi yang baru dan lebih matang dengan teman sebaya, baik

sejenis maupun lawan jenis.

d. Mengharapkan dan mencapai prilaku sosial yang bertanggung jawab.

e. Mencapai kemandirian secara emosional terhadap orangtua dan orang

dewasa lainnya.

f. Merpersiapkan karier dan kemandirian secara ekonomi.

g. Menyiapkan diri (fisik dan psikis) dalam menghadapi perkawinan dan

kehidupan keluarga.

h. Mengembangkan kemampuan dan keterampilan intelektual untuk hidup

bermasyarakat dan untuk masa depan (dalam bidang pendidikan dan

pekerjaan)

Gambar

Tabel 3.1 Klasifikasi Berat Badan

Referensi

Dokumen terkait

a. Tidak mempunyai seseorang sebagai panutan dalam memahami dan meresapi tata nilai atau norma-norma yang berlaku di masyarakat. Kondisi semacam ini lazim disebut sebagai hasil

The used media in the implementation of learning trajectory of ordering decimal numbers in this study was picture of number line, LCD projector, body scales, cards of

Dana disediakan bagi dosen tetap dari PTAIN maupun PTAIS, di lingkungan Direktorat Pendidikan Tinggi Islam (Diktis) Kemenag RI, yang sedang terdaftar dan masih

Foto copy legalisir petikan SK Pengangkatan dalam jabatan, Surat Pernyataan Pelantikan/SPP dan Surat Pernyataan Melaksanakan Tugas/SPMT (bagi yang menduduki

ketiga titik sudut A,B dan C, masing- masing ditarik garis yang tegak lurus terhadap sisi segitiga AB, BC dan CA sehingga terbentuk segitiga baru. Diketahui ∆ABC sebangun

certificate extends beyond the scheduled time of their regular surveillance audit at the time of which a certification standard has become effective – newly or following

Dalam Tafsir Al-Qurtubi di- jelas kan bahwa ayat ini me- rekomendasikan untuk memberi peringatan dan melarang sesuatu yang munkar dengan cara yang simpatik

Berdasarkan Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2008 Tanggal 31 Desember 2009 tentang Organisasi Perangkat Daerah Kabupaten Banyuwangi yang selanjutnya berubah dengan